438
Hukum dan Pembangunan
Permasalahan Batas 'Laut Antarnegara ASEAN dan Saran ,Penyelesaian*, . ';
.
!
'
".I.".
.,', ";'
.
1
Oleh : C.P.F. LlIhulima Semus negara Asia Tenggara berba.asan dengan Laut Cina Selatan, kecuali Laos, dan sebagai skibatnya timbulah berbagai macam masalah. seperti k1aim tethadap' ,pulau-pulau yang dipersengketakan dan masalah lalu-tintas di aolars negara-negara }'ang berbalasan· dengannya, bai~ di an.ara negara-negara ASEAN sendiri maupun antara negara-negara ASEAN dengan negara·negara di luar wilayah Asia Tenggara. Perselisihim perbatasan lau. anlara negar. ASEAN meinpunyai implikasi polilik yang luas, se· hingga lebih mudah diselesaikan seesra Bilaleral daripada seears MuUilatera.
Bahwa Asia Tenggara merupakan suatu kawasan yang amat strategis karena menjerigkang Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. karena kekayaan alamnya dan karena potensi pasarnya sudah sering ditonjolkan. Yang tidak sering dikemukakan ialah sifat maritim kawasan ini, .yang tidak saja menyediakan surhber alam mineral dan· ha,yati bagi kehidupan penduduknya, melainkan dapat pula merupakan sumber destabilisasi, apabila kemampuan untuk mengelolanya, untuk mengawasi dan mengamankannya tidak memadai. ., .... '. ' Suatu contoh disini ialah Laut Cina Selatan, yang pada salU pihak menyediakan sumber kehidupan bagi orang-orang yang berdiam di~ekita[ nya, tetapi pad a lain pihak merupakan sumber persengketaan. Ia juga memiliki banyak J'otensi kerjasama. Semua negara Asia Tenggara berbatasan dengan Laut Cina SeIatan, kecuali tenlU Laos, dan. sebagai akibat timbuUah berbagai macam masaIah, seperri kIaim terhadap pulliu-pulau yang dipersengkelakan dan masalah IaIu iintas diantara negara-negara yang ber,<••1 " batasan dengannya. Untuk membahas kemungkinan kerjasama maritim ASEAN dan berbagai per-masaIahannya, sebaiknya kita memusatkan pertlatian kita pada Laut Cina 'SeIlItan, Y'angbariyak menirri!)ulkan p€r'masaIahan diantara negara-negara ASEAN sendiri dan dengan negara-negara Asia Tenggara Iainnya, serta antara negara-negara ini dengan negara-negara diIuar wiiiiyah Asia Tenggara. .". .) Di~mpaikan pada Seminar ~ZOPFAN DAN KERJASAMA MARITIM DI ASIA TENGGARk. diselcnggarakan pada Pasific Harmoni ,or International Cooperatioo bckerjasama dcngan IATSS Forum Indonesia Committee.
Permusaluhull
439
LaU! Cina Selatan merupakan "Iaut setengah tertutup" dalam arti Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 122 Konvensi HUkum Laut 1982 merupakan "Iaut tertutup atau laut setengah tertutup" sebagai (1) "suatu teluk, lembah laut, atau laut yang dikelilingi oleh dua atau.lebih Negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudra oleh suatu alur yang sempit" atau (2) "yang terdiri seluruhnya atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif dua atau lebih Negara pantai". Pasal berikutnya, yaitu pasal123, menentukan bahwa negara-negara yang. berbatasan dengan laut tertutup alau setengah terlulup, yaitu Laul Cina Selalan, "hendaknya bekerjasama satu sarna lainnya dalam melaksanakan hak dan kewajibannya" alas dasar Konvensi 1982 ini. Pasal ini selanjutnya menentukan pula bahwa negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup : harus berusaha secara langsung atau melalui organisasi regional yang tepat untuk : "(a) mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi, eksplorasi dan ekspoitasi sumber kekayaan hayati laut; (b) mengkoordinasikan pelaksanaan hak dan kewajiban mereka ber-talian dengan perlindungan dan pemeliharaan Iingkungan laut; (c) mengkoordinasikan kebijaksanaan riset i1miah dan untuk bersama-sama dimana perin mengadakan program bersama riset i1miah di kawasannya; (d) mengundang menurut keperluan, Negara lain yang bcrminat atau organisasi internasional llntuk bekerjasama dengan mereka dalam pelaksanaan lebih lanjul ketenluan pasal ini". Konvensi Hukum L.aut 1982 ilu ditandatangani oleh semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, keenam negara ASEAN , Vietnam, RRC dan Laos, yang tidak langsung berbatasan dengannya. Beberapa diantara mereka, seperti Indonesia dan Filipina, sudah meratifikasi Konvensi Hukum Laut itu, sedangkan lainnya diharapkan akan meratifikasinya dalam waktu dekat. Dengan penandatanganan KHL 1982 itu dan ratifikasi yang masih harus menyusul, tersedialah suatu instrumen untuk mengembangkan kerjasama di Laut Cina Selatan, atau lebih tepat Lembah Laut Cina Selatan, yailu laU! itu sendiri, cabang-cabangnya seperti Laut Thai dan Lau.t Sulu, dan dalam arti geografis semua daratan yang mengelilinginya dan yang dilalui sungai-sungai yang bermuara di Laut Cina Selatan dan cabangcabangnya. Dalam arti fisik ia mencakup juga bagian-bagian dari negara, seperti Indonesia, sedangkan dalam arti strategis, semua negara Asia Tenggara, kecuali Myanmar, amat berkepentingan. RRC juga mempunyai kepentingan yang besar sekali. ' Sejumlah masalah yang kontroversial telah muncul yang mempengaruhi hubungan antara negara-negara ASEAN, yang semuanya berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Penyelesaian sebagian besar perselisihan maritim . antar negara ASEAN ditunda karena sulitnya mencapai persetujuan. Semangat kesetiakawanan ASEAN sampai kini dapat meredam atau menlltupi perbedaan-perbedaan mendasar yang ada di antara mereka. OktobeT 1990
44Q
Hukum dan Pembangllflon
Ketika Indonesia dan Filipina sceara resmi menerapkan prinsip ncgara kepiifauan di tahun 1957 dan 1962, negara-negara ASeAN lainnya semula , tidak dapat menerimanya. Mereka minta agar .kepentingan mereka diperhatikan kedua negara kepulauan ini. Dengan disetujuinya KHL 1982 dan Rejim Negara Kepulauan mereka akhirnya menyetujui penerapan itu. Klaim Indonesia didasarkan atas konsep ,tanah air, dan kebutuhan strategi.s untuk menjamin kesatuan integral pulau-pulau dan semua perairan di antaranya. Malaysia mengakui dan mcndukung Rejim negara kepulauan, tetapi karena keadaan geografi Malysia, n~gara ini mempunyai kepentingan khusus dalam rejim ini, yaitu perlindungan terhadap hak-hak yang sah dan tradisionalnya di perairan Indonesia di antara kedua wHayah Malaysia . Pada lain pihak, dengan memasukan kepulauan Natuna dan Anamba di Laut Cina Selatan, wilayah Indonesia lerletak .a ntara Malaysia Timur dan [laral , sehingga negara itu prihatin atas penerapan Rejim Negara Kcplllauan atas kasatuan wilayah Malaysia. Selama sembilan belas tahun te.rdapat ke· khawatiran di pihak Malaysia tentang tindakan unilateral Indonesia sampai ditandatangani suatu Memorandum of Understanding (MOU) pada tanggal 27 juti 1976. MOU ini merupakaIi dasar bagi "perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tenteng Rejim Hukum Negara Kepulauan dan Hakhak Malaysia di Laut Teritorial dan Perairan Nusantara dan Wilayah Rcpublik Indonesia yang terletak di antara Malysia Barat dan Malaysia Timur yang ditandatangani pada tanggal 27 februari 1982 dan mulai berlaku dua tahun kemudian. (25 Februari 1984) Paragraf pertama ·dari pasal 2 perjanjian ini menyatakan seeara eksplisit bahwa Malaysia mengakui dan menghormati Rejim Negara Kepulauan yang diterapkan Indonesia. Paragraf kedua Pasal yang sarna menyatakan bahwa Indonesia akan terus mengakui hak-hak yang ada dan lain-lain hak yang sah Malaysia di laut teritorial dan perairan Indonesia yang terletak diantara Malaysia Timur dan Baral. Hak lintas kapal-kapal Malaysia harus dilakukan melalui dua jalur yang ditentukan oleh serangkaian garis sumbu (axis lines) yang berkelanjutan pada suatu peta. Deviasi yang dibolehkan dari gar is sumbu ini ialah 10 mil di kedua sisinya dengan ketentuan bahwa kapal-kapal itu lidak betlayar lebilt dekat dari 3 mil dari pantai. Suatu daerah penangkapan ikan dimana para nclayan Malaysia boleh melanjutkan hak tradisionalnva juga ditentukan. Perjanjian ini memang merupakan suatu paket yang berimbang dan saling menguntungkan. Pengakuan Malaysia atas Rejim Negara Kepulauan yang diberlakukan Indonesia, tidak menghindarkan Malaysia untuk memperluas perairar. teritorialnya selebar 12 mil (AgusIlls 1969). Dalam bulan Maret 1970 ncgara itu menandatangani suatu persetujuan dengan Indonesia untuk menentukan garis batas di setat Malaka dan Singapura, juga suatu eabang Laul Cina Selatan, karena perairan teritorial keduanya saling tum pang Iindih disebelah selatan. Kalau Indonesia menganggap selat Malaka sebagai perairan terilarial, Malaysia lebih memperhatikan keselamatan navigasi dan polusi di selat ini. Pada sidang XV Komisi perbatasan Indonesia-Malaysia dalam
Permasu/ahan
441
rangka Persetujuan liga negara Pamai Selal Malaka dan Singapura (Indonesia, Malaysia dan Singapura), kedua negara setuju umuk menIngkatkan kerjasama pengawasan pemanfaatan Selat .Malaka untuk menghindarkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip yang diatllr KHL itu . "Kita tak boleh berpendirian seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa. Karena itu wajar bila kedua negara yang berbatasan di selat itu perlu bersikap waspada dan bekerjasama menjaga imegritas negara masing-masing", kata menteri Abdullah Badawi, yang mengelUai delegasi Malaysia pada Sidang Komisi . Perbatasan Indonesia Malaysia di bulan 'November 1986. Filipina dengan lebih dari 7000 pulau dan wilayah darat sebesar kurang lebih 115.830 mil laut persegi juga menuntut Rejim Negara Kepulauan. Klaim Filipina tidak hanya membuatnya mengalami kesulitan dengan tetangganya di ASEAN, khususnya dengan Indonesia dan Malaysia, melainkan juga dengan RRC, Vietnam dan Taiwan. Pulau Miangas yang di)daim Filipina berdasarkan pertimbangan sejarah merupakan wilayah administrasi Hindia Belanda. Dalam perjanjian penyerahan wilayah antara Amerika Serikat dan Spanyol, pulau Miangas termasuk dalam l!aris yang dialihkan, sehingga ia tercantum dalam Konstitusi Filipina. Akan tetapi, dalam pernyataan yang terlampir pada Perjanjian Ekstradisi Republik Indonesia-Filipina (yang ditandatangani di bulan Februari 1976 dan mulai berlaku 25 Oktober 1976), menteri Kehakiman pada waktu itu, Vincente Santos, mengungkapkan bahwa Republik Indonesia merupakan satu-satunya pemilik pulau yang bernama Las Palmas (Miangas) sebagai akibat dari suatu keputusan arbitrase pada tanggal 2 April 1928. Dan Indonesia berpegang pada pernyataan ini dalam memperjuangkan haknya atas Mianga~. Sampai kini masalah ini belum terselesaikan dan Indonesia tetap memerintah pulau Miangas. Suatu konsep perbatasan yang lain yang menimbulkan hal-hal yang mengganggu hubungan antar negara ·ialah Zona Ekonomi Eksklusif. p,embentukan Zona ini merupakan jawaban atas keprihatinan dunia tentang ancaman nyata bagi penipisan sumber daya ikan di perairan pantai. Penipisan itu terutama disebabkan eksistensi Rejim Kebebasan Laut Lepas (high seas), khususnya kebebasan menangkap ikan yang menjurus kepada penangkapan ikan berlebih-lebihan oleh armada perikanan jarak jauh (terutama drift netting). ZEE dari hampir semua negara Yl\IIg berbatasan dengan La.ut Cina Selatan saling tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah penentuan batas. pemilikan sejumlah pulau-pulau ked), di Laut Cina Selatan memperbesar permasalahan ini dan tak-kan menimbulkan ketegangan tentang hak atas laut teritorial atau landas kontinen. Di ASEAN, Filipina merupakan negara pertama yang memproklamasikan ZEE nya, yaitu di bulan Agustus 1979" diikuti Indonesia dalam bulan Maret 1980. Malaysia menyusul dua bulan kemudian, sedangkan Muangthai memproklam3$ikar,myadi .bula~ Februari 1981 ~ Keempat negara ini membentuk ZEE nya melalui ·pengumuman · unilateral,. tanpa memOk/aber 1990
442
Hukum dan Pembollgunan
perhatikan pengakuan internasional. Tetapi mereka mengatakan bersedia berundiitg tentang seliap masalah pcrbatasan yang diciptakannya. Kendati demikian, rumus demarkasi, apakah iii! didasarkan atas prinsip imbang jarak atau pembagian yang wajar alau adil, lidaklah satu-satunya sebab konflik itu. Malaysia dan Filipina telah bersitegang dcngan Vietnam, RRC. dan Taiwan. Konvensi Hukum Laut mengantisipasi masalah sernacam ini. Pasal 74 .dan 83 menyatakan bahwa "penetapan batas zona ekonomi eksklusif (Iandas kontinen) antara negara yang ' pantainya berhadapan atau ber· dampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar Hukum Intetnasional" . . Di antara negara-negaia yang berbatasan, hanya Indonesia saja yang sudah membuat persetujuan dengan beberapa negara telangganya tentang aspek-aspek tertentu dari batas-batas maritim. Kendatipun demikian, masih ada rnasalah yang belum tertangani : Indonesia dan Filipina masih harus mencapai persetujuan tentang batas maritim Laut Sulawesi. AdaUth penting bahwa perluasan jurisdiksi marilim, walaupun berorientasi pada sumber daya laut, amat berdampak pada navigasi, pelayaran dan komunikasi. Karena itu pasal58 KHL menyatakan : "Di zona ekonomi eksklusif, semua negara, baik negara berpantai maupun tidak berpantai menikmati kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakan kabel dan pipa bawah laut", serta "penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapai, pesawat udara, dan kabel serta pipa bawah !aut". Suatu permasalahan yang lain yang dahulu pernah menjadi persoalan besar ialah slat us hukum Selat Malaka dan Singapura. Perluasan laut terilorial oleh Indonesia dan Malaysia dari 3 menjadi 12 mil telah meniadakan anggapan bahwa selat itu merupakan suatu jalur internasional. Telapi pasal 37 dan 38 KHL 1982 menegaskan bahwa "sclat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya" tidak boleh dihalangi. Telapi linta. ini "semata-mala untuk tujuan transit yang teius-inenerus, langsung dan secepat mungkin ... ". Dan persyaratan transit ini "tidak menutup kemungkinan bagi lintas melalu; sciat ulltuk maksud memasuki, rneninggalkan atau kern bali dari suatu ncgara yang berbatasan dengan selat im". Kendati d~mikian, kapal-kapal itu harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang dibuat negara pantai dan yang sesuai dengan Konvensi Hukum Laut dati peraturan hukum inter· nasional lainnya mengenai keselamatan navigasi, dan pencegahan. pengutangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal. (Pasal 39). Singapuril, yang bergantung kepada perdagangan bebas bagi kelanjutan hidupnya, semula tidak begitu setuju dengan konsep Negara Kepulauan. Negara itu menyuarak'an kekhawatirannya terhadap prospek terganggunya lalu lintas laut. udara, perikanan dan kegiatan lainnya di selatan yang amat penting bagi eksistensinya itu. Tetapi ketika diusulkan agar pengawasan lalu
, Permasuiuhun
443
lint as di Selat Malaka itu dibawakan pada suatu dewan pengelolaan internasional, pemerintah Indonesia, Malaysia dan Singapura mengumumkan pada tanggal 16 November 1972 bahwa keamanan navigasi (khususnya mengingat jumlah, ukuran dan kecepatan kapal tangki minyakyang, berlayar di Selat Malaka dan Singapura) merupakan tanggungjawab negara-negara pantai yang bersangkutan. Kekhawatiran Singapura kini ditampung dalam Konvensi Hukum Laut 1982, khususnya pasal mengenai selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internassional. Suatu masalah yang lain ia1ah penerbitan peta Malaysia di Kuala' Lumpur pada bulan Desember 1979. Di peta itu sejumlah pulau dan wilayah diperlihatkan sebagai bagian integral wilayah Malaysia, yang sebetulnya masih dipersengketakan dengan negara ASEAN lainnya. Negara-negara itu kemudian menunjukkan reaksi atas peredaran peta kontroversial ini. Argumentasi Malaysia ialah suatu negara harus memproyeksikan secara jelas asumsi teritorialnya lIntuk menyiapkan dasar bagi perundinganperundingan mengenai batas-batas wi1ayah negara. Pemerintah Indonesia mengajukan protes atas peta itu (Februari 1980) karena Malaysia memasukkan pulau-pulau Sipadan dan Ligitan (yang terletak di Laut Sulawesi) kendatipun masih dipersengketakan. Dua bulan kemudian pejabat Indonesia dan Malaysia bertemu untuk · membahasnya. Masalah itu belum terselesaikan, walaupun kedua belah pihak setuju untuk saling menyesuaikan hak mereka masing-masing atas dasar Rejim Negara Kepulauan. Singapura juga mengajukan protes terhadap peta itu, khususnya mengenai pulau Batu Puteh yang terletak diujung selatan Johor. Malaysia te1ah membolehkan Singapura untuk membangun mereu suar di pulau itu yang hanya dihuni penjaganya yang berkebangsaan Singapura. Kedua pemerintah telah setuju unlUk merundingkan. klaim masing-masing. Juga Filipina mengirim suatu nota diplomatik kepada Kuala Lumpur pada tanggal 30 Mei 1980 memprotes dimasukkannya Commodore Reef, sebelah utara Sabah, ke dalam wilayah Malaysia . . Commodore Reef dianggap sebagai bagian dari Kelayaan, Filipina, 360. km sebelah barat Palawan. Selama masalah Sabah belum terselesaikan, selama itu pula masalah Commodore Reef ini tidak akan dirundingkan. Hanya dengan pemerintah Muangthai saja tidak terjadi pertentangan yang berarti tentang peta ini. Pada tanggal 10 April 1980 pemerintah Muangthai mengajukan suatu aide-memoire kepada kedutaan Malaysia di Bangkok yang menyatakan bahwa peta Malaysia itu tidak memperlih"tkan suatu wilayah yang tumpang tindih .seluas 3.200 km persegi di lepas pantai Kelantan yang akan diaksploitasi ' bersama sebagaimana disetujui kedua pemerintah setahun yang lalu . Daerah itu merupakan,landas kontinen yang mengandung banyak minyak. Ketidaksetujuan tentang me tode produksi dan pembagian keuntungan masih berlangsung terus, khususnya karena pemegang konsesi swasta tidak dapat begitu saja dikesampingkan oleh eksploitasi Oktober 1990
444
Hukum dan Pembangunan
bersama kedua pemerintah. . Kendatipun terdapat berbagai sumber persengketaan amara negara ASEAN mengenai batas-batas laut di Laut Cina Selatan, tetapi persengketaan itu tidak menjurus ke arah konflik terbuka. Sebabnya ialah di dalarn ASEAN sudah ada suatu struktur hubungall amarnegara anggota 'yang melembutkan persaingan dengan pengekangan, kekuatan dengan moderation, yang dituangkan dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerja sama di Asia Tenggara (Februari 1976), kltususnya Bab IV, yang merupakan illstrumen pennyelesaian perselisihan antaranegara anggota ASEAN. Pasal 13 Pcrjanjian ini menentukan bahwa negara-negara anggota harus mencegah ter· jadinya persengketaan. Tetapi apabila persengketaan toh terjadi, mereka harus menahan diri dari aneaman atau penggunaan kekerasan dan harus senantiasa berusaha menyelesaikan persengketaan-persengketaall semacam itll di antara mereka sendiri secara damai. Perselisihan perbatasan Iaut antarnegara ASEAN sampai kini belum melahirkan kerjasama di bidang maritim umuk menyelesaikan perselisihan mengenai perbatasan laut amarncgara anggota. Kerjasama multilateral umuk mengkoordinasi pengelolaan, konservasi, eksplorasi dan eksploitasi kekayaan hayati laut, perlindungan dan pemeliharaan Iingkungan laut juga belum tarnpak sebagai mata aeara dalam kegiatan komite-komite ekonomi ASEAN, kecuali di bidang angkutan laut,karena 80",. dari perdagangan ASEAN bergantung kepadanya. (COTAC) Kerjasama ASEAN di bidang maritim hanya terdapat eli bidang kerjasarna ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mulai sejak penengahan 1980-an. Kerjasama di hidang ini mengkhususkan pada dan pegelolaan sumber daya laut hayati, dan pengelolaan sumber daya pantai. Ketiga kegiatan ini dibiayai olelt Australia, Kanada, dan Amerika Serikat. Tampaknya kerjasama maritim di bidang perbatasan laut mempunyai implikasi politik yang luas, sehingga lehih mudah disclesaikan secara bilat~ ral daripada multilateral, seeara tidak langsling daripada langsung. Malaysia dan Muangthai, umpamanya, meneapai suatu persctujuan di tahun 1979 (yang dikukuhkan kembali di tahun 1989) untuk melanearkan suatu program pengembangan bersama di suatu daerah persengketaan antar mereka di sebelah barat daya Lalit Cina Sel~t.an untuk 50 tahun lamanya. Persetujuan antara Republik Korea dan Jepang di tahun 1974 tentang pen· dirian suatu zona penibangunan
Ptrmusulahull
445
kerjasama jurisdiksionaJ untuk bersama-sama mengembangkan sumber daya di wilayah persengketaan itu. Dengan demikian, masalah kedaulatan yang amat sensitif itu didekati secara tidak langsung. Semua persetujuan pengembangan bersama mengenyampingkan masalah kedaulatllr\ atas semua atau scbagian dari zona pengembangan bersama tanpa berprasangka terhadap po~isi pihak-pihak yang bersangkutan. Lagipula, rejim pembangunan itu tidak dimaksudkan untuk melongsorkan kedaulatan. Justru sebaJiknya. Kedaulatan dianggap lebih diperbesar dengan persetujuan pengembangan bersama itu. Masalah-masalah juridiksi mempunyai kecenderungan menjadi" penghalang, tetapi umumnya masaJah itu dapat diselesaikan melalui konsultasi. Mungkin persengketaan-persengketaan yang lain antara negara-negara anggota ASEAN dapat mengambil aJih prinsip ini. Bagian-bagian dari wilayah jurisdihional antara Malaysia dan Filipina dapat diajukan sebagai suatu model pengembangan bersama sebagai jalan keluar sementara persengketaan antara kedua negara yang paling mengganggu hubungan antarnegara ASEAN. Munskin pengembangan suatu model pengembangan ber-sama di bidang penangkapan ikan dapat merupakan suatu permulaan. " Kerjasama dalam bidang-bidang sumber daya tertentu, .khususnya non mineral; dapat pula diperkenalkan di tingkat regional ASEAN, bahkan antara negara-negara ASEAN dan negara-negara lndocina khususnya Vietnam. Bidang-bidang itu ialah navigasi yang aman, search and resque, tindakan bersma terhadap laJu lintas narkotika, penangkapan ikan, proteksi lingkungan laut, konservasi, pemanfaatan dan perlindungan terhadap sumber daya hayati, anti perompakan, dan lain-lain bidang yang sejenis. Ada cukup kemauan politik di wilayah ASEAN dan Asia Tenggara secara keseluruhan yang mengitari Laut Cina Selatan untuk melancarkan berbagai rejim jurisdiksiOrfal,"sep.,rti pembagian sumber daya, terutama antara negaranegara ASEAN-(seperti antara Malaysia dan Filipina) dan antara ASEAN dengan Vietnam (seperti ·Indonesi--Vietnam, Malaysia-Vietnam, FilipinaVietnam). " Apabila penyelesaian persengketaan dilihat sebagai suatu proses yang berkelanjutan untuk mencapai keputusan-keputusan pada titik-titik tertentu di masa depan, ~aka' c9nfidence_ building measures yang tepat dapat diperkenalkan. Douglas Johnson, seorang ahli hukum laut yang terkenal, mengusulkan c1elapan I
446
Hukum dan Pembangl;lnan
dibatasi. Kelima . suatu persetujuan tentang kegiatan bersama. seperti pencarian (prospecting) mineral. Keenam. suatu persetujuan tentang usalta patungan bagi tujuan produksi. Ketujuh . suatu persetujuan atas sistem pemgelolaan bersama secara besar-besaran daeralt persengketaan atau · perairan sekitarnya tanpa merinci tanggung jawab pihak-piltak yang bersangkutan. Akhirnya. CBM Itams mewujudkan sistem pengelolaan bersama secar besar-besaran ( yaitu jurisdiksi bersama ) atas wilayalt persengketaan itu dan laut sekelilingnya melalui pembagian tanggung jawab kepada badanbadan dari negara-negara yang bersangkutan bagi fungsi-fungsi administrasi khusus . Ada baiknya ASEAN mempelajari kemungkinan-kemungkianan ini bagi mengatasi persengketaan batas-batas laut dan wilyah antara mereka dan antara mereka dengan negara-negara lain yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
HUIUI PEIBANIUNAN hn
Sliah utu banln utama sujana dan mahasiswa hukum Indonesia.
Karangan-kara ... n Hukum Yuricprudensi dan Komentar
Timban&an Buku Berita Kepustaban Fa)(. Hukum Dal.m berita Wawancara
Parlementaria Kronik Peraturan per-undang2·an Komentar &. pend."..t .
$
majaJah hukum ter1<emuka masa kini HUBUNGILAH TOKO RUKl! Tt:RI)EK.H ATAU LANGSUNG TATA USAHA HHUkUM dan Pt-:MBA~GlJ SAS" JI. Cir~hon Sn. S - Jabl1a T~ltpCln : JJS4J2