UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DI INDONESIA
TESIS
Fathir Fajar Sidiq 0906 589 135
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA 2012
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DI INDONESIA TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Administrasi (M.A.) dalam Ilmu Administrasi
Fathir Fajar Sidiq 0906 589 135
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA Kekhususan: Administrasi dan Kebijakan Publik JAKARTA 2012
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
HALAMAN PERNY ATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama: Fathir Fajar Sidiq NPM: 0906589 135
Tanda Tangan: .. Tanggal:
T ••••••••••••••••••••
Januari 2012
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
ii
_-- .... -- ..
_ ..
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh . Nama
Fathir Fajar Sidiq
NPM
0906589135
Program Studi
Ilmu Administrasi
Judul
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Koordinasi
Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Administrasi (M.A.) pada Program Pascasarjana Departemen Imu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI:
Ketua Sidang
Dr. Roy V. Salomo, M. Soc, Sc
Pembimbing
Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si
Penguji
Dr. Linda Darmajanti, MT
Sekretaris
Achmad Lutfi, M.Si
J~ (
)
~
/
Ditetapkan di Tanggal
: Depok Januari 2012
iii
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
(
)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, atas berkat ridho Alloh SWT karya tulis ini dapat terselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sosok mulia pembawa pencerahan kepada umat manusia sedunia. Tesis yang berjudul: “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koordinasi Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Indonesia” ini merupakan bentuk kegelisahan penulis selaku Warga Negara Indonesia yang ingin mengetahui perihal pengelolaan perbatasan dari garda terdepannya, yaitu kabupaten/kota di Indonesia. Mengingat keterbatasan penulis, maka banyak pihak yang penulis mintakan bantuannya bagi terselesaikannya tesis ini. Untuk itu ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan dengan tulus kepada pihak-pihak tersebut, yaitu: a. Pemerintah Kota Depok, dalam hal ini Bapak H. Nur Mahmudi Isma’il dan Bapak H. Yuyun Wirasaputra beserta seluruh aparatur, khususnya Badan Kepegawaian Daerah Kota Depok yang telah memfasilitasi penulis dari awal hingga akhir; b. Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si. yang dengan sabarnya telah membimbing penulis; c. Orang tuaku Bapak Mursalih dan Emak Aminah yang tiada henti-hentinya mendoakan anaknya demi mencapai kesuksesan; d. Istriku tercinta Eva Fachrani dan Anakku Muhammad Kafi Anggapraja yang senantiasa menjadi motivator terdahsyat; e. Kakak-kakak senior dan staf di Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), khususnya Kak Amran dan Kak Amril yang telah membantu adinda sehingga bisa menjejakkan kaki di Pulau Sebatik; f. Mas Edi di Dirjen PUM, Hasrul di Sebatik, Yoga di Belu, Hendra di Batam, dan seluruh aparatur pemda yang telah menerima penulis dengan baik;
iv Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
g. Rekan-rekan Publik 18 yang telah memberikan warna tersendiri bagi proses belajar yang menarik dan menyenangkan; h. Para punggawa perpustakaan, Kampus PGT, dan Kampus Salemba yang tidak pernah bosan untuk penulis sambangi; Pak Pur, Mas Pri, Bang Rizal, Mas Deni, Mas Eko, dan Mba Niniek; i. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu dan turut membantu bagi terselesaikannya tesis ini dengan baik. Tidak lupa pula penulis mengucapkan permohonan maaf apabila dalam proses penulisan tesis ini ada pihak-pihak yang kurang berkenan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Akhirnya, semoga karya tulis ini bisa memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi upaya pengembangan pengetahuan khususnya pengelolaan perbatasan yang lebih baik.
Depok, Januari 2012
Fathir Fajar Sidiq
v Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
ABSTRACT Name Program Title
: Fathir Fajar Sidiq : Administrative Science : FACTORS THAT INFLUENCE COORDINATION OF BORDER MANAGEMENT IN INDONESIA
One of the problems of border management in Indonesia is weak coordination. Therefore this research will look at how the coordination of border management in Indonesia, in this case conducted by the National Board of Border Management (BNPP), Ministry of Home Affairs (KDN), and 3 (three) regional government, that is Nunukan Regency of East Borneo Province, Batam Municipality of the Island of Riau Province, and Belu Regency of Nusa Tenggara Timur Province. To analyze the coordination of border management issues, the authors use the positivism approach, with the type of descriptive study. The technique of collecting data through survey, interviews and documentation study. The informant in this research is District Head of Sebatik Barat of Nunukan Regency and Sub Section Head of Border Cooperation in the Border Management Section in the Secretary of Nunukan Regency of East Borneo Province. From the research, it can be concluded that there are 4 (four) significant factors that give contribution in the process of border management coordination, that is authority, communication, leadership, and control. Four of the factors are related to one another and cannot be separated. From those four factors, authority and communication were still not running well, meanwhile two other factors, the ability to lead and control were performing quite good. Keywords: Coordination, border, Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: : :
Fathir Fajar Sidiq Ilmu Administrasi FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DI INDONESIA
Salah satu permasalahan pengelolaan perbatasan di Indonesia adalah lemahnya koordinasi. Untuk itu penelitian ini akan melihat bagaimana koordinasi pengelolaan batas wilayah negara di Indonesia, dalam hal ini yang dilakukan oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dengan Kementerian Dalam Negeri (KDN) dan Tiga (3) pemerintah daerah, yaitu Pemerintah Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau, dan Pemerintah Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk menganalisis persoalan koordinasi pengelolaan perbatasan, penulis menggunakan pendekatan positivisme, dengan tipe penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data melalui survey, wawancara, dan studi dokumentasi. Informan yang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah Camat Sebatik Barat Kabupaten Nunukan dan Kasubbag Kerjasama Perbatasan pada Bagian Penataan Perbatasan di Sekretariat Daerah Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur. Dari penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat (4) faktor penting yang memberikan kontribusi dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan, yaitu kewenangan, komunikasi, kepemimpinan, dan kontrol. Keempat faktor ini saling berkaitan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di antara keempat faktor tersebut, faktor kewenangan dan komunikasi belum berjalan dengan baik, sedangkan dua faktor lainnya, kemampuan memimpin dan kontrol telah terlaksana dengan cukup baik. Kata kunci: Koordinasi, perbatasan, Indonesia
vii Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..............................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................
iii
KATA PENGANTAR............................................................................................
iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
vi
ABSTRAK ..............................................................................................................
vii
DAFTAR ISI...........................................................................................................
ix
BAB 1
BAB 2
BAB 3
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .....................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian
...................................................................
7
1.4. Kegunaan Penelitian ......................................................................
8
1.5. Kerangka Pikir Penelitian .............................................................
8
1. 6. Keterbatasan Studi ......................................................................
8
KERANGKA TEORI 2.1. Perbatasan Negara.........................................................................
9
2.2. Pengelolaan Perbatasan.................................................................
16
2.3. Kondisi Perbatasan Indonesia .......................................................
23
2.4. Koordinasi Pengelolaan Perbatasan ..............................................
35
2.5. Model Analisis ..............................................................................
47
2.6. Operasionalisasi Konsep ...............................................................
48
METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian ...................................................................
49
3.2. Jenis/Tipe Penelitian .....................................................................
49
3.3. Teknik Pengumpulan Data............................................................
49
ix
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 4
3.4. Populasi dan Sampel ....................................................................
51
3.5. Teknik Analisa Data ....................................................................
52
KEBIJAKAN KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DI INDONESIA
BAB 5
4.1. Desain Pengelolaan Perbatasan........................................................
53
4.2. Koordinasi Lintas Kementerian dan Pemerintah Daerah.................
61
4.3. Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah ...........................
64
4.4. Strategi Dasar Pengelolaan Perbatasan ............................................
66
FAKTOR-FAKTOR
KOORDINASI
PENGELOLAAN
BATAS
WILAYAH NEGARA DI INDONESIA
BAB 6
5.1.
Kewenangan..............................................................................
69
5.2
Komunikasi ...............................................................................
79
5.3.
Kepemimpinan..........................................................................
86
5.4.
Kontrol ......................................................................................
90
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ......................................................................................
97
6.2. Saran.................................................................................................
98
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
100
LAMPIRAN
x
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tabel 2.2.
Status Batas Maritim Indonesia Dengan Negara Tetangga……… Operasionalisasi Konsep …………………………………………
xi
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
34 48
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 5.1. Gambar 5.2. Gambar 5.3. Gambar 5.4. Gambar 5.5. Gambar 5.6. Gambar 5.7. Gambar 5.8. Gambar 5.9. Gambar 5.10 Gambar 5.11 Gambar 5.12 Gambar 5.13 Gambar 5.14 Gambar 5.15 Gambar 5.16
Teori Boundary Making............................................................. Desain Manajemen Berbasis Wilayah........................................ Sinergitas Pengelolaan Perbatasan............................................. Empat Pilar Utama Pengelolaan Perbatasan.............................. Penguasaan Permasalahan Pengelolaan Batas........................... Tumpang Tindih Pelaksanaan Tugas........................................ Kepentingan Sektoral Dalam Pelaksanaan Tugas...................... Fasilitas Sarana Komunikasi...................................................... Pertemuan Rutin Harian............................................................ Pertemuan Rutin dengan Instansi Lain....................................... Bagian Khusus Koordinasi......................................................... Mekanisme Pertukaran Dokumen Tertulis................................. Kemampuan Teknis dan Profesional Pimpinan......................... Aspiratif Dalam Menampung Ide............................................... Kemampuan Pimpinan Mengarahkan Bawahan........................ Perbedaan Rencana Program dan Implementasi........................ Mekanisme Pelaporan dan Data................................................. Mekanisme Evaluasi SOP.......................................................... Mekanisme Evaluasi Anggaran............................................. Faktor-Faktor Koordinasi Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Indonesia
xii
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
17 56 60 62 73 74 75 80 82 83 84 85 86 87 88 91 92 92 93 95
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 memiliki tujuan dan cita-cita nasional seperti yang dinyatakan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan nasional bangsa Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam pasal 25A UUD 1945 telah pula ditegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Salah satu kepentingan nasional Indonesia adalah tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini mengandung makna, antara lain perlu ditegakkannya: a.
Kedaulatan negara yang berada di tangan rakyat didasarkan atas hukum, baik kedaulatan ke dalam maupun ke luar, dan Indonesia adalah negara hukum;
b.
Integritas nasional (integritas wilayah, integritas bangsa, dan integrasi pemerintahan);
c.
Keamanan wilayah yurisdiksi nasional yang berdaya tangkal serta terbangun pada ketangguhan dan kedaulatan segenap komponen bangsa. Tegaknya kedaulatan negara, integritas nasional dan keamanan wilayah
yurisdiksi nasional yang berdaya tangkal harus dapat diproyeksikan di seluruh wilayah nasional, termasuk wilayah perbatasan yang saat ini seolah-olah masih belum tersentuh. Oleh karena itu, pembangunan wilayah perbatasan sebagai bagian dari pembangunan daerah dan bagian integral dari pembangunan nasional,
1
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
2
perlu mendapat prioritas dalam penataan strategi pembangunan nasional ke depan.1 Secara mendasar, permasalahan perbatasan memang tidak dapat dilepaskan dari masalah kedaulatan nasional negara yang saling berbatasan.2 Dalam pendekatan lama hubungan internasional, kedaulatan menjadi fokus perhatian yang tidak terpisahkan dari kepentingan nasional ketika masalah mulai muncul karena sengketa perbatasan. Namun secara logis, tidak dapat dipungkiri, bahwa persoalan kepentingan nasional bukanlah batas wilayah secara fisik, hukum, atau kedaulatan nasional semata, tetapi terkait dengan kepentingan ekonomi, sumber daya alam, perdagangan lintas batas, adanya masalah penyelundupan barang, senjata dan manusia, narkoba dan obat bius, dan kasuskasus transnasional lainnya. 3 Apabila ditinjau secara fisik, Indonesia merupakan negara terbesar kelima di dunia yang dibatasi dua matra, yaitu di laut dengan 10 (sepuluh) negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, PNG, Australia, dan Timor Leste, dan di darat dengan 3 (tiga) negara tetangga yaitu Malaysia, Papua New Guinea, dan Timor Leste. Karakteristik sosial dalam pendefinisian batas negara di kedua matra tersebut sangat berbeda, demikian pula sifat permasalahannya.4 Kondisi ini sejatinya menggambarkan betapa wilayah perbatasan Indonesia memiliki nilai strategis, tentunya dalam mendukung pembangunan nasional, mengingat di wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang interaksi antar masyarakat dari kedua negara bertetangga, yang dapat berakibat positif ataupun negatif. Oleh karena itu, pengelolaan wilayah perbatasan menjadi penting, tidak saja untuk lalu lintas orang atau barang yang masuk ke atau keluar 1
Naskah Seminar “Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan Guna Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Dalam Rangka Memperkokoh NKRI”, Kursus Reguler Angkatan XXXVII Lemhanas, tahun 2004 2 Marina Caparini and Otwin Marenin (eds), Borders and Security Governance: Managing Borders in a Globalised World, Geneve: DCAF and Lit, 2006. 3 Thomas, Caroline. In Search of Security: The Third World in International Relations. Great Britain: Harvester Wheatsheaf, 1992. 4 Hari Sabarno, “Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Indonesia di Wilayah Perbatasan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Nomor I Tahun XXXIII, Januari-Maret 2003. Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
3
dari wilayah negara, tetapi juga untuk menghindari penggunaan wilayah perbatasan sebagai tempat lalu lintas kegiatan yang merugikan kepentingan nasional, seperti penyelundupan, pencurian kekayaan alam, lalu lintas kejahatan transnasional, dan tindakan-tindakan lain yang dapat merugikan kepentingan negara Indonesia. Data menunjukkan, masih banyak terdapatnya perbatasan darat ataupun laut antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang belum ditetapkan secara final (lihat lampiran 1 s.d. 4). Kondisi ini tentu saja akan memicu munculnya konflik jika tidak ditangani dengan baik oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini perlu merespon dengan cepat dan tanggap, sehingga insiden-insiden yang terkait wilayah perbatasan dapat dicegah sedini mungkin. Rangkaian kejadian demi kejadian yang menyangkut wilayah perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga hendaknya mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Rakyat Indonesia tentunya masih mengenang peristiwa getir yang terjadi pada tahun 2002, dimana melalui Sidang Mahkamah Internasional di Den Haag, Indonesia kalah dalam sidang kasus Sipadan dan Ligitan. Hal serupa nampaknya akan terulang kembali, jika pemerintah kita tidak cepat merespon klaim Malaysia atas Blok Ambalat, sebuah kawasan di timur Propinsi Kalimantan Timur, yang oleh Malaysia diklaim sebagai bagian dari teritorinya. Bahkan, isu mengenai perbatasan menghangat kembali dengan insiden penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan di Perairan Bintan pertengahan Agustus tahun 2010 yang lalu.5 Berdasarkan rangkaian peristiwa dan fakta di atas, serta ketertarikan pribadi penulis terhadap pembangunan wilayah perbatasan, maka penulis beranggapan bahwa tema perbatasan menjadi satu hal yang menarik untuk diteliti. Setidaknya ada beberapa hal penting dan signifikan, sehingga penelitian terkait pengelolaan perbatasan perlu dilakukan:6 5
Disarikan dari berbagai surat kabar daring Ganewati Wuryandari. Presentasi “Mewujudkan Manajemen Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Darat Secara Terintegrasi Dalam Perspektif Keamanan dan Kesejahteraan”. Bappenas, 8 Desember 2010. 6
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
4
a. Problematika kelembagaan perbatasan Indonesia. Model pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan yang dikembangkan masih bersifat parsial. Beberapa persoalan yang muncul terkait kelembagaan perbatasan antara lain komite perbatasan diketuai instansi yang berbeda, hubungan pemerintah pusat dan daerah belum memiliki mekanisme yang jelas, persoalan kontrol dan monitoring, dan lemahnya hubungan koordinatif; b. Politik anggaran. Alokasi anggaran kementerian, lembaga dan pemerintah daerah relatif minim, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat
maupun
dalam
mengembangkan
infrastruktur kawasan perbatasan. Semenjak era reformasi bergulir, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi permasalahan perbatasan yang begitu kompleks. Beberapa kebijakan tersebut antara lain Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara, serta Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Perundang-undangan sebagaimana tersebut, memiliki keterkaitan erat dengan upaya percepatan penyelesaian batas wilayah negara, serta mencerminkan adanya pergeseran paradigma dan arah kebijakan pembangunan kawasan perbatasan dari yang selama ini cenderung berorientasi “inward looking”, menjadi “outward looking” sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. 7 Sebagai gambaran, Perpres Nomor 78 tahun 2005 merupakan jawaban atas kesadaran terhadap eksistensi pulau-pulau kecil terluar Indonesia yang memiliki nilai strategis sebagai Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam Penetapan Wilayah Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontiten Indonesia. Sebuah kebijakan yang dirancang sebagai antisipasi terhadap
7
Desain Besar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2025. BNPP, 2011. Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
5
klaim negara lain terhadap wilayah Indonesia yang berdaulat, seperti yang pernah terjadi pada Sipadan dan Ligitan. Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 yang mencoba menjawab tuntutan publik, terutama dalam kejelasan wilayah negara dan pembagian kewenangan pengelolaan pusat dan daerah. Undang-Undang ini juga yang mendorong untuk terbentuknya institusi khusus baru yang bertanggung jawab atas pengelolaan perbatasan (Perpres Nomor 12 tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan). Instansi yang baru saja terbentuk ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dan konstruktif bagi upaya penyelesaian permasalahan perbatasan secara sinergis dan terpadu. Hal ini tidaklah berlebihan, sebagaimana diamanatkan oleh Perpres Nomor 12 tahun 2010, BNPP mempunyai tugas menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Sebuah tugas yang cukup berat yang akan melibatkan seluruh elemen bangsa ini, terutama lembaga-lembaga pemerintah yang terkait secara sektoral dan teknis dalam hal pengelolaan perbatasan. Untuk itu, fungsi koordinasi yang efektif dan efisien menjadi satu hal yang mutlak diperlukan bagi BNNP dalam menjalankan tugasnya dengan baik. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap koordinasi pengelolaan batas wilayah negara di Indonesia, dalam hal ini yang dilakukan oleh BNPP dengan Kementerian Dalam Negeri (KDN) dan pemerintah daerah yang terkait secara langsung dalam pengelolaan perbatasan, khususnya batas wilayah negara. Penelitian ini memang tidak membahas secara keseluruhan koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dengan seluruh lembaga-lembaga pemerintah yang terkait secara sektoral dan teknis dalam hal pengelolaan perbatasan di Indonesia, mengingat keterbatasan penulis sendiri dalam melakukan penelitian. Adapun argumen yang mendasari pemilihan Kementerian Dalam Negeri sebagai obyek penelitian adalah bahwa dari hasil observasi awal yang penulis lakukan di BNPP, menunjukkan bahwa KDN merupakan embrio awal dari institusi BNPP yang ada Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
6
sekarang, dan memang telah secara aktif melakukan koordinasi dengan BNPP. Selain itu pula, dari sisi tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh KDN, salah satunya adalah dalam hal pengelolaan batas wilayah negara, yang notabene juga merupakan bagian tugas penting dari BNPP sebagai institusi pengelola perbatasan, termasuk di dalamnya adalah pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan negara-negara tetangga. Begitu pula halnya dengan pemerintah daerah, di mana penulis mengambil sampel yaitu Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Pemilihan ketiga kabupaten/kota tersebut lebih kepada pertimbangan atas keterwakilan posisi geografis Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang membentang luas dari Utara ke Selatan dan dari Barat ke Timur. Melalui penelitian ini, penulis juga akan melihat isu-isu strategis pengelolaan perbatasan yang selama ini dilakukan, sehingga diharapkan peran BNPP dapat terlihat dalam upaya mengatasai permasalahan perbatasan yang selama ini terjadi. Terkait dengan hal tersebut, maka persoalan koordinasi dan sinergi yang selama ini absen dalam pengeIolaan perbatasan menjadi satu hal yang sangat penting untuk ditelaah lebih lanjut. Terkait lemahnya hubungan koordinatif, beberapa hal yang perlu menjadi catatan adalah: a. Masih adanya ketidakjelasan “komando”, di mana setiap tindakan hanya menjadi bagian dari kebijakan masing-masing institusi yang memiliki kepentingan tugas di perbatasan; b. Pemahaman dan program yang beragam, terkait dengan visi serta tugas pokok dan fungsi masing-masing, sehingga berakibat pada kurangnya integrasi dan sinkronisasi cakupan dan tujuan progam antara institusi yang satu dan lainnya. Dua catatan yang dikemukakan di atas merupakan intisari dari permasalahan koordinasi yang telah berlangsung hingga lahirnya BNPP sebagai sebuah instansi yang diharapkan mampu menembus halangan dan rintangan (barrier) dalam pengelolaan perbatasan di Indonesia.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
7
Atas dasar hal tersebut, penulis berpikir bahwa fungsi koordinasi menempati posisi yang cukup vital dan signifikan dalam proses pengelolaan perbatasan secara terpadu. Maka dari itu, diharapkan melalui penelitian ini akan dapat terdeskripsikan secara sistematis bagaimana idealnya fungsi koordinasi itu dilakukan oleh BNPP sehingga pengelolaan perbatasan dapat dilakukan dengan baik sebagaimana prinsip yang dicanangkan oleh BNPP dalam menjalankan tugasnya yaitu prinsip Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Simplifikasi (KISS). 1.2.
Perumusan Masalah
a. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dalam pengelolaan perbatasan, khususnya pengelolaan batas wilayah negara? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengetahui faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dengan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah dalam hal pengelolaan batas wilayah negara di Indonesia. 1.4. Kegunaan Penelitian a. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan
khususnya
yang
membahas
koordinasi
dan
terkait
pengelolaan perbatasan terpadu (integrated border management); b. Sebagai masukan bagi pemerintah dalam proses evaluasi secara terusmenerus bagi BNPP sebagai sebuah institusi pengelola perbatasan; a. Sebagai sumbang saran bagi upaya mempertahankan kedaulatan NKRI, khususnya bagi saudara-saudara setanah air yang saat ini di wilayah perbatasan dan masih belum mendapatkan perhatian yang selayaknya dari negara ini.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
8
1.5. Kerangka Pikir Penelitian Dengan mengacu kepada permasalahan pengelolaan perbatasan yang cukup kompleks, penulis melihat bahwa salah satu unsur penting pengelolaan perbatasan adalah fungsi koordinasi. Berangkat dari hal tersebut dan perkembangan aktual yang terjadi saat ini, penulis berpikir bahwa dengan terbentuknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) pada tahun 2010 adalah sebuah jawaban atas pengelolaan perbatasan yang masih belum komprehensif. Untuk itu, penelitian ini akan mencoba melihat faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dengan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan batas wilayah negara di Indonesia. Diharapkan melalui penelitian ini akan dapat terdeskripsikan bagaimana idealnya koordinasi itu dapat dilakukan, sehingga kesalahan pengelolaan perbatasan di masa lalu tidak terulang kembali. 1.6. Keterbatasan Studi Dalam kegiatan survey di lapangan, salah satu kesulitan yang penulis hadapi adalah tidak semua responden dari kabupaten/kota dapat penulis datangi satu persatu. Penulis hanya dapat mendatangi Kabupaten Nunukan, sedangan dua kabupaten/kota lainnya penulis menggunakan jejaring alumni STPDN (Sekolah TInggi Pemerintahan Dalam Negeri) untuk memfasilitasinya. Selain itu pula, penelitian ini memang hanya terbatas pada koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dengan K/L (Kementerian/Lembaga) saja dengan pemerintah daerah sebagai salah satu komponennya. Selain itu pula, studi ini lebih menekankan kajian pengelolaan perbatasan darat, meskipun dicantumkan pula perihal pengelolaan perbatasan laut dan udara. Untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif, penelitian ini hendaknya dapat dilanjutkan kepada ketiga komponen pengelolaan perbatasan lainnya, yaitu masyarakat, perguruan tinggi, dan dunia usaha.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
BAB 2 KERANGKA TEORI
2.1.
Perbatasan Negara Pada awalnya, perbatasan adalah konsep geografis-spasial. Ia baru menjadi
konsep sosial ketika kita berbicara tentang masyarakat yang menghuni atau melintasi daerah perbatasan. Sebagai konsep geografis, masalah perbatasan telah selesai ketika kedua negara yang memiliki wilayah perbatasan yang sama menyepakati batas-batas wilayah negaranya. Permasalahan justru muncul ketika perbatasan dilihat dari perspektif sosial, karena sejak itulah batasan-batasan yang bersifat konvensional mencair. Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan internasional. Dalam konstitusi suatu negara sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah.1 Menurut Riswanto Tirtosudarmo (2002), perbatasan negara atau state’s border dikenal bersamaan dengan lahirnya negara. Perbatasan adalah sebuah ruang geografis yang sejak semula merupakan wilayah perebutan kekuasaan antar negara, terutama ditandai oleh adanya pertarungan untuk memperluas batas-batas antar negara. Batas-batas teritorial dari suatu negara merupakan refleksi dari batas-batas geografis suatu etnis tertentu. Lahirnya konsep negara bangsa (nation state) memunculkan adanya kesamaan cita-cita yang tidak jarang bersifat lintas etnis. Perbatasan negara dalam konteks semacam itu menunjukkan kompleksitas tersendiri yang memperlihatkan bahwa batas negara tidak hanya membelah etnis
1
Lihat Laporan Akhir Kajian Manajemen Wilayah Perbatasan Negara, LAN. 2004. 9
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
10
yang berbeda, akan tetapi juga membelah etnis yang sama disebabkan dialaminya sejarah kebangsaan yang berbeda oleh warga etnis yang sama. Wilayah perbatasan negara dapat dibedakan menurut bentuknya, yaitu perbatasan darat, laut, dan udara. Berikut ini dijelaskan mengenai pengertian dari masing-masing bentuk perbatasan. 1.
Perbatasan Darat Perbatasan darat adalah tempat kedudukan titik-titik atau garis-garis batas
yang memisahkan daratan atau bagiannya ke dalam dua atau lebih wilayah kekuasaan yang berbeda. Perbatasan mempunyai sifat ganda, artinya bahwa garis batas tersebut mengikat kedua belah pihak pada sebelah menyebelah perbatasan tersebut. Jadi apabila terjadi perubahan pada satu pihak, akan menimbulkan perubahan pada pihak lain, demikian pula hak-haknya (Hak Bersama/Res communis). Pada umumnya tindakan sepihak atas perbatasan tidak dapat dilakukan, kecuali dalam hal-hal tertentu, seperti yang terjadi dengan keputusan-keputusan Belanda atas kekuasaannya di Irian sebelah Barat. Karena wilayah kekuasaan yang dimaksud adalah dua wilayah kekuasaan negara yang berbeda maka pengertian perbatasan ini tidak akan meliputi perbatasan yang memisahkan wilayah-wilayah dengan subyek hukum orang atau badan hukum dan juga tidak termasuk perbatasan yang memisahkan wilayah-wilayah dengan hak-hak yang berbeda di atasnya. Perbatasan darat di sini dipergunakan untuk membedakan dengan perbatasan laut. Unsur terpenting dari perbatasan adalah tempat kedudukan dari perbatasan tersebut, yaitu harus jelas, tegas, dan dapat diukur. Keragu-raguan terhadap letak sebenarnya dari perbatasan yang mungkin disebabkan oleh tidak jelasnya atau tidak
tegasnya
perjanjian
yang
merumuskan
perbatasan
tersebut
akan
mengundang berbagai masalah dan sengketa. Adakalanya suatu perbatasan itu sudah jelas dan tegas, namun tidak dapat dilihat dengan nyata, misalnya perbatasan darat yang berupa aliran sungai atau perbatasan darat itu memotong sebuah danau. Tidak dapat dilihatnya perbatasan Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
11
secara fisik, akan memudahkan munculnya sengketa antara kedua belah pihak di dalam mempergunakan sungai atau danau tersebut. Tidak dapat diukurnya suatu perbatasan juga akan menimbulkan permasalahan yang sama. Pada beberapa kasus, sebagai akibat dari tidak stabilnya pantai, maka baik perbatasan darat maupun perbatasan laut di sekitar pantai-seperti perbatasan laut antara Bangladesh dan India-akan sulit diterapkan. Perbatasan pada umumnya adalah dua dimensional, dalam arti bahwa yang dibatasi bukan hanya keadaan toografi di atas permukaan tetapi perbatasan itu sendiri juga membagi tanah dan kerak bumi di bawahnya serta ruang udara di atasnya.
Karena
perbatasan
banyak
menimbulkan
persoalan-persoalan
administratif antara kedua negara, maka pada umumnya bagian perbatasan di permukaan tanah diberi lagi jalur-jalur perbatasan yang lain (zona) pada sebelah menyebelah perbatasan yang mempunyai jarak tertentu dari perbatasan sesungguhnya. Zona ini kadang-kadang disebut dengan Free Zone, Safety Zone, Demilitary Zone, no man’s land dan seterusnya, yang masing-masing istilah sesuai dengan tekanan fungsinya. Akan tetapi dengan adanya zona bebas ini tidak berarti bahwa kedudukan perbatasan yang sebenarnya itu berubah. Pengertian no man’s land tidak berarti bahwa tidak ada pemiliknya, tetapi berarti bahwa kawasan tersebut harus dibebaskan dari hak-hak perdata. Di daerah itu tidak diperbolehkan terdapat perkebunan, pertanian, rumah dan seterusnya. Lebar zona-zona tersebut bervariasi ada yang 9 mil, 10 mil, bahkan sampai 20 mil, dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam menentukan batas negara dapat dibedakan menjadi dua, yakni secara alamiah dan artifisial (buatan). Penetapan batas secara alamiah dilakukan dengan mengikuti kontur alam di daerah perbatasan, seperti misalnya aliran sungai dan pegunungan. Sedangkan penetapan secara artifisial dapat dilakukan dengan mendirikan atau membangun pagar pemisah/patok batas negara di sepanjang titik-titik perbatasan yang disepakati oleh negara-negara yang berbatasan.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
12
Bentuk-bentuk perbatasan yang ditetapkan secara alamiah yaitu batas negara berupa sungai dan batas negara yang berupa pegunungan. Pegunungan sebagai perbatasan alam antara dua negara merupakan hal yang lazim terjadi. Bagian dari pegunungan yang menjadi perbatasan pada umumnya adalah bagianbagian tertinggi pada pegunungan tersebut. Perbatasan yang demikian sering disebut dengan “Watershed” yang artinya bahwa bagian-bagian tertinggi dari pegunungan itu merupakan pemisah dari semua aliran sungai-sungai yang mengalirkan kejurusan-jurusan yang berlawanan. Perbatasan Kalimantan Indonesia dan Kalimantan Malaysia merupakan jenis perbatasan alam yang disebut sebagai watershed. Watershed merupakan perbatasan alam terbaik, sebab tidak dapat diragukan lagi kedudukannya, bersifat abadi dan merupakan pemisah yang paling efisien. Penduduk yang tinggal pada sebelah-menyebelah pegunungan itu hanya mampu membangun pemukiman-pemukiman sepanjang sungai sampai pada lereng-lereng gunung dimana keadaan tanah sudah tidak memungkinkan lagi untuk bercocok tanam, oleh karena itu makin tinggi kedudukan watershed, pemukiman penduduk juga makin sedikit, sehingga watershed pada umumnya juga merupakan perbatasan kelompok-kelompok etnis. Meskipun watershed merupakan perbatasan alamiah yang sempurna, akan tetapi pelaksanaan penetapan perbatasan pada watershed itu secara fisik adalah tidak mudah. Kondisi ini memberikan kesimpulan bahwa pelaksanaan perjanjian perbatasan antara kedua negara untuk menetapkan kedudukan watershed harus dilakukan secara terestris, yaitu langsung di lapangan, sedangkan cara-cara fotogrammetris (pemotretan udara) mudah menimbulkan kekeliruan. Lebih lanjut karena perbatasan itu adalah watershed, maka sudah tentu bahwa perbatasan itu tidak boleh memotong sungai, dan hal ini merupakan pedoman bagi para surveyor. Kesulitan yang dihadapi dalam masalah pembuatan perjanjian perbatasan ialah bahwa isi perjanjian itu harus dapat dilaksanakan secara benar di lapangan dan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan. Oleh sebab itu para penyusun teks
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
13
perjanjian harus menyesuaikan isi perjanjian tersebut dengan apa yang diharapkan oleh masing-masing negara dan sesuai dengan keadaan di lapangan. Pengalaman
menunjukkan
bahwa
penyusunan
perjanjian-perjanjian
perbatasan alamiah lebih sulit dibandingkan dengan perjanjian perbatasan buatan, karena perbatasan buatan tidak begitu banyak memerlukan pengetahuan atau pengenalan tentang medan dimana perbatasan itu terletak. 2. Perbatasan Laut Sama halnya dengan perbatasan darat, perbatasan laut merupakan tempat kedudukan titik-titik koordinat atau garis-garis batas yang memisahkan perairan (laut) ke dalam dua atau lebih wilayah kekuasaan yang berbeda. Batas wilayah laut teritorial suatu negara sudah diatur melalui pranatapranata hukum laut yang telah disepakati secara internasional, seperti laut teritorial, perairan pedalaman, zona tambahan, zona ekonomi ekslusif dan landas kontinen. Pranata-pranata hukum tersebut diperoleh berdasarkan konvensikonvensi mengenai hukum laut yang dilakukan secara internasional. Seperti Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982. Meskipun tidak semua negara menghadiri konvensi-konvensi tersebut, banyak negara di dunia yang dapat menerima hasilnya dan menjadikannya sebagai pedoman dalam menentukan batas wilayah lautnya. Perundingan batas laut antara suatu negara dengan negara lain baru dilakukan apabila laut yang memisahkan antara dua atau lebih negara tersebut saling berimpit atau bersinggungan, dengan berpedoman pada pranata-pranata hukum laut seperti yang telah disebutkan di atas. Hasil perundingan yang berupa kesepakatan batas wilayah laut (biasanya disertai dengan penjelasan titik-titik koordinat) tersebut kemudian didepositkan ke PBB untuk kemudian dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh negara-negara yang menyepakati. Apabila perundingan antara kedua negara menemui jalan buntu, negaranegara tersebut dapat menyerahkan perselisihan batas wilayahnya ke Mahkamah Internasional yang bermarkas di Den Haag.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
14
3. Perbatasan Udara Ruang udara yang merupakan bagian wilayah negara adalah ruang udara yang terletak di atas permukaan wilayah daratan dan di atas wilayah perairan. Batas wilayah udara suatu negara terletak di batas terluar dari laut teritorialnya. Dengan demikian mencakup udara di atas wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial. Sedangkan mengenai batas luar dari ruang udara yang merupakan bagian dari wilayah negara, hingga saat ini belum ada kesepakatan secara internasional. Berbagai teori untuk menjawab permasalahan batas maupun luasnya kedaulatan negara di udara pernah bermunculan, namun masing-masing teori tersebut memiliki kelemahan. Di antara teori-teori tersebut, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu mereka yang berpendapat bahwa udara memiliki sifat yang bebas (penganut teori udara bebas/”The Air Freedom Theory”) dan mereka yang berpendapat bahwa negara memiliki kedaulatan terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya (The Air Sovereignty Theory). Pandangan pertama tersebut nampaknya tidak dianut oleh negara-negara di dunia saat ini. sedangkan pandangan yang berpendapat bahwa negara kolong memiliki kedaulatan atas ruang udara di atas wilayah negaranya. Hal diterima untuk pertama kali dalam sebuah konvensi yaitu Konvensi Paris 1919 tentang Navigasi di Udara (Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation, October 13, 1919). Dalam pasal 1 Konvensi Paris 1919 dinyatakan: “The High Contracting Parties recognize that every power has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory” (Pihak-pihak utama yang menjadi peserta dari konvensi ini mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang penuh dan ekslusif atas ruang udara di atas wilayahnya). Demikian halnya dengan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional (the International Civil Aviation Convention) di dalam pasal 1 menegaskan hal yang serupa dengan pasal 1 Konvensi Paris 1919, yakni: “The Contracting States recognize that every state has complete and exclusive sovereignty in the air space above its territory” (Negara-negara yang terikat
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
15
dalam perjanjian ini mengakui bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan ekslusif di dalam ruang udara di atas wilayahnya). Meskipun tidak semua negara ikut menjadi peserta pada kedua konvensi di atas, namun adanya pengakuan atas kedaulatan negara terhadap ruang udara di atas wilayahnya (wilayah daratan dan perairan) serta praktek negara-negara yang menghormati isi dan jiwa dari pasal-pasal pada kedua konvensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hal ini dapat diterima secara umum. Dengan kata lain, kedaulatan udara di ruang udara di atas wilayah daratan dan perairannya sudah menjadi hukum kebiasaan internasional.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
16
2.2.
Pengelolaan Perbatasan Pengelolaan perbatasan pada dasarnya memuat berbagai langkah strategis
untuk menetapkan dan menegaskan batas-batas wilayah negara serta batas-batas terluar perairan yurisdiksi dengan negara tetangga, pengamanan batas wilayah di darat dan di laut, serta reformasi manajemen pengelolaan lintas batas. Sedangkan pengelolaan kawasan perbatasan pada dasarnya terkait dengan berbagai langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pembangunan wilayah secara berimbang dan berkelanjutan. Sasaran wilayah (geographical target) pengelolaan batas wilayah darat dapat diarahkan pada segmen-segmen batas darat dengan negara tetangga (Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste) baik yang sudah disepakati maupun yang belum disepakati. Sedangkan pengelolaan batas maritim diarahkan pada Batas Laut Teritorial (BLT) dan batas-batas perairan yurisdiksi, yakni Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas Landas Kontinen (BLK). Penetapan prioritas pengelolaan batas wilayah dilakukan dengan memperhatikan batas-batas yang belum disepakati atau disengketakan dengan Negara tetangga serta isu-isu strategis terkait dengan aspek lintas batas negara. Menurut naskah seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia tahun 2004, Wilayah Perbatasan adalah batas terluar wilayah darat, laut, dan udara suatu negara yang memisahkan kedaulatan negara dengan negara lain, baik yang dibatasi oleh garis batas negara atau garis batas imajiner. Dapat pula dikatakan sebagai wilayah terdepan yang menghadapi garis batas dengan negara tetangga atau wilayah internasional. Stephen B. Jones (1945) merumuskan sebuah teori terkait pengelolaan perbatasan. Di dalam teorinya tersebut, Jones membagi ruang lingkup pengelolaan ke dalam empat bagian, yaitu Allocation, Delimitation, Demarcation, dan Administration. Khusus untuk lingkup yang keempat (administration), dalam perkembangannya telah bergeser ke
arah
pengelolaan perbatasan atau
management (Pratt, 2006). Keempat ruang lingkup tersebut saling terkait satu sama lainnya, menandakan bahwa keempatnya merupakan satu rangkaian pengambilan keputusan yang saling berkaitan dalam pelaksanaannya. Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
17
Gambar 2.1 Teori Boundary Making
Allocation
Delimitation
Administration/ management
demarcation
Sumber:Ludiro Madu dkk, 2010 2.2.1. Konsep dan Praktik Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Negara Lain Di saat negara Indonesia masih sibuk untuk menentukan batas wilayah negara dan kawasan perbatasannya, negara-negara lain di dunia telah sedemikian majunya sehingga tidak lagi mempersoalkan pengelolaan batas secara fisik, akan tetapi telah bergerak maju menuju manajemen perbatasan yang terpadu (integrated border management) di antara negara-negara di dunia. Hal ini tentu saja tidaklah berlebihan, mengingat tingkat perjalanan global yang semakin meningkat tiap tahunnya, dan semakin bertambahnya pintu masuk dari setiap negara, sehingga membuat sistem manajemen perbatasan menjadi sangat terbebani. Data menunjukkan dari Migration Policy Institute (2011), total turis yang berkunjung di seluruh dunia telah meningkat sangat signifikan tiap tahunnya; 69,3 juta pada tahun 1960, 165,8 juta pada tahun 1970, 278,1 juta pada tahun 1980, 439,5 juta pada tahun 1990, dan 687 juta pada tahun 2000.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
18
Sebuah angka statistik yang fantastis, terlebih pada saat yang sama, risiko pengelolalaan perbatasan menjadi lebih meningkat dengan ancaman teroris, perdagangan manusia, imigran gelap, dan banyak persoalan lainnya yang telah mengganggu efektivitas pengelolaan perbatasan sebuah negara. Oleh karena itu, di bawah ini penulis hanya akan merinci perjalanan pengelolaan perbatasan di negara-negara maju secara sistematis dalam hal program pengelolaan perbatasan semenjak tahun 1995, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Canada2. Hal ini penulis lakukan mengingat negara Indonesia sudah seharusnya belajar untuk maju dalam hal pengelolaan perbatasan yang tidak lagi berkutat pada penentuan batas secara fisik, akan tetapi lebih kepada manajemen perbatasan yang terintegrasi. Namun perlu diingat, bahwa negara-negara maju sekalipun masih menemui kesulitan dalam hal pengkoordinasian dan pengkonsolidasian dalam hal pengelolaan perbatasan negaranya, sehingga mengurangi efektivitas dari tujuan pengelolaan perbatasan itu sendiri. Hal ini tidak lain disebabkan oleh banyaknya instansi yang berkecimpung dalam urusan perbatasan. Seiring berjalannya waktu dan proses evaluasi yang dilakukan, manajemen pengelolaan perbatasan pun menjadi lebih terpadu dengan terbentuknya single-agency management yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan, pengkoordinasian, dan pengawasan perbatasan yang terpadu, atau dikenal pula dengan ungkapan fungsi-fungsi CIQS3 (Custom, Immigration, Quarantine, and Security. Beberapa instansi di negaranegara maju yang dapat dilhat antara lain US Department of Homeland Security (DHS) di Amerika Serikat, Canada Border Services Agency (CBSA) di Kanada, UK Border Agency di Inggris, dan Australian Department of Immigration and Citizenship di Australia. Hal serupa pun telah dilakukan oleh Indonesia dengan membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang secara garis besar memilki fungsi yang sama sebagaimana di negara-negara maju.
2
Rangkuman program pengelolaan perbatasan diterjemahkan secara bebas dari Demerios G Papademetriou dan Elizabeth Collet. A New Architecture for Border Management. Migration Policy Institute, 2011 3 Rizal Darma Putra, “Manajemen Pengelolaan Perbatasan Laut dan Keamanan Perbatasan”, LESPERSSI, Jakarta 2010. Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
19
2.2.1.1.
Program Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Amerika Serikat Program
Fungsi
Secure Electronic Network for Melakukan inspeksi bagi wisatawan secara Travelers
Rapid
Inspection acak. Difokuskan pada perbatasan darat
(SENTRI), 1995
antara
Amerika-Meksiko,
utamanya
di
California, Texas, dan Arizona Smart Border Action Plan, Meksiko Menjaga 22 titik perbatasan krusial untuk (2002)
mengatasi imigran gelap, namun lemah di tahap implementasi
Container Security Initiative (CSI), Pemeriksaan awal bagi kontainer komersial 2002 United Immigrant
sebelum diberangkatkan ke negara tujuan States
Visitor
Status
and Sistem yang diterapkan oleh DHS untuk
Indicator mengumpulkan data biometrik berupa foto
Technology (US-VISIT), 2003
dan sidik jari yang dikumpulkan dari para wisatawan bagi kepentingan keamanan dan dari ancaman teroris.
Global Entry, 2003
Progam yang mengkonsolidasikan berbagai sistem registrasi perjalanan, seperti Nexus (Kanada), SENTRI (Meksiko), dan FAST (Amerika Utara); dan juga dapat diterapkan bagi pemegang paspor Inggris dan AS.
Secure Borders Initiative, 2006. Jaringan digital Dibatalkan Januari 2011
infrastruktur,
yang mengintegrasikan
personel,
dan
teknologi
sepanjang perbatasan utara dan selatan. Tujuannya
adalah
mencegah
aktivitas-
aktivitas ilegal, termasuk di dalamnya peralatan komunikasi, pengintaian, analisis komputer, dan tim reaksi cepat. Dibatalkan saat pemerintahan Obama terkait besarnya biaya dan kritik dari Kongres
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
20
US-EU Passenger Name Records Uni (PNR) Agreement, 2004, 2007
Eropa
mengizinkan
AS
untuk
mengakses Data Nama Penumpang dari penerbangan komersial Eropa
Eletctronic
System
for
Travel Otorisasi keberangkatan terhadap orang-
Authorization (ESTA), 2007
orang yang dianggap mencurigakan atas alasan keamanan. Informasi digunakan oleh DHS,
Biro
Sensus,
dan
Departemen
Perdagangan FLUX, 2009
Kemitraan antara Global Entry dari Amerika Serikat dan Program Privium dari Belanda, untuk akses masuk ke wilayah Schengen.
2.2.1.2.
Program Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Uni Eropa Program
Schengen
Information
Fungsi System, Sistem
1995
pertukaran
membolehkan
aparat
informasi
yang
hukum
untuk
memperoleh informasi atas orang dan obyek tertentu European Dactyloscopy
Database sidik jari
(EURODAC), 2000 Advanced Passenger Information
Informasi biografis yang diambil dari mesin
(API), 2004
pada paspor dan dikomunikasikan oleh maskapai
penerbangan
pada
petugas
perbatasan Integrated Border Management
Instansi
yang
bertugas
mendukung
Agency (FRONTEX), 2005
kerjasama perbatasan eksternal di dalam Uni Eropa
Schengen Borders Code, 2006
Aturan dasar bagi manajemen perbatasan eksternal Uni Eropa
PNR Agreements, 2006
Perjanjian
untuk
mentransfer
informasi
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
21
penumpang dan dikumpulkan oleh maskapai untuk pemesanan tiket Rapid Border Intervention Teams
Tim dari pakar nasional yang menyediakan
(RABIT), 2007
bantuan teknis dan operasional terhadap permintaan pejabat negara, dikoordinasikan oleh FRONTEX
Visa Information System, 2010
Sistem
yang
memberikan
ruang
bagi
pertukaran informasi atas pembuatan visa dan pembatalan visa untuk mencegah aksi terorise dan tindak kejahatan lainnya 2.2.1.3.
Program Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Kanada Program
Fungsi
Partners in Protection (PIP), 1995
Komitmen
untuk
secara
sukarela
menerapkan standar yang tinggi terhadap isu keamanan untuk menciptakan perdagangan yang terpercaya Integrated
Border
Enforcement Intansi hukum lintas sektor antara Kanada
Teams (IBET), 1996
dan AS untuk mengatasi penyelundupan, ancaman teror, dan imigran ilegal.
Joint
facilities
(”one-stop”
or Untuk
meningkatkan
”single-window” border crossings), menurunkan biaya
efisiensi
dengan
dan
membangun
2000
sarana bersama perbatasan
Smart Border Action Plan, 2001
Sistem perbatasan di abad ke-21 yang mencoba
mengatasi
permasalahan
perbatasan dengan tetap memperhatikan keamanan nasional dan tujuan ekonomi Advanced Passenger Information Informasi yang disediakan oleh maskapai (API) / Passenger Name Record sebelum (PNR)
para
penumpang
memasuki
Kanada. API: data personal; tanggal lahir,
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
22
jenis
kelamin.
PNR:
data
perjalanan;
penyeberangan
perbatasan
informasi tiket NEXUS, 2002
Mempercepat
bagi para wisatawan yang telah disetujui Free and Secure Trade (FAST), Program penyeberangan perbatasan bagi 2003
tujuan komersial dan perdagangan
Canadian Border Services Agency Mempersenjatai petugas perbatasan Kanada (CBSA) Arming Initiative, 2006 Border
Information
Architecture, 2006
Flow Mendanai program yang berupaya untuk mensosialisasikan interaksi yang efektif atas penggunaan teknologi
Advance Commercial Information, Menyediakan petugas CBSA akan informasi 2004, 2006
sebelum kedatangan barang atau kargo
Five Country Conference (FCC) Informasi Biometrik (utamanya sidik jari) High Value Data Sharing Protocol, program 2009
bersama
untuk
manajemen
perbatasan dan pengungsi
Canada-US Action Plan for Critical Dirancang untuk melindungi infrastruktur Infrastructure, 2010
kedua
negara
melalui
peningkatan
manajemen risiko dan sharing informasi Sumber: Migration Policy Institute, 2011 Beberapa hal yang dapat dijadikan pelajaran dari ketiga negara tersebut adalah: a. Pada awalnya fungsi koordinasi menjadi kendala yang cukup signifikan dalam pengelolaan perbatasan, akan tetapi secara bertahap negara-negara tersebut memperbaikinya dengan sistem dan manajemen perbatasan terpadu; b. Teknologi menjadi kunci utama dalam meningkatkan kinerja pengelolaan perbatasan; c. Kerjasama bilateral ataupun multilateral nampaknya menjadi suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam membangun perbatasan yang lebih baik, Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
23
seperti halnya AS dan Kanada yang mampu membangun sarana perbatasan bersama demi efisiensi; d. Ancaman teroris, imigran ilegal, dan penyelundupan narkoba menjadi perhatian utama dalam pengelolaan perbatasan. 2.3.
Kondisi Perbatasan Indonesia Indonesia memiliki perbatasan darat internasional dengan 3 negara
tetangga yaitu Malaysia, PNG, dan Timor Leste. Perbatasan darat tersebut tersebar di tiga pulau (Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara), serta empat provinsi (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Timur). Sedangkan di laut, perairan Indonesia berbatasan kedaulatan dan atau hak berdaulat dengan 10 negara tetangga yaitu Malaysia, PNG, Timor Leste, India, Thailand, Vietnam, Singapura, Filipina, Palau, dan Australia. a.
Batas Darat 1. Batas Darat RI-Malaysia Perbatasan darat antara RI dengan Malaysia memiliki panjang 2.004 km membentang dari Tanjung Datu di sebelah barat hingga ke pantai timur pulau Sebatik di sebelah timur. Garis batas ini melintasi 8 (delapan) kabupaten di dua provinsi, yaitu Kabupaten Sanggau, Sambas, Sintang, Kapuas Hulu, dan Bengkayang (Provinsi Kalimantan Barat) dan Kabupaten Malinau, Kutai
Barat, dan Nunukan
(Kalimantan Timur). Garis perbatasan darat di Provinsi Kalimantan Barat sepanjang 966 kilometer memisahkan wilayah NKRI dengan wilayah Sarawak, Malaysia. Sedangkan garis perbatasan darat di Provinsi Kalimantan Timur sepanjang 1.038 kilometer memisahkan wilayah NKRI dengan negara bagian Sabah dan Serawak, Malaysia. Delimitasi batas darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan dan Pulau Sebatik mengacu kepada perjanjian batas antara Pemerintah Inggris dan Pemerintah Hindia Belanda (Traktat 1891, Konvensi 1915 dan 1928) serta MOU batas darat antara Indonesia dan Malaysia tahun 1973-2006. Sedangkan penegasan batas (demarkasi) secara bersama di Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
24
antara kedua negara telah dimulai sejak tahun 1973, di mana hingga tahun 2009 telah dihasilkan tugu batas sebanyak 19.328 buah lengkap dengan koordinatnya. Delimitasi batas darat RI-Malaysia yang sebagian besar berupa watershed (punggung gunung/bukit, atau garis pemisah air) ini sudah selesai, tetapi secara demarkasi masih tersisa 9 (sembilan) titik bermasalah (outstanding boundary problems). Kondisi keberadaan patok batas antar negara di darat antara RI-Malaysia perlu untuk menjadi perhatian, dimana pergeseran patok batas sering terjadi karena adanya aktivitas di sekitar kawasan perbatasan, bahkan bergesernya patok batas darat ini seringkali dilakukan secara sengaja. Kondisi ini juga terkait dengan lemahnya kontrol atau pengawasan terhadap batas negara. Penuntasan permasalahan batas darat RIMalaysia selama ini ditangani melalui tiga lembaga yaitu: (1) General Border
Committee
(GBC)
RI-Malaysia
dikoordinasikan
oleh
Kementerian Pertahanan; (2) Joint Commission Meeting (JCM) RIMalaysia, dikoordinasikan oleh Kementerian Luar Negeri; dan (3) Sub Komisi
Teknis
Survey
dan
Demarkasi
dikoordinasikan
oleh
Kementerian Dalam Negeri. Adapun untuk penanganan masalah outstanding border problems (OBP) telah dibentuk Kelompok Kerja Bersama (Joint Working Group) antara kedua negara. Untuk tahap awal telah disepakati untuk dibahas 5 (lima) permasalahan di sektor Timur (Kalimantan Timur-Sabah). 2. Batas Darat RI-Papua Nugini Perbatasan darat antara Indonesia dan PNG memiliki panjang 820 Km membentang dari Skouw, Jayapura di sebelah utara sampai muara sungai Bensbach, Merauke di sebelah selatan. Garis batas ini melintasi 5 (lima) kabupaten di Provinsi Papua, yaitu Kabupaten Keerom, Merauke, Boven Digoel, Pegunungan Bintang, dan Kota Jayapura. Delimitasi batas RI dengan Papua Nugini di Pulau Papua mengacu kepada perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Garis-Garis Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
25
Batas Tertentu antara Indonesia dan Papua Nugini tanggal 12 Februari 1973, yang diratifikasi dengan UU No. 6 tahun 1973, serta deklarasi bersama Indonesia dan Papua Nugini tahun 1989-1994. Koordinasi dan lokasi pilar batas darat dengan negara PNG tersebar dalam 52 titik pilar batas yang telah disepakati dalam perjanjian RI-PNG 12 Februari 1973. Pemasangan tanda batas atau demarkasi batas RI-PNG sudah dimulai sejak tahun 1966, dimana hingga saat ini jumlah tugu utama (MM) yang tersedia berjumlah 55 buah, sedangkan tugu perapatan berjumlah 1792 buah. Kasus lain yang muncul akibat ketidakjelasan batas di lapangan adalah adanya daerah yang berada di wilayah Indonesia, tetapi secara administrasi pemerintahan yang berjalan efektif selama ini adalah PNG (kasus Warasmoll dan Marantikin di Kabupaten Pegunungan Bintang). Pengelolaan batas negara RI-PNG saat ini ditangani dua lembaga yaitu Joint Border Committee (JBC) RI-PNG yang dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam Negeri, serta Sub Komisi Teknis Survey Penegasan dan Penetapan Batas RI-PNG yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pertahanan. 3. Batas Darat RI-Timor Leste Perbatasan darat antara RI dengan Timor Leste memiliki panjang 268,8 km, melintasi 3 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, dan Kupang. Perbatasan darat RI dengan Timor Leste terbagi atas dua sektor, yaitu: (1) Sektor Timur (sektor utama/main sector) di Kabupaten Belu yang berbatasan langsung dengan Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro di Timor Leste sepanjang 149,1 km; dan (2) Sektor Barat (Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang berbatasan langsung dengan Distrik Oecussi yang merupakan wilayah enclave Timor Leste sepanjang 119,7 km. Hampir sebagian besar (99%) batas darat kedua Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
26
negara berupa batas alam berupa watershed
dan thalweg (bagian
terdalam sungai). Delimitasi batas RI dengan Timor Leste di PulauTimor mengacu kepada perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Portugis pada tahun 1904 dan Permanent Court Award (PCA) 1914, serta Perjanjian Sementara antara Indonesia dan Timor Leste pada tanggal 8 April 2005. Perundingan perbatasan antara RI dan Timor Leste mulai dilaksanakan sejak tahun 2001 dengan diadakannya pertemuan pertama Technical Sub-Committee on Border Demarcation and Regulation (TSCBDR) RI-UNTAET (United NationsTransitional Administration for East Timor). Batas negara antara RI dan Timor Leste sebanyak 907 titik-titik koordinat telah ditetapkan dalam persetujuan tentang Perbatasan Darat (Provisional Agreement) yang ditandatangani oleh Menlu RI dan Menlu Timor Leste pada tanggal 8 Juni 2005 di Dili namun masih ada segmen yang belum terselesaikan dan yang belum disurvey/diukur oleh Tim Survey kedua negara. Sampai saat ini telah dilakukan demarkasi berupa pemasangan 42 pilar batas di sektor timur dan 8 pilar batas di sektor barat. Sedangkan panjang garis yang selesai dilacak (delineasi) sekitar 95% dari total panjang batas. Selain itu telah dilakukan kegiatan CBDRF dan pemetaan bersama di sepanjang garis batas. Permasalahan batas RITimor Leste yaitu adanya ketidakcocokan antara kesepakatan yang tertera dalam Dasar Hukum (Traktat 1904 dan PCA 1914) dengan kenyataan di lapangan maupun yang diketahui oleh masyarakat sekitar saat ini. Penjelasan yang disampaikan oleh warga Indonesia dan warga Timor Leste terkadang saling berlawanan. Selain itu masih ada sekelompok masyarakat yang memiliki pandangan yang berbeda. Mereka secara tradisional memiliki “batas” yang diakui secara turun temurun oleh suku-suku yang berada di kedua negara yang berbeda dengan yang tertuang dalam kedua dasar hukum tersebut di atas. Di sisi lain tidak ditemukan bukti-bukti yang dapat mendukung “klaim” masyarakat tersebut sehingga para perunding tidak dapat membawa Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
27
“klaim”
tersebut
dalam
pertemuan-pertemuan
kedua
negara.
Permasalahan ini sangat terasa di sektor barat, khususnya kawasan Manusasi. Penanganan batas negara RI-Timor Leste selama ini ditangani oleh 2 (dua) lembaga yaitu Joint Border Committee (JBC) RI-RDTL yang dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam Negeri, serta Sub Komisi Teknis Border Demarcation and Regulation RI-RDTL yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pertahanan dan Bakosurtanal. b.
Batas Laut 1. Batas Laut RI-India Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas KontinenRI berbatasan dengan Negara India di Laut Andaman. Delimitasi Batas Zona Ekonomi Eksklusif RI-India hingga saat ini belum disepakati, sedangkan Batas Landas Kontinen telah disepakati melalui beberapa perjanjian yakni:
Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik India tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen antara kedua negara pada tanggal 8 Agustus 1974 (Keppres No. 51/1974). Persetujuan ini menetapkan garis batas landas kontinen di daerah perairan antara Sumatera, Indonesia, dengan Nicobar Besar, India.
Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik India tentang Perpanjangan Garis Batas Landas Kontinen di Laut Andaman dan Samudera Hindia pada tanggal 14 Januari 1977 (Keppres No. 26/1977).
Persetujuan antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India, dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas (tri junction point) dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman pada tanggal 22 Juni 1978 (Keppres No. 24 tahun 1978).
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
28
2. Batas Laut RI-Thailand Wilayah ZEE dan Landas Kontinen RI berbatasan dengan Negara Thailand di Laut Andaman dan Selat Malaka bagian utara. Delimitasi batas ZEE RI-Thailand hingga saat ini masih dalam proses perundingan batas dan belum disepakati. Sedangkan BLK telah disepakati melalui beberapa perjanjian, antara lain melalui:
Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Malaysia, dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penerapan Garis Batas Dasar Landas Kontinen di Bagian Selat Malaka pada tanggal 17 Desember 1971 (Keppres No. 20 tahun 1972).
Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penerapan Garis Batas Landas Kontinen antara Kedua Negara di Bagian Utara Selat Malaka dan di Laut Andaman pada tanggal 11 Maret 1972 (Keppres No. 21 tahun 1972).
Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penerapan Garis Batas Dasar Laut Antara Kedua Negara di Laut Andaman pada tanggal 11 Desember 1975 (Keppres No. 1 tahun 1977).
Persetujuan antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India, dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas (tri junction point) dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman pada tanggal 22 Juni 1978 (Keppres No. 24 tahun 1978).
3. Batas Laut RI-Vietnam Wilayah ZEE dan Landas Kontinen RI berbatasan dengan Negara Vietnam di Laut Cina Selatan. Delimitasi batas ZEE RI-Vietnam hingga saat ini belum disepakati, sedangkan Batas Landas Kontinen telah disepakati pada tanggal 26 Juni 2003 melalui Perjanjian Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
29
Republik Sosialis Vietnam tentang Penetapan Batas Landas Kontinen dan telah diratifikasi melalui UU No. 18 tahun 2007. Perundingan BLK RI-Vietnam tersebut memakan waktu sekitar 25 tahun terhitung sejak pemerintahan baru Vietnam sampai akhirnya disepakati. 4. Batas Laut RI-Malaysia Indonesia memiliki tiga lokasi yang berpotensi memerlukan delimitasi batas maritim dengan Malaysia. Ketiga lokasi tersebut adalah Selat Malaka antara Semenanjung Malaysia, Laut Cina Selatan, serta Laut Sulawesi. Batas maritim ini meliputi Laut Teritorial, Landas Kontinen, dan ZEE. Batas Laut Teritorial Indonesia-Malaysia di Selat Malaka telah disepakati melalui Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang Penerapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1970 dan telah diratifikasi melalui UU No. 2 tahun 1971. Batas Landas Kontinen RI-Malaysia di Laut Natuna sebelah barat dan timur telah disepakati melalui Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang Penerapan Garis Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara pada tanggal 27 Oktober 1969 dan disahkan pemberlakuannya dengan Keppres No. 89 tahun 1969. Sedangkan BLK antara RI-Malaysia-Thailand di bagian utara Selat Malaka disepakati pada tanggal 17 Desember 1971 melalui Keppres No. 20 tahun 1972. Beberapa segmen batas maritim antara IndonesiaMalaysia hingga saat ini belum disepakati yang disebabkan klaim sepihak Malaysia berdasarkan Peta 1979. Malaysia mengklaim wilayah maritim yang sangat eksesif mencakup wilayah maritim yang belum disepakati batasnya seperti di Laut Sulawesi. Hal ini disebabkan Malaysia menerapkan prinsip-prinsip penarikan garis pangkal lurus kepulauan padahal Malaysia bukan merupakan negara kepulauan menurut Konvensi PBB tentang UNCLOS 1982. Hal tersebut mengakibatkan sebagian ZEE Indonesia di Laut Sulawesi masuk Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
30
menjadi laut teritorial Malaysia. Permasalahan batas maritim Indonesia-Malaysia juga terjadi di Selat Singapura antara Pulau Bintan dan Johor Timur, yang disebabkan oleh penggunaan suar Horsburg yang terletak pada pintu masuk Selat Singapura dari arah timur sebagai titik dasar. 5. Batas Laut RI-Singapura Indonesia berbatasan laut wilayah dengan Singapura di Selat Singapura. Pada tanggal 26 Mei tahun 1973, RI-Singapura telah menyepakati 6 titik koordinat Batas Laut Teritorial dan telah diratifikasi melalui UU No. 7 tahun 1973. Pada tanggal 10 Maret 2009, RI dan Singapura kembali menandatangani perjanjian mengenai penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di bagian barat Selat Singapura. Secara keseluruhan, perbatasan laut antara Indonesia dengan Singapura hingga saat ini baru menyepakati segmen barat, sedang segmen timur di Selat Singapura masih harus diselesaikan antara Indonesia dengan Singapura. Penyelesaian di segmen timur masih menunggu penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Batu Puteh/Pedra Branca antara Malaysia dan Singapura. 6. Batas Laut RI-Filipina Indonesia memiliki ZEE yang berbatasan dengan Negara Filipina di Laut Sulawesi, namun hingga saat ini belum dapat didelimitasi batasnya antar kedua negara. Pada awalnya, permasalahan utama dalam delimitasi batas maritim antara RI-Filipina adalah berlaku dan dianutnya Traktat Paris 1898 dan Traktat 1930 oleh Filipina yang menyebabkan wilayah maritim Filipina berupa kotak, tidak menganut prinsip jarak dari garis pangkal seperti ditegaskan oleh hukum internasional. Hal ini menyulitkan negosiasi karena dasar hukum yang digunakan Filipina berbeda dengan Indonesia yang mengacu kepada Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
31
UNCLOS. Permasalahan lainnya adalah kepemilikan Pulau Palmas atau Pulau Mianggas. Namun kedua persoalan ini telah terselesaikan dimana Pulau Mianggas terbukti merupakan wilayah kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda sehingga sesuai TZMKO 1939 Pulau Mianggas menjadi wilayah kedaulatan RI. Filipina juga sudah menyepakati untuk mengacu kepada UNCLOS dalam menyelesaikan batas maritim dengan Indonesia. Hingga saat ini negosiasi batas maritim RI-Filipina sudah pada tingkat teknis. 7. Batas Laut RI-Palau Hingga saat ini Indonesia belum menyepakati batas-batas ZEE dengan Palau di Samudera Pasifik. Salah satu alasan utama adalah belum terbentuknya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Palau. Meski demikian, Indonesia sudah menyatakan klaimnya melewati garis tengah antara Indonesia dengan Palau, sehingga Indonesia menguasai 37.500 mil laut wilayah maritim di sisi Palau dilihat dari sisi simulasi garis meridian murni dengan mempertimbangkan titik pangkal relevan antara kedua negara.
8. Batas Laut RI-Timor Leste Penyelesaian batas maritim antara Indonesia dengan Timor Leste, baik Batas Laut Teritorial, Batas Landas Kontinen, maupun Batas ZEE masih harus menunggu penyelesaian batas darat antara kedua negara. Mengingat saat ini batas darat yang terselesaikan baru 97 persen, maka negosiasi batas maritim belum dapat dimulai. Hal ini karena batas laut pada dasarnya adalah kelanjutan dari batas darat. 9. Batas Laut RI-Australia Indonesia dan Australia telah menyepakati enam perjanjian batas maritim. Perjanjian pertama tanggal 18 Mei 1971 adalah tentang Batas Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
32
Landas Kontinen di Laut Arafura dan Laut Timor. Perjanjian ini telah diratifikasi melalui Keppres No. 42 tahun 1971 tentang Persetujuan Antara
Pemerintah
Republik
Indonesia
dan
Pemerintah
Commonwealth Australia tentang Penerapan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu. Perjanjian tahun 1971 dilanjutkan dengan perjanjian kedua tanggal 9 Oktober 1972 dilanjutkan dengan perjanjian kedua tanggal 9 Oktober 1972 tentang batas maritim di sebelah selatan Pulau Tanimbar (Laut Arafura) dan sebelah selatan Pulau Rote dan Pulau Timor. Perjanjian ini diratifikasi melalui Keppres No. 66 tahun 1972 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Commonwealth Australia tentang Penerapan Garis Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara. Perjanjian ketiga dilakukan oleh Australia atas nama PNG tentang batas maritim di Samudera Pasifik. Perjanjian keempat dilaksanakan atas nama PNG pada tanggal 12 Februari 1973 perihal Landas Kontinen di Laut Arafura. Perjanjian kelima dilakukan Indonesia-Australia mengenai penetapan zona kerjasama di Laut Timor (celah Timor) dimana perjanjian ini tidak berlaku lagi pasca kemerdekaan Timor Leste. Perjanjian keenam antara Indonesia-Australia disepakati pada tanggal 14 Maret 2009 untuk tubuh air, ZEE dan dasar laut. Namun perjanjian ini belum berlaku secara resmi mengingat Indonesia belum meratifikasi dalam peraturan nasional. 10. Batas Laut RI-PNG Indonesia dengan PNG menyepakati batas teritorial pada tanggal 12 Februari 1973 dan disahkan melalui UU No. 6 tahun 1973. Saat itu PNG tidak bertindak sendiri tetapi diwakili oleh Australia selaku negara protektorat (pelindung) terhadap PNG. Pada
tanggal
13
November
1980,
Indonesia
dan
PNG
menandatangani perjanjian batas maritim landas kontinen di kawasan Samudera Pasifik. Perjanjian ini meneruskan garis batas maritim antara Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
33
Indonesia dan Australia tahun 1971. Kesepakatan ini disahkan pemberlakuannya melalui Keppres No. 21/1982 yang juga sekaligus menentukan batas maritim ZEE bagi Indonesia dan PNG.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
34
Tabel 2.1 Status Batas Maritim Indonesia Dengan Negara Tetangga No I. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Batas Laut Status ZONA EKONOMI EKSKLUSIF RI-Malaysia Belum disepakati RI-Vietnam Telah disepakati RI-Philipina Belum disepakati RI-Palau Belum disepakati RI-PNG Belum disepakati RI-Timor Leste Belum disepakati RI-India Belum disepakati RI-Singapura Belum disepakati RI-Thailand Belum disepakati RI-Australia Telah disepakati
1.
II. BATAS LAUT TERITORIAL RI-Malaysia Telah disepakati
2. 3.
RI-Singapura Telah disepakati (di sebagian (sebagian) Selat Singapura) RI-PNG Telah disepakati
4.
RI-Timor Leste
Belum disepakati
5.
RI-MalaysiaBelum disepakati Singapura III. BATAS LANDAS KONTINEN 1. RI-India Telah disepakati
2.
RI-Thailand
Telah disepakati
3.
RI-Malaysia
Telah disepakati
Keterangan Belum ada perjanjian batas Belum ada perjanjian batas Belum ada perjanjian batas Belum ada perjanjian batas Tidak ada batas laut Belum ada perjanjian batas Belum ada perjanjian batas Belum ada perjanjian batas Belum ada perjanjian batas ZEE di Samudera Hindia, Laut Arafura, dan Laut Timor Disepakati dalam perjanjian Indonesia-Malaysia Tahun 1970 Disepakati dalam perjanjian Indonesia-Singapura tahun 1973 dan 2009 Disepakati dalam perjanjian Indonesia-PNG tahun 1980 Perlu ditentukan garis-garis pangkal kepulauan di Pulau Leti, Kisar, Wetar, Liran, Alor, Pantar, hingga Pulau Vatek, dan titik dasar sekutu di Pulau Timor Perlu perundingan bersama (tripartid) 10 titik BLK di Laut Andaman berikut koordinatnya disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1974 dan 1977 Titik-titik BLK di Selat Malaka maupun Laut Andaman disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1977 10 titik BLK di Selat Malaka dan 15 titik di Laut Natuna disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1969 Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
35
4.
RI-Australia
6. RI-Philipina 7. RI-Palau 8. RI-Timor Leste 9. RI-Vietnam Sumber: BNPP, 2011 2.4.
Telah disepakati
Belum disepakati Belum disepakati Belum disepakati Telah disepakati
Titik-titik BLK di Laut Arafura dan Laut Timor ditetapkan melalui Keppres pada tahun 1971 dan 1972 Titik-titik BLK di Samudera Hindia dan di sekitar Pulau Christmas telah disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1997 Dalam proses negosiasi Belum ada proses perundingan Belum ada proses perundingan Melalui perjanjian tahun 2003
Koordinasi Pengelolaan Perbatasan
2.4.1. Konsep Koordinasi 2.4.1.1.
Pengertian Koordinasi
Dalam sistem administrasi negara Republik Indonesia, dikemukakan bahwa: Dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah maupun dalam rangka menggerakkan dan memperlancar pelaksanaan pembangunan, kegiatan pemerintah perlu dipadukan, diserasikan dan diselaraskan untuk mencegah timbulnya tumpang tindih, pembenturan, kesimpangsiuran, dan atau kekacauan. Oleh karena itu, koordinasi antar kegiatan aparatur pemerintah harus dilakukan. Koordinasi
dalam
pemerintah
adalah
merupakan
upaya
memadukan
(mengintegrasikan), menyerasikan, dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan kegiatan yang saling berkaitan beserta segenap gerak, langkah dan waktunya dalam rangka pencapaian tujuan dan asas bersama. Koordinasi perlu dilaksanakan dari proses perumusan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan dan pengendaliannya. Farland (1964) mendefinisikan koordinasi sebagai suatu proses dimana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
36
Stoner dan Wankel (1986), memberi batasan koordinasi sebagai proses pemaduan sasaran dan kegiatan unit-unit kerja (bagian-bagian atau bidang-bidang fungsional) yang terpisah untuk dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif. Stoner dan Freeman (1994), menyatakan bahwa koordinasi adalah proses pemaduan sasaran dan kegiatan unit-unit kerja (bagian-bagian atau bidang fungsional) yang terpisah untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif. Tanpa koordinasi, para individu dan bagian-bagian akan kehilangan pemahaman akan peran mereka di dalam organisasi dan tergoda untuk mengejar kepentingan khusus mereka sendiri, seringkali dengan mengorbankan tujuan organisasi yang lebih besar. Sementara
Hardjito
(1995),
mendefinisikan
koordinasi
sebagai
pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan dari satuan-satuan yang terpisah (unit-unit) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Hasibuan
(1996),
menyatakan
bahwa
untuk
lebih
memudahkan
pelaksanaan koordinasi antar organisasi, dibutuhkan persyaratan-persyaratan di antaranya adalah sense of cooperation (keinginan untuk bekerjasama), ini harus dilihat dari sudut bagian per bagian bidang pekerjaan, bukan orang per orang; rivalry, dalam organisasi-organisasi besar sering diadakan persaingan antara bagian-bagian, agar bagian ini berlomba-lomba untuk mencapai kemajuan; team spirit, artinya bagian-bagian pada setiap bagian harus harga-menghargai dan mempunyai semangat juang yang sama; esprit de corps, artinya bagian-bagian yang diikutsertakan atau dihargai, umumnya akan memiliki rasa satu korps, satu tubuh dalam sebuah organisasi. Dari beberapa kutipan di atas, unsur-unsur yang terkandung di dalam definisi tersebut jika diperinci adalah sebagai berikut: a. Koordinasi mengandung arti sebagai suatu proses atau dengan kata lain sebagai suatu kegiatan yang ada secara terus menerus tidak pernah berhenti;
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
37
b. Koordinasi mengandung upaya atau kegiatan untuk menyerahkan, menselaraskan atau mensinkronkan unit-unit atau bagian atau tindakan di dalam suatu organisasi; c. Koordinasi dimaksudkan untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dengan melalui upaya menghilangkan konflik dan tumpang tindih. Penulis melihat
bahwa
konsep
koordinasi
yang mengedepankan
keselarasan, keterpaduan, dan keserasian di antara semua sektor untuk mencapai tujuan inilah yang nantinya akan mewarnai penelitian tentang koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dengan Kementerian/Lembaga terkait dan pemerintah daerah. 2.4.1.2.
Perbedaan Koordinasi dan Kooperasi
Koordinasi adalah suatu istilah yang mengandung kooperasi, sebab koordinasi tanpa adanya kooperasi tidak mungkin dapat dilakukan. Sebelum membedakan istilah ini terlebih dahulu dijelaskan definisi dari kooperasi (cooperation). Farland mendefinisikan kooperasi sebagai berikut: ”Cooperation is the willingness of individual to help each other”. (Koperasi adalah kehendak dari individu-individu untuk menolong satu sama lain). Pada kooperasi/kerjasama terdapat unsur kesukarelaan atau sifat suka rela (voluntary attitude) dari orang-orang di dalam organisasi, sedangkan koordinasi tidak terdapat unsur kerjasama secara sukarela, tetapi bersifat kewajiban (compulsory). 2.4.1.3.
Tipe Koordinasi
Hasibuan
(1996),
mengemukakan
koordinasi
adalah
kegiatan
mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Tipetipe koordinasi sebagai berikut: 1) Koordinasi vertikal (vertical coordination) adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
38
unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Artinya, atasan mengkoordinasi semua aparat yang ada di bawah tanggung jawabnya secara langsung. Koordinasi vertikal ini secara relatif mudah dilakukan karena atasan dapat memberikan sanksi kepada aparat yang sulit diatur; 2) Koordinasi
Horizontal
mengkoordinasikan
(Horizontal
tindakan-tindakan
Coordination),
merupakan
atau
penyatuan,
kegiatan
pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. Koordinasi horizontal ini dibagi atas “interdiciplinari dan interrelated”. Interdiciplinari adalah suatu koordinasi dalam rangka mengarahkan, menyatukan tindakantindakan, mewujudkan, menciptakan disiplin antara unit yang satu dengan unit yang lain secara intern maupun ekstern pada unit-unit yang sama tugasnya. Sedangkan interrelated adalah koordinasi antar bagian (instansi); unit-unit yang fungsinya berbeda, tetapi instansi yang satu dengan yang lain saling bergantungan atau mempunyai kaitan baik intern maupun ekstern yang levelnya setaraf. Koordinasi horizontal ini relatif sulit dilakukan, karena koordinator tidak dapat memberikan
sanksi
kepada
pejabat
yang
sulit
diatur
sebab
kedudukannya setingkat. 2.4.1.4.
Metode dan Teknik Koordinasi
Handayaniningrat (1986), menjelaskan bahwa metode dan teknik koordinasi pada dasarnya dapat dilakukan melalui: a. Koordinasi melalui kewenangan. Koordinasi ini tercipta didasarkan pada kekuasaan yang sah dan legal formal dalam suatu lembaga/organisasi; b. Koordinasi melalui konsensus. Koordinasi melalui konsensus terjadi bila ada kesepakatan dalam suatu lembaga/organisasi. Konsensus tersebut dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: konsensus motivasi, konsensus sistem timbal balik dan konsensus ide;
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
39
c. Koordinasi
melalui
pedoman
kerja.
Untuk
mencapai
kelancaran
pelaksanaan sistem koordinasi, maka pedoman kerja mutlak diperlukan untuk menyatukan persepsi dan tujuan; d. Koordinasi melalui forum. Koordinasi forum dilakukan melalui wadah atau lembaga sebagai tempat bertemu dan berkumpul dalam membahas permasalahan; e. Koordinasi melalui konferensi. Dilakukan melalui rapat atau sidang. 2.4.1.5.
Masalah-Masalah Koordinasi Beberapa sebab timbulnya masalah koordinasi:
a.
Kompleksnya fungsi dan kegiatan yang secara khusus dilakukan oleh berbagai unit atau perorangan;
b.
Bertambahnya pengkhususan-pengkhususan dari berbagai kegiatan sehingga memperbesar struktur organisasi itu sendiri;
c.
Rentang pengendalian (span of control) dari organisasi. Mengingat kemampuan manusia yang terbatas, maka diperlukan pembatasan secara rasional terhadap jumlah bawahan yang harus dikendalikan.
2.4.1.6.
Tujuan Koordinasi
Tujuan koordinasi adalah dalam rangka pencapaian tujuan organisasi secara lebih efektif dan efisien dengan melalui pendekatan yang dapat mencegah konflik, tumpang tindih, ketidakserasian antara bagian yang satu dengan bagian lainnya. Sehingga sumber daya terbatas yang dimiliki oleh organisasi dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dalam hal ini Petit (1975) mengemukakan bahwa: ‘Coordination’s purpose is to integrate once again the parts of the task that were separated by the division of work”. Jadi menurut Petit tujuan koordinasi adalah untuk mengintegrasikan bagian-bagian tugas yang terpisah akibat pembagian tugas.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
40
Saxena mengemukakan pula: “Coordination is between often widely dispersed
activities, with the
purpose of accomplishing events and tasks as parts of specified set of objectives” (Saxena, 1980). Dengan demikian, tujuan koordinasi adalah untuk menyatukan tindakan, menyerasikan kegiatan, dan mensinkronkan setiap usaha guna mencapai tujuan organisasi. 2.4.2. Kelembagaan Pengelolaan Perbatasan Dalam penulisan tesis ini, aspek kelembagaan menjadi penting untuk dibahas, hal ini terutama terkait fungsi koordinasi dalam proses pengelolaan perbatasan. Pengelolaan perbatasan hingga saat ini ditangani oleh 3 bentuk kelembagaan: Pertama, komite-komite perbatasan yang merupakan forum kerjasama antara Indonesia dengan negara tetangga, antara lain General Border Committee (GBC) RI-Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI-PNG, JBC RITimor Leste, dan Border Committee RI-Filipina. Kedua, lembaga-lembaga pemerintah terkait secara sektoral dan teknis, dan ketiga, unit atau badan khusus di daerah yang menangani pengelolaan kawasan perbatasan yang bekerjasama dengan negara tetangga, seperti Sosek Malindo di Kalbar, Kaltim dan Riau dan Badan Perbatasan dan Kerjasama Daerah (BPKD) di perbatasan Papua. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat beberapa persoalan yang muncul dari 3 bentuk kelembagaan ini: Pertama, komite-komite perbatasan itu diketuai oleh instansi yang berbeda, sehingga sulit untuk menghasilkan kebijakan yang terintegrasi dan komprehensif. Kedua, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah juga belum memiliki mekanisme yang jelas. Ketiga, persoalan kontrol dan monitoring. Keempat, lemahnya penegakan hukum, hubungan koordinatif yang lemah di antara berbagai lembaga dan tidak terpilah berdasarkan bidang kepabeanan, imigrasi, karantina dan kepolisian, sehingga menyulitkan proses penegakan hukum. Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
41
Selain itu pula, BNPP merupakan lembaga yang memiliki tanggung jawab utama untuk mengelola perbatasan dengan leading sector Kementerian Dalam Negeri. Sejumlah instansi pemerintah lainnya yang turut bersinergi antara lain Kementerian Luar Negeri, Pertahanan, Hukum, HAM, Keuangan, Pekerjaan Umum, Perhubungan, dan Kehutanan. Bahkan BNPP juga juga beranggotakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Menteri Koordinator Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua BNPP. 2.4.3. Faktor-Faktor Penting Koordinasi Salah satu bentuk struktur organisasi adalah aktivitas koordinasi, di mana masing-masing terintegrasi dan tersinkronisasi satu sama lain. Dalam sebuah organisasi,
derajat
koordinasi
ditentukan
oleh
sejauh
mana
interaksi
ketergantungan antara orang dan kelompok dalam organisasi tersebut, yakni seberapa besar mereka harus bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Ada 3 (tiga) level ketergantungan yang terjadi pada kebanyakan organisasi: a. Pooled interdependence. Setiap orang atau kelompok melakukan aktivitas yang terpisah satu sama lain; b. Sequential interdependence. Setiap pekerjaan mengalir dalam satu arah dari orang/kelompok yang satu menuju orang/kelompok yang lain; c. Reciprocal interdependence. Tipe terakhir ini membutuhkan derajat koordinasi yang tinggi, di mana setiap aliran pekerjaan, sumber daya, dan informasi berlangsung dua arah, yaitu setiap orang/kelompok bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan aktivitasnya. Farland (1967) dalam Kaloh (1986) mengemukakan empat faktor penting dalam koordinasi, sehingga menentukan pencapaian koordinasi yang efektif: 1. Clarifying authority and responsibility (kewenangan dan tanggung jawab yang jelas);
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
42
2. Careful checking and observation (pengawasan dan pengamatan yang seksama); 3. Facilitating effective communication (fasilitasi komunikasi yang efektif); 4. Utilizing leadership skills (menggunakan kemampuan memimpin). Selanjutnya Barney dan Griffin (1992) mengemukakan beberapa metode yang biasa digunakan untuk mencapai koordinasi yang baik: 1. Using the hierarchy (menggunakan hirarki); 2. Establishing rules and procedures (membuat aturan dan prosedur); 3. Assigning liaison rules (menetapkan agen penghubung untuk komunikasi); 4. Forming task forces (membentuk satuan tugas); 5. Integrating departments (mengintegrasikan bagian-bagian). Selanjutnya, Husaini Usman (2010) menyatakan bahwa ada 10 (sepuluh) karakteristik koordinasi yang efektif, yaitu: a. Tujuan berkoordinasi tercapai dengan memuaskan semua pihak terkait; b. Koordinasi sangat proaktif dan stakeholder kooperatif; c. Tidak ada ego sektoral; d. Tidak terjadi tumpang tindih tugas; e. Komitmen semua pihak tinggi; f. Info keputusan mengalir cepat ke semua pihak yang ada dalam sistem jaringan koordinasi; g. Tidak merugikan pihak-pihak yang berkoordinasi; h. Pelaksanaan tepat waktu; i. Semua masalah terpecahkan; j. Tersedianya laporan tertulis yang lengkap dan rinci oleh masing-masing stakeholder.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
43
Teori-teori yang telah penulis paparkan di atas merupakan intisari dari konsep koordinasi. Masing-masing teori memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Barney dan Griffin misalnya, memberikan metode pencapaian koordinasi yang efektif dengan menggunakan hirarki dan satuan tugas, padahal di masyarakat ataupun di tingkat desa tidak semua harus diselesaikan dengan hirarki yang kaku dan normatif, apalagi sampai dibentuk satuan tugas. Begitu pula dengan agen penghubung yang khusus menjembatani proses komunikasi, mengingat seringkali proses interaksi dan komunikasi terjadi secara spontan, informal, dan cenderung bersifat kekeluargaan. Hal-hal seperti inilah yang patut mendapatkan perhatian, di mana tidak semua langkah ataupun tindakan dapat dilaksanakan dengan baik. Namun satu hal yang menjadi keunggulan konsep koordinasi menurut Barney dan Griffin adalah membuat aturan dan prosedur yang jelas, karena bagaimanapun proses komunikasi ataupun tugas dijalankan, tentu harus mempunyai arahan dan pedoman yang jelas, sehingga dapat berjalan sesuai dengan rencana dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal yang serupa pun dikemukakan oleh Husaini Usman dengan 10 karakteristik koordinasi yang efektif. Dari sepuluh (10) karakteristik yang ada, penulis melihat ada dua hal yang cukup sentral, yakni tidak adanya ego sektoral dan tidak terjadinya tumpang tindih tugas. Penulis melihat bahwa dua hal ini memiliki bobot yang lebih dibandingkan dengan yang lain, terlebih pengelolaan perbatasan melibatkan banyak stakeholder yang saling berhubungan satu sama lain. Maka dari itu, dua hal ini menjadi kunci utama dalam proses pengelolaan perbatasan yang terintegrasi. Pada akhirnya, dari rangkaian teori yang telah penulis paparkan di atas, maka untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi koordinasi pengelolaan batas wilayah negara di Indonesia, maka penulis akan menggunakan 4 (empat) faktor yang dikemukakan oleh Farland untuk mencapai koordinasi yang efektif. Penulis berpikir bahwa konsep koordinasi yang dikemukakan oleh Farland merupakan sebuah kesatuan konsep besar yang di dalamnya tercantum ragam langkah dan karakteristik dari koordinasi yang efektif. Oleh karena itu, dengan mengambil konsep koordinasi Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
44
yang dikemukakan oleh Farland, maka sekumpulan teori yang telah penulis sebutkan sebelumnya dapat terangkum dengan baik. Adapun keempat hal pokok tersebut adalah: 1) Kewenangan dan tanggung jawab; Di dalam setiap organisasi apabila kita pandang dari situasi vertikal, maka kita akan melihat beberapa tingkat organisasi di mana masing-masing tingkat tersebut mempunyai kewenangan sendiri-sendiri. Dipandang dari situasi horisontal maka nampak beberapa kelompok, fungsi, divisi, atau teritorial. Masalah koordinasi dapat timbul dari kedua situasi tersebut, namun biasanya pimpinan lebih banyak perhatiannya kepada koordinasi terhadap unit-unit horisontal. Kewenangan dan tanggung jawab dari setiap unit / divisi atau fungsi baik secara horisontal maupun vertikal harus jelas, tanpa hal tersebut maka kemungkinan adanya overlapping atau kekembaran tugas dapt terjadi. Hal ini pada gilirannya akan mempersulit pelaksanaan koordinasi, sekaligus menimbulkan inefektivitas. 2) Komunikasi; Beberapa sarana yang dapat digunakan dalam menunjang fasilitas komunikasi yang efektif adalah: a. Committees Menurut Dale (1993) ada empat keuntungan dalam menggunakan Committees: a. Application of consultative supervision, which contributes to uniformity of directions of the organization; b. Coordination of long and short term programs; c. Flexibility in handling emergency situations; d. Broader experience for executives and interchangeability of management personnel. b. Group decisions; Dengan adanya kelompok untuk membahas dan menetapkan keputusan maka terdapat kesempatan yang luas dan terbuka untuk melakukan Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
45
diskusi dan saling tukar menukar ide, masalah, usul, serta dapat memecahkan secara bersama-sama masalah yang dihadapi. c. Communication channels; Sarana komunikasi berupa laporan, data, dan semua bentuk personal contact adalah potensial untuk koordinasi. Untuk memudahkan koordinasi, maka setiap individu dalam organisasi harus memahami secara jelas sifat dan lingkup tugasnya masing-masing dengan tanggung jawabnya yang melekat. d. Staf meetings. Rapat staf yang periodik akan sangat membantu pelaksanaan koordinasi. Dimock mengemukakan empat fungsi yang sangat bermanfaat dalam rapat staf. a. To give everyone present a sense of the unity and interconnectedness; b. To learn from the chief executive about new problems and developments which affect their work; c. To provide an opportunity for subordinates to bring up questions which the executive should know about and which may effect the operations of parallel divisions of the organizations; d. To provide a forum in which friction points or areas of in adequate coordination are brought in to the open. 3) Kontrol; Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memastikan apakah sesuatu aktivitas telah sesuai dengan apa yang seharusnya dicapai. Setiap rencana dapat menjadi usang (out dated) sehingga memerlukan perbaikan. Untuk mengetahui apakah suatu rencana sudah usang maka diperlukan pengawasan. (Gary Deasler, 1977, 333-334). Kontrol sebagai intinya adalah
”Governing
Influence”.
Governing
mencakup:
pengarahan
(directing); pengendalian (restraining); pelopor (initiating) dan memonitor (monitoring) semua aktivitas dan tingkah laku. Influence (mempengaruhi) Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
46
mencakup tindakan serta tingkah laku dalam bentuk kewenangan (authority), kekuasaan (power), tanggung jawab (responsibility), dan dapat dimintakan tanggung jawab (accountability). (Andrew F. Sikula, 1973, 111). Thomas A. Petit dalam bukunya Fundamental of Management Coordination mengemukakan bahwa pengawasan mempunyai kaitan yang sangat erat dengan komunikasi, sebab pengawasan adalah atribut dari sistem yang cenderung untuk memperkuat struktur. Sedangkan untuk melaksanakan hal tersebut maka sistem dan bagian-bagiannya harus dapat berkomunikasi dengan bahasa yang dapat saling dimengerti. (Thomas A. Petit, 1975, 217). 4) Kepemimpinan. Kepemimpinan adalah sebagai pengaruh antar pribadi, yang dilakukan pada suatu situasi dan dilakukan melalui proses komunikasi menuju pencapaian tujuan tertentu. Kepemimpinan selalu mencakup usaha dari pemimpin (influence) yang mempengaruhi tingkah laku pengikut (yang dipengaruhi) dalam suatu situasi tertentu. (Thomas A. Petit, 1975, 200). Kemampuan memimpin sangat penting di dalam pelaksanaan koordinasi yang efektif untuk pencapaian tujuan organisasi yang baik. Berbagai teknik kepemimpinan memungkinkan si pemimpin dapat mengarahkan bawahannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Williams (1980, 232). ”A final major contributor to lack of coordination is ineffective leadership; leadership that is unperceiving, unimaginative, or gutless”. Jadi menurut Williams, penyebab utama dari lemahnya koordinasi adalah karena tidak efektifnya kepemimpinan. Hal ini ditegaskan pula oleh Farland (1967, 384). ”Coordination and leadership are intimately bound together each having effect upon each other. Coordination can not be achieved without effective leadership. Effective leadership assures that coordinated efforts are achieved”
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
47
2.5.
Model Analisis
PENGELOLAAN PERBATASAN
KEWENANGAN
PENGUATAN KELEMBAGAAN
KOMUNIKASI
FASILITAS KOMUNIKASI EFEKTIF
KONTROL
PENGAWASAN & PENGAMATAN
KEPEMIMPINAN
KEMAMPUAN MEMIMPIN
KOORDINASI (BNPP)
Dari model analisis yang telah penulis gambarkan di atas, dapat terlihat bahwa pengelolaan perbatasan dilakukan oleh BNPP sebagai sebuah institusi yang bertugas untuk melaksanakan fungsi koordinasi. Dalam konteks penelitian ini, fungsi koordinasi yang dilakukan oleh BNPP difokuskan kepada pilar Kementerian/Lembaga (K/L) di mana di dalamnya terdiri dari unsur Kementerian Dalam Negeri (KDN) dan Pemerintah Daerah. Adapun fungsi koordinasi yang dilakukan oleh BNPP ditopang dengan empat (4) faktor bagi terciptanya proses koordinasi yang baik dan efektif. Keempat faktor tersebut adalah kewenangan, komunikasi, kontrol, dan kepemimpinan. Dari keempat faktor tersebut, kemudian dijabarkan kembali menjadi indikator-indikator yang berguna untuk memudahkan penulis memberikan gambaran yang utuh perihal koordinasi yang terjadi, yaitu penguatan kelembagaan, fasilitas komunikasi yang efektif, pengamatan dan pengawasan, serta kemampuan memimpin.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
48
2.6.
Operasionalisasi Konsep Secara lebih jelas, operasionalisasi konsep dalam penelitian ini
tergambarkan dalam tabel berikut ini: Tabel 2.2. Operasionalisasi Konsep Konsep Koordinasi Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Indonesia
Variabel Kewenangan dan tanggung jawab
Komunikasi
Kontrol
Kepemimpinan
Indikator Penguatan Kelembagaan
a. b. c.
d. Fasilitas a. Komunikasi b. yang Efektif c. d. Pengamatan dan a. Pengawasan b. c. d. Kemampuan d. Memimpin e. f.
Sub Indikator Pembakuan Prosedur dan Metode Tidak ada ego sektoral Tidak terjadi tumpang tindih tugas Aturan normatif Group Discussion Sarana Komunikasi Rapat Staf Info keputusan Laporan dan data kegiatan dari tiap instansi Evaluasi SOP Konsitensi pelaksanaan program Evaluasi anggaran Kemampuan teknis dan profesional Kemampuan menggerakkan dan mengarahkan bawahan Kreativitas pemimpin
Sumber: Diolah dari kerangka teori
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan positivism. Neuman (2003) menyebutkan bahwa positivisme jika dilihat berdasarkan ilmu sosial adalah metode yang diorganisasikan untuk mengkombinasikan logika deduksi dengan observasi empiris yang tepat dari perilaku individu untuk menemukan dan mengkonfirmasikan seperangkat hukum sebab akibat yang dapat digunakan untuk memprediksi pola-pola umum dari aktivitas manusia. 3.2 Jenis/Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Sanapiah Faisal (2005) menyatakan bahwa penelitian deskriptif atau yang biasa disebut juga penelitan taksonomik, dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antarvariabel yang ada; tidak dimaksudkan untuk menarik generasi yang menjelaskan variabel-variabel anteseden yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Dalam pengolahan dan analisis data, lazimnya menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif (statistic descriptive). 3.3 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan melalui: a. Survey Survey dilakukan melalui penyebaran kuesioner guna memperoleh data primer yang digunakan untuk analisis data. Kuesioner ditujukan kepada pegawai Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), khususnya Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara; pegawai Direktorat 49
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
50
Jenderal Pemerintahan Umum, khususnya Bidang Administrasi Wilayah Perbatasan dan pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Nunukan, Pemerintah Kabupaten Belu, dan Pemerintah Kota Batam. Dalam melakukan survey, salah satu keterbatasan yang penulis hadapi adalah tidak bisa hadirnya penulis secara fisik untuk memandu pengisian kuesioner, khususnya pada daerah perbatasan di Kabupaten Belu dan Kota Batam. Untuk mengatasi hal ini, penulis memanfaatkan jaringan hubungan dengan pemerintah daerah setempat, lebih tepatnya kepada jaringan alumni STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) yang notabene tersebar di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Terlebih dahulu penulis melakukan briefing melalui telepon dan surat elektronik untuk memberikan rincian atas data apa saja yang penulis butuhkan, dan hasil kuesioner tersebut dikirimkan kembali kepada penulis untuk dianalisis lebih lanjut. Pada awalnya penulis hanya mendapatkan 50 kuesioner dari responden yang masih terbatas pada unsur BNPP, KDN, dan Pemda Kabupaten Nunukan. Setelah melalui proses bimbingan, penulis disarankan untuk menambah jumlah responden menjadi 100. Di sinilah kemudian penulis menggunakan jaringan alumni sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas. Artinya, jumlah 100 responden merupakan bagian dari rencana yang telah penulis konsultasikan sebelumnya dengan pembimbing. b. Wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dari informan. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada panduan wawancara untuk mencegah terjadinya penyimpangan terhadap tujuan penelitian. Data yang diperoleh dari hasil wawancara ini merupakan data primer guna mendukung analisis penelitian ini. Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
51
Informan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah Camat Sebatik Barat Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur dan Kasubbag Kerjasama Perbatasan pada Bagian Penataan Perbatasan di Sekretariat Daerah Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur. c. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi adalah data yang diperoleh melalui beberapa literatur dan dokumen yang terkait langsung dengan masalah penelitian. Diperoleh melalui studi pustaka, tinjauan literatur mengenai konsep koordinasi dan pengelolaan perbatasan, sehingga nantinya diperoleh gambaran mengenai bagaimana koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dan faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dalam pengelolaan batas wilayah negara. Beberapa dokumentasi yang penulis dapatkan terutama dari BNPP berupa Grand Design pengelolaan perbatasan, Rencana Aksi, dan bukubuku terkait pengelolaan perbatasan. 3.4 Populasi dan Sampel a. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah institusi Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan seluruh lembaga pemerintah yang terkait secara sektoral dan teknis dalam pengelolaan perbatasan. b. Sampel Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu: 1. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), yaitu aparatur Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara sebanyak 10 orang; 2. Kementerian Dalam Negeri, yaitu aparatur Bidang Administrasi Wilayah Perbatasan sebanyak 25 orang; 3. Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur, yaitu Bagian Penataan Perbatasan dan Kecamatan Sebatik Barat sebanyak 15 orang; Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
52
4. Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Belu dan Kecamatan Tasifeto Timur sebanyak 25 orang; 5. Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau, Badan Pengelola Perbatasan dan Kecamatan Belakang Padang sebanyak 25 orang. 3.5 Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui proses sebagai berikut: a. Pengolahan Data Data mentah dikumpulkan melalui survey dengan kuesioner, terlebih dahulu diediting dengan meneliti dan mengecek setiap item pertanyaan dalam kuesioner yang telah diisi dan dikembalikan oleh responden. Apabila ada data atau item pertanyaan yang belum terisi, responden dapat kembali dihubungi untuk melengkapi kuesioner tersebut. Kemudian data tersebut dimasukkan dalam tabulasi data. b. Analisis data dengan menggunakan bantuan Program Microsoft Excel 2007. Dari data yang telah masuk, penulis kemudian membuat proses pemilahan data mana yang akan dimasukkan ke dalam pembahasan, dan kemudian penulis menyarikannya dengan menggunakan diagram pie sehingga dapat lebih mudah dimengerti. c. Penafsiran atau interpretasi data yang dianalisis secara deskriptif. Penulis kemudian mendeskripksikan hasil penelitian yang telah diolah, sehingga memberikan gambaran yang jelas mengenai pengelolaan perbatasan dilihat dari keempat faktor koordinasi yang ada.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
BAB 4 KEBIJAKAN KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DI INDONESIA Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025,
pembangunan
perbatasan
bertujuan
untuk
“Mempercepat
pembangunan kawasan perbatasan di berbagai bidang sebagai beranda depan negara dan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga secara terintegrasi dan berwawasan lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan nasional” (RPJP 2005-2025). Untuk mewujudkan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara yang terintegrasi dengan kawasan pusat pertumbuhan, maka dibutuhkan kebijakan yang jelas, perencanaan yang sistematikdan orientasi jangka panjang, pelaksanaan secara terpadu dan pengendalian yang efektif. Berbagai
upaya
telah
dilakukan
pemerintah
untuk
mendorong
pengembangan kawasan perbatasan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, baik dari sisi regulasi maupun kegiatan pembangunan. Dari sisi regulasi, pada tahun 2005 pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 78 tahun 2005 mengenai pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang mengamanatkan pengelolaan pulaupulau kecil terluar dalam aspek keamanan, kesejahteraan, dan lingkungan. Pada tahun 2008 telah diterbitkan UU Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara, sebagai payung kebijakan bagi pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan negara secara terpadu, yang salah satunya mengamanatkan pembentukan badan pengelola perbatasan di tingkat nasional dan daerah. Dalam RPJMN 2010-2014, pada 12 provinsi di kawasan perbatasan, terdapat 38 kabupaten/kota di kawasan perbatasan yang
diprioritaskan
pengembangannya, dan didalamnya akan dikembangkan 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai kota utama kawasan perbatasan yang perlu dipercepat pembangunannya selama 10 tahun ke depan berdasarkan PP Nomor 2 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Pada 53
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
54
periode 2010-2014, akan diupayakan percepatan pembangunan 20 PKSN sebagai pusat pelayanan kawasan perbatasan secara bertahap. Dari 38 kabupaten/kota perbatasan yang menjadi prioritas, terdapat 27 kabupaten yang termasuk daerah tertinggal. Untuk mencegah timbulnya konflik pemanfaatan dalam pelaksanaan rencana tata ruang antar wilayah terutama pada kawasan perbatasan, baik perbatasan antar negara, perbatasan antar propinsi, maupun antar kabupaten/kota, maka pedoman penyerasian rencana tata ruang wilayah propinsi, kabupaten, dan kota perlu selalu dikaji ulang baik peran maupun fungsinya. Khusus perbatasan antar negara, perlu dilakukan kajian yang mendalam agar batas negara kita dengan negara tetangga dapat terpelihara dengan baik termasuk kelestarian sumber daya alamnya. Upaya merumuskan kebijakan nasional penyusunan kawasan perbatasan antar negara perlu mendapat prioritas dalam rangka menjadikan kawasan ini menjadi “beranda depan” negara. Selanjutnya, melalui Perpres Nomor 12 tahun 2010, telah dibentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang dikepalai oleh Menteri Dalam Negeri. Badan tersebut mempunyai tugas menetapkan kebijakan program pembangunan kawasan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengkoordinasikan pelaksanaan, melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Adapun kebijakan nasional pengelolaan perbatasan di antaranya adalah: 1. Penegasan dan penataan batas wilayah negara dalam rangka menjaga kedaulatan NKRI; 2. Pengembangan kawasan perbatasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pintu gerbang internasional bagi kawasan Asia Pasifik; 3. Percepatan pembangunan kawasan perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan; 4. Pengakuan terhadap hak adat/ulayat masyarakat; 5. Peningkatan kapasitas pertahanan dan keamanan beserta sarana prasarananya;
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
55
6. Peningkatan perlindungan pemanfaatan sumber daya alam dan kawasan konservasi; 7. Peningkatan fungsi kelembagaan dan koordinasi antar instansi terkait dalam pengelolaan kawasan perbatasan; 8. Peningkatan kerjasama bilateral, sub-regional, maupun regional dalam berbagai bidang. 4.1
Desain Pengelolaan Perbatasan Desain pengelolaan perbatasan merupakan sebuah gambaran bagaimana
manajemen penanganan batas wilayah negara dan pembangunan kawasan perbatasan yang akan dilakukan dalam konteks empat tugas yang telah diamanatkan kepada BNPP sesuai dengan UU No. 43 tahun 2008. Dalam desain ini, ada 4 (empat) komponen desain yang merupakan unsur-unsur dasar yang diperlukan untuk menjelaskan bagaimana mewujudkan visi dan misi pengelolaan perbatasan, yaitu: Kebijakan Anggaran (komponen desain 1), Rencana Kebutuhan Anggaran (komponen desain 2), Koordinasi Pelaksanaan (komponen desain 3), serta Evaluasi dan Pengawasan (komponen desain 4). Gambar 4.1 ini menjelaskan desain manajemen penanganan perbatasan sebagaimana telah diuraikan.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
56
Gambar 4.1 Desain Manajemen Berbasis Wilayah Batas Wilayah Negara
DESAIN MANAJEMEN Kebijakan program Pengelolaan perbatasan: problem dan area focus
Evaluasi dan pengawasan
Sumber: BNPP, 2011
Kebutuhan anggaran
WKP LOKP RI
Koordinasi pelaksanaan
Kawasan Perbatasan
4.1.1 Komponen Desain 1: Kebijakan Program Konsolidasi dan koordinasi penetapan kebijakan program dilakukan melalui pola penyusunan 3 (tiga) dokumen pengelolaan perbatasan, yaitu: Pertama, Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2025. Kedua, Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Ketiga, Rencana Aksi Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Pengelolaan perbatasan dalam jangka panjang, difokuskan pada 5 (lima) aspek dan agenda prioritas, yang masing-masing dijabarkan dalam beberapa program dan kegiatan (K/L dan daerah) yang relevan dalam mendukung agenda prioritas tersebut. Adapun kelima aspek tersebut adalah batas wilayah negara, pertahanan dan keamanan, kelembagaan, ekonomi kawasan, dan sosial dasar. Sesuai dengan PP No. 2 tahun 2008 tentang RTRWN, kawasan perbatasan secara keseluruhan mencakup 10 cluster/kawasan, terdiri dari 3 kawasan 4 perbatasan darat, dan 7 kawasan perbatasan laut. Cakupan Wilayah Administrasi Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
57
Propinsi (CWAP) yang termasuk ke dalam kawasan perbatasan secara keseluruhan meliputi 21 provinsi. Wilayah Konsentrasi Pengembangan (WKP) merupakan wilayah kabupaten/kota yang termasuk ke dalam CWAP. Secara keseluruhan terdapat 64 WKP yang terdiri dari 14 WKP di Kawasan Perbatasan Darat, 48 WKP di Kawasan Perbatasan Laut, dan 2 WKP merupakan kawasan perbatasan darat dan juga sebagai kawasan perbatasan laut. Penajaman atas sasaran wilayah konsentrasi, dilakukan melalui penetapan lokasi prioritas di setiap WKP. Lokasi Prioritas (Lokspri) merupakan kecamatankecamatan di kawasan perbatasan darat dan laut di dalam WKP yang dinilai memenuhi salah satu atau lebih dari kriteria sebagai berikut: a. Kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah darat; Sesuai dengan UU Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara, kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh BNPP pada tahun 2010, terdapat 197 kecamatan yang berada pada kawasan perbatasan negara. b. Kecamatan yang difungsikan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN); Konsep pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di kawasan perbatasan mengacu pada komitmen untuk menjadikan perbatasan sebagai pusat pengembangan ekonomi regional dan nasional. Dengan rencana ini, maka pusat-pusat pengembangan kegiatan strategis nasional akan berada di kawasan gerbang perbatasan atau pada jaringan jalan utama menuju gerbang perbatasan. Pengembangan PKSN sebagai pintu gerbang dengan negara tetangga di perbatasan membutuhkan berbagai upaya lain yang strategis dan terpadu di pusat-pusat kawasan terutama percepatan pembangunan sarana dan prasarana dasar maupun pendukung pengembangan ekonomi maupun pelayanan publik. c. Kecamatan lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar; Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
58
Untuk kawasan perbatasan laut, berbeda konsepnya dengan perbatasan darat yang menempatkan kecamatan pada sisi dalam sepanjang perbatasan wilayah negara. Untuk kawasan perbatasan laut, diperhitungkan dengan memposisikan kecamatan yang menjadi lokasi pulau-pulau kecil terluar. Ada 12 pulau kecil terluar yang memerlukan perhatian khusus dan menjadi pertimbangan perhitungan ini, yaitu: Pulau Rondo, Pulau Berhala, Pulau Sekatung, Pulau Marore, Pulau Miangas, Pulau Marampit, Pulau Bras, Pulau Fanildo, Pulau Fani, Pulau Batek, Pulau Dana, dan Pulau Nipah. d. Kecamatan yang termasuk ke dalam exit-entry point (Pos Lintas Batas) berdasarkan Border Crossing Agreement RI dengan negara tetangga. Pos Lintas Batas (PLB) adalah area yang berfungsi sebagai gerbang keluar masuknya pelintas batas wilayah negara (manusia atau barang) yang mínimum dilengkapi fasilitas pelayanan terpadu Customs, Immigration, Quarantine, dan Security (CIQS). Gambaran ideal mengenai PLB, sebagai sebuah area pelayanan terpadu pelintas batas, di dalamnya terdapat pospos pemeriksaan yang merefleksikan unsur CIQS. 4.1.2 Komponen Desain 2: Kebutuhan Anggaran Rencana kebutuhan anggaran pengelolaan perbatasan disusun berdasarkan total kebutuhan seluruh program pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan, yang dirumuskan dalam rencana aksi dan disepakati bersama sesuai mekanisme perencanaan dan pembahasan anggaran tahun yang berlaku. Rencana kebutuhan anggaran yang menjadi kewenangan sektoral (K/L) dirumuskan oleh masing-masing K/L berkoordinasi dengan BNPP. Pembiayaan kegiatan program pengelolaan perbatasan antara APBN atau APBD, ditetapkan dengan mengikuti pola pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah. Rencana kebutuhan anggaran yang bersifat lintas sektor dan pengisi celah-celah yang tidak ditangani sektoral namun sangat dibutuhkan, akan dirumuskan, difasilitasi, dan dikoordinasikan lebih lanjut oleh BNPP. Sebagai gambaran, untuk tahun anggaran 2012 dan seterusnya, penyusunan rencana aksi pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
59
perbatasan disusun oleh BNPP setelah sebelumnya dibahas dalam fórum pertemuan empat pihak (four lateral meeting), yang melibatkan BNPP, Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian/Lembaga pada tingkat pusat yang memiliki fokus dan lokus pelaksanaannya di wilayah perbatasan. Adapun pada tingkat daerah dilakukan dalam fórum pertemuan tiga pihak, yaitu (1) Bappeda, atau SKPD yang bertugas mengelola perencanaan pembangunan daerah, (2) Badan Pengelola Perbatasan di daerah atau SKPD yang bertugas mengelola perbatasan antar negara, (3) Satuan Kerja di daerah yang memiliki program dan kegiatan yang fokus dan lokus kegiatannya di wilayah perbatasan. Kemudian, rencana aksi yang telah disepakati selanjutnya disinergikan dalam forum Musrenbang Nasional. 4.1.3 Komponen Desain 3: Koordinasi Pelaksanaan Koordinasi pelaksanaan pengelolaan perbatasan dilakukan berdasarkan rencana induk dan rencana aksi pada tahun berjalan dan sesuai dengan pedoman koordinasi yang ditetapkan BNPP. Program-progam yang telah disepakati dan dituangkan dalam rencana induk dan rencana aksi, dilaksanakan oleh masing-masing
satuan kerja K/L
penanggung jawab program. Koordinasi pelaksanaan program dalam rangka pengelolaan perbatasan di daerah, dilakukan oleh badan pengelola perbatasan di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) atau satuan kerja yang diberikan tanggung jawab
menjalankan
fungsi
mengelola
perbatasan
negara
tetangga.
Kementrian/LPNK dan pemerintah daerah yang berkontribusi dan mempunyai program-program terkait perbatasan, untuk kementrian / LPNK anggota BNPP bersifat wajib dikoordinasikan dalam BNPP yaitu: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian PPN/Kepala Bappenas, TNI dan Polri, Bakosurtanal, dan Provinsi terkait. Adapun K/LPNK lain yang bukan anggota namun terkait dengan perbatasan, pelaksanaannya dapat dikoordinasikan melalui BNPP sesuai dengan Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
60
kebutuhan, sejauh program-program tersebut telah masuk dalam rencana aksi yang ditetapkan BNPP. Pengelolaan perbatasan untuk mewujudkan sinergitas pengelolaan perbatasan dilaksanakan pada 4 aspek penting, yaitu: aspek kegiatan program, anggaran, lokasi, dan jadwal waktu. Gambar 4.2 Sinergitas Pengelolaan Perbatasan
RPJP 2005-2025 RPJM 2010-2014
RKP
Grand Design 2011-2025
Rencana Aksi 2011
Rencana Induk 2011-2014
Pelaksanaan (dalam) Koordinasi BNPP
Evaluasi pelaksanaan tahunan
4.1.4 Komponen Desain 4: R. Tata Ruang Kawasan Perbatasan
Sumber: BNPP, 2011 4.1.4 Komponen Desain 4: Evaluasi dan Pengawasan Evaluasi dilaksanakan secara terpadu, didukung dengan monitoring yang intensif, untuk mengetahui berbagai perkembangan kemajuan dan permasalahan pelaksanaan kegiatan program Kementerian/Lembaga Non Kementerian terkait sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Induk dan Rencana Aksi, sesuai pedoman evaluasi yang ditetapkan BNPP. Evaluasi dilakukan secara berkala, Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
61
tahunan dan lima tahunan. Di luar evaluasi berkala, dapat dilakukan evaluasi paruh waktu atau evaluasi dengan tujuan khusus sesuai dengan kebutuhan. Sistem pengawasan dirancang untuk melihat komitmen K/L dalam melaksanakan rencana sebagaimana tertuang dalam Rencana Induk maupun Rencana Aksi. Penyimpangan antara rencana dan pelaksanaan, akan dibahas dalam fórum lintas sektoral secara bertingkat, berujung pada Rapat Pleno Anggota BNPP untuk dicarikan pemecahannya. Pelaporan hasil evaluasi dan pengawasan, baik yang dilaksanakan secara berkala maupun secara khusus, disampaikan kepada Presiden RI melalui Kepala BNPP minimal setiap tahun sekali atau sesuai dengan kebutuhan. Untuk mendukung pengembangan monev dan pelaporan, dikembangkan Sistem Informasi Pengelolaan Perbatasan (SIM Perbatasan) untuk menjamin ketersediaan data dasar yang lengkap dan akses sistem teknologi yang memungkinkan pengolahan data secara akurat, tepat, dan cepat sebagai basis pengambilan keputusan pengelolaan perbatasan. 4.2
Koordinasi Lintas Kementerian dan Pemerintah Daerah Pengeloaan perbatasan saat ini masih dilaksanakan secara parsial. BNPP
diharapkan mampu mensinergikan dalam bingkai desain besar dan rencana induk pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan negara. Dalam mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan, terdapat empat pilar utama, yaitu kementerian/lembaga, dunia usaha dan masyarakat, serta perguruan tinggi, di mana kesemuanya harus bersinergi di bawah peran strategis BNPP. Maka dari itu, BNPP perlu terus mengupayakan mobilisasi dukungan serta konsolidasi komitmen dan gerakan kolektif seluruh unsur pemangku kepentingan. BNPP memiliki tanggung jawab utama mengelola perbatasan dengan leading sector Kementerian Dalam Negeri bersama-sama dengan sejumlah instansi pemerintah lainnya.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
62
Gambar 4.3 Empat Pilar Utama Pengelolaan Perbatasan
K/L
PT
BNPP
Masyarakat
Dunia Usaha
Sumber: BNPP, 2011 Dalam konteks penelitian ini, penulis hanya akan melihat koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dengan Kementerian/Lembaga (K/L) yaitu Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah saja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya yang terjadi di lapangan, koordinasi juga melibatkan tiga unsur lainnya yang sama pentingnya, yaitu unsur masyarakat, perguruan tinggi, dan dunia usaha. Oleh karena itu, penelitian ini hanyalah awal dari sebuah proses panjang memahami dan memberikan masukan bagi terwujudnya proses pengelolaan perbatasan yang lebih baik dan terintegrasi. Sebelum adanya BNPP, koordinasi masih belum berjalan dengan baik. Masalah koordinasi ini menjadi sangat penting, apalagi menyangkut implementasi regulasi strategis, di mana ada 35 kementerian atau institusi setingkat kementerian yang memiliki program pengelolaan perbatasan. Alhasil, semua berjalan sendirisendiri, sehingga koordinasi antar institusi pemerintah menjadi terhambat. Oleh karena itu, BNPP perlu membangun komunikasi secara intensif dengan berbagai
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
63
kementerian dan lembaga untuk mempercepat proses koordinasi yang lebih efektif dan efisien. Di usianya yang baru satu tahun, BNPP dihadapkan pada tantangan yang begitu besar, utamanya dalam mengintegrasikan berbagai tugas pokok dari kementerian dan lembaga untuk melakukan percepatan dan nilai tambah untuk pembangunan wilayah perbatasan. Maka dari itu, kementerian atau instansi terkait tidak lagi berorientasi sektoral dalam mengelola kawasan perbatasan demi kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Terkait pula dengan hubungan koordinasi lintas kementerian, BNPP memiliki
tugas
untuk
mengidentifikasi
tugas-tugas
dari
masing-masing
kementerian dan lembaga yang masih tumpang tindih, sehingga nantinya dapat dikoordinasikan dengan baik. Selain koordinasi dengan lintas kementerian dan lembaga, BNPP juga perlu melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah. BNPP harus dapat memfungsikan pemerintah daerah untuk dapat memandu program-program pembangunan kawasan perbatasan yang telah disusun oleh pemerintah pusat. Gubernur harus dapat difungsikan sebagai wakil pemerintah pusat untuk memandu apa yang telah diprogramkan oleh Pemerintah. Fungsikan pula Bupati/Walikota dalam mengoptimalkan peran aparat kecamatan. Hal ini menjadi penting, mengingat wilayah-wilayah perbatasan itu ada di titik-titik kecamatan. Dalam PP No. 19 tahun 2008 tentang Kecamatan, fungsi kecamatan adalah mengaktifkan kegiatan di region (wilayah) kecamatan, dengan dua otoritasnya, yaitu kewenangannya yang bersifat delegatif dan atributif. Artinya, gubernur memandu
bupati/walikota,
kemudian
bupati/walikota
menyerahkan
kewenangannya kepada camat di wilayah perbatasan untuk mempercepat pembangunan di wilayahnya. Hal inilah yang menyebabkan betapa sulitnya untuk melakukan koordinasi, dari pusat, provinsi, kabupaten dan kota, hingga ke satuan pemerintahan terkecil yang ada di kecamatan dan desa. Gubernur dan bupati/walikota dalam melaksanakan program, kegiatan dan anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan mempunyai kewajiban: Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
64
a. melakukan sinkronisasi pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan
antar
negara
dan
menjamin
terlaksananya
kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara efektif dan efisien; b. menetapkan SKPD dan menyiapkan perangkat daerah untuk melaksanakan program dan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dengan mempertimbangkan persyaratan kemampuan dan kompetensi personil; dan c. menjamin program, kegiatan dan anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria. Selain itu pula, Gubernur dan bupati/walikota melakukan koordinasi secara administratif dan teknis pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dengan Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan. 4.3
Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah Sesuai dengan Undangan-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah
Negara, Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah Negara dan kawasan perbatasan. Dalam pengelolaan wilayah Negara dan kawasan perbatasan, Pemerintah berwenang: a. Menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah Negara dan kawasan perbatasan; b. Mengadakan perundingan dengan Negara lain mengenai penetapan batas wilayah Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional; c. Membangun atau membuat tanda batas Wilayah Negara; d. Melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan serta unsur geografis lainnya; e. Memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi wilayah udara territorial pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
65
f. Memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk melintasi laut territorial dan perairan kepulauan pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; g. Melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan perundangundangan di bidang bea cukai, fiscal, imigrasi, atau saniter di dalam Wilayah Negara atau laut territorial; h. Menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh penerbangan internasional untuk pertahanan dan keamanan; i. Membuat dan memperbaharui peta wilayah Negara dan menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat sekurang-kurangnya setiap 5 (lima) tahun sekali; dan j. Menjaga keutuhan, kedaulatan, dan kemanan Wilayah Negara serta Kawasan Perbatasan. Dalam pengelolaan wilayah Negara dan kawasan perbatasan, pemerintah provinsi berwenang melaksanakan kebijakan pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan, koordinasi pembangunan di kawasan perbatasan, kerjasama pembangunan kawasan perbatasan antar pemerintah daerah dan/atau dengan pihak ketiga; serta melakukan pengawasan pelaksanaan pembangunan kawasan perbatasan yang dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan pemerintah kabupaten/kota berwenang melaksanakan kebijakan pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan, menjaga dan memelihara tanda batas, melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan di kawasan perbatasan di wilayahnya; dan melakukan kerjasama pembangunan kawasan perbatasan.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
66
4.4
Strategi Dasar Pengelolaan Perbatasan Untuk mewujudkan perbatasan negara sebagai wilayah yang aman, tertib,
dan maju, maka setidaknya dibutuhkan 7 strategi dasar dalam pengelolaan perbatasan, yaitu: a. Reorientasi arah kebijakan pengelolaan perbatasan; Mengubah arah kebijakan dari kecendrungan orientasi inward looking, ke orientasi outward looking sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. b. Reposisi peran strategis kawasan perbatasan; Mengubah posisi kawasan perbatasan sebagai “beranda belakang negara” menjadi “beranda depan negara” yang memiliki peran strategis pemacu perkembangan ekonomi regional maupun nasional c. Rekonsolidasi daya dukung pengelolaan perbatasan; Menata ulang daya dukung, kekuatan, dan peluang yang ada untuk dikonsolidasikan ulang agar secara efektif dan efisien mampu dioptimalkan untuk kepentingan perbatasan, baik dalam rangka percepatan penyelesaian batas wilayah negara maupun pembangunan perbatasan. d. Reformulasi basis pemikiran dan pengaturan pengelolaan perbatasan; Melakukan review dan merumuskan kembali basis pengelolaan perbatasan, yaitu dasar pemikiran dan pijakan normatifnya, untuk menjawab dinamika perkembangan kebutuhan perbatasan sesuai dengan paradigma baru pengelolaan perbatasan. e. Restrukturisasi kewenangan pengelolaan perbatasan; Memperjelas kewenangan dalam pengelolaan perbatasan atau kegiatankegiatan terkait perbatasan. f. Revitalisasi kemitraan dan kerjasama perbatasan; Memperkuat jejaring kemitraan dan kerjasama percepatan penyelesaian permasalahan batas wilayah negara dan pembangunan kawasan perbatasan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan kaidah-kaidah hubungan antar Negara. Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
67
g. Reformasi tata laksana pengelolaan perbatasan. Menata ulang dan menerapkan tata laksana pengelolaan perbatasan secara konsisten sesuai prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), didukung dengan kemajuan teknologi informasi terkini, yang terus berkembang dalam skala global dan nasional.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
BAB 5 FAKTOR-FAKTOR KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DI INDONESIA Perbatasan Indonesia dengan masing-masing negara tetangga (Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, India, Republik Timor Leste, Filipina, Papua Nugini, dan Republik Palau), baik kawasan perbatasan laut maupun kawasan perbatasan darat mempunyai permasalahan sendiri-sendiri karena masing-masing kawasan memiliki sifat dan karakteristik tersendiri. Permasalahan-permasalahan yang terjadi di kawasan perbatasan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berbeda seperti faktor geografis, ketersediaan sumber daya alam, sumber daya manusia, kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik serta tingkat kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, adanya paradigma kawasan perbatasan sebagai “halaman belakang” wilayah NKRI di masa lampau telah membawa implikasi terhadap kesenjangan
pembangunan
di
kawasan
perbatasan
laut
maupun
darat
dibandingkan dengan negara tetangga. Kekayaan sumber daya alam belum dimanfaatkan secara adil, optimal, dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan. Kemiskinan, keterisolasian, dan terbatasnya sarana komunikasi dan informasi menyebabkan menyebabkan masyarakat perbatasan lebih mengetahui informasi negara tetangga daripada informasi dan wawasan tentang Indonesia. Minimnya ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi telah menyebabkan kawasan perbatasan sulit untuk berkembang dan bersaing dengan wilayah negara tetangga. Demikian juga dengan kondisi kemiskinan masyarakat perbatasan telah mendorong masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini selain melanggar hukum, potensial menimbulkan kerawanan dan ketertiban yang sangat merugikan negara baik secara ekonomi maupun lingkungan hidup. Di samping masalah-masalah lokasional seperti dikemukakan di atas, dari sisi
kebijakan
perencanaan
pembangunan
perbatasan
juga
menghadapi
permasalahan koordinasi yang sangat luas. Dari 37 Kementerian dan lembaga 68
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
69
(K/L) yang ada, 29 di antaranya terkait menangani kawasan perbatasan yang satu sama lain belum tentu terkoordinasi secara optimal baik dari sisi program, penyusunan anggaran, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasannya. Di samping itu terdapat 75 jabatan setingkat eselon I yang menangani perbatasan secara sektoral. Sementara itu di tingkat daerah interpretasi otonomi daerah masih menyisakan permasalahan yang menyebabkan sinkronisasi perencanaan kawasan perbatasan sulit diaplikasikan karena lembaga sektoral pusat maupun daerah mempunyai visi-misi sendiri-sendiri, sehingga tidak ada keseragaman sudut pandang dalam membangun kawasan perbatasan. Dari kerangka teori dan operasionalisasi konsep yang telah penulis sarikan, penulis melihat bahwa terdapat empat (4) faktor penting yang memberikan kontribusi dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan. Keempat faktor ini saling berkaitan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Berikut ini adalah penjelasan lebih lengkap mengenai keempat faktor tersebut, dan juga merupakan intisari dari wawancara yang telah penulis lakukan. 5.1.
Kewenangan Berdasarkan tabel operasionalisasi konsep yang telah penulis kemukakan
sebelumnya, variabel kewenangan memiliki indikator berupa penguatan kelembagaan. Hal ini dimaksudkan bahwa seberapa pun besarnya kewenangan yang diberikan, namun tanpa adanya penguatan kelembagaan secara mandiri, maka niscaya proses koordinasi pengelolaan perbatasan tidak akan berjalan dengan baik. Kelembagaan sebagai institusi terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) aparatur yang bekerja pada lembaga tersebut, (2) fasilitas ruang, peralatan dan bahan serta fasilitas lainnya untuk mengoperasikan lembaga, (3) dana operasional untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut. Sementara itu pelembagaan adalah memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut kepada masyarakat luas atau pengguna jasa tersebut. Nilai-nilai yang dilembagakan
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
70
adalah peraturan perundang-undangan, peraturan daerah, pedoman perencanaan dan bentuk lainnya yang dihasilkan oleh lembaga tersebut. Berdasarkan perannya, lembaga pemerintah dibedakan atas dua, lembaga koordinasi dan lembaga sektoral. Lembaga koordinasi adalah lembaga yang mempunyai peranan dalam mengkoordinasikan segenap kegiatan pengelolaan perbatasan sesuai dengan fungsi manajemen yang ada seperti perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Tujuan dari koordinasi ini adalah untuk mencegah (1) konflik dan kontradiksi, (2) persaingan yang tidak sehat, (3) pemborosan, (4) kekosongan ruang dan waktu, (5) terjadinya perbedaan pendekatan dan pelaksanaan. Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2010, bahwa saat ini BNPP merupakan institusi yang secara khusus bertugas untuk mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan pada tingkat pusat. Hal yang sama pun terjadi di tingkat daerah dengan dibentuknya Badan Pengelola yang sifat hubungannya koordinatif, sedangkan pelaksana teknis pembangunan tetap dilakukan oleh instansi teknis sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Struktur organisasi BNPP disusun dengan para Menko diposisikan selaku pengarah, adapun Mendagri selaku Kepala BNPP, dan 14 (empat belas) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku anggota, terdiri dari 10 (sepuluh) Menteri, yaitu Menlu, Menhan, Menkumham, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perhubungan, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Kepala Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, dan 4 (empat) pimpinan lembaga pemerintah non kementerian yaitu: Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN, dan Kepala Badan Koordinasi, Survey, dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), serta para gubernur yang di wilayahnya terdapat batas wilayah negara. Lembaga ini adalah lembaga yang begitu besar dengan komposisi keanggotaan mendekati setengah jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Oleh karena itu, menjadi satu hal yang wajar di saat proses koordinasi kewenangan belum terlalu optimal, terlebih dengan jarak waktu yang cukup lama semenjak ditetapkannya UU Nomor 43 tahun 2008 dengan lahirnya Perpres Nomor 12 Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
71
tahun 2010, sehingga menyebabkan belum segera beroperasinya BNPP secara optimal. Hal ini pun turut berimbas langsung dalam proses koordinasi di daerah sebagaimana yang disampaikan oleh Bau Syahril, S.IP, Plt. Kasubbag Kerjasama Perbatasan pada Bagian Penataan Perbatasan Kabupaten Nunukan terkait pihakpihak terkait yang terlibat dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan antara BNPP dan pemerintah daerah. Beliau menyampaikan: “Badan Pengelola Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal di Provinsi Kalimantan Timur, Bagian Penataan Perbatasan Sekretariat Daerah Kabupaten Nunukan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Nunukan, Dinas Pekerjaan Umum, dan beberapa kementerian yang berada di Pusat”. Hal ini menunjukkan, betapa pengelolaan perbatasan membutuhkan sinergi dari berbagai unsur kelembagaan, apapun namanya, karena yang terpenting adalah lembaga-lembaga tersebut mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Sudah saatnya wilayah perbatasan mendapatkan prioritas kebijakan, mengingat wilayah perbatasan masih dipandang sebagai wilayah belakang bukan sebagai beranda depan negara. Ludiro Madu (2010) menegaskan bahwa kelembagaan pengelolaan perbatasan masih sangat terpusat meskipun otonomi daerah sudah diterapkan, dan masih dominannya TNI sebagai lembaga yang mengurusi wilayah perbatasan. Pengelolaan perbatasan hingga saat ini ditangani oleh 3 bentuk kelembagaan: pertama, komite-komite perbatasan yang merupakan forum kerjasama antara Indonesia dengan negara tetangga, antara lain General Border Committee (GBC) RI-Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI-PNG, JBC RI-Timor Leste, dan Border Committee RI-Filipina. Kedua, lembagalembaga pemerintah terkait, secara sektoral dan teknis, dan ketiga, unit atau badan khusus di daerah yang menangani pengelolaan kawasan perbatasan yang bekerjasama dengan negara tetangga, seperti Sosek Malindo di Kalbar, Kaltim, dan Riau dan Badan Perbatasan dan Kerjasama Daerah (BPKD) di perbatasan Papua. Akan tetapi hadirnya BNPP diharapkan tidak hanya besar namanya saja, namun harus pula didukung dengan SDM-SDM dan teknologi yang mutakhir. Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
72
Sejarah harus menjadi sebuah pelajaran yang berharga, mengingat pada tahun 1971 sudah ada lembaga sejenis yaitu Bakorkamla yang mengatur masalah keamanan. Kemudian, ada Panitia Koordinasi Wilayah Nasional yang kemudian berkembang menjadi Dewan Kelautan dan Dewan Maritim. Artinya, secara kelembagaan seharusnya BNPP mampu mengambil pelajaran atas apa yang telah terjadi di masa lalu. Tugas besar BNPP untuk mensinergikan peran dan tanggung jawab masing-masing institusi agar terintegrasi dalam mengelola perbatasan, sehingga tidak seperti dulu di mana tiap institusi berjalan sendiri-sendiri. Salah satu terobosan yang dilakukan oleh BNPP dalam rentang waktu satu tahun sejak berdiri adalah dengan menyelenggarakan Bintek Manajemen Lintas Batas Negara (Tasbara) tingkat dasar bagi masyarakat yang memang secara langsung berada di wilayah perbatasan (Garda Batas Inti) yang terdiri dari tokoh pimpinan desa, tokoh adat/agama setempat, tokoh pemuda setempat, tokoh perempuan setempat, dan tokoh pendidik setempat. BNPP menargetkan hingga akhir tahun 2014 telah terbentuk 2.000 Garda Batas Indonesia yang tersebar di 111 kecamatan lokasi prioritas lini terdepan, yang nantinya diharapkan siap untuk berperan sebagai penjaga, pemelihara, dan penggerak pembangunan perbatasan negara. Garda
Batas ini
merupakan salah satu
alternatif solusi
untuk
meminimalisir lemahnya faktor koordinasi di daerah. Dengan demikian, Garda Batas yang melibatkan peran serta aktif masyarakat merupakan perpanjangan tangan dari BNPP dalam hal memberikan informasi, masukan, ataupun mensosialisasikan kebijakan-kebijakan yang ada di tingkat pusat, sehingga persoalan kompleksitas birokrasi dan kelembagaan dapat teratasi dengan baik. Beberapa permasalahan yang menjadi temuan penelitian antara lain perihal kualifikasi pegawai, tumpang tindih pelaksanaan tugas, sampai ego sektoral yang masih saja membayangi proses koordinasi pengelolaan perbatasan. Kewenangan tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya kelembagaan yang kuat. Begitu pula dengan kelembagaan, tidak akan menjadi kuat apabila tidak ditopang dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
73
Gambar 5.1 Penguasaan Permasalahan Pengelolaan Batas
9% 30% Menguasai Kurang menguasai Tidak menguasai 61%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Temuan di lapangan justru menguatkan, bahwa masih diperlukan upaya pembenahan khususnya terkait peningkatan kualitas SDM. Gambar 5.1 menunjukkan bahwa hanya 30% dari responden yang menganggap bahwa mereka menguasai segala permasalahan yang terkait dengan pengelolaan perbatasan. Artinya, ada 70% dari responden yang perlu mendapatkan pembinaan serius, sehingga proses pengelolaan perbatasan dapat menjadi lebih berkualitas. Hal yang sama pun terjadi dalam pelaksanaan tugas pada masing-masing unit, di mana masih ditemukan tumpang tindih (over lapping) satu sama lain. Hal ini tentu saja akan semakin mempersulit terjalinnya koordinasi yang baik antara satu institusi dengan institusi yang lain.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
74
Gambar 5.2 Tumpang Tindih Pelaksanaan Tugas
15%
21%
Terjadi Kadang-Kadang Tidak Terjadi
64%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Temuan penelitian menegaskan hal ini, bahwa hanya 15% dari responden yang menyatakan bahwa tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas. Artinya, jika di tingkat aparatur saja masih ditemukan tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas, maka tentu bisa dipastikan tugas-tugas pengelolaan perbatasan tidak akan optimal dalam implementasinya. Lebih lanjut Bau Syahril menyatakan bahwa salah satu cara untuk mengatasi agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas adalah dengan: “… masing-masing SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) atau instansi terkait sesering mungkin melakukan koordinasi tentang tugas pokok dan fungsi masing-masing”. Hal ini tentu saja dapat terlaksana dengan baik, apabila tiap institusi menyadari bahwa mereka adalah bagian dari sebuah sistem dalam pengelolaan perbatasan yang harus berjalan beriringan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
75
Gambar 5.3 Kepentingan Sektoral Dalam Pelaksanaan Tugas
20%
Ya Tidak
80%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Sebanyak 80% dari responden menyatakan bahwa masih terdapat kepentingan sektoral dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini tentu saja memprihatinkan, mengingat proses pengelolaan perbatasan merupakan sebuah aktivitas kolektif yang memerlukan keterpaduan di antara satu institusi dengan institusi yang lainnya. Pengelolaan perbatasan merupakan pekerjaan bersama, di mana masing-masing institusi harus mampu mengesampingkan kepentingannya untuk satu kepentingan utama yakni pengelolaan perbatasan yang komprehensif dan terintegrasi. Oleh karena itu, ego sektoral harus dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga tujuan pengelolaan perbatasan yang dicita-citakan dapat tercapai. Harapan yang positif akan institusi BNPP pun terlontar dari Winarlan, SE, Camat Sebatik Barat yang optimis bahwa ego sektoral dapat diatasi dengan: “… meningkatkan dan menguatkan peran dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sehingga dalam membangun daerah perbatasan dapat tertata dan terencana dengan baik”.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
76
Sebuah harapan yang tentu saja diharapkan oleh semua pihak, mengingat di usianya yang masih seumur jagung, BNPP telah dihadapkan pada persoalan pelik dari bangsa ini yang perlu segera mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak. Alhasil, berbagai permasalahan ini tentu memberikan masukan yang berharga bagi perbaikan ke depan yang lebih baik. Terkait pula dengan penguatan kelembagaan pengelolaan perbatasan, BNPP melalui Rencana Induknya telah menetapkan bahwa kecamatan merupakan basis terdepan dalam pengelolaan perbatasan. Sasaran wilayah pengelolaan kawasan perbatasan diarahkan pada Wilayah-Wilayah Konsentrasi Pengembangan (WKP), yaitu kabupaten/kota yang yang berada di dalam Cakupan Kawasan Perbatasan (CKP), baik yang berada di kawasan darat maupun laut. Penentuan prioritas WKP ditetapkan dengan memperhatikan isu-isu strategis di setiap WKP dalam aspek pertahanan, sosial budaya, dan ekonomi. Fokus lokasi penanganan yang diprioritaskan di setiap WKP disebut dengan Lokasi Prioritas (Lokpri), yakni kecamatan-kecamatan di kawasan perbatasan darat dan laut di dalam WKP, dengan kriteria antara lain kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah darat, kecamatan lokasi pulau-pulau kecil terluar, kecamatan yang difungsikan sebagai pusat kegiatan strategis nasional, dan kecamatan yang menjadi exit-entry point (Pos Lintas Batas) berdasarkan Border Crossing Agreement. Melihat fungsi kecamatan yang begitu vital, maka tentunya logis jika kecamatan
diberikan
porsi
kewenangan
yang
lebih
dengan
disertai
pembiayaannya, sehingga pengelolaan perbatasan di lini terdepan dapat berjalan dengan baik dan terarah. Selain itu pula, program peningkatan peran masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat dalam pengelolaan perbatasan perlu terus dilakukan. Hal ini dipandang perlu mengingat peran dan kontribusi yang cukup signifikan dalam keterkaitannya dengan pengelolaan perbatasan. Kelembagaan masyarakat tentunya memahami permasalahan yang muncul di daerah tersebut. Demikian juga LSM yang secara langsung bekerja dan bermitra dengan masyarakat
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
77
memiliki kemampuan yang cukup untuk memfasilitasi berbagai kegiatan masyarakat dalam memanfaatkan dan membangun perbatasan. Program penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat adat dan kelompok-kelompok swadaya masyarakat sangat penting dalam pemanfaatan pengelolaan perbatasan mengingat wilayah tersebut dihuni oleh berbagai macam suku, adat, dan budaya yang berbeda-beda. Terkait persoalan kewenangan dan penguatan kelembagaan yang saling berkaitan ini, maka beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama adalah: a. Pendekatan regional harus lebih dominan dibandingkan pendekatan sektoral dalam perencanaan pembagunan nasional. Mengingat faktor ‘lokasi’ masih dipandang sebatas tempat pelaksanaan kegiatan departemen/instansi tanpa memperhatikan kepentingan pendayagunaan ruang di daerah, akibatnya kegiatan yang direncanakan sektor tidak saling bersinergi dalam mengisi dan mendayagunakan ruang di daerah (memunculkan ego sektoral). b. Perlu upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan mengingat penanganannya bersifat lintas administrasi wilayah pemerintahan dan lintas sektoral, sehingga masih memerlukan koordinasi dari institusi yang secara hirarkis lebih tinggi, belum tersosialisasikannya peraturan dan perundang-undangan mengenai pengelolaan kawasan perbatasan, terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah daerah; masih adanya tarik menarik kewenangan pusat-daerah, misalnya dalam pengelolaan kawasan konversi
seperti
hutan lindung dan taman nasional
sebagai
international inheritance yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); c. Pengelolaan kawasan perbatasan belum dilakukan secara terpadu dengan mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Permasalahan beberapa kawasan perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara dan parsial serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan melalui beberapa kepanitiaan, sehingga belum memberikan Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
78
hasil yang optimal. Komite-komite kerjasama yang ada saat ini antara lain General Border Committee (GC) RI-Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI-Papua New Guinea; dan Joint Border Committee RI-Timor Leste; d. Selama ini belum ada payung hukum yang jelas mengatur tentang kewenangan pengelolaan kawasan perbatasan, walaupun ada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah namun tidak secara eksplisit menjelaskan kewenangan daerah dalam mengelola kawasan perbatasan. Sedangkan kewenangan pemerintah pusat pada pintu-pintu perbatasan
(border
gate)
yang
meliputi
aspek
kepabeanan,
keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan (CIQS). Perlu lebih dipertegas kewenangan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam kerangka pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan batas darat, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pola pembagian kewenangan antara Pusat dan daerah yang telah diatur dalam PP No 38 tahun 2007 belum memberikan kejelasan pembagian kewenangan antara Pusat dan daerah dalam konteks penanganan perbatasan. Melalui pola pembagian yang jelas ini, prinsip money follow function dapat diberlakukan. Urusan yang menjadi kewenangan pusat dibiayai melalui APBN dan urusan yang menjadi kewenangan daerah dibiayai melalui APBD.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
79
5.2.
Komunikasi Pada dasarnya, komunikasi yang baik haruslah melibatkan dua pihak atau
lebih dengan pesan yang tersampaikan dengan jelas dan gamblang, sehingga pihak-pihak yang terkait dapat memahaminya dengan baik. Begitu pula dengan komunikasi pengelolaan perbatasan, di mana awalnya masih menggunakan pola sentralistik, dengan pemerintah pusat bertindak selaku koordinator dalam setiap kebijakan dan pengambilan keputusan. Hal ini tentu saja menyulitkan, mengingat kondisi geografis yang sulit terjangkau dan sarana komunikasi di wilayah perbatasan yang masih sangat minim, bahkan hingga saat ini. Dalam kasus Pulau Sebatik misalnya, aksesibilitas ke Kota Tawao (Malaysia) lebih mudah dibandingkan aksesibilitas ke Nunukan. Penulis sendiri juga merasakan betapa ketimpangan sungguh terjadi di Pulau Sebatik. Di saat malam hari, Kota Tawao terang benderang dengan lampu yang gemerlap, sedangkan Pulau Sebatik terasa gelap gulita. Bahkan di saat penulis berjalan menyusuri pantai di wilayah Indonesia, sinyal telepon seluler secara bergantian datang dari Malaysia, dan sangat sulit sekali bagi penulis untuk mendapatkan sinyal dari Indonesia. Hal serupa pun terjadi pada sarana dan prasarana komunikasi milik pemerintah yang masih kurang. Pusat Pengelolaan Umum Badan Informasi Publik Depkominfo (2006) menyatakan bahwa penduduk di kawasan perbatasan umumnya mengikuti siaran stasiun televisi dari Malaysia, yakni TV1, TV2, dan TV3. Mereka tidak dapat menangkap siaran stasiun televisi dari Indonesia, mengingat lokasinya yang jauh, dan belum ada stasiun relay. Kalaupun siaran stasiun televisi dapat mereka tangkap (TVRI, SCTV, RCTI), biasanya gambarnya tidak jelas (buram) dan bergoyang-goyang serta suaranya berisik.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
80
Gambar 5.4 Fasilitas Sarana Komunikasi
4%
Tersedia
37%
Kurang Tersedia 59%
Tidak Tersedia
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Temuan penelitian ini nampaknya tidak mencerminkan kondisi faktual yang sebenarnya terjadi, bahwa ternyata 59% dari responden menyatakan bahwa telah tersedia sarana komunikasi yang memadai dalam menunjang pelaksanaan pekerjaan. Apakah trend perkembangan teknologi informasi saat ini mampu memberikan pengaruh yang positif terhadap proses komunikasi khususnya di wilayah perbatasan, ataukah ini hanyalah kesalahan persepsi dari responden yang menganggap bahwa sarana komunikasi yang memang tersedia, akan tetapi tidak memperhitungkan faktor optimal atau tidaknya sarana komunikasi tersebut digunakan untuk menunjang proses koordinasi pengelolaan perbatasan. Akan tetapi data ini nampaknya tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai bahwa proses komunikasi di wilayah perbatasan telah berjalan dengan baik. Winarlan dengan tegas mengatakan: “… yang menjadi kendala kami di perbatasan adalah faktor geografis dan sulitnya akses komunikasi berupa sinyal HP (Handphone) yang ada, sehingga untuk komunikasi dan koordinasi dengan masyarakat memerlukan waktu yang lama”.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
81
Pernyataan Camat Sebatik Barat ini nampaknya memberikan gambaran yang utuh, betapa proses komunikasi di wilayah perbatasan masih menjadi satu kendala, betapapun tersedianya sarana komunikasi itu sendiri. Kondisi ini sesungguhnya menyiratkan, bahwa selama lebih dari 65 tahun bangsa ini merdeka, persoalan perbatasan belum kunjung selesai, bahkan di era teknologi informasi saat ini, barulah kemudian terkuak permasalahan yang sebenarnya terjadi di wilayah perbatasan, karena semakin banyak masyarakat yang peduli dan menyuarakan
aspirasinya.
Semestinya,
dengan
semakin
canggihnya
telekomunikasi, warga perbatasan juga dapat menikmati hal yang sama dengan warga lainnya di Indonesia, tanpa ada perbedaan sedikitpun. Inilah yang kemudian masih menjadi pekerjaan rumah bersama, tidak hanya BNPP, tetapi juga seluruh stakeholder yang memiliki tugas untuk memajukan dan mensejahterakan wilayah perbatasan. Di samping persoalan sarana komunikasi, penulis juga ingin melihat dari hasil temuan penelitian perihal frekuensi pertemuan yang dilakukan tiap instansi dalam membahas pengelolaan perbatasan, persoalan sulitnya melakukan koordinasi, hingga ada atau tidaknya bagian khusus yang bertugas untuk mengkoordinasikan beberapa bagian dalam organisasi. Dari temuan penelitian, penulis mendapatkan bahwa ternyata 75% dari responden menyatakan mereka melakukan pertemuan harian yang bersifat rutin tiap bulannya kurang dari 3 kali. Artinya, frekuensi pertemuan rutin masih sangat minim sekali dan kemungkinan hanya membahas persoalan yang tidak strategis. Padahal dalam konteks pengelolaan perbatasan, hari demi hari, bahkan detik demi detik menjadi ukuran waktu yang harus dihargai, mengingat begitu dinamisnya persoalan perbatasan yang tentu harus segera mendapatkan respon yang cepat dan tepat.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
82
Gambar 5.5 Pertemuan Rutin Harian
7%
18% Kurang dari 3 kali Antara 3 s.d 5 kali Lebih dari 5 kali 75%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Lemahnya kemampuan dalam berkomunikasi secara efektif, baik secara internal maupun eksternal telah menjadi salah satu penyebab dari munculnya konflik di wilayah perbatasan. Terkait dengan hal tersebut, temuan penelitian juga menyoroti bagaimana komunikasi dilakukan antara satu instansi dengan instansi lainnya dalam hal pengelolaan perbatasan. Yang menarik adalah, ternyata 70% responden menyatakan bahwa unsur pimpinan melakukan kurang dari 3 kali pertemuan rutin dengan instansi lain yang terkait pengelolaan perbatasan. Angka tersebut sesungguhnya menyiratkan bahwa para aparatur pengelola perbatasan belum memaknai secara menyeluruh mengenai esensi menjaga, memelihara, dan mengelola perbatasan. Bagaimana mungkin wilayah perbatasan dapat terjaga dengan baik apabila komunikasi dengan instansi terkait lainnya tidak berjalan dengan baik. Maka tidaklah mengherankan di saat banyak terjadi tumpang tindih pelaksanaan tugas atau bahkan ego sektoral dalam pengelolaan perbatasan.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
83
Gambar 5.6 Pertemuan Rutin dengan Instansi Lain
6%
24%
Kurang dari 3 kali Antara 3 s.d 5 kali Lebih dari 5 kali 70%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Dari beberapa temuan penelitian yang telah penulis paparkan sebelumnya, nampaknya permasalahan komunikasi menjadi hal yang lazim terjadi dalam sebuah organisasi. Hal ini tentu saja perlu mendapatkan perhatian yang serius, terlebih dari temuan penelitian yang menunjukkan bahwa 64% responden menyatakan bahwa ada bagian khusus yang bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan beberapa bagian dalam organisasi. Artinya, dengan adanya bagian khusus yang bertugas untuk mengkoordinasi, seharusnya proses komunikasi dapat berjalan dengan baik dan terarah. Namun faktanya, justru proses komunikasi malah tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan persoalan-persoalan terkaitnya lemahnya koordinasi pun terjadi.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
84
Gambar 5.7 Bagian Khusus Koordinasi
4%
32%
Ada Tidak ada Tidak tahu 64%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Setelah ada bagian khusus yang bertugas untuk mengkoordinasikan beberapa bagian dalam organisasi, salah satu hal yang patut dicermati adalah mekanisme pertukaran dokumen tertulis baik berupa laporan ataupun memo yang terkait dengan pekerjaan masing-masing unit. Hal ini menjadi penting, mengingat mekanisme sharing ini, selain sebagai upaya transparansi atas pelaksanaan pekerjaan dari masing-masing unit, juga merupakan sebuah upaya untuk mencegah terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanaan pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Temuan penelitan menunjukkan, bahwa terdapat 76% responden yang menyatakan bahwa terdapat mekanisme pertukaran dokumen yang berkaitan dengan pekerjaan tiap-tiap unit. Artinya, asas transparansi dan keterbukaan telah berjalan dengan baik. Namun satu hal yang perlu dikritisi adalah, dokumendokumen tertulis tersebut seyogyanya mampu mencerminkan tahapan dari tiaptiap proses yang dilalui dalam pengelolaan perbatasan, sehingga dokumendokumen tersebut memiliki nilai historis sekaligus up to date dalam menyoroti
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
85
persoalan pengelolaan perbatasan, dan tidak hanya menjadi dokumen pelengkap yang terus berulang. Gambar 5.8 Mekanisme Pertukaran Dokumen Tertulis
24%
Ya Tidak
76%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Berdasarkan temuan penelitian, dapat terlihat bahwa komunikasi yang efektif memegang peran yang cukup vital dalam mewujudkan proses koordinasi pengelolaan perbatasan yang lebih baik. Untuk itu, salah satu hal mendasar yang perlu dibenahi adalah upaya optimalisasi pemanfaatan fasilitas komunikasi yang sementara ini telah tersedia, dan tentunya secara berkala mengagendakan pertemuan yang sifatnya strategis sebagai langkah preventif dari upaya pengelolaan perbatasan terpadu.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
86
5.3.
Kepemimpinan Kemampuan memimpin sangat penting dalam pelaksanaan koordinasi
yang efektif, mengingat seorang pemimpin berkewajiban untuk dapat mencapai tujuan organisasi dengan baik. Fungsi seorang pemimpin mencakup semua tugas dan fungsi di dalam organisasi yang telah didelegasikan kepada bawahannya apakah dalam bentuk unit-unit, tugas, dan lain-lain. Hal ini harus diarahkan kepada tujuan utama organisasi. Oleh karena itu, kemampuan teknis dan profesional dari pimpinan mutlak dibutuhkan bagi tercapainya visi organisasi. Temuan penelitian menunjukkan, bahwa 72% responden menyatakan bahwa kemampuan teknis dan profesional unsur pimpinannya adalah baik, dan 26% menyatakan kurang baik, dan hanya 2% saja yang menyatakan tidak baik. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 5.9 berikut ini. Gambar 5.9 Kemampuan Teknis dan Profesional Pimpinan 2%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian 26% Baik Kurang Baik Tidak baik 72%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Angka ini memberikan gambaran bahwa mayoritas responden melihat bahwa unsur pimpinannya adalah pimpinan yang berkualitas di bidangnya. Hal tersebut lebih diperkuat lagi dengan temuan penelitian yang menggambarkan Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
87
bahwa pimpinan telah memberikan ruang yang cukup bagi bawahannya untuk menyuarakan aspirasinya dalam memberikan saran ataupun masukan bagi kepentingan organisasi. Sebanyak 88% atau mayoritas responden menyatakan bahwa pimpinan menampung ide-ide dari bawahan untuk dipilih menjadi keputusan. Gambar 5.10 Aspiratif Dalam Menampung Ide 0% 12%
Ya Tidak Tidak tahu
88%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Dengan demikian, pimpinan yang baik akan mampu mengarahkan bawahannya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, tentunya dalam hal ini adalah pengelolaan perbatasan yang lebih baik. Temuan penelitian menunjukkan bahwa 76% responden menyatakan bahwa kemampuan pimpinan dalam mengarahkan bawahannya dalam melaksanakan tugas adalah baik, sedangkan 24% responden menyatakan kurang baik. Angka ini juga menunjukkan bahwa kemampuan pimpinan dalam mengarahkan bawahannya tidak terlepas dari kemampuan komunikasi yang baik. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Williams (1980, 231), “ Communication and other leadership technique can help provide both the informational base and the psychological climate that are the pre prequisites of effective coordination”. Bahwa komunikasi dan kemampuan Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
88
memimpin dapat memberikan basis informasi sekaligus suasana kejiwaan yang baik sebagai prasyarat dari koordinasi yang efektif. Hal yang sama pun diutarakan oleh Winarlan, yang menyatakan bahwa: “…pemimpin yang mampu mengorganisir pasti dapat melakukan koordinasi dengan baik karena pimpinan tersebut mampu menjabarkan dan memberikan perintah yang baik kepada bawahannya…”. Berikut adalah gambar 5.11 mengenai kemampuan pimpinan dalam mengarahkan bawahannya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Gambar 5.11 Kemampuan Pimpinan Mengarahkan Bawahan
24%
Baik Kurang baik
76%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Dari temuan penelitian di atas dapat terlihat bahwa faktor kepemimpinan telah terlaksana dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa pimpinan yang baik tentunya akan memberikan teladan yang baik pula bagi bawahannya. Dalam konteks pengelolaan perbatasan, di saat pemerintah pusat mampu menyusun perencanaan yang baik, disertai dengan kemampuan supervisi yang baik, maka niscaya pengelolaan perbatasan di daerah akan juga berjalan dengan baik. Namun, di saat pemerintah pusat tidak mampu memberikan arahan yang cepat dan tepat Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
89
kepada daerah, maka pengelolaan perbatasan layaknya seekor ayam yang kehilangan induknya, terombang-ambing dan pada akhirnya akan muncul potensi konflik yang akan merugikan masyarakat perbatasan itu sendiri. Oleh karena itu, baik pusat maupun daerah harus mampu menunjukkan sisi kepemimpinan yang positif dan konstruktif, sehingga tumbuh kepercayaan dari masyarakat bahwa pengelolaan perbatasan telah diserahkan kepada para pimpinan yang memang mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
90
5.4.
Kontrol Idealnya, di saat semua kebijakan dan program telah dilaksanakan, maka
fungsi kontrol atau pengawasan akan dilakukan untuk memperbaiki hal-hal yang masih dianggap kurang, sehingga ke depannya kebijakan dan program tersebut dapat berjalan lebih baik. Akan tetapi, lain halnya dalam konteks pengelolaan perbatasan yang begitu kompleks ini. Komponen kontrol dan pengawasan nampaknya hanya menjadi pelengkap saja, sebagai bagian dari sebuah laporan yang menyuguhkan output kebijakan dan kegiatan yang selalu berjalan efektif dan efisien. Hal ini bukanlah isapan jempol belaka, mengingat data faktual yang mengiringinya. Bagaimana tidak, pengelolaan perbatasan yang masih bersifat sektoral
dan
cenderung
sporadis,
dilakukan
oleh
berbagai
instansi,
Kementerian/Lembaga, atau lebih tepatnya 37 Kementerian/lembaga dengan 29 di antaranya terkait langsung menangani perbatasan dengan minim koordinasi dan sinergi, sehingga pada akhirnya program ataupun kegiatan tersebut tidak tepat sasaran. Temuan penelitian menguatkan hal ini, bahwa ada 74% responden yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara rencana program yang telah disusun dengan praktik implementasi di lapangan. Hal ini memberikan gambaran bahwa di samping minimnya koordinasi dan sinergi, faktor minimnya kontrol dan pengawasan menjadi salah satu penyebab tidak berjalan baiknya pengeloaan perbatasan.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
91
Gambar 5.12 Perbedaan Rencana Program dan Implementasi
10%
16%
Ya Tidak Tidak tahu 74%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran dalam melihat seberapa baiknya proses kontrol dan pengawasan adalah ada atau tidaknya mekanisme pelaporan dan data kegiatan, mekanisme evaluasi SOP, dan mekanisme evaluasi terhadap anggaran. Temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat 89% responden yang menyatakan bahwa terdapat mekanisme pelaporan dan data kegiatan dari tiap-tiap unit (Gambar 5.12). Begitu pula dengan 74% responden yang menyatakan bahwa terdapat mekanisme evaluasi terhadap SOP dalam pelaksanaan pekerjaan (Gambar 5.13). Bahkan, 94% responden menyatakan bahwa terdapat mekanisme evaluasi terhadap anggaran (Gambar 5.14). Dalam konteks pengelolaan perbatasan, kontrol memegang peran yang sangat vital, mengingat berhasil tidaknya suatu program dapat teridentifikasi secara langsung melalui kontrol yang dilakukan. Artinya, proses pengamatan dan pengawasan dalam koordinasi dilakukan secara simultan dan terus menerus, tidak hanya di akhir program atau kegiatan, sehingga nantinya apabila terjadi bias
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
92
dalam pelaksanaan program dapat segera diperbaiki. Terlebih dari temuan penelitian menunjukkan hal yang kontradiktif, satu sisi terdapat gap yang begitu besar antara rencana program dan implementasi, namun mekanisme evaluasi terhadap SOP dan anggaran malah berjalan sangat baik. Gambar 5.13 Mekanisme Pelaporan dan Data
11%
Ya Tidak
89%
Gambar 5.14 Mekanisme Evaluasi SOP 2%
24% Ya Tidak Tidak tahu 74%
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
93
Gambar 5.15 Mekanisme Evaluasi Anggaran 3% 3%
Ya Tidak Tidak tahu
94%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian Angka-angka di atas menunjukkan optimisme yang baik terhadap upaya kontrol dan pengawasan terhadap pengelolaan perbatasan. Winarlan dengan tegas menyatakan bahwa: “Bentuk pengamatan dan pengawasan yang dilakukan untuk memperlancar koordinasi adalah dalam hal meninjau langsung ke lapangan atau ke lokasi perbatasan”. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi dan pelaporan yang telah disusun tidak akan mungkin berjalan dengan baik apabila tidak disertai dengan aksi nyata dari aparatur pengelola perbatasan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka setiap aparatur yang bertugas melakukan kontrol dan pengawasan hendaknya mampu mengkritisi dua hal sebagaimana tersebut di bawah ini: a. Apakah
pelaporan
dan
evaluasi
yang
dilakukan
benar-benar
mencerminkan atas apa yang terjadi sesungguhnya; dan b. Apakah evaluasi yang dilakukan dijadikan dasar bagi upaya perbaikan ke depannya.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
94
Betapapun temuan penelitian menunjukkan hasil yang positif terhadap faktor kontrol, akan tetapi penulis masih merasa skeptis atas temuan tersebut. Selain dua alasan yang telah kemukakan di atas, penulis juga melihat ada faktor kultural yang turut mempengaruhi. Perilaku menyenangkan atasan atau ABS (Asal Bapak Senang) nampaknya perlu diteliti lebih lanjut, mengingat banyak program ataupun kegiatan yang nyata-nyata tidak bermanfaat ataupun gagal, teryata laporan menunjukkan hal sebaliknya. Hal inilah yang masih menjadi kekhawatiran penulis atas temuan penelitian yang didapat. Terlepas dari itu semua, apa yang disampaikan oleh Camat Sebatik Barat sungguhlah tepat, pimpinan harus mampu terjun langsung ke lapangan untuk memastikan betul apakah program atau kegiatan yang sedang berjalan dengan terlaksana dengan baik dan sesuai rencana atau tidak. Dengan demikian, diharapkan proses kontrol dan pengawasan dapat berjalan dengan baik dan mampu menjadi indikator atas keberhasilan pengelolaan perbatasan yang terpadu. Secara ringkas, dapat penulis gambarkan hubungan keempat faktor koordinasi yang telah penulis sampaikan di atas.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
95
Gambar 5.16 Faktor-Faktor Koordinasi Pengelolaan Batas Wilayah Negara di Indonesia
KEWENANGAN
KOMUNIKASI
KOORDINASI
KEPEMIMPINAN
KONTROL
Sumber: diolah dari kerangka teori Gambar 5.16 merupakan intisari dari proses koordinasi pengelolaan perbatasan yang melibatkan empat (4) faktor kunci, yaitu kewenangan, komunikasi, kepemimpinan, dan kontrol. Apabila kita kembali merujuk teori Boundary Making yang dijelaskan oleh Stephen B Jones, seharusnya proses koordinasi adalah rangkaian terakhir dari alur pengelolaan perbatasan yaitu Management/Administration. Akan tetapi dalam konteks pengelolaan perbatasan di Indonesia, proses ini tidak berlangsung berurutan, mengingat begitu kompleksnya perbatasan Indonesia ini. Bahkan hingga saat ini, proses perundingan pengelolaan perbatasan masih terus berlangsung untuk menentukan batas-batas antara Indonesia dengan Negara tetangga. Artinya, BNPP yang merupakan representasi dari proses administrasi/manajemen, harus pula berkutat dengan persoalan fisik yang memerlukan kerjasama dan koordinasi dengan sektorUniversitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
96
sektor terkait, sehingga dapat berjalan beriringan. Oleh karena itu, BNPP harus mampu berperan dengan baik dan tidak melampaui batas kewenangannya sebagai sebuah institusi koordinasi.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Dari penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa: a. Terdapat empat (4) faktor penting yang memberikan kontribusi dalam proses koordinasi
pengelolaan
perbatasan,
yaitu
kewenangan,
komunikasi,
kepemimpinan, dan kontrol. Keempat faktor ini saling berkaitan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan; b. Kewenangan belum terlaksana dengan baik. Indikator penguatan kelembagaan perlu mendapatkan perhatian yang serius. Dengan kelembagaan yang kuat, dalam hal ini BNPP dan seluruh stakeholder pengelola perbatasan, niscaya pengelolaan perbatasan akan menjadi lebih baik. Terkait dengan kelembagaan, penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) juga menjadi hal yang perlu dibenahi, mengingat tanpa SDM yang berkualitas, tugas dan pekerjaan tidak akan dapat dilakukan dengan optimal, dan hal ini akan terlihat dari masih terjadinya tumpang tindih pelaksanaan pekerjaan dan munculnya ego sektoral; c. Komunikasi belum berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari belum optimalnya pemanfaatan fasilitas komunikasi dan masih kurangnya pertemuan berkala yang bersifat strategis. Terlebih karakteristik perbatasan Indonesia yang terdiri dari darat, laut dan udara, sehingga proses koordinasi memerlukan waktu yang lama dan cenderung tidak efektif. Maka dari itu Pemerintah perlu memperbaiki sarana dan prasarana yang mampu menunjang proses komunikasi yang cepat dan tepat; d. Kemampuan memimpin telah terlaksana dengan baik. Hal ini terlihat dari kemampuan teknis dan profesional yang dimiliki oleh pimpinan dan kemampuan mengarahkan bawahan dalam pelaksanaan tugas; e. Kontrol telah berjalan cukup baik. Hal ini ditandai dengan adanya mekanisme pelaporan, mekanisme evaluasi SOP, dan mekanisme terhadap evaluasi terhadap anggaran. Betapapun proses pengamatan dan pengawasan telah berjalan dengan 97
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
98
baik, perlu juga dikritisi perihal pemanfaatan dan penggunaan anggaran yang telah diserap, apakah telah digunakan sesuai dengan rencana dan memberikan manfaat, ataukah memang hanya sekadar laporan rutin yang terus berulang. Maka dari itu, perlu juga dilakukan evaluasi terhadap outcome dari kebijakan pengelolaan perbatasan. Selanjutnya, persoalan koordinasi pengelolaan perbatasan ini diharapkan dapat teratasi dengan terbentuknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sebagai lembaga khusus untuk mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Hal ini tentu saja perlu ditelaah lebih lanjut mengingat BNPP yang baru terbentuk pada tanggal 17 September 2010, sehingga efektivitas pelaksanaan koordinasi masih belum teruji secara komprehensif. 6.2
Saran Dari hasil penelitian yang dilakukan, beberapa hal yang dapat penulis sarankan
adalah: 1. Bagi Pemerintah Pusat, institusi BNPP perlu mendapatkan penguatan secara kelembagaan, dengan membuat struktur yang ramping namun kaya fungsi. Pemerintah perlu membuat garis batas yang jelas mengenai pembatasan kewenangan dan tanggung jawab dari setiap stakeholder pengelola perbatasan, seperti halnya BNPP yang memang memiliki kewenangan yang besar dalam hal koordinasi agar tidak menyimpang menjadi institusi yang turut serta melakukan eksekusi. Maka dari itu, Pemerintah perlu memberikan supervisi yang ketat terhadap BNPP agar tidak keluar dari core tugas pokok dan fungsinya. Selain itu, faktor komunikasi menjadi hal yang sangat vital dalam pengelolaan perbatasan, tidak hanya penyediaan sarana dan prasarana yang masih sangat minim, akan tetapi dari segi optimalisasi pemanfaatan sarana komunikasi yang ada, sehingga dapat lebih dimanfaatkan dengan baik dan efektif. Begitu pula halnya dengan faktor kontrol yang harus dapat dipertahankan, mengingat hasil temuan penelitian menunjukkan hasil yang positif. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa kontrol yang baik akan menentukan hasil tugas dan pekerjaan yang baik. Maka dari itu, Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
99
setiap program dan kegiatan yang ada harus dapat dilihat dampaknya bagi pengelolaan perbatasan, sehingga dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat perbatasan; 2. Bagi Pemerintah Daerah, Kecamatan harus mampu difungsikan dengan baik sebagai garda terdepan pengelolaan perbatasan. Pemerintah kabupaten/kota perlu melalukan penguatan kelembagaan dan SDM, sehingga nantinya proses pengelolaan perbatasan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Pertemuan yang bersifat strategis harus dilakukan secara berkala, baik dengan Pemerintah atau BNPP, sehingga proses pengelolaan perbatasan tidak berjalan timpang, dan cenderung satu arah; 3. Bagi masyarakat yang tinggal di perbatasan, walaupun penelitian ini tidak menyebut secara langsung perihal masyarakat, akan tetapi penulis merasa perlu untuk memberikan masukan terutama mengenai upaya-upaya preventif dalam pengelolaan perbatasan. Artinya, masyarakat yang tinggal di perbatasan diharapkan dapat pro aktif dalam memelihara dan menjaga perbatasan, dan mampu memberikan informasi yang cepat kepada unit pemerintahan terkecil yang ada di wilayahnya terutama kecamatan dan kabupaten; 4. Bagi dunia akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan warna baru bagi pengembangan pengelolaan perbatasan yang lebih terpadu (integrated border management), merujuk apa yang disampaikan oleh Jones dalam teori Boundary Making, bahwa saat ini Indonesia telah melangkah lebih maju dengan terbentuknya BNPP sebagai lembaga koordinasi. Artinya, fungsi administrasi dan manajemen menjadi kunci vital bagi terselenggaranya pengelolaan perbatasan yang lebih komprehensif; 5. Untuk penelitian mendatang, agar dapat dilakukan evaluasi secara menyeluruh pelaksanaan koordinasi yang dilakukan oleh BNPP dalam pengelolaan perbatasan di Indonesia. Hal ini tentunya terkait dengan empat (4) pilar pengelolaan perbatasan yang harus berjalan seiring sejalan.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
DAFTAR PUSTAKA BUKU Barney, Jay B dan Ricky W. Griffin. (1992). The Management of Organizations. Houghton Milton Company. Daft, R.L.. (1992). Organization Theory and Design. West Publising Company. Dale, Ernest. (1993). Management, Theory and Practice. Rex Printing Company. Darma Putra, Rizal. (2010). Manajemen Pengelolaan Perbatasan Laut dan Keamanan Perbatasan. Jakarta: LESPERSSI Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Faisal, Sanapiah. (2005). Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Griffin, Ricky. (2004). Manajemen. Jakarta: Erlangga. Handayaniningrat, Soewarno. (1986). Administrasi Pemerintahan dan Pembangunan Nasional. Jakarta: Gunung Agung Hardjito, Dyiet. 1995. Teori Organisasi dan Teknik Pengorganisasian. Jakarta: Grafindo Persada Hasibuan, Malayu S.P. 1996. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta: Gunung Agung. Hersey, P. and K.H Blanchard. (1999). Leadership and the One Minute Manager. New York: William Morrow. Irawan, Prasetya. (2006). Penelitian Kualitatitf dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial . Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Kaloh, Drs. Johannis. (1986). Konsep Koordinasi Dalam Proses Administrasi. Jakarta: Institut Ilmu Pemerintahan.
100
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
101
KRA XXXVII, Lemhanas RI. (2004). Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan Guna Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Dalam Rangka Memperkokoh NKRI. Jakarta Pusat: Lemhanas RI. Kasim, Azhar. (1989). Pengukuran Efektivitas Dalam Organisasi. Jakarta: PAU Ilmu-Ilmu Sosial UI. Laweance, Paul R, Jay W Lorsch. (1967). Organization and Environment: Managing Differentation and Integration. ill Irwin. Homewood. Madu, Ludiro, dkk. (2010). Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu, Permasalahan, dan Pilihan Kebijakan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Mullins, Laurie J. (1999). Management and Organizational Behavior. London: Prentice Hall. Mulyono, Sri. (1996). Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta: LPFE UI. Neuman, W Lawrence. (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Allyn and Bacon. Nugroho, Riant. (2011). Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan dan Manajemen Kebijakan. Jakarta: Elex Media Komputindo. Papademetriou, Demerios G dan Elizabeth Collet. (2011). A New Architecture for Border Management. Migration Policy Institute. Petit, A. Thomas. (1975). Fundamental of Management Coordination. Johm Wiley & Sons, Inc. Pusat Pengelolaan Umum BIP Depkominfo. (2006). Menelusuri Batas Nusantara, Tinjauan atas Empat Kawasan Perbatasan. Jakarta: Depkominfo Reksohadiprodjo, Soekanto. (1987). Manajemen Proyek. Yogyakarta: BPFE. Robbins, Stephen P. (1994). Teori Organisasi: Struktur Desain dan Aplikasi. Edisi 3 Terjemahan Yusuf Udaya. Jakarta: Arcan. Saxena, A.B. (1980). Coordination Function in Regional Development. Dalam Cheema (Ed) Institusional Dimension of Regional Development, Maruzen Asia. Singarimbun, Masri (editor). (1987). Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES Starling, Grover. (2008). Managing the Public Sector. USA: Thomson Wadsworth. Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
102
Suharto, Edi. (2005). Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT. Refika Aditama. Suganda, Dann. (1988). Koordinasi Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia. Stoner, James A.F., Charles Wankel. (1986). Management. Terjemahan. Jakarta: Erlangga. Stoner, James A.F., Freeman R. Edward. (1994). Manajemen. Jakarta: Intermedia. Usman, Prof. Dr. Husaini. (2010). Manajemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Edisi 3. Jakarta: Bumi Aksara. Wahjosumidjo. (1994). Kiat Kepemimpinan Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Harapan Masa Wiriadihardja, Moefti. (1991). Pedoman Administrasi Umum. Jakarta: Balai Pustaka. Yusuf, Farida. (2000). Evaluasi Program. Jakarta: PT. Rineka Cipta. JURNAL Koswara, E. (1983). Peranan Administrasi Dalam Pembangunan Daerah, dalam Majalah Widya Praja No. 7-8 Desember. Sabarno, Hari. (2003). Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Indonesia di Wilayah Perbatasan. Jurnal Hukum dan Pembangunan , hal. 67. Sumarsono, DR. (2011). 1 Tahun BNPP, Semangat Baru Mengubah Wajah Perbatasan Negara, Refleksi dan Proyeksi. Jakarta: Badan Nasional Pengelola Perbatasan. PUBLIKASI ELEKTRONIK Dipopramono, Abdulhamid. (2009, Februari 18). Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM. Didownload bulan Desember 2010, dari situs plod.ugm.ac.id / jurnalnasional.com. Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
103
Rima News, Redaksi. (2010, September 2). Review of Indonesian and Malaysian Review. Didownload bulan Desember 2010, dari situs www.rimanews.com. KARYA LAIN Wuryandari, MA, PhD, Ganewati, (2010). Presentasi: "Mewujudkan Manajemen Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Darat Secara Terintegrasi Dalam Perspektif Keamanan dan Kesejahteraan”. Jakarta: Bappenas. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pula-Pulau Kecil Terluar Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Tetap Badan Nasional Pengelola Perbatasan Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 1 tahun 2011 tentang Desain Besar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 20112025 Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 2 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2014 Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 3 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Lampiran 1 Perbatasan NKRI dengan Negara-Negara Tetangga Negara
Laut Teritorial
Catatan
5
Philipina Thailand
tidak ada tidak ada
Tidak ada Tidak ada
ada Ada
Ada Ada
Vietnam
tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
6 _ Ada beda pendapat tentang ZEE di selat Malaka belum ditentukan ZEE belum dibicarakan, Median Line untuk Landas Kontinen belum ditentukan
Palau
tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
belum ditentukan
Papua Nugini
Batas non alamiah dan ada, lateral prinsip thalweg
ada, lateral
ada, lateral
_
Timor Leste
batas alam thalweg dan ada,berhadapan watershed lateral tidak ada Tidak ada
ada, batas lateral
Belum ditetapkan/ proses perjanjian sebelum 1972 ada pemisahan antara sea bed dan water column
tidak ada Ada
4
Laut Landas Kontinen
ada Ada
Australia
3
Laut ZEE
2 tidak ada Batas alur Watershed
Singapura Malaysia
1
Darat
dan ada, batas lateral ada
tidak ada Ada
Sebagian
Sumber: Marsetio, 2004
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
Lampiran 2 Batas-Batas Maritim Indonesia yang Telah dan Belum Diperjanjikan Secara Bilateral No
Negara Pihak
1 1
India
2
2
Thailand
3
Malaysia
4
Singapura
5 6 7 8
Vietnam Philipina Palau PNG
9
Australia
Batas Maritim Laut Teritorial 3
Zona Tambahan 4
_
ZEE 5
_ Kualalumpur, 17 Maret 1970*) Jakarta, 25 Mei 1973**)
_
_ Jakarta, 13 Desember 1980
_
Landas Kontinen 6 Jakarta, 8 Agustus 1974 Jakarta, 14 Januari 1977 Bangkok, 17 Desember 1971 Jakarta, 11 Desember 1975 Kuala Lumpur, 27 Oktober 1969
_ _ _ _
Hanoi, 26 Juni 2003 _ _ Jakarta, 12 Februari 1973
Perth, 16 Maret 1997
Canberra, 18 Mei 1971 Jakarta, 9 Oktober 1972 _ 6
Timor Leste _ _ _ 10 0 1 Jumlah Batas Maritim Antar-Negara 3 yang telah diperjanjikan 4 8 Jumlah Batas Maritim Antar-Negara 1 yang belum diperjanjikan Sumber: Pangkalan Data Perjanjian Internasional, Direktorat Kelembagaan Internasional, DKP, 2003
3
Keterangan: *) Perjanjian dengan Malaysia pada segmen Selat Malaka bagian Tengah dan Selatan, segmen Selat Singapura bagian Barat dan Timur belum diperjanjikan **) Perjanjian dengan Singapura baru segmen tengah yang diperjanjikan, segmen barat dan timur belum diperjanjikan
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
Lampiran 3 Batas-Batas Maritim Indonesia yang Telah dan Belum Diperjanjikan Secara Trilateral No 1 1
Negara Pihak 2 Malaysia- Thailand
Batas Maritim Laut Teritorial 3
Zona Tambahan 4
_
ZEE 5
India-Thailand _ 2 Malaysia- Singapura _ _ 3 Malaysia-Vietnam _ 4 Malaysia-Philipina _ 5 PNG-Australia _ 6 Australia-Timor Leste _ 7 0 0 Jumlah Batas Maritim Antar-Negara 0 yang telah diperjanjikan 0 6 Jumlah Batas Maritim Antar-Negara 1 yang belum diperjanjikan Sumber: Pangkalan Data Perjanjian Internasional, Direktorat Kelembagaan Internasional, DKP, 2003
Landas Kontinen 6 Kuala Lumpur, 21 Des 1971 New Delhi, 22 Juni 1978 _ _ _ _ 2 4
Tidak perlu dilakukan perjanjian batas maritim -
Belum dilakukan perjanjian batas maritim
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Universitas Indonesia
aktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 201
Lampiran 5 PEDOMAN WAWANCARA Data Informan: Nama
:
Golongan/Jabatan
:
Pendidikan Formal Terakhir
:
Masa Kerja
:
1. Bagaimana pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan perbatasan antara BNPP dan pemerintah daerah? 2. Apakah telah ada pembakuan prosedur dan metode dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan? 3. Apakah masih ditemui ego sektoral dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan? Jika ya, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal apa sajakah yang dilakukan sehingga tidak muncul ego sektoral? 4. Apakah masih ditemui tumpang tindihnya pelaksanaan tugas dalam pengelolaan perbatasan? Jika, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal apa sajakah yang dilakukan sehingga tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan tugas? 5. Bagaimana bentuk koordinasi yang dilakukan dengan instansi lainnya terkait pengelolaan perbatasan? 6. Pihak-pihak terkait manakah yang terlibat dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan di antara BNPP dan pemerintah daerah? 7. Bagaimana komunikasi dilakukan di antara unsur pimpinan dan pegawai? Apakah ada waktu tertentu ataupun forum yang telah terjadwalkan sebelumnya untuk berkomunikasi secara intensif? 8. Sarana komunikasi seperti apakah yang disiapkan untuk menunjang proses koordinasi pengelolaan perbatasan? 9. Apakah setiap keputusan dalam proses koordinasi dapat diketahui oleh seluruh pihak dengan baik dan lengkap? 10. Bagaimana kualitas kepemimpinan mempengaruhi proses koordinasi dalam pengelolaan perbatasan? 11. Apakah kemampuan teknis dan profesional dari pimpinan mempengaruhi proses koordinasi yang dilakukan? Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
12. Apakah kemampuan mengorganisir dari pimpinan mempengaruhi proses koordinasi yang dilakukan? 13. Bagaimana bentuk pengamatan dan pengawasan yang dilakukan untuk memperlancar proses koordinasi pengelolaan perbatasan? 14. Apakah dari proses koordinasi yang dilakukan dihasilkan laporan dan data kegiatan? 15. Apakah dilakukan evaluasi terhadap SOP dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan? 16. Apakah pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan? 17. Bagaimana bentuk pengawasan terhadap anggaran dalam pelaksanaan proses koordinasi? ***
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Lampiran 6 DAFTAR PERTANYAAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOORDINASI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DI INDONESIA +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Petunjuk Pengisian Kuesioner: 1. Pilih dan beri tanda (X) salah satu jawaban yang sesuai dengan pendapat atau pengalaman yang Anda rasakan selama ini, atau isilah dengan jelas pertanyaan yang ada sesuai dengan pendapat dan pengalaman Anda; 2. Bila Anda keberatan menuliskan nama, maka tidak perlu dituliskan; 3. Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak/Ibu/Saudara atas bantuan dan kerjasama yang baik untuk mengisi kuesioner ini ++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ I.
II.
Identitas Responden a. Nama
:
b. Umur
:
c. Jenis Kelamin
:
d. Pendidikan
:
e. Jabatan
:
Kewenangan 1. Apakah Bapak/ Ibu/ Saudara mengetahui adanya prosedur baku/ metode dalam pelaksanaan tugas? a. Mengetahui b. Tidak Mengetahui 2. Apakah Bapak/ Ibu/ Saudara memahami baik itu secara tertulis maupun secara lisan, mengenai tugas, fungsi dan pekerjaan yang diberikan kepada Bapak/ Ibu/ Saudara? a. Memahami b. Kurang Memahami c. Tidak memahami
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
3. Bagaimana Bapak/Ibu/Saudara memperoleh pemahaman atas tugas, fungsi, dan pekerjaan yang diberikan kepada Bapak/Ibu/Saudara? a. Diklat b. Rapat-rapat c. Bimbingan langsung atasan d. Belajar sendiri 4. Menurut pengamatan Bapak/ Ibu/ Saudara, apakah pegawai yang ada di kantor ini menguasai segala permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan batas wilayah negara di Indonesia? a. Menguasai b. Kurang menguasai c. Tidak menguasai 5. Menurut pengamatan Bapak/ Ibu/ Saudara, apakah pegawai yang ada di kantor ini keahliannya sesuai dengan pekerjaan yang selama ini dikerjakan? a. Sesuai b. Kurang sesuai c. Tidak sesuai 6. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas di antara masing-masing unit yang ada? a. Terjadi b. Kadang-kadang c. Tidak terjadi 7. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah di antara unit yang ada masih memiliki kepentingan sektoral dalam pelaksanaan tugasnya? a. Ya b. Tidak III.
Komunikasi 8. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara apakah masing-masing unit selalu melakukan pertemuan harian yang bersifat rutin tiap bulannya? a. Kurang dari 3 kali b. Antara 3 s.d 5 kali c. Lebih dari 5 kali
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
9. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah pimpinan masing-masing unit yang ada selalu mengadakan pertemuan tatap muka tiap bulannya? a. Kurang dari 3 kali b. Antara 3 s.d 5 kali c. Lebih dari 5 kali 10. Menurut pengamatan Bapak/ibu/Saudara, apakah unsur pimpinan selalu mengadakan pertemuan rutin dengan instansi lainnya terkait pengelolaan perbatasan tiap bulannya? a. Kurang dari 3 kali b. Antara 3 s.d 5 kali c. Lebih dari 5 kali 11. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah masing-masing unit selalu mengadakan pertemuan yang tidak pernah dijadwalkan sebelumnya untuk membicarakan masalah pekerjaan? a. Ya b. Tidak c. Tidak Tahu Mengapa? … 12. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah di dalam melakukan koordinasi dengan unit lain atau antar unit yang ada di kantor ini selalu mendapatkan kesulitan? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu Mengapa? … 13. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah telah tersedia sarana komunikasi yang memadai dalam menunjang pelaksanaan pekerjaan? a. Tersedia b. Kurang tersedia c. Tidak tersedia 14. Dapatkah Anda menyebutkan sarana komunikasi apa yang tersedia untuk mendukung kelancaran pelaksanaan koordinasi pengelolaan perbatasan? a. … b. … Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
c. … d. … e. … (silakan tambahkan kolom jika memang dibutuhkan) 15. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah setiap keputusan yang diambil unsur pimpinan telah tersosialisasi (disosialisasikan) dengan baik bagi seluruh pegawai? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu Mengapa? … 16. Apakah terdapat sarana untuk melakukan umpan balik (feed back) ke atasan terkait keputusan yang diambil dalam pengelolaan perbatasan? a. Ya b. Tidak c. Tidak Tahu Mengapa? … 17. Apakah Bapak/Ibu/Saudara, apabila ada masalah akan selalu memberikan tanggapan sesuai dengan pertimbangan Bapak/Ibu/Saudara mengenai apa yang paling baik bagi organisasi? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Tidak Pernah 18. Berapa kali Anda memberikan umpan balik dalam satu bulan terakhir? a. Kurang dari 2 kali b. Antara 3 sampai 5 kali c. Lebih dari 5 kali 19. Menurut Bapak/Ibu/Saudara, apakah di dalam organisasi Anda terdapat mekanisme pertukaran dokumen tertulis baik itu laporan maupun memo yang berkaitan dengan pekerjaan masing-masing unit? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu Mengapa? … Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
20. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah ada bagian khusus yang bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan beberapa bagian dalam organisasi? a. Ada b. Tidak ada c. Tidak Tahu Mengapa? … IV.
Kepemimpinan 21. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, bagaimana kualitas kepemimpinan dari unit Anda saat ini? a. Baik b. Kurang baik c. Tidak baik 22. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, bagaimana kemampuan teknis dan profesional dari unsur pimpinan pada unit Anda saat ini? a. Baik b. Kurang baik c. Tidak baik 23. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, bagaimana kemampuan pimpinan dalam mengarahkan bawahannya dalam melaksanakan tugas? a. Baik b. Kurang baik c. Tidak baik 24. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, seperti apa tipe pemimpin Anda saat ini? a. Demokratis b. Apatis c. Otoriter 25. Apakah pimpinan mengajak rapat dalam mengambil keputusan? a. Ya b. Tidak c. Tidak Tahu Mengapa? … 26. Apakah pimpinan mengajak rapat dalam memutus setiap masalah? Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
a. Ya b. Tidak c. Tidak Tahu Mengapa? … 27. Apakah dalam rapat pimpinan mengemukakan ide-ide sendiri untuk dijadikan keputusan? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu Mengapa? … 28. Apakah dalam rapat, pimpinan menampung ide-ide dari peserta untuk dipilih menjadi keputusan? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu Mengapa? … 29. Dapatkah Anda menyebutkan masalah apa yang pernah dibahas bersama Anda? … 30. Jika tidak setiap masalah Anda diajak rapat dengan pimpinan, masalah apa saja yang Anda diajak rapat? … 31. Menurut yang Anda ketahui, berapa kali Anda rapat bersama pimpinan dalam setiap bulannya? a. Kurang dari 3 kali b. Antara 3 sampai dengan 5 kali c. Lebih dari 5 kali 32. Dalam kurun waktu satu minggu, berapa kali pimpinan menanyakan pekerjaan Anda? a. Kurang dari 3 kali b. Antara 3 sampai dengan 5 kali c. Lebih dari 5 kali 33. Dalam kurun waktu satu minggu, berapa kali pimpinan menanyakan soal pribadi kepada Anda?
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
a. Kurang dari 3 kali b. Antara 3 sampai dengan 5 kali c. Lebih dari 5 kali V.
Kontrol 34. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah ada mekanisme pelaporan dan data kegiatan dari tiap-tiap unit? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu Mengapa? … 35. Dalam berapa satuan waktu laporan dibuat? a. Harian b. Mingguan c. Bulanan d. Tengah tahun e. Satu tahun 36. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah ada mekanisme
evaluasi
terhadap SOP dalam pelaksanaan pekerjaan? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu Mengapa? … 37. Dalam berapa satuan waktu evaluasi terhadap SOP dilakukan? a. Harian b. Mingguan c. Bulanan d. Tengah tahun e. Satu tahun 38. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah terdapat perbedaan antara rencana program dengan implementasi? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Mengapa? … 39. Menurut pengamatan Bapak/Ibu/Saudara, apakah terdapat mekanisme evaluasi terhadap anggaran? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu Mengapa? … 40. Dalam berapa satuan waktu evaluasi terhadap anggaran dilakukan? a. Harian b. Mingguan c. Bulanan d. Tengah tahun e. Satu tahun 41. Menurut
pengamatan
Bapak/Ibu/Saudara,
apakah
terdapat
pengawasan melekat dari unsur pimpinan kepada bawahannya? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu Mengapa? … 42. Dalam berapa satuan waktu pengawasan melekat dilakukan? a. Harian b. Mingguan c. Bulanan d. Tengah tahun e. Satu tahun
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
mekanisme
Lampiran 7 TRANSKRIP WAWANCARA 1 Nama
: Bau Syahril, S.IP
Golongan/Jabatan
: Penata Muda/IIIa, Plt. Kasubbag Kerjasama Perbatasan
1.
Bagaimana pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan perbatasan antara BNPP dan pemerintah daerah? Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan, SKPD yang mengelola perbatasan adalah pada Bagian Penataan Perbatasan di Sekretariat Daerah Kab. Nunukan. Bagian Perbatasan merupakan duta untuk pemerintah daerah Kabupaten Nunukan dalam hal menyampaikan hasil koordinasi dengan BNPP, termasuk kegiatan BNPP yang akan dilaksanakan pada wilayah perbatasan. Pada saat BNPP akan melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan wilayah perbatasan, Bagian Perbatasan sebagai perpanjangan tangan menyampaikan hasil koordinasi dengan BNPP, hasil koordinasi tersebut dilaporkan kepada Bupati melalui Asisten Tata Pemerintahan dan Sekretaris Daerah. Dalam waktu yang tidak lama, Bupati memerintahkan kepada SKPD untuk segera ditindaklanjuti, dalam hal ini adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Dinas Pekerjaan Umum. Kesimpulan dari hal di atas, Bagian Penataan Perbatasan Setda Kabupaten Nunukan tidak melakukan atau menjalankan program yang sifatnya teknis di lapangan.
2.
Apakah telah ada pembakuan prosedur dan metode dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan? Sampai saat ini belum ada, ada beberapa kegiatan yang dilakukan yang tidak berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
3.
Apakah masih ditemui ego sektoral dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan? Jika ya, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal apa sajakah yang dilakukan sehingga tidak muncul ego sektoral? Ya, cara mengatasinya adalah harus ada sebuah prosedur atau peraturan yang menangani masalah perbatasan mulai dari tahap koordinasi sampai dengan pelaksanaan di lapangan yang didasarkan pada tugas pokok dan fungsi masingmasing.
4.
Apakah masih ditemui tumpang tindihnya pelaksanaan tugas dalam pengelolaan perbatasan? Jika, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal apa sajakah yang dilakukan sehingga tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan tugas? Ya, cara mengatasinya adalah masing-masing SKPD atau instansi terkait sesering mungkin melakukan koordinasi tentang tugas pokok fungsi masing-masing.
5.
Bagaimana bentuk koordinasi yang dilakukan dengan instansi lainnya terkait pengelolaan perbatasan? Sampai saat ini hanya sebatas koordinasi lisan dan bertukar informasi tentang data-data yang dibutuhkan untuk mengelola perbatasan.
6.
Pihak-pihak terkait manakah yang terlibat dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan di antara BNPP dan pemerintah daerah? Badan Pengelola Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal di Provinsi Kalimantan Timur, Bagian Perbatasan Sekretariat Daerah Kabupaten Nunukan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kab. Nunukan dan Dinas Pekerjaan Umum, dan beberapa kementerian yang ada di Pusat.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
7.
Bagaimana komunikasi dilakukan di antara unsur pimpinan dan pegawai? Apakah ada waktu tertentu ataupun forum yang telah terjadwalkan sebelumnya untuk berkomunikasi secara intensif? Ada waktu tertentu untuk melaksanakan forum untuk penyelesaian masalah yang dihadapi namun forum tersebut tidak terjadwalkan, beberapa forum yang sifatnya mendadak.
8.
Sarana komunikasi seperti apakah yang disiapkan untuk menunjang proses koordinasi pengelolaan perbatasan? Handphone, surat, fax, telepon.
9.
Apakah setiap keputusan dalam proses koordinasi dapat diketahui oleh seluruh pihak dengan baik dan lengkap? Ya, beberapa hasil koordinasi dilaporkan kepada pihak dengan baik dan lengkap.
10. Bagaimana kualitas kepemimpinan mempengaruhi proses koordinasi dalam pengelolaan perbatasan? Ya, pimpinan yang mempunyai kemampuan teknis dan profesional akan lebih mengerti masalah apa dan bagaimana pemecahan masalah yang dihadapi. 11. Apakah kemampuan teknis dan profesional dari pimpinan mempengaruhi proses koordinasi yang dilakukan? Ya, kemampuan teknis dan profesional adalah hal penting dalam menjalankan sebuah program kegiatan, tanpa kemampuan teknis sulit untuk menjalankan program. 12. Apakah kemampuan mengorganisir dari pimpinan mempengaruhi proses koordinasi yang dilakukan? Ya, kemampuan pimpinan sangat diharapkan dalam mengorganisir bawahan, berkoordinasi dengan atasan serta berkoordinasi dengan instansi terkait.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
13. Bagaimana bentuk pengamatan dan pengawasan yang dilakukan untuk memperlancar proses koordinasi pengelolaan perbatasan? Membentuk sebuah tim yang terkait untuk melakukan pengawasan bersama 14. Apakah dari proses koordinasi yang dilakukan dihasilkan laporan dan data kegiatan? Ya, beberapa kegiatan yang dikoordinasikan dengan instansi terkait dituangkan dalam bentuk data dan kegiatan. 15. Apakah dilakukan evaluasi terhadap SOP dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan? Tidak pernah. 16. Apakah pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan? Tidak, beberapa pekerjaan yang ada tidak sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan. 17. Bagaimana bentuk pengawasan terhadap anggaran dalam pelaksanaan proses koordinasi? Melakukan penyerahan laporan tiap 3 bulan, enam bulan dan 1 tahun.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Lampiran 8 TRANSKRIP WAWANCARA 2 Nama
: Winarlan, SE
Golongan/Jabatan
: Pembina /IVa, Camat Sebatik Barat
1.
Bagaimana pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan perbatasan antara BNPP dan pemerintah daerah? Cukup baik dimana saat ini sudah ada sebuah badan yang mengelola perbatasan sebagaimana yang diatur dalam PP No. 12 tahun 2010. Masalah pembagian kewenangan dan tanggung jawab sudah jelas diatur dalam PP tersebut apa yang menjadi kewenangan pusat dan apa yang menjadi kewenangan daerah, karena kita tahu bersama bahwa masalah perbatasan tidak hanya menjadi masalah daerah saja akan tetapi menjadi masalah pusat dan daerah propinsi serta kabupaten.
2.
Apakah telah ada pembakuan prosedur dan metode dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan? Dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan hingga saat ini saya belum mengetahui adanya pembakuan prosedur dan metode akan tetapi dalam hal ini kami kecamatan melakukan jalur koordinasi dengan Sekretaris Daerah Kabupaten dalam hal ini Bagian Perbatasan Kab. Nunukan.
3.
Apakah masih ditemui ego sektoral dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan? Jika ya, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal apa sajakah yang dilakukan sehingga tidak muncul ego sektoral?
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Ya, dengan lebih meningkatkan dan menguatkan peran dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sehingga dalam membangun daerah perbatasan dapat tertata dan terencana dengan baik. 4.
Apakah masih ditemui tumpang tindihnya pelaksanaan tugas dalam pengelolaan perbatasan? Jika, bagaimana mengatasinya? Jika tidak, hal-hal apa sajakah yang dilakukan sehingga tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan tugas? Tidak, untuk menghindari tumpang tindih maka perlu adanya penguatan peran yang efektif dari Badan Perbatasan baik yang ada di pusat maupun di daerah. Setiap instansi yang akan melaksanakan kegiatan di daerah perbatasan harus melalui satu pintu koordinasi yakni Badan Perbatasan.
5.
Bagaimana bentuk koordinasi yang dilakukan dengan instansi lainnya terkait pengelolaan perbatasan? Bentuk koordinasi dalam hal rapat kerja bersama instansi lainnya, kunjungan atau survey lapangan daerah perbatasan sampai koordinasi dalam bentuk telepon.
6.
Pihak-pihak terkait manakah yang terlibat dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan di antara BNPP dan pemerintah daerah? Pihak-pihak yang terkait di antaranya masyarakat perbatasan setempat dalam hal ini tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh adat, pemangku kepentingan di daerah perbatasan, para kalangan pengusaha di perbatasan, pemerintah desa, Danramil, serta organisasi masyarakat yang ada di daerah perbatasan.
7.
Bagaimana komunikasi dilakukan di antara unsur pimpinan dan pegawai? Apakah ada waktu tertentu ataupun forum yang telah terjadwalkan sebelumnya untuk berkomunikasi secara intensif?
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
Sangat baik, dalam hal komunikasi kami di kecamatan setiap bulannya melakukan rapat rutin yang dihadiri seluruh pegawai dan staf kecamatan jika ada hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan komunikasi kami selalu berjalan baik di kantor maupun tidak. 8.
Sarana komunikasi seperti apakah yang disiapkan untuk menunjang proses koordinasi pengelolaan perbatasan? Telepon, fax, surat menyurat, email.
9.
Apakah setiap keputusan dalam proses koordinasi dapat diketahui oleh seluruh pihak dengan baik dan lengkap? Tidak, karena yang menjadi kendala kami di perbatasan adalah faktor geografis dan sulitnya akses komunikasi berupa sinyal HP yang ada, sehingga untuk komunikasi dan koordinasi dengan masyarakat memerlukan waktu yang lama.
10. Bagaimana kualitas kepemimpinan mempengaruhi proses koordinasi dalam pengelolaan perbatasan? Kepemimpinan dalam proses koordinasi sangat mempengaruhi karena seorang pemimpin harus selalu aktif dan peka terhadap wilayah kerjanya sehingga segala permasalahan khususnya terkait dengan perbatasan harus cepat diatasi dan dikoordinasikan kepada instansi terkait dalam hal ini Badan Perbatasan. Jika pemimpin hanya diam maka koordinasi tidak akan berjalan dengan baik. 11. Apakah kemampuan teknis dan profesional dari pimpinan mempengaruhi proses koordinasi yang dilakukan? Sangat berpengaruh. Seorang pemimpin yang memiliki kemampuan teknis dan profesional pasti mampu untuk melaksanakan tupoksi dengan baik sehingga proses koordinasi pasti akan berjalan dengan baik pula.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
12. Apakah kemampuan mengorganisir dari pimpinan mempengaruhi proses koordinasi yang dilakukan? Ya, pimpinan yang mampu mengorganisir pasti dapat melaksanakan koordinasi dengan baik karena pimpinan tersebut mampu menjabarkan dan memberikan perintah yang baik kepada bawahannya dalam hal mengorganisir tugas-tugasnya. 13. Bagaimana bentuk pengamatan dan pengawasan yang dilakukan untuk memperlancar proses koordinasi pengelolaan perbatasan? Bentuk pengamatan dan pengawasan yang dilakukan untuk memperlancar koordinasi dalah dalam hal meninjau langsung ke lapangan atau ke lokasi perbatasan. Misalnya jika ada proyek yang dilakukan oleh sebuah instansi di daerah perbatasan maka harus diberi pengawasan apakah sudah sesuai dengan target dari proyek tersebut jika tidak maka harus dilakukan koordinasi yang intensif. 14. Apakah dari proses koordinasi yang dilakukan dihasilkan laporan dan data kegiatan? Ya, karena laporan dan data tersebut sebagai bukti hasil koordinasi. 15. Apakah dilakukan evaluasi terhadap SOP dalam proses koordinasi pengelolaan perbatasan? Ya, evaluasi harus selalu kami lakukan agar pelaksanaan koordinasi dapat berjalan sesuai yang kami harapkan. 16. Apakah pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan? Ya, karena pekerjaan kami di kecamatan mengacu pada renstra dan renja yang ingin dicapai bersama.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012
17. Bagaimana bentuk pengawasan terhadap anggaran dalam pelaksanaan proses koordinasi? Bentuk pengawasan terhadap anggaran intensif dilakukan oleh instansi terkait baik itu Inspektorat Kabupaten maupun dari BPK.
Faktor-faktor..., Fathir Fajar Sidiq, FISIPUI, 2012