PERSATUAN ORANGTUA PEDULI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Deskripsi dan Perkembangan Kegiatan POPA dirintis pendiriannya oleh lima orang anggota PKK di Kelurahan Sabengkok yang simpati terhadap keluarga anak tunarungu. Pada tahun 2004, mereka mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh 19 orangtua yang memiliki anak tunarungu. Hasil dari pertemuan tersebut adalah membentuk sebuah perkumpulan yang bernama Persatuan Orangtua Peduli Anak berkebutuhan khusus (POPA). Tujuan dibentuk POPA adalah untuk membantu anggota dalam memenuhi kebutuhan anaknya yang tunarungu dan memberikan bimbingan keterampilan anak-anak tunarungu agar mereka memiliki bekal keterampilan yang dapat digunakan untuk kehidupannya, baik melalui usaha sendiri maupun bekerja pada pihak lain. Kegiatan yang dilaksanakan adalah bimbingan keterampilan membuat vas bunga, membuat hiasan meja, membuat kotak tisu, hiasan dinding dan taplak meja.
Kegiatan bimbingan keterampilan dilaksanakan dua kali dalam
seminggu dengan instruktur berjumlah dua orang berasal dari ibu-ibu PKK yang juga sebagai pengurus POPA. Kegiatan bimbingan keterampilan dilaksanakan di ruang serba guna Kantor Kelurahan Sebengkok karena POPA tidak memiliki gedung sendiri. Setiap kegiatan bimbingan, orangtua anak ikut mendampingi. Pada saat mendampingi anak-anaknya, orangtua juga ikut bimbingan keterampilan, walaupun kegiatan ini tidak diwajibkan. Disamping bimbingan keterampilan kepada anak-anak tunarungu, POPA juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi keluarga. Kegiatan diklat ini diselenggarakan bersama-sama kegiatan PKK. Pendidikan dan pelatihan yang dilakukan antara lain pembuatan makanan non beras, pembuatan petis udang, pembuatan kue dari singkong dan pembuatan ikan asin tipis. Pada awal berdirinya, pihak yang dilibatkan dalam POPA berjumlah 38 orang baik berasal dari keluarga yang mempunyai anak tunarungu ataupun warga masyarakat lain. Warga yang bukan keluarga yang memiliki anak tunarungu adalah anggota PKK yang bertindak sebagai pengurus. Dalam
35 perkembangannya, jumlah ini semakin berkurang dan sekarang hanya beranggotakan 21 orang keluarga yang mempunyai anak tunarungu dan lima orang pengurus. Kegiatan POPA didasarkan pada pendekatan pembangunan yang bertumpu kepada kelompok dengan asumsi bahwa kelompok dapat dibangun atas dasar ikatan-ikatan kesamaan tujuan, kesamaan kegiatan, kesamaan domisili yang mengarah pada efesiensi, efektivitas dan mendorong tumbuhnya modal sosial dalam masyarakat. Warga masyarakat dapat lebih dinamis dalam mengembangkan kegiatan dan nilai-nilai kemanusiaan serta kemasyarakatan, misalnya menjalin kebersamaan, gotong royong, solidaritas sesama warga dan saling bertukar informasi.
Stuktur POPA Kepengurusan Kepengurusan POPA terdiri dari: 1)
Ketua
2)
Sekretaris
3)
Bendahara
4)
Seksi-seksi: a)
Seksi Pendidikan dan Bimbingan Keterampilan
b)
Seksi Pelayanan Kesejahteraan Sosial
c)
Seksi Usaha dan Dana
d)
Seksi Hubungan Masyarakat.
Keanggotaan Keanggotaan POPA berjumlah 21 orang, terdiri dari : 1)
Pengurus : 7 orang
2)
Anggota
: 14 orang
Karakteristik Anggota Berbeda dengan pengurus yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi, yaitu SLTP dan SLTA, sebagian besar anggota berpendidikan SD atau tidak tamat SD. Dari 7 orang pengurus, 2 orang berpendidikan SLTP dan 4 orang
36 berpendidikan SLTA dan 1 orang sarjana. Sementara dari 14 keluarga anak tunarungu yang tergabung dalam POPA, 4 orang tidak tamat SD, dan 8 orang berpendidikan SD dan 2 orang berpendidikan SLTP. Berdasarkan pekerjaannya, sebagian besar anggota POPA bekerja sebagai buruh. Secara lebih rinci, komposisi anggota POPA berdasarkan pekerjaan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi Anggota POPA Berdasarkan Jenis Pekerjaan No
Jenis Pekerjaan
Jumlah
1
PNS
1
2
Buruh
5
3
Nelayan
5
4
Petani Tambak
2
5
Pedagang
3
6
Serabutan
5
Jumlah
21
Dari Tabel 6 terlihat bahwa pekerjaan serabutan, nelayan dan buruh merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan anggota POPA. Dari anggota POPA yang tergolong miskin, mereka bukan sebagai nelayan yang mempunyai kapal penangkap sendiri, melainkan mereka meminjam dari juragan dengan sistem sewa dan diharuskan menjual ikan kepada juragan itu. Pada anggota yang bekerja sebagai buruh, mereka bekerja di tambak-tambak milik juragan, dan juga buruh di pasar dan buruh bangunan.
Tinjauan Terhadap POPA dalam Aspek Ekonomi dan Sosial Pengembangan Ekonomi Lokal Pengembangan ekonomi lokal merupakan kerjasama seluruh komponen masyarakat di suatu daerah (lokal) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang akan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup seluruh masyarakat dalam komunitas (Syaukat dan Hendrakusumaatmaja, 2005). Dengan
kata
lain
pengembangan
ekonomi
lokal
merupakan
sebuah
37 perekonomian yang diselenggarakan atas dasar kemampuan dan potensi masyarakat yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan. Program pemberdayaan masyarakat melalui POPA merupakan program yang dapat membantu masyarakat memecahkan masalah ekonomi melalui peningkatan keterampilan usaha. Bagi golongan miskin yang tidak mempunyai keterampilan usaha, POPA ini sangat bermanfaat. Mereka bukan saja dapat memperoleh pendidikan dan pelatihan produksi, tetapi juga dapat membangun kerjasama antar anggota dan dengan pihak lain serta meningkatkan kemampuan mengelola kelembagaan sosial dan ekonomi. Pendapatan keluarga anak tunarungu dari penjualan kerajinan yang dibuat oleh anak tunarungu secara finansial tidak memberikan peningkatan yang signifikan. Hal ini karena sasaran yang ingin diperoleh dari progam POPA adalah meningkatkan
keberfungsian
sosial
keluarga
anak
tunarungu
ditengah
masyarakat Kelurahan Sebengkok. Usaha ekonomi produktif berupa pembuatan kerajinan yang telah dilakukan oleh keluarga anak tunarungu melalui POPA ini memberikan kontribusi dalam hal menciptakan kreativitas keluarga anak tunarungu. Mereka dimotivasi untuk memanfaatkan waktu luang dan sumberdaya manusia yang mereka miliki untuk suatu kegiatan ekonomi yang bermanfaat sebagai proses pembelajaran dalam melakukan peningkatan kesejahteraan keluarganya. Aspek pengembangan ekonomi lokal dapat dilihat dari kegiatan pendidikan dan pelatihan produksi yang diselenggarakan bersama PKK, memberikan bimbingan keterampilan kepada anak tunarungu yang layak latih dengan jenis bimbingan keterampilan yang diajarkan adalah membuat kerajinan dari bahan kartu, pipa sedotan plastik dirangkai menjadi bunga dan boneka, sedangkan instruktur bimbingan keterampilan adalah ibu-ibu yang mempunyai keterampilan membuat kerajinan tersebut. Hasil kerajinan tersebut dijual kepada masyarakat umum dan dana yang terkumpul digunakan untuk membiayai kegiatan lain, seperti membeli alat peraga dan bahan kerajinan lainnya. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial Nasdian (2005) menguraikan bahwa kelembagaan sosial didefinisikan sebagai suatu yang kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai penting. Uraian tersebut menyiratkan bahwa dalam kelembagaan ada suatu sistem hubungan yang teratur atau terorganisasi.
38 Pola hubungan yang teratur ini merupakan kumpulan dari adat istiadat atau kebiasaan yang terdapat dalam satu masyarakat. Unsur lain yang penting adalah bahwa adat istiadat atau kebiasaan-kebiasaan yang diorganisasikan dalam satu pola tertentu itu memiliki nilai-nilai dan cara-cara hubungan satu dengan yang lain yang tentunya diatur menurut kebiasaan tadi. Nilai berarti sesuatu yang dianggap baik diulang terus menerus oleh perilaku manusia. Pengulangan terus menerus itu kemudian menjadi kebiasaan lama kelamaan menjadi adat istiadat. Bagian lain yang penting dalam kelembagaan adalah bahwa hubungan sosial yang teratur berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu masyarakat. Sistem hubungan yang diperankan oleh anggota POPA satu dengan yang lain adalah berdasarkan ikatan solidaritas. Kenyataan di lapangan menunjukkan POPA sebagai wadah untuk mengorganisasikan keluarga anak tunarungu belum mampu berfungsi sebagai sarana meningkatkan solidaritas masyarakat. Masyarakat tidak terlibat dalam kegiatan POPA yang menunjukkan bahwa sistem nilai seperti tolong menolong dan kebersamaan, serta keterlibatan peranan-peranan sosial belum tersosialisasi dalam masyarakat. Putnam, menjelaskan bahwa Modal Sosial adalah kemampuan warga untuk mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis, kerja sama antarwarga untuk menghasilkan tindakan kolektif, pilar modal sosial adalah Kepercayaan (Trust); Eksistensi Jaringan (Network); dan Kemudahan Bekerja Sama (Nasdian, 2005). Modal sosial menunjuk pada nilai kolektif dari semua hubungan sosial dan kecendrungan yang timbul dari hubungan ini untuk saling berbuat sesuatu (ada norma hubungan timbal balik). Modal sosial tidak hanya menekankan kehangatan dan rasa menyayangi, tetapi mencakup aspek kepercayaan, hubungan timbal balik dan kerja sama dalam hubungan sosial. Modal sosial menunjuk kepada institusi dan norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial suatu masyarakat. Suatu perekat yang mengikat masyarakat. Modal sosial berlangsung melalui aliran informasi, norma hubungan timbal balik atau saling kerja sama, solidaritas yang didukung hubungan sosial yang menerjemahkan mentalitas aku menjadi mentalitas kami. Dampak modal sosial memberi efek pada transaksi ekonomi, produksi, loyalitas dan kesadaran untuk menanggung resiko bahkan bencana yang besar. Modal sosial dapat dibangun melalui relasi aktif dan jalinan kepercayaan. Dalam POPA, pemanfaatan modal sosial dapat diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab, harapan dan kepercayaan pihak lain seperti donatur yang
39 memberikan bantuan secara insidentil pada setiap kegiatan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ibu Sc sebagai berikut : Sebenarnya kita juga telah beberapa kali mendapatkan bantuan seperti waktu kita melaksanakan peringatan Hari Anak Cacat Dunia, kegiatan lomba Agustusan dari beberapa pengusaha di Sebengkok. Walaupun sumbangannya tidak tetap, kita merasakan sebenarnya sudah ada kepercayaan pengusaha kepada POPA. kita menjadi merasa punya tanggung jawab yang lebih dalam mengembangkan POPA. Pernyataan Ibu Sc tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Sebengkok memiliki rasa solidaritas dan kepedulian terhadap kegiatan organisasi sosial dan memberikan kepercayaan atas pelaksanaan kegiatan sosial yang dilakukan oleh organisasi sosial di kelurahan Sebengkok. Namun demikian, modal sosial yang ada belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengembangkan POPA. Ibu Sn menuturkan pengalamannya mendapatkan bantuan tanpa diminta dari CV. Raya Sebengkok seperti yang diceritakan di bawah ini : Kemarin waktu saya membeli sedotan pelastik dan karton untuk bahan ketarampilan di CV. Raya oleh ibunya tidak mau di bayar. Padahal jumlahnya Rp. 120.000,-. Ibunya tanya, ”buka usaha warung ya bu?, saya jawab ah, tidak. ”Usaha katering kah?” kata ibunya. Tidak bu. jawab saya. ”Kok ibu selalu beli sedotan dan karton untuk apa ?”. saya ceritakan kegiatan POPA, itu lo bu ada kegiatan rutin mengajari anak tunarungu di kecamatan. Yang dari ini sedotan, kartu atau karton. Buat vas bunga, kotak tissue burung meja. ”sejak kapan kegiatan itu ada?. Baru kok bu, baru tahun ini kami laksanakan. Ya sudah dibawa saja, nanti kalau ada kegiatan bilang lagi ya sama saya. Pernyataan Ibu Sn ini menunjukkan bahwa masyarakat Sebengkok termasuk pengusaha dan pihak swasta yang merupakan potensi sumberdaya modal sosial, belum dimanfaatkan untuk mendukung POPA. Penyebabnya adalah mereka tidak mengetahui keberadaan POPA.
ANALISIS KAPASITAS DAN PERMASALAHAN PERSATUAN ORANGTUA PEDULI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Kapasitas POPA Sumberdaya Manusia Pengurus dan Anggota Dalam aspek SDM, pendidikan pengurus lebih tinggi daripada anggota. Dari 7 orang pengurus, 2 orang berpendidikan SLTP dan 4 orang berpendidikan SLTA dan 1 sarjana. Semua pengurus tidak ada yang berlatar belakang pendidikan kesejahteraan sosial atau pernah mengikuti pendidikan pelayanan sosial. Sementara sebagian besar anggota berpendidikan SD atau tidak tamat SD. Dari 21 keluarga anak tunarungu yang tergabung dalam POPA, 14 diantaranya termasuk kategori miskin dengan pendidikan tidak tamat SD 4 orang tamat SD 8 orang dan SLTP 2 orang. Upaya
untuk
meningkatkan
SDM
telah
dilakukan
POPA
melalui
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan produksi pembuatan makanan non beras, pembuatan petis udang, pembuatan kue dari singkong dan pembuatan ikan asin tipis. Pendidikan dan pelatihan ini diselenggarakan bersama ibu-ibu PKK.
Namun demikian, dari 14 orang yang telah mengikuti pendidikan dan
pelatihan tersebut tidak ada yang menindaklanjutinya dalam kehidupan keluarga. Kekurangan modal merupakan alasan mereka tidak menerapkan ilmu yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan. Hal ini seperti dikatakan Ibu Ar yang menyatakan: Sebenarnya pembuatan makanan yang diajarkan bermanfaat dan dapat dijadikan usaha, tetapi kami tidak mempunyai modal untuk membuat makanan yang banyak agar bisa di jual. Kami juga tidak tahu bagaimana cara menjual makanan itu. Dalam mengembangkan organisasi, pengurus tidak pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan pelayanan kesejahteraan sosial tunarungu dan pendidikan lain untuk mengelola organisasi sosial. Keterampilan yang dilakukan dalam mengelola organisasi hanya berdasarkan pengetahuan dan kemampuan pengurus saja. Sementara mereka juga tidak mempunyai pengalaman lain dalam
41 mengembangkan organisasi sosial selain di POPA. Hal ini seperti diungkapkan oleh Ibu Sl (Ketua POPA) yang mengatakan: Di POPA belum pernah ada pendidikan dan pelatihan bagaimana mengelola POPA agar baik. Kami menjalankan tugas hanya semampu kami saja. Kami juga tidak tahu bagaimana caranya agar POPA ini dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi orangtua dan anaknya. Pernyataan dari ketua POPA sebagaimana dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa pengetahuan dan keterampilan pengurus dalam mengelola organisasi masih terbatas pada pola-pola yang didasarkan pada pengalaman saja. Upaya untuk meningkatkan kualitas SDM tidak dilakukan. Faktor utama yang menyebabkan tidak melakukan upaya peningkatan SDM adalah ketidaktahuan tentang cara-cara meningkatkan SDM.
Kepemimpinan POPA Kepemimpinan POPA menunjuk pada kapasitas orang-orang yang menjadi pemimpin organisasi. Pemimpin dalam hal ini ketua dan pengurus POPA memegang peranan penting dalam kegiatan POPA. Keanggotaan dengan mayoritas miskin dan berpendidikan rendah menyebabkan pemimpin menjadi motor utama yang menggerakkan POPA. Dalam kondisi ini, pemimpin dituntut untuk memiliki kapasitas yang memadai agar organisasi berkembang dan dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi anggota-anggotanya. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemimpin POPA (ketua, sekretaris dan bendahara) dipilih bukan karena faktor kemampuan tetapi didasarkan pada kedudukannya dalam masyarakat. Baik ketua, sekretaris maupun bendahara adalah istri dari orang yang mempunyai jabatan dalam pemerintahan atau mempunyai kedudukan di Kelurahan Sebengkok. Hal tersebut dijelaskan dengan pernyataan Ibu Rs yang mengatakan: Anggota hanya ikut saja, yang ada di depan biar saja ibu-ibu itu. Ketua dan sekretaris kan orang terpandang di kelurahan, jadi semua orang disini pasti menunjuk mereka. Kalau masalah apakah mereka mampu atau tidak ya sama saja, asalkan pengurus lain aktif POPA tetap berjalan. Fungsi pemimpin sebagai motivator dan mengorganisasikan kegiatan POPA lebih banyak pada pengurus (seksi-seksi) terutama seksi pendidikan dan bimbingan keterampilan. Dalam seksi ini, pengurus juga sebagai instruktur
42 keterampilan yang membimbing anak tunarungu dan orangtuanya. Berjalan atau tidaknya kegiatan POPA lebih banyak ditentukan oleh instruktur. Dalam kegiatan sehari-hari, instruktur inilah yang menggerakkan kegiatan. Ketua, sekretaris dan bendahara jarang menghadiri kegiatan. Hal ini seperti dijelaskan oleh Ibu Yt (anggota) yang mengatakan: Ketua, sekretaris dan bendahara jarang kelihatan. Yang menjalankan bimbingan di POPA ini hanya pembimbing keterampilan saja. Mereka baru datang kalau ada pertemuan atau ada acara-acara. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemimpin POPA belum menjalankan fungsi kepemimpinannya dalam memberikan motivasi dan menggerakkan organisasi. Peran sebagai pemimpin organisasi lebih banyak pada instruktur keterampilan.
Kerjasama Antar Anggota Kerjasama antar anggota POPA belum terjalin dengan erat. Dalam keanggotaan POPA terdapat anggota dengan latar belakang kondisi sosial ekonomi baik dan banyak pula anggota yang miskin. Kerjasama antara anggota yang berbeda latar belakang sosial ekonomi ini tidak berjalan baik. Dalam kegiatan pertemuan, anggota yang berlatar belakang sosial ekonomi cukup ini lebih mendominasi dalam memberikan usulan. Sementara anggota yang miskin hanya mengikuti saja. Dalam aspek ekonomi, anggota yang berkondisi kecukupan dan mempunyai usaha juga tidak pernah berbagi pengalaman atau membantu anggota lain dalam mengembangkan usaha. Begitu juga dalam pengembangan POPA. Anggota yang mempunyai usaha ini juga tidak pernah memberikan pengalamannya kepada POPA atau kepada anggota POPA lain. Kurangnya kerjasama antar anggota juga terlihat dengan jarang diadakan pertemuan yang melibatkan semua anggota. Pelibatan dalam kegiatan bersama hanya terlihat pada acara-acara tertentu, misalnya memperingati hari anak cacat atau menerima kunjungan tamu.
Manajemen POPA Manajemen merupakan kapasitas dari pengurus dan anggota dalam menentukan tujuan dan aktivitas organisasi. Kegiatan manajemen mencakup
43 perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan dan evaluasi. Oleh karena itu, kajian tentang manajemen difokuskan pada proses penyusunan rencana, pembagian kerja antar pengurus, pelaksanaan kegiatan dan evaluasi. Proses Perencanaan. Proses perencanaan program dalam POPA cukup demokratis. Program kerja
tidak hanya disusun pengurus, namun juga dari
anggota lain. Program kerja disusun dahulu oleh pengurus, kemudian ditawarkan kapada
anggota
pada
pertemuan.
Dalam
pertemuan
tersebut,
dibuka
kesempatan kepada anggota untuk memberikan saran, usulan atau pendapat tantang program kerja. Namun demikian, anggota biasanya akan menyetujui program kerja yang ditawarkan. Jarang dari anggota yang termasuk miskin memberikan pendapat dalam penyusunan program. Hal ini seperti diungkapkan oleh Ibu Yt yang mengatakan: Anggota hanya menyetujui saja. Pokoknya semua terserah yang di depan. Kami sendiri tidak tahu cara menyusun program, untuk apa. Yang penting bimbingan keterampilan bisa jalan. Secara substantif, program yang disusun POPA juga tidak berorientasi jangka panjang. Program yang ada lebih banyak pada program-program jangka pendek atau kegiatan insidentil, seperti memperingati hari anak cacat sedunia, memperingati hari kemerdekaan atau menyambut kunjungan tamu. Program pengembangan pelayanan, seperti peningkatan bimbingan keterampilan, pemecahan masalah anggota, dan kerjasama dengan pihak lain tidak pernah disusun. Pengorganisasian kerja. Pengorganisasian kerja yang tercermin dari pembagian tugas antar pengurus telah dilakukan. Dalam organisasi ini telah terbentuk kepengurusan dari ketua sampai seksi-seksi. Namun demikian, perangkapan tugas masih terjadi. Tugas-tugas untuk menjalankan organisasi lebih banyak pada instruktur keterampilan. Seksi-seksi lain tidak aktif. Ada seksinya, tetapi tidak ada kegiatannya. Hal ini diungkapkan oleh instruktur (Ibu Sc) yang mengatakan: Sebenarnya sama saja ada pembagian tugas pengurus atau tidak. Pengurus telah ditunjuk, tetapi mereka tidak pernah datang.Yang berjalan hanya cuma seksi pendidikan dan bimbingan keterampilan, sedangkan seksi yang lain ada namanya tetapi tidak ada kegiatannya. Terpaksa dalam kegiatan sehari-hari kami merangkap.
44 Pernyataan Ibu Sc tersebut menunjukkan bahwa pembagian kerja di POPA telah dilakukan. Dalam penerapannya pembagian kerja tersebut tidak dilaksanakan dengan baik. Tidak semua pengurus menjalankan tugas sesuai dengan bidang kerjanya. Ketidakaktivan dari beberapa pengurus menyebabkan terjadi perangkapan tugas. Pelaksanaan kegiatan. Pelaksanaan kegiatan POPA sehari-hari tidak berjalan dengan baik. Bimbingan keterampilan yang dilaksanakan hanya mengandalkan keaktivan pengurus yang juga instruktur. Apabila instruktur tidak dapat hadir dalam kegiatan, maka kegiatan POPA diliburkan. Partisipasi anggota dalam pelaksanaan kegiatan rutin (bimbingan keterampilan) sangat kurang. Partisipasi mereka lebih pada mobilisasi, yang hanya terlibat dalam kegiatan yang insidentil. Orang tua tunarungu berpartisipasi aktif dalam program-program yang bersifat insidentil dan berskala cukup besar tetapi kalau program yang bersifat rutin kurang diikuti oleh anggota. Kegiatan rutin POPA dilaksanakan setiap dua minggu sekali pada hari sabtu pukul 13.00 sampai dengan 17.00 Wite. Kegiatannya adalah memberikan bimbingan keterampilan anak tunarungu seperti membuat vas bunga, kotak tisu, kotak pensil/polpen, hiasan dinding dan meja. Kerajinan ini menggunakan bahan baku dari ”Kartu Remi”. Kartu-kartu remi tersebut digunting dan dilipat kemudian disusun sehingga membentuk sebuah jenis kerajinan. Sedotan minuman dari pelastik mereka buat menjadi bunga, kipas, hiasan dinding dan taplak meja. Bahan lain yang digunakan untuk membuat kerajinan adalah sabun mandi, pita kain, jarum pentul, gabus, benang, pewarna kertas, manik-manik, kecap, padi, kedelai dan botol bekas.
Kegiatan dimulai dengan mengajak anak-anak
bermain-main dalam ruang atau membiarkan anak-anak bermain diantara sesama mereka sendiri selama 30-35 menit. Kegiatan bimbingan dilaksanakan setelah anak tunarungu beristirahat selama 15-30 menit. Instruktur yang tetap hanya dua orang. Orangtua yang membawa anaknya sering diminta oleh pembimbing untuk mendampingi anaknya masing-masing, terutama kalau membuat kerajinan dengan menggunting atau memotong menggunakan gunting atau pisau cutter. Kegiatan rutin seperti ini hanya diikuti oleh keluarga tunarungu dan instruktur, sementara pengurus POPA jarang terlibat. Mereka biasa juga hadir tetapi tidak rutin dan tidak memiliki jadwal yang tetap untuk kehadirannya. Evaluasi. Evaluasi terhadap program dan kegiatan tidak pernah dilakukan. Pengurus dan anggota belum pernah terlibat bersama-sama untuk melakukan
45 evaluasi. Kegiatan yang telah dilakukan tidak pernah dievaluasi. Laporan kerja pengurus juga tidak pernah disusun. Laporan hanya dibuat apabila mengajukan proposal bantuan.
Dana Kapasitas POPA dalam aspek finansial masih kurang. Kapasitas finansial merupakan
kemampuan
organisasi
secara
finansial
untuk
mendukung
operasional sehari-hari, sehingga dapat memenuhi kebutuhan anggotaanggotanya. Dalam aspek ini, POPA belum mandiri secara finansial. Dana untuk program-program POPA sebagian besar berasal dari eksternal POPA yaitu melalui pencarian dana kepada dermawan secara sukarela. Dana tersebut bersifat langsung habis, tidak ada yang bersifat produktif. Sumber dana dari anggota untuk mendukung operasional sehari-hari tidak dapat diandalkan. Iuran sukarela dari anggota tidak berjalan. Banyak anggota yang tidak dapat membayar iuran. Untuk mendukung pengembangan organisasi, dana yang ada seharusnya diperuntukkan bagi operasional organisasi dalam memberikan pelayanan anggota-anggotanya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa alokasi dana POPA lebih banyak ditujukan pada kegiatan yang bersifat acara perayaan, perlombaan dan acara seremonial. Sementara untuk kegiatan bimbingan keterampilan kurang yang ditunjukkan dari bimbingan keterampilan kadangkadang dihentikan karena kekurangan bahan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Ibu Sn yang mengatakan: Memang aneh, untuk perayaan tujuh belas Agustus atau hari cacat sedunia yang digunakan besar. Bahkan untuk kegiatan-kegiatan itu dana dari sumbangan juga mudah diperoleh. Tetapi, untuk bimbingan keterampilan sering kekurangan bahan. Barang yang dibuat juga agak susah lakunya, sehingga tidak bisa untuk membeli bahan lagi. Berdasarkan kajian sebagaimana telah dikemukakan di atas, kapasitas POPA dapat dijelaskan sebagai berikut: 1)
Dalam aspek SDM, pendidikan pengurus lebih tinggi daripada anggota. Dari 7 orang pengurus, 2 orang berpendidikan SLTP dan 4 orang berpendidikan SLTA dan 1 sarjana. Sementara sebagian besar anggota berpendidikan SD atau tidak tamat SD. Dari 21 keluarga anak tunarungu yang tergabung dalam POPA, 14 diantaranya termasuk kategori miskin
46 dengan pendidikan tidak tamat SD 4 orang tamat SD 8 orang dan SLTP 2 orang. Baik pengurus maupun anggota tidak pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan pengelolaan organisasi. 2)
Dalam aspek kepemimpinan, pemimpin POPA dipilih karena suaminya memiliki kedudukan dalam pemerintahan, bukan dipilih berdasarkan kemampuan memimpin organisasi. Pemimpin POPA belum menjalankan fungsi kepemimpinannya dalam memberikan motivasi dan menggerakkan organisasi. Peran sebagai pemimpin organisas i lebih banyak pada instruktur keterampilan
3)
Kerjasama antar anggota belum terjalin dengan baik. Dalam POPA belum ada pertemuan berkala antar anggota dan jarang dilakukan kegiatan bersama-sama yang melibatkan anggota.
4)
Dalam aspek manajemen : a)
Perencanaan telah disusun secara partisipatif. Keputusan-keputusan yang diambil terlebih dahulu dibicarakan dengan anggota lainnya atau dilakukan bersama-sama antara pengurus dan anggota. Namun demikian, secara substansi kurang berorientasi pada tujuan jangka panjang. Program-program kegiatan yang disusun lebih banyak program kegiatan yang bersifat insidentil, seperti menyambut hari kemerdekaan, memperingati hari cacat sedunia atau ada kunjungan dari pemerintah atau pihak luar. Program-program yang berorientasi pada peningkatan SDM atau peningkatan kondisi sosial ekonomi keluarga tidak ada.
b)
Pelaksanaan kegiatan POPA seperti bimbingan tidak berjalan dengan baik.
Bimbingan
keterampilan
yang
dilaksanakan
hanya
mengandalkan keaktivan pengurus. Partisipasi anggota dalam pelaksanaan kegiatan rutin (bimbingan keterampilan) sangat kurang. Partisipasi mereka lebih pada mobilisasi, yang hanya terlibat dalam kegiatan yang insidentil. c)
Evaluasi terhadap program dan kegiatan tidak pernah dilakukan. Pengurus dan anggota belum pernah terlibat bersama-sama untuk melakukan evaluasi.
5)
Dalam aspek dukungan dana, POPA mengalami kekurangan finansial untuk mendukung operasional kegiatan sehari-hari. Sumber dana untuk
47 operasional organisasi hanya mengandalkan sumbangan donatur yang diperoleh secara berkeliling kepada pengusaha atau masyarakat. Sumber dana dari dalam organisasi tidak dapat diandalkan untuk mendukung operasional. Alokasi dana lebih besar pada kegiatan yang bersifat insidentil atau untuk acara seremonial.
Permasalahan POPA
Masalah Anggota Anggota POPA adalah orangtua yang mempunyai anak tunarungu. Berbagai masalah dihadapi keluarga terkait dengan keberadaan tunarungu dan kondisi sosial ekonomi keluarga baik dalam aspek psikologis, sosial maupun ekonomi. Dalam beberapa aspek, ada kesamaan masalah diantara anggota yang berlatar belakang sosial ekonomi mapan dengan keluarga miskin. Namun demikian, dalam beberapa segi juga ada perbedaan. Masalah emosional yang umum dihadapi oleh keluarga yang memiliki anak tunarungu adalah kekhawatiran terhadap masa depan anak. Hal ini seperti dijelaskan oleh Ibu Dt (anggota POPA dengan kondisi sosial ekonomi baik) yang mengatakan: Bagi keluarga kami, perasaan paling dirasakan dengan kehadiran anak kami yang tunarungu adalah merasa kasihan. Karena keadaannya itu, kami sangat khawatir akan masa depannya. Mudahmudahan ada sekolah khusus yang dapat membantu bagaimana agar anak kami terampil. Kami sendiri kadang kesulitan untuk membantu anak agar seperti kakak-kakak atau adiknya. Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Ibu HS (anggota miskin) yang mengatakan: Kami khawatir bagaimana kehidupan anak kami nanti. Sekarang walaupun pas-pasan kami bisa memenuhi kebutuhan anak, tetapi bagaimana nanti kalau kami orangtuanya sudah tidak ada. Dua pernyataan dari anggota POPA yang berbeda latar belakang sosial ekonomi tersebut memberikan kejelasan bahwa masalah psikologis yang paling dirasakan oleh keluarga yang memiliki anak tunarungu adalah kekhawatiran terhadap masa depan anak. Kekhawatiran terhadap masa depan anak tersebut
48 terkait dengan tidak ada lembaga yang memberikan pelayanan khusus yang mampu memberikan pendidikan dan bimbingan keterampilan secara memadai. Terkait dengan kondisi keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak, ada perbedaan antara keluarga yang berlatar belakang sosial ekonomi cukup dengan keluarga miskin. Keluarga yang berkondisi sosial ekonomi cukup menyatakan bahwa masalah yang dihadapi sehari-hari dengan keberadaan anak tunarungu adalah dalam memberikan perlakuan khusus, seperti bagaimana menyekolahkan anak agar seperti anak lain dan membimbing anak dirumah. Hal ini seperti dijelaskan oleh Ibu Dt yang mengatakan: Dalam sehari-hari, kami kesulitan untuk membimbingnya. Mungkin karena tidak pernah sekolah, jadi anak itu kurang bisa menangkap perintah. Untuk menyuruh misalnya setelah menonton tv, nanti dimatikan sendiri sering susah, sering tv sampai tidak mati semalaman. Kami butuh sekolah khusus tunarungu yang memang dapat mendidik anak, biaya mungkin bisa kami usahakan. Berbeda dengan keluarga yang termasuk kategori miskin. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak mempermasalahkan bagaimana cara membimbing anak, tetapi mempermasalahkan bertambahnya beban ekonomi. Hal ini seperti diungkapkan Bapak WD yang mengatakan: Anak kami ini kerjanya cuma makan tidur dan main kesana kemari. Kalau mau makan tidak cocok kadang-kadang marah, padahal untuk memberi makan sehari-hari keluarga saja kami kekurangan. Yang penting bagi kami adalah dapat makan sehari-hari, syukur kalau anak bisa membantu orangtua. Dari dua pernyataan tersebut dapat dilihat perbedaan antara kebutuhan keluarga tunrungu yang berlatar belakang sosial ekonomi cukup dengan yang miskin. Bagi keluarga yang cukup, biaya bukan merupakan masalah untuk memenuhi kebutuhan khusus bagi anak-anaknya, sedangkan dari keluarga miskin, mereka tidak memperhatikan kebutuhan khusus anak, melainkan mempermasalahkan pemenuhan kebutuhan pokok umumnya.
Permasalahan Organisasi
Kurangnya dana untuk mendukung kegiatan. Permasalahan yang dihadapi oleh POPA saat ini adalah tidak tersedianya dana untuk mendukung
49 operasional organisasi seperti membeli alat dan bahan kerajinan, membayar honor instruktur serta dan operasional lainnya. Alat dan bahan kerajinan yang digunakan untuk mengajar anak tunarungu dibawa oleh instruktur secara sukarela. Instruktur bimbingan keterampilan dilaksanakan oleh anggota POPA sendiri dan oleh aktivis PKK Kelurahan, sehingga walaupun tanpa honorium dan penggantian biaya transportasi, bimbingan keterampilan tetap dapat berjalan namun tidak memenuhi harapan anggota. Hal ini dituturkan oleh ibu Mr sebagai berikut : Kasihan pak, anak-anak diajarkan kerajinan cuma dari sedotan plastik. Kalau tidak membuat burung dari kartu remi. Kalau membuat yang begitu anak saya sudah bisa. Kalau diajar itu lagi anak-anak lebih banyak mainnya. Ibu-ibu yang ngajar kasihan juga mau apalagi pengurus (POPA) tidak bisa menyediakan bahan kerajinan untuk kegiatan anak-anak. Itulah kami mencari jalan kalau kami punya usaha sendiri kami mau saja urunan mengumpulkan biaya. Ungkapan Ibu Mr tersebut menyiratkan rasa kekecewaannya terhadap kegiatan yang
dilaksanakan
POPA. Hal ini terkait dengan kurangnya
kesinambungan kegiatan disebabkan oleh terbatasnya dana untuk mendukung operasional POPA. Hal ini seperti diungkapkan ketua POPA (Ibu Sl) yang menuturkan : Masalah bimbingan yang dihadapi POPA selama ini adalah dana untuk perlengkapan belajar, bahan keterampilan dan pengganti uang transportasi pembimbing (instruktur). Kegiatan selama ini hanya sejumlah berapa dana yang kami dapat dari penjualan hasil kerajinan anak-anak. Dermawan belum ada yang siap menjadi donatur tetap. Paling mereka memberikan sumbangan pada saat kita ada acara seremonial saja. Penjelasan ketua POPA ini menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi oleh POPA dalam melaksanakan kegiatan adalah tidak ada sumber dana yang berkelanjutan. Sumbangan yang diberikan oleh para dermawan tidak dapat diartikan sebagai kepedulian mereka terhadap kesejahteraan keluarga anak tunarungu tetapi hanya sebatas sebagai sumbangan sukarela atas kegiatan masyarakat kelurahan Sebengkok semata. Beberapa penyebab kurangnya dana, sehingga kegiatan tidak berkembang adalah (1) Anak-anak tunarungu tidak membayar biaya bimbingan; (2) POPA tidak memiliki usaha ekonomi produktif sebagai sumber dana yang berkelanjutan (3) Sektor swasta belum dapat dijaring oleh POPA. Upaya yang dilakukan POPA untuk mempertahankan keberlangsungan kegiatan adalah menjual hasil
50 kerajinan yang dibuat oleh anak binaan dan merekrut para dermawan yang bersimpati kepada POPA agar menjadi donatur tetap. POPA tidak diketahui masyarakat. Keberadaan POPA kurang diketahui oleh masyarakat. Penyebabnya adalah POPA tidak melibatkan masyarakat yang tidak memiliki anak atau anggota keluarga yang tunarungu dalam organisasinya maupun dalam kegiatannya. Anggota POPA dikhususkan hanya bagi mereka yang memiliki anak tunarungu. Dalam menyusun program kerja, POPA tidak mengajak tokoh masyarakat atau pemuka agama dan organisasi sosial. Masyarakat banyak yang bersimpati dan memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan anak tunarungu. Mereka bersedia berpartisipasi aktif dalam program POPA walaupun mereka tidak mempunyai anak atau anggota keluarga yang tunarungu. Hal ini seperti disampaikan oleh Bapak Jmd yang mewakili Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Tarakan dalam FGD sebagai berikut : saya tidak tahu lo pak kalau ada organisasi ini, saya sering melihat ibuibu ramai-ramai setiap hari sabtu sore membawa anaknya, saya pikir ada pengajian atau acara selamatan, abis mereka pakaiannya seperti pergi ke pesta gitu. Saya berterima kasih lo ada orang yang terbuka pikirannya mengadakan kegiatan ini. Kalau kita di bawa kita siap saja membantu paling kurang membantu menghubungkan dengan pengusaha dan donatur untuk memberikan sumbangan dalam kegiatan seperti ini. Pak Jmd sebagai seorang ulama yang bermukim di kelurahan Sebengkok dan banyak berinteraksi dengan masyarakat tidak mengetahui keberadaan POPA. Ini menunjukan bahwa POPA tidak mensosialisasikan programprogramnya
kepada
masyarakat.
Kurangnya
sosialisasi
POPA
kepada
masyarakat ini juga dijelaskan dengan pernyataan Ibu St yang mengatakan: Pernah saya ditanya pak, sama tetangga sebelah. Si Rion dibawa kemana bu setiap sore ?. Saya sekolahkan di kelurahan, saya bilang. Ada ya sekolah untuk anak tuli disini ? saya jawab, ada belajar keterampilan saja. Kantor apa yang membuat sekolah itu ? saya bilang, dari ibu-ibu disini saja yang membuatnya. Terus dia bilang, kenapa saya tidak diajak ya. Mungkin saya bisa ikut membantu. Pernyataan itu menunjukkan bahwa masyarakat Sebengkok tidak merasakan kehadiran POPA di lingkungannya. Hal ini disayangkan karena sebagian dari masyarakat ini merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung keberlangsungan kegiatan POPA. Harapan pengurus dan anggota POPA terkait dengan perlunya partisipasi masyarakat ini adalah dapat memberikan dukungan moral. Hal ini seperti dinyatakan Bapak Amt yang mengatakan:
51 Kita tidak perlu minta uangnya masyarakat. Yang penting dukungan moral kepada ibu-ibu ini. Kalau mereka menjual hasil kerajinan jangan dihitung untung rugi, dikalkulasi harga bahan ogkos kerja segala macam. Bayarlah dengan harga yang diminta. Setiap ada undangan rapat hadirlah untuk memberikan semangat dan dan memberikan saran, masukan untuk perkembangan ke depan. Kurangnya sosialisasi POPA ini menyebabkan partisipasi masyarakat untuk mendukung perkembangan POPA kurang. Hal ini seperti dijelaskan oleh Ibu Sc yang mengatakan: Kalau saja masyarakat bersimpati dengan keberadaan anak tunarungu di kampung kita ini, kita tidak kesulitan lo, cuma sekedar membeli bahan-bahan yang harganya tidak seberapa. Yang kita biaya dalam kegiatan inikan cuma membeli bahan itu. Warga yang lain perlu kita ajak terlibat dalam kegiatan ini. Hasilnya nanti akan kembali kepada kampung kita kok. Bukan kemana-mana. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kurang berpartisipasi dalam mendukung POPA untuk melaksanakan kegiatannya dan di sisi lain juga menyadari perlunya lebih banyak melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan. Alasan perlunya melibatkan masyarakat adalah mendapatkan dukungan dana untuk pembelian peralatan dan bahan dalam bimbingan keterampilan. Kurang dukungan pemerintah dan masyarakat. Sampai saat ini, POPA belum memperoleh dukungan dari pemerintah baik dalam bentuk pendidikan, pelatihan, pendampingan maupun dana. Upaya menjalin kerjasama dengan pemerintah
dalam
pendanaan
organisasi
juga
tidak
dilakukan.
Dalam
menjalankan kegiatannya, POPA tidak pernah meminta bantuan kepada pemerintah lokal. Alasan POPA tidak mengajukan bantuan dana kepada pemerintah adalah adanya anggapan pengurus bahwa apabila jumlah anak tunarungu yang ditangani banyak, dengan sendirinya pemerintah Kota Tarakan akan memberikan perhatian. Hal ini disampaikan oleh ketua POPA (Ibu EM) sebagai berikut : Kita paham pemerintah banyak yang perlu dibiayai untuk mewujudkan misi dan visi Kota Tarakan. Jumlah kami belum banyak dan kegiatan kamipun belum berkembang. Nanti kalau jumlah kami sudah banyak dan program kami juga banyak, baru kami mengundang Pemerintah Kota Tarakan untuk melihat semangat anak tunarungu untuk maju dan mandiri. Tanpa harus meminta kepada Pemerintah, pemerintah akan memberikan bantuan dana untuk perkembangan kegiatan POPA ini.
52 Kurangnya dukungan pemerintah lokal terhadap POPA ini terkait dengan keberadaan POPA yang belum terdaftar pada Bagian Sosial atau kantor lainnya. Data di Bagian Sosial menunjukkan bahwa keberadaan POPA belum terdaftar pada instansi tersebut. Kurang sarana dan prasarana.
Sampai saat ini POPA belum memiliki
gedung sendiri untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Kegiatan POPA dalam bimbingan keterampilan dilakukan di gedung serbaguna yang berlokasi di wilayah kelurahan Sabengkok. Kegiatan pertemuan dilakukan di rumah pengurus. Berdasarkan kajian sebagaimana dikemukakan, permasalahan POPA secara ringkas dijelaskan sebagai berikut: 1)
Masalah anggota: a)
Dalam beberapa aspek, ada kesamaan masalah diantara anggota yang berlatar belakang sosial ekonomi cukup dengan keluarga miskin. Masalah yang umum keluarga adalah kekhawatiran terhadap masa depan anak. Kekhawatiran terhadap masa depan anak terkait dengan tidak adanya lembaga yang memberikan pelayanan khusus secara memadai.
b)
Terkait dengan kondisi keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak, ada perbedaan antara keluarga yang berlatar belakang sosial ekonomi cukup dengan keluarga miskin. Masalah yang dirasakan keluarga berkondisi sosial ekonomi cukup adalah kesulitan dalam memberikan perlakuan khusus, sedangkan keluarga miskin adalah bertambahnya beban ekonomi.
c)
Bagi keluarga yang berkecukupan, biaya bukan merupakan masalah untuk memenuhi kebutuhan khusus bagi anak-anaknya, sedangkan dari keluarga miskin, mereka tidak memperhatikan kebutuhan khusus anak, melainkan mempermasalahkan pemenuhan kebutuhan pokok umumnya.
2)
Masalah organisasi: a)
Kurangnya dana untuk mendukung operasional POPA. Penyebabnya adalah anak-anak tunarungu tidak membayar biaya bimbingan;
53 POPA tidak memiliki usaha ekonomi produktif sebagai sumber dana yang berkelanjutan, sektor swasta belum dapat dijaring oleh POPA. b)
POPA tidak diketahui masyarakat disebabkan tidak melibatkan masyarakat dalam organisasi maupun dalam kegiatannya dan kurangnya sosialisasi.
c)
Kurang dukungan pemerintah dalam bentuk pendidikan, pelatihan, pendampingan maupun dana dan keberadaan POPA belum terdaftar pada Bagian Sosial.
d)
Kurang sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan bimbingan keterampilan.