PERSAINGAN USAHA DALAM INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA Latar belakang Perkembangan berbagai aspek kehidupan dan sektor ekonomi di dunia dewasa ini terasa begitu cepat, kecepatan perubahan tersebut sering digambarkan sebagai perubahan
yang
cenderung
bergerak
eksponensial
ketimbang
linier,
untuk
menggambarkan betapa luar biasanya pergerakan perubahan tersebut. Dan di balik itu semua, peran teknologi komunikasi dan informasi (di mana telekomunikasi ada di dalamnya) sangatlah signifikan. Tanpa perkembangan teknologi tersebut dapat dipastikan perubahan maha dahsyat tersebut tidak akan terjadi. Di Indonesia dibalik perubahan yang dimotori teknologi tersebut, terdapat peran yang sangat signifikan dari para pelaku usaha di industri telekomunikasi. Industri telekomunikasi adalah sebuah industri yang bergerak begitu dinamis, dengan life cycle product yang terasa semakin pendek dibanding sebelumnya, dengan keragaman inovasi di dalamnya dan menjadi sarana bagaimana perubahan berbagai sektor difasilitasi. Percepatan perubahan tersebut, selain karena perkembangan teknologi, juga tidak bisa dilepaskan dari perubahan model pengelolaan sektor telekomunikasi yang dilakukan bangsa ini sejak tahun 1999, melalui UU No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Sejak saat itu, pengelolaan sektor telekomunikasi Indonesia berubah dari monopoli menjadi persaingan (kompetisi). Sejak saat itulah beberapa perusahaan telekomunikasi dan industri turunannya bermunculan dan bersaing memperebutkan pasar Indonesia. Di tahun 1999 juga, sebelum UU No 36 tahun 1999 lahir, telah lahir terlebih dahulu UU No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang No 5/1999 hakikatnya merupakan sebuah upaya koreksi bangsa ini terhadap perkembangan ekonomi Indonesia yang saat itu dipandang tidak memiliki fundamental ekonomi kuat (sehingga dihantam krisis ekonomi yang dahsyat), yang di antaranya banyak disebabkan oleh persaingan usaha tidak sehat sehingga praktek monopoli merajalela. Kasus monopoli beberapa komoditas, pengaturan bisnis 1
oleh pelaku usaha yang leluasa mengeksploitasi konsumen, persekongkolan tender menjadi warna tersendiri di era sebelum reformasi. Melalui UU No 5/1999, pasca reformasi diharapkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat diminimalkan. Tahun kelahiran yang sama antara Undang-undang telekomunikasi dan undangundang persaingan memperlihatkan hadirnya semangat yang sama antara keduanya yakni melahirkan sektor ekonomi Indonesia yang kuat dan berdayasaing. Sinergi keduanya kemudian terlihat dalam pasal 10 UU No 36 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa untuk masalah persaingan usaha di sektor telekomunikasi mengikuti Undangundang yang berlaku dalam hal ini UU No 5/1999. Kini setelah 14 (empat belas) tahun UU No 36/1999 berlaku, perkembangan industri telekomunikasi luar biasa. Telekomunikasi kini menjadi sarana yang dapat dengan mudah kita akses dengan biaya yang relatif terjangkau. Sektor ini kerap menjadi kebanggaan Indonesia, dan selalu diangkat KPPU dalam berbagai forum internasional sebagai salah satu sektor yang berhasil mengimplementasikan perubahan pengelolaan sektor dari monopoli menuju persaingan (kompetisi) secara mulus. Dalam forum ini menjadi penting bagi kita, untuk melihat persaingan usaha yang telah terjadi dan apa yang sebaiknya kita lakukan ke depan untuk menjaga agar persaingan usaha dalam sektor ini tetap berlangsung dengan baik yang bermuara pada kesejehteraan masyarakat dalam bentuk ketersediaan akses telekomunikasi dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Perubahan
Pengelolaan
Industri
Telekomunikasi
dari
Monopoli
menjadi
Kompetisi Sebagaimana disebutkan sebelumnya, perubahan radikal model pengelolaan sektor telekomunikasi diawali dengan lahirnya UU No 36/1999. Undang-undang ini mengubah secara radikal pengelolaan industri telekomunikasi dari monopoli menuju kompetisi. Keberhasilan perubahan pengelolaan ini, diakselerasi dengan munculnya teknologi telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuesi sebagai alternatif
2
sarana telekomunikasi setelah puluhan tahun hanya berbasis dua sarana utama, yaitu jaringan kabel dan satelit. Penggunaan spektrum frekuensi di negeri ini, diawali dengan kehadiran dua operator
seluler
perkembangan
Indonesia
Satelindo
telekomunikasi
dan
Indonesia
Telkomsel. luar
biasa.
Setelah
itu
akselerasi
Setelah
perkembangan
teledensitas telekomunikasi Indonesia melalui fixed line selama puluhan tahun, tersendat di hitungan 8 (delapan) juta satuan sambungan telepon (sst), maka hanya dalam hitungan kurang dari 20 (dua puluh) tahun jumlah pengguna telepon Indonesia melonjak secara signifikan mencapai ratusan juta satuan sambungan. Coverage area yang dulu hanya meliputi wilayah tertentu, maka saat ini hampir seluruh wilayah utama Indonesia terlayani. Dan yang luar biasa tarif telekomunikasi, seiring waktu malah bertambah lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Hal yang juga patut menjadi catatan penting di tahun 2013 adalah setelah Indonesia menjadi tempat pelaku usaha asing menanamkan investasinya sebagai operator telekomunikasi, PT Telkom mulai bisa memasuki pasar di beberapa Negara tetangga. Sebuah kemajuan yang sangat baik bagi industri telekomunikasi Indonesia. Beberapa data tersebut, menjadi fakta yang sempurna bagaimana persaingan sehat bekerja dengan baik dalam industri telekomunikasi Indonesia. Harapan ke depan tentu saja semua ini bisa terus dipelihara dengan baik, sehingga sektor ini tetap berada dalam koridor persaingan usaha yang sehat. Milestone Persaingan Usaha Sehat Dalam Industri Telekomunikasi Telah disebutkan sebelumnya bahwa milestone terpenting dari perkembangan telekomunikasi Indonesia adalah keberadaan UU No 36 Tahun 1999 yang mengubah model pengelolaan dari monopoli menuju kompetisi. Tetapi dalam perjalanan industri telekomunikasi ini, juga terdapat 2 (dua) kasus persaingan usaha yang menjadi milestone dan koreksi terhadap perkembangan persaingan di industri ini. Kedua kasus tersebut adalah kasus kepemilikan silang Temasek dan Kartel SMS. Tentu saja, kedua kasus tersebut cukup mengejutkan, bagi kita karena hadir di tengah perkembangan sektor telekomunikasi yang massif saat itu. Tetapi setelah kedua kasus itu, kita melihat 3
sebuah perkembangan persaingan yang sangat signfikan dalam bentuk tarif yang sangat kompetitif. Dalam perspektif persaingan, kedua kasus tersebut juga menyadarkan kita bahwa struktur industri telekomunikasi cenderung tergolong kepada oligopoli. Jumlah pelaku usaha di sektor ini, akan terbatasi secara alamiah oleh ketersediaan sumberdaya strategis berupa spektrum frekuensi (sementara telekomunikasi berbasis kabel sulit bersaing karena biaya yang mahal dan rendahnya mobilitas). Godaan menggunakan penyalahgunaan oligopoli dalam bentuk kartel memang sangat mudah terjadi dalam struktur seperti itu. Tetapi nampaknya sampai saat ini perkembangan yang terjadi malah sebaliknya. Kompetisi antar operator dirasakan sangat ketat bahkan mungkin bisa dikategorikan sebagai hiperkompetisi oleh beberapa operator. Keluhan tentang perang tarif antar operator kerap terdengar. Tetapi dalam perspektif persaingan usaha yang sehat, persaingan ketat itulah yang diinginkan. Melalui persaingan ketat diharapkan lahir operator-operator yang berdaya saing dan bisa berkontribusi secara optimal bagi masyarakat. Secara umum, dalam perspektif persaingan terdapat 2 (dua) hal yang sangat terlarang dilakukan oleh pelaku usaha. Pertama penyalahgunaan posisi dominan dan kedua adalah pengaturan oleh pelaku usaha, yang salah satunya muncul dalam bentuk kartel. Hiperkompetisi dan Konsolidasi Industri Telekomunikasi Indonesia Sering disebutkan oleh berbagai pakar, bahwa jumlah operator telekomunikasi di Indonesia saat ini tergolong tinggi. Terdapat 11 (sebelas) operator yang beradu kekuatan memperebutkan pasar Indonesia. Uniknya, di Indonesia juga terdapat dua kelompok operator berdasarkan teknologi selulernya. Pertama kelompok teknologi GSM kedua teknologi CDMA. Akan tetapi terkait dengan jumlah tersebut, sesungguhnya tidak ada justifikasi berapa jumlah operator yang tepat. Indonesia yang sering dikritik terkait jumlah operator di satu sisi, di sisi lain begitu menikmati dinamika kehadiran persaingan ketat tersebut melalui tarif yang terjangkau, produk yang semakin beragam, dan coverage area yang semakin melebar. Untuk itu, maka sebaiknya kita membiarkan 4
pasar bekerja, termasuk untuk upaya melakukan konsolidasi dalam berbagai bentuk seperti merger dan akuisisi. Perkembangan saat ini memang memperlihatkan bahwa beberapa pelaku usaha telekomunikasi sudah mulai keteteran menghadapi persaingan yang nampaknya sudah mulai memasuki titik jenuh. Jumlah konsumen yang stagnan, dengan ARPU yang cenderung menurun menjadikan persaingan telekomunikasi menjadi sangat susah bagi beberapa operator telekomunikasi Indonesia. Beberapa operator telekomunikasi Indonesia kini mengalami kerugian yang cukup signifikan, secara finansial yang bisa dilihat dari beberapa laporan keuangan mereka. Kita mungkin bisa berbangga bahwa tarif rendah dengan coverage area yang semakin luas, menjadi cermin keberhasilan industri telekomunikasi, tetapi di sisi lain operator mulai mengalami perkembangan yang tidak diduga dan sangat tidak diinginkan. Kinerja mereka merosot tajam, bahkan sangat sulit bersaing dalam situasi pasar yang cenderung jenuh ini. Upaya mendongkrak kinerja melalui berbagai strategi bersaing telah dilakukan, tetapi kinerja operator tetap tidak bisa didongkrak secara signifikan, sehingga pilihan keluar dari pasarpun menjadi salah satu solusi terbaik bagi mereka. Maka kini merger dan akuisisi (M & A), menjadi salah satu pilihan untuk bisa terus bersaing dalam industri telekomunikasi. Pemerintah bisa mendorong dan memberi insentif agar hal ini terjadi, tetapi biarkan pasar yang akhirnya menyeleksi dan mendorong mereka melakukan konsolidasi. M & A di sektor telekomunikasi dan turunannya, sesungguhnya telah mulai terjadi. KPPU telah menotifikasi beberapa proses akuisisi di sektor telekomunikasi. Di antaranya adalah akuisisi Mobile 8 oleh Smart Telecom, akusisi beberapa perusahaan menara telekomunikasi oleh PT Tunas Solusindo dan PT Tower Bersama serta saat ini kita telah menerima notifikasi akuisisi Axis oleh XL. Dalam perspektif persaingan usaha, konsolidasi industri melalui M & A merupakan hal yang wajar terjadi. Pasar akan melakukan seleksi bahwa pada akhirnya pelaku usaha yang efisien dan mampu terus memperbaiki daya sainglah yang akan 5
bertahan di pasar. Sementara itu, perusahaan yang mungkin merasa telah berupaya semaksimal mungkin melakukan upaya penetrasi pasar dan berujung pada kegagalan karena arena persaingan sudah memasuki era hiperkompetisi sehingga gagal menembus pasar dan akhirnya berhitung bahwa secara bisnis tidak menarik lagi, mereka akan keluar dari pasar, salah satunya melalui proses diakuisisi operator lain. Merger dan Akusisi dalam perspektif persaingan bukanlah hal negatif. Konsolidasi menjadi sejumlah pelaku usaha dengan jumlah yang relatif lebih terbatas, diakui akan menyebabkan terjadinya lessening competition, tetapi intensitas persaingan dapat terus dijaga melalui pengawasan KPPU agar operator tidak tergoda melakukan perilaku bersaing tidak sehat yang akan merugikan konsumen Indonesia. Terkait M & A, melalui PP No 57 Tahun 2010 KPPU telah mengembangkan kapabilitas untuk dapat mendeteksi sejauhmana sebuah M & A akan mempengaruhi secara positif dan negatif terhadap persaingan usaha. Sinergi Regulator Sektor dan KPPU Memperhatikan perkembangan sektor telekomunikasi selama ini, KPPU sangat bersyukur bahwa KPPU bisa bekerjasama dengan baik selama ini dengan kementerian komunikasi dan informasi sebagai regulator sektor. KPPU menyadari bahwa peran KPPU dalam sektor telekomunikasi sangat terbatas pada permasalahan persaingan saja sebagaimana diatur oleh UU No 5/1999. Regulator sektor pada umumnya yang memiliki kewenangan lebih luas dalam mengatur sektor, seperti kominfo mengatur telekomunikasi, yang lebih memberi warna bagaimana sektor telekomunikasi akan dikembangkan. Regulator sektor dapat menentukan berbagai aspek pengaturan di sektor telekomunikasi, sementara KPPU hanya berhak mengawasi yang terkait persaingan saja. Sinergi KPPU-Kemkominfo diharapkan dapat terus dijaga agar sektor ini tetap menghasilkan kinerja yang optimal. Seperti menyangkut dirkursus terakhir terkait dengan M & A, KPPU dan Kemkominfo harus bisa bekerjasama melalui optimasi perannya masing-masing. KPPU 6
memiliki kewenangan untuk melihat pengaruh M & A terhadap persaingan dengan alat ukur yang sudah sangat jelas, dari mulai pengukuran konsentrasi pasar dan alat ukur persaingan lainnya. Sementara Kemkominfo memiliki kewenangan terkait hal-hal di luar persaingan dan hal-hal yang bersifat teknis seperti penataan spektrum frekuensi. Diharapkan melalui kerjasama seperti itu, tidak terjadi tumpang tindih peran yang tidak perlu tetapi justru sinergi peran yang lebih dibutuhkan. Secara singkat dalam kesempatan yang baik ini, mengingat diskursus tentang M & A yang menghangat belakangan ini khususnya terkait akuisisi XL terhadap Axis, perkenankan saya secara singkat memaparkan langkah-langkah penilaian yang dilakukan KPPU terhadap M & A, agar menjadi jelas apa yang dilakukan oleh KPPU terkait dengan M & A. Langkah-lankah yang dilakukan KPPU adalah : 1. Melakukan pendefinisian pasar. Seluruh produk yang dimiliki oleh pihak yang terlibat dalam M & A akan diidentifikasi 2. Melakukan pengukuran konsentrasi melalui HHI HHI > 1800 akan dilanjut ke penilaian penyeluruh HHI < 1800 penilaian dihentikan ∆ HHI > 150 akan dilanjutkan ke penilaian menyeluruh ∆ HHI < 150 penilaian dihentikan 3. Penilaian menyeluruh : a. Analisis hambatan masuk b. Analisis potensi perilaku persaingan tidak sehat c. Analisis Efisiensi d. Analisis kepailitan Atas dasar penilaian yang sangat rigid dan terukur itulah maka KPPU akan mengeluarkan pendapat KPPU. KPPU memiliki waktu 90 hari kerja maksimal, untuk melakukan penilaian ini. Perlu juga kami sampaikan bahwa rezim penilaian merger oleh KPPU saat ini adalah rezim post notification, sebuah rezim yang mengatur bahwa M & A harus efektif secara yuridis dulu baru wajib lapor ke KPPU. Mungkin rezim model ini, hanya sedikit di 7
dunia, tetapi UU No 5/1999 memang mengatur hal ini. Pelaporan ke KPPU setelah M & A efektif secara yuridis, dinamakan Pemberitahuan. Meskipun demikian, KPPU juga membuka pintu bagi pihak yang mau secara sukarela melakukan notifikasi ke KPPU sebelum M & A efektif secara yuridis. Model pelaporan seperti ini dinamakan konsultasi, dengan proses penilaian yang tidak jauh berbeda dengan model penilaian pada Pemberitahuan. Dan kami mengucapkan terima kasih kepada XL yang saat ini lebih memilih menggunakan metode Konsultasi. Penutup Pada akhirnya sampai dengan saat ini, KPPU bisa menyampaikan bahwa proses tranformasi dari monopoli ke kompetisi berlangsung dengan sangat baik yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk tarif yang terjangkau dan ketersediaan akses yang mudah.. Sinergi yang baik antara KPPU dan Kemkominfo terkait dengan pengelolaan dan pengaturan sektor telekomunikasi serta kerjasama dengan stakeholder telekomunikasi akan menjadi kunci keberhasilan pengelolaan yang bermuara pada hadirnya sektor telekomunikasi yang efisien, dan berdayasaing. Kompleksitas sektor telekomunikasi yang senantiasa bertambah
seiring
akselerasi teknologi telekomunikasi di dalamnya, diharapkan dapat terus diantisipasi melalu kerjasama seluruh stakeholder telekomunikasi Indonesia. Konsolidasi industri telekomunikasi saat ini mungkin akan menjadi salah satu pilihan di tengah ketatnya persaingan, pasar yang jenuh serta kinerja beberapa operator yang tidak kunjung meningkat. Konsolidasi dalam bentuk M & A, adalah sebuah peristiwa yang wajar dalam sebuah industri, KPPU berharap konsolidasi industri telekomunikasi dapat dilakukan dalam koridor persaingan usaha yang sehat sebagaimana diatur dalam UU No 5 tahun 1999.
Terima kasih 8