BAB II LANDASAN TEORI
A. KOMPETENSI INTERPERSONAL 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Sears, Freedman dan Peplau (1994) mengemukakan bahwa kompetensi adalah kemampuan yang membuat individu lebih dihargai oleh orang lain. Interpersonal merupakan suatu hubungan antar individu dengan orang lain. Hubungan interpersonal yang efektif seperti persahabatan, jika mereka memiliki kemampuan-kemampuan dalam membina hubungan interpersonal. Kemampuan tersebut secara khusus oleh Buhrmester dkk (1988) disebut sebagai kompetensi interpersonal. Menurut Spitzberg dan Cupach (dalam Nashori, 2008) kompetensi interpersonal adalah kemampuan seorang individu untuk melakukan komunikasi yang efektif. Kompetensi interpersonal di sini terdiri atas kemampuankemampuan yang diperlukan untuk membentuk suatu interaksi yang efektif. Kemampuan ini ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antarpribadi yang baik dan memuaskan. Di dalamnya termasuk pengetahuan tentang konteks yang ada dalam interaksi, pengetahuan tentang perilaku nonverbal orang lain, kemampuan untuk menyesuaikan komunikasi dengan konteks dari interaksi yang tengah berlangsung, menyesuaikan dengan orang yang ada dalam interaksi tersebut, dan kemampuan-kemampuan lainnya. Jhonson dan Myers
mengartikan kompetensi interpersonal sebagai jumlah keseluruhan kompetensi seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif (dalam Amelia, 2008). Dari pengertian di atas, Lukman (2000) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal merupakan kecakapan yang mendukung hubungan antar individu dengan individu lainnya. Dari uraian di atas disimpulkan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk dapat berinteraksi maupun membina hubungan yang hangat dan nyaman melalui komunikasi yang efektif dan efisien dengan individu lainnya.
2. Aspek Kompetensi Interpersonal Buhrmester dkk (dalam Nashori, 2008) mengemukakan lima aspek kompetensi interpersonal yaitu: a) Kemampuan berinisiatif Menurut Buhrmester dkk (dalam Nashori, 2008) inisiatif adalah usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar. Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar dan tentang dirinya sendiri dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui agar dapat lebih memahaminya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berinisiatif adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk memulai suatu interaksi dan
membina hubungan dengan maksud untuk memperluas pengalaman tentang dunia luar. b) Kemampuan untuk bersikap terbuka (self-disclosure) Menurut Buhrmester (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) pengungkapan bagian dalam diri (innerself) antara lain berupa pengungkapan ide-ide, pendapat, minat, pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaannya kepada orang lain. Dengan hanya menyimpan ide-ide yang kita miliki maka akan membuat suatu hubungan menjadi tidak berkembang. Pada saat pengungkapan diri individu untuk sementara waktu merendahkan pertahanannya (defens) dan memberikan gambaran tentang diri yang sebenarnya. Self-disclosure dapat mengubah suatu perkenalan yang tidak mendalam menjadi suatu hubungan yang lebih serius dan diperolehnya teman baru, utamanya pengungkapan diri yang sifatnya hal-hal pribadi/evaluative. Kemampuan membuka diri sangat berguna agar perkenalan yang sudah berlangsung dapat berkembang ke hubungan yang lebih pribadi dan mendalam. Oleh Kartono dan Gulo (dalam Nashori, 2008) diungkapkan bahwa self-disclosure adalah suatu proses yang dilakukan seseorang hingga dirinya dikenal oleh orang lain. Orang melakukan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain (Sears dkk, 1994). Dalam pengungkapan diri, menurut Wrighstman dan Deaux (dalam Nashori, 2008) yaitu seseorang mengungkapkan informasi yang bersifat pribadi mengenai dirinya dan memberikan perhatian kepada orang lain, sebagai suatu bentuk penghargaan yang akan memperluas kesempatan terjadinya sharing. Dengan
adanya self-disclosure ini terkadang seseorang menurunkan pertahanan dirinya dan membiarkan orang lain mengetahui dirinya secara lebih mendalam. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self-disclosure adalah kemampuan untuk membuka diri,
menyampaikan ide-ide, perasaan-
perasaannya dan informasi yang bersifat pribadi untuk dapat lebih memahami satu sama lainnya. c) Kemampuan untuk bersikap asertif Menurut Buhrmester (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) kemampuan untuk mempertahankan diri dari tuduhan yang tidak benar atau tidak adil, kemampuan untuk mengatakan tidak terhadap permintaan-permintaan yang tidak masuk akal dan kemampuan untuk meminta pertolongan atau bantuan saat diperlukan. Menurut Perlman dan Cozby (dalam Nashori, 2008) asertivitas adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk mengungkapkan perasaan-perasaan secara jelas dan dapat
mempertahankan hak-haknya dengan tegas.
Diungkapkan oleh Calhoun dan Acocella (dalam Nashori, 2008) bahwa kemampuan bersikap asertif adalah kemampuan untuk meminta orang lain untuk melakukan sesuatu yang diinginkan atau menolak untuk melakukan hal yang tidak diinginkan. Kemampuan bersikap asertif ini dapat mempermudah individu dalam melakukan komunikasi interpersonal yang efektif. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan untuk bersikap asertif
adalah
kemampuan
bersikap
tegas
dengan
maksud
untuk
mempertahankan hak-haknya, menolak permintaan-permintaan yang tidak
diinginkan tanpa melukai perasaan orang lain dan meminta bantuan saat diperlukan. d) Kemampuan memberikan dukungan emosional Menurut Buhrmester, ekspresi perasaan yang memperlihatkan adanya perhatian, simpati dan penghargaan terhadap orang lain. Dukungan emosional juga mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberikan perasaan nyaman kepada orang lain yang sedang dalam kondisi tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini erat hubungannya dengan kemampuan untuk memberikan afeksi dan empati (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003). Kemampuan memberi dukungan emosional sangat berguna untuk mengoptimalkan komunikasi interpersonal antar dua pribadi. Menurut Barker dan Lamle (dalam Nashori, 2008) dukungan emosional mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberi rasa nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut dalam keadaan tertekan dan bermasalah. Menurut Kartono dan Gulo (dalam Nashori, 2008) empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Perasaan ini akan diterima oleh orang lain sebagai sikap yang hangat, dan ini akan menjadi dasar yang penting bagi tumbuhnya sikap menolong. Orang yang memiliki kemampuan untuk berempati tinggi akan memiliki keinginan untuk menolong yang tinggi pula. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan memberikan dukungan emosional adalah kemampuan untuk mengekspresikan perasaan kepada orang lain melalui perhatian, simpati, empati dan penghargaan untuk
memberikan rasa nyaman ketika dalam kondisi tertekan dan mendapat masalah. e) Kemampuan mengatasi konflik Cara atau strategi untuk menyelesaikan adanya pertentangan dengan orang lain yang mungkin terjadi saat melakukan hubungan interpersonal. Walaupun konflik dapat merusak hubungan sosial tetapi ada cara-cara yang dapat digunakan untuk mengendalikan hal-hal tersebut. Konflik dapat disalurkan dan dibangun secara konstruktif sehingga meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi. Teknik-teknik pengendalian dan kemampuan verbal individu dapat
digunakan
sebagai
media
untuk
menangani
konflik
dan
mengarahkannya menuju akhir yang konstruktif (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003). Setiap hubungan antarpribadi mengandung unsur-unsur konflik atau perbedaan kepentingan. Oleh Johnson (dalam Nashori, 2008) dikatakan bahwa konflik merupakan situasi yang ditandai oleh adanya tindakan salah satu pihak yang menghalangi, menghambat, dan mengganggu tindakan pihak lain. Menurut Baron dan Byrne dalam situasi konflik terjadi empat kemungkinan yaitu memutuskan mengakhiri hubungan, mengharapkan keadaan membaik dengan sendirinya, menunggu masalah lebih memburuk, dan berusaha menyelesaikan permasalahan (dalam Nashori, 2008). Apabila melakukan hal yang terakhir ini, maka seseorang memiliki kemampuan mengatasi konflik. Termasuk kemampuan mengatasi konflik adalah menyambut atau merespons secara positif isyarat penyelesaian konflik yang disampaikan orang lain.
Sebaliknya, bila orang memilih mengakhiri hubungan, secara pasif mengharapkan kebaikan terjadi dengan sendirinya, dan menungggu konflik lebih memburuk maka hal itu menunjukkan kemampuan mengelola dan menyelesaikan konflik tidak dimiliki orang yang bersangkutan. Kemampuan mengatasi konflik itu diperlukan agar tidak merugikan suatu hubungan yang telah terjalin karena akan memberikan dampak yang negatif. Kemampuan mengatasi konflik ini meliputi sikap-sikap untuk menyusun suatu penyelesaian masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atas suatu masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan dalam mengatasi konflik adalah kemampuan seseorang untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dengan orang lain agar tidak memberikan dampak negatif terhadap hubungan telah terjalin dan dapat meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi dengan orang lain.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal Berbagai pandangan dan penelitian menunjukkan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat eksternal dan internal. Yang tergolong faktor-faktor eksternal (Nashori, 2008) yaitu: a) Kontak dengan orangtua Menurut Hetherington dan Parke (dalam Nashori, 2008) kontak anak dengan orangtua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak di antara mereka menjadikan anak belajar dari lingkungan
sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosialnya. Penelitian yang telah dilakukan oleh Salmah (2007) menyatakan bahwa kompetensi interpersonal pada remaja dapat dipengaruhi oleh pola asuh orangtua, dalam hal ini yaitu pola asuh yang mengarah pada gaya demokratis. Pola asuh pada penelitian tersebut mencakup keseluruhan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak, meliputi: cara pemberian aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritas dan perhatian serta tanggapan yang dilakukan untuk membentuk perilaku anak demi mencapai perkembangan yang maksimal. Pola hubungan antara anak dan orangtua mampu mempengaruhi bagian-bagian paling penting dari kompetensi interpersonal yang mulai terbentuk dalam awal hubungan yang pertama kali di dalam lingkungan keluarga. Kompetensi dan perilaku yang kelak akan diterapkan remaja dalam hubungan pertemanan hingga kemudian berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas merupakan apa yang telah mereka bentuk melalui hubungan awal mereka dengan orangtua. Di dalam keluarga terjadi pembentukan pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial yang lebih luas. b) Interaksi dengan teman sebaya Sebagaimana diungkapkan oleh Kramer dan Gottman (dalam Nashori, 2008) individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah membina
hubungan interpersonal. Lebih khusus, Nurrahmati (dalam Nashori, 2008) menemukan bahwa ada hubungan antara gaya kelekatan aman dengan teman sebaya dan kompetensi interpersonal. Remaja yang memiliki gaya kelekatan aman, yang ditandai oleh adanya model mental yang positif, meyakini tersedianya respons yang positif dari lingkungannya. Dari sana berkembanglah kompetensi interpersonal. c) Aktivitas dan partisipasi sosial Partisipasi
sosial
juga
memiliki
pengaruh
terhadap
kompetensi
interpersonal. Menurut Hurlock (2000) semakin besar partisipasi sosial semakin besar kompetensi interpersonalnya. Selain itu, diketahui perlakuan khusus dapat meningkatkan kompetensi interpersonal, seperti pelatihan asertivitas, pelatihan inisiatif sosial, dan seterusnya. Pandangan Hurlock di atas diperkuat oleh hasil penelitian Danardono (dalam Nashori, 2008). Danardono menunjukkan bahwa mahasiswa yang aktif dalam kegiatan kepecintaanalaman memiliki perbedaan yang signifikan dengan mahasiswa yang tidak aktif dalam kepecintaanalam, khususnya dalam hal kompetensi interpersonal. Mahasiswa pecinta alam lebih tinggi kompetensi interpersonalnya dibanding mahasiswa bukan pecinta alam. Kompetensi interpersonal juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat internal, disamping faktor-faktor yang bersifat eksternal sebagaimana telah dijelaskan (dalam Nashori, 2008) yaitu:
a) Jenis kelamin Diungkapkan oleh Nashori (2008) bahwa anak-anak dan remaja laki-laki terbukti memiliki tingkat gerakan-gerakan yang aktif lebih tinggi dibanding anak-anak perempuan. Pada gilirannya nanti gerakan-gerakan yang aktif itu menjadi modal untuk berinisiatif melakukan hubungan sosial-interpersonal, bersikap asertif dan aktif menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapi. b) Kematangan Selain itu kematangan juga mempengaruhi kompetensi interpersonal. Dibutuhkan kematangan tertentu, sekurang-kurangnya pada usia remaja, agar seseorang memiliki kompetensi interpersonal secara baik. Nashori (2000) menemukan bahwa kematangan beragama berkorelasi positif dengan kompetensi interpersonal. Orang yang matang dalam beragama memiliki kesabaran terhadap perilaku orang
lain dan tidak
mengadili atau
menghukumnya. c) Tipe kepribadian Kepribadian juga diduga berpengaruh, karena sebagaimana diungkapkan oleh Adler, ada individu yang berorientasi ke dalam (intrinsik) dan ada pula yang berorientasi ke luar (ekstrinsik). Individu yang berorientasi ke luar banyak berusaha untuk berkomunikasi dengan orang lain. Salah satu wujud kepribadian individu adalah konsep diri. Konsep diri dapat diartikan sebagai pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Nashori (2000) menemukan bahwa konsep diri berkorelasi dengan kompetensi
interpersonal. Orang yang konsep dirinya positif merasa dirinya setara dengan orang lain dan peka terhadap kebutuhan orang lain (dalam Nashori, 2008).
4. Manfaat Kompetensi Interpersonal Menurut Amelia (2008) bahwa manfaat yang diperoleh seseorang dalam melakukan hubungan interpersonal antara lain: a) Menghindari kesepian b) Menstimulasi rasa aman c) Memahami diri dan meningkatkan kebehargaan diri d) Meningkatkan rasa nyaman dan meminimalisir rasa sakit Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk dapat berinteraksi maupun membina hubungan yang hangat dan nyaman melalui komunikasi yang efektif dan efisien dengan individu lainnya. Aspek-aspek kompetensi interpersonal yaitu kemampuan berinisiatif, kemampuan untuk bersikap terbuka (self-disclosure), kemampuan untuk bersikap asertif dan kemampuan mengatasi konflik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal yaitu faktor yang bersifat eksternal dan internal. Faktor yang bersifat eksternal yaitu kontak dengan orangtua, interaksi dengan teman sebaya, aktivitas dan partisipasi sosial. Faktor yang bersifat internal yaitu jenis kelamin, kematangan dan tipe kepribadian. Manfaat kompetensi interpersonal yaitu menghindari
kesepian,
menstimulasi
rasa
aman,
memahami
diri
dan
meningkatkan keberhargaan diri, meningkatkan rasa nyaman dan meminimalisir rasa sakit.
B. PERKEMBANGAN REMAJA DI PANTI ASUHAN Panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan pelayanan pengganti, atau perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial kepada anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa, sebagai insan yang akan turut serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional (Pusat Penelitian Kependudukan, LPPM UNS dengan UNICEF, 2009). Knudsen (2001) mengatakan bahwa panti asuhan yaitu lembaga sosial yang menampung anak-anak yang tidak memiliki orang tua, terpisah dari orangtuanya karena bencana alam atau kerusuhan, kemiskinan, atau kekerasan dalam rumah tangga. Panti asuhan memegang peranan penting bagi kesejahteraan sosial anak-anak yang tidak mempunyai keluarga lagi untuk mengasuh mereka. Penelitian Knudsen (2001) mengatakan bahwa ada peningkatan jumlah panti asuhan sejak tahun 1999 dan bertambah banyaknya anak yang dikirim ke panti asuhan. Hasil penelitian Bowlby (dalam Hartini, 2000) menyatakan bahwa perkembangan anak yang sehat secara fisik, psikologis dan sosial membutuhkan
suatu hubungan yang harmonis antara tiga unsur pokok yaitu: hubungan antara ibu dan anak, hubungan antara anak dan keluarga, hubungan antara anak dan lingkungan sosialnya. Selain itu, Margareth (dalam Hartini, 2000) dalam laporan hasil penelitiannya juga menyimpulkan bahwa perawatan anak di yayasan sangat tidak baik, karena anak dipandang sebagai makhluk biologis bukan sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial. Padahal selain pemenuhan kebutuhan fisiologis, anak membutuhkan, kasih sayang bagi perkembangan psikis yang sehat seperti halnya vitamin dan protein bagi perkembangan biologisnya. Hasil penelitian Hartini (2000) menunjukkan gambaran psikologis anak yang tinggal di panti asuhan seperti, misal: terbentuknya kepribadian anak yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan sehingga anak akan sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Disamping itu mereka menunjukkan perilaku negatif, takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka sendirian, menunjukkan rasa bermusuhan dan lebih egosentrisme. Hal ini dikarenakan ketidakseimbangan antara jumlah pengasuh dan anak asuh yang terlalu besar, maka hubungan individu hubungan individu secara pribadi dan hangat kurang memungkinkan untuk dijalin. Mengingat usia mereka yang relatif lebih mudah sehingga perubahan ke arah positif dari aspek kepribadiannya masih dimungkinkan. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa jumlah anak-anak yang terlantar semakin meningkat, sementara hanya sebagaian kecil dari mereka (kirakira 15%) yang mampu ditampung di panti asuhan, baik swasta maupun pemerintah. Realitas juga menunjukkan bahwa mereka yang beruntung (diasuh di
panti asuhan) saja menunjukkan perkembangan kepribadian dan penyesuaian sosial yang kurang memuaskan, dapat dibayangkan keadaan yang lebih memprihatinkan lagi pada anak-anak terlantar yang belum terjangkau penanganan dari pihak yang berwenang. Sementara masyarakat sering memberi cap negatif pada anak-anak panti asuhan tanpa melihat lebih jauh, kenapa atau bagaimana halhal negatif pada anak-anak itu bisa terjadi. Oleh karenanya, dengan mendasarkan diri pada persepsi masyarakat dan pendapat beberapa ahli bahwa dalam kehidupan di panti asuhan, anak-anak tidak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi perkembangan psikologisnya (Referensi kesehatan, 2008). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan remaja di panti asuhan tidak begitu baik karena anak-anak di panti asuhan yang diperhatikan hanya kebutuhan biologis dan mengabaikan kebutuhan psikologisnya dan juga anak-anak tidak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi perkembangan psikologisnya.
C. KELUARGA DAN PERKEMBANGAN REMAJA Menurut Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1994 Bab I ayat 1 keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Sementara itu, menurut Tirtaraharja (1995) keluarga diartikan sebagai kelompok primer yang terdiri atas sejumlah orang, karena hubungan sedarah. Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga merupakan lingkungan primer bagi individu, sejak lahir sampai ia
meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antarmanusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya (Sarwono, 2000). Menurut Brown (dalam Yusuf, 2004) keluarga dapat diartikan dalam dua macam yaitu: a) Dalam arti luas Keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan “marga”. b) Dalam arti sempit Keluarga meliputi orangtua dan anak Bentuk atau Pola Keluarga. Menurut Yusuf (2004), terdapat dua pola keluarga yaitu a) Keluarga inti (nuclear family) Keluarga yang terdiri dari suami/istri, istri/ibu dan anak-anak yang lahir dari pernikahan antara keduanya dan yang belum berkeluarga termasuk anak tiri jika ada. b) Keluarga luas (extended family) Keluarga yang keanggotaannya tidak hanya meliputi suami istri dan anak-anak yang belum menikah tetapi juga termasuk kerabat lain yang biasanya tinggal dalam sebuah rumah tangga bersama, seperti mertua, adik, kakak ipar dan yang lainnya yang tinggal menumpang. Keluarga sebagai tempat pertama dan utama di mana anak lahir, dibesarkan, berkembang dan mengalami ”proses menjadi”, pada dasarnya
memikul beragam fungsi. Selama masa bayi dan kanak-kanak, fungsi-fungsi dan tanggung jawab keluarga yang utama adalah mengasuh/memelihara, melindungi, mendidik dan sosialisasi. Seiring dengan terjadinya perubahan progressif pada remaja, maka bergeser pula fungsi-fungsi keluarga itu sebagai dampak penyesuaian terhadap perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan anak. Sementara fungsi-fungsi di atas masih sangat penting sepanjang usia remaja namun terjadi pergeseran kebutuhan di sana. Remaja lebih membutuhkan dukungan (support) daripada pengasuhan (nurturance), bimbingan (guidance) daripada peelindungan (protection) dan pengarahan (direction) daripada socialization (dalam Barus, 2003). Hubungan orangtua dan remaja serta peran yang dimainkan orangtua dalam perkembangan remaja merupakan aspek-aspek yang penting dalam telaah psikologi. Piaget (dalam Hurlock, 2000) menyebutkan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah masa di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Dalam hubungan itu, remaja mengharapkan orangtuanya menaruh perhatian dan menolong, memberikan kebutuhan-kebutuhan akan komunikasi, cinta kasih, dukungan, penerimaan, kepercayaan, kemandirian, bimbingan dan keteladanan. Harapan-harapan remaja itu kadang sulit dipenuhi karena kebersamaan dengan itu sering terjadi ketegangan antara remaja dan orangtuanya yang menimbulkan kasulitan-kesulitan bagi kedua belah pihak (Rice dalam Barus, 2003).
Banyak penelitian menyangkut generation gap menunjukkan bahwa meskipun beberapa remaja dan orangtua terlibat dalam masalah-masalah interpersonal yang serius, sebagian besar remaja menyatakan masih merasa akrab dengan orangtua mereka, menghormati penilaian-penilaian orangtua mereka, merasa bahwa orangtua mencintai dan merawat mereka dan tetap menghormati orangtua sebagai individu (Steinberg dalam Barus, 2003). Dalam hal nilai-nilai dan sikap, remaja dan orangtua mereka tidak terlalu larut dalam pertentangan itu. Remaja dan orangtua mereka memiliki keyakinan-keyakinan yang sama menyangkut pentingnya kerja keras tentang ambisi-ambisi pendidikan dan pekerjaan juga tentang kualitas-kualitas dan sifat-sifat kepribadian yang mereka anggap penting dan diinginkan (Conger dalam Barus, 2003). Argyle dan Henderson (dalam Barus, 2003) mengatakan bahwa dukungan pengasuhan yang positif terkait dengan eratnya hubungan antara remaja dan orangtua/saudara-saudaranya, tingginya harga diri, keberhasilan akademik dan kemajuan perkembangan moral. Sebaliknya, ketiadaan dukungan pengasuhan akan mengakibatkan rendahnya harga diri, prestasi sekolah yang buruk, perilaku yang impulsive, penyesuaian sosial yang jelek, perilaku anti sosial atau kenakalan (Popkin dalam Barus, 2003). Keutuhan orangtua dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu anak untuk mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Keluarga dikatakan utuh apabila disamping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama oleh anak-anaknya. Keutuhan dan keseimbangan keluarga memberikan pengaruh positif dalam pribadi anak (Schohib, 1998).
Hurlock (2000) mengatakan bahwa dalam keluarga utuh, orangtua dapat mengembangkan kepribadian anak secara baik. Hal ini karena kedua orangtua banyak memberikan reinforcement positif kepada anak seperti mencintai, memperhatikan, mendukung serta mampu menjalin hubungan yang dekat dengan anaknya. Dengan begitu diharapkan tidak terjadi ketimpangan dalam salah satu perkembangannya. Sikap orangtua bisanya tercermin dalam beberapa perilaku seperti sebagai berikut: terlibat dengan anak, memperhatikan rencana dan cita-cita anak, menunjukkan kasih sayang, berdialog secara baik dengan anak, menerima anak sebagai individu (person), memberikan bimbingan dan semangat, tidak menuntut berlebihan dan merasa cemas jika anak sakit. Pengaruh keluarga utuh terhadap anak adalah anak merasa dicintai, dipahami, diberikan perasaan aman, adanya penerimaan dan kelekatan hubungan melalui intimacy, hubungan jangka panjang dan interaksi secara langsung. Juga adanya dukungan setiap saat dari anggota keluarga jika terjadi masa krisis psikologis dan distress emosional (Schohib, 1998). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan tempat dimana anak pertama kali bagaimana mempelajari interaksi sosial dan memperoleh kasih sayang dari orangtuanya dimana hal ini nantinya menentukan bagaimana anak berinteraksi dengan orang lain. Hubungan sosial dimulai sejak anak berada di lingkungan rumah bersama keluarganya. Orangtua memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan remaja.
D. PERBEDAAN KOMPETENSI INTERPERSONAL ANTARA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN DAN YANG TINGGAL DENGAN KELUARGA Komunikasi dapat berjalan karena adanya interaksi sosial antar manusia. Untuk dapat menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, dibutuhkan kecakapan yang memampukan individu untuk berhubungan dengan individu lain secara pribadi (Lukman, 2000). Kecakapan ini dikenal juga dengan istilah kompetensi interpersonal. Menurut Larasati (dalam Nashori, 2008) sekitar 73 persen komunikasi yang dilakukan manusia merupakan komunikasi interpersonal. Individu yang dapat melakukan komunikasi interpersonal secara efektif disebut memiliki kompetensi interpersonal. Golson (dalam Idrus, 2007) menyatakan bahwa bukan persoalan seseorang memiliki kecerdasan, juga bukan karena yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk mengelaborasi masalah dari persoalan yang dihadapi namun jika yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi kepada orang lain maka kemampuan-kemampuan tersebut menjadi tidak berguna, kompetensi interpersonal merupakan kunci bagi individu untuk mengkomunikasikan ide-ide cemerlangnya kepada orang lain. Lebih lanjut Golson menyatakan bahwa orang yang memiliki kemampuan sosial dan dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam waktu yang lama cenderung lebih berhasil dibanding dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan tersebut dan salah satu faktor yang banyak menentukan keberhasilan dalam menjalin komunikasi dengan orang lain adalah kompetensi interpersonal.
Hubungan interpersonal yang efektif seperti persahabatan, jika mereka memiliki kemampuan-kemampuan dalam membina hubungan interpersonal. Kemampuan tersebut secara khusus oleh Buhrmester dkk (1988) disebut sebagai kompetensi interpersonal. Menurut Spitzberg dan Cupach (dalam Almesa dkk, 2007) kompetensi interpersonal adalah kemampuan individu untuk melakukan komunikasi yang efektif. Kemampuan ini ditandai adanya karakteristikkarakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan yang memuaskan antarpribadi. Spitzberg dan Cupach juga mengemukakan bahwa individu yang memiliki kompetensi interpersonal yang baik memiliki pengetahuan mengenai perilaku nonverbal orang lain. Disamping itu, mereka juga dapat menyesuaikan komunikasi dengan konteks interaksi dan menyesuaikan dengan orang lain yang ada dalam interaksi tersebut. Pada masa remaja, individu berusaha untuk menarik perhatian orang lain, mendapatkan popularitas dan kasih sayang dari teman sebaya. Semua hal tersebut akan diperoleh apabila remaja mampu berinteraksi sosial karena remaja secara psikologis dan sosial berada dalam situasi peka dan kritis (Hurlock, 2000). Keterampilan interpersonal akan menunjukkan kemampuan remaja dalam berhubungan dengan orang lain. Semua kemampuan interpersonal akan membuat mereka lebih berhasil dalam berinteraksi dengan orang lain. Pada keterampilan komunikasi mencakupi keterampilan mendengarkan efektif, berbicara efektif dan menulis efektif. Termasuk pula di dalamnya mampu menampilkan penampilan fisik (model busana) yang sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya (William Kay dalam Agustiani, 2006).
Menurut Hetherington dan Parke (dalam Nashori, 2008) kontak anak dengan orangtua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak di antara mereka menjadikan anak belajar dari lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosialnya. Keluarga merupakan lingkungan primer bagi individu, sejak lahir sampai ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antarmanusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya (Sarwono, 2000). Ketika interaksi antara anak dan orangtua selalu diwarnai dengan sikap saling memberi dan menerima, mendengarkan dan didengarkan maka akan cenderung mengakibatkan kompetensi interpersonal yang adekuat pada anak terutama karena interaksinya diwarnai dengan kehangatan (Santrock, 2007). Hurlock (2000) mengatakan bahwa dalam keluarga utuh, orangtua dapat mengembangkan kepribadian anak secara baik. Hal ini karena kedua orangtua banyak memberikan reinforcement positif kepada anak seperti mencintai, memperhatikan, mendukung serta mampu menjalin hubungan yang dekat dengan anaknya. Dengan begitu diharapkan tidak terjadi ketimpangan dalam salah satu perkembangannya. Sikap orangtua bisanya tercermin dalam beberapa perilaku seperti berikut ini: terlibat dengan anak, memperhatikan rencana dan cita-cita anak, menunjukkan kasih sayang, berdialog secara baik dengan anak, menerima anak sebagai individu (person), memberikan bimbingan dan semangat, tidak menuntut berlebihan dan merasa cemas jika anak sakit. Keluarga dikatakan utuh
apabila disamping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama oleh anak-anaknya. Keutuhan dan keseimbangan keluarga memberikan pengaruh positif dalam pribadi anak (Schohib, 1998). Adanya kompetensi interpersonal ini membuat seseorang merasa mampu dan terampil untuk menjalin hubungan yang efektif dengan orang lain dan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam situasi hubungan antarpribadi. Sebaliknya, kurangnya kompetensi interpersonal tersebut dapat mengakibatkan ketidakmampuan dalam penyesuaian diri dan terganggunya kehidupan sosial seseorang. Mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan sosial yang lebih luas sebenarnya telah dimulai sejak seseorang memasuki periode remaja. Memasuki periode remaja, seseorang mulai mengurangi intensitasnya untuk berinteraksi dengan orangtua dan mulai menuju ke arah teman sebaya untuk membina hubungan yang lebih akrab (Leny & Tommy, 2006). Pada periode ini, kebutuhan dan keinginan untuk dapat berkomunikasi dan memperoleh teman yang banyak juga semakin meningkat. Remaja mulai membentuk kelompok sahabat yang memiliki minat, kesukaan dan nilai-nilai yang sama serta banyak menghabiskan waktu dalam kegiatan yang melibatkan banyak orang dan menginginkan kedekatan emosional dalam kelompoknya (Mastuti dalam Leny & Tommy, 2006). Kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh individu tak terkecuali para remaja yang tinggal di panti asuhan. Pentingnya peran orangtua bagi perkembangan kepribadian individu tentu saja tidak akan didapatkan oleh anakanak yang tinggal di panti asuhan. Anak-anak yang tinggal di panti asuhan sejak
kecilnya tentu saja tidak akan mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari pihak lembaga. Para perawat di panti asuhan memiliki keterbatasan untuk memperhatikan seluruh anak-anak dan para remaja yang tinggal di sana. Para perawat yang bekerja di panti asuhan mengalami kesulitan apabila harus memperhatikan setiap aspek perkembangan dari masing-masing anak dan remaja yang tinggal di sana secara adil. Perhatian yang bisa mereka berikan biasanya hanya sebatas perkembangan fisik, seperti mencukupi kebutuhan makan, pakaian dan keperluan sekolah (dalam Sudrajat, 2008). Di sisi lain dalam kehidupan anak selalu ada kebutuhan untuk dikasihi dan merasakan bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya. Pada kenyataannya tidak semua anak dapat memperoleh pemenuhan kebutuhan, misalnya anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Anakanak yang tinggal di panti asuhan adalah mereka yang tidak memiliki keluarga lagi atau juga bisa disebabkan karena orangtua yang bercerai atau sudah meninggal dunia. Hasil penelitian Hartini (2000) menunjukkan gambaran psikologis anak yang tinggal di panti asuhan seperti, misal: terbentuknya kepribadian anak yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan sehingga anak akan sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Disamping itu mereka menunjukkan perilaku negatif, takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka sendirian, menunjukkan rasa bermusuhan dan lebih egosentrisme. Groza (2011) mengatakan bahwa panti asuhan dapat berdampak terhadap perkembangan kognitif, emosi, sosial, dan fisik anak selama beberapa periode tertentu. Anak yang tinggal di panti
asuhan dapat mengalami masalah emosional dan perilaku, seperti agresif, perilaku antisosial, dan menyebabkan mereka kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai dunia luar. Remaja yang tinggal di panti asuhan biasanya kaku dalam berhubungan sosial dengan orang lain dan sebagian dari remaja mengalami kesulitan dalam menjalin interaksi sosial. Menurut Hurlock (2000) status sosial ekonomi yang rendah dianggap remaja sebagai salah satu faktor yang akan membuat mereka ditolak oleh lingkungan teman sebaya dan pada akhirnya mereka akan merasa minder dan tidak berharga. Salah satu akibat yang juga terjadi ketika remaja tidak mampu membina hubungan interpersonal yang memuaskan adalah perasaan kesepian serta perasaan tidak bahagia dan nyaman. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Buhrmester (1988) bahwa kurangnya kompetensi interpersonal akan memberikan ketidakpuasan dalam suatu hubungan yang akan mengakibatkan berkembanganya perasaan kesepian. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dalam kehidupan anak dan bagian terpenting dari jaringan sosial anak sekaligus sebagai lingkungan pertama anak selama tahuntahun pertama anak untuk memperoleh pengalaman sosial dini yang berperan penting dalam menentukan hubungan sosial di masa depan dan juga perilakunya terhadap orang lain. Interaksi antara anak dengan orangtua yang diwarnai dengan kehangatan akan mempengaruhi kompetensi interpersonal pada anak. Hal ini tidak didapatkan oleh anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Anak-anak yang tinggal di panti asuhan tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari
pihak panti asuhan karena pengasuh di panti asuhan memiliki keterbatasan untuk memperhatikan seluruh anak-anak yang ada di panti asuhan. Padahal perhatian, kebutuhan untuk dikasihi serta diakui keberadaannya sangat diperlukan oleh anakanak panti asuhan. Hal ini akan mempengaruhi anak dalam menjalin interaksi dengan orang lain. Oleh karena itu, ada tidaknya kontak interaksi antara anak dengan orangtua akan mempengaruhi terbentuknya kompetensi interpersonal pada anak.
E. HIPOTESA PENELITIAN Hipotesa penelitian yang diajukan adalah ada perbedaan kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga, dimana kompetensi interpersonal pada remaja yang tinggal dengan keluarga lebih tinggi daripada remaja yang tinggal di panti asuhan.