Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012]
PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA PROSES PENGERINGAN MEKANIS METODE DRYERATION DENGAN MENGGUNKAN SILO BERAERATOR Nursigit Bintoro, Sunarto Gunadi, Joko Nugroho, Hanim Zuhrotul Amanah Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada e-mail :
[email protected]
Pengeringan biji-bijian secara mekanis masih belum banyak dipraktekkan dimasyarakat karena berbagai macam alasan seperti harga alat yang mahal, biaya operasional tinggi, kapasitas yang tidak sesuai, dan lain-lain. Pada penelitian ini telah dilakukan perancangan peralatan pengering mekanis yang berbasis silo sebagai salah satu upaya untuk mencari pemecahan permasalahan-permasalahan dalam pengeringan mekanis. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perpindahan panas dan massa, serta kinerja alat pada proses pengeringan biji-bijian dengan menggunakan peralatan yang telah dirancang tersebut serta untuk menjajagi kemungkinan penerapan metode dryeration untuk pengeringan bijian secara mekanis. Pada penelitian init telah dirancang peralatan pengering mekanis berbentuk silo dengan diameter 175 cm, tinggi silinder 195 cm, kemiringan hopper 60o dari bahan pelat besi. Peralatan dilengkapi dengan pneumatic conveyor, centrifugal blower, serta burner dengan bahan bakar pengering berupa gas LPG. Sebagai bahan penelitian adalah biji jagung dan gabah kering panen dengan kadar air awal rata-rata berkisar 28,96 % (w.b) untuk jagung dan 29,30 % (wb) untuk gabah. Proses pengeringan dilakukan dengan variasi temperature udara pengering serta metode pengeringan secara konvensional dan dryeration. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada proses pengeringan biji jagung, nilai koefisien perpindahan panas konveksi (h) berkisar antara 0,446 – 0,572 W/m2oC untuk rentang suhu udara pengering antara 70 - 100oC, jauh lebih tinggi dari pada penjemuran yang hanya 0,026 W/m2oC. Sedangkan pada proses tempering nilainya berkisar antara 0,120 - 0,571 W/m2oC. Nilai konstanta laju pengeringan (kM) berkisarantara 0,145 - 0,265 1/jam yang juga lebih tinggi dari pada penjemuran 0,122 1/jam, sedangkan pada proses tempering berkisar antara 0,096 - 0,164 1/jam. Pada pengujian dengan gabah diperoleh bahwa konsumsi bahan bakar solar serta gas LPG untuk pengeringan mekanis secara konvensional adalah 17 lt dan 25,5 kg, sedangkan dengan menerapkan metode dryeration hanya 13 lt dan 9 kg untuk gabah seberat 2 ton. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Heat Utility Factor(HUF) berkisar antara 0,80 - 0,93 dan Effective Heat Efficiency (EHE) antara 0,90 - 0,98. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa silo yang dilengkapi dengan aerator dapat digunakan sebagai peralatan pengering mekanis dengan kinerja yang cukup bagus. Penerapan metode pengeringan mekanis secara dryeration dapat meningkatkan kapasitas peralatan pengering dan menurunkan konsumsi bahan bakar yang cukup besar. Kata kunci: pengeringan, silo, biji-bijian, dryeration, tempering
PENDAHULUAN Di Indonesia, penanganan pascapanen khususnya pada proses pengeringan biji-bijian masih dilakukan dengan penjemuran dibawah sinar matahari yang telah diketahui mempunyai banyak kekurangan. Untuk meningkatkan kualitas serta kapasitas pengeringan, pemerintah telah berupaya untuk memberikan bantuan peralatan pengering mekanis ke berbagai instansi
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
ABSTRAK
597
maupun kelompok masyarakat yang membutuhkan. Namun demikian, hampir seluruh peralatan pengering mekanis bantuan pemerintah tersebut tidak ada yang dioperasikan dengan beberapa alasan seperti biaya operasional yang mahal, harga bahan bakar yang mahal, kapasitas yang terlalu besar, dan lain-lain. Tingginya biaya operasional pengeringan kemungkinan besar disebabkan karena metode pengeringan yang dipilih tidak sesuai, dimana pada umumnya biji-bijian dikeringkan didalam alat pengering dari kadar air tinggi (hasil panen) secara terus-menerus sampai mencapai kadar air akhir yang diinginkan. Sebagai akibatnya, konsumsi bahan bakar untuk proses pengeringan manjadi sangat tinggi, karena pada saat proses pengeringan mulai memasuki periode laju menurun (falling rate period) maka kandungan air dari biji-bijian akan semakin sulit diuapkan, sehingga membutuhkan konsumsi bahan bakar yang besar. Noyes dan McKenzie (1998) menyatakan bahwa pada proses pengeringan biji-bijian, penghilangan 2 - 3 point dari kadar air akhir bijian, memerlukan energi paling besar. Dengan dryeration kadar air akhir ini tidak perlu dihilangkan oleh mesin pengering, sehingga akan meningkatkan kapasitas mesin pengering tersebut secara signifikan. Adapun prosedur operasional metode pengeringan dryeration ini secara lebih spesifik adalah sebagai berikut, pengeringan dengan suhu tinggi dihentikan dan bijian dalam kondisi panas dipindahkan ketika kadar airnya kurang-lebih 2 – 3% diatas kadar air akhir yang dikehendaki. Bijian panas ini dibiarkan untuk proses tempering selama 6 – 12 jam pada penampung yang terpisah sebelum didinginkan selama beberapa jam dengan laju aliran udara kurang-lebih 0,5 – 1,0 m3/menit/ton. Setelah proses pendinginan selesai, bijian dipindahkan ke bangunan penyimpanan akhir (Maier, 2003). Kebutuhan biaya energi untuk pengeringan jagung kurang lebih 60% dari total biaya energi untuk produksi bijibijian (Brooker et al., 1992). Suatu gambaran yang menunjukkan akan tingginya biaya dalam proses pengeringan biji-bijian. Hal ini berarti, bahwa perubahan biaya pengeringan akan sangat signifikan sekali dalam merubah total biaya produksi biji-bijian. Oleh karena itu, pemilihan jenis bahan bakar yang murah, akan dapat menurunkan biaya proses pengeringan secara keseluruhan. Bahan bakar yang digunakan pada peralatan pengering bantuan pemerintah umumnya adalah minyak tanah yang beberapa tahun belakangan ini harganya sangat mahal. Menurut Gely dan Giner (2004), karena pengeringan merupakan proses dengan kebutuhan energi yang intensif, penggunaan metode untuk mengurangi konsumsi energi sangat penting secara ekonomis dan menguntungkan lingkungan. Lebih jauh dikemukakan bahwa disamping kemungkinannya dalam meningkatkan kapasitas pengeringan dan kemampuan mempertahankan kualitas bijian yang lebih baik, dryeration dapat menjadi alternatif cara pengeringan yang menjanjikan. Namun demikian, karena metode ini memerlukan investasi yang lebih tinggi untuk peralatannya, perlu penanganan yang lebih terorganisasi, perlu penanganan yang tepat waktu, maka diperlukan analisis teknis dan ekonomis untuk mendapatkan pengetahuan akan apalikasinya dalam praktek. Oleh karena itu, untuk dapat mengaplikasikannya di Indonesia, diperlukan berbagai penelitian yang mengangkat topik tentang pengeringan dryeration, agar diperoleh sistem pengeringan yang berkapasitas tinggi, efisien, murah, dengan kualitas hasil bijian yang baik sesuai dengan kondisi sistem pertanian di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perpindahan panas dan massa, serta kinerja alat pada proses pengeringan biji-bijian dengan menggunakan peralatan pengering mekanis yang dirancang berbasis silo dengan bahan bakar gas LPG, serta untuk menjajagi kemungkinan penerapan metode dryeration untuk pengeringan bijian secara mekanis guna menurunkan biaya operasional proses pengeringan.
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012]
598
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012]
METODE PENELITIAN Bahan dan alat Bahan bijian yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung dan gabah kering panen masing-masing 8,5 ton dan 4 ton dengan kadar air awal rata-rata berkisar 28.96 % (wb) untuk jagung dan 29.30 % (wb) untuk gabah. Sedangkan peralatan utama yang digunakan adalah pengering mekanis yang dirancang dengan basis berbentuk silo dengan diameter 175 cm, tinggi silinder 195 cm, kemiringan hopper 60o dari bahan pelat besi yang mampu menampung biji jagung sebanyak 3 ton. Didalam silo dipasang suatu aerator yang berfungsi sebagai ruang plenum dengan bentuk anular dibagian tepi silo dengan beberapa jari-jari yang menghubungkan ruang anular tersebut dengan silinder aerator dibagian pusat silo. Udara pengering masuk lewat suatu saluran menuju aerator dipusat silo kemudian akan terdistribusi lewat ruangan aerator kedalam massa bijian. Peralatan pengering dilengkapi dengan pneumatic conveyor dan centrifugal blower yang digerakkan dengan tenaga listrik dari suatu genset yang diputar oleh mesin diesel. Sedangkan sebagai pemanas dipasang burner pada bagian tungku dengan bahan bakar gas LPG. Peralatan pendukung penelitian lainnya adalah grain moisture tester, thermohygrometer, thermometer digital, termokopel, hot wire anemometer, manometer, timbangan digital, oven, dan sample spear.
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu bijian terus dimonitor sepanjang penelitian, Gambar 1 merupakan contoh profil perubahan suhu biji jagung selama proses pemanasan dan tempering. Temperatur biji jagung meningkat seiring dengan waktu pemanasan, kemudian mencapai nilai yang kurang lebih konstan. Adanya proses sirkulasi selama pemanasan mengakibatkan temperatur mengalami fluktuasi selama pemanasan tersebut. Sedangkan pada waktu tempering temperatut biji menurun seiring dengan waktu tempering, dan mengalami penurunan secara drastis pada ujung kurva karena adanya proses aerasi/pendinginan. Dengan menerapkan persamaan Newton law of cooling, berdasarkan nisbah suhu bijian dan waktu pengeringan diperoleh nilai kanstanta laju peningkatan suhu bijian seperti pada tabel berikut ini.
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
Pelaksanaan penelitian Sebagai tahap awal dari pengujian peralatan pengering ini, suhu pengeringan yang dicoba adalah 70oC, 85oC, dan 100oC untuk jagung, sedangkan untuk gabah 50 oC dan 70oC. Pada pengeringan jagung dilakukan dengan menerapkan metode dryeration, demikian juga dengan penjemuran sebagai kontrol. Pada pengeringan gabah dilakukan dengan menerapkan pengeringan mekanis secara konvensional (terus-menerus) dan metode dryeration. Pada proses pengeringan dryeration proses pengeringan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pemanasan dalam peralatan pengering, tahap tempering, dan pendinginan dengan aerasi. Tahap pemanasan dihentikan ketika rata-rata kadar air bijian telah turun mencapai kisaran 17% (wb), kemudian bijian menjalani proses tempering sampai kadar air akhir mencapai nilai kurang lebih 14% (wb) dan selanjutnya didinginkan dengan hembusan udara. Selama proses pemanasan dilakukan sirkulasi bijian dengan pneumatic conveyor rata-rata sebanyak lima kali untuk membalik posisi bijian dari bawah keatas dan sebaliknya. Tempering dilakukan dengan tiga macam cara yaitu didalam silo, didalam karung dengan ruang plenum (aerator), dan dalam bentuk timbunan dengan aerator. Berbagai data seperti temperatur, kelembaban, tekanan statik, kecepatan udara, dan kadar air dimonitor dicatat secara periodik. Demikian pula dilakukan pengukuran terhadap konsumsi bahan bakar gas LPG dan solar yang dibutuhkan selama proses pengeringan.
599
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012]
Gambar 1. Contoh kurva profil perubahan suhu biji jagung selama proses pemanasan dan tempering (karung beraerator) dengan suhu pengeringan 100oC
Tampak bahwa pada saat pemanasan, nilai konstanta laju peningkatan suhu bijian (kT) secara umum lebih tinggi saat pemanasan dibandingkan saat tempering. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikkan temperatur biji lebih cepat dari pada penurunannya, sebagai akibat dari adanya aliran udara panas pada saat pemanasan. Pada suhu pengeringan 100oC, nilai kT ini mencapai lebih dari 20 kali lipat dari pada penjemuran, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu biji pada proses pengeringan mekanis ini sangat jauh lebih cepat dari pada penjemuran. Pada waktu tempering nilai kT hampir sama untuk ketiga suhu pengering maupun ketiga macam cara tempering. Kondisi ini mungkin disebabkan karena pada saat tempering perbedaan temperatur antara biji jagung dengan udara pada massa jagung tersebut rendah, sehingga transfer panas berjalan lambat karena tidak adanya aliran udara. Hal ini juga berarti, bahwa untuk tempering dapat dilakukan dengan karung atau timbunan dengan kecepatan yang kurang lebih sama, sehingga dapat mengeliminir kebutuhan silo tempering yang berarti mengurangi kebutuhan investasi peralatan dryeration. Gambar 2 menunjukkan salah satu contoh profil penurunan kadar air biji jagung selama proses pemanasan dan tempering.
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
Tabel 1. Nilai konstanta laju peningkatan suhu biji jagung (kT) selama proses pemanasan dan tempering Tempering (1/jam) Suhu (oC) Pemanasan (1/jam) Silo Karung Timbunan 70 0,074 0,169 0,168 0,176 85 0,255 0,183 0,175 0,181 100 0,393 0,154 0,150 0,176 Jemur 0,018
600
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012]
Gambar 2. Contoh kurva profil perubahan kadar air biji jagung selama proses pemanasan dan tempering (dalam silo) dengan suhu pengeringan 100oC Dengan analogi yang sama dengan perhitungan kT, dapat dihitung nilai konstanta laju pengeringan (kM) seperti pada Tabel 2 berikut ini.
Seperti juga nilai kT, nilai kM pengering mekanis juga lebih tinggi dari pada penjemuran yang secara umum hampir dua kali lipat (kecuali pada suhu 85oC), menunjukkan bahwa penurunan kadar air dengan pengeringan mekanis jauh lebih cepat dari pada penjemuran. Pada proses pemanas dengan suhu 85oC nilai kM yang dihasilkan agak rendah, kemungkinan besar hal ini disebabkan karena kadar air awal jagung yang digunakan rendah yaitu 23% (wb), lebih kecil dari pada kadar air pada suhu 70oC dan 100oC yang masing-masing 34,67% (wb) dan 28,80 % (wb). Secara umum, nilai kM pada proses tempering relatif rendah, bahkan nilainya dibawah kM pada cara penjemuran, hal ini menunjukkan bahwa pelepasan air dari bijian pada tahap tempering berlangsung sangat lambat sehingga kerusakkan cracking pada bijian dapat diminimalisir. Ezeike dan Otten (dalam Maier, 2003) menyatakan bahwa tempering dari bijian jagung adalah merupakan cara yang paling praktis dalam mempertahankan kualitas biji-bijian sambil memenuhi kapasitas pengeringan yang tinggi. Lebih jauh mereka menetapkan bahwa proses tempering paling baik terjadi pada kondisi udara diam. Dengan analisis lump capacytance method dapat dihitung nilai koefisien perpindahan panas konveksi (h) selama proses pengeringan seperti pada tabel 3. Nilai h pada proses pemanasan adalah koefisien konveksi untuk perpindahan panas dari udara pemanas ke biji jagung, sedangkan pada tempering adalah sebaliknya dari biji jagung ke udara sekeliling. Pada proses pemanasan, nilai h rata-rata berkisar 20 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan penjemuran, sedangkan pada tempering 8,4 – 12,1 lipat dari pada penjemuran. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses perpindahan panas baik masuk (pemanasan) maupun keluar (tempering) dari biji jagung jauh lebih cepat dibandingkan dengan penjemuran. Early (1983), memberikan daftar nilai h, dimana untuk udara diam adalah 6 W/m2oC dan udara
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
Tabel 2. Nilai konstanta laju penurunan kadar air biji jagung (kM) selama proses pemanasan dan tempering Tempering (1/jam) Suhu (oC) Pemanasan (1/jam) Silo Karung Timbunan 70 0,242 0,164 0,156 0,164 85 0,145 0,096 0,110 0,132 100 0,265 0,146 0,158 0,162 Jemur 0,122
601
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012] bergerak dengan kecepatan 3 m/dt (10,8 km/jam) sebesar 30 W/m2oC. Namun demikian, untuk pengeringan biji-bijian dalam bentuk timbunan karena dalam massa bijian yang dikeringkan kondisinya padat, sehingga kontak antara udara dengan bijian sangat terbatas, hal ini kemungkinan sebagai penyebab rendahnya nilai h pada proses pengeringan alamiah maupun mekanis pada umumnya. Meskipun lebih tinggi dari pada penjemuran, nilai h pada proses tempering hanya berkisar 54% dari nilai h pada pemanasan. Seperti juga nilai kM, rendahnya nilai h pada saat tempering ini akan menguntungkan proses pengeringan, karena akan mencegah terjadinya kerusakan pada bijian sehingga dapat menjaga kualitas bijian yang dikeringkan. Menurut Proctor (1994), dryeration yang mulanya dikembangkan untuk bijian jagung, merupakan kombinasi antara pengeringan dengan udara panas dan aerasi pendinginan. Pada metode ini proses tempering diterapkan yaitu diantara periode pengeringan suhu tinggi dengan periode pendinginan. Lebih jauh dikemukakan, bahwa kerusakkan bijian dapat dikurangi dan efisiensi pengeringan dapat ditingkatkan dengan penggunaan panas tersisa yang ada didalam butir bijian untuk penguapan air selama proses pendinginan. Sehingga temperatur yang tinggi dapat digunakan pada proses pengeringan karena bijian tidak dikeringkan sampai dengan kadar air yang sedemikian rendah. Dari tabel tersebut dapat juga dilihat, bahwa ketiga cara tempering mempunyai nilai h yang hampir sama, atau dengan kata lain kecepatan penurunan panas dari ketiga cara tersebut kurang lebih sama, sehingga ketiga cara tersebut dapat digunakan pada proses tempering dengan lama waktu pendinginan yang kurang lebih sama pula. Tabel 3. Nilai koefisien perpindahan panas konveksi (h) selama proses pemanasan dan tempering Pemanasan (W/m2oC)
70 85 100 Rata-rata Jemur
0,572 0,446 0,558 0.525 0,026
Silo 0,298 0,433 0,214 0.315
Tempering (W/m2oC) Karung Timbunan 0,219 0,571 0,130 0,120 0,309 0,249 0.219 0.313
Gambar 3 menunjukkan contoh kurva fitting penurunan kadar air biji jagung antara persamaan prediksi dengan data pengamatan. Dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa hasil prediksi menunjukkan nilai yang cukup dekat dengan hasil observasi (R2 = 0,92), hal ini menandakan bahwa logika analogi Newton law of cooling untuk prediksi penurunan kadar air bijian selama proses pengeringan dapat digunakan. Pada proses pemanasan jagung, dengan menerapkan persamaan Arrhenius, maka nilai kM dapat dihubungkan dengan temperatur pengeringan (T), sehingga diperoleh persamaan prediksi yang dapat digunakan untuk memperkirakan penurunan kadar air biji jagung selama proses pemanasan.
……………………… (1)
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
Suhu (oC)
602
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012]
Dari hasil analisis diperoleh faktor penggunaan panas (HUF, Heat Utilisation Factor) yang merupakan perbandingan antara panas yang termanfaatkan dengan panas yang dipasok, mencapai nilai yang cukup tinggi 0,80 – 0,93 untuk jagung dan 0,84 – 0,87 untuk gabah. Efisiensi panas efektif (EHE, Effective Heat Efficiency) mengacu pada panas sensible yang terkandung pada udara pengering sebagai panas efektif yang dapat dimanfaatkan untuk proses pengeringan. Parameter ini merupakan nilai banding antara selisih temperatur bola kering udara pengering dan udara keluar dibagi dengan selisih antara temperatur bola kering dan bola basah udara pengering, dan pada penelitian ini mencapai kisaran 0,90 – 0,98 untuk jagung dan 0,91 – 0,98 untuk gabah. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan panas selama proses pengeringan sangat baik atau kehilangan panas hanya kecil, menandakan bahwa peralatan pengering yang dirancang dapat bekerja dengan baik dalam mengkonservasi panas udara pengering. Pada pengeringan jagung yang dilakukan dengan metode dryeration, konsumsi bahan bakar solar untuk menggerakkan genset untuk memutar blower pengering dan blower conveyor berkisar antara 4,482 – 4,946 lt/ton. Sedangkan kebutuhan gas LPG untuk pemanasan udara pengering berkisar antara 8,214 – 10 kg/ton tergantung dari suhu pengeringan yang digunakan. Perbandingan antara pengeringan mekanis secara dryeration dan konvensional dapat dilihat dari pengeringan gabah yang dilakukan. Pengeringan gabah secara dryeration membutuhkan solar 6,5 lt/ton, sedangkan secara konvensional membutuhkan 8,5 lt/ton, menurun sebesar 23,529%. Sedangkan kebutuhan gas LPG sebesar 4,5 kg/ton untuk dryeration dan 12,75 kg/ton untuk konvensional, menurun sebesar 64,7%. Hasil ini menunjukkan, bahwa pengeringan secara dryeration dapat menghemat pemakian bahan bakar yang sangat besar, terutama untuk konsumsi gas LPG sebagai pemanas udara pengeringnya. Maier (2003), menyatakan bahwa dryeration mampu mengurangi konsumsi bahan bakar kurang lebih 15 - 30% dan meningkatkan kapasitas mesin pengering sampai 50% atau lebih. Selama bertahun-tahun banyak peneliti telah mengkonfirmasikan keuntungan dari dryeration dan in-bin cooling. Pada pengeringan gabah secara konvensional, kapasitas mesin pengeringan adalah 0,190 ton/jam sedangkan dengan metode dryeration 0,286 ton/jam, terjadi peningkatan kapasitas mesin pengering sebesar 50,5 %. Hasil study dari Montross dan Maier (2000), menunjukkan bahwa pengeringan dengan udara panas diikuti dengan dryeration atau pengeringan kombinasi, dapat menurunkan biaya pengeringan kurang-lebih 10% bila
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
Gambar 3. Contoh kurva prediksi vs observasi penurunan kadar air biji jagung pada proses pemanasan dan tempering suhu pemanasan 100oC
603
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012] dibandingkan dengan pengeringan secara kontinyu atau pengeringan dengan melibatkan proses pendinginan didalam mesin pengering itu. Keuntungan terbesar diperoleh pada peningkatan kapasitas pengeringan sebesar 72% dan 159% ketika dryeration dan pengeringan kombinasi diterapkan dibandingkan dengan pengeringan konvensional atau pengeringan dengan melibatkan proses pendinginan didalam mesin pengering.
KESIMPULAN 1. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa silo yang dilengkapi dengan aerator dapat digunakan sebagai peralatan pengering mekanis dengan kinerja yang cukup bagus. 2. Penurunan kadar air selama proses pemanasan dapat diprediksi dengan persamaan yang dibentuk berdasarkan analogi Newton law of cooling maupun persamaan Arrhenius. 3. Nilai konstanta laju pemanasan, konstanta laju pengeringan, dan koefisien perpindahan panas konveksi pada proses pengeringan menunjukkan angka yang cukup tinggi dan jauh lebih besar dari pada penjemuran. 4. Penerapan metode pengeringan mekanis secara dryeration dapat meningkatkan kapasitas peralatan pengering lebih dari 50% dan menurunkan konsumsi bahan bakar solar lebih dari 23 % dan gas LPG lebih dari 64 %.
DAFTAR PUSTAKA Brooker, D.B; Arkema, F.W.B, dan Hall, C.W. 1992. Drying and storage of grain and oilseded. AVI Publishing Compani, New York. Early, R.L. 1983. Unit Operation in Food Processing, Second edition. Pergamon Press, Oxford-New York-Toronto-Sydney_paris-Frankfurt.
Gely, M.C dan Giner, S. 2004. Dryeration process-simulation and comparative technical economical feasibility in case study : a country elevator located in the Argentine humid Pampa. Proceedings of the 14th International Drying Symposium (IDS 2004), Sao Paulo, Brazil, vol. A, pp. 557-564. Maier, D.E. (2003). Development and optimization of a high-capacity continuous-flow dryeration process. Proposal of The Anderson Research Grant Program 2003-2005. Agricultural and Biological Engineering, Purdue University.
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
Montross, M. D. and D. E. Maier. 2000. Simulated performance of conventional high temperature drying, dryeration, and combination drying of shelled corn with automatic conditioning. Transaction of the ASAE 43(3):691-699. Noyes, R.T. and B. A. McKenzie. 1998. Dryeration: Review of a high speed grain drying and grain quality enhancement process. Paper No. 98-6035. St. Joseph, MI: ASAE. Proctor, D.L (edt). 1994. Grain storage techniques evaluation and trends in developing countries. FAO Agricultural Services Bulletin, Roma.
604