Selasa, 04 Agt 2015 Edisi
1
Dari meja redaksi…. Selamat datang ….
P
Church’s New Emerging Force
ernahkah engkau mengunjungi atau membaca tentang negara-negara di Eropa? Ada sebuah fenomena ironis yang dapat kita temukan di sana: Banyak gereja telah menjadi museum. Apakah engkau mengikuti pemberitaan media beberapa minggu terakhir ini? Ya, warna pelangi di mana-mana; Amerika telah melegalkan pernikahan sesama jenis. Banyak Orang bahkan mendukungnya atas nama cinta kasih, atas nama Tuhan! Oh, tentu saja, Amerika bukan yang pertama, negara-negara di Eropa pun telah lebih dulu melakukannya. Eropa? Amerika?
KIN Flash
Bukankah image-nya sangat melekat dengan Kekristenan? Sangat banyak raksasa iman dan hamba Tuhan pernah hidup dan dipakai Tuhan secara luar biasa di tanah Eropa. Sidik jari dan jejak kaki tokoh-tokoh Kristen yang bersumbangsih membangun Amerika pun belum terhapus dari ingatan bangsa-bangsa. Tetapi di manakah wibawa Kekristenan hari ini? Mengapa banyak gereja mati, ditutup, dan akhirnya gedung-gedung yang indah itu sekadar menjadi situs wisata bersejarah? Dari mana asalnya kemerosotan moral dan etika sebuah bangsa yang notabene Kristen?
The LORD has done it again! Following the past 2015 National Gospel Convention (KIN) for Teenagers (June 24th – 28th), attended by more than 3200 teenagers—more than 1200 of which dedicated themselves to full-time ministries—KIN for Youth commences today. We welcome more than 3000 youths, between the ages of 18 and 30, from all over Indonesia in RMCI (Kemayoran, Jakarta). It is our prayers that for the next six days, through more than 25 preaching sessions led by Rev. Dr. Stephen Tong and co-workers, the Word of God will saturate your hearts and minds. Appreciate the toils of the many people and the many sacrifices they have made to make this KIN happen for you and, more importantly, the opportunity God has given you. We long to see God works among you to raise up a new generation of God-fearing youths, the hope for God’s church in Indonesia and this nation. (dt)
Kami, Tim Redaksi Sekilas KIN PEMUDA 2015, menyambut Anda sekalian hadir di dalam KIN PEMUDA 2015 di Gedung RMCI (Reformed Millenium Center Indonesia) ini. Kami bersyukur kepada Tuhan untuk pimpinan-Nya sehingga Anda semua, yang datang dari berbagai kota dan pelosok negeri, boleh dihantar tiba dengan selamat di Jakarta. KIN (Konvensi Injil Nasional) PEMUDA adalah ajang para pemuda untuk bisa bertumbuh di dalam iman, karakter, kehidupan, dan juga pengetahuan, sehingga kita semua bisa menjadi teladan dan membawa banyak orang kepada Kristus. Acara disusun sedemikian padat untuk tidak memboroskan setiap waktu di mana Anda bisa belajar semaksimal mungkin dalam waktu yang sangat singkat ini. Kami rindu, Tuhan membakar hati dan pikiran Anda semua, untuk mengerti apa yang menjadi isi hati-Nya dan mau berjuang untuk menggenapkan rencanaNya. Kiranya nama Tuhan dipermuliakan di dalam seluruh keberadaan kita. Segala puji hanya bagi Tuhan….
Tim Redaksi.
SEKILAS “Iman” yang Buta, Ketumpulan Kekristenan “Orang Kristen nggak rasional!” “Ditanya apa pun, jawabannya pasti ‘pokoknya Tuhan saya yang benar’, nggak bertanggung jawab.” “Mana bisa mereka bicara tentang ilmu, jelasin apa yang mereka percaya saja nggak bisa!” Apakah nuansa kalimat-kalimat tersebut familiar bagi kita? Pernahkah ada orang yang mengatakannya pada kita? Atau apakah kita sendiri berpendapat demikian? Bahwa iman Kristen itu terpisah dari ilmu dan hidup keseharian kita; bahwa iman Kristen tidak relevan dengan realitas dan perkembangan dunia? Merupakan sebuah kebahayaan dan ironi yang besar jikalau orangorang Kristen tidak mengerti apa yang sesungguhnya mereka imani. Tanpa
menghidupi iman, sebagaimana Alkitab telah memerintahkan kita. “Credo ut intelligam; Aku percaya sehingga aku dapat mengerti.” Bapa Gereja Agustinus “Aku memercayai Kekristenan sebagaimana aku percaya bahwa matahari telah terbit. Bukan saja karena aku telah melihatnya, Tetapi karena olehnya aku dapat melihat segala sesuatu yang lain.” Clive Staples Lewis Punyakah kita iman yang demikian? Iman dengan pengertian yang membawa kita belajar mengerti dan melihat segala sesuatu di dalam terang firman Tuhan? Gerakan rasionalisme liberal, dengan perlahan tapi pasti, telah menggerogoti Kekristenan di
KIN
menyaksikan kebenaran itu pada dunia. Kiranya Tuhan berbelas kasihan memberikan kepada Indonesia, kepada kita, kebangunan yang sejati itu.
Keterhilangan Generasi Muda Sebuah garis keluarga berakhir jika keluarga tersebut berhenti melahirkan anak. Sebuah gereja akan berakhir jika gereja tersebut berhenti menginjili, menangkap, membangunkan, mendidik, dan membentuk pemuda-pemudi. Masa depan Gereja Tuhan berada di pundak para pemuda Kristen (baca: kita), inilah realitas. Mengapa gereja-gereja yang besar pada akhirnya bisa “menjelma” menjadi sebuah museum, atau bahkan, pada beberapa kasus, menjadi tempat ibadah bagi iman yang lain? Karena tongkat estafet perjuangan Injil tidak diteruskan oleh orang-orang yang muda. Apakah hal yang sama akan terjadi pada Kekristenan di Indonesia?
”Jangan heran apabila suatu hari kelak kita menemukan negara Amerika - yang mempunyai hikmat dan pengetahuan tinggi - akan jatuh ke dalam tangan orangorang yang menyebut diri demokrat tetapi memberikan toleransi terhadap perdagangan narkotik, homoseksual, aborsi, dan lain-lain” Pdt. Dr. Stephen Tong (buku ‘Dosa & Kebudayaan’ - 1997) pengenalan dan pengertian akan firman Tuhan, apakah seorang yang mengaku dirinya Kristen adalah benarbenar orang Kristen? Hal ini merupakan realitas yang terjadi di dunia dan di sekeliling kita; Tidak sedikit orang Kristen yang bahkan tidak mengerti Kekristenan! Bagaimanakah mungkin ia dapat bersaksi di tengah-tengah dunia? Bagaimana pula ia dapat berdiri membawa kebenaran Tuhan ke dalam masyarakat dan kebudayaan? Ratusan tahun Kekristenan dihina dan diremehkan karena hal ini; karena ketumpulan Kekristenan! Orang Kristen tidak dapat bersaksi. Tidak untuk imannya, apalagi untuk kebenaran. Kekristenan seolah-olah bisu dan kelu di hadapan tantangan-tantangan zaman, Kekristenan seolah-olah tidak punya jawaban. Tidak perlu menyalahkan dunia, kesalahan terutama ada pada kita, orang-orang Kristen yang tidak mempertanggungjawabkan dan
2
Barat. Orang-orang yang terpelajar memandang rendah Kekristenan dan akhirnya menginjak-injak firman Tuhan. “Alkitab tidak relevan! Bukankah manusia cukup cerdas untuk menemukan dan menentukan sendiri jawaban atas semua pertanyaan? Bukankah manusia dapat menentukan sendiri standar moral, etika, dan kebudayaan?” Mereka meninggalkan gereja, merasa tidak perlu Tuhan, tidak perlu Alkitab. Sekali lagi… karena ketumpulan orang-orang Kristen. Iman yang sejati adalah iman yang memberikan pengenalan dan pengertian. Karena itulah Pdt. Stephen Tong mengatakan bahwa salah satu ciri utama kebangunan yang sejati adalah kebangunan doktrin, kebangunan theologi, kebangunan pengenalan yang benar akan Allah dan firmanNya. Sehingga kita dapat melihat segala sesuatu dengan terang yang dari Dia, sang Kebenaran, kemudian
Di manakah kita, rekan-rekan muda? Apa yang sedang kita kerjakan? Hidup kita bukanlah milik kita sendiri, hidup orang Kristen adalah hidup yang dimenangkan oleh penebusan Kristus untuk menjadi bagian dari sebuah cerita yang lebih besar; Cerita Kerajaan Allah dan penggenapan rencana-Nya di dalam dunia. Tetapi Gereja seperti lebih banyak diam, Kekristenan seolaholah tak punya gigi, terlalu banyak pemuda yang sibuk untuk dirinya sendiri, terlalu banyak mahasiswa yang sibuk menjadi serupa dengan dunia; Begitu sibuk sampai tak bisa lagi mendengar panggilan Tuhan, apalagi menggenapkan kehendak-Nya. Mengerti atau menganggap sepi. Mengingat atau melupakan. Memperjuangkan atau menyampahkan.
Pemuda takut akan Tuhan: Pengharapan Gereja & Bangsa
Bersambung ke hal.4
SEKILAS
Kekudusan Pribadi
KIN
oleh Arthur W. Pink
“Pandangan bahwa kekudusan pribadi tidak perlu bagi pemuliaan akhir, bertentangan langsung dengan setiap hukum Allah; dengan segala deklarasi Alkitab.” – Augustus Toplady Karena kejatuhan manusia dalam diri Adam, kita bukan hanya kehilangan perkenanan Allah namun juga kekudusan natur kita, sehingga perlu adanya perdamaian/rekonsiliasi dengan Allah dan pembaruan batiniah, sebab tanpa kekudusan pribadi “tidak seorang pun akan melihat Tuhan” (Ibr. 12:14). “Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu; sebab ada tertulis: Kuduslah kamu sebab Aku kudus” (1Ptr. 1:15-16). Tanpa adanya pengudusan diri, tidak mungkin ada persekutuan antara Tuhan dengan kita, oleh sebab natur Tuhan adalah kudus. Akan tetapi, bisakah manusia menjadi penuh dosa dan kudus dalam waktu yang bersamaan? Orang Kristen sejati menemukan banyaknya kedagingan, hawa nafsu, kenajisan, dan kenistaan dalam diri mereka, sehingga merasa suatu hal yang mustahil untuk mengetahui bahwa diri mereka adalah kudus. Kesulitan ini, dalam hal pembenaran, tidak dapat dibereskan hanya dengan mengakui bahwa diri kita yang penuh dosa mendapatkan kekudusan dalam Kristus, sebab Alkitab mengajarkan bahwa orang yang dikuduskan oleh Allah adalah kudus dalam dirinya, meskipun natur dosa mereka belum dihapuskan. Tak seorang pun selain “yang suci hatinya” dapat “melihat Allah” (Mat. 5:8). Oleh sebab itu, harus ada renovasi jiwa di mana akal budi, afeksi, dan kehendak kita dibawa dalam keharmonisan dengan Tuhan. Harus ada keutuhan dan keseimbangan dalam penyesuaian dengan kehendak Allah yang telah diwahyukan dan perlawanan akan kejahatan dalam iman dan kasih. Harus ada yang mengatur seluruh perbuatan kita agar diarahkan hanya bagi kemuliaan Tuhan, melalui
Yesus Kristus, berdasarkan Injil. Harus ada Roh kekudusan yang terus bekerja dalam setiap hati orang percaya untuk menguduskan tindakan luar mereka apabila mereka akan dijadikan layak untuk diterima oleh Tuhan yang “tidak ada kegelapan di dalam-Nya”. Benar bahwa sifat kekudusan yang sempurna disediakan dalam Kristus bagi setiap orang percaya, tetapi harus ada juga natur kekudusan yang diberikan olehNya. Ada sebagian orang yang kelihatan menikmati ketaatan Kristus namun memikirkan sangat sedikit, bahkan mungkin tidak sama sekali, tentang kekudusan pribadi mereka. Orang-orang inilah yang sering menyombongkan tentang dikenakannya “pakaian keselamatan dan diselubungi dengan jubah kebenaran” (Yes. 61:10), tetapi yang tidak menunjukkan tanda bahwa mereka “berpakaian kerendahhatian” (1Ptr. 5:5) ataupun “mengenakan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah lembutan, kesabaran terhadap yang lain, dan pengampunan bagi satu dengan yang lain” (Kol. 3:12-13). Berapa banyak orang di zaman ini yang beranggapan jika mereka sudah percaya kepada Kristus maka segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya pasti baik-baik saja meskipun secara pribadi mereka tidak kudus? Setan, berpakaian sebagai malaikat terang, telah memperdaya banyak jiwa dalam sebuah permainan sandiwara menghargai “iman”. Ketika “iman” mereka diperiksa dan diuji, berapa nilainya? Tidak ada hal lain selain sebagai tiket masuk ke sorga yang menjadi perhatiannya. Iman seperti demikian adalah sesuatu yang tak berdaya, tak bernyawa, tak berbuah, dan sia-sia! Iman orang-orang pilihan Allah harus berdasarkan pengetahuan dan kebenaran yang mengejar kekudusan (godliness) (Tit. 1:1). Inilah iman yang menyucikan hati (Kis. 15:9), dan bersusah hati akan segala kenajisan. Inilah iman yang menghasilkan ketaatan yang mutlak (Ibr. 11:8). Karena itu, mereka membohongi dirinya sendiri, melakuan kegiatan yang dipikirnya akan mengantar mereka semakin dekat
dengan sorga namun yang sebenarnya memimpin mereka ke neraka. Mereka yang berpikir dapat menikmati Tuhan tanpa menjadi kudus secara pribadi, sama dengan menjadikan-Nya Tuhan yang najis dan memberikan penghinaan tertinggi bagi Dia. Kesejatian dari iman yang menyelematkan, hanya nampak melalui mekarnya latihan kekudusan secara tekun dan buah dari kesalehan yang murni. Dalam Kristus, Tuhan telah menetapkan standar kesempurnaan moral bagi umatNya untuk dijadikan sasaran agar umatNya berjuang mencapainya. Melalui hidup-Nya, kita dipertontonkan sebuah representasi yang mulia akan natur kita (manusia) yang berjalan dalam ketaatan yang Tuhan tuntut. Kristus menyamakan diri-Nya dengan kita melalui inkarnasi; bukankah masuk akal jika kita pun harus menyamakan diri kita dengan Kristus dalam hal ketaatan dan pengudusan. “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp. 2:5). Dia datang kepada kita sedekat mungkin yang bisa Dia lakukan; Bukankah juga masuk akal jika kita pun berusaha keras untuk datang kepada-Nya sedekat mungkin yang bisa kita lakukan? “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku” (Mat. 11:29). ”Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri” (Rm. 15:3), bukankah masuk akal bahwa kita juga perlu menyangkal diri dan memikul salib kita dan mengikuti Dia (Mat. 16:24), karena tanpa melakukan demikian kita tak akan menjadi murid-Nya (Luk. 14:27). Jika kita akan disamakan dengan Kristus dalam kemuliaan, bukankah seharusnya kita menjadi sama terlebih dahulu dalam kesucianNya: “Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1Yoh. 2:6). “Setiap orang yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan” (2Tim. 2:19): Biarkan dia menjalankan hidup seperti Kristus, atau menjatuhkan nama Kristus.
Pemuda takut akan Tuhan: Pengharapan Gereja & Bangsa
3
SEKILAS Sambungan dari hal.2 Church’s New....
Meneruskan atau menghancurkan. Berkat atau kutuk. Kemudaan selalu menjadi krusial, poin yang sangat kritis di dalam kehidupan seorang manusia. Kemudaan merupakan sebuah fase kehidupan yang begitu berpotensi; kekuatan pemikiran, kekuatan fisik, ketersediaan waktu, banyaknya kesempatan! Mari kita dengan gentar menyadari, bahwa orang-orang yang mempunyai potensi paling besar untuk melayani Tuhan adalah juga orang-orang yang paling berpotensi untuk berbalik melawan Tuhan dan menghancurkan pekerjaan-Nya. Bagaimana dengan kita?
KIN 2015: Bagi Dimunculkannya Sebuah Kekuatan Baru “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Ir. Soekarno Percayakah engkau, bahwa keberadaanmu di sini pada momen ini merupakan jawaban dari doa orang-orang Kristen yang mencintai Tuhan, yang telah lama berlutut dan menumpahkan air mata bagi dimenangkannya pemuda-pemudi bagi pekerjaan Tuhan? Percayakah engkau, bahwa Tuhan menaruh kakimu di sini bukanlah sebuah kebetulan, bukanlah karena kemampuan atau pilihanmu
sendiri, melainkan karena Dia betulbetul mau memberikan momen ini kepadamu, pribadi lepas pribadi? Konvensi Injil Nasional bukanlah sebuah acara iseng-iseng, yang diadakan hanya untuk mengisi waktu luang. Konvensi ini adalah panggilan Tuhan bagi hamba-hamba-Nya, untuk kemudian memanggil lebih banyak remaja dan pemuda, untuk bangun dan berjuang bagi Kerajaan Allah. Karena pemuda-pemudi adalah masa depan sebuah bangsa dan masa depan gereja Tuhan, maka Konvensi tahun ini mengemban tugas yang besar dan mulia; Tugas untuk membangun batu pijakan pilar-pilar penopang, dan arus kekuatan bagi masa depan gerejagereja di Indonesia. Apakah kita sungguh-sungguh mau menyerahkan hidup dan masa depan kita bagi Kristus? Mari dengan rasa syukur dan gentar, kita belajar sebanyak mungkin di dalam kesempatan yang sekali seumur hidup ini. Pdt. Dr. Stephen Tong telah melayani Tuhan selama 58 tahun, sejak awal pelayanannya beliau menginjili, mendidik, membangunkan, dan membakar hati pemuda-pemudi untuk hidup bagi Tuhan dan kebenaranNya. Sekitar 250.000 orang telah menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan melalui pelayanannya. Hari ini di dalam usianya yang ke-75, beliau kembali mengumpulkan orang muda dari seluruh Indonesia untuk boleh
Panitia KIN Pemuda bidang konsumsi sedang mempersiapkan welcome drink untuk peserta.
4
KIN
disadarkan dan digerakkan oleh satu hal yang sama: kuasa firman Tuhan. Konvensi Injil Nasional (KIN) 2015 kali ini adalah KIN ketiga yang diadakan. KIN pertama dan kedua diadakan pada tahun 2013 dan 2014 lalu bagi hambahamba Tuhan dan guru-guru Sekolah Minggu dan Pendidikan Agama Kristen dari seluruh Indonesia. Gereja-gereja di berbagai daerah telah mendapat berkat dan perlahan-lahan diubahkan oleh dampak dari Konvensi ini. Tahun ketiga, tahun ini, adalah puncak dari seluruh Konvensi Injil Nasional di Indonesia, lebih dari 3.000 pemuda dari 32 provinsi di Indonesia telah hadir di tempat ini; Konvensi ini diadakan bagi penerus-penerus Gereja, bagi kita. Demi membangun iman dan pengertian yang sejati, demi dibangkitkan dan dimunculkannya sebuah arus kekuatan yang baru bagi Gereja Tuhan (God’s New Emerging Force), demi diteruskannya tongkat estafet perjuangan iman, demi dibangunkannya Kekristenan Indonesia, demi penyebaran kuasa Injil bagi bangsa ini, demi Kerajaan Allah, demi nama Yesus Kristus, dan demi kemuliaan-Nya, sampai Tuhan Yesus datang kembali. Selamat berjuang dan selamat menikmati berkat Tuhan; Selamat menjadi bagian dari sebuah momen puncak yang paling dinantikan! Selamat berbagian dalam lembaran baru pekerjaan Tuhan di Indonesia! Selamat datang di Konvensi Injil Nasional 2015 bagi Pemuda dan Mahasiswa!
Panitia KIN Pemuda bidang akomodasi sedang mempersiapkan bendera untuk memandu peserta ke tempat penginapan masing-masing.
Pemuda takut akan Tuhan: Pengharapan Gereja & Bangsa
SEKILAS
KIN
Tim Musik Raja Daud
R
aja Daud adalah seorang raja Israel yang dicatat di dalam Alkitab banyak berhubungan dengan pembangunan Bait Allah dan ibadah kepada Tuhan di dalam Bait Allah. Di dalam kitab Mazmur dan 1 Tawarikh, dapat dilihat beberapa hal menarik berkaitan dengan tim musik yang diinisiasikan oleh Raja Daud. 1. Raja Daud memilih suku Lewi untuk memainkan musik di dalam Bait Suci. Suku Lewi memainkan alat musik saat Tabut Perjanjian dipindahkan ke Yerusalem dengan berpakaian jubah linen putih. Ada 4.000 orang musisi dari kaum Lewi yang disiapkan untuk ibadah di Bait Suci. 2. Daud memilih 288 ahli musik dari keluarga Asaf, Etan, dan Heman yang bernubuat dengan diiringi alat musik (1Taw. 25:1). 3. Raja Daud memilih pemimpin musik seperti Kenanya, Asaf, Yedutun, dan
Heman. Kenanyah bertanggung jawab memimpin para penyanyi dan paduan suara. Dia juga memimpin jemaat masuk dalam ibadah melalui musik. Asaf adalah pemimpin para musikus. Dalam kitab Mazmur, Asaf dikenal sebagai penulis Mazmur, seorang musisi dan ahli perkusi (1Taw. 16:4-5). Pelayanan Asaf juga meliputi pelayanan doa permohonan dan pujian syukur. Yedutun dan Heman bertanggung jawab untuk memainkan alat musik (1Taw. 25:3). Yedutun sendiri juga disebutkan sebagai pemimpin pujian dan sebagai pengarah musik. Heman juga adalah seorang musikus. Etan, bersama dengan Heman dan Asaf, adalah pemimpin pemain alat musik ceracap tembaga. Dari sini kita mengambil beberapa kesimpulan berkenaan dengan pelayanan musik di gereja: memilih orang yang tepat untuk memimpin musik (kapasitas), memilih ahli dalam musik (musikus terlatih), memilih yang
Panitia KIN Pemuda bidang pendaftaran sudah siap menerima peserta untuk pendaftaran ulang di kapel Hosana
menyerahkan hidupnya untuk melayani Tuhan dan dipilih Tuhan untuk melayani Dia di dalam membawa jemaat beribadah kepada Tuhan (panggilan melayani). Pelayanan musik gereja bukanlah wadah menampilkan diri dan kemampuan, wadah mencari nafkah atau wadah pelampiasan hobi belaka tetapi adalah bagian penting dari ibadah umat Tuhan kepada-Nya. Kiranya Tuhan memanggil dan memakai kita melalui pelayanan musik secara benar dan penuh kuasa bagi kemuliaan-Nya.
Bibliography Jones, Paul S. “Singing and Making Music.” New Jersey: P&R Publishing, 2006.
Peserta KIN Pemuda dari Semarang telah tiba di stasiun Gambir, Jakarta.
Pemuda takut akan Tuhan: Pengharapan Gereja & Bangsa
5
SEKILAS Sambungan dari hal.8 John Sung....
depresi yang mendalam. Di tahun 1927 John Sung mengikuti suatu kebaktian penginjilan dan mendengarkan seorang gadis berusia 15 tahun memberikan kesaksiannya. Gadis itu membacakan Kitab Suci dan berbicara tentang kematian Kristus di kayu salib sebagai pengganti penebusan. John Sung merasakan kehadiran Allah. Sekalipun diejek teman-teman seminarinya, John Sung kembali ke kebaktian penginjilan itu 4 malam berturut-turut. Ia kemudian mulai membaca biografi-biografi Kristen untuk menemukan kekuatan apa yang ia rasakan pada saat kebaktian penginjilan tersebut. 10 Februari 1927 John Sung mengalami pertobatan sejati. Pada saat John Sung berdoa, ia mengalami suatu pengalaman ajaib. Ia merasa bahwa ini adalah pemberian dari Roh Kudus. John Sung berkata: “ini adalah kelahiran baru rohaniku. Walau aku telah percaya Yesus sejak kecil, ada suatu pengalaman baru yang mengubah hidupku. Roh Kudus mencurahiku seperti air pada puncak kepalaku dan terus menerus mengalir gelombang demi gelombang.” Sejak pengalaman tersebut, John Sung merasa lebih kuat dan bersemangat dalam berkhotbah di gereja atau kepada orang yang ditemuinya. Ia menjadi orang yang berubah radikal dan ia mulai penuh semangat berkhotbah di ruang kuliah dan kepada teman-teman dekatnya. Rektor seminari dan temantemannya berpikir waktu itu John Sung sudah tidak wajar dan tidak waras lagi, sehingga ia dikirim ke rumah sakit jiwa selama 193 hari. Keberadaan dirinya di rumah sakit jiwa tidak membuat John Sung melupakan atau membenci Tuhan, namun ia justru memakai waktu-waktu “kurungan” tersebut untuk membaca Kitab Suci dari Kejadian sampai Wahyu sebanyak 40 kali, sehingga ia tidak saja hafal tetapi mendalami seluruh Alkitab yang menjadi dasar penginjilan dan kebangunan rohani pada abad ke-20 sampai ia wafat. Pada tanggal 4 Oktober 1927 tanpa kelulusan dari seminari, John Sung
6
kembali ke Tiongkok, tanah airnya, menuju Shanghai. Sebelum ia sampai di tanah airnya, di atas kapal laut ia mengambil ijazah-ijazah dan medalimedali serta tanda keanggotaannya dalam organisasi-organisasi sains terkenal, termasuk ijazah doktornya dan membuang semua itu ke laut, kecuali satu salinan ijazah yang ia berikan kepada ayahnya. Ia berkomitmen penuh seumur hidup mengabarkan Injil. “Apa yang tadinya kuanggap berharga, kini kuanggap sampah karena Kristus” (Flp. 3:7). John Sung turun dari kapal di Shanghai pada musim gugur di tahun 1927. Ia memulai pengabaran Injil di Minnan. Selama tiga tahun (1927-1930) John Sung mengabarkan Injil dengan hanya 2 tema, yaitu Penyaliban Kristus dan Darah Yesus. Seluruh khotbahnya didasarkan pada ajaran Alkitab: kelahiran baru, keselamatan, dan memikul salib untuk Kristus. John Sung kemudian melakukan pelayanan di Shanghai pada tahun 1930/1931. Ia melayani di sekolah minggu Bethel dan bersama para sarjana lain ia mendirikan Bethel Evangelist Band. Tema yang diajarkan seputar kemerdekaan dari dosa. Isinya antara lain: a. Mengaku dosa-dosa saja tidak cukup, manusia harus bertobat dari dosa-dosanya. b. Setelah pertobatan harus “mengoreksi dosa-dosanya” artinya berubah total dan bebas dari tabiat dosa. c. Setelah berubah dari tabiat dosa, perlu “pengembalian dosa-dosa” artinya jika dulu ia menipu atau mencuri uang, ia harus mengembalikan uang tersebut atau ia secara formal melakukan permintaan maaf yang menunjukkan ia benar-benar menyesal. d. Hanya mengatakan “Tuhan, ampuni kami karena kami pendosa” saja tidak cukup. Selama berdoa, jika seseorang mau bertobat dari dosa, ia harus menggolongkan dosa itu termasuk dosa apa secara keseluruhan dan menjabarkan satu persatu sampai detail dosa kecilnya.
KIN
Dalam menyampaikan khotbahnya, John Sung sangat bersemangat. Ia bisa melompat di mimbar. Ia juga selalu menyanyikan lagu pujian setiap 23 menit dan menggunakan bendabenda sebagai ilustrasi. Suatu hari ia membawa peti mati, lalu berteriak: “uang naik, uang naik, peti mati juga naik” artinya uang semakin banyak, kematian juga mendekat. John Sung adalah seorang pendoa syafaat yang setia. Tak seorang pun diperbolehkan menyela waktu berdoanya. Ia memiliki kebiasaan bangun jam 5 pagi untuk berdoa selama 2-3 jam. Bagi John Sung “iman adalah menyaksikan Allah bekerja di lutut Anda.” Melalui doanya, banyak orang sakit yang disembuhkan. Akhir Hidup John Sung kemudian menjadi penginjil terbesar dalam sejarah Tiongkok. Ia sering dijuluki “Wesley dari China”. Puluhan ribu orang bertobat dari pelayanannya. Selain di Tiongkok, ia juga pernah memimpin Kebaktian Penginjilan di Myanmar, Kamboja, Singapura, Indonesia, dan Filipina. Pelayanan kesembuhan John Sung sangat spektakuler, di mana ratusan orang disembuhkan dari pelbagai penyakit, namun ia sendiri harus berjuang bertahun-tahun untuk melawan penyakit tuberculosis usus yang dideritanya. Penyakit ini menyerang dia secara konsisten dengan rasa sakit luar biasa, kadang kala ia harus berlutut untuk meredakan nyerinya. Walaupun demikian, rasa sakit tidak pernah menghentikannya untuk berkhotbah. Akhirnya, setelah bertahun-tahun menderita sakit, John Sung, Sang Obor Asia, dipanggil pulang kepada Bapa di Sorga pada tanggal 18 Agustus 1944, di usia 43 tahun. Sang Obor Asia itu telah tiada, namun tongkat estafet untuk meneruskan obor itu akan tetap selalu ada. Siapakah penerimanya pada zaman ini? “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?” (Mrk. 8:36)
Pemuda takut akan Tuhan: Pengharapan Gereja & Bangsa
SEKILAS
KIN
Mengenal:
Pdt. Benyamin F. Intan
D
ilahirkan di Ambon 2 Mei 1966 dari keluarga Kong Fu Cu, Benyamin F. Intan (Pak Ben) sangat bersyukur hanya karena anugerah Tuhan semata maka bukan hanya dirinya tapi juga ayah (almarhum), ibu, kakak, dan kedua adiknya menjadi Kristen. Setelah menyelesaikan Insinyur Teknik Elektro di Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya tahun 1990, Pak Ben menjadi Dosen Teknik Elektro UK Petra hingga 1994. Melalui KKR Pdt.Dr. Stephen Tong (Pak Tong) di Surabaya, Pak Ben mendapat panggilan menjadi hamba Tuhan. Untuk menguji dan meresponi panggilan tersebut, Pak Ben mengambil beberapa kelas theologi di Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya dan mengikuti beberapa kuliah intensif di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Indonesia di Warung Buncit, Jakarta, di mana Pak Tong ketika itu menjabat sebagai rektor. Melalui rekomendasi dan dukungan dari Pak Tong dan Almarhum Bapak Radius Prawiro, Pak Ben mendapatkan beasiswa full-tuition dari Reformed Theological Seminary, USA, dan menyelesaikan program M.A. in Theological Studies tahun 1996. Juga atas dukungan Pak Tong dan Almarhum Pak Radius, Pak Ben kemudian mendapatkan beasiswa full-tuition dari the Divinity School of Yale University, USA, dan memperoleh M.A. in Religion Desember 1997. Pada tahun 1998, Pak Ben memperoleh fellowship – beasiswa full-tuition dan living costs – dari Boston College, USA, dan menyelesaikan
Ph.D. in Social Ethics pada Mei 2004. Sekembalinya ke Jakarta 2004, Pak Ben menjadi Dosen Institut Reformed, dan bulan Desember menggembalakan Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Pondok Indah hingga saat ini dan menjabat Sekretaris Umum Sinode GRII hingga 2013. Pada Maret 2005, Pak Ben ditahbiskan menjadi pendeta GRII oleh Sinode GRII dan pada April 2006 bersama Pak Tong (Founder), Pak Ben (Co-Founder) mendirikan Reformed Center for Religion and Society (RCRS, www.reformed-crs.org) dan menjadi Direktur Eksekutif RCRS sejak itu. Sejak 2012 Pak Ben menjabat Rektor Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Internasional (STTRII, dulunya Institut Reformed). Sejak 2006 Pak Ben menjabat sebagai anggota Board of Directors dan sejak 2010 anggota Theological Commission dari World Reformed Fellowship (WRF, www.wrfnet.org). Pak Ben juga menjadi anggota Editorial Board dari International Journal for Religious Freedom (IJRF) yang diterbitkan International Institute for Religious Freedom (IIRF) dari World Evangelical Alliance (WEA). Pak Ben juga adalah penasehat dari Verbum Christi, Jurnal Theologi Reformed Injili yang diterbitkan STTRII dan anggota Dewan Editor dari Societas Dei, Jurnal Agama dan Masyarakat yang diterbitkan RCRS. Sejak Mei 2015, bersama beberapa rektor seminari terkemuka dunia, Pak Ben menjabat sebagai anggota Steering Committee
dari Global Reformed Alliance of Confessional Educators (GRACES), Chongshin University, Seoul, Korea Selatan. Pak Ben menulis banyak artikel di jurnal, bab buku, majalah, dan artikel opini di pelbagai koran nasional seperti Kompas, Jakarta Post, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, dan Sinar Harapan. Bukunya, “Public Religion” and the Pancasila-based State of Indonesia: An Ethical and Sociological Analysis, diterbitkan Peter Lang, New York tahun 2006. Artikel beliau tentang “Personal Ethics” dimuat di ESV (English Standard Version) Global Study Bible. Pak Ben pernah memberikan seminar tentang “Religious Violence in Indonesia” di Prince Alwaleed Bin Talal Center for MuslimChristian Understanding, Edmund A. Walsh School of Foreign Service, Georgetown University, USA, dan seminar tentang “Religious Freedom in Indonesia” di Westminster Theological Seminary (WTS), USA. Pak Ben juga pernah mempresentasikan paper tentang “public theology” di berbagai konferensi internasional seperti di Singapore Management University dan di University of Chester, UK. Tahun 2014 yang lalu, Pak Ben menjadi Presidential Visiting Scholar dari WTS summer 2014. Menikah dengan Yani Hermawan, Pak Ben dikarunia seorang putera, Nathan Stefanus Intan.
”Man is not what he thinks, man is not what he eats, man is not what he behaves. Man is what he reacts before God.” Pdt. Dr. Stephen Tong Pemuda takut akan Tuhan: Pengharapan Gereja & Bangsa
7
SEKILAS
KIN
John Sung (29 September 1901 - 18 Agustus 1944)
SANG OBOR ASIA
P
Lahir hingga Masa Kecil ada tanggal 29 September 1901 John Sung dilahirkan di desa Hingwa, Provinsi HokKian (Fukien) dengan nama Sung Shang Chieh. Ketika ia berusia 9 tahun, ia mendengarkan khotbah Jumat Agung tentang “Yesus di Taman Getsemani”. Pengkhotbah waktu itu membandingkan para murid yang sedang tidur dengan keberanian Yesus. Banyak orang menangis dengan dukacita yang mendalam di akhir khotbah itu, termasuk John Sung. Namun di saat itu ia tampaknya belum bertobat dengan sungguhsungguh, sekalipun di masa kecilnya ia membantu pelayanan ayahnya yang adalah seorang pendeta dari gereja lokal America Wesleyan Methodist. Bila ayahnya sakit atau ada urusan keluar, dan tidak ada yang menggantikan, John Sung sering menggantikan ayahnya dalam memimpin kebaktian. Ia sering disebut pendeta cilik. Masa Muda, Pertobatan, dan Pelayanan Pada tahun 1920, pada usia 19 tahun, John Sung dikirim ke Amerika untuk melanjutkan studi. Ia diterima di Ohio Wesleyan University dengan memperoleh beasiswa. Ia mulai mengambil kelas pra-medis dan pratheologi, namun berhenti dari mata kuliah pra-theologi, serta memutuskan untuk mengambil spesialisasi dalam bidang matematika dan kimia. Ia menghadiri kebaktian secara rutin dan mengorganisir kelompok-kelompok penginjilan di kalangan mahasiswa. Namun akihirnya ia menolak belajar Alkitab dan berdoa, dan berbuat curang
pada salah satu dari makalah-makalah ujiannya. John Sung sangat berprestasi dalam kuliahnya, terbukti dari medali emas dan uang tunai untuk bidang fisika dan kimia yang dianugerahkan kepadanya, juga terpilih untuk menjadi anggota Phi Beta Kappa Fraternity (suatu kelompok eksklusif dari para sarjana terkemuka), dan diberikan kunci emas, suatu lencana istimewa dalam ilmu pengetahuan. John Sung kemudian mendapatkan penawaran beasiswa dari banyak universitas, termasuk Harvard University. Ia memutuskan menerima beasiswa untuk program Master of Science di Ohio State University dan menyelesaikan program ini hanya dalam 9 bulan! Pada tahun 1923, John Sung meraih gelar Ph.D dengan predikat cum laude di bidang Ilmu Kimia. Ia lulus sebagai salah satu dari empat mahasiswa paling berprestasi dari 300 mahasiswa. John Sung adalah orang Tiongkok pertama yang menyandang gelar Ph.D. Dalam surat kabar, John Sung dilukiskan sebagai “mahasiswa paling terkenal dari Ohio”. Hanya dalam kurun waktu 5 tahun dan 2 bulan, ia meraih tiga jenjang gelar akademik, dari Sarjana, Master, sampai kepada Ph.D. Namun dalam hatinya yang paling dalam, ia tidak memiliki damai sejahtera. Kegelisahan rohaninya mulai tumbuh dan membawanya kepada periode-periode pergumulan hidup yang mendalam. Di masa kecil, John Sung hanya mengenal Yesus sebagai “teladan agung”. Namun suatu malam ketika ia duduk sendirian, ia seakan mendengar
suara Tuhan yang berkata kepadanya: “Apa untungnya ini bagi seseorang, jika ia memperoleh seluruh dunia, namun kehilangan jiwanya sendiri?” Hari berikutnya ia berbicara dengan seorang profesor Methodis liberal. Ia menceritakan kepada profesor itu bahwa sesungguhnya ia datang ke Amerika untuk belajar theologi. Profesor lalu merekomendasikan dia untuk sekolah di seminari yang sangat liberal saat itu yaitu Union Theological Seminary. Rekomendasi ini diterimanya dengan sedikit berat hati karena ia sebenarnya bukan mau belajar untuk melayani tetapi hanya untuk menyenangkan ayahnya. Tahun 1926 ia memutuskan belajar di Union Theological Seminary selama satu tahun. John Sung menenggelamkan dirinya ke dalam studi theologi liberalnya dengan segala kemampuan inteleknya. Pada tahun itu dia memperoleh nilainilai tertinggi, namun berpaling dari Kekristenan. Ia mulai menyanyikan kitab-kitab suci Buddha dalam meditasi di kamarnya, dan berharap melalui penyangkalan diri akan memperoleh damai sejahtera. Ia menulis: “Jiwaku mengembara di padang gurun.” Dalam keadaan jiwanya yang kering, ia bersahabat dengan teman-teman sekelasnya dari Tiongkok. Namun fakta yang lebih menyakitkannya adalah gadis di Tiongkok yang pernah ditunangkan dengannya kemudian memutuskan hubungan dengannya. Ia menulis: “Saya tidak dapat tidur ataupun makan…. Hati saya dipenuhi dengan kegalauan yang paling dalam.” John Sung kemudian jatuh ke dalam Bersambung ke hal.6
TIM REDAKSI SEKILAS KIN: Penasihat: Pdt. Dr. Stephen Tong; Redaktur umum: Pdt. Sutjipto Subeno M.Th.; Tim Redaksi: Vic. Edward Oei M.C.S., Vic. Dr. David Tong, Mitra Kumara, Johan Murjanto; Rubrik: Vic.Elsa Pardosi, Simon Lukmana; Layout: Johannes Kornelius, Adhya Kumara, Nanie K.; Produksi: Adi Lou, Iwan Darwins, Evalina Kwok, Saut P., Yohanes Irwan
8
Pemuda takut akan Tuhan: Pengharapan Gereja & Bangsa