SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | DISKURSUS
Permasalahan Cagar Budaya Living Monument Milik Perorangan di Perkotaan Yuni Rahmawati
[email protected] Mahasiswa Magister Cultural Resources Management, Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
Abstrak Suatu Cagar Budaya tidak hanya dapat dimiliki oleh pemerintah tapi juga dapat dimiliki oleh perorangan. Namun sayangnya muncul masalah di hampir setiap kota di Indonesia khususnya di wilayah perkotaan, bahwa pemilik merasa keberatan dengan status Cagar Budaya yang melekat pada bangunan sejarah miliknya karena tidak memberi manfat, malah sebaliknya hanya menjadi beban, seperti yang terjadi pada Ex-Rumah Bupati masa Kolonial di Kota Serang, Banten. Hal tersebut terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang dibebankan kepada pemilik. Oleh karena itu perlulah dilakukan penanganan nyata dan juga paradigm baru dalam melakukan pelestraian Cagar Budaya milik perorangan khususnya di perkotaan. Paradigm baru mengenai prinsip keseimbangan hak dan kewajiban bagi pemilik dan paradigm baru bahwa pelestarian bahwa bukan hanya mengenai pelindungan namun juga mengenai pemanfaatan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kata-kunci : Cagar Budaya, Living Monument, Milik Perorangan, Perkotaan
Pendahuluan Banten adalah salah satu kawasan yang dijadikan sebagai tempat hunian maupun pusat administrasi pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Hal ini berkaitan dengan letak wilayah Banten yang tidak begitu jauh dari pusat pemerintahan Hindia Belanda di Batavia. Keberadaan bangsa asing di wilayah Banten, khususnya kota Serang sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda menghasilkan satu bentuk pembangunan dalam wujud fisik, yang tinggalannya memberikan nilai historis pada bangsa Indonesia yang perlu dijaga dan dilestarikan. Bangunan peningggalan kolonial yang dapat dijumpai di Kota Serang hingga saat ini adalah gedunggedung yang berada di sekitar alun-alun. Bangunan tersebut antara lain: Gedung Karesidenan Banten yang kini digunakan sebagai Kantor Gubernur Banten, Pendopo Kabupaten Serang, Gedung BPKD Serang, Rumah Dinas Danrem 064 Serang, Gedung Dokkes Polda Banten, Jembatan Kaujon, Rumah ex-Bupati, dan Gedung Juang. Selain itu juga rumah-rumah penduduk disekitar kawasan alun-alun. Bangunan bersejarah yang saat ini dijadikan bangunan kantor pemerintahan kondisinya cukup baik karena mendapatkan pemeliharaan yang baik selayaknya sebuah kantor pemerintahan. Lain halnya dengan bangunan bersejarah yang tidak digunakan untuk gedung pemerintahan, kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Terlebih untuk bangunan living monument milik perorangan, kondisinya tidak terawat. Baik pemerintah maupun pemilik bangunan bersejarah kurang memberikan perhatian.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 89
Permasalahan Cagar Budaya Living Monument Milik Perorangan di Perkotaan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, menyatakan bahwa setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya dengan ketentuan tertentu sebagai berikut : Pasal 12 (1) Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini. (2) Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya apabila jumlah dan jenis Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya tersebut telah memenuhi kebutuhan negara. Artinya secara hukum sah-sah saja sebuah Cagar Budaya dimiliki oleh perorangan jika jumlah dan jenisnya telah memenuhi kebutuhan negara. Namun masalahnya adalah sebagian besar Bangunan Cagar Budaya milik perorangan khususnya yang berada di perkotaan kondisinya sangat memprihatinkan. Sangat kontras dengan kondisi lingkungan sekitar yang telah tersentuh pembangunan. Bukan hanya kondisi fisiknya yang buruk, ada kecenderungan dari sang pemilik untuk menghilangkan status Cagar Budaya dari bangunan bersejarah miliknya. Ny. Lili sang pemilik Bangunan Cagar Budaya menghendaki status Cagar Budaya yang melekat pada bangunan bersejarah miliknya dihapus. Bahkan, papan Cagar Budaya yang dipasang oleh Pemerintah Daerah Kota Serang dicabut sebagai aksi ketidaksukaannya pada status Cagar Budaya tersebut. Sejatinya kondisi ini tidak hanya terjadi pada Ex-Rumah Bupati masa Kolonial Kota Serang, terjadi juga beberapa kasus serupa adanya keinginan pemilik bangunan untuk menghapus status Cagar Budaya dari bangunan bersejarah miliknya. Artikel ini dibuat agar muncul kesadaran pada semua pihak yang terkait bahwa terdapat permasalahan khusus dalam pelestarian Cagar Budaya Living Monument milik perorangan. Banyak kasus terjadi bahwa pemilik bangunan Cagar Budaya meminta penghapusan status Cagar Budaya yang melekat pada bangunan yang dimiliknya. Oleh karena itu perlu penanganan khusus agar Cagar Budaya termasuk yang dimiliki oleh perorangan di perkotaan bisa tetap lestari demi memajukan kebudayaan nasional dan bermanfaat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Status Cagar Budaya pada Ex-Rumah Bupati Masa Kolonial yang Tak Diinginkan Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. 1 Ketika suatu bangunan ditetapkan sebagai Cagar Budaya maka pemerintah wajib untuk memeliharanya. Gambar1. Tampak depan Ex-Rumah Dinas Bupati Kewajiban memelihara ini idealnya berlaku Masa Kolonial untuk semua Cagar Budaya, termasuk pada Cagar Budaya milik perorangan. Namun faktanya, sebagian besar Bangunan Cagar Budaya milik 1
UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya 90 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Yuni Rahmawati
perorangan kondisinya sangat memprihatinkan. Seperti yang terjadi pada salah satu Cagar Budaya living monument milik perorangan yang berada di kota Serang, yaitu Ex-Rumah Bupati masa Kolonial. Secara astronomis, Ex-Rumah Bupati masa Kolonial terletak pada koordinat 106° 07’ 119” Bujur Timur dan 06° 09’ 295” Lintang Selatan. Lingkungan rumah ini dibatasi oleh Jl. Veteran di sebelah Utara, pemukiman penduduk di sebelah Selatan, lahan kosong di sebelah Barat dan pertokoan di sebelah Timur. Gaya bangunan berupa bangunan lokal dengan mengadopsi gaya Eropa dan memiliki bentuk bangunan yang simetris. Bangunan kolonial ini menghadap ke arah utara dengan luas bangunan ± 218, 28 m². Sedangkan di sisi baratnya terdapat sumur. Bangunan ini dibuat dengan menggunakan bata berplester dan menggunakan atap genteng. Tampak depan berupa serambi yang tertutup dengan dinding yang dilengkapi tiga buah jendela besar dan dua buah pilaster pada sisi-sisi serambi sedangkan bagian atasnya terdapat tritisan/amper seng yang ditopang dengan konsol besi dan bovenlicht atau ventilasi (lubang angin) yang berbentuk persegi. Pintu serambi berada di kanan dan kiri (Timur dan Barat). Pada dinding selatan terdapat pintu yang langsung terhubung ke bagian dalam. 2 Ex-Rumah Bupati masa Kolonial ini lokasinya berada di Jl. Veteran, Kelurahan Cipare, Kecamatan Serang, hanya berjarak beberapa meter dari sebuah pusat perbelanjaan kota Serang. Jaraknya yang dekat dengan pusat Kota Serang yang sedang tumbuh dan berkembang dalam pembangunan memberikan kesan kontras. Terlihat kesan ada pengabaian pada bangunan yang sejatinya memiliki nilai historis ini. Pengabaian dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, juga pemilik Cagar Budaya tersebut. Bangunan bersejarah yang secara historis merupakan bekas rumah tinggal Bupati pada masa Kolonial Belanda ini kini lebih dikenal sebagai “rumah burung”, karena fungsinya saat ini yang digunakan sebagai warung sekaligus tempat menjual burung. Kemungkinan besar masyarakat tidak mengenalnya sebagai Cagar Budaya.
Gambar 2. Kondisi Plafon ex-Rumah Dinas Bupati Masa Kolonial
Berdasarkan hasil kegiatan Laporan kegiatan Kajian dan Studi Teknis Bangunan Kuno di Kaloran dan Bangunan Bekas Rumah Dinas Bupati yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang (BPCB Serang) pada tahun 2013, kondisi rumah yang telah masuk ke dalam data inventaris Cagar Budaya BPCB Serang dengan nomor inventaris 060.01.07.04.0 3 sangat memprihatinkan. Kondisi yang terekam pada tahun 2013 ini masih bertahan sampai saat ini, tanpa tindak lanjut dari instansi terkait.
Status Cagar Budaya yang melekat pada bangunan bersejarah masa kolonial ini ternyata tidak memberikan rasa bangga pada sang pemilik, malah sebaliknya Ibu Lili, pemilik Ex-Rumah Bupati ini merasa keberatan atas status Cagar Budaya tersebut. Beliau menghendaki status Cagar Budaya tersebut dicabut. Bahkan papan tanda Cagar Budaya yang dipasang oleh pihak pemerintah daerah pun dicabut. Beliau beranggapan bahwa status Cagar Budaya pada bangunan miliknya tidak memberikan manfaat, malah sebaliknya hanya menjadi beban karena aturan yang mengekang.
2
Laporan Kegiatan Kajian dan Studi Teknis Bangunan Kuno di Kaloran dan Bangunan Bekas Rumah Dinas Bupati, 2013, BPCB Serang 3 Daftar Inventaris Cagar Budaya Kota Serang, BPCB Serang. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 91
Permasalahan Cagar Budaya Living Monument Milik Perorangan di Perkotaan
Ada konsekuensi yang harus diterima saat seseorang memiliki Cagar Budaya atau jika benda/struktur/bangunan yang dimilikinya ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Salah satu konsekuensinya adalah kewajiban memelihara Cagar Budaya seperti yang diatur dalam pasal 75 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2010 tentang CB bahwa “Setiap orang wajib memelihara Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya”. Namun permasalahannya adalah kewajiban untuk memelihara ini tidak dibarengi dengan hak-hak seperti pemberian kompensasi dan insentif yang sebenarnya telah diatur dalam perundang-undangan. Selain kewajiban pemeliharaan yang dibebankan kepada pemilik, ada juga konsekuensi-konsekuensi lainnya seperti aturan pembatasan dalam pengubahan bentuk bangunan dan aturan pemindahalihan kepemilikan yang sering kali membuat pemilik Cagar Budaya menghendaki penghapusan status Cagar Budaya yang melekat pada benda/struktur/bangunan miliknya. Seperti yang terjadi pada bangunan ex-rumah bupati masa kolonial di Kota Serang ini.
Gambar 3. Kondisi salah satu kamar ex-Rumah Dinas Bupati
Gambar 4. Kondisi bagian belakang ex-Rumah Dinas Bupati
Hasilnya, Bangunan Cagar Budaya ini terabaikan oleh semua stakeholder. Pemerintah merasa bahwa kewajiban pemeliharaan ada di tangan pemilik. Di sisi lain, pemilik merasa dirugikan dengan adanya status Cagar Budaya karena hanya mendapatkan beban (kewajiban) tanpa mendapatkan hak-hak sesuai perundang-undangan. Pembahasan Keinginan untuk melepaskan status Cagar Budaya dari bangunan yang dimiliki bukan hanya terjadi di Ex-Rumah Bupati masa kolonial di Kota Serang. Hal ini hampir terjadi di semua daerah di Indonesia. Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sasana Sobokarti kota Semarang dalam tulisan yang berjudul “Mengapa Sulit Memelihara Cagar Budaya di Semarang?” menyatakan bahwa beberapa pemilik bangunan bersejarah di kota lama Semarang merasa keberatan atas status Cagar Budaya yang melekat pada bangunan miliknya. 4 Demikian pula yang terjadi pada bangunan-bangunan Cagar Budaya di kota lainnya di Indonesia termasuk di DKI Jakarta. Keberatan para pemilik Cagar Budaya atas status Cagar Budaya yang melekat pada bangunan miliknya tentu bisa dipahami dengan logis. Para pemilik dituntut untuk memelihara, mempertahankan keaslian, bahkan terkadang ada larangan penjualan bangunan yang dimiliki namun mereka tidak mendapatkan hak-hak yang sebenarnya sudah diatur dalam perundang-undangan tentang Cagar Budaya. Para pemilik dikenakan kewajiban untuk memelihara tanpa kompensasi dan insentif yang layak. Para pemilik dituntut untuk mempertahankan keaslian, sehingga terbatas dalam melakukan perbaikan namun pemerintah pun terkadang lalai dalam keterlibatan pemeliharaan.
4
www.bbc.com/indonesia/majalah2015/08/150805_majalah_cagarbudaya_semarang 92 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Yuni Rahmawati
Permasalahan ini akan makin nyata jika sebuah Cagar Budaya berada di perkotaan (Uban Heritage). Di tengah pembangunan yang semakin gencar dan tentunya disertai dengan kenaikan harga tanah dan bangunan di perkotaan maka akan makin tinggi beban pemilik untuk terus mempertahankan bangunan Cagar Budaya. Tentu akan lebih menguntungkan secara ekonomi jika bangunan bersejarah tersebut dijual kepada pengembang untuk pembangunan pusat perbelanjaan, hotel, atau bentuk pengembangan ekonomi lainnya. Dengan melihat adanya gejala ketidaksukaan para pemilik bangunan bersejarah atas status Cagar Budaya yang melekat pada bangunan miliknya tentu diperlukan solusi nyata. Perlu adanya pemikiran-pemikiran baru dalam memandang definisi pelestarian Cagar Budaya. Bahwa pelestarian harus dilihat dalam kaca mata yang lebih luas, bukan hanya sekedar melestarikan keberadaanya tapi juga harus memberikan manfaat sebesar-besar untuk kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanat UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, termasuk manfaat kepada pemilik Cagar Budaya sebagai seseorang yang tentu memiliki hak penuh secara kepemilikan terhadap bangunan Cagar Budaya. Berikut ini adalah beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelestarian Cagar Budaya Living Monument milik perorangan khususnya diperkotaan. 1.
Pemberian Kompensasi dan Insentif
Dibalik kewajiban-kewajiban yang selama ini ditetapkan kepada para pemilik Cagar Budaya, ada juga hak yang sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang Cagar Budaya. Pasal 22 ayat (1) UUNo.11/2010/CB menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya berhak memperoleh kompensasi apabila telah melakukan kewajibannya melindungi Cagar Budaya. Di ayat berikutnya dijelaskan pula bahwa selain kompensasi, pemilik pun berhak mendapatkan insentif berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan dan/atau pajak penghasilan. Namun faktanya, saat ini para pemilik Cagar Budaya belum mendapatkan haknya berupa kompensasi dan insentif dengan besaran yang proporsional. Ibu Lili, pemilik Ex-Rumah Bupati masa colonial mengaku tidak mendapatkan baik kompensasi maupun insentif sesuai perundangundangan.5 Keengganan menerima status Cagar Budaya pada bangunan yang dimiliki tentu tidak akan terjadi jika para pemilik mendapatkan kompensasi berupa uang maupun non-uang dan juga insentif pengurangan pajak dari pemerintah sebagai penghargaan dan timbal balik pemerintah karena pemilik sudah melestarikan Cagar Budaya. Sayangnya aturan pemerintah tentang besaran nilai kompensasi dan insentif yang diberikan kepada pemilik Cagar Budaya belum diatur dengan jelas. Hal ini tidak terlepas dari belum dimulainya pemerintah melakukan valuasi nilai Cagar Budaya sebagai asset negara yang selain memiliki nilai historis juga memiliki nilai ekonomi sehingga mempunyai hak mendapatkan biaya perawatan dari negara. Maka dari itu sudah seharusnya negara memulai untuk menentukan dan menerapkan metode valuasi nilai Cagar Budaya seperti yang sudah dilakukan oleh negara-negara maju 6 , kemudian melaksanakan amanat UUNo.11/2010/CB mengenai kompensasi dan insentif kepada para pemilik Cagar Budaya dengan nominal yang sesuai dengan nilai asetnya. Sehinga semangat dan kesadaran pemilik Cagar Budaya untuk melindungi Cagar Budaya akan meningkat dengan signifikan.
5 6
Informasi dari staff BPCB Serang. Ibu Lily sempat berdialog langsung dengan pihak BPCB Serang. The Treasury. (2002). Valuating Guidance for Cultural and Heritage Assets. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 93
Permasalahan Cagar Budaya Living Monument Milik Perorangan di Perkotaan
2.
Adaptasi dan Revitalisasi
Faktor lainnya yang menyebabkan ketidaksukaan pemilik atas status Cagar Budaya terhadap bangunan bersejarah miliknya adalah asumsi bahwa bangunan Cagar Budaya tidak boleh diubah sama sekali. Tentunya hal ini sangat merugikan pihak pemilik. Holtrof mengutip Lowenthal, Tunbridge dan Ashwot bahwa originalitas suatu benda Cagar Budaya tidaklah penting : originalitas hanyalah sebuah asumsi, bukan kebenaran (Lowenthal 1985 :242; Tunbridge and Ashwoth 1996 : 8 – 9).7 Bahkan Holtorf menyatakan bahwa secara empiris respon para pengunjung situs atau museum yang original sama dengan respon ketika mereka melihat duplikatnya. Tentu kita tidak boleh serta merta setuju dengan pernyataan di atas. Originalitas harus tetap dipertahankan. Namun, originalitas yang sesuai dengan kondisi saat ini adalah originalitas yang menghargai kepemilikan sebagai hak yang harus dihargai, sehingga mengizinkan proses adaptasi dan revitalisasi dengan ketentuan yang sesuai dengan undang-undang no 11 tahun 2010 tentang CB, yaitu revitalisasi dan adaptasi tidak mengakibatkan kemerosotan nilai penting dan tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian. Nampaknya perlu peningkatan pemahaman para pelestari Cagar Budaya bahwa undang-undang Cagar Budaya saat ini mengakomodir adanya perubahan pada Cagar Budaya melalui adaptasi dan revitalisasi. Pernyataan bahwa Cagar Budaya tidak boleh sama sekali diubah adalah suatu pernyataan yang menyesatkan dan merugikan terutama bagi pihak pemilik Cagar Budaya. 3.
Pemanfaatan
Timotty Darvil dalam tulisannya Value System In Archaeology menyatakan bahwa ada tiga nilai yang bisa diterapkan pada sebuah heritage, yaitu use value, option value dan existence value. Use value adalah nilai pemanfaatan suatu heritage, bahwa suatu heritage bukan hanya perlu dijaga dan dilestarikan tapi juga berpotensi untuk dimanfaatkan. Sedikitnya ada sepuluh use value yang disebutkan oleh Timothy Darvill, yaitu sebagai berikut : 8
Penelitian Arkeologi Penelitian Scientific Seni kreatif Pendidikan Rekreasi dan Turism Representasi Simbolik Legitimasi Aksi Solidaritas Sosial dan Integrasi Monetary dan Ekonomi
Nilai-nilai di atas, dominasinya lebih kepada pemanfaatn Cagar Budaya di luar konteks kebudayaan secara khusus. Bahwa Cagar Budaya pun bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain di luar kepentingan kebudayaan seperti untuk seni kreatif, rekreasi dan turism juga untuk monetary dan ekonomi. Hal ini juga sesuai dengan amanat undang-undang no. 11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa Cagar Budaya perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan,
7
Dikutip dari Holtrof, Cornelius J. (2008). Is the Past a Non-renwable Resource?, The Heritage Reader. New York: Routledge. 8 Darvill, Timothy. (1995). Managing Archaeology. Value System In Archaeology. London : Routledge. 94 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Yuni Rahmawati
pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu perlu kiranya membuka pikiran baru bahwa bukanlah suatu kesalahan ketika suatu bangunan Cagar Budaya living monument dimanfaatkan untuk hal lain di luar kepentingan khusus kebudayaan seperti memanfaatkannya menjadi sebuah restoran, café, atau fungsi baru lainnya yang lebih menguntungkan secara ekonomi bagi pemilik bangunan Cagar Budaya dengan tetap memerhatikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam melakukan adaptasi dan revitalisasi. Dengan demikian, bangunan Cagar Budaya akan terjaga kelestariannya dan di sisi yang lain dapat memberikan manfaat secara ekonomi bagi pemiliknya. Win win solution
Gambar 5. Heritage yang Difungsikan Sebagai Café di Singapura (Sumber:http://sg.asia-city.com/city-living/news/20-historical-buildings-singapore-havetaken-brand-new-life)
Kesimpulan Cagar Budaya adalah warisan luhur bangsa Indonesia, kebanggaan seluruh masyarakat Indonesia. Memiliki Cagar Budaya selayaknya menjadi suatu kebanggaan, bukan malah sebaliknya menjadi suatu beban. Di Indonesia ada suatu gejala penolakan dari pemilik terhadap status Cagar Budaya yang melekat pada bangunan bersejarah miliknya karena tidak memberikan manfaat secara ekonomis dan sosial. Hal ini bersebrangan dengan kondisi masyarakat pada negara-negara maju yang merasa bangga saat memiliki Cagar Budaya. Kepedulian pemilik terhadap kelestarian Cagar Budaya akan meningkat saat mereka mendapatkan hak-hak sesuai dengan perundang-undangan yaitu kompensasi dan insentif. Begitu pula ketika pemerintah memfasilitasi pemilik untuk memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan ekonomis yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Dengan demikian nilai market (ekonomis) dan nilai non-market (preservasi) bisa tercapai dengan baik. Terkait pentingnya pemberiaan kompensasi dan insentif yang proporsional kepada pemilik Cagar Budaya, saya menyarankan untuk melakukan suatu penelitian mengenai metode yang tepat dalam Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 95
Permasalahan Cagar Budaya Living Monument Milik Perorangan di Perkotaan
melakukan valuasi Cagar Budaya sebagai asset negara yang memiliki nilai ekonomi selain juga memiliki nilai historis yang tinggi. Daftar Pustaka Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. (2005). Ragam Pustaka Banten. Serang : Balai Pelestarian Peningalan Purbakala Serang. Darvill, T. (1995). Value System In Archaeology, In Managing Archaeology London : Routledge. Dinas Kebudayaan dan Priwisata. (2008). Bangunan Kuno di Banten. “Seri Mengenal Banten 3”. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Banten. Dinas Kebudayaan dan Priwisata. (2008). Dokumentasi Benda Cagar Budaya dan Kepurbakalaan Provinsi Banten. Edisi Revisi. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Banten. Hakim, L. (2006). Banten Dalam Perjalanan Jurnalistik. Serang: Banten Heritage. Holtrof, C.J. (2008). Is the Past a Non-renwable Resource?, The Heritage Reader. New York: Routledge. Kartodirdjo. (1987). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500- 1900. Jakarta: Gramedia. Lubis, N. dkk. (2000). Sejarah Kota- kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint. Lubis, N. (2003). Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES. Munandar, A.A. (ed). (2007).Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat: Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat. Sumalyo,Y. (1995). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tim BPCB Banten. (2015). Daftar Inventaris Cagar Budaya Kota Serang. Serang : BPCB Serang. Tim BPCB Serang. (2013). Laporan Kegiatan Kajian dan Studi Teknis Bangunan Kuno di Kaloran dan Bangunan Bekas Rumah Dinas Bupati. Serang : BPCB Serang. Tim BBC. (2015). Mengapa Sulit Memelihara Cagar Budaya di Semarang?. 24 Maret 2017. www.bbc.com/indonesia/majalah2015/08/150805_majalah_cagarbudaya_semarang. The Treasury. (2002). Valuating Guidance for Cultural and Heritage Assets. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
96 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017