PERSEPSI ETIKA TERHADAP SKANDAL SUSU Anita Maharani
Abstract Amid a tremendous transition into an economic boom, China has several issues related to business ethics practices. A case of melamine-contaminated milk products that cause health problems to many of its consumers show the lack of respect and practice on good business practice in China. The aim of this research is to look, whether there is any difference of ethics perception on three subjects: between male and female, between group of age, between professions. The method of this research is, descriptive study, done in two places: Bogor & Jakarta, using convenience sampling, numbers of respondent is 55 persons, voluntarily to involve, however, 49 pieces of returned survey valid to use for this research. However, the results are: there is no difference of ethics perception between male and female, also, there is no difference of ethics perception between group of age and professions. Keywords: perception, ethics, China, melamine-contaminated milk.
Pendahuluan Pada tahun 1980 dan 1990 menjadi salah satu peristiwa besar dunia, yakni, runtuhnya komunis di Uni Soviet dan China mengalami perkembangan perekonomian yang pesat sehingga mampu menguasai pasar Internasional. China fokus pada pengembangan daerah pedesaan dan kekuatan militer, serta perkembangan yang didapatkan melalui pemasukan negara yang pesat. Perombakan pasar di China mulai terjadi 1978 dalam pertanian, pengendalian harga, penciptaan lahan milik pribadi untuk para petani, pengembangan dukungan dana dan lembaga yang terkait dan pengembangan usaha perorangan. Sejak permulaan dari perombakan sistem pasar tahun 1978 tersebut. China mengalami kemajuan pesat dari rata-rata 9% atau 8% dalam pendapatan per kapita. Bagaimana pun perkonomian China pernah mengalami masalah-masalah dalam ketidaklengkapan dalam hak kepemilikan, tidak berkembangnya institusi finansial, kurangnya integrasi penuh dengan dunia ekonomi dan pengembangan daerah yang berkepanjangan (Binsar, 2006). China juga mengalami masalah lainnya terkait dengan transisi ekonomi, yakni, minimnya etika bisnis di China perubahan ekonomi dari sosialis ke ekonomi yang berorientasi pasar, menyebabkan perusahaanperusahan di China yang awalnya dikendalikan secara sentral, harus berubah dan tunduk pada aturan umum dan global (Maryoto, 2008). Produsen makanan seperti pada contohnya, di China mencapai setengah juta, yang mayoritasnya adalah usaha perorangan, sehingga menyulitkan bagi mereka untuk mengikuti aturan-aturan pangan yang baru (Maryoto, 2008).
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 1, April 2009: 83-93
Pada kasus terbaru, yakni skandal Susu produksi China yang ditemui mengandung melamin, serta menyebabkan jatuhnya korban jiwa (Maryoto, 2008), disebabkan juga karena lemahnya pengawasan pangan, yang dikarenakan lemahnya pengetahuan, dengan kata lain bahwa mereka belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai tentang keamanan pangan. Dampak terburuk dari kasus ini adalah memicu kepanikan orang tua yang mengkonsumsi susu untuk putra-putrinya, terutama setelah jatuhnya sejumlah korban di Negara China. Jatuhnya korban yang tidak sedikit, memunculkan pertanyaan, siapakah pihak yang sebenarnya paling bertanggung jawab. Dalam satu lansiran media, dinyatakan bahwa salah satu dampak dari kasus ini adalah, pemerintah China harus memberikan ganti rugi pada masyarakat atas tindakan produsen susu tersebut. Produsen susu, yang sebenarnya dianggap sebagai pihak yang perlu mempertanggung jawabkan kesalahannya, dalam satu lansiran media lainnya berkelit jika mereka telah 1000 tahap uji kualitas (QC) selama proses produksi. Kasus susu bukanlah satu-satunya kasus yang muncul di tahun 2008. Selain kasus ini, terkenal juga kasus telur ayam palsu, mainan beracun, yang berasal dari negeri tirai bambu tersebut. Beberapa pihak memandang kasus di atas lebih kepada penegakan etika bisnis. Demikian, sehingga penulisan ini bermaksud untuk membahas kasus skandal susu di China, dengan menggali persepsi etika bisnis dari beberapa kalangan. Sehingga judul dari penelitian ini adalah Persepsi Etika Terhadap Skandal Susu. Melaksanakan etika tidak sama dengan melaksanakan hukum. Hukum kadang berhubungan dengan standar etika masyarakat, namun hukum juga seperti layaknya perasaan, dapat terdeviasi dari apa yang dimaknai sebagai etika. Menjadi etis, memiliki makna, menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan tidak seperti melakukan segala hal yang dianggap akan diterima masyarakat, namun tidak melihat dampak yang ditimbulkannya. Dalam setiap masyarakat, kebanyakan dari mereka menerima standar, yang pada kenyataannya etis. Namun standar perilaku masyarakat dapat menyimpang dari apa yang dinamakan etis. Seluruh masyarakat dapat menjadi koruptor yang beretika, sebagai contoh Nazi di Jerman, adalah contoh dari masyarakat yang secara moral koruptor (Manuel dan kawan-kawan, 1987). Etika berarti dua hal. Pertama, etika dijelaskan sebagai standar yang baik atas yang benar dan salah yang mendasari apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia, biasanya dalam hal hak, kewajiban, segi kemanfaatan bagi masyarakat, keadilan, atau kebaikan-kebaikan yang spesifik lainnya. Kedua, etika, merujuk pada ilmu dan pengembangan standar etika. Sebagaimana disebutkan di atas, perasaan, hukum dan norma sosial dapat menyimpang dari apa yang dikatakan etis. Sehingga, diperlukan konsistensi untuk menguji standar seseorang untuk memastikan kepastiannya dan dasar berpikir yang benar. Etika juga berarti, bahwa, pencarian yang berkelanjutnya untuk mempelajari keyakinan moral dan 84
Anita Maharani Persepsi Etika Terhadap Skandal Susu
memperjuangkan penegakan moral, institusi yang berada di sekeliling berdasarkan norma (Manuel dan kawan-kawan, 1987). Persepsi, menurut Robbins (2006), adalah proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi, antara lain: 1. Faktor pada pemersepsi; 2. Faktor pada target; 3. Faktor pada situasi. Walgito (1991) memaparkan bahwa, (a) perihal stimulus, agar dapat dipersepsi, stimulus tersebut harus cukup kuat, melampaui ambang batas, berwujud manusia atau tidak (bila tidak berwujud manusia, ketepatan persepsi ada pada individu; (b) keadaan individu dari segi fisiologis dan psikologis, di mana dari segi fisiologis sistem syaraf harus dalam keadaan baik, sedangkan secara psikologis, pengalaman, kerangka acuan, perasaan, kemampuan berpikir dan motivasi akan berpengaruh dalam persepsi seseorang; (c) lingkungan atau situasi, apabila bila objeknya manusia, maka objek dengan lingkungan yang melatar belakanginya merupakan kesatuan yang sulit dipisahkan. Demikian ini maka, dapat disimpulkan bahwa persepsi itu sangat subyektif karena di samping dipengaruhi oleh stimulus dan situasi pengamatan juga dipengaruhi oleh pengalaman, harapan, motif, kepribadian, dan keadaan fisik individu. Wertheimer (1923), mengemukakan hukum-hukum Gestalt yakni, sebagai berikut: 1. Hukum Kedekatan (law of proximity): hal-hal yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat cenderung dianggap sebagai suatu totalitas; 2. Hukum Ketertutupan (law of closure): Hal-hal yang cenderung menutup akan membentuk kesan totalitas tersendiri; 3. Hukum Kesamaan (law of equivalence): hal-hal yang mirip satu sama lain, cenderung kita persepsikan sebagai suatu kelompok atau suatu totalitas. Dalam teori Gestalt, dipercaya bahwa persepsi bukanlah hasil penjumlahan bagian-bagian yang diindera seseorang, tetapi lebih dari itu merupakan keseluruhan [the whole]. Teori ini berusaha menjabarkan beberapa prinsip yang dapat menjelaskan bagaimana seseorang menata sensasi menjadi suatu bentuk persepsi. Metode Setiap responden membaca dan merespon pertanyaan dengan melingkari atau memberikan tanda pada jawaban yang mereka anggap sesuai dengan persepsi etika mereka.
85
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 1, April 2009: 83-93
Penelitian ini mengukur persepsi etika menggunakan alat uji yang diadaptasi dari Froelich dan Kottke (1991) dan Cole dan Smith (1995). Dalam uji yang berbentuk survei ini, mahasiswa diminta untuk merespon sepuluh situasi, dalam ranah situasi mereka selaku individu, dan bagaimana keyakinan mereka merespon masalah etika. Penelitian ini ingin melihat bagaiman respon mempersepsikan diri mereka atas perilaku tidak beretika (Manley, dan kawan-kawan, 2001). Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan survei. Penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai proses pemecahan masalah yang diselidiki dengan melukiskan keadaan subyek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau bagaimana adanya. Pelaksanaan metode penelitian deskriptif tidak terbatas sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang data tersebut, selain itu semua yang dikumpulkan memungkinkan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Pada penelitian ini, penulis menentukan jumlah sampel dengan metode convenience sampling, yakni, teknik penentuan sampel yang berdasarkan faktor kebetulan saja, dimana anggota populasi yang ditemui penulis dan menyatakan kesediaannya untuk menjadi responden dijadikan sampel oleh penulis, lokasi pengambilan sampel, dilakukan di dua tempat: Jakarta dan Bogor. Demikian, responden penelitian ini berasal dari beberapa kalangan, yang ditemui oleh penulis, yakni: mahasiswa, karyawan, profesional, maupun kalangan ibu rumah tangga. Jumlah responden adalah 55 orang, yang bersukarela untuk berpartisipasi. Seluruh responden berasal dari Jakarta. Dari seluruh lembaran survey yang dibagikan, yang dikembalikan oleh responden dan dianggap memenuhi prosedur pengisian adalah 49 lembar survei responden. Kuesioner yang digunakan, menggunakan skala Semantic Differential, dimana, Skala Semantic Differential (SDS) adalah alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku sosial, lazimnya pada area linguistic dan psikologi sosial, namun tidak tertutup kemungkinan pada jenis penelitian lainnya, alat ukur ini diperkenalkan oleh Osgood, Suci dan Tannenbaum (1957). Penelitian ini bertujuan untuk melihat adakah perbedaan persepsi etika berdasarkan faktor-faktor di bawah ini: 1. Jenis Kelamin. Penulis ini ingin mengetahui, apakah responden antara kedua jenis kelamin (lelaki dan perempuan) memiliki perbedaan persepsi etika; 2. Umur. Penulis ini ingin melihat apakah kasus skandal susu yang ditampilkan apakah umur memberikan pengaruh terhadap persepsi responden; 3. Profesi. Responden penelitian ini terdiri dari mahasiswa, karyawan dan Ibu Rumah Tangga, dan penelitian ini bertujuan melihat apakah ada perbedaan persepsi etika di antara profesi tersebut. 86
Anita Maharani Persepsi Etika Terhadap Skandal Susu
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuesioner. Adapun sebagai alasan bahwa digunakan kuesioner tertutup karena (1) memberikan kemudahan kepada responden dalam memberikan jawaban; (2) lebih praktis dan sistematis; (3) keterbatasan biaya dan waktu penelitian. Model penelitian ini adalah sebagai berikut: Y = Jenis Kelamin + Umur + Profesi + e Dimana, Y adalah respon atas satu dari 10 skenario atau rerata respon dari responden, dan e adalah error . Hasil A. Responden Responden survei yang terdiri dari 49 orang dipilih secara acak, mayoritas adalah perempuan, berusia kurang dari 19 tahun dan berprofesi sebagai mahasiswa. Data selengkapnya dapat dilihat dari Gambar 1. Gambar 1. Diagram Pie untuk Kelompok Gender
Perempu an 53%
Laki-laki 47%
Berdasarkan data di atas, responden untuk penelitian ini mayoritasnya adalah perempuan (53 %, N = 49), sedangkan laki-laki sebanyak 47 % (N=49).
87
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 1, April 2009: 83-93
Gambar 2. Diagram Pie untuk Kelompok Usia
> 31 tahun 20% < 19 tahun 50%
26 – 30 tahun 15% 20 -25 tahun 15%
Berdasarkan data di atas, responden untuk penelitian ini mayoritas usia responden adalah < 19 tahun (50 %, N = 49). Gambar 3. Diagram Pie untuk Kelompok Pekerjaan
Ibu rumah tangga 15%
Karyawan 33%
Mahasiswa 52%
Berdasarkan data di atas, responden untuk penelitian ini secara mayoritas masuk pada kelompok mahasiswa (52 %, N = 49). Data-data di atas, merupakan keterangan responden yang mengisi kuesioner, dimana, para responden tersebut diminta untuk menanggapi suatu pernyataan, sebagai berikut: 88
Anita Maharani Persepsi Etika Terhadap Skandal Susu
“Sebenarnya tidak ada masalah jika produsen susu memasukkan kandungan melamin ke dalam formulanya”
Cina
Dimana, skala yang digunakan adalah sebagai berikut: Sangat Setuju Sangat Tidak Setuju 1-----------2---------3---------4--------5--------6 Hasil maksimal yang ideal untuk persepsi etika adalah angka 6 (yakni sangat tidak setuju, sebaliknya, hasil minimal yang tidak ideal untuk persepsi etika adalah angka 1 (yakni sangat setuju). B. Persepsi Etika Berdasarkan Jenis Kelamin 1. Ho : Tidak ada perbedaan persepsi etika antara responden yang berjenis kelamin perempuan dengan responden yang berjenis kelamin lelaki; 2. Hi : Ada perbedaan persepsi etika antara responden yang berjenis kelamin perempuan dengan responden yang berjenis kelamin lelaki. Tabel 2. Persepsi Etika Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki (N=23)
Persepsi Etika
Perempuan (N=26)
Mean = 5,26
Mean = 5,69
Std. Dev = 1,544
Std. Dev = 0,736
Signifikansi 0,210 (>0,05, Ho diterima )
Berdasarkan hasil di atas, diketahui bahwa, secara mean (dari skala 1 – 6), baik laki-laki (Mean = 5,26) maupun perempuan (Mean = 5,69) cenderung memberi tanggapan tidak setuju atas pernyataan yang disediakan, tidak ada perbedaan antara persepsi etika antara responden yang berjenis kelamin perempuan dengan responden yang berjenis kelamin lelaki. Dengan demikian, Ho diterima. C. Persepsi Etika Berdasarkan Umur 1. Ho : Tidak ada perbedaan persepsi etika pada seluruh kalangan umur; 2. H1 : Terdapat perbedaan persepsi etika pada kalangan berumur kurang dari 19 tahun; 3. H2 : Terdapat perbedaan persepsi etika pada kalangan berumur 20 25 tahun; 4. H3 : Terdapat perbedaan persepsi etika pada kalangan berumur 26 30 tahun; 89
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 1, April 2009: 83-93
5. H4 : Terdapat perbedaan persepsi etika pada kalangan berumur > 31 tahun. Tabel 3. Persepsi Etika Berdasarkan Umur Umur < 19 tahun 20 – 25 tahun (N = 8) (N = 27)
Persepsi Etika
26 – 30 tahun (N = 9)
> 31 tahun (N = 11)
Mean = 5,26
Mean = 5,38
Mean = 6
Mean = 5,91
Std. Dev = 1,43
Std. Dev = 1,188
Std. Dev = 0,00
Std. Dev = 0,302
Signifikansi 0,219 ( > 0,005, Ho diterima)
Berdasarkan hasil di atas, secara mean (dari skala 1 – 6), kelompok umur (Mean = 5,26), kelompok umur 20 -25 tahun (Mean = 5,38), kelompok > 31 tahun (Mean = 5,91) cenderung memberi tanggapan tidak setuju atas pernyataan yang disediakan, bahkan pada kelompok umur 26 – 30 tahun menanggapi pernyataan yang disediakan dengan sangat tidak setuju. Maka, diketahui bahwa, tidak ada perbedaan persepsi etika antara responden dengan umur tertentu, sehingga dengan demikian Ho diterima, sedang H1, H2, H3 dan H4 ditolak. D. Persepsi Etika Berdasarkan Profesi 1. Ho : Tidak ada perbedaan persepsi etika pada seluruh profesi; 2. H1 : Terdapat perbedaan persepsi etika pada kalangan mahasiswa; 3. H2 : Terdapat perbedaan persepsi etika pada kalangan karyawan; 4. H3 : Terdapat perbedaan persepsi etika pada kalangan Ibu Rumah Tangga. Tabel 4. Persepsi Etika Berdasarkan Profesi Profesi
Persepsi Etika
Mahasiswa
Karyawan
Ibu Rumah Tangga (N = 8)
(N = 29) Mean = 5,17
(N = 18) Mean = 6,00
Mean = 5,75
Std. Dev = 1,46
Std. Dev = 0,00
Std. Dev = 0,46
Signifikansi 0,041 ( > 0,005, Ho diterima)
Berdasarkan hasil di atas, diketahui bahwa, secara rata-rata, pada kelompok mahasiswa (Mean = 5,17) dan ibu rumah tangga (Mean = 5,75) cenderung tidak setuju dengan pernyataan yang disediakan, bahkan pada kelompok karyawan (Mean = 6,00) menanggapi pernyataan dengan sangat tidak setuju. Dengan demikian, Ho diterima, dan H1, H2, H3 dan H4 90
Anita Maharani Persepsi Etika Terhadap Skandal Susu
ditolak, atau tidak ada perbedaan antara persepsi etika antara responden dengan profesi tertentu. Dengan demikian, Analisis dan Pembahasan A. Hubungan Persepsi Etika dengan Jenis Kelamin Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa ternyata, tidak ada perbedaan persepsi etika antara jenis kelamin laki-laki dengan jenis kelamin perempuan. Dengan demikian, pada hakikatnya, responden menganggap skandal susu di China bukan suatu hal yang baik atau tidak beretika. B. Hubungan Persepsi Etika dengan Umur Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa ternyata, tidak ada perbedaan persepsi etika antara jenis umur tertentu. Dengan demikian, pada hakikatnya, responden menganggap skandal susu di China bukan suatu hal yang baik atau tidak beretika. Bahkan pada responden usia 26 – 30 tahun, memiliki nilai nol untuk standar deviasinya, yakni responden beranggapan bahwa cara produsen susu China memasukkan kandungan melamin ke dalam formula susu tidak beretika. C. Hubungan Persepsi Etika dengan Profesi Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa ternyata, tidak ada perbedaan persepsi etika antara profesi tertentu. Dengan demikian, pada hakikatnya, responden menganggap skandal susu di China bukan suatu hal yang baik atau tidak beretika. Pada kalangan profesi karyawan, bahkan memiliki standar deviasi sebesar nol, yakni responden beranggapan bahwa cara produsen susu China memasukkan kandungan melamin ke dalam formula susu tidak beretika. Kesimpulan Berdasarkan hasil di atas, ketika diduga akan terjadi perbedaan persepsi antara jenis kelamin, ternyata tidak ada perbedaan antara persepsi etika, antara responden yang berjenis kelamin perempuan dengan responden yang berjenis kelamin lelaki, demikian pula ketika diduga akan terjadi perbedaan persepsi pada kelompok umur tertentu dan kelompok profesi tertentu. Rata-rata responden menjawab cenderung ke arah sangat tidak setuju saat dihadapkan pada pernyataan. Faktor - faktor yang mempengaruhi persepsi, antara lain: 1. Faktor pada pemersepsi; 2. Faktor pada target; 3. Faktor pada situasi.
91
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No. 1, April 2009: 83-93
Dapat disimpulkan bahwa persepsi etika atas skandal susu sangat subyektif karena di dipengaruhi oleh stimulus dan situasi pengamatan . Penulis menyarankan perlunya pusat krisis yang menangani masalah skandal, yang dimaksudkan sebagai penyaring dan tempat untuk pembuktian skandal. Jika masyarakat terlalu sering mendengar skandal, dikhawatirkan muncul resistensi masyarakat seandainya muncul skandal lainnya. Penelitian ini masih memerlukan penggalian lebih dalam, tentang, apakah benar bisnis di China tidak mengindahkan etika bisnis atau tidak.
Daftar Pustaka Andreas
_____,
Maryoto, Problem Transisi Ekonomi dan Etika di China, 2008, http://www.kompas.com Chinese leader: Govt. http://edition.cnn.com, 2008
partly
to
blame
for
milk
scandal,
_____, China may be source of tainted heparin Drug maker Baxter says signs point to problem ingredients from suppliers, http://www.msnbc.msn.com, 2008 ____, Realities of Business Ethics in China, Part 1, http://www.chinatrade.com, 2007 ____, Realities of Business Ethics in China, Part 2, http://www.chinatrade.com, 2007 Björn Gustafsson, Li Shi and Terry Sicualar, Inequality and Public Policy in China Cambridge University Press, 2007 Binsar
Gultom, 2006. Transisi http://www.sipoel.unimed.in
Ekonomi:
Rusia
dan
China,
Bob Widyahartono, Dasar Etika Bisnis China: Konfusianisme Dan Taoisme, http://www.isei.or.id, 2007 Dawn Heefner, Heparin: China blames US, FDA responds, http://abclocal.go.com, 2008 Karina, Komitmen Organisasi, http://rumahbelajarpsikologi.com, 2008 Manuel Velasquez, Claire Andre, Thomas Shanks, S.J., and Michael J. Meyer ,What is Ethics?, Issues in Ethics, IIE V1 N1, 1987 Nurani Soyomukti, Sosiologi Komprehensif Kebudayaan, Max Weber, IRCISOD, Yogyakarta, 2006
92
Anita Maharani Persepsi Etika Terhadap Skandal Susu
Susan Powell, Mantel, Choice or perception: how affect influences ethical choices among salespeople, Journal of Personal Selling & Sales Management, 22 Desember, 2005 Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi, Edisi Kesepuluh, Indeks, Gramedia, 2006 Terrence Wu, China’s Milk Scandal and its effects on Chinese Export Market, http://www.utrikesperspektiv.se, 29 September 2008 Tony Saich, ,The Changing Role of Government Background Note for the World Bank th
Report on China’s 11 Five Year Plan, Kennedy School of Government, Harvard University, 2004 Wahyu Hidayat R. Konsep Sistem Ekonomi http://ummpress.umm.ac.id,____ William P. Cordeiro, Codes Of Ethical Conduct Are Not Enough: Stakeholder Theory Demands More From I. T. Professionals, 2003
93