PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN MENENGAH DAN ALOKASI PENGELUARAN UNTUK PENDIDIKAN PADA KELUARGA PETANI DI KOTA BOGOR
WINDA DWI GUSTIANA
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluaga Petani di Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing skripsi dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2012
Winda Dwi Gustiana NIM. I24080016
ABSTRACT WINDA DWI GUSTIANA. Parent’s Perception of High School Education and Allocation of Expenditure for Education in Farmer Family at Bogor City. Supervised by ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI. Education is one of the most important factors to support human resources improvement. But, in fact, there was many children dropped out or did not continue to high school because of cost constrains. The purpose of research was to investigate parent’s perception of high school for children and allocation of expenditure for education in farmer family at urban area. This study used survey method in Kertamaya Village. Data collection was conducted in May 2012. The research involved 60 farm families who had children aged 6-18 years. The results showed that families agreed about sent their children to high school could improved human resources and developed children’s potential. However, families had a hunch that the cost of high school was too expensive, so they could be burdened. Therefore, the perception of high school education was classified as medium category. Family who had higher income per capita and education level had higher perception about high school education for children. Family who had higher income per capita and wife’s age had higher allocation of expenditure for education. Keywords : allocation of expenditure, farmer family, perception.
ABSTRAK WINDA DWI GUSTIANA. Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor. Dibimbing oleh ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia. Namun, pada kenyataanya masih banyak anak putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah karena kendala biaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di perkotaan. Penelitian ini menggunakan metode survei yang dilakukan di Kelurahan Kertamaya. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei 2012. Penelitian melibatkan 60 keluarga petani yang memiliki anak usia 6-18 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden menyetujui pendidikan menengah dapat meningkatkan kualitas dan mengembangkan potensi anak. Namun, responden beranggapan biaya pendidikan menengah terlalu mahal hingga memberatkan keluarga. Oleh karena itu, persepsi orang tua tentang pendidikan menengah termasuk dalam kategori sedang. Meningkatnya pendidikan istri dan pendapatan per kapita akan meningkatkan persepsi tentang pendidikan menengah. Meningkatnya pendapatan per kapita dan usia istri akan meningkatkan alokasi pengeluaran untuk pendidikan. Kata kunci : alokasi pengeluaran, keluarga petani, persepsi.
RINGKASAN WINDA DWI GUSTIANA. Persepsi Orang tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor. Dibimbing oleh ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI. Pertanian merupakan salah satu sektor yang turut berkontribusi dalam pembangunan Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu hak dasar bagi setiap warga negara, termasuk keluarga petani. Namun, mahalnya biaya pendidikan, khususnya pendidikan menengah membuat keluarga terbebani. Pada akhirnya banyak orang tua yang lebih mementingkan anak bekerja membantu perekonomian keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Kebutuhan pendidikan merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan cukup matang bagi setiap keluarga petani. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di Kota Bogor. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) mengetahui persepsi orang tua tentang pendidikan menengah pada keluarga petani, (2) menganalisis alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani, (3) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi orangtua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani. Desain penelitian adalah cross sectional study dengan metode survey. pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei 2012. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Populasi dalam penelitian ini ialah keluarga petani di Kelurahan Kertamaya. Metode penarikan contoh dilakukan dengan cara non probability sampling secara purposive dengan syarat keluarga petani yang memiliki anak usia 6-18 tahun. Jumlah contoh yang diambil sebanyak 60 keluarga. Responden dalam penelitian ini adalah istri petani. Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteristik keluarga, persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan yang diperoleh melalui wawancara menggunakan bantuan kuesioner. Data sekunder meliputi keadaan umum wilayah penelitian dan data kependudukan yang diperoleh dari instansi terkait yang meliputi Kantor Kelurahan Kertamaya, Kantor Kecamatan Bogor Selatan, dan Kantor Badan Pusat Statistik Kota Bogor. Pertanian merupakan pekerjaan utama seluruh kepala keluarga. Berdasarkan kepemilikan lahan pertanian, sebesar 85,0 persen keluarga tidak memiliki lahan pertanian sendiri yang meliputi petani penggarap (28,3%) dan buruh tani (56,7%). Sementara itu, sebesar 15,0 persen keluarga memiliki lahan pertanian sendiri atau berstatus sebagai petani pemilik. Rata-rata usia istri adalah 41,55 tahun dan tergolong pada usia dewasa madya (41-60 tahun). Begitu pula dengan usia suami dengan rata-rata 47,42 tahun yang tergolong kategori dewasa madya. Rata-rata pendidikan suami adalah 6,07 tahun dan istri 6,33 tahun. Hal tersebut menunjukan bahwa tingkat pendidikan suami dan istri masih rendah. Hampir separuh istri (45,0%) tidak bekerja atau hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Lebih dari separuh keluarga responden (55,0%) termasuk dalam keluarga sedang (5-7 orang). Tipe keluarga dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Sedangkan keluarga luas
merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain seperti nenek, kakek, menantu, cucu, dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukan bahwa lebih dari tiga perempat keluarga (76,7%) merupakan keluarga inti. Jumlah anak sekolah yang dimiliki oleh setiap keluarga petani berkisar antara satu sampai tiga orang. Lebih dari separuh keluarga contoh (61,7%) memiliki anak sekolah sebanyak satu orang. Rata-rata pendapatan per kapita adalah Rp310.105/bulan. Rata-rata pengeluaran per kapita adalah Rp309.600,32. Lebih dari separuh keluarga responden (61,7%) memiliki pendapatan per kapita di bawah Garis Kemiskinan Kota Bogor. Hal tersebut menunjukan bahwa keluarga petani masih banyak yang tergolong keluarga miskin. Persepsi responden tentang pendidikan menengah bagi anak termasuk dalam kategori sedang (58,4%). Hampir seluruh responden menyetujui bahwa pendidikan menengah merupakan hak setiap anak (98,3%), pendidikan menengah penting untuk meningkatkan kualitas anak (95,0%), pendidikan menengah penting sebagai gerbang pencapaian cita-cita (93,3%). Namun, masih ada responden yang beranggapan bahwa setelah tamat pendidikan dasar anak lebih diutamakan membantu perekonomian keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah (36,6%) karena kendala ekonomi. Selain itu, lebih dari tiga per empat responden beranggapan bahwa pendidikan menengah membutuhkan biaya yang besar (80,4%) sehingga memberatkan keluarga. Rataan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga responden sebesar Rp319.914,26 dengan presentase 23,9 persen dari total pengeluaran keluarga. Proporsi terbesar pada alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak terdapat pada pengeluaran untuk uang saku (37,2%). Terdapat perbedaan nyata antara persepsi responden yang memiliki anak putus sekolah dan yang tidak memiliki anak putus sekolah. Responden yang tidak memiliki anak putus sekolah memiliki persepsi tentang pendidikan menengah lebih baik dibandingkan dengan responden yang memiliki anak putus sekolah. Terdapat pernedaan nyata antara persepsi responden yang memiliki suami berstatus sebagai petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani. Responden yang memiliki suami berstatus sebagai petani pemilik memiliki persepsi pendidikan menengah yang lebih baik dibandingkan dengan responden yang memiliki suami berstatus sebagai petani penggarap dan buruh tani. Hasil uji regresi linear menunjukan beberapa faktor yang secara signifikan memengaruhi persepsi istri terhadap pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan. Persepsi tentang pendidikan menengah dipengaruhi oleh pendidikan istri dan pendapatan per kapita. Meningkatnya pendapatan per kapita dan semakin lama pendidikan yang ditempuh istri akan menaikan persepsi tentang pendidikan menengah bagi anak. Sementara itu, alokasi pengeluaran untuk pendidikan dipengaruhi oleh usia istri dan pendapatan per kapita. Semakin tinggi pendapatan per kapita dan usia istri, semakin banyak keluarga mengalokasikan dana untuk pendidikan anak. Kata kunci: alokasi pengeluaran, keluarga petani, persepsi.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian dan seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PENDIDIKAN MENENGAH DAN ALOKASI PENGELUARAN UNTUK PENDIDIKAN PADA KELUARGA PETANI DI KOTA BOGOR
WINDA DWI GUSTIANA
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi
:
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor
Nama
:
Winda Dwi Gustiana
NRP
:
I24080016
Disetujui,
Dr.Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si Dosen Pembimbing
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor” dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sains di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan doa, dukungan, bimbingan, motivasi, dan kerja sama dengan berbagai pihak. Sebagai bentuk penghargaan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing, mengarahkan, dan memberi saran serta dukungan selama penulis mengerjakan skripsi. 2. Dosen penguji ujian sidang skripsi: Dr. Ir. Lilik Noor Yulianti, M.FSA dan Alfiasari, Sp., M.si atas saran dan kritik yang telah diberikan kepada penulis untuk perbaikan skripsi. 3. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc, selaku Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen dan Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 4. Seluruh Staff Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen atas segala bantuannya 5. Orang tua yang saya sayangi, Bapak Uun Sumiarsa (alm), Ibu Nina Herlina yang selalu memberikan dukungan, doa, saran dan nasehat, serta kakak-kakak dan adikku, Teh Riesa, A Hendi, dan Angga Tri Yudha. 6. Rekan penelitian satu bimbingan, Annisa Saraswati, Dewi Sekar Mukhti, Rr. Dewi Suci C.I.A, Arina Zuliany, dan Iin Khoirunnisa atas saransarannya. 7. Pengurus Kelurahan Kertamaya yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di Kelurahan Kertamaya dan warga Kelurahan Kertamaya khususnya ibu-ibu/istri petani yang telah bersedia menjadi responden penelitian ini. 8. Yayang Ayesya, Amania Farah, Fasih Vidyastuti, R. Ifah Kholifah, Rafida Zakiman, Eka Istiqomah, Putri Wika Sari, Putri Widha Sari, Intan Islamia, Nisrinah Kharisma, dan Tri Sari Asih, atas persahabatan, keceriaan, dan semangatnya yang sangat memotivasi. 9. Teman-teman IKK 45 atas kebersamaan selama tiga tahun di departemen. 10. Untuk pihak-pihak yang belum penulis sebutkan, terima kasih atas kerja sama, bantuan, dan bimbingannya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi berbagai pihak.
Bogor, November 2012
Winda Dwi Gustiana
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………………….
xii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………….
xiii
PENDAHULUAN……………………………………………………………………
1
Latar Belakang…………………………………………………………………..
1
Perumusan Masalah……………………………………………......................
3
Tujuan Penelitian……………………………………………………………….
5
Kegunaan Penelitian………………………………………………..................
6
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………...
7
Keluarga Petani…………………………………………………………………
7
Peran Keluarga dalam Investasi Sumber Daya Manusia……....................
8
Pendidikan Menengah………………………………………………………….
9
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan……………………………………..
10
Alokasi Pengeluaran Uang untuk Pendidikan Anak…………………………
11
KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………………………….
13
METODE PENELITIAN…………………………………………………………….
15
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian……………………………………..
15
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh…………………………………….
15
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data……………………………………….
15
Pengolahan dan Analisa Data………………………………………………..
17
Definisi Operasional…………………………………………………………..
18
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………………….
21
Gambaran Umum Lokasi Penelitian………………………………………...
21
Karakteristik Usaha Tani……………………………………………………..
22
Karakteristik Keluarga………………………………………………………...
23
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah……………………..
33
Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan……..………………………………
38
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Pendidikan Menengah…....
40
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan Anak……………………………………………………...............
42
PEMBAHASAN……………………………………………………….....................
45
SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………………..
49
Simpulan……………………………………………………………………….
49
Saran……………………………………………………………………………
49
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….....................
51
LAMPIRAN………………………………………………………………………….
55
RIWAYAT HIDUP…………………………………………………….....................
60
XI
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Jenis data, variabel, skaala data, dan pengkategorian data…………..
16
2.
21
3.
Jumlah anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Kertamaya, tahun 2010……………………… Sebaran keluarga berdasarkan usia suami dan istri……………………
23
4.
Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri…..
24
5.
Sebaran keluarga berdasarkan status pekerjaan suami……………….
24
6.
Sebaran keluarga berdasarkan pekerjaan utama istri………………….
25
7.
Sebaran keluarga berdasarkan tipe keluarga…………………………..
25
8.
Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga…………….
26
9.
Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anak sekolah………………….
26
10.
Sebaran anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan tingkat pendidikan…………………………………………………………………..
27
Jumlah anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan pendapatan per kapita……………………………………………………………………
27
12.
Sebaran keluarga berdasarkan status kepemilikan rumah……………
27
13.
Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan aset keluarga……………
28
14.
Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan keluarga…………………
29
15.
Rataan pendapatan berdasarkan sumber pendapatan ……………….
30
16.
Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan per kapita………...…..…
30
17.
Sebaran keluarga berdasarkan dana bantuan yang diterima……..…..
31
18.
Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan tabungan untuk pendidikan…………………………………………………………………..
31
19.
Rata-rata alokasi pengeluaran keluarga dan per kapita………...……..
32
20.
Sebaran keluarga berdasarkan persepsi pendidikan menengah.........
33
21.
Sebaran persepsi orang tua tentang pendidikan menengah………….
34
22.
Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan menengah, kepemilikan anak SMA, rata-rata, dan standar deviasi…..
35
Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan menengah, status sekolah anak, rata-rata, dan standar deviasi……...
36
11.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan menengah, status bekerja istri, rata-rata, dan standar deviasi………
37
Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan menengah, status petani, rata-rata, dan standar deviasi……………..
38
Statistik deskriptif alokasi pengeluaran keluarga untuk pendidikan anak pada keluarga responden…………………………………………..
39
Rataan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak berdasarkan jenjang pendidikan dan rata-rata per anak ..........................................
40
Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi orang tua tentang pendidikan menengah .........................................................................
41
Faktor-faktor yang memengaruhi alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak…………………………………………………………...
42
Faktor-faktor yang memengaruhi alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak dalam persentase………………………………………
44
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Peta Kelurahan Kertamaya………………………………………………..
57
2.
Koefisien Korelasi antar Variabel Penelitian…………………………….
58
3.
Dokumentasi Penelitian……………………………………………………
59
XIII
PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang turut berkontribusi dalam pembangunan Indonesia. Pertanian memegang peranan untuk menyediakan bahan baku pangan maupun non pangan. Begitu pentingnya peran petani dalam negara agraris ini, namun, kesejahteraan keluarga petani masih kurang mendapat perhatian. Menurut Witrianto (2005), pada umumnya keluarga petani yang tinggal di daerah padat penduduk ataupun perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan yang dialami oleh petani merupakan kondisi nyata yang saat ini banyak terjadi. Tingkat produktivitas yang tidak menaik (atau bahkan turun) menyebabkan pendapatan rendah. Seseorang yang bermatapencaharian sebagai petani sangat tergantung kepada keadaan alam yang tak terduga. Banyak di antara petani, terutama buruh tani dan petani yang memiliki lahan sempit tidak dapat mencukupi atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya, terutama jika panen gagal akibat hama atau buruknya cuaca. Selain itu, para petani juga dihadapkan pada kendala panen di mana frekuensi panen tidak selalu sesuai harapan, hal tersebut menyebabkan petani mengalami penurunan penghasilan dan kendala ekonomi dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari termasuk untuk biaya pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu hak dasar bagi setiap warga negara. Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan, semakin mudah suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini karena telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan, dan teknologi oleh sumberdaya manusia sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakan pembangunan nasional (Sulistyatuti 2007). Pendidikan diharapkan dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia serta kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan yang ditempuh oleh anak merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antara ketiga lembaga tersebut. Pendidikan bagi anak petani merupakan salah satu bentuk pendidikan pada umumnya yang dirasakan oleh setiap manusia. Dalam hal ini, kebutuhan pendidikan merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan cukup matang bagi setiap keluarga petani.
2 Karakteristik keluarga merupakan faktor yang memengaruhi persepsi atau cara pandang keluarga, termasuk tentang pendidikan. Para petani lebih memilih pendidikan yang seperlunya dibanding pendidikan yang dijalani oleh masyarakat pada umumnya. Kebanyakan para petani lebih memilih pendidikan yang bersifat agama dan kemasyarakatan daripada pendidikan formal, karena dalam proses menempuh pendidikan formal, mereka terkendala berbagai masalah yang membuat anak petani kebanyakan mengalami putus sekolah karena masalah biaya (Barada 2008). Keluarga memegang peranan penting dalam proses peningkatan sumber daya manusia. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama untuk mendidik (Sadli 1993). Keadaan keluarga yang mendukung terbentuknya pertumbuhan dan perkembangan anak yang baik dapat menghasilkan manusia yang berkualitas. Keluarga yang berpendidikan setidaknya dapat mewujudkan tiga hal, yaitu:
Pertama,
dapat
membebaskan
dirinya
dari
kebodohan
dan
keterbelakangan. Kedua, mampu berpartisipasi dalam proses politik untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan ketiga, memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kemiskinan (Sulistyastuti 2008). Oleh karena itu, pendidikan adalah unsur penting bagi manusia untuk menjadi sejahtera dan mandiri. Melalui pendidikan, manusia memperoleh pengetahuan sehingga memiliki kesempatan lebih besar untuk meraih peluang kemajuan (Muchtar 2003). Pendidikan yang baik merupakan salah satu prasyarat terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, yang masih menjadi kendala ialah biaya pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan menengah yang memerlukan biaya lebih mahal dibandingkan jenjang pendidikan sebelumnya. Berbagai program kebijakan pemerintah telah dibuat untuk membantu biaya pendidikan, namun ironisnya pencapaian HDI (Human Development Index) di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan data United Nation for Development Programe (UNDP), Indeks Pembangunan Manusia atau HDI pada tahun 2011 Negara Indonesia menempati peringkat ke-124 dari 187 negara. Peringkat ini jauh di bawah negara tetangga yaitu Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia yang masing-masing secara berurutan menempati peringkat ke-26, 33, dan 61 (UNDP 2011). Hal ini menunjukan pendidikan di Indonesia masih relatif rendah dan tertinggal dari Negara lain. Selain itu, Suprianto1 mencatat hanya sekitar 23 persen siswa yang dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan 1
Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendikbud. www.edukasi.kompas.com (2011) Biaya Mahal Picu Anak Putus Sekolah.
3 menengah pada tahun 2011. Hal tersebut menunjukan bahwa sebanyak 77 persen siswa pendidikan dasar tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah. Hal ini dikarenakan kendala biaya dan persepsi orang tua yang lebih mementingkan anak bisa secepatnya mencari uang untuk membantu memenuhi kehidupan keluarga dibanding dengan melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang menengah. Dana bantuan dari pemerintah, seperti BOS (Bantuan Operasional Sekolah) hanya diberikan hingga sembilan tahun, yang artinya, pada saat orang tua dan anak ingin melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah, maka bantuan dana pemerintah sudah tidak diberikan lagi. Hal tersebut yang memberatkan keluarga petani, khususnya orang tua untuk membiayai sekolah anak hingga ke jenjang pendidikan menengah, ataupun jika anak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah, orangtua tidak dapat mencukupi kebutuhan yang menunjang pendidikan anak, hingga mengakibatkan anak putus sekolah. Pendidikan orang tua memengaruhi pandangan atau persepsi orangtua mengenai pentingnya anak untuk masa depan. Persepsi pentingnya pendidikan akan berpengaruh terhadap perilaku yang dicerminkan dalam alokasi pengeluaran untuk pendidikan (Jerrim dan Micklewright 2009). Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak merupakan cerminan investasi yang dilakukan oleh orangtua untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Bryant (1990) mengemukakan bahwa bentuk investasi dalam keluarga yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas anak dalam rangka membentuk sumber daya manusia yang berkualitas adalah waktu dan pendapatan. Perumusan Masalah Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar matapencaharian penduduknya ialah petani. Para petani pada umumnya bertempat tinggal di pedesaan dekat dengan lokasi lahan garapan mereka. Masyarakat petani yang tinggal di pedesaan pada umumnya memiliki lahan garapan yang cukup luas jika dibandingkan dengan lahan garapan petani di pinggir perkotaan. Masyarakat tani perkotaan semakin sulit untuk memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia karena maraknya pengalihan fungsi lahan pertanian. Jika melihat perkembangan pembangunan di perkotaan yang semakin pesat, tentunya semakin jarang pula ditemukan lahan pertanian seperti sawah dan
perkebunan.
Masyarakat
perkotaan
saat
ini
lebih
akrab
dengan
4 pemandangan perumahan, mall, dan tempat-tempat rekreasi. Meski masih dapat ditemui, namun keberadaan lahan pertanian sudah sangat sempit dan jarang ditemui. Semakin sempitnya lahan pertanian di perkotaan dapat dilihat dari salah satu kota di Jawa Barat, yaitu Kota Bogor, dengan luas total 11.850 hektar. Lahan pertanian sawah hanya terdapat 3,46 persen saja sedangkan lahan pertanian bukan sawah sekitar 10,74 persen (BPS 2010). Menurut data dari Dinas Pertanian tahun 2010 di Kota Bogor lahan yang berpotensi sebagai lahan pertanian ialah 1.315,621 hektar yang meliputi 1.006 hektar lahan sawah, dan 309,621 hektar lahan perkebunan. Sedangkan perumahan
penduduk,
dan
lainnya
yang
meliputi
(pusat
perbelanjaan,
infrastruktur industri, dan lahan kering bekas lahan pertanian yang akan dijadikan bangunan) masing-masing sebanyak 6.217,292 hektar dan 3.186,327 hektar. Lebih lanjut, Data Dinas Pertanian Kota Bogor menyatakan pada tahun 2011 lahan pertanian sawah dan perkebunan di Kota Bogor menghilang sekitar 300 hektar. Hal tersebut disebabkan adanya pembangunan perumahan dan juga para petani yang tidak lagi memanfaatkan lahannya. Perbandingan yang cukup besar antara luas lahan pertanian (lahan sawah dan perkebunan) dengan lahan nonpertanian akibat pengalihan fungsi lahan membuat masyarakat petani di perkotaan mengalami kendala ekonomi, bahkan kehilangan pekerjaannya, sehingga banyak dari mereka yang memutuskan untuk beralih profesi ke bidang lain, misalnya bidang industri atau memilih untuk berwirausaha. Namun, ada pula petani yang masih bertahan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tetap menjadi petani di pinggiran kota. Kecamatan Bogor Selatan adalah kecamatan yang memiliki jumlah keluarga pra sejahtera terbanyak, yaitu sebanyak 38,0 persen dari total penduduk yang tergolong ke dalam keluarga pra sejahtera di Kota Bogor (BPS 2010), yang diantaranya ialah masyarakat petani. Kecamatan ini memiliki lahan pertanian seluas 898,9 hektar dari luas total 2.926,7 hektar, dengan jumlah rumah tangga petani terbanyak di Kota Bogor, yaitu 240 rumah tangga dan memiliki kelompok tani terbanyak di Kota Bogor, yaitu 26 kelompok tani (BPS 2010). Kecamatan Bogor Selatan terdiri dari 16 kelurahan. Lima kelurahan di Kecamatan Bogor Selatan yaitu Lawanggintung, Batutulis, Bondongan, Empang dan Pakuan tidak memiliki lahan pertanian (sawah dan non-sawah) sama sekali, sementara sebelas kelurahan lainnya masih memiliki lahan pertanian (sawah dan
5 perkebunan) yang relatif sempit, yaitu 898,9 hektar tersebar di 11 kelurahan. Wijayanti (2003) mengemukakan bahwa keadaan petani di pinggiran kota keadaannya cukup memprihatinkan, hal tersebut salah satunya dikarenakan perubahan fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman penduduk ataupun infrastruktur industri, terutama di perkotaan yang menyebabkan menurunnya penghasilan petani. Menurunnya penghasilan petani berdampak pada rendahnya alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak. Hasil penelitian Permatasari (2010) menunjukan
bahwa
keluarga
yang
tergolong
miskin
masih
sedikit
mengalokasikan pengeluaran untuk pendidikan anak, baik karena kemampuan ekonomi yang rendah atau karena kesadaran yang masih kurang terhadap pendidikan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik pertanyaan pada penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana persepsi orang tua pada keluarga petani tentang pentingnya pendidikan menengah? 2. Bagaimana alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani? 3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani? Tujuan Umum Mengkaji persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di Kota Bogor. Tujuan Khusus 1. Mengetahui persepsi orang tua pada keluarga petani tentang pentingnya pendidikan menengah. 2. Mengetahui alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani. 3. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani.
6 Kegunaan penelitian Manfaat penelitian ini bagi beberapa pihak antara lain : a. Bagi peneliti, dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah didapatkan dan sebagai media pengembangan keilmuan sesuai bidang keilmuan peneliti. b. Bagi civitas akademika (IPB) dapat menyumbang referensi tentang kajian mengenai persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani. c. Bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Bogor ialah untuk memberikan informasi terkait persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada keluarga petani di wilayah penelitian. Selain itu, dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk memecahkan permasalahan dan pengambilan keputusan penentu kebijakan bagi masyarakat, khususnya masalah peningkatan kualitas sumber daya manusia.
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Petani Keluarga petani ialah keluarga yang kepala keluarga atau anggota keluarganya bermatapencaharian sebagai petani. Keluarga petani mendapatkan penghasilan utama dari kegiatan bertani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum, petani bertempat tinggal di pedesaan dan sebagian besar di antaranya di pinggiran kota, keluarga petani yang tinggal di daerah-daerah yang padat penduduk ataupun perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan (Witrianto 2005). Pendapatan yang diterima seorang petani dalam satu musim atau satu tahun berbeda dengan pendapatan yang diterima oleh petani lainnya. Bahkan petani yang mengusahakan pada lahan yang sama dari musim ke musim menerima pendapatan yang berbeda-beda pula dari tahun ke tahun. Berbagai faktor mempengaruhi pendapatan petani, namun ada beberapa faktor yang tidak dapat diubah, salah satunya yaitu kendala iklim. Kemampuan petani dalam mempengaruhi iklim sangat terbatas. Selain kendala iklim, luas lahan, efisiensi kerja, dan efisiensi produksi masih ada dalam batas kemampuan petani untuk mengubahnya (Soeharjo dan Patong 1977). Lebih lanjut, Soeharjo dan Patong membedakan status petani dalam usaha tani menjadi empat, yaitu : a. Petani pemilik Petani pemilik adalah petani yang memiliki tanah dan secara langsung mengusahakan dan menggarapnya. Semua faktor-faktor produksi, baik berupa tanah, peralatan, dan sarana produksi yang digunakan adalah milik petani sendiri. b. Petani penyewa Petani penyewa adalah petani yang mengusahakan tanah orang lain, dengan cara menyewa karena tidak memiliki tanah sendiri. Besarnya sewa dapat berbentuk produksi fisik atau sejumlah uang yang sudah ditentukan sebelum penggarapan dimulai. Dalam sistem sewa, resiko usaha tani hanya ditanggung oleh penyewa. Pemilik tanah hanya menerima sewa tanahnya tanpa dipengaruhi oleh resiko usaha taninya. c. Petani penggarap Petani penyakap adalah petani yang mengusahakan tanah orang lain dengan sistem bagi hasil. Resiko usaha tani ditanggung bersama dengan pemilik tanah dan penyakap dalam sistem bagi hasil. Besar bagi hasil tidak sama untuk
8 setiap daerah. Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerahnya masingmasing. d. Buruh tani Buruh tani adalah orang yang bekerja untuk sawah orang lain, yang nantinya akan memperoleh upah dari pemilik sawah. Hidupnya sangat bergantung pada pemilik sawah yang mempekerjakannya. Peran Keluarga dalam Investasi Sumber Daya Manusia Keluarga berperan penting untuk menentukan investasi sumberdaya manusia. Undang-undang No. 10 tahun 1992, mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami, isteri, dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Mead (1949) diacu dalam Guhardja, et. al (1992) mendefinisikan keluarga sebagai dasar dari masyarakat yang berfungsi mengantarkan sejarah kebudayaan, menanamkan sistem nilai yang dianut, dan melaksanakan sosialisasi pada generasi penerus untuk menjadi manusia dan warga masyarakat yang efektif dan produktif. Sehingga dapat terbentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Peran keluarga diterapkan berdasarkan teori struktural fungsional yang terlihat dalam struktur dan aturan yang diterapkan. Struktur dan fungsi yang terbentuk dalam keluarga tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai sosial yang melandasi sistem masyarakat. Struktural fungsional berpegang bahwa sebuah struktur keluarga membentuk kemampuannya untuk berfungsi secara efektif dan bahwa sebuah keluarga inti tersusun dari seorang suami pencari nafkah dan wanita ibu rumah tangga adalah yang paling cocok untuk memenuhi kebutuhan anggota dan ekonomi industry baru (Parson dan Bales 1955, diacu dalam Hill 2006). Megawangi (1999) menyatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kebingungan peran. Menurut Megawangi (1993) fungsi penting keluarga adalah menjadi fungsi penerus nilai, karena lingkungan keluargalah yang pertama mempersiapkan anggotanya untuk dapat berprilaku sesuai dengan budaya dan harapan di mana mereka berada.
9 Pendidikan Menengah Pendidikan adalah salah satu aspek penting untuk meningkatkan mutu kehidupan seseorang yang akan berlanjut pada pembangunan suatu bangsa ke arah yang lebih baik. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 11 menyebutkan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Selanjutnya, bagian kedua pasal 17 tentang Pendidikan Dasar Ayat 1-2 menyebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lainnya yang sederajat. Pada bagian ketiga pasal 18 tentang Pendidikan Menengah Ayat 1-3 menyebutkan bahwa pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Beberapa jenis pendidikan menengah mempersiapkan seseorang memiliki keterampilan tertentu untuk dipersiapkan langsung ke lapangan kerja, bentukbentuk sekolah menengah ialah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), dan Sekolah Kejuruan seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat. Dalam UndangUndang No. 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab V pasal 15 Ayat 1 menyebutkan bahwa Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mangadakan hubungan timbal balik dengan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pendidikan menengah diselenggarakan untuk mengembangkan potensi individu yang telah ada sebelumnya. Pendidikan menengah mengarahkan siswa untuk menghadapi tantangan yang lebih besar guna meningkatkan kemampuan individu, baik untuk persiapan bekerja, maupun untuk meningkatkan status sosial dalam masyarakat. Namun demikian, kendala biaya merupakan masalah yang kerap kali terjadi pada keluarga untuk memutuskan apakah akan melanjutkan sekolah anak hingga jenjang menengah atau tidak. Hasil penelitian Rout (2008) dalam Journal of Health Management mengemukakan bahwa biaya untuk pendidikan dasar tidak terlalu menimbulkan beban keuangan bagi keluarga,
10 sekalipun keluarga tersebut tergolong keluarga miskin, namun mahalnya biaya pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dapat membebani keluarga lebih besar daripada pendidikan dasar. Hal tersebut dapat dilihat pula dari hasil penelitian Septiana (2010) tentang Remaja Putus Sekolah usia SMA di Provinsi Jawa Timur yang memperlihatkan hasil tingginya angka putus sekolah di lokasi penelitian yang diakibatkan beberapa faktor yaitu biaya, lokasi tempat tinggal, besar keluarga, jenis kelamin, dan pendidikan kepala keluarga. Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Salah satu faktor yang sangat penting dalam memengaruhi kualitas hidup individu dalam keluarga ialah pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis pendidikan yang pernah dialami atau lamanya mengikuti pendidikan formal atau non-formal. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991) tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan memengaruhi dan membentuk cara, pola, dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadiannya yang semua itu merupakan bagian integral sebagai bekal dalam berkomunikasi. Persepsi merupakan suatu proses meningterpretasikan rangsanganrangsangan yang diterima menjadi suatu gambaran yang berarti dan lengkap tentang dunianya (Schiffman dan Kanuk 2000). Sriyani, Muflikhati, dan Fatchiya (2006) dalam penelitiannya mengenai persepsi nelayan tentang pendidikan formal di Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa persepsi nelayan tentang pendidikan formal dapat diperoleh dari lima variabel seperti: arti penting sekolah, manfaat sekolah, manfaat sekolah tinggi, biaya pendidikan dan peningkatan status sosial melalui pendidikan formal. Lebih lanjut penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat persepsi yang tinggi terhadap pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena responden menganggap pendidikan penting bagi kehidupan anakanaknya kelak, karena dengan sekolah maka seseorang akan lebih dihormati oleh masyarakat dan mampu mendapatkan kehidupan yang baik. Persepsi pentingnya pendidikan dipengaruhi pula oleh tingkat pendidikan orangtua. Suryawati (2002) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa orangtua masih ragu-ragu untuk menyekolahkan anak-anaknya karena sebagian besar orangtua tidak pernah duduk di bangku sekolah atau tidak selesai sekolahnya, orangtua dengan pendidikan yang rendah berpandangan sempit terhadap
pendidikan
dan
lebih
mengutamakan
melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
anak
bekerja
daripada
11 Hasil penelitian Permatasari (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua contoh memiliki persepsi yang tinggi terhadap tingkat kepentingan pendidikan, memiliki tingkat pendapatan keluarga dan pendidikan orangtua yang tinggi. Sementara itu Barada (2008) menganalisis persepsi orangtua terhadap pendidikan anak pada masyarakat petani di Kabupaten Banjar. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kebanyakan petani lebih memilih pendidikan yang bersifat agama dan kemasyarakatan daripada pendidikan formal, karena dalam proses menempuh pendidikan formal mereka terkendala berbagai masalah yang membuat anak petani kebanyakan mengalami putus sekolah karena masalah biaya, pendidikan orangtua pun berpengaruh terhadap persepsinya tentang pentingnya pendidikan bagi anak. Alokasi Pengeluaran Uang untuk Pendidikan Anak Manusia berinvestasi dengan cara yang beranekaragam. Investasi pun memiliki bentuk yang bermacam-macam. Investasi berupa pendidikan adalah salah satu investasi yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya keluarga. Bryant (1990) menyatakan bahwa bentuk investasi dalam keluarga yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas anak dalam rangka pembentukan Sumberdaya Manusia yang berkualitas adalah waktu dan pendapatan. Hartoyo (1998) mengemukakan bahwa Investasi orang tua dalam bentuk uang adalah semua pendapatan keluarga yang digunakan untuk kebutuhan anak dalam rangka meningkatkan kualitas anak. Investasi uang pada anak digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pangan. Menurut Bryant dan Zick (2006) investasi pada anak terdiri dari dua komponen, yaitu nilai uang dan jasa (makanan, pakaian, rumah, transportasi, pendidikan, dan perawatan kesehatan) dan nilai waktu (seperti waktu yang dihabiskan orangtua, khususnya ibu untuk membesarkan anak baik melalui perawatan ataupun pemeliharaan). Alokasi pengeluaran untuk pendidikan merupakan salah satu bentuk cermin investasi untuk meningkatkan kualitas sumberdaya keluarga. Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak meliputi: SPP, uang untuk membeli buku sekolah, pakaian seragam, uang BP3, dan lain-lain (Syarief 1997). Suryawati (2002) dalam hasil penelitiannya menunjuakan variabelvariabel yang memengaruhi alokasi pengeluaran keluarga untuk pendidikan anak adalah besar keluarga, jumlah anak sekolah, tingkat pendidikan ibu dan tingkat pendidikan ayah. Glinskaya (2005) dalam Journal of Developing Societies yang
12 meneliti
tentang
alokasi
pengeluaran
untuk
pendidikan
dan
kesehatan
menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan orang tua dengan alokasi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan keluarga, orang tua yang pendidikannya tinggi, semakin perhatian pula terhadap pendidikan dan kesehatan anggota keluarganya dibandingkan yang berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya, cara berpikir, cara pandang, bahkan persepsi terhadap suatu masalah (Sumarwan 2004). Keluarga
dengan
jumlah
anggota
keluarga
yang
banyak
akan
menurunkan proporsi pengeluaran untuk pendidikan. Menurut Tjokrowinoto (1984) keluarga dengan jumlah anak terlalu banyak menyebabkan pendidikan dan pengasuhan anak menjadi terlantar. Hal tersebut dikarenakan penggunaan uang yang dimiliki keluarga telah habis untuk pemenuhan kebutuhan seluruh anggota keluarga, sehingga pengeluaran untuk pendidikan anak berkurang.
KERANGKA PEMIKIRAN Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil yang memiliki peranan penting dalam membentuk dan membina sumber daya manusia yang berkualitas, begitu pula pada keluarga petani di perkotaan. Seperti pada keluarga lainnya, keluarga petani melakukan investasi untuk meningkatkan kualitas sumberdaya keluarga. Salah satu bentuk investasi yang dilakukan keluarga petani ialah investasi pendidikan. Pendidikan terdiri dari tiga jenjang, yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan menengah merupakan lanjutan
dari
pendidikan
dasar.
Pendidikan
menengah
sangat
penting
dilaksanakan sebagai sarana pengembangan potensi anak. Namun, dalam pelaksanaannya, pendidikan menengah membutuhkan biaya yang mahal dan memberatkan keluarga, sehingga hal tersebut akan memengaruhi persepsi pentingnya pendidikan menengah. Persepsi pentingnya pendidikan menengah bagi anak dapat dipengaruhi oleh karakteristik keluarga seperti jumlah anggota keluarga, usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua dan pendapatan per kapita. Persepsi pentingnya pendidikan akan memengaruhi perilaku investasi keluarga dalam hal pendidikan yang tercermin dalam alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak. Dana pendidikan yang dikeluarkan oleh orang tua untuk pendidikan anak dipengaruhi oleh karakteristik keluarga dan persepsi orang tua tentang pendidikan. Orang tua dengan persepsi yang baik tentang pentingnya pendidikan bagi anak akan lebih memerhatikan kebutuhan anak-anaknya dalam hal pendidikan dengan memenuhi biaya pendidikan dan menyediakan fasilitasfasilitas pendukung yang memadai. Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak merupakan salah satu bentuk investasi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas anak sehingga dapat meningkatkan sumber daya keluarga. Secara ringkas, hubungan antara variabel-variabel yang mempengaruhi alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak disajikan pada Gambar 1.
14
Karakteristik Keluarga ‐Usia suami dan istri ‐ Pendidikan suami dan istri ‐ Pekerjaan suami dan istri ‐ Besar keluarga ‐Jumlah anak sekolah ‐Tipe Keluarga ‐Jenjang pendidikan anak ‐ Pendapatan per kapita ‐Aset
Keterangan :
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah
Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan Anak
Kualitas Anak
= variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan pada Keluarga Petani di Kota Bogor
METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan metode survey di Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan data BPS Kota Bogor tahun 2010, karena Kelurahan Kertamaya memiliki jumlah rumah tangga petani terbanyak di Kecamatan Bogor Selatan. Waktu pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei 2012. Contoh dan Metode Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani yang memiliki anak usia 6-18 tahun di Kelurahan Kertamaya. Metode penarikan contoh dilakukan dengan cara non probability sampling dengan contoh sebanyak 60 keluarga. Populasi keluarga petani diketahui yaitu sebanyak 172 keluarga, namun tidak tersedia data keluarga petani yang memiliki anak usia 6-18 tahun. Sehingga contoh diambil secara purposive sesuai dengan kriteria penelitian dan yang bersedia diwawancarai. Responden berasal dari 5 RW yang memiliki jumlah keluarga petani terbanyak, yaitu RW 1, 2, 3, 4, dan 8. Responden penelitian ini adalah ibu/istri dari keluarga petani. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer pada penelitian diambil dari contoh yang merupakan keluarga petani yang berada di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Dalam penelitian ini data primer diperoleh langsung dari contoh seperti karakteristik keluarga
petani,
persepsi
tentang
pendidikan
menengah,
dan
alokasi
pengeluaran untuk pendidikan anak yang dikumpulkan dengan teknik wawancara menggunakan alat bantu kuesioner sebagai panduan pertanyaan. Karakteristik keluarga petani terdiri dari usia suami istri, besar keluarga, tipe keluarga, jumlah anak sekolah, jenjang pendidikan anak, pendidikan suami istri, pekerjaan suami dan istri, jenjang pendidikan anak, dan aset. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan atau diolah oleh pihak lain, meliputi keadaan umum wilayah penelitian dan data kependudukan yang diperoleh dari instansi terkait seperti Kantor Kecamatan dan Badan Pusat Statistik Kota Bogor. Variabel yang diteliti dan kategori pengelompokannya dapat dilihat pada Tabel 1.
16 Tabel 1 Jenis data, variabel, skala data, dan pengkategorian data Variabel Data Primer 1. Karakteristik demografi keluarga Usia suami (tahun) Usia istri (tahun) Besar keluarga (orang) Tipe keluarga
Skala Data
Kategori
Rasio Rasio
[1] Dewasa awal (18-40 tahun) [2] Dewasa madya (41-60 tahun) [3] Dewasa akhir (>60 tahun) [1] Keluarga kecil (≤ 4 orang) [2] Keluarga sedang (5-7 orang) [3] Keluarga besar (>7 orang) [1] Keluarga inti (nuclear family) [2] Keluarga luas (extended family) [1] Satu orang [3] Tiga orang [2] Dua orang [4] Empat orang
Rasio Nominal
Jumlah anak sekolah (orang)
Rasio
2. Karakteristik sosial ekonomi keluarga Pendidikan suami (tahun) Pendidikan istri (tahun)
Rasio Rasio
Status usaha petani
Nominal
Pekerjaan istri
Nominal
Pendapatan keluarga (rupiah)
Rasio
Pendapatan perkapita
Rasio
3. Persepsi tentang pendidikan menengah (skor)
Rasio
[0] Tidak sekolah (0 tahun) [1] SD/sederajat (1-6 tahun) [2] SMP/sederajat (7-9 tahun) [3] SMA/sederajat (10-12 tahun) [1] Buruh tani [2] Petani penggarap [3] Petani pemilik [1] Petani [2] Pedagang/wirausaha [3] Ibu rumah tangga [4] Buruh [5] PNS [6] Jasa [7] Lainnya [1]
61)
4.
Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak (rupiah dan persentase) Data Sekunder 1. Gambaran umum lokasi penelitian 2. Data kependudukan
Rasio
17 Pengukuran Data Kuesioner persepsi orang tua tentang pendidikan menengah yang digunakan untuk mengukur persepsi orang tua terhadap pendidikan menengah (SMA) diadopsi dari Puspitawati (2009), yang dimodifikasi oleh peneliti. Kuesioner persepsi orangtua tentang pendidikan menengah memiliki 20 pertanyaan dan diukur menggunakan skala likert. Tiap pernyataan memiliki pilihan jawaban: sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju, dan sangat setuju. Pada pernyataan positif, skor (1) untuk jawaban sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3) setuju, (4) sangat setuju. Sebaliknya, pada pernyataan negatif, skor (1) untuk jawaban sangat setuju, (2) setuju, (3) tidak setuju, (4) sangat tidak setuju. Dalam pengukuran persepsi orangtua tentang pendidikan menengah skor total dijumlah, sehingga diperoleh skor total minimum yaitu 20, sedangkan skor total maksimum yaitu 80. Kemudian total skor dikelompokan menjadi tiga kategori berdasarkan interval, digunakan rumus :
Keterangan :
= Interval
Berdasarkan rumus di atas, diketahui besar interval kelas yang digunakan pada variabel persepsi orangtua tentang pendidikan menengah. Sehingga didapat tiga kategori persepsi orangtua tentang pendidikan menengah, yaitu: kurang (≤40), sedang (41-60), dan baik (≥61).
Pengolahan dan Analisis Data Data-data yang diperoleh terlebih dahulu diolah melalui tahapan editing, coding, scoring, entry, cleaning data, dan analisis data. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel for Windows 2007 dan dilanjutkan dengan analisis menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16 for windows. Selanjutnya untuk menjawab tujuan, data dianalisis menggunakan : 1.
Analisis deskriptif, digunakan untuk menggambarkan karakteristik keluarga, persepsi orangtua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan.
18 2.
Uji korelasi pearson, digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabelvariabel yang diteliti.
3.
Uji beda Independent sample t-test digunakan untuk membedakan persepsi pendidikan menengah antara ibu bekerja dan tidak bekerja, keluarga yang memiliki anak SMA dan tidak memiliki anak SMA, keluarga yang memiliki anak putus sekolah dan keluarga yang tidak memiliki anak putus sekolah.
4.
Uji beda anova digunakan untuk membedakan persepsi pendidikan menengah antara petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani.
5.
Uji regresi linear berganda, digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan, pendidikan orangtua, seperti usia orang tua, pendidikan, pekerjaan, besar keluarga, serta pendapatan keluarga. Berikut adalah model persamaan regresi linear : a. Rumus
yang
digunakan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
berpengaruh terhadap persepsi orang tua tentang pendidikan menengah : Y1= α+β1X1+β2X2+β3X3+β4X4+β5X5+β6X6+β7X7+e b. Rumus
yang
digunakan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan : Y2=α+β1X1+β2X2+β3X3+β4X4+β5X5+β6X6+β7X7+β8X8+e Keterangan : Y1 = persepsi orangtua tentang pendidikan menengah (skor) Y2 = alokasi pengeluaran untuk pendidikan (rupiah/anak/bulan) α = konstanta regresi β = koefisien regresi X1 = usia istri (tahun) X2 = pendidikan istri (tahun) X3 = pekerjaan istri ((0=tidak bekerja, 1=bekerja) X4 = status petani (1=buruh tani, 2=petani penggarap, 3=petani pemilik) X5 = jumlah anak sekolah (orang) X6 = besar keluarga (orang) X7 = pendapatan per kapita (rupiah/kapita/bulan) X8 = persepsi pendidikan menengah (skor) e = error Definisi Operasional Petani adalah orang yang memiliki pekerjaan utama sebagai petani Petani pemilik adalah petani yang memiliki lahan pertanian dan ikut mengelola lahannya secara langsung.
19 Petani penggarap adalah petani penyewa yang aktif mengelola lahan pertanian karena golongan ini mengerjakan usaha tani dari sejak persemaian, olah tanah, tanam, pemupukan, hingga panen. Petani penggarap juga bisa disebut petani pemaro atau bagi hasil. Buruh tani adalah orang yang bekerja sebagai petani dan bekerja untuk sawah orang lain, yang nantinya akan memperoleh upah dari pemilik sawah. Karakteristik keluarga adalah keadaan keluarga yang meliputi pendapatan keluarga, pendidikan, pekerjaan dan usia orang tua. Usia adalah tingkatan masa hidup seseorang yang dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu (1) dewasa awal (19-40 tahun); (2) usia pertengahan (4160 tahun); (3) lanjut usia (≥61 tahun). Pendidikan adalah lamanya bangku sekolah yang pernah dilalui orangtua. Tingkat pendidikan diklasifikasikan dalam tidak sekolah (0 tahun), Sekolah Dasar (1-6 tahun), Sekolah Menengah Pertama/sederajat (7-9 tahun), Sekolah Menengah Atas/sederajat (10-12 tahun). Pekerjaan adalah aktivitas produktif baik bersifat komersial maupun tidak, yang dilakukan oleh seseorang yang berumur 15 tahun ke atas sesuai kriteria BKKBN (1998), dan di mana sebagian besar waktu digunakan untuk bekerja dalam mendapatkan penghasilan. Besar keluarga adalah jumlah total dari anggota keluarga contoh yang terdiri dari suami, isteri, anak, orangtua, mertua, dan lainnya yang tinggal dalam satu rumah. Besar keluarga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah, yaitu: kecil (<4 orang), sedang (5-7 orang), besar (>7 orang). Jumlah anak sekolah adalah banyaknya anak sekolah yang dimiliki keluarga. Pendapatan per kapita adalah hasil pembagian total pendapatan keluarga per bulan dengan jumlah anggota keluarga. Pendapatan keluarga adalah total uang yang diterima keluarga dari seluruh anggota yang bekerja dan memperoleh upah baik melalui pekerjaan utama maupun sampingan yang dihitung perbulan dalam rupiah. Persepsi orangtua tentang pendidikan menengah adalah pandangan istri dalam menilai penting atau tidaknya pendidikan menengah. Alokasi
pengeluaran
untuk
Pendidikan
adalah
sejumlah
uang
yang
dikeluarkan oleh keluarga dalam waktu satubulan/tahun untuk biaya pendidikan anak.
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Kertamaya adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Bogor Selatan, Provinsi Jawa Barat. Luas Kelurahan Kertamaya ialah 360 ha/m2. Secara administratif Kelurahan Kertamaya terdiri dari 9 RW dan 25 RT (Lampiran 1). Lahan pertanian yang meliputi lahan sawah dan perkebunan seluas 30 ha/m2. Lahan pertanian tersebut terdiri dari berbagai macam jenis tanaman yaitu jagung, singkong, kacang panjang, padi, ubi kayu, tomat, mentimun, buncis, talas, pepaya, dengan komoditas unggulan yaitu singkong, pepaya, dan mentimun. Para petani biasanya menjual langsung ke konsumen, pasar, KUD, tengkulak, lumbang desa, dan pengecer. Dari data tahun 2011, jumlah penduduk Kelurahan Kertamaya adalah 4.958 orang yang terdiri dari 2.539 laki-laki dan 2.419 perempuan dengan 1.301 kepala keluarga. Kelurahan Kertamaya merupakan kelurahan dengan keluarga petani terbanyak di Kecamatan Bogor Selatan, yaitu sebanyak 172 keluarga. Sebanyak 16 keluarga memiliki lahan pertanian lebih dari satu hektar, keluarga yang memiliki lahan pertanian kurang dari satu hektar sebanyak 55 keluarga, sedangkan 101 keluarga tidak memiliki lahan pertanian. Jumlah buruh tani di Kelurahan Kertamaya sebanyak 412 orang yang terdiri dari 387 laki-laki dan 25 perempuan, sedangkan petani penggarap sebanyak 296 orang yang terdiri dari 284 laki-laki dan 12 perempuan. Jumlah anak sekolah dan putus sekolah di Kelurahan Kertamaya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah anak sekolah dan putus sekolah berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Kertamaya tahun 2010 Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar (SD)
Sekolah Laki-laki Perempuan 301 227
Putus Sekolah Laki-laki Perempuan 47 51
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
259
213
78
62
Sekolah Menengah Atas (SMA)
183
157
214
164
Sumber : Data Profil Kelurahan Kertamaya, tahun 2011
Fasilitas pendidikan yang terdapat di Keluarahan Kertamaya antara lain dua Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), satu TPA yang dikelola oleh kelurahan, satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang dikelola oleh pemerintah dan dua Sekolah Islam Ibtidyah. Tidak terdapat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di wilayah Kelurahan Kertamaya.
22 Karakteristik Usaha Tani Luas lahan yang dimiliki oleh keluarga dengan status petani pemilik berkisar antara 700 m2 hingga 2 hektar, begitu juga dengan luas lahan yang digarap oleh petani penggarap dan buruh tani. Petani yang berstatus sebagai buruh tani bekerja pada lahan pertanian yang cukup luas. Petani pemilik yang memiliki lahan pertanian di atas 1 hektar biasanya menggunakan jasa buruh tani untuk mengolah lahannya, dengan memberikan upah harian, mingguan, ataupun bulanan.
Upah
harian
buruh
tani
berkisar
antara
Rp15.000-Rp25.000.
Sedangkan petani penggarap mendapatkan penghasilan dengan kisaran yang tidak menentu, karena petani penggarap mendapatkan penghasilan setiap kali panen, tergantung jenis tanaman dan lama masa panennya. Petani pemilik pada umumnya sudah memiliki alat-alat pertanian modern, seperti seeder, air sprayer, traktor, mesin penumbuk, mesin penggiling, mesin penghancur biji, dan sebagainya. Sebagian dari pertani pemilik memiliki home industry, seperti pabrik pembuat keripik singkong dan pembuat obat-obatan tradisional. Jenis tanaman yang banyak ditanam oleh responden ialah singkong, pepaya, ubi, padi, ketimun, jagung, cabai, dan jahe. Petani pemilik maupun penggarap tanggap terhadap kendala cuaca yang menjadi penghalang berhasilnya panen. Kemarau panjang terkadang membuat petani harus mengganti tanaman yang ditanam. Petani pemilik dan penggarap di lokasi penelitian cukup kreatif dalam mengatasi kendala lahan pertanian yang semakin menyempit, dengan mengoptimalisasikan lahan yang ada, seperti mengembangkan tanaman hidroponik dan hortikultura. Petani pemilik dan penggarap biasanya giat mencari informasi tentang bibit yang baik, waktu panen yang tepat, dan ikut serta dalam pelatihan-pelatihan
pertanian
untuk
meningkatkan
pengetahuan
tentang
pertanian. Petani pemilik tidak setiap hari terlibat langsung dalam mengolah lahan pertaniannya, sehingga petani pemilik biasanya memiliki waktu lebih untuk bekerja di sektor lain ataupun mengurus industri rumahan mereka. Sementara itu, buruh tani di lokasi penelitian bekerja seharian penuh, sehingga buruh tani biasanya tidak memiliki waktu untuk mencari pekerjaan lain di samping pekerjaan utamanya.
23 Karakteristik Keluarga Usia Suami dan Istri Usia suami dan istri dalam penelitian ini mengacu pada Hurlock (1980), di mana usia dewasa dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: dewasa awal (1840 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa tua (>61 tahun). Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir tiga perempat keluarga (71,7%) memiliki suami pada usia dewasa madya. Berbeda dengan usia suami, lebih dari separuh keluarga (51,70%) memiliki istri pada usia dewasa muda. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa usia suami dan istri berada pada usia produktif. Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan usia suami dan istri Usia Dewasa muda (18-40 tahun) Dewasa madya (41-60 tahun) Dewasa tua (>60 tahun) Total Min-max (tahun) Rataan ± std. (tahun)
Suami n % 15 25,0 43 71,7 2 3,3 60 100,0 29 – 70 47,42 ± 9,42
Istri n 31 29 0 60
% 51,7 48,3 0,0 100,0 26 – 58 41,55 ± 8,46
Pendidikan Suami dan Istri Pendidikan menjadi salah satu ukuran kemampuan berpikir seseorang, pada umumnya semakin tinggi pendidikan, seseorang akan semakin baik dalam berpikir dan mengatasi permasalahan dalam hidupnya. Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang terdiri dari enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di sekolah menengah pertama. Sementara itu, pendidikan menengah merupakan kelanjutan pendidikan dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga (68,3%) memiliki suami dengan pendidikan Sekolah Dasar/sederajat. Sama halnya dengan suami, lebih dari separuh keluarga (65,0%) memiliki istri dengan pendidikan Sekolah Dasar/sederajat. Pendidikan suami maupun istri pada umumnya hanya sampai sekolah dasar saja. Terdapat 5,0 persen dan 1,7 persen istri yang sama sekali tidak pernah sekolah. Suami dan istri yang dapat menuntaskan hingga sekolah menengah atas hanya 5,0 persen dan 6,7 persen. Tidak ada suami dan istri dari keluarga contoh yang mencapai tingkat pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan suami dan istri masih tergolong rendah. Rata-rata lama pendidikan suami ialah 6,33 tahun, sedangkan rata-rata lama pendidikan istri ialah 6,07 tahun.
24 Tabel 4 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri Tingkat Pendidikan Tidak pernah sekolah (0 tahun) SD/Sederajat (1-6 tahun) SMP/Sederajat (7-9 tahun) SMA/Sederajat (10-12 tahun) Total Min-Max (tahun) Rataan + std. (tahun)
Suami n 3 41 13 3 60
% 5,0 68,3 21,7 5,0 100,0
0-12 6,33 + 2,772
Istri n 1 39 16 4 60
% 1,7 65,0 26,7 6,6 100,0
0-12 6,07 + 2,574
Pekerjaan Suami Melalui pendidikan yang tinggi diharapkan seorang kepala keluarga akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Suami adalah kepala keluarga yang bekerja sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga (primary breadwinner). Seluruh suami pada keluarga contoh memiliki pekerjaan sebagai petani. Status pekerjaan suami sebagai petani dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat lebih dari separuh keluarga (56,7%) memiliki suami dengan status pekerjaan sebagai buruh tani. Sisanya sebesar 28,3 persen dan 15,0 persen keluarga memiliki suami dengan status pekerjaan sebagai petani penggarap dan petani pemilik. Pekerjaan tambahan yang dimiliki suami selain bertani antara lain menjadi tukang kayu, mengurus industri rumahan, menjadi kuli panggul, kuli bangunan, supir “tembak”, ataupun dengan melakukan kegiatan pertanian lainnya di luar pekerjaan utama. Tabel 5 Sebaran keluarga berdasarkan status pekerjaan suami Status Pekerjaan Buruh tani Petani penggarap Petani pemilik Total
Jumlah (n) 34 17 9 60
Persen (%) 56,7 28,3 15,0 100,0
Pekerjaan Istri Pekerjaan istri merupakan pekerjaan utama yang dilakukan oleh istri. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pada umumnya seorang istri pun ikut membantu menambah penghasilan keluarga. Tabel 6 menunjukan bahwa hampir separuh keluarga (45,0%) memiliki istri yang tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga. Sementara itu lebih dari seperempat keluarga (36,7%) memiliki istri yang bekerja sebagai pedagang/berwirausaha. Istri yang bekerja sebagai buruh tani dan buruh non-tani secara berturut-turut ialah sebesar 5,0 persen dan 1,7 persen. Pekerjaan lainnya yang dimiliki istri yaitu sebagai
25 pembantu rumah tangga dan wiraswasta sebesar 11,7 persen. Beberapa istri memiliki pekerjaan tambahan di samping pekerjaan utamanya, seperti menjadi distributor pakaian dan makanan. Tabel 6 Sebaran keluarga berdasarkan pekerjaan utama Istri Status Pekerjaan Tidak bekerja Buruh tani Buruh non-tani Wirausaha/pedagang Lainnya Total
Jumlah (n) 27 3 1 22 7 60
Persen (%) 45,0 5,0 1,7 36,7 11,7 100,0
*lainnya : pembantu rumah tangga, wiraswasta
Tipe Keluarga Tipe keluarga dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga inti merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, sedangkan keluarga luas merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain seperti nenek, kakek, menantu, cucu, dan lain-lain. Tabel 7 menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat keluarga (76,7%) merupakan keluarga inti. Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan tipe keluarga Tipe Keluarga Keluarga inti Keluarga luas Total
Jumlah (n) 46 14 60
Persen (%) 76,7 23,3 100,0
Besar Keluarga Besar keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan orang tua. Menurut BKKBN (1995), besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥8 orang). Tabel 8 menunjukan bahwa lebih dari separuh keluarga (55,0%) termasuk dalam kategori keluarga sedang (5-7 orang). Dari hasil wawancara di lapang masih banyak keluarga yang belum melaksanakan program Keluarga Berencana, terutama keluarga dengan usia suami dan istri pada kategori dewasa tua cenderung masih memiliki banyak anak. Meskipun demikian, anak mereka yang sudah memiliki keluarga sendiri tidak tinggal satu rumah lagi karena sudah membentuk keluarga masing-masing. Sementara itu, keluarga yang memiliki usia suami dan istri yang lebih muda sudah memiliki kesadaran akan pentingnya Keluarga Berencana, sehingga
26 mereka berusaha membatasi kelahiran dengan menggunakan fasilitas-fasilitas KB yang tersedia dan memeriksakan diri secara rutin ke pusat kesehatan masyarakat terdekat. Tabel 8 Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga Besar Keluarga Keluarga kecil (<4 orang) Keluarga sedang (5-6 orang) Keluarga besar (>7 orang) Total Min-Max (orang) Rataan ± SD
Jumlah (n) 25 33 2 60
Persen (%) 41,7 55,0 3,3 100,0 3–8 4,68 ± 1,02
Jumlah Anak Sekolah Jumlah anak sekolah merupakan banyaknya anak yang masih sekolah dalam keluarga. Anak usia sekolah yang dimiliki oleh setiap keluarga dalam penelitian ini berbeda-beda, mulai dari satu anak hingga tiga orang anak sekolah. Tabel 9 menunjukan terdapat lebih dari separuh keluarga (61,7%) memiliki anak sekolah sebanyak satu orang. Sementara itu, terdapat lebih dari seperempat keluarga (35,0%) memiliki anak sekolah sebanyak dua orang. Hanya 3,3 persen keluarga contoh yang memiliki anak sekolah sebanyak tiga orang. Tabel 9 Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anak sekolah Jumlah Anak Sekolah Satu Dua Tiga Total Rataan ± SD
Jumlah (n) 37 21 2 60
Persen (%) 61,7 35,0 3,3 100,0 1,42 ± 0,56
Tingkat Pendidikan Anak Jenjang pendidikan formal terdiri dari pendidikan dasar yang meliputi jenjang Sekolah Dasar (SD/sederajat) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP/sederajat), serta pendidikan menengah yang merupakan jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA/sederajat). Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa anak putus sekolah jenjang SD dan SMP hanya (4,4%) dan (17,1%). Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anak sekolah jenjang SMA yang mengalami putus sekolah. Lebih dari separuh anak SMA (64,9%) yang dimiliki oleh keluarga mengalami putus sekolah, sisanya sebanyak 35,1 persen masih berstatus sebagai pelajar SMA. Hal ini dikarenakan biaya sekolah jenjang pendidikan dasar tidak terlalu membebani keluarga, sementara biaya sekolah
27 jenjang pendidikan menengah yang jauh lebih mahal dirasa sangat membebani keluarga. Tabel 10 Sebaran anak responden berdasarkan status sekolah dan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA)
Sekolah n 43 29 13
% 95,5 82,8 35,1
Putus Sekolah n % 2 4,4 6 17,1 24 64,9
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara pendapatan per kapita dengan jumlah anak sekolah dan anak putus sekolah yang dimiliki keluarga petani, didapatkan bahwa tiga puluh anak putus sekolah berasal dari keluarga yang memiliki pendapatan per kapita di bawah Garis Kemiskinan Kota Bogor tahun 2011 (
Sekolah n 53 32
% 63,86 94,11
Putus sekolah n % 30 36,14 2 5,80
Kepemilikan Aset Aset dalam penelitiaan ini adalah sumberdaya materi yang dimiliki oleh keluarga dan bernilai ekonomi. Aset terdiri dari barang dan uang (tabungan). Aset keluarga dapat dikelompokkan menjadi aset kendaraan, barang berharga, barang elektronik, tabungan, dan ternak. Rumah merupakan salah satu aset yang tergolong barang berharga. Tabel 12 menunjukkan bahwa hampir seluruh keluarga (96,7%) memiliki rumah sendiri. Hanya 3,3 persen keluarga contoh yang tidak memiliki rumah sendiri. Hanya 3,3 persen keluarga yang masih tinggal di rumah orangtua. Tabel 12 Sebaran keluarga berdasarkan status kepemilikan rumah Status kepemilikan rumah Milik sendiri Sewa Orang tua Lainnya Total
Jumlah (n) 58 0 2 0 60
Persen (%) 96,7 0,0 3,3 0,0 100,0
Selain rumah, barang berharga lain yang banyak dimiliki oleh keluarga petani adalah tanah dan kebun dengan persentase masing-masing 60,0 persen dan 56,67 persen. Tanah berfungsi sebagai tabungan, jika suatu saat
28 membutuhkan uang, tanah tersebut dapat dijual. Alat transportasi yang paling banyak dimiliki keluarga contoh adalah motor, yaitu sebesar 60,0 persen. Barang elektronik yang paling banyak dimiliki ialah televisi (98,3%). Ternak yang paling banyak dimiliki keluarga contoh adalah ternak ayam, dengan persentase sebesar 68,3 persen. Seluruh keluarga contoh memiliki alat-alat pertanian tradisional, seperti cangkul, garu, arit, linggis, kapak, sedangkan hanya 13,3 persen keluarga contoh yang memiliki alat pertanian modern seperti mesin penghancur biji, mesin penggiling, seeder dan mesin penumbuk, yang pada umumnya dimiliki oleh petani pemilik. Tabel 13 menyajikan jenis-jenis aset yang dimiliki oleh keluarga petani. Tabel 13 Jumlah keluarga berdasarkan kepemilikan aset Jenis Aset Alat trasportasi : ‐ Mobil ‐ Motor ‐ Sepeda Alat pertanian : ‐ Alat pertanian tradisional ‐ Alat pertanian modern Barang berharga : ‐ Rumah ‐ Tanah ‐ Kebun ‐ Emas ‐ Sawah Barang elektronik : ‐ TV ‐ Radio ‐ Kulkas ‐ VCD/DVD ‐ Microwave ‐ Kipas angin ‐ Handphone ‐ Komputer/laptop ‐ Telepon ‐ Mesin cuci ‐ Rice cooker Tabungan : ‐ Di bank ‐ Di rumah ‐ Dipinjam orang Ternak : ‐ Kambing ‐ Ayam ‐ Bebek ‐ Ikan
Jumlah (n)
Persen (%)
6 36 19
10,0 60,0 31,7
60 8
100,0 13,3
58 36 34 23 7
96,6 60,0 56,6 38,3 11,7
59 23 28 32 0 17 56 5 0 6 27
98,3 38,3 46,6 53,3 0,0 28,3 93,3 8,3 0,0 10,0 36,6
13 11 1
21,6 18,3 1,6
22 41 5 8
36,6 68,3 8,3 13,3
29 Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga merupakan sejumlah uang yang diterima dari seluruh anggota keluarga yang bekerja. Tabel 14 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan keluarga sebesar Rp1.453.777,7. Proporsi terbesar terdapat pada rentang Rp1.000.000-Rp1.499.999 per bulan yaitu sebesar 38,3 persen. Hanya 18,30
persen
keluarga
yang
memiliki
pendapatan
keluarga
lebih
dari
Rp2.000.000. Tabel 14 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan keluarga Jumlah (n) Persen (%) 0 0,0 19 31,7 23 38,3 7 11,7 11 18,3 60 100,0 575.000 – 5.166.666 1.453.777,7 ± 923.189,04
Pendapatan (Rp/bulan) < 500.000 500.000-999.999 1.000.000-1.499.999 1.500.000-2.000.000 > 2.000.000 Total Min-Max (Rp/bulan) Rataan ± SD (Rp/bulan)
Berdasarkan penyumbang
materi
sumber terbesar
pendapatan dalam
keluarga,
pendapatan
suami keluarga.
merupakan Tabel
15
menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan suami sebagai petani adalah Rp1.076.416,55 per bulan. Dengan pendapatan utama sebagai petani sebesar itu diperkirakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun nonpangan keluarga, sehingga kepala keluarga mencari sumber penghasilan lain di samping pekerjaannya sebagai petani. Sementara itu, sumberdaya keluarga yang lain pun ikut bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Proporsi tertinggi kedua adalah pendapatan yang bersumber dari pekerjaan utama istri. Berdasarkan hasil wawancara. beberapa keluarga contoh memiliki istri yang aktif bekerja di samping pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga, baik dengan berwirausaha/berdagang, ataupun dengan menjadi buruh tani dan non-tani. Mengingat banyaknya pabrik dan perusahaan yang didirikan di perkotaan, sehingga peluang kerja bagi masyarakat perkotaan cenderung besar. Sementara itu, peran anak yang bekerja sangat membantu dalam perekonomian keluarga. Pada keluarga contoh, ditemukan banyak dari mereka yang tidak melanjutkan sekolah (hanya lulus SD/SMP/SMA saja) dan bekerja sebagai karyawan di perusahaan ataupun bekerja sebagai buruh pabrik. Biasanya anak yang bekerja ialah anak sulung yang masih memiliki beberapa adik lagi yang
30 masih sekolah, sehingga mereka harus membantu orang tua membiayai kebutuhan adik-adiknya. Tabel 15 Rataan pendapatan berdasarkan sumber pendapatan keluarga Sumber Pendapatan Suami Istri Anak Total
Utama Rp 1.076.416,5 548.611,1 390.526,3 2.015.553,9
Tambahan % 35,0 17,8 12,7 65.5
Rp 858.698,3 200.000,0 0,0 1.058.692,38
Jumlah % 27,9 6,5 0,0 34,4
Rp 1.935.114,9 748.611,1 390.526,3 3.074.252,33
% 62,9 24,3 12,8 100,0
Pendapatan Per Kapita Pendapatan per kapita adalah pendapatan yang dihitung berdasarkan pendapatan seluruh anggota keluarga dibagi dengan jumlah seluruh anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah/kapita/bulan. Pendapatan per kapita dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan Garis Kemiskinan BPS Kota Bogor tahun 2011. Tabel 16 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga (61,7%) memiliki pendapatan per kapita
Jumlah (n) Persen (%) 37 61,7 23 38,3 60 100,0 111.666 – 833.200 310.105 ± 164.568,50
Bantuan Dana yang Diterima Keluarga Dana bantuan ialah sejumlah uang, ataupun jaminan investasi yang diberikan oleh pemerintah atau perusahaan tertentu untuk keluarga yang membutuhkan, terutama untuk keluarga miskin. Jenis bantuan dana bermacammacam jenisnya, diantaranya yaitu PKH (Program Keluarga Harapan), BLT (Bantuan Langsung Tunai), Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), Askes (Asuransi Kesehatan), Asuransi Pendidikan, Askeskin, dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 18,3 persen keluarga yang menerima Dana Bantuan Langsung Tunai lima tahun terakhir ini, sementara itu hanya 1,7 persen keluarga contoh yang menginvestasikan sebagian dana untuk menerima
31 bantuan berupa asuransi pendidikan di kemudian hari. Sebaran keluarga berdasarkan dana bantuan yang lain dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran keluarga berdasarkan dana bantuan yang diterima Aset PKH BLT Jamkesmas Asuransi Kesehatan Asuransi Pendidikan Beasiswa Askeskin
Jumlah (n) 5 11 10 2 1 2 6
Persen (%) 8,3 18,3 16,7 3,3 1,7 3,3 10,0
Tabungan untuk Pendidikan Anak Keluarga
menyimpan
dana
untuk
pendidikan
anak
dengan
berbagaimacam cara, namun pada Tabel 18 dapat terlihat sebanyak 68,3 persen keluarga tidak memiliki tabungan atau persiapan dana untuk pendidikan anak sama sekali dalam bentuk apapun. Hal tersebut dikarenakan himpitan ekonomi, yang menyebabkan keluarga lebih mengutamakan hal lain seperti kebutuhan pangan, dibandingkan dengan keperluan untuk dana pendidikan. Sebanyak 25,0 persen keluarga menyimpan dana pendidikan di rumah, sebanyak 5,0 persen menyimpan dana pendidikan dalam bentuk deposito, serta hanya 1,7 persen keluarga responden yang menggunakan jasa asuransi pendidikan. Tabel 18 Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan tabungan untuk pendidikan Tabungan Pendidikan Tidak memiliki tabungan Tabungan di rumah Deposito Asuransi Pendidikan Total
Jumlah (n) 41 15 3 1 60
Persen (%) 68,3 25,0 5,0 1,7 100,0
Pengeluaran Keluarga Tabel 19 menunjukkan rataan alokasi pengeluaran keluarga berdasarkan jenis pengeluaran. Jenis pengeluaran keluarga dibagi menjadi dua yaitu, pengeluaran untuk pangan dan non-pangan. Pengeluaran untuk pangan terdiri dari pengeluaran untuk bahan makanan pokok, protein hewani, kacangkacangan, sayur-sayuran, buah-buahan, dan pangan lainnya. Rataan pengeluaran keluarga contoh untuk pangan adalah Rp530.291,63 atau sebesar 39,76 persen dari total pengeluaran keluarga. Proporsi terbesar pengeluaran pangan keluarga terdapat pada pengeluaran untuk makanan pokok
32 (16,24%), diikuti dengan pengeluaran untuk kebutuhan lainnya seperti gula, garam, kopi, dan minyak goreng sebesar 9,48 persen, lalu kemudian kebutuhan akan sumber protein hewani (8,30%). Pengeluaran pangan yang paling sedikit ialah pengeluaran untuk sayur-sayuran (1,82%) dan untuk membeli buah-buahan (1,26%) hal ini dikarenakan keluarga contoh yang merupakan keluarga petani lebih memilih menanam tanaman sayur dan buah sendiri di pekarangan rumahnya, atau meminta pada tetangga yang memiliki kebun sendiri, dibandingkan dengan sengaja membeli sayur-mayur dan buah-buahan di pasar. Berdsarkan perbandingan persentase antara alokasi pengeluaran untuk kebutuhan pangan dan non-pangan, dapat terlihat bahwa proporsi pengeluaran untuk kebutuhan non-pangan lebih besar daripada proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pangan. Hal ini dikarenakan keluarga petani adalah keluarga yang memproduksi bahan-bahan makanan mentah, seperti sayur-sayuran, buahbuahan, bahkan bahan makanan pokok utama yang mayoritas masyarakat konsumsi yaitu beras. Sehingga, untuk pengeluaran pangan, mereka pada umumnya mengambil dari hasil produksi mereka sendiri dan hanya sesekali membeli jika sedang tak ada persediaan. Tabel 19 Rata-rata alokasi pengeluaran keluarga dan per kapita Jenis pengeluaran Pangan Makanan pokok Sumber protein hewani Kacang-kacangan Sayuran Buah-buahan Lainnya Total Pangan Non pangan Pendidikan Kesehatan Pakaian dan alas kaki Energi Lainnya Total non pangan Total
Rata-rata pengeluaran keluarga (Rp/bulan)
Rata-rata pengeluaran per kapita(Rp/kapita)
216.641,70 110.708,30 35.458,33 24.250,00 16.750,00 126.483,30 530.291,63
47.347,78 24.957,99 7.938,19 5.492,77 3.717,50 27.708,89 117.163,12
16,24 8,30 2,66 1,82 1,26 9,48 39,76
319.914,26 83.033,16 15.980,00 128.706,70 255.758,30 803.392,52 1.333.684,15
84.842,69 18.172,91 3.552,29 29.068,89 56.800,42 192.437.20 309.600,32
23,98 6,22 1,19 9,65 19,20 60,24 100,00
%
Pengeluaran untuk kebutuhan non-pangan terdiri dari pengeluaran untuk kesehatan, pendidikan, pakaian dan alas kaki, energi, dan kebutuhan nonpangan lainnya. Rataan pengeluaran keluarga contoh untuk non-pangan adalah Rp803.392,52 per bulan atau 60,24 persen dari total pengeluaran keluarga. Proporsi terbesar pengeluaran non-pangan keluarga terdapat pada pengeluaran
33 untuk pendidikan, yaitu sebesar 23,98 persen. Pengeluaran terbesar kedua ialah kebutuhan lainnya (19,20%) yang meliputi rokok, transport selain anak, sewa/perawatan rumah, pembayaran listrik, PAM, pulsa telepon genggam, pembantu, dan pajak. Keluarga petani, terutama petani pemilik rutin membayar pajak lahan setiap tahunnya, begitu pula dengan keluarga lain yang memiliki kendaraan, seperti motor dan mobil. Beberapa keluarga pun tak lepas dari kebutuhan akan rokok yang dapat memperbesar pengeluaran kebutuhan lainlain. Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah Persepsi merupakan pandangan orang tua, dalam penelitian ini adalah persepsi istri tentang pendidikan menengah bagi anak. Persepsi tentang pendidikan menengah dikelompokkan menjadi menjadi tiga, yaitu kurang (skor ≤40), sedang (skor 41-60), dan baik (skor ≥61). Tabel 20 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga (58,4%) memiliki persepsi pada kategori sedang (skor 41-60). Hanya 5,5 persen yang memiliki persepsi pendidikan menengah dalam kategori kurang (≤40). Tabel 20 Sebaran keluarga berdasarkan persepsi pendidikan menengah Persepsi Pendidikan (skor) Kurang (≤40) Sedang (41–60) Baik (≥61) Total Min-Max (skor) Rataan ± SD (skor)
Jumlah (n) 3 35 22 60
Persen (%) 5,0 58,4 36,6 100,0 38 – 71 57,8 ± 9,2
Rata-rata persepsi orangtua berada pada kategori sedang. Hal ini dikarenakan meskipun hampir seluruh istri menyetujui bahwa pendidikan menengah merupakan hak setiap anak (98,3%), pendidikan menengah penting untuk meningkatkan kualitas anak (95,0%), pendidikan menengah merupakan kunci kemandirian (83,4%), dan pendidikan menengah sebagai gerbang pencapaian cita-cita (93,3%). Namun, masih ada istri yang beranggapan bahwa setelah tamat pendidikan dasar anak lebih diutamakan membantu perekonomian keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah, karena kendala ekonomi. Selain itu, masih banyak istri yang beranggapan bahwa pendidikan menengah membutuhkan biaya yang besar (80,4%) sehingga memberatkan keluarga, biaya pendidikan menengah dapat menyita uang keluarga. Oleh karena itu, lebih dari separuh istri (53,3%) menyetujui bahwa tidak semua anak harus bersekolah hingga jenjang pendidikan
34 menengah karena tergantung dana yang tersedia dan keinginan anak melanjutkan sekolahnya atau lebih memilih bekerja membantu perekonomian keluarga. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada Tabel 21 dibawah ini. Tabel 21 Sebaran persepsi orang tua tentang pendidikan menengah No. 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Pertanyaan Pendidikan menengah (SMA) merupakan hak setiap warga Negara Indonesia. Setiap orangtua harus menyekolahkan semuaanaknya hingga ke jenjang sekolah menengah. Tujuan pendidikan menengah adalah untuk meningkatkan kualitas anak. Pendidikan menengah membutuhkan biaya besar, sehingga memberatkan keluarga. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, anak diutamakan untuk membantu ekonomi keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke jenjang menengah. Pendidikan menengah (SMA) merupakan kunci kemandirian. Pendidikan menengah tidak selalu menjamin bekerja. Pendidikan menengah tidak selalu menjadikan orang kaya. Sekolah hingga jenjang SMA/Sederajat tidak perlu karena yang sekolah tinggi sudah banyak. Pendidikan hingga jenjang menengah tidak perlu karena banyak lulusan yang sulit mencari kerja. Biaya pendidikan menengah akan menyita uang keluarga. Sekolah akan menyebabkan anak malas membantu pekerjaan orangtua. Anak sudah bisa membaca dan menulis maka tidak perlu melanjutkan sekolah. Pendidikan menengah bagi laki-laki lebih diprioritaskan daripada bagi perempuan. Asuransi untuk pendidikan anak sangat penting. Semakin tinggi pendidikan anak, semakin baik masa depannya. Pendidikan menengah penting untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Sekolah menengah menjadi gerbang untuk pencapaian cita-cita anak. Tidak semua anak harus bersekolah hingga jenjang sekolah menengah. Pendidikan menengah hanya cocok untuk orang kaya.
Keterangan: TS= Tidak Setuju KS= Kurang setuju
S= Setuju SS= Sangat Setuju
TS 0,0
Jawaban (%) KS S 1,7 63,3
SS 35,0
3,3
65,0
11,7
20,0
0,0
5,0
73,3
21,7
8,3
11,3
18,3
62,1
23,3
40,0
18,3
18,3
1,7
15,0
61,7
21,7
5,00
30,0
41,7
23,3
1,7
18,3
65,0
15,0
46,7
41,7
11,7
0,0
25,0
56,7
15,0
3,3
1,7
63,3
16,7
18,3
15,0
71,7
11,7
1,7
0,0
65,0
30,0
5,0
30,0
43,3
10,0
16,7
5,0 1,7
33,3 11,7
58,3 58,3
3,3 28,3
1,7
3,3
48,3
46,7
3,3
3,3
55,0
38,3
8,3
38,3
45,0
8,3
65,0
31,7
3,3
0,0
35 Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah pada Keluarga yang Memiliki Anak SMA dan Tidak Memiliki Anak SMA Keluarga yang memiliki anak SMA pada umumnya memiliki persepsi yang lebih baik tentang pendidikan menengah dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki anak SMA, terlihat pada Tabel 22 rataan skor persepsi pendidikan menengah pada keluarga yang memiliki anak SMA yaitu sebesar 58,72, sedangkan rataan persepsi pendidikan menengah pada keluarga yang tidak memiliki anak SMA yaitu sebesar 56,71. Hal ini diduga karena keluarga yang memiliki anak SMA mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak SMA yang tentunya membutuhkan fasilitas dan dana pendidikan yang lebih banyak dibandingkan dengan jenjang pendidikan sebelumnya. Responden yang memiliki anak SMA yakin bahwa dengan ilmu yang didapatkan dari bangku sekolah menengah, anak mereka mampu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di kemudian hari. Namun demikian, hasil uji beda menunjukan tidak ada perbedaan nyata antara persepsi pendidikan menengah pada responden yang memiliki anak SMA dan yang tidak memiliki anak SMA (p>0,05). Tabel 22 Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan menengah, kepemilikan anak SMA, rata-rata, dan standar deviasi Kategori Rendah (≤40) Sedang (41-60) Baik (≥61) Total Min-Max Rataan+std. p-value
Memiliki anak SMA n % 1 7,6 7 53,8 5 38,6 13 100,0 40-71 58,72-9,12
Tidak Memiliki anak SMA n % 2 4,2 28 59,5 17 36,1 47 100,0 38-71 56,71-9,32 0,148
Total n % 3 5,0 35 58,4 22 36,6 60 100,0 38-71 57,8-9,23
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah pada Keluarga yang Memiliki Anak Putus Sekolah dan Tidak Memiliki Anak Putus Sekolah Tabel 23 menunjukan bahwa sebanyak 59,3 persen responden yang memiliki anak putus sekolah memiliki persepsi pendidikan menengah pada kategori sedang dan sebanyak 31,2 persen pada kategori baik. Sementara itu, sebanyak 57,2 persen responden yang tidak memiliki anak putus sekolah memiliki persepsi pendidikan menengah pada kategori sedang dan sebanyak 42,8 persen pada kategori baik. Hasil uji beda menunjukan terdapat perbedaan nyata antara persepsi pendidikan menengah pada responden yang memiliki anak putus sekolah dan yang tidak memiliki anak putus sekolah (p<0,05).
36 Rataan skor persepsi pendidikan menengah responden yang memiliki anak putus sekolah lebih rendah dibandingkan responden yang tidak memiliki anak sekolah. Hal ini dapat diartikan bahwa responden yang tidak memiliki anak putus sekolah memiliki persepsi pendidikan menengah lebih baik dibandingkan dengan responden yang memiliki anak putus sekolah. Berdasarkan hasil wawancara, keluarga yang memiliki anak putus sekolah lebih mementingkan anak segera bekerja dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Selain itu, anak yang putus sekolah pada umumnya ialah anak sulung yang masih memiliki beberapa adik. Anak sulung dalam keluarga responden pada umumnya diharapkan dapat segera membantu perekonomian keluarga, terutama dalam membiayai adik-adiknya yang masih sekolah. Orang tua yang memiliki anak putus sekolah percaya bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan oleh seberapa tinggi pendidikan yang ditempuh, sehingga tidak terlalu penting menyekolahkan anak hingga ke jenjang pendidikan menengah. Responden yang memiliki anak putus sekolah pada umumnya memiliki pendidikan dan pendapatan yang rendah, sehingga memerlukan bantuan dari anak untuk menambah penghasilan keluarga demi memenuhi kebutuhankebutuhan keluarga. Hasil korelasi (Lampiran 2) menunjukan bahwa orang tua yang memiliki pendidikan dan pendapatan yang rendah memiliki persepsi yang lebih rendah tentang pendidikan menengah dibandingkan dengan keluarga yang memiliki pendidikan dan pendapatan lebih tinggi yang pada umumnya dapat menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke jenjang sekolah menengah. Tabel 23 Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan menengah, status sekolah anak, rata-rata, dan standar deviasi. Kategori Rendah (≤40) Sedang (41-60) Baik (≥61) Total Min-Max Rataan+std. p-value
Putus Sekolah n % 3 9,5 19 59,3 10 31,2 32 100,0 38-71 55,34-9,57
Tidak Putus Sekolah n % 0 0,0 16 57,2 12 42,8 28 100,0 49-71 62,34-8,56 0,012
Total n % 3 5,0 35 58,4 22 36,6 60 100,0 38-71 57,8-9,23
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah pada Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja Pada Tabel 24 dapat diketahui bahwa sebanyak 51,6 persen responden yang merupakan ibu bekerja memiliki persepsi pendidikan pada kategori sedang dan sebesar 45,4 pada kategori baik. Sementara itu seperempat responden yang
37 merupakan ibu bekerja memiliki persepsi pendidikan menengah pada kategori baik, dan sebesar 66,7 pada kategori sedang. Hasil uji beda menunjukan bahwa tidak ada perbedaan persepsi pendidikan menengah pada responden yang merupakan ibu bekerja dan ibu yang tidak bekerja (p>0,05). Tabel 24 Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan menengah, status bekerja istri, rata-rata, dan standar deviasi. Kategori Rendah (≤40) Sedang (41-60) Baik (≥61) Total Min-Max Rataan+std. p-value
Bekerja n % 1 3,0 17 51,6 15 45,4 33 100,0 38-71 59,56-8,88
Tidak Bekerja n % 2 7,4 18 66,7 7 25,9 27 100,0 39-71 56,25-9,45 0,323
Total n % 3 5,0 35 58,4 22 36,6 60 100,0 38-71 57,8-9,23
Persepsi Orang Tua tentang Pendidikan Menengah pada Petani Pemilik, Petani Penggarap, dan Buruh Tani Persepsi orang tua tentang pendidikan menengah berdasarkan status usaha suami terlihat pada Tabel 25 yang menunjukan bahwa sebesar 66,6 persen responden dengan status suami petani pemilik memiliki persepsi tentang pendidikan menengah pada kategori baik dan sebesar 33,3 persen memiliki persepsi sedang. Sebesar 35,4 persen responden dengan status suami petani penggarap memiliki persepsi tentang pendidikan pada kategori baik dan sebesar 64,8 persen memiliki persepsi sedang. Sementara itu, sebesar 29,6 persen responden dengan status suami sebagai buruh tani memiliki persepsi dalam kategori baik dan sebesar 64,8 persen memiliki persepsi sedang. Tidak ada responden yang berstatus petani pemilik yang memiliki persepsi kurang. Hasil uji beda menunjukan bahwa ada perbedaan nyata tentang persepsi pendidikan menengah pada ketiga status usaha suami, yaitu petani pemilik, penggarap, dan buruh tani (p<0,05). Rataan skor persepsi petani pemilik lebih tinggi dibandingkan dengan petani penggarap dan buruh tani. Hal ini dapat diartikan bahwa responden yang memiliki suami berstatus sebagai petani pemilik lebih baik persepsinya tentang pendidikan menengah dibandingkan dengan responden yang memiliki suami berstatus petani penggarap dan buruh tani. Berdasarkan hasil penelitian, petani pemilik memiliki pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani penggarap dan buruh tani. Hasil korelasi (Lampiran 2)
38 menunjukan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua dan pendapatan keluarga akan semakin baik persepsinya tentang pendidikan menengah. Petani pemilik dengan penghasilan yang lebih memadai dibandingkan dengan petani penggarap dan buruh tani tentunya lebih optimis untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak. Sementara itu, petani penggarap dan buruh tani meskipun pada umumnya mereka ingin menyekolahkan anak hingga jenjang menengah, namun terkendala oleh masalah dana pendidikan, sehingga mereka tidak terlalu menganggap pendidikan menengah begitu penting, asalkan anak sudah dapat membaca dan menulis serta telah menamatkan jenjang pendidikan dasar, hal tersebut cukup bagi mereka. Responden yang bersuami petani penggarap dan buruh tani lebih memikirkan bagaimana agar anak dapat segera membantu perekonomian keluarga. Tabel 25 Sebaran keluarga berdasarkan kategori persepsi pendidikan menengah, status petani, rata-rata, dan standar deviasi. Kategori Kurang (≤40) Sedang (41-60) Baik (≥61) Total Min-Max Rataan+std. p-value
Petani Pemilik n % 0 0,0 3 33,3 6 66,6 9 100,0 59-71 64,61-8,16
Petani Penggarap n % 1 5,8 10 58,8 6 35,4 17 100,0 40-71 57,32-7,87 0,031
Buruh tani n % 2 5,6 22 64,8 10 29,6 34 100,0 38-71 51,63-9,81
Total n
% 3 5,0 35 58,4 22 36,6 60 100,0 38-71 57,8-9,23
Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan Rata-rata alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak ialah sebesar Rp319.914,26 per bulan, dengan presentase 23,9 persen dari total pengeluaran keluarga sebesar Rp1.333.684,15. Pada Tabel 26 dapat terlihat bahwa alokasi pengeluaran untuk pendidikan terendah yang dikeluarkan keluarga responden ialah sebesar Rp55.833,00. Keluarga yang mengalokasikan dana pendidikan anak terendah baik dalam rupiah per bulan maupun dalam persentase ialah keluarga yang hanya memiliki satu orang anak sekolah dengan jenjang pendidikan Sekolah Dasar. Anak Sekolah Dasar pada umumnya belum memerlukan biaya transportasi karena jarak rumah yang dekat dengan sekolah, sehingga dapat ditumpuh hanya dengan berjalan kaki. Selain itu, anak Sekolah Dasar dibebaskan biaya SPP/BP3 karena adanya Dana Bantuan Operasional Sekolah. Alokasi pengeluaran untuk pendidikan terbesar yang dikeluarkan oleh responden ialah sebesar Rp1.279.500,00 dengan persentase 35%. Keluarga
39 yang memiliki alokasi pengeluaran untuk pendidikan terbesar ialah keluarga yang memiliki beberapa anak sekolah yang satu diantaranya sedang menjalankan pendidikan pada jenjang Sekolah Menengah Atas. Anak yang telah memasuki jenjang
pendidikan
SMA
lebih
banyak
membutuhkan
dana
pendidikan
dibandingkan dengan jenjang pendidikan sebelumnya. Biaya SPP/BP3 anak pada jenjang Sekolah Menengah Atas cukup tinggi. Selain itu, letak sekolah yang jauh dari rumah membuat orang tua harus rutin memberikan biaya transportasi untuk anak, yang jika diakumulasikan per bulannya cukup besar. Pada keluarga yang memiliki alokasi pengeluaran untuk pendidikan terbesar, orang tua memasukan anak ke tempat kursus di luar sekoalah formal. Seperti kursus komputer dan bahasa Inggris yang tentunya membutuhkan biaya tidak sedikit. Tabel 26 Statistik deskriptif alokasi pengeluaran keluarga untuk pendidikan anak pada keluarga responden. Statistik deskriptif Min.
Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak Rp % 55.833,00
10,3
1.279.500,00
35,4
Rataan
319.914,26
23,9
Std.
205.340,73
10,6
Maks.
Pada Tabel 27 dapat terlihat proporsi terbesar pada alokasi pengeluaran untuk pendidikan per anak ialah pengeluaran untuk uang saku (37,20%). Orangtua rutin memberikan uang saku pada anak baik itu secara harian, mingguan, ataupun bulanan. Proporsi terbesar selanjutnya adalah pengeluaran untuk SPP/BP3 (21,98%) dan transportasi (17,99%). Biaya transportasi pada keluarga yang memiliki anak SMP dan SMA pada umumnya lebih besar, karena letak sekolah yang cukup jauh, sedangkan untuk anak Sekolah Dasar, orangtua menyekolahkan anaknya di Sekolah Dasar terdekat dari rumah sehingga dapat ditempuh dengan hanya berjalan kaki. Keluarga yang memiliki anak SMA mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk SPP/BP3 setiap bulannya. Hal tersebut disebabkan pembebasan pungutan biaya yang dicanangkan oleh pemerintah melalui program BOS hanya diberikan untuk siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
40 Tabel 27 Rataan alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak berdasarkan jenjang pendidikan dan rata-rata per anak Pengeluaran untuk pendidikan anak SPP/BP3 Transportasi Buku/alat tulis Seragam sekolah Uang saku Sepatu Tas sekolah Les/kursus Buku penunjang Total Max Min Std.
SD 0 6.046,51 7.267,44 4.830,19 64.093,02 5.503,83 4.282,89 0 12.868,18 104.892,07 283.639,00 42.495,00 45.517,21
SMP
SMA
6.724,13 61.827,58 9.164,31 9.597,67 122.000,00 12.298,84 7.787,32 4.827,32 28.534,43 262.761,89 468.992,00 119.600,00 87.918,91
165.769,21 73.307,72 11.282,01 14.358,89 105.846,18 13.205,12 6.538,43 5.769,22 33.974,33 430.051,01 626.929,70 315.833,10 85.838,88
Rata-Rata Per Anak 57.497,78 47.060,61 9.237,58 5.295,28 97.313,06 10.335,93 6.201,54 3.532,18 25.125,64 261.599,65 626.929,70 71.164,00 141.083,70
% 21,98 17,99 3,53 2,02 37,20 3,95 2,37 1,35 9,60 100,0
Persentase uang saku yang dikeluarkan orangtua untuk anak SD lebih besar dibandingkan dengan anak SMP dan SMA, yaitu sebesar (61,10%) dari total pengeluaran untuk pendidikan anak SD. Sementara itu, persentase uang saku yang dikeluarkan orangtua untuk anak SMA paling sedikit, yaitu sebesar 24,61 persen dari total pengeluaran untuk pendidikan anak SMA. Hal ini diduga karena anak SMA memerlukan biaya yang lebih tinggi untuk SPP/BP3 dan transportasi, sehingga orang tua lebih mengutamakan biaya-biaya tersebut dibandingkan dengan uang saku. Selain itu, pada umumnya anak SMA mendapatkan uang jajan bulanan karena telah dipercaya cukup dewasa untuk mengatur keuangan sendiri. Berbeda dengan anak SMP yang pada umumnya masih diberikan uang jajan harian atau mingguan yang jika dihitung per bulan dapat lebih besar jumlahnya. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi tentang Pendidikan Menengah Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap persepsi pendidikan menengah dianalisis menggunakan regresi linier berganda. Hasil uji regresi linier berganda pada Tabel 28 menunjukan nilai Adjusted R square sebesar 0,548. Artinya sebesar 54,8 persen faktor yang berpengaruh terhadap persepsi orang tua tentang pendidikan menengah dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa pendidikan istri dan pendapatan per kapita memiliki pengaruh positif signifikan terhadap persepsi tentang pendidikan menengah pada keluarga petani. Nilai koefisien regresi untuk pendidikan istri
41 ialah sebesar 1,505. Hal tersebut dapat diartikan bahwa setiap kenaikan satu tahun pendidikan istri akan menaikan skor persepsi tentang pendidikan menengah sebanyak 1,505. Sementara itu, nilai koefisien regresi untuk pendapatan per kapita ialah sebesar 5,718. Hal tersebut dapat diartikan setiap kenaikan satu rupiah pendapatan per kapita, akan menaikan skor persepsi tentang pendidikan menengah sebesar 5,718. Tabel 28 Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi orang tua tentang pendidikan menengah No
Variabel
1. 2. 3. 4.
Konstanta Usia Istri (tahun) Pendidikan istri (tahun) Pekerjaan istri (0=tidak bekerja, 1=bekerja) Status petani Jumlah anak sekolah (orang) Besar keluarga (orang) Pendapatan per kapita (rupiah/bulan) F R Adjusted R square Sig.
5. 6. 7. 8.
Koefisien β Tidak Terstandarisasi terstandarisasi
Sig.
39,360 -0,073 1,505
-0,067 0.452
0,000** 0,484 0,000**
0,709
0,039
0,673
1,807 0,858 -0,049
0,146 0,052 -0,005
0,261 0,590 0,958
5,718
0,304
0,018*
11,224 0,776 0,548 0,000
Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 95% ** =signifikan pada selang kepercayaan 99%
Pendapatan per kapita berpengaruh positif signifikan terhadap persepsi pendidikan anak. Artinya, semakin besar pendapatan per kapita, persepsi orangtua tentang pendidikan menengah akan semakin baik. Hal ini diduga karena keluarga dengan pendapatan per kapita yang tinggi memiliki keyakinan bahwa mereka mampu membiayai pendidikan anak hingga jenjang sekolah menengah, sehingga dapat memengaruhi persepsinya terhadap pendidikan menengah. Usia istri berpengaruh negatif terhadap persepsi orangtua tentang pendidikan menengah. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tua usia istri, maka semakin rendah persepsinya terhadap pendidikan menengah. Berdasarkan hasil wawancara, istri yang lebih tua cenderung tidak terlalu menganggap pendidikan menengah itu penting, karena pada masanya pun kebanyakan orang hanya bersekolah hingga tamat Sekolah Dasar atau Sekolah Rakyat, bahkan banyak pula yang tidak lulus Sekolah Dasar. Mereka lebih mementingkan penerapan ilmu-ilmu agama dibandingkan dengan pendidikan formal.
42 Selain usia istri, besar keluarga pun berpengaruh negatif terhadap persepsi orangtua tentang pendidikan menengah. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin banyak anggota keluarga, atau semakin besar suatu keluarga, maka semakin rendah persepsinya terhadap pendidikan menengah. Hal ini diduga karena semakin banyak jumlah anggota keluarga, semakin besar tanggungan orangtua untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, terutama untuk pendidikan anak, sehingga orangtua merasa terbebani dengan biaya pendidikan dan
menganggap
biaya
pendidikan
menengah
memberatkan
keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian, keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang lebih banyak cenderung mementingkan pemenuhan kebutuhan pangan anggota keluarganya dibanding dengan kebutuhan akan pendidikan. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan Anak Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan dalam rupiah per anak dianalisis menggunakan regresi linier berganda. Hasil uji regresi linier berganda pada Tabel 29 menunjukan nilai Adjusted R square sebesar 0,392. Artinya sebesar 39,2 persen faktor yang berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. Tabel 29 Faktor-faktor yang memengaruhi alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak (dalam rupiah per anak) No
Variabel
1. 2. 3. 4.
Konstanta Usia Istri (tahun) Pendidikan Istri (tahun) Pekerjaan Istri (0=tidak bekerja, 1=bekerja) Status petani Jumlah anak sekolah (orang) Besar keluarga (orang) Pendapatan per kapita (rupiah per bulan) Persepsi pendidikan (skor) F R Adjusted R square Sig.
5. 6. 7. 8. 9.
Koefisien β Tidak Terstandarisasi terstandarisasi -188.144,428 4.936,458 0,255 1.429,148 0,024
Sig. 0,043 0,039* 0,880
2.616,578
0,080
0,483
-3.248,128 -29.770,107 16.163,589
-0,078 -0,045 0,105
0,597 0,057 0,429
0,061
0,258
0,046*
0,343
0,143
4.096,603
Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 95% ** =signifikan pada selang kepercayaan 99%
4,112 0,626 0,392 0,001
43 Hasil uji regresi menunjukan bahwa usia istri dan pendapatan per kapita memiliki pengaruh positif signifikan terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan. Nilai koefisien regresi untuk usia istri ialah sebesar 4.936,458 dan untuk pendapatan per kapita sebesar 0,061. Hal tersebut dapat diartikan bahwa setiap kenaikan satu tahun usia istri, akan menaikan alokasi pengeluaran untuk pendidikan sebanyak Rp4.936,458. Sementara itu, setiap kenaikan satu rupiah pendapatan per kapita, akan menaikan alokasi pengeluaran untuk pendidikan sebanyak Rp0,061. Pendapatan per kapita memiliki pengaruh positif signifikan terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak, artinya, semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin banyak alokasi pengeluaran untuk anak. Hal ini diduga karena keluarga yang memiliki pendapatan per kapita yang tinggi mampu memfasilitasi kebutuhan pendidikan anak, baik yang bersifat dasar, maupun yang sifatnya tidak terlalu diutamakan, misalnya anak mengikuti kursus-kursus mata pelajaran di luar sekolah yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Usia
istri
memiliki
pengaruh
positif
signifikan
terhadap
alokasi
pengeluaran untuk pendidikan anak, artinya semakin tua usia istri, semakin tinggi alokasi pengeluaran untuk pendidikan, hal ini diduga karena istri yang lebih tua memiliki anak sekolah dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan istri yang lebih muda. Istri dengan usia yang lebih muda pada umumnya memiliki anak sekolah masih di tingkat pendidikan dasar. Sehingga alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga dengan istri yang lebih tua cenderung lebih banyak dibandingkan dengan keluarga dengan istri yang lebih muda. Status petani berpengaruh negatif terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak. Hal ini diduga karena petani penggarap dan buruh tani memiliki anak usia sekolah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar. Petani pemilik dalam penelitian ini pada umumnya sudah tidak memiliki banyak anak sekolah. Anak-anak mereka telah membentuk keluarga sendiri dan tidak tinggal lagi dengan orangtuanya. Selain itu, petani pemilik memiliki anak sekolah yang tingkat pendidikannya masih rendah (SD) sehingga belum memerlukan biaya yang besar. Dengan demikian, alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak pada petani pemilik cenderung lebih sedikit.
44 Jumlah anak sekolah memiliki pengaruh negatif tidak signifikan terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan. Semakin banyak jumlah anak sekolah yang dimiliki, semakin berkurang orangtua mengalokasikan dana untuk pendidikan anak. Hal ini diduga karena keluarga yang memiliki anak usia sekolah lebih banyak akan mengeluarkan uang untuk pendidikan dengan proporsi yang lebih kecil bagi setiap anaknya. Jika dilihat dari persentase alokasi pengeluaran untuk pendidikan, faktorfaktor yang memengaruhi alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak per bulan dapat dilihat pada Tabel 30. Hasil uji regresi linier berganda pada Tabel 30 menunjukan nilai Adjusted R square sebesar 0,209. Artinya sebesar 20,9 persen faktor yang berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. Tabel 30 Faktor-faktor yang memengaruhi alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak (dalam persentase) No
Variabel
1. 2. 3. 4.
Konstanta Usia Istri (tahun) Pendidikan Istri (tahun) Pekerjaan Istri (0=tidak bekerja, 1=bekerja) Status petani Jumlah anak sekolah (orang) Besar keluarga (orang) Pendapatan per kapita (rupiah per bulan) Persepsi pendidikan (skor) F R Adjusted R square Sig.
5. 6. 7. 8. 9.
Koefisien β Tidak Terstandarisasi terstandarisasi -14,065 0,366 0,290 0,792 0,205
Sig. 0,137 0,039* 0,264
1,214
0,057
0,661
-0,597 4,201 -6,350
-0,041 0,382 -0,060
0,805 0,016* 0,689
0,225
0,126
0,083
0,123
0,516
0,143 1,686 0,457 0,209 0,125
Keterangan : * =signifikan pada selang kepercayaan 95% ** =signifikan pada selang kepercayaan 99%
Hasil uji regresi menunjukan bahwa usia istri dan jumlah anak sekolah memiliki pengaruh positif signifikan terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan. Nilai koefisien regresi untuk usia istri ialah sebesar 0,366 dan jumlah anak sekolah sebesar 4,201. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap kenaikan satu tahun usia istri, akan menaikan alokasi pengeluaran untuk pendidikan sebanyak 0,36 persen. Sementara itu, setiap penambahan satu orang anak sekolah akan meningkatkan alokasi pengeluaran untuk pendidikan sebesar 4,20 persen.
45 Jumlah anak sekolah memiliki pengaruh positif signifikan terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak secara keseluruhan. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin banyak anak sekolah yang dimiliki keluarga, semakin banyak alokasi pengeluaran untuk pendidikan yang dikeluarkan oleh orang tua. Semakin banyak anak sekolah yang dimiliki keluarga semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan orang tua untuk memenuhi biaya pendidikan anak. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk melihat persepsi orangtua tentang pendidikan menengah dan alokasi pengeluaran untuk pendidikan pada keluarga petani di Kota Bogor. Hampir seluruh istri beranggapan bahwa pendidikan menengah merupakan hak setiap anak, pendidikan menengah penting untuk meningkatkan
kualitas
anak,
pendidikan
menengah
merupakan
kunci
kemandirian, dan pendidikan menengah sebagai gerbang pencapaian cita-cita. Namun, masih ada istri yang beranggapan bahwa setelah tamat pendidikan dasar anak lebih diutamakan membantu perekonomian keluarga dibandingkan dengan melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah. Hal ini dikarenakan keluarga terbentur kendala ekonomi dan biaya pendidikan menengah yang mahal. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Permatasari (2010) menunjukan bahwa persepsi kepentingan pendidikan keluarga pada masyarakat Kabupaten Indramayu tergolong tinggi, orangtua menganggap bahwa pendidikan dasar penting dan ada kecenderungan orangtua akan mengusahakan anaknya untuk sekolah minimal hingga menamatkan pendidikan dasar. Berdasarkan hasil penelitian, orang tua memang menganggap penting pendidikan secara keseluruhan, namun ketika hal tersebut menyangkut tentang pendidikan dengan tingkat yang lebih tinggi lagi, yakni pendidikan menengah, beberapa orangtua mengemukakan bahwa pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak terlalu diprioritaskan, karena hal tersebut tidak terlalu menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan yang layak. Selain itu, keluarga pun terbentur kendala ekonomi, sehingga meskipun persepsi mereka cenderung baik, namun jika anak tak mau melanjutkan sekolah dan tak ada dana yang mencukupi, mereka akan memilih untuk mengikuti kemauan anak dan tidak menyekolahkan anak mereka hingga jenjang pendidikan menengah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Barada (2008) yang mengemukakan bahwa keluarga petani di Kabupaten Banjar lebih memilih pendidikan yang bersifat agama dan kemasyarakatan daripada pendidikan formal, karena dalam proses
46 menempuh pendidikan formal mereka terkendala berbagai masalah yang membuat anak petani kebanyakan mengalami putus sekolah karena masalah biaya. Pendapatan per kapita dan pendidikan istri berpengaruh positif signifikan terhadap persepsi istri tentang pendidikan menengah. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Sriyanti (2006) yang menyebutkan bahwa persepsi orangtua tentang pendidikan formal dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orangtua, pengalaman bekerja, pendapatan rumah tangga, jumlah anak, nilai anak, dan cita-cita terhadap jenis pekerjaan anak. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991) tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan memengaruhi dan membentuk cara, pola, dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadiannya yang semua itu merupakan bagian integral sebagai bekal dalam berkomunikasi. Penelitian ini menunjukan hasil uji pengaruh yang signifikan antara pendidikan istri dan pendapatan per kapita terhadap persepsi tentang pendidikan menengah.
Hal
ini
sejalan
dengan
penelitian
Saraswati
(2012)
yang
mengemukakan bahwa terdapat pengaruh positif signifikan antara pendidikan istri, pendapatan per kapita, dan akses informasi terhadap persepsi pendidikan pada keluarga nelayan di Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu. Keluarga petani yang memiliki pendapatan per kapita lebih rendah, meskipun persepsinya baik, masih banyak yang tidak menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang pendidikan menengah karena terbentur kendala biaya. Biaya untuk pendidikan dasar tidak terlalu menimbulkan beban keuangan bagi keluarga, sekalipun keluarga tersebut tergolong keluarga miskin, namun mahalnya biaya pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dapat membebani keluarga lebih besar daripada biaya pendidikan dasar (Rout 2008). Alokasi pengeluaran untuk pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya keluarga. Bryant (1990) mengemukakan bahwa bentuk investasi dalam keluarga yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas anak dalam rangka membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas adalah waktu dan pendapatan. Faktor yang memengaruhi alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak adalah usia istri dan pendapatan per kapita. Hal ini sejalan dengan penelitian Saraswati (2012) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif signifikan antara besar keluarga dan pendapatan per kapita terhadap alokasi pengeluaran pendidikan.
47 Semakin tua usia istri, semakin banyak keluarga mengalokasikan pengeluaran untuk pendidikan anak. Hal ini diduga karena ibu dengan usia yang lebih tua memiliki anak dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan ibu dengan usia yang lebih muda. Pendapatan per kapita pun berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak. Semakin besar pendapatan perkapita, semakin besar pula alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak. Hartoyo (1998) menyatakan bahwa keluarga akan lebih mencurahkan sumberdayanya untuk meningkatkan kualitas anak seiring dengan peningkatan pendapatan. Penelitian Permatasari (2010) pun menunjukan hal serupa, bahwa keluarga yang memiliki pendapatan yang tinggi mengalokasikan dana untuk pendidikan lebih banyak. Pada penelitian ini investasi pendidikan dapat dilihat dari besarnya uang yang dialokasikan orang tua untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Proporsi terbesar alokasi pengeluaran yang dikeluarkan orangtua untuk pendidikan anak ialah untuk uang saku, SPP/BP3 dan untuk transportasi. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan masyarakat keluarga petani peduli dengan pendidikan anak-anaknya, akan tetapi hal tersebut terkendala oleh keadaan ekonomi keluarga yang tidak memadai. Hasil wawancara menunjukan bahwa istri petani menginginkan anak-anaknya dapat sekolah hingga jenjang pendidikan menengah, bahkan hingga perguruan tinggi, namun karena adanya kendala biaya dan pendapatan keluarga yang tidak menentu jumlahnya, orangtua lebih memilih untuk pasrah dan tidak terlalu yakin akan menyekolahkan semua anak-anaknya minimal hingga jenjang sekolah menengah atas. Namun demikian, keluarga tetap mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan pendidikan anak yang masih sekolah, khususnya bagi keluarga yang memiliki anak sekolah pada jenjang pendidikan menengah yang membutuhkan lebih banyak alokasi dana pendidikan. Keterbatasan Penelitian 1. Penarikan responden pada penelitian ini tidak dilakukan dengan cara probability sampling, melainkan dilakukan dengan cara non-probability sampling secara purposive, sehingga tidak dapat digeneralisasikan. 2. Penelitian ini hanya mengambil responden dari satu kelurahan saja, sehingga cakupan wilayah cenderung sempit.
48 3. Penelitian ini hanya mengkaji tentang investasi anak dalam bentuk alokasi pengeluaran untuk pendidikan saja, tidak dilakukan pengkajian tentang alokasi waktu ibu dan perilaku investasi.
49
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh responden menyetujui bahwa pendidikan menengah merupakan hak setiap anak pendidikan menengah penting untuk meningkatkan kualitas anak, pendidikan menengah penting sebagai gerbang pencapaian cita-cita. Namun, masih ada responden yang beranggapan bahwa setelah tamat pendidikan dasar anak lebih diutamakan
membantu
perekonomian
keluarga
dibandingkan
dengan
melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan menengah karena kendala ekonomi. Selain itu, hampir seluruh keluarga responden beranggapan bahwa pendidikan menengah membutuhkan biaya yang besar sehingga memberatkan keluarga. Oleh karena itu persepsi orang tua tentang pendidikan menengah tergolong kategori sedang. Persepsi orangtua tentang pendidikan menengah dipengaruhi oleh pendidikan istri dan pendapatan perkapita. Meningkatnya pendapatan per kapita dan semakin lama pendidikan yang ditempuh istri akan menaikan persepsi tentang pendidikan menengah bagi anak. Alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak ialah sebesar Rp319.914,26 dengan presentase 23,9 persen dari total pengeluaran keluarga. Proporsi terbesar pada alokasi pengeluaran untuk pendidikan anak terdapat pada pengeluaran untuk uang saku (37,20%). Alokasi pengeluaran untuk pendidikan dipengaruhi oleh usia istri dan pendapatan per kapita. Semakin tinggi pendapatan per kapita dan usia istri, semakin banyak keluarga mengalokasikan pengeluaran untuk pendidikan.
Saran 1.
Hasil penelitian menunjukan bahwa masih banyak yang menganggap biaya pendidikan sekolah menengah terlalu mahal, diharapkan pemerintah memberikan subsidi yang tepat kepada keluarga yang benar-benar membutuhkan dengan membuat kriteria-kriteria keluarga yang berhak mendapatkan dana bantuan.
2.
Diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pendapatan petani dengan menetapkan harga pembelian pemerintah yang lebih tinggi untuk bahanbahan baku hasil pertanian.
50
51
DAFTAR PUSTAKA [BPS]. 2011b. Indeks Pembangunan Manusia Menurut Provinsi 2006-2009. Jakarta: BPS. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2010. Kota Bogor dalam Angka: Statistik Daerah Kota Bogor 2010. Bogor : BPS. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2010. Kecamatan Bogor Selatan dalam Angka : Statistik Daerah Kecamatan Bogor Selatan 2010. Bogor : BPS. Barada D. 2008. Pandangan Masyarakat Petani terhadap Pendidikan Anak Di Kelurahan Gambut Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Negeri Lampung. Bryant, W.K. 1990. The Economic Organization Of The Household. United States of America: Cambridge University Press. Bryant WK, Zick CD. 2006. The Economic Organization of The Household, Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Friedman, M.M.,Bowden, V.R., Jones, E.J. 2003. Family Nursing: Research Theory and Practice. Fifth Edition. New Jersey: Prentice Hall Glinskaya E. 2005. Education and Health Expenditures in Bangladesh: Benefit Incidence Analysis : Journal of Developing Societies. 1(10). pp, 101-118. Guhardja S, H. Puspitawati, Hartoyo, D. Hastuti. 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hartoyo. 1998. Investing in Children: Studi of Rural Families in Indonesia. Ph.D. Desertation, Virginia Tech. Blacsburg, USA. Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Kartino T. 2005. Nilai Anak dan Kualitas Pengasuhan Anak Usia Sekolah pada Keluarga Nelayan di Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kelurahan Kertamaya. 2011. Data Profil Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan. Bogor, Jawa Barat. Jerrim J., Micklewright J. 2009. Children’s Education and Parent’s Socioeconomics Status: Distinguishing The Impact of Mothers and Fathers. Journal of Education. University of Southampton.1(17). pp, 1-31. Megawangi R. 1999. Membiarkan Berbeda : Sudut Padang Baru tentang Relasi Gender. Bandung : Mizan. Muchtar, Y. 2003. Capaian MDG’s untuk Goals Pendidikan. [terhubung berkala]. http://www.csis.or.id/eventsfile/67/unreform03.ppt. [1 Februari 2012].
52 Permatasari, D. 2010. Pengaruh Persepsi Pendidikan dan Nilai Anak terhadap Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan Anak [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor. Puspitawati H. et al. 2009. Laporan: Survei Kepuasan Orangtua terhadap Pelayanan Pendidikan Dasar yang Disediakan oleh Sistem Desentralisasi Sekolah. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rout
H.S. 2008. Socio-economic Factors and Household Health and Expenditure: The Case of Orissa. Journal of Health Management.1(21). pp, 91-120
Rosidah, U. 2011. Kajian Strategi Koping dan Perilaku Investasi Anak pada keluarga Buruh Pemetik Melati Gambir [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor. Sadli, S. 1993. Peranan Keluarga dalam Proses Modernisasi dan Pelestarian Nilai-nilai Budaya. Makalah Seminar Mengisi Hari Keluarga Nasional 1993 dan Menyongsong tahun 1994. 21-23 September 1993. Saraswati, A. 2012. Persepsi dan Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan dan Kesehatan Anak pada Keluarga Nelayan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor. Septiana, L. 2011. Pemodelan Remaja Putus Sekolah Usia SMA di Provinsi Jawa Timur dengan Menggunakan Metode Regresi Spatial [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Semarang. Soeharjo A, Patong. 1977. Sendi-sendi Pokok Ilmu Usahatani. Departemen Ilmuilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Sriyani N, Muflikhati I, Fatchiya A. 2006. Persepsi Nelayan tentang Pendidikan Formal di Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Buletin Ekonomi Perikanan. 2(2). Sulistyatuti, R. D. 2008. Pembangunan Pendidikan dan MDG’s di Indonesia: Sebuah Refleksi Kritis Harian Kompas. Edisi 3 Maret. [terhubung berkala]. http://www.kompas.com. [1 Februari 2012]. Sumarwan, U. 2004. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta : Ghalia Indonesia. Suryawati. 2002. Alokasi Pengeluaran untuk Pendidikan Anak pada Keluarga Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja. [Tesis]. Program Pascasarjana. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Syarief, H. 1997. Membangun Sumberdaya yang Berkualitas. Telaahan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi
53 Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian Bogor. IPB. Bogor. UNDP [United Nations Development Programe]. 2011. Human Development Index and Its Components. [internet]. [1 Februari 2012]. Tersedia pada: http.//hdr.undp.org/en/media/HDR 2011 EN Tabel1.pdf. Wijayanti, LT. 2003. Pengaruh Pendapatan Petani Terhadap Pendidikan Anak [Skripsi]. Malang : Universitas Muhammadyah. Witrianto, 2005. Hubungan Saling Ketergantungan antar Petani dan Pedagang Perantara di Pedesaan Minangkabau. Makalah: Antropologi Ekonomi. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
55
LAMPIRAN
56
57 Lampiran 1 Peta Kelurahan Kertamaya
KELURAHAN KERTAMAYA
58
58 Lampiran 2 Koefisien korelasi antar variabel penelitian Status Kepemil Jumlah Usia usaha ikan anak suami lahan sklh Status usaha
1
Kepemilikan lahan
.799**
Jumlah anak sekolah .058
Usia istri
Pddkn Pddkn Pekerjaan Besar Tipe Pendapatan Pendapatan Pengeluaran Persepsi suami istri istri keluarga keluarga keluarga kapita pendidikan pendidikan
1 .067
1
Usia suami
-.019
-.077
-.036
1
Usia istri
-.004
-.015
-.115
.529** 1
Pddkn suami
.447**
.370**
-.067
-389** -.301*
1
Pddkn istri
.512**
.413**
-.097
-307*
-.288*
.636**
1
Pekerjaan istri
.034
-.135
.015
.148
-.070
.167
.107
1
Besar keluarga
-.106
-.014
.304*
.188
.114
-.086
-.110
.100
1
Tipe keluarga
-.062
-.035
.012
.165
.060
-.073
-.015
.182
.384**
1
Pendapatan keluarga .597**
.475**
.192
.134
-.036
.366**
.393** .267*
.080
-.049
1
Pendapatan kapita
.678**
.567**
.026
-.001
.008
.359**
.505** .162
-.198
-.111
.744**
1
Pengeluaran pendidikan
.107
.000
508**
.144
.059
.029
.006
.127
.064
.318*
.088
1
.305*
.067
-.202
-.222
.500**
.650** .182
-.086
.054
.437**
.532**
.188
Persepsi pendidikan .460**
Keterangan: *=signifikan pada selang kepercayaan 90% **=signifikan pada selang kepercayaan 95%, *** =signifikan pada selang kepercayaan 99%
.223
1
59 Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian
Lahan sawah di Kertamaya
Dapur salah satu responden
Kandang ternak kambing
Usaha tanaman hias milik salah satu responden
Empang dan kebun pekarangan
Rumah salah satu responden
Suasana setelah wawancara
Warung salah satu responden
60
61 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat tanggal 25 Agustus 1990. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Uun Sumiarsa (alm) dengan Nina Herlina. Pada tahun 2005 penulis menamatkan pendidikannya
di
SMP
Negeri
4
Bogor.
Penulis
menamatkan pendidikan sekolah menengah atas pada tahun 2008 di SMA Negeri 1 Bogor. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan strata satu di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama
mengikuti
perkuliahan,
penulis
mengikuti
organisasi
dan
kepanitiaan. Organisasi yang diikuti penulis ialah Forsia (Forum Syi’ar Islam Fakultas Ekologi Manusia) sebagai sekertaris divisi Infokom (Informasi dan Komumunikasi). Kepanitiaan yang diikuti penulis antara lain anggota divisi medis Masa Pengenalan Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen 2010 dan ketua divisi konsumsi dalam kepanitiaan Forsia Islamic Festival tahun 2011. Penulis telah menerbitkan dua novel yang berjudul Shadow of Death dan Heart Reflections yang keduanya diterbitkan oleh Penerbit Leutika Prio pada tahun 2010. Penulis menjadi salah satu kontributor kisah non-fiksi pada komunitas LRS (Leutika Reading Society) Chapter Tegal tahun 2011 dan menerbitkan buku berjudul Gerakan Cinta Membaca (Leutika Prio 2011) bersama komunitas tersebut. Karya lainnya ialah kontributor kisah pada buku kumpulan flash fiction berjudul Dear Love (Hasfa Publisher 2010), Serba-serbi Poligami (Elex Media Komputindo 2011), Bukan Cinta Ala Valentine (Indie Publishing 2011), Flash True Story Share Your Unforgettable Moment in This Year (AG Publishing 2011), True Story Scary Moment (Indie Publishing 2010) dan buku Antologi Hirawling Kingdom (Leutika Prio 2011). Pada tahun 2012 penulis menjadi kontributor kisah fiksi dalam buku Simfoni Balqis Vol. 1 (Sayembara Cerita Mini Internasional) yang dikoordinasi oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia Yaman (PPI Yaman).