Persona adalah sebuah peran atau topeng yang dipakai oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya untuk membuat kesan pada orang lain. Di sisi lain untuk menyembunyikan sifat seorang manusia yang sebenarnya - (Carl Jung).
1
DAFTAR ISI
Aku Si Culun
7
Agharta
192
DIFABELOVE
154
Pemeran Utama
215
2
Aku Si Culun!
Jika
kalian menemukan tumpukkan cerita ini, berarti kalian tidak akan pernah bertemu denganku lagi. Jangan tanyakan kapan aku kembali, karena aku takkan pernah kembali. Mungkin aku sudah berada di sebuah tempat yang mereka sebut Surga. Sebuah tempat yang menyenangkan, menenangkan hati dan pikiran. Tempat dimana tak adalagi perasaan tertekan, depresi, dan menderita. 21 Januari 2015, jam 08.00 WIB... Namaku Evan. Kadang teman-temanku memanggilku dengan panggilan “Evan si culun”. Aku tahu alasannya mengapa mereka memanggilku kutu buku. Mungkin karena penampilanku yang terlihat culun. Aku selalu memasukkan kemejaku ke dalam celana, menyisir rambut pendekku dengan rapih, ditambah lagi dengan kacamata tebal yang tidak pernah lepas kemanapun aku pergi. Sebenarnya orang tuaku selalu menjadi dua orang yang paling bawel soal penampilanku. Mereka selalu ingin aku tampil rapih kapanpun dan dimanapun. Mungkin karena kedua orang tuaku adalah anggota dewan di Senayan. Tentu mereka tidak ingin menanggung malu di depan rekan kerjanya karena memiliki anak dengan penampilan yang berantakan. Atau mungkin juga karena aku adalah anak tunggal di keluarga ini. Maka dari itu orang tuaku nampak sangat protektif dengan penampilanku Aku memang berbadan kurus. Tapi menurutku tubuhku ini sudah proporsional karena nampak pas dengan tinggi badanku yang hampir menyentuh angka 170 cm. Sudah cukup ideal bukan untuk seorang lelaki berumur 20 tahun sepertiku? Hari masih pagi, tapi aku sudah berada di tempat itu. Pagi itu, ruang tunggu sebuah klinik kesehatan tidak terlalu ramai. Hanya ada satu orang pasien di ruang tunggu yang bagian dindingnya dipenuhi oleh berbagai lukisan dan gambargambar seram tentang bahaya merokok. Ini bukanlah klinik kesehatan pada umumnya. Bukan tempat dimana kamu bisa berkonsultasi dengan dokter tentang penyakit apapun. Kata orang, tempat ini adalah tempat berobat untuk otak. Ditempat inilah biasanya orang-orang akan mengeluarkan seluruh keluh kesahnya yang tak mampu lagi dibendung oleh otak mereka. Klinik ini adalah milik dokter Amel. Seorang psikiater yang cukup terkenal di kota ini. Pergi ke dokter atau ke klinik kesehatan mungkin bukanlah yang pertama bagiku. Tapi pergi menemui psikiater adalah pengalaman pertama untukku. Aku hanya berdiri di depan pintu klinik, tak tahu harus bagaimana. Ingin rasanya aku bertanya pada pasien disini mengenai prosedur berobat di klinik ini. Tapi aku 3
terlanjur malu untuk bertanya. Kepalaku seakan dipenuhi oleh beragam tanda tanya mengenai bagaimana cara berobat di tempat ini. Apakah sama dengan rumah sakit atau klinik lainnya? Beruntung ini tak berlangsung lama karena tanda tanyaku ini akhirnya terjawab. “Pak. Bapak silahkan daftar dahulu disini” sapa seorang suster dari balik meja pendaftaran. “Bapak sudah pernah berobat disini sebelumnya?”. Aku menggeleng satu kali, “Ini pertama kalinya buat saya”. “Boleh pinjam KTP nya Pak?”. Akupun menuruti maunya. Tidak sampai 10 menit, suster sudah berhasil menginput seluruh data milikku dan menyuruhku untuk menunggu antrian bersama yang lain. Sesekali kuamati situasi di sekitarku. Tidak ada yang berbeda dengan klinik ini. Arsitekturnya, dekorasinya, bahkan pasiennya pun tak jauh berbeda dengan rumah sakit atau klinik pada umumnya. Aku memilih untuk duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang nampak sedang asyik bercanda dengan anaknya yang masih kecil. Semuanya nampak normal, seakan tubuh mereka tidak merasakan sakit apapun. Mungkin karena penyakit dan keluhan yang mereka punya berada di otak mereka masing-masing. Sama sepertiku, terkadang aku merasa otakku ini hampir meledak. “Nomor antrian 5 silahkan masuk” teriak seorang suster dari depan ruangan dokter. Ibu dan anak kecil disebelahku langsung beranjak dari duduknya dan menuruti panggilan tersebut. Situasi di ruang tunggu makin terasa canggung. Kini hanya ada aku dan rasa depresi yang tertinggal di ruang tunggu ini. Ya, perasaan depresi yang sudah sejak dulu kupendam sendiri. Sebuah rasa yang sejak lama kubendung sendiri. Aku berlagak seakan aku kuat dan sanggup menghadapi itu semua. Tapi makin aku membendungnya sendiri, rasa takut dan depresi ku ini makin memuncak bahkan hampir meleburkan akal sehatku. Aku tak tahu pada siapa aku harus mengadu dan menyingkap tabir yang selama ini kusimpan sendiri. Inilah alasan utama mengapa aku berkunjung ke tempat ini. Aku harap dokter Amel mampu memberikan solusi terbaik, dan entah mengapa aku yakin hal itu. Tidak. Orang tuaku terlalu sibuk untuk mendengarkan ceritaku. Malahan mereka jarang berada dirumah. Sekarang mereka tinggal di Inggris untuk waktu yang lama. Untuk studi banding mereka bilang. “Bapak Evan, silahkan” seorang suster mempersilahkanku untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Perasaanku menjadi semakin tak menentu. Aku meragu apakah 4
aku sanggup untuk menceritakan semua aib ku ini pada dokter Amel. Aku takut kalau-kalau ceritaku ini sampai ke telinga orang banyak. Apalagi bila orang tuaku sampai tahu. Habislah hidupku. Ah, tapi aku harus menceritakan ini semua pada dokter Amel. Aku benarbenar tidak sanggup lagi memendam ini sendirian. Dan kurasa ini adalah satusatunya cara untuk membuktikan apakah semua ketakutan ini akan menjadi nyata atau tidak. Dokter Amel ternyata nampak lebih muda dari yang kubayangkan. Jauh sebelum bertemu dengannya, aku membayangkan Dokter Amel berusia sekitar 60 tahun, jutek, tidak pernah tersenyum, juga sosok orang yang tegas dan galak. Tapi prasangka ku salah. Dokter Amel ternyata masih berusia 37 tahun. Rambutnya pendek sebahu warna coklat, berkulit putih, bermata bulat dan berkacamata. Ia juga bukanlah sosok dokter yang berdarah dingin. Justru malah pembawaannya sangat ramah. Jauh dari seluruh prasangka sebelumnya. “Bapak Evan, silahkan masuk” aku mendengar Dokter Amel berkata seperti itu saat pertama aku memasuki ruangan pemeriksaan. Klinik ini tidak seperti ruangan pemeriksaan pada umumnya. Awalnya aku membayangkan akan duduk di sebuah kursi dengan beragam alat medis lengkap menempel di tubuhku. Tapi sekali lagi ruangan ini berbeda. Ruangan ini berada di lantai 3 dengan pemandangan yang langsung mengarah ke gedung-gedung pencakar langit di kota ini. Di dalamnya, hanya ada sebuah meja kayu tempat dokter Amel menulis resep dan sebuah sofa besar warna merah lengkap dengan bantal warna senada. Melihatnya saja aku bisa menebak kalau sofa ini adalah sofa mahal dan terasa empuk untuk diduduki atau ditiduri. “Silahkan duduk disini. Kalau Pak Evan mau, bapak juga bisa berbaring disini. Anggap saja seperti dirumah sendiri. Buat diri anda senyaman mungkin” ucap Dokter Amel sambil mengarahkanku ke sofa di tengah ruangan. Tebakanku benar, sofa itu memang sangat empuk dan nyaman hingga membuatku tak ragu lagi untuk berbaring disana. Dokter Amel menarik sebuah kursi dan duduk tepat disamping tempatku berbaring. “Bagaimana Pak Evan suda nyaman? Saya panggil kamu dengan Evan saja boleh?”. Aku mengangguk, “Boleh Dok. Lagipula aku masih 20 tahun. Terlalu muda buat dipanggil Bapak”. Dokter Amel pun tertawa, “Enggak salah dong saya manggil kamu bapak. Kan nanti kamu juga akan jadi seorang bapak. So, Evan. Apa yang bisa saya bantu? Apa keluhanmu dan apa yang ingin kamu ceritakan?”. 5
Aku terdiam cukup lama. Sudah sejauh ini aku masih saja ragu untuk menceritakan ini semua pada dokter Amel. Lidahku kelu tapi batinku memberontak memaksaku untuk menceritakan semuanya pada dokter Amel. Batinku masih meyakini bahwa dokter Amel akan memberikan jawaban atas semua masalahku. “Banyak dok. Cuma aku enggak tahu harus mulai darimana”. “Ada apa Evan? Kamu nampak ketakutan. Aku bisa lihat dari mata dan raut wajahmu. Kamu sangat ketakutan Evan. Ada apa?”. Aku sempat tersentak mendengarnya. Bagaimana bisa dokter Amel menebak dan membaca rasa takut yang kurasakan. Padahal aku sudah bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. “A...Aku enggak ketakutan kok dok. Biasa saja” aku coba untuk melakukan pembelaan. “Dari nada bicaramu, kamu terbata dan tertekan. Saat kamu bicara padaku kamu memainkan kuku jari, mengedipkan mata secara berlebihan, menelan ludah berkali-kali. Kamu tidak bisa berbohong dariku Evan. Aku sudah menangani ribuan pasien sebelum kamu. Dan aku dengan mudah tahu kalau pasienku sedang berbohong atau ada sesuatu yang sedang ia tutupi”. Aku terdiam. Aku merasa dipukul dengan telak oleh kalimat dokter Amel barusan. Aku merasa tidak ada lagi yang bisa kututpi darinya. Bahkan untuk tiap gerakan sekecil apapun ia seolah memiliki beribu cara untuk menafsirkannya dengan tepat. Kini aku mengakui mengapa dokter Amel menjadi salah satu psikiater terkenal di kota ini. “Biar aku bantu kamu. Kamu hanya perlu menuruti apa kataku. Setuju?”. Aku mengangguk tanpa perlawan. “Tutup matamu dan mulailah untuk bersantai. Ambil nafas dalam-dalam dan biarkan keluar secara perlahan. Berkonsentrasilah pada pernafasanmu. Dengan setiap nafas, kamu akan menjadi lebih santai. Bayangkan sebuah cahaya putih terang di atas anda. Fokuskan pada cahaya putih itu dan rasakan cahaya itu mengalir melalui tubuh anda. Biarkan dirimu tertidur ketika kamu sudah jatuh lebih dalam lagi dalam ketenangan. Sekarang saya akan menghitung mundur dari sepuluh sampai satu. Kamu akan merasa lebih damai dan tenang. Sepuluh. Sembilan. Delapan. Tujuh. Enam. Kamu akan memasuki tempat yang aman dimana tidak ada lagi yang dapat membahayakanmu. Lima. Empat. Tiga. Dua. Dan tiap saat kamu ingin kembali ke alam sadarmu, yang harus kamu lakukan adalah membuka matamu. Satu”. Tepat pada hitungan ke satu aku membuka mata setelah sempat terpejam beberapa saat lalu. Aku tak tahu apa yang baru saja ia lakukan padaku. Yang kutau 6
adalah aku tidak bisa menolak kalimat-kalimatnya. Mungkin saja Dokter Amel baru saja menghipnotisku dan menggugah alam sadarku untuk mengusir seluruh takut dan ragu yang kurasa. Kalimat-kalimat dari mulutnya seperti senandung tidur bagiku. Tapi semua kalimatnya benar-benar membuatku merasa lebih nyaman dari sebelumnya. Lebih aman, tenang, seakan tak ada yang perlu aku takutkan. “Nah, Evan bagaimana? Sudah merasa lebih baik? sudah siap untuk bercerita?” tanya Dokter Amel. Aku mengangguk, “Baiklah Dok. Aku akan menceritakannya semua”. “Ceritakanlah semuanya Evan. Aku akan mendengarkan”. *** 17 Januari 2013.... Semua bermula pada hari itu. Semua bermula di hari pertamaku masuk kuliah. Hari itu adalah hari dimana aku resmi menyandang status sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di salah satu Universiitas terbaik di negeri ini. Waktu itu usiaku baru 18 tahun. Aku patut bangga karena aku bisa menjadi mahasiswa salah satu Universitas terbaik dengan nilai yang sangat memuaskan dan mengalahkan ribuan calon mahasiswa lainnya. Kampusku memang kampus terbaik untuk urusan akademik dan mencetak alumni-alumni yang sukses. Mungkin itulah alasannya mengapa kedua orang tuaku sangat ingin aku mengenyam bangku kuliah di kampus ini dan mengambil hukum sebagai major study ku. Padahal sebenarnya hatiku ingin berkecimpung di dunia sastra. Aku adalah seorang pemalu, tidak suka keramaian, dan gemar menghabiskan waktuku sendiri. Waktu senggangku banyak dihabiskan dengan membaca, menulis, atau mempelajari apapun tentang sastra. Sebagai seorang anak, aku tak kuasa untuk menentang keinginan kedua orang tuaku. Orang bilang, Fakultas Hukum adalah tempat bagi para mahasiswamahasiswa kaya, modis, dan selalu terdepan dalam urusan pergaulan. Singkat kata, Fakultas Hukum adalah tempat bagi para mahasiswa penganut faham hedonisme. Seratus delapan puluh derajat berbeda denganku. Apa aku sudah menyebutkan tentang senioritas disini? Fakultas ini memang terkenal dengan senioritasnya sejak dulu. Aku masih ingat dulu aku harus melakukan push up dan berlari keliling lapangan tiap hari. Aku melakukan ini bukan atas keinginanku sendiri. Tentu saja seniorku yang menyuruhku. Ada dua alasan mengapa mereka menyuruhku melakukan seluruh hukuman yang melelahkan seperti itu, Pertama, karena aku melakukan kesalahan. Kedua, karena mereka memang ingin membully aku. 7
Bully? Ya benar. Aku tidak salah. Semula aku berpikir kalau senioritas ini hanya sesaat dan akan usai bersamaan dengan selesainya ospek bagi mahasiswa baru sepertiku. Tapi aku salah,mereka malah semakin bengis setelahnya. Aku pun tak tahu alasannya mengapa hanya aku yang selalu mereka bully. Kuakui untuk urusan penampilan dan gaya hidup, aku memang kalah bila disandingkan dengan mereka. Pakaian mereka modis, sedangkan aku selalu memasukkan kemejaku ke dalam celana. Mereka naik mobil, aku harus berdesakan di dalam bis kota tiap harinya. Aku merasa menjadi orang paling culun di kampus. Sebenarnya orang tuaku bisa saja memanjakan ku dengan mobil pribadi atau baju-baju mewah nan modis. Bukankah aku sudah bilang kalau orang tuaku sangat posesif terhadapku? Mereka melarangku untuk naik mobil atau motor dengan alasan takut kalau nanti aku kecelakaan, mesin mogok, atau terjatuh dari motor. Mereka melarangku tampil modis karena mereka takut rekan kerjanya menganggap aku adalah anak yang urakan. Bagi mereka, harga diri dan nama baik adalah segalanya. Tapi aku tidak sendiri disini. Aku beruntung karena ada mereka yang juga menjadi bulan-bulanan senior di kampus. Mereka yang sudah kukenal sejak kali pertama aku menginjakkan kaki di kampus ini. Mereka adalah Andre, Dika, dan Melly. Andre berasal dari keluarga broken home. Kedua orang tuanya bercerai ketika ia berumur 5 tahun. Ibunya hanyalah seorang buruh pabrik sedangkan ayahnya sudah lama pergi setelah bercerai. Andre memiliki tinggi 180 cm, tubuhnya kurus, berkulit putih, berambut keriting, dan juga berkacamata tebal. Senior disini memanggilnya dengan sebutan “Andre si sapu lidi”. Dika adalah seorang pria yang hampir terancam obesitas. Aku tidak tahu pasti berapa berat badannya. Yang pasti lebih dari 100 kg. Dika berbadan gendut, rambut botak, berkulit hitam, dan mudah berkeringat. Dika sangat tertarik dengan dunia fashion. Ia gemar memadupadankan pakaian dan sesekali membuat sketsa gambar desain baju atau gaun sambil berangan-anagan kalau ia memiliki Brand sendiri. Yang menjadi ciri khasnya adalah wajahnya yang dipenuhi oleh bekas jerawat. Senior disini memanggilnya dengan sebutan “Dika si hitam”. Yang terakhir adalah Melly. Seorang wanita berkacamata, rambut panjang kepang dua, memakai behel, bertubuh kurus, dan kulit agak kecoklatan. Melly mengidap asma akut sejak dulu, maka jangan heran bila ia selalu mengantungi alat hisapnya kemanapun ia pergi. Melly memiliki hidung yang sensitif dengan air hujan. Ia akan bersin berkali-kali bila hidungnya menghirup aroma hujan. Maka tidak heran bila Melly sangat benci ketika musim hujan. Mungkin itulah alasan senior disini memanggilnya dengan sebutan “Melly si lemah”. 8
Awal pertemuanku dengan mereka terjadi tepat satu minggu usai masa orientasi berakhir. Aku masih ingat waktu itu aku, Andre, dan Dika tengah bersimbah keringat sehabis berdiri di lapangan di tengah teriknya sinar matahari. Alasannya sepele, kami tidak tersenyum dan menyapa senior ketika berpapasan di jalan. Dibawah pohon besar dekat kantin, kami berbagi keluh kesah. “Aku mau mati! Aku mau mati! Aku mau mati!” gerutu Dika yang tengah berusaha mengatur ritme nafasnya. “Lebay banget sih lo Ndut! Berdiri 30 menit enggak bakal bikin lo mati!” jawab Andre agak ketus. “Ya mau gimana lagi Ndre. Kalian sih enak, kurus jadi enggak masalah kalau harus berdiri selama apapun. Lha gue? bawa badan aja udah berat”. “Makannya lo kurusin itu badan. Sedot lemak kek! Diet kek! Atau apa tuh program diet yang lagi jadi trend? OCD ya? Tapi gue ragu, lo enggak ngunyah satu jam aja udah hebat”. Lalu aku melihat Melly datang menghampiri sambil membawa tiga buah botol air mineral dingin “Udah ah! Apa-apaan sih kalian malah jadi berantem. Nih aku bawa minuman buat kalian”. “Iya nih! Lagian si Dika kerjanya ngeluh terus. Tapi terima kasih lho Mel minumnya” ucap Andre yang dengan cepat langsung meneguk air minum dengan beringas. Aku memang tidak banyak terlibat dalam pembicaraan waktu itu. Aku memilih untuk diam dan menyendiri. Sampai pada akhirnya Melly membaca gelagatku. “Evan, kamu enggak minum? Kamu kok diam aja daritadi. Ada apa?”. “Kenapa ya kok senior-senior itu senang banget ngusilin kita? Padahal kita enggak salah apa-apa. Maksudku, kenapa harus kita?” tanyaku. Mereka bertiga terdiam seakan ikut bingung dan memikirkan jawaban untuk pertanyaanku. “Apa karena kita cupu? Apa karena kita beda dan enggak gaul kayak mereka? Apalagi Bang Riki dan anak buahnya si Bang Johan sama Bang Victor. Mereka bertiga yang paling sering nge bully kita. Padahal kita enggak punya salah apa-apa sama mereka”. “Terus lo mau gimana Van? Mau marah sama mereka? Mau ngajak berantem mereka? realistis aja Van. Kita ini emang golongan minoritas. Lo mau berantem sama Bang Riki dan geng nya? Cari mati namanya” Dika coba menanggapi keluhanku waktu itu. 9
“Kali ini gue setuju sama Dika. Kita emang enggak bisa ngelawan mereka Van. Lo tau sendiri kan Bang Riki itu badannya besar, anak orang kaya, ketua geng mobil, penguasa kampus, jago berantem pula. Belom lagi anak buahnya tuh si Bang Johan sama Bang Victor. Yang aku dengar, mereka itu paling jago kalo soal berantem dan paling senang kalo bikin rusuh. Makannya mereka bertiga itu paling ditakutin di kampus dan enggak ada yang berani macam-macam sama mereka. Kalau lo mau ngajak mereka berantem, gue enggak kebayang deh bakal kayak apa lo jadinya” sambung Andre. “Gue tau kalau mereka tuh emang lebih superior dibanding kita. Tapi kemana hak asasi kita? Kaum minoritas kayak kita juga berhak buat hidup aman dan tenang. Pokoknya gue harus ngelawan mereka!”. “Kamu yakin Van?” tanya Melly waktu itu. Yang kuingat aku tidak menjawab pertanyaannya. Sejujurnya saat itu aku tak yakin untuk melakukan itu semua. Menentang mereka memang sama saja dengan bunuh diri. Tapi aku benar-benar tidak bisa bertahan lebih lama lagi dengan situasi seperti ini. Aku harus melawan mereka. Begitulah tekadku waktu itu. *** 21 Januari 2015, jam 08.45 WIB. “Cerita yang menarik Evan. Tapi apakah semua seniormu di kampus itu selalu membully kalian?” tanya Dokter Amel sambil membenarkan kacamata bacanya. Aku menggeleng, “Tidak semua. Salah satunya adalah Kak Alya. Bagiku dia adalah seseorang yang berhati mulia. Hatinya seperti kapas putih yang bersih tanpa amarah, benci, iri, dengki, dan lainnya. Aku tidak pernah percaya akan adanya bidadari atau ibu peri yang cantik dan berhati mulia. Bukankah mereka semua hanya hidup di cerita dongeng anak-anak? Tapi Dok, bukankah hidup mengajarkan kita tentang khayalan dan realita? Bila bidadari dan ibu peri adalah khayalan, maka Kak Alya adalah kenyataan”. Dokter Amel tersenyum manis kepadaku “Wow, biar kutebak sepertinya kamu jatuh cinta dengan wanita itu. Ya kan?”. Aku membalasnya dengan sebuah senyum simpul “Jatuh cinta? Entahlah Dok akupun tak tahu pasti”. “Aku tidak mengerti maksudmu. Ceritakan padaku tentang Kak Alya. Pasti akan menarik untuk di dengar”. ***
10