Jurnal POLITEIA|Vol.9|No.1|Januari 2017 Lamia Jovita Aditia Ilham, Ahmad Taufan Damanik
ISSN: 0216-9290 Persepsi NUdan Muhammadiyah Mengenai Partisipasi Perempuan
Persepsi NU dan Muhammadiyah Mengenai Partisipasi Perempuan LAMIA JOVITA ADITIA ILHAM1, AHMAD TAUFAN DAMANIK2 1
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email:
[email protected] 2 Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email:
[email protected]
Diterima tanggal 10 Juni 2016/Disetujui tanggal 4 November 2016 This study is about the perception of Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah on women's participation. Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama (NU)is the largest Islamic organization in Indonesia. Persyarikatan Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama (NU) has been known since bebarapa twenty years ago.Muhammadiyah was established on 18 November 1912.Nahdlatul Ulama (NU) was established in Surabaya on January 31, 1926.Pioneers Muhammadiyah is K.H. Ahmad Dahlan and the founding pioneers Nahdlatul Ulama (NU) is KH. Hasyim Ashari. According to the scholars Nahdlatul Ulama role of women in politics is necessary to follow the current political participation. It would be better if Muslim women participated for the revival of Islam. According to the scholars Muhammadiyah women and men have a gender equality. Women needed to contribute ideas on political issues. The study used the approach to political ideology. This study method is descriptive. Collecting data with depth interview. Analysis of data using qualitative analysis. Keywords: Women in politics, political participation, Islamic perspective. Pendahuluan Penelitian ini membahas arena dan konteks perempuan dan politik. Dengan mengambil setting studi ilmu politik, penelitian ini secara spesifik menjelaskan persepsi masyarakat Islam terhadap ikut sertanya perempuan dalam partisipasi politik. Latar belakang kajian penelitian ini diawali dengan melihat dinamika sosial politik yang terjadi di Indonesia setelah reformasi memberikan banyak pembelajaran yang bermakna bagi masyarakat, menuntut keterbukaan dan kreatifitas juga menepis segala keterbatasan. Dalam ranah politik, keterwakilan perempuan di parlemen pun telah dibuka lebar kesempatan itu bagi
perempuan untuk berpolitik.1 Ditambah lagi, isu perempuan dan politik merupakan isu yang “seksi” sebab setidaknya setiap lima tahun sekali menjelang pelaksanaan pemilu, persoalan perempuan dan politik selalu menarik untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak, dari segi kuantitas jumlah perempuan (118.010.413 jiwa) hampir sama dengan lakilaki (119. 630.913 jiwa). Tetapi, karena konstruksi budaya dalam masyarakat membuat perempuan harus menempati posisi kedua. Artinya, perempuan hanya kelompok kedua ketimbang laki–laki. Perempuan hanya mengurusi persoalan memasak, berdandan, melaAs‟ad Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer,(Jakarta: PT Gema Insani Press, 1996), hal. 23. 1
9
Jurnal POLITEIA|Vol.9|No.1|Januari 2017 Lamia Jovita Aditia Ilham, Ahmad Taufan Damanik
hirkan. Itu berarti peran perempuan diharapkan hanya di sektor domestik.2 Kesetaraan gender (gender equality) adalah posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dalam aktifitas kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat, baik berbangsa dan bernegara. Keadilan gender (gender equality) adalah suatu proses menuju setara, selaras, seimbang, serasi, tanpa diskriminasi. Dalam Kepmendagri disebutkan kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi yang adil dan setara dalam hubungan kerjasama antara perempuan dan laki-laki. Kesetaraan yang berkeadilan gender merupakan kondisi yang dinamis, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban, peranan, dan kesempatan yang dilandasi oleh saling menghormati dan menghargai serta membantu di berbagai sektor kehidupan. Untuk mengetahui apakah laki-laki atau perempuan telah berkesetaraan dan berkeadilan sebagaimana capaian pembangunan berwawasan gender adalah seberapa besar akses dan partisipasi atau keterlibatan perempuan terhadap peran-peran sosial dalam kehidupan, baik dalam keluarga, masyarakat, dan dalam pembangunan, dan seberapa besar kontrol serta penguasaan perempuan dalam berbagai sumber daya manusia maupun sumber daya alam dan peran pengambilan keputusan dan memperoleh manfaat dalam kehidupan.3 Sebagai konsep politik, perwakilan (representation) tidak muncul bersamaan dengan lahirnya ilmu politik pada masa Yunani Kuno. Sebagaimana dikemukakan oleh Hanna F. Pitkin pada massa Yunani Kuno tidak dikenal konsep perwakilan. Kalaupun ketika itu sudah ada lembaga–lembaga perwakilan politik, karena ada sejumlah pejabat yang dipilih dan duta yang diutus ke negara lain. Lembaga–lembaga ini memiliki peran yang kurang signifikan. ketika itu yang bercorak
ISSN: 0216-9290 Persepsi NUdan Muhammadiyah Mengenai Partisipasi Perempuan
langsung (direct democracy).4 Pada perkembangannya, abad ketujuh belas, kata perwakilan sudah dikaitkan dengan „agency and acting for others‟. Disini konsep perwakilan politik sudah berkaitan dengan adanya sekelompok kecil orang yang bertindak atas nama atau mewakili orang atau banyak orang lain.5 Interaksi timbal balik antara agama dan masyarakat, bagaimana agama mempengaruhi masyarakat dan masyarakat mempengaruhi pemikiran serta pemahaman agama merupakan tema inti kajian pada masa klasik. Sedangkan pada era modern inti kajian sosiologi agama hanya terletak pada satu arah, yakni bagaimana agama mempengaruhi masyarakat. Dalam hal ini kajian sosiologi Islam lebih dekat dengan model penelitian agama klasik, berupa kajian interaksi timbal balik antar agama dengan masyarakat. Setidaknya ada lima tema dalam studi Islam yang dapat menggunakan pendekatan sosiologi, di antaranya. Studi tentang pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. Studi Islam dalam bentuk ini mencoba memahami seberapa jauh pola-pola budaya masyarakat (seperti menilai sesuatu itu baik atau buruk) berlandaskan pada nilai-nilai agama, atau seberapa jauh struktur masyarakat (seperti supremasi kaum lelaki) berpangkal pada ajaran tertentu suatu agama, atau seberapa jauh perilaku masyarakat seperti pola konsumsi atau berpakaian masyarakat) berpangkal pada ajaran tertentu dalam suatu agama. 6 Adapun point yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggapan masyarakat Islam (NU dan Muhammadiyah) terhadap partisipasi perempuan ketika dikaitkan dengan ajaran agama Islam yang mereka yakini. Mendeskripsikan faktor penentu apa yang harus dimiliki caleg perempuan saat pemilu jika dikaitkan dengan ajaran agama Islam.
4
2
MansourFaqih, Analisis Jender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 89. 3 Mufidah CH, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender.(Malang: UIN Press, 2008), hal. 18-19.
10
DeliarNoer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: Pustaka, 1980),hal.45. 5 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, (Jakarta: Kencana Group, 2009), hal.39. 6 Fathiyah HasanSulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, (Bandung: Diponegoro, 1987), hal.78.
Jurnal POLITEIA|Vol.9|No.1|Januari 2017 Lamia Jovita Aditia Ilham, Ahmad Taufan Damanik
Pendekatan dan Metode Studi ini menjelaskan tentang prespektif masyarakat tentang partisipasi perempuan dalam pandangan Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ideologi politik. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan studi dokumen. Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Jejak Sejarah Muhammadiyah dan NU Persyarikatan Muhammadiyah sudah dikenal sejak bebarapa puluh tahun yang lalu, organisasi Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam yang ada di Indonesia. Muhammadiyah berdiri pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Dzuhijjah 1330 Hijriah. Perintis berdirinya Muhammadiyah adalah K.H. Ahmad Dahlan, beliau lahir di Kampong Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 Masehi dengan Nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah K.H Abu Bakar seorang khatib Masjid besar kesultanan Yogyakarta yang apabila di lacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim, penghulu Kesultanan Yogyakarta7. K.H. Ahmad Dahlan mendapat pendidikan Islam sejak kecil yang dididik oleh ayahnya sendiri yaitu, K.H. Abu Bakar. Pendidikan Dahlan mengikuti pola pendidikan tradisional yang diawali dengan mempelajari AlQur‟an, kemudian dilanjutkan dengan cara mempelajari kitab-kitab Fiqih, Nahwu, Tafsir dan sebagainya di Lembaga-lembaga sekitar Yogyakarta.
ISSN: 0216-9290 Persepsi NUdan Muhammadiyah Mengenai Partisipasi Perempuan
rannya untuk mendirikan organisasi yang bernafaskan Islam yang bernama Muhammadiyah. Secara terminologi, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, berazaskan Islam, bersumber pada Al Qur‟an dan Sunah. Pemberian nama Muhammadiyah dengan maksud berpengharapan baik (bertafa’ul), mencontoh dan menteladani jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW. Semua ditujukan demi terwujudnya kejayaan Islam, sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas8. Ditinjau dari faktor-faktor yang melatar belakangi lahirnya Muhammadiyah, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua9; Pertama, faktor subyektif. Yaitu pendalaman Ahmad Dahlan dalam menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isi Al Qur‟an. Dahlan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan firman Allah sebagaimana tersimpul dalam surat An Nisa ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24, yakni melakukan taddabur atau memperhatikan, mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam setiap ayat. Kedua, faktor obyektif. Faktor ini diklasifikasikan menjadi faktor internal, faktor-faktor penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia dan faktor eksternal, faktor-faktor penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1980, K.H. Ahmad Dahlan mengerjakan haji ke Mekkah disamping itu beliau juga melanjutkan pelajaran di kota suci selama tiga tahun dengan dua kali kunjungan pertama tahun 1890, sedangkan kunjungan kedua tahun 1902 M. Berdasarkan pengalaman pengetahuan Islam yang didapat K.H. Ahmad Dahlan merupakan landasan pemiki-
Faktor obyektif bersifat internal disebabkan oleh dua hal, pertama, ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al Qur‟an dan Sunah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Tidak dipungkiri masuknya Islam di Indonesia sudah didahului berbagai aliran dan agama lain, baik Hindu maupun Budha. Sehingga, seringkali ajaran-ajaran tersebut tidak sengaja menempel pada tubuh ajaran Islam. Dalam kehidupan beraqidah (keyakinan hidup), agama Islam mengajarkan untuk memilih tauhid yang murni, bersih dari bermacam syirik, bid‟ah dan khurofah. Namun dalam prakteknya banyak orang Islam percaya pada
7
8
Ahmad Adaby Darban dan Mustafa Kemal Pasha, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam perspektif Historis dan Ideologis), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 76.
Ibid, hal. 70-71. Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, (Jakarta:Studi Perbandingan, Bulan Bintang, 1993), hal. 14. 9
11
Jurnal POLITEIA|Vol.9|No.1|Januari 2017 Lamia Jovita Aditia Ilham, Ahmad Taufan Damanik
ISSN: 0216-9290 Persepsi NUdan Muhammadiyah Mengenai Partisipasi Perempuan
benda-benda keramat, sesajian, meminta berkah di kuburan, ramalan dukun, bintang serta berbagai ritual yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam urusan doa, banyak umat Islam yang menggunakan perantara (washilah) yang menghubungkan dirinya dengan Allah SWT, seperti bertawasul pada Syaikh Abdul Qodir Jaelani, Nabi, Malaikat, Wali dan lainnya. Padahal ini tidak ada dalam ajaran Islam.
Ketiga, pengaruh dari gerakan pembaharuan dalam dunia Islam. Muhammadiyah dibangun dari mata rantai yang panjang dari gerakanpembaharuan Islam. Dimulai dari Ibnu Taimiyah, Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, Muhammad Abdul, Jamaludin Al Afghani dan Rasyid Ridha. Lewat merekalah dan tokoh-tokoh lainnya yang sepaham, Ahmad Dahlan mendapatkan arah pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam11.
Kedua, lembaga pendidikan Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku “Khalifah di muka bumi “. Ahmad Dahlan memandang Pondok Pesantren sebagai satu lembaga pendidikan khas umat Islam Indonesia masih ada kekurangan. Kalau pada awalnya sistem pondok pesantren hanya membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu agama, maka penyempurnaannya dengan memberikan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dengan demikian akan lahir dari lembaga pendidikan ini manusia yang bertaqwa kepada Allah, cerdas dan terampil. Dalam terminologi Al Qur‟an disebut “Ulul Albab.
Syaifullah mengklasifikasikan latar belakang lahirnya Muhammadiyah menjadi empat. Pertama, aspirasi Islam Ahmad Dahlan. Untuk mengetahui hal ini bisa dilihat dalam dua fase. Pertama setelah Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji yang pertama (1889). Kedua, setelah menunaikan haji yang kedua (1903). Kedua, realitas sosial-agama di Indonesia. Munculnya kepercayan dan agamaagama sebelum Islam di Indonesia menyebabkan proses masuknya Islam melalui akulturasi dan sinkretisme. Ketiga, realitas sosiopendidikan. Muhammadiyah lahir sebagai penengah antara pendidikan pesantren dan pendidikan sekelur. Keempat, realitas politik Islam Hindia Belanda. Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar pribumi beragama Islam, sehingga perlawanan penduduk yang timbul, seperti perang Diponegoro, Padri, Aceh dan lain-lain, tidak lepas dari ajaran Islam12.
Faktor obyektif yang bersifat eksternal diakibatkan oleh tiga hal, Pertama, semakin meningkatnya kristenisasi di tengah masyarakatIndonesia10. Masa penjajahan baik, Spanyol, Portugal dan Belanda sama-sama mengibarkan panji-panji gold, glory dan gospel. Untuk gospel sendiri, misionaris Kristen yang disebar bertujuan mengubah agama penduduk yang Islam ataupun yang bukan menjadi Kristen. Tingginya arus kristenisasi terjadi pada pemerintahan Hindia Belanda, Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg, (1909-1916), Idenburg melancarkan program yang lebih popular dengan sebutan “Kristenisasi Politik. Kedua, penetrasi bangsa-bangsa Eropa, terutama bangsa Belanda di Indonesia. Masuknya kebudayaan, peradaban dan keagamaan Eropa setidaknya berpengaruh buruk pada bangsa Indonesia. Lahirnya sifat Individualistik, diskriminatif dan dasar-dasar agama yang sekuler menjadikan generasi baru bangsa Indonesia yang acuh tak acuh pada ajaran Islam. Simbol keIslaman yang mereka pakai dirasa sebagai sesuatu yang tidak modern.
Adapun secara khusus proses lahirnya Muhamadiyah menurut Saefullah, terbagi menjadi dua tahap. Pertama, prolog proklamasi yang berkaitan dengan kontak Ahmad Dahlan dan organisasi Budi Utomo, melalui Djojo Sumarto, 1909. Hubungan ini merupakan gerbang berdirinya Muhammadiyah. Kedua, proses proklamasi lahirnya Muhamadiyah. Dalam hal ini Ahmad Dahlan melakukan lima langkah sebagai persiapan lahirnya Muhammadiyah. Pertama, Ahmad Dahlan menemui dan berdiskusi dengan Budihardjo dan R Dwisewojo, guru Kweekschool di Guperment Jetis. Kedua, Ahmad Dahlan mengadakan pertemuan dengan orang-orang dekat dan memikirkan rencana berdirinya organisasi tersebut, baik nama, maksud dan tujuan 11
Ahmad Adaby,op.cit., hal. 71-77. Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi,(Jakarta: Pustaka Utama, 1997), hal. 25-27. 12
10
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: Pustaka, 1980), hal. 172.
12
Jurnal POLITEIA|Vol.9|No.1|Januari 2017 Lamia Jovita Aditia Ilham, Ahmad Taufan Damanik
perkumpulan. Ketiga Ahmad Dahlan dengan keenam anggota baru Budi Utomo itu mengajukan permohonan kepada Hoofd Bestuur Budi Utomo dengan mengusulkan berdirinya Muhammadiyah Kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada 18 November 1912 permohonan dikabulkan. Keempat, Ahmad Dahlan mengadakan rapat pengurus untuk yang pertama kalinya guna mempersiapkan proklamasi berdirinya Muhammadiyah. Kelima, Ahmad Dahlan memproklamasikan berdirinya Muhammadiyah. Deklarasi dihadiri oleh sekitar enam puluh sampai tujuh puluh orang13. Maka bisa dikatakan mulanya Muhammadiyah hanyalah sebuah kelompok kecil yang mempunyai misi agak bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan penduduk bumi putera. Kelompok yang terdiri dari orang-orang yang penuh pengabdian serta mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi atas tersebarnya apa yang mereka yakini sebagai ajaran yang benar dari Nabi Muhammad SAW dan dalam rangka peningkatan kehidupan keagamaan mereka. Berdirinya Muhammadiyah karena beberapa faktor antara lain14: (1). Keterkaitan dengan kondisi kehidupan keagamaan kaum muslimin di Indonesia yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran Islam; (2). Berkaitan dengan politik Islam Belanda terhadap umat Islam di Indonesia, serta pengaruh ide dan gerakan dari Timur Tengah dan juga kesadaran dari beberapa pimpinan Islam tentang kemajuan yang telah dicapai oleh Barat. Kondisi yang digambarkan terkait politik di Indonesia pada saat itu adalah sebuah negeri yang muram. Setelah runtuhnya kekuasaankekuasaan monarki di nusantara, negeri ini terkoyak oleh kolonialisme, sebuah pengalaman kolektif sebagai bangsa yang menimbulkan trauma dan cedera historis. Pengalaman pahit sebagai bangsa di bawah penindasan kolonialisme itu dialami sebagian besar rakyat yang tenggelam dalam kemiskinan
13
Ibid., hal. 68-79. Dawam Raharjo, Peranan Muhammadiyah dalam Pembangunan Bangsa: Sebuah Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1995), hal. 61-62. 14
ISSN: 0216-9290 Persepsi NUdan Muhammadiyah Mengenai Partisipasi Perempuan
(struktural maupun kultural), kebodohan dan keterbelakangan15. Memahami Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan, secara komprehensif dan proporsional, maka tidak dapat mengesampingkan aspek-aspek historis (aspek sejarah), yaitu peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi dan mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama16. Peristiwa-peristiwa yang paling mendasar melatarbelakangi lahirnya NU adalah: adanya pertentangan pendapat antara Islam Tradisionalis dengan Islam Modern, semangat nasionalisme, respons terhadap munculnya gagasan pembaharuan Islam di Indonesia yang banyak di pengaruhi pemikiran atau faham Wahabi serta ide-ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh serta basis sosial Islam Tradisional dan peristiwa-peristiwa internasional dan sebagainya. Jauh sebelum lahir sebagai organisasi, NU telah ada dalam bentuk komunitas (jama‟ah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karekter Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Wujudnya sebagai organisasi tidak lain adalah “penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham”. Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jama‟ah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam, yang ketika itu telah terlembagakan17. Sebagai sebuah komunitas beragama di antara varian komunitas keberagamaan lain yang terdapat di Indonesia, komunitas Nahdlatul Ulama (NU) merupakan bagian penting dari bangsa ini, baik dalam kehidupan sosiokultural dan kehidupan keberagamaan. Di beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, komunitas NU merupakan kelompok mayoritas di dalam agama Islam. Bahkan di beberapa wilayah tertentu, komunitas 15
Tanpa pengarang, Profil Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005), hal. 1. 16 Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996), hal. 21. 17 A.Gafar Karim, Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam Indonesia, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar,1995), hal. 47.
13
Jurnal POLITEIA|Vol.9|No.1|Januari 2017 Lamia Jovita Aditia Ilham, Ahmad Taufan Damanik
ISSN: 0216-9290 Persepsi NUdan Muhammadiyah Mengenai Partisipasi Perempuan
NU merupakan mayoritas mutlak di antara komunitas beragama lainnya. Dengan demikian, karakter dan kekhususan komunitas NU tersebut memiliki urgensi yang patut dipertimbangkan, baik dari segi sosio-kultural atau dari segi sosial-politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Deliar Noer menyebut komunitas tersebut sebagai kelompok tradisional dalam analisis keagamaannya yang merumuskan polarisasi antara kelompok modernis dan tradisionalis yang berkembang di Indonesia18. Dalam analisis tersebut, komunitas NU dikaitkan dengan sub-kultur pesantren yang memang merupakan cikal-bakal kelembagaan NU sebagai organisasi keberagamaan. Zamaksyari Dzofier dengan eksplisit menulis bukunya dengan kosa kata tradisi sehingga menjadi “Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai”19.
Persepsi tentang Perempuan
NU adalah jamiyyah diniyah Islamiyah yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy‟ari di Surabaya padatanggal 16 Rajab 1344 H atau tanggal 31 Januari 1926 M20. Kelahiran NU pada dasarnya merupakan muara perjalanan panjang sejumlah ulama pesantren diawal abad ke-20 yang berusaha mengorganisir diri dan berjuang demi melestarikan budaya keagamaan kaum muslim tradisional, di samping kesadaran untuk ikut mengobarkan semangat nasionalisme.
Dalam pandangan Yahudi martabat perempuan sama dengan pembantu, ayah mereka berhak menjual anak perempuanya, bahkan ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dia lah yang menjadikan Adamv terusir dari surga.21 Seorang ayah akan merasa malu kalau mempunyai anak perempuan, dan rela mengubur anaknya hiduphidup, sebagaimana disinyalir dalam AlQuran surat an-Nahl 58-59:
Lebih jauh berbicara tentang organisasi masyarakat (ormas), Nahdlatul Ulama‟ (NU) adalah salah satu ormas yang terbesar di Indonesia dan mempunyai kontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia. NU pulalah yang menyumbangkan para tokohnya untuk ikut rembuk dan bersifat partisipatif dalam penyusunan dasar-dasar negara, sebut saja KH. Wahid putra dari sang founding father NU, KH. Hasyim Asy‟ari dan KH Wabah Chasbullah. Tidak berhenti sampai di sana, pada tahun 1952, NU juga tercatat sebagai salah satu partai politik yang ikut meramaikan pesta demokrasi rakyat Indonesia pada Pemilihan Umum.
18
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafiti Press, 1987), hal. 84. 19 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 16. 20 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, (Jakarta:LkiS, 2004), hal. 12.
14
Partisipasi
Politik
Historis mengungkapkan betapa hinanya perempuan pada masa jahiliyah. Harga perempuan sebelum Islam datang, sangat rendah sekali, terlebih perempuan kalangan bawah, dalam masyarakat Yunani waktu itu perempuan kalangan elite saja disekap dalam istana, dan dikalangan bawah wanita diperjualbelikan, dan tak punya hak sipil bahkan hak waris juga tidak ada. Peradaban Hindu dan China tidak lebih baik dari peradaban Yunani pada masa yang sama, dimana hak hidup seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya, istri harus dibakar hidup-hidup bersama mayat suaminya hal ini berlangsung hingga abad 17 masehi.
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi khabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa sebahagian besar tradisi jahiliyah terhadap perempuan sangat tidak manusiawi. Ketika agama Islam datang, Islam dengan tegas menentang segala bentuk tindakan diskriminasi, penghinaan, dan penindasan terhadap perempuan. Datangnya Islam tersebut memberikan cahaya terang terhadap perempuan. Perlakuan yang tidak manusiawi pada masa jahiliyah telah merubah posisi perempuan menjadi dihormati dan dihargai.
21
Quraish shihab, Wawasan Al Qur'an, (Jakarta: Mizan, 1996), hal. 296-318.
Jurnal POLITEIA|Vol.9|No.1|Januari 2017 Lamia Jovita Aditia Ilham, Ahmad Taufan Damanik
Bila dicermati partisipasi perempuan di Indonesia baik dalam lemabaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif sebagai badan yang memegang peran kunci menetapkan kebijakan publik, pengambil keputusan, dan menyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Sarwo Edi : “Saat ini porsi perempuan yang sudah diberikan pemerintah adalah sebanyak 30% diharapkan keterwakilan perempuan dalam politik terpenuhi. Maka nilai lah perempuan dengan perannya sebagai perempuan, jangan nilai perempuan dari sudut pandang peran laki-laki maka perempuan akan terlihat lemah”.22
Juga ditambahkan oleh Mario Kasduri : “Salah satu hak dan kewajiban warga masyarakat yang erat hubungannya dengan hak aktif ialah merupakan partisipasi politik. Pemerintah telah membentuk kebijakan yang menguntungkan para kaum perempuan berupa kuota 30% untuk mereka. Perempuan berhak memiliki hak memilih maupun dipilih dalam politik ”23
Dari tanggapan Sarwo Edi dan Mario Kasduri, keterwakilan perempuan dianggap penting meskipun jumlah perempuan dalam panggung politik masih sangat rendah bahkan berada dibawah standar, sehingga posisi dan peran perempuan dalam lembaga-lembaga legislatif sebagai pengambil kebijakan dan penentu masih minim. Pemerintah telah menyadari pentingnya partisipasi politik perempuan maka untuk meningkatkan dan mendominasi agenda politik perlunya ditingkatkan porsi peran perempuan di dunia politik, misalnya melalui penetapan kuota 30% keanggotaan di parlemen dan itupun tidaklah menjawab persoalan. Bahwa partisipasi politik merupakan keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau mempengaruhi pelaksanaaan keputusan politik. Kelompok masyarakat Islam Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang terbesar dan bersumber pada AlQuran dan mencontoh tauladan nabi Mu22
Hasil wawancara dengan Drs. Sarwo Edi, MA (Wakil Ketua Muhammadiyah) dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 2014 di Kantor Muhammadiyah Sumut. 23 Hasil wawancara dengan Bapak Mario Kasduri, MA (Wakil Ketua II Muhammadiyah) dilaksanakan pada Tanggal 3 Juli 2014 di Kantor Muhammadiyah Sumut.
ISSN: 0216-9290 Persepsi NUdan Muhammadiyah Mengenai Partisipasi Perempuan
hammad SAW juga sunnahnya. Muhammadiyah menjelaskan bagaimana sepatutnya kehidupan politik dalam kehidupan sosial di Indonesia. Muhammadiyah menanggapi : “Kelompok mayarakat Islam di Indonesia seperti Muhammadiyah memiliki peran untuk membantu masyarakat untuk memahami dan menjalankan politik sesuai ajaran Islam.”24
Kelompok Muhammadiyah membantu masyarakat muslim untuk memahami hak-hak politik setiap orang, agar masyarakat sadar atas haknya untuk berpartisipasi di dalam politik dan juga masyarakat tidak menjadi apatis dalam kegiatan politik di sistem pemerintahan demokrasi. Muhammadiyah akan mengingatkan jika ada kegiatan politik yang menyimpang dari ajaran Islam dan berupaya agar kegiatan politik yang berlangsung membawa kepada kemaslahatan ummat. Ditegaskan dengan tanggapan Mario Kasduri : “Partisipasi perempuan di Indonesia merupakan salah satu bentuk pembangunan bangsa Indonesia, pembangunan politik yang menciptakan kesejahteraan rakyat mengingatkan kita untuk berlaku adil terhadap hak perempuan, agar kegiatan politik kita tidak menyimpang dari ajaran kita.”25
Dari pendapat beliau dapat dikatakan bahwa pandangan Muhammadiyah sangat mendukung dalam menanggapi peran perempuan dalam politik guna menciptakan kesejahteraan masyarakat. Muhammadiyah melihat kalau laki-laki dan perempuan harus mendapatkan perlakuan yang adil di mata hukum tentunya juga dalam hal berpartisipasi, karena konsep dalam sebuah negara demokrasi adalah setiap warga negara memiliki hak tanpa memandang perbedaan. Partisipasi politik merupakan proses politik yang harus dipahami dan diikuti, baik laki-laki ataupun perempuan. Nahdlatul Ulama menilai bahwa partisipasi politik saat ini didominasi oleh kaum laki-laki. Kelompok masyarakat Islam Nahdlatul Ulama memandang bahwa keberadaan perempuan memiliki kewajiban yang 24
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Sarwo Edi, MA (Wakil Ketua 1 Muhammadiyah) dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 2014 di Kantor Muhammadiyah Sumut. 25 Hasil wawancara dengan Prof. Mario Kasduri, MA (Wakil Ketua II Muhammadiyah) dilaksanakan pada 3 Juli 2014 di Kantor Muhammadiyah Sumut.
15
Jurnal POLITEIA|Vol.9|No.1|Januari 2017 Lamia Jovita Aditia Ilham, Ahmad Taufan Damanik
sama seperti laki-laki untuk mewujudkan kesejahteraan politik. Partisipasi perempuan pada hakekatnya adalah usaha menggali dan memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki oleh perempuan. Dari pandangan kelompok masyarakat Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, masing-masing kelompok tersebut memiliki pemikiran yang sama terhadap peran perempuan dalam politik yakni mendukung peran perempuan dalam perpolitikan di Indonesia. Kelompok masyarakat Islam Nahdlatul Ulama juga mendukung peningkatan kedudukan peran, agar mereka sadar akan haknya atas politik seperti laki-laki juga. Seperti yang disampaikan salah satu narasumber Nahdlatul Ulama, Prof. Syukur Kholil : “Kondisi yang tidak adil selama ini yang dirasakan oleh kaum perempuan, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah pemberdayaan perempuan. Dilaksanakan melalui upaya peningkatan kedudukan.”26
Peningkatan kedudukan perlu dilakukan agar menyadarkan masyarakat akan hak-hak setiap kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi di ruang politik. Kebijakan pemerintah seperti affirmative action dan kuota dilakukan untuk memastikan bahwa perempuan mempunyai hak untuk dipilih dalam badanbadan publik dan untuk memegang jabatan publik lainnya dan kedudukan dalam organisasi non-pemerintah. Fenomena yang ada seperti rendahnya partisipasi politik perempuan di dalam masyarakat dipengaruhi juga oleh banyaknya sikap apatis masyarakat terhadap politik. Hal tersebut disebabkan karena adanya pengalaman buruk yang berkaitan dengan kinerja yang tidak aspiratif terhadap kepentingan masyarakat dan moral yang tidak mencerminkan panutan di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sehingga menghasilkan ketidak percayaan masyarakat itu sendiri. Jika partisipasi perempuan lebih ditekankan, semakin banyak kedudukan perempuan di parlemen maka harapan terciptanya kemajuan masyarakat yang sejahtera akan semakin dekat. Partisipasi yang terjadi saat ini khusunya bagi kaum perempuan dalam politik di Indonesia sedang berusaha diwujudkan agar peranan kaum perempuan tidak lepas demi kemajuan umat dan hal tersebut 26
Hasil wawancara dengan Prof.Syukur Kholil (Bidang Hukum dan Politik) dilaksanakan pada Tanggal 16 Juli 2014 di kampus pasca sarjana IAIN.
16
ISSN: 0216-9290 Persepsi NUdan Muhammadiyah Mengenai Partisipasi Perempuan
merupakan bentuk dari adanya keadilan di alam demokrasi. Salah satu bukti Nahdlatul Ulama dalam mendorong gerakan para kaum perempuan dengan membentuk gerakan wanita baik Muslimat, Fatayat hingga Ikatan Pelajar Putri NU ketika Nahdlatul Ulama menerima partisipasi politik perempuan. “Kesadaran yang muncul akan rendahnya partisipasi politik perempuan haruslah dilakukan secara efektif. Guna membuka pikiran seluruh elemen masyarakat akan sikap mereka yang lebih tidak ambil pusing atas hal tersebut.”27
Partisipasi politik perempuan saat ini semakin dibutuhkan dalam upaya pengintergasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik, namun selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempuan dalam berbagai sektor kehidupan. Menghapus pembatasan berdasarkan gender pada posisi tertentu guna meningkatkan kenaikan jabatan bagi perempuan dan mengembangkan program pemerintah untuk menarik perempuan ke dalam peran kepemimpinan politik yang punya arti penting. Penutup Muhammadiyah dan NU menanggapi bahwa perempuan berpolitik. Dalam pandangan Muhammadiyah Mazhab yang menjadi landasan adalah pendekatan tekstual yang menjadikan lafal-lafal Al-Qur‟an sebagai obyek. Pendekatan ini menekankan analisisnya pada sisi kebahasaan dalam memahami Al-Qur‟an. Menurut Muhammadiyah perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan gender. Perjuangan perempuan dalam memperjuangkan kuantitas dan kualitas perempuan dapat dilihat dari bagaimana perempuan dapat memiliki kepekaan dan komitmen untuk mewujudkan kesetaraan, pemberdayaan, keadilan serta keikutsertaan perempuan dalam menyumbangkan pemikiran terhadap permasalahan politik yang sangat diperlukan. Perempuan memiliki bagian yang cukup penting dalam gerakan politik, yaitu untuk mendukung agenda kebijakan peningkatan kapasitas dan penguatan identitas perempuan Indonesia. Tanpa ada perbedaan perempuan juga 27
Hasil wawancara dengan Prof.Syukur Kholil (Bidang Hukum dan Politik) dilaksanakan pada Tanggal 16 Juli 2014 di kampus pasca sarjana IAIN.
Jurnal POLITEIA|Vol.9|No.1|Januari 2017 Lamia Jovita Aditia Ilham, Ahmad Taufan Damanik
bisa ikut berpartisipasi di bidang yang dapat di ikuti oleh perempuan seperti terjun langsung dalam menjadi calon legislatif dan membela hak-haknya kaum perempuan demi mencapai kesejahteraan bersama.Sementara Perempuan berpolitik dalam pandangan Nahdlatul ulama menggunakan pendekatan kontekstual yang lebih mengutamakan akal pikiran yang bersumber dari Syari‟at–syari‟at islam yang memandang bahwa ketentuanketentuan yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah SWT atau hubungan manusia dengan Allah (vetikal), serta ketentuan yang mengatur pergaulan/hubungan antara manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya. Nahdlatul ulama lebih melihat bentuk-bentuk ayat Al-Quran yang menjadi simbol masyarakat seharusnya tergantung pada waktu dan tempat. Tingkah laku sosial yang berubah seiring jalan berkesinambungan dengan ayat-ayat Al-Quran dan perkembangan didalam susunan masyarakat telah membawa perubahan sosial bagi perempuan. Sehingga menurut para ulama Nahdlatul Ulama peran perempuan di dalam politik diperlukan untuk mengikuti partisipasi politik saat ini maka lebih baik jika perempuan muslim ikut berpatisipasi untuk membangun kebangkitan agama Islam. Daftar Pustaka Adaby Darban, Ahmaddkk.,2000. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (Dalam Perspektif Historis dan Ideologis). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdurrahman, Mas‟ud. 2003. Menuju Paradigma Islam Humanis. Yogyakarta: Gama Media. Amin, Masyhur. 1996. NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya. Yogyakarta: Al-Amin Press. Mufidah CH, 2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN Press. Marijan, Kacung. 2009.Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Kencana Group. Sulaiman, Fathiyah Hasan. 1987.Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan. Bandung: Diponegoro. Dhofier, Zamakhsyari Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982. Faqih, Mansour, Analisis Jender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, (terj). Budaya Pollitik, Tingkah Laku Politik Dan
ISSN: 0216-9290 Persepsi NUdan Muhammadiyah Mengenai Partisipasi Perempuan
Demokrasi Di Lima Negara, Jakarta:Bumi Aksara, 1990. Huntington,Samuel dan Joan M. Nelson (terj). Partisipasi Politik Di Negara Berkembang. Jakarta: Sangkala Puksar, 1984. Karim,Gafar Metamorfosis : NU dan Politisisasi Islam Indonesia, cet:I Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995. Lubis, Arbiyah. 1993.Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta:Studi Perbandingan, Bulan Bintang. Noer, Deliar , Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942. Jakarta : Pustaka, 1980. ___________, Partai Islam Di Pentas Nasional, Jakarta: Grafiti Press, 1987. Tanpa pengarang. 2005.Profil Muhammadiyah. Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Qardawi, Yusuf. Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah. Diterjemahkan oleh As‟ad Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2. Cet. II; Jakarta: PT Gema Insani Press, 1996 Raharjo, Dawam. 1995.Peranan Muhammadiyah dalam Pembangunan Bangsa: Sebuah Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Shihab,Quraish. 1996.Wawasan Al Qur'an. Jakarta: Mizan. Syaifullah. 1997.Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi.Jakarta: Pustaka Utama. Wawancara dengan Bapak Drs. Sarwo Edi, MA (Wakil Ketua 1 Muhammadiyah) dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 2014 di Kantor Muhammadiyah Sumut. Wawancara dengan Prof. Mario Kasduri, MA (Wakil Ketua II Muhammadiyah) dilaksanakan pada 3 Juli 2014 di Kantor Muhammadiyah Sumut. Wawancara dengan Prof.Syukur Kholil (Bidang Hukum dan Politik) dilaksanakan pada Tanggal 16 Juli 2014 di kampus pasca sarjana IAIN. Zahro, Ahmad. 2004.Tradisi Intelektual NU. Jakarta:LkiS.
17