PERLUKAH KURIKULUM PROFESIONALISME PADA PENDIDIKAN ORTHOPAEDI?
Armis Guru Besar Orthopaedi dan Traumatologi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini masyarakat sangat mudah mengucapkan kata profesional di belakang luaran dari suatu proses pendidikan tanpa mengetahi maksud dari kata tersebut. Harapan residen pada pendidikan orthopaedi dan traumatologi adalah lulus dengan sertifikasi sebagai dokter ahli dengan kompetensi menejemen pasien sesuai dengan pengetahuan orthopaedi terkini. Adapun harapan pasien pada pendidikan orthopaedi dan traumatologi tersebut adalah keselamatan (patient safety) artinya harapan tersebut membutuhkan seorang pendidik/dosen profesional sebagai transferred of orthopaedi and traumatologic knowledge. Dosen profesional artinya mempunyai dua belas peranan sebagai pengajar yaitu sebagai fasilitator yang meliputi mentor dan learning facilitator. Dosen tersebut mempunyai peranan sebagai role model yang meliputi on-the-job role model dan teaching role modeling. Dosen juga mempunyai peranan sebagai information provider yaitu sebagai pemberi kuliah/lecturer dan guru klinis atau guru membimbing residen mengimplementasikan ilmu orthopaedi pada pasien. Dosen profesional juga harus mempunai peranan sebagai resources developer yaitu peneliti dan learning environment dan mempunyai peranan sebagai planner yang berpengalaman mengorganisir kursus dan perencanaan kurikulum. Dosen profesional harus mempunyai peranan sebagai penilai yang meliputi penilai kurikulum dan residen seperti ilustrasi peranan dosen di bawah ini.
Information Provider
Resouce & Study guide
Lecturer and clinical or practical teacher
Role Model
Resources Developer
Job and Teacher role model
Role of Teacher Curriculum & Course
Facilitator
Planner
Learning and Mentor
Assesor
Student and Curriculum
Oleh karena itu, pendidikan orthopaedi dan traumatologi harus melahirkan seorang ahli sebagai ahli bedah orthopaedi dan traumatology yang baik dan keselamatan pasien setiap pelayanan kesehatan yang diemban. Mencapai luaran tersebut membutuhkan kurikulum formal yaitu objektif pengetahuan kognitif, keterampilan, dan afektif dalam mengambil keputusan klinis atas dasar kebijakan berdasarkan bukti (EBM) dengan pengetahuan orthopaedi dan traumatologi yang selalu
terkini (longlife learning). Pendidikan tersebut juga dipengaruhi oleh kurikulum informal yaitu interaksi interpersonal dan hidden curriculum sebagai refleksi nilai kultur atau norma adat istiadat yang berharkat, bermartabat, benar yang berlaku pada kultur di suatu tempat. Objektif kurikulum formal, informal, dan hidden curriculum harus diinformasikan kepada residen dengan batasan yang jelas, berguna, terukur, sehingga penilaian dan feedback pembelajaran tersebut reliabel serta valid. Luaran yang diharapkan residen dan pasien perlu memperhatikan atau memfokuskan penjelasan profesionalisme, implementasi bioethics pada pelayanan kesehatan, dan komunikasi efektif. A. PROFESIONALISME Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana batasan profesional tersebut. Batasan profesionalisme secara umum mengalami kesukaran karena multi dimensional tapi mudah dilihat/dipahami seperti kata pornografi. Kata profesionalisme berasal dari kata profesi atau profession dengan maksud pekerjaan yang dilandasi pengetahuan dan keterampilan tertentu yang ideal bagi pribadi profesional dan sesuai dengan esensi pokok profesi. Contoh seorang dokter ahli orthopaedi dan traumatologi melakukan kontrak dengan pasien/masyarakat dan mempraktekkan aturan/etika dan komunikasi efektif. Profesional adalah seseorang yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan/jabatan, seperti ahli orthopaedi dan traumatologi profesional maksudnya adalah ahli tersebut memfokuskan menejemen terkini dan sesuai dengan kompetensi. Mereka telah mendapat pendidikan orthopaedi dan traumatologi yang bersertifikasi artinya melalui penilaian oleh institusi pendidikan dan kolegium secara Nasional. Adapun profesionalisme lebih kearah kualitas seperti seorang residen/dokter ahli orthopaedi dan traumatologi yang membentuk perilaku dan bekerja mengutamakan pasien daripada kepentingan pribadi. Profesionalisme tersebut lebih tertuju kepada ciri profesional atau orang profesional. Profesionalisme juga mengandung arti bahwa ahli orthopaedi dan traumatologi tersebut mempunyai pengetahuan klinis (clinical knowledge in patient care) di bidang keahliannya, menjalankan etika medis dalam memberikan pelayanan kesehatan, dan komunikasi efektif dengan pasien/masyarakat. Profesionalitas adalah kemampuan seseorang untuk bertindak secara profesional sehingga professionalization adalah pengarahan seseorang menjadi pribadi profesional melalui proses pendidikan yang terukur dan bersertifikasi. Kompetensi batasan seorang profesionalisme di bidang ahli orthopaedi dan traumatologi selalu mampu menggunakan keterampilan komunikasi, mempunyai pengetahuan terkini di bidang tersebut yang menentukan alasan klinis setiap keputusan yang akan dinformasikan kepada pasien, mempunyai keterampilan tindakan pemeriksaan fisik, penentuan pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk memperkuat penentuan diagnosis, dan menejemen pengobatan/pembedahan dengan alasan klinis terkini sebagai keputusan rasional. Seseorang dengan profesional di bidang ahli orthopaedi dan traumatologi dapat melakukan menejemen emosi, nilai, dan melakukan penilaian diri sendiri pada pelayanan yang diberikan kepada pasienrakat. Oleh karena itu, kompetensi tersebut dibangun oleh klinis orthopaedi dan traumatologi dasar, pengetahuan ilmu orthopaedi dan traumatologi, dan perkembangan moral. Adapun fungsi kognisi kompetensi tersebut terdiri dari penggunaan
pengetahuan orthopaedi dan traumatologi untuk memecahkan masalah kenyataan hidup, fungsi integratif seperti data biomedika dan psikososial sebagai alasan klinis, fungsi komunikasi efektif pada pasien dan teman sejawat, dan fungsi afektif serta moral yaitu kesedian (willingness), sabar, dan sadar.
Adapun kompetensi pendidikan profesionalisme pada residen dengan harapan mereka harus mencapai kemampuan: (1) menjalankan altruisme, (2) mengimplementasikan etika medis (bioethics) dan moral pada pelayanan, (3) mempunyai sikap perilaku sosial (social contract), (4) merasa empati dan terharu pada penderitaan pasien, (5) mempunyai tanggung jawab/integritas, dan hormat kepada pasien/keluarganya, (6) memberikan pelayanan yang terukur (accountability), (7) mempunyai sifat kepemimpinan, (8) mampu menyelesaikan kesulitan pasien, dengan memperbaiki kualitas menejemen, dan bekerja aktif. Penilaian kompetensi tersebut meliputi menejemen pasien (patient care) termasuk alasan klinis, pengetahuan orthopaedi dan traumatology yang terkini, longlife learning karena selalu menggunakan kebijakan berdasar bukti setiap keputusan pada praktek pelayanan kepada pasien, keterampilan komunikasi dan interpersonal, profesional, dan system based practice yang meliputi ekonomi dan tim pelayanan kesehatan.
Ada tiga prinsip dasar profesionalisme secara umum dan juga dibidang orthopaedi dan traumatologi yang perlu menjadi perhatian pusat pendidikan dan kolegium yaitu: 1. Residen orthopaedi dan traumatologi harus mengutamakan kesejahteraan pasien (patient welfare) seperti kepentingan pasien lebih diprioritaskan daripada kepentingan lainnya (altruisme). Tidak ada kompromi dengan tekanan pasar, tekanan masyarakat atau kekuasaan, administrasi dan sebagainya. Contoh bila ada kegawatan pasien orthopaedi dan traumatologi datang ke IRD (instalasi rawat darurat/unit emergensi) maka residen orthopaedi dan traumatologi tersebut langsung memberikan pelayanan kegawatan pasien tanpa menunggu selesainya administrasi dan lain sebagainya. 2. Residen orthopaedi dan traumatologi selalu menghargai hak pasien, jujur dan dapat dipercaya, membuat keputusan yang tepat dan terkini (patient autonomy, integrity, honesty and based on evidence-based). Contoh residen/ahli orthopaedi dan traumatologi dalam diskusi/sharing dengan pasien harus mempunyai ilmu orthopaedi dan traumatologi yang terkini; artinya mereka harus belajar sepanjang masa, dapat dipercaya, berkata jujur, dan hormat kepada pasien/keluarga atau tim sewaktu menjalankan tugas pelayanan.
3. Residen orthopaedi dan traumatologi dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien harus berkeadilan (social justice) yang merupakan kontrak sosial: tidak membedakan kaya-miskin, penguasa, politik, jenis kelamin, agama, dan ras. Sehingga profesionalisme residen orthopaedi dan traumatologi harus mempunyai sepuluh tanggung jawab dalam menjalankan tugas sebagai pelayanan kesehatan yang meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Mempunyai kompetensi profesional berdasarkan evidence. Jujur dan dapat dipercaya dalam memberikan informasi. Menjaga kerahasian pasien. Mempertahankan hubungan residen dengan pasien. Memperbaiki kualitas pelayanan. Memperbaiki pencapaian pelayanan kesehatan. Mendistribusikan sumber daya yang dipergunakan. Berpengetahuan terkini sehingga selalu longlife learning. Mempertahankan menejemen pelayanan kesehatan dari conflict of interest, tidak ada komersialisasi, dan 10. Berkewajiban bertindak secara profesional Konsep pendidikan profesionalisme pada residen orthopaedi dan traumatologi adalah (a) mempunyai pengetahuan menejemen pasien yang tepat dalam arti mempunyai pengetahuan orthopaedi dan traumatologi terkini dan selalu memakai kebijakan berdasar bukti (EBM), (b) pendidikan harus melakukan penilaian yang tepat dengan sertifikasi, (c) melatih jujur dan dapat dipercaya, (d) menerapkan pengetahuan tentang empati dan rasa terharu terhadap penderitan pasien, mengimplementasikan etika medis, dan melakukan pendidikan atau pelatihan menejemen conflict of interest, (e) sebagai ahli (expert) dan penasehat kesehatan (orthopaedic advisor), (f) berkolaborasi untuk memecahkan masalah pasien yang bukan kompetensinya (tim), (g) sebagai motivator, kepemimpinan, dan sebagai peneliti. Profesionalisme residen orthopaedi dan traumatologi merupakan kontrak sosial, artinya memperlihatkan altruisme, beretika/bermoral dan menghormati terhadap prosedur peraturan atau adat istidat dan norma setempat. Profesionalisme pada pelayanan kesehatan (menejemen pasien) harus dimiliki oleh residen. Mereka mempunyai dedikasi yang terus menerus dalam mengemban tugasnya sehingga residen tersebut akan menjadi pemimpin masa depan. Untuk mencapai luaran orthopaedi dan traumatologi profesional dari proses pendidikan yang telah diselenggarakan harus ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu
dosen sebagai role model dan kedekatan hubungan pasien dengan residen tersebut. Menurut aphorisme kuno tertulis ”do as I say but not as I do”. Maksud pepatah ini bahwa residen orthopaedi dan traumatologi lebih mudah menyerap segala yang dikerjakan oleh dosennya daripada yang dikatakan. Istilah bahasa Indonesia/Jawa, dosen disebut guru yang berarti digugu dan ditiru atau menjadi panutan murid. Oleh karena itu, dosen sebagai role model harus mempunyai kompetensi klinis seperti berpengetahuan dan keterampilan yang terbaik, melakukan komunikasi yang efektif kepada pasien dan setiap penentuan selalu mempunyai alasan klinis. Dosen sebagai role model harus mempunyai keterampilan mendidik yang sadar akan peranannya, memberikan waktu untuk mendidik, memperlihatkan respek kepada kebutuhan residen, dan keberanian menilai diri sendiri. Dosen sebagai role model juga mempunyai kualitas personal yaitu empati dan terharu terhadapa penderitaan pasien, jujur dan dapat dipercaya, antusias melakukan praktek pelayanan, mempunyai keterampilan interpersonal, bertanggung jawab ke arah yang terbaik, dan dapat memperlihatkan sedikit humor.
Residen orthopaedi dan traumatologi harus menjaga/mempertahankan hubungan dengan pasien sebagai ahli profesional dengan cara melakukan komunikasi efektif, berpengetahuan klinis dan selalu menggunakan kebijakan berdasar bukti terkini setiap penentuan keputusan klinis, mempunyai kualitas personal, dan mengimplementasikan etika medis dalam pelayanan kesehatanpada kelainan system lokomotor.
HAMBATAN ATAU PERMASALAHAN PROFESIONALISME Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan pelayanan kesehatan profesional khususnya di bidang orthopaedi dan traumatologi seperti: 1. Kemajuan teknologi (E-profesionalisme dan advances in technology and medical sciences) untuk masyarakat sehingga berdampak perobahan hubungan pemberi pelayanan kesehatan dan pasien. a. Perobahan tersebut dapat menghasilkan nilai positif seperti kesadaran kekuasaan pasien pada penentuan keputusan terapi/tindakan yang akan disetujui secara bersama. b. Namun perobahan tersebut juga dapat negatif karena tekanan perasaan pemberi pelayanan kesehatan untuk menulis resep atau meminta pemeriksaan yang mereka tidak mempunyai pilihan lain. Disamping itu, penekanan pemberi pelayanan kesehatan sendiri melakukan promosi secara agresif terhadap pelayanan kesehatan yang diberikannya. c. Pengetahuan pasien meningkat dengan peningkatan harapan pasien/masyarakat sehingga sukar dicapai oleh pemberi pelayanan kesehatan orthopaedi dan traumatologi. Perobahan yang dibicarakan tersebut akan mengakibatkan pasien tidak puas (unsatisfaction) terhadap pelayanan kesehatan yang mereka terima. Ketidak puasan tersebut dapat mengakibatkan tuntutan ke tingkat pengadilan. d. Kemajuan teknologi kedokteran khususnya di bidang orthopaedi dan traumatologi dapat meningkatkan pembiayaan pelayanan kesehatan. Pada Negara sedang berkembang seperti di Indenesia membutuhkan
alat-alat teknologi dalam memberikan pelayanan kesehatan sistem lokomotor tapi secara tidak langsung membutuhkan biaya pemeliharaan yang sangat mahal yang harus dibayar oleh pasien. 2. Peningkatan malapraktek/bias dan adanya conflict of interest pada ahli orthopaedi dan traumatologi yang menjurus kepada komersialisasi dapat merugikan pasien. Contoh pemeriksaan rutin saja sudah dapat menguatkan diagnosis pasien namun residen/ahli memaksakan pemeriksaan canggih atau residen/dokter ahli orthopaedi dan traumatologi melakukan tindakan pembedahan tanpa indikasi, sehingga kesemua ini dapat meningkatkan pembiayaan pasien. 3. Pusat pendidikan pendidikan orthopaedi dan traumatologi yang masih kurang dan promosi kurikulum profesionalisme yang tidak memadai atau sangat minimal sebagai akibat sikap pusat pendidikan atau kolegium yang tidak profesional bahkan destruktif dan tidak dapat diharapkan. Kesemua masalah ini dapat berdampak kurang baik terhadap pelayanan yang diterima pasien atau masyarakat. 4. Kurang membantu pendidikan yang mempunyai kurikulum profesionalisme dan alat untuk memahami, komunikasi, dan penyelesaian konflik oleh pusat pendidikan orthopaedi dan traumatologi dapat mengakibatkan luaran tidak sesuai dengan harapan pasien. 5. Kurang promosi ajaran agama dan sikap perilaku yang berhubungan dengan profesionalisme dapat melahirkan dokter spesialis orthopaedi dan traumatologi tidak profesional atau unprofesionalism. 6. Mengutamakan pembiayaan institusi pendidikan orthopaedi dan traumatologi/kolegium daripada sistem untuk mengurangi dan mencegah kesalahan malapraktek/error maupun bias pelayanan kesehatan kelainan sistem lokomotor yang juga dapat mempengaruhi outcome profesional.
B. ETIKA MEDIS (BIOETHICS) Etika adalah cabang filosofi yang yang berhubungan dengan aspek moral dari sikap perilaku manusia, sehingga etika medis adalah perjanjian dengan prinsip nilai dan persepsi dasar serta justifikasi nilai moral yang meliputi kultur/adatistiadat dan sikap perilaku normatif masyarakat setempat. Residen orthopaedi dan traumatologi harus mengaplikasikan atau menjalankan etika medis setiap pelayanan kesehatan profesional. Sejarah pendidikan etika medis telah berjalan selama 2500 tahun, tetapi di US pada tahun 1970 baru dikenalkan dan kemudian tahun 1990 di masukkan kedalam kurikulum kedokteran sebagai bagian kurikula untuk mengembangkan
penilaian mahasiswa kedokteran, perpekstif sosial dan keterampilan interpersonal pada praktek pelayanan kesehatan. Adapun di Inggris di masukkan kedalam kurikulum pendidikan pada tahun 1993. Etika medis (bioethics) merupakan cabang ilmu filosofi yang menjalankan aspek moral dan perilaku kemanusian. Etika medis tersebut merupakan perjanjian dengan pasien/masyarakat berdasarkan sumpah Hipocrates. Adapun etika medis moderen didasarkan pada konsep yang berasal beberapa disiplin yaitu pengetahuan biomedis, pengetahuan perilaku atau behavioral, filosofi, agama dan hukum. Maka dari itu aplikasi etika medis moderen tidak saja dibidang medis tapi juga berhubungan dengan ekonomi, hukum, kewartawanan, termasuk dibidang penelitian dan sebagainya. Etika medis modern merupakan akibat perkembangan teknologi terutama dibidang kedokteran yang dapat berdampak perubahan penelitian klinis sehingga menjadi dilemma baru dari etika tersebut. Perobahan filosofi dari paternalistik ke otonomi pasien maka dapat menghilangkan monopoli dokter dan peningkatan jumlah spesialis juga dapat menimbulkan diskusi dalam menyelesaikan masalah pasien. Pengaruh media akan berdampak peningkatan pengetahuan masyarakat sehingga perlu mendefinisikan kembali hubungan dokter residen-pasien dan perubahan tingkat sosial masyarakat dunia seperti pandangan yang tidak baik kepada dokter spesialis orthopaedi dan tarumatologi. Semua hal tersebut dapat mempengaruhi etika medis moderen. Seorang residen orthopaedi dan traumatologi profesional harus menjalankan tugas berdasarkan prinsip etika medis yaitu: 1. Residen orthopaedi dan traumatologi harus menghargai otonom pasien pada kebebasan memilih penentuan medis yang tepat (patient’s autonomy) kecuali pasien yang berumur muda/anak, retardasi, gangguan kejiwaan. Residen orthopaedi dan traumatologi juga mempunyai hak (physician right) menolak permintaan pasien dengan alasan tidak rasional atau bukan kompetensinya. 2. Residen orthopaedi dan traumatologi merupakan keharusan bertindak non-maleficence yaitu mencegah atau menghilangkan sesuatu yang memperberat penderitan pasien, keluarga maupun lingkungan. 3. Residen orthopaedi dan traumatologi harus bertindak beneficence yaitu membantu pasien secara aktif kearah perbaikan; dan 4. Residen orthopaedi dan traumatologi harus berkeadilan (justice) pada pelayanan kesehatan kelainan system lokomotor yaitu tidak membedakan kaya miskin, penguasa, politik, jenis kelamin, agama dan ras.
Seorang residen orthopaedi dan traumatologi profesional harus memahami masalah etika medis yang dihadapi seperti: (1) bagaimana mengontrol hasil penelitian karena adanya faktor subjektif, adat istiadat dan riwayat latar belakang yang dapat mempengaruhi data penelitian tersebut. (2) Konklusi ilmiah penelitian didasarkan penelitian sebelumnya adapun etika medis berorientasi masa yang akan datang. (3) Kesalahan/error ditemukan pada pengetahuan yang ilmiah, hal mana ilmuwan membetulkan dengan cara menerangkan kenyataan yang berbeda tanpa melakukan perubahan prosedur penelitian tersebut. Maka dari itu, isu etika medis pada residen orthopaedi dan traumatologi profesional adalah: 1. Profesionalisme yang meliputi: respek, bertanggung jawab dan terukur, altruisme, jujur dan dapat dipercaya, terbaik dalam memberikan pelayanan berkelanjutan. 2. Mencegah conflict of interest sebagai petunjuk menjalankan pelayanan kesehatan seperti tidak menerima pemberian dari industry dan lain sebagainya pada penelitian, pelayan kesehatan yang diberikan yang tidak sesuai dengan norma yang ada, dan pendidikan. 3. Berkeadilan yaitu tidak melakukan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, cost-effectiveness, menolak permintaan terapi yang tidak diperlukan atau tidak rasional atau tidak sesuai kompetensi. 4. Mempertahankan hubungan residen orthopaedi dan traumatologi-pasien dan menghargai pasien untuk memilih dokter/ahli, pemutusan dokter, dan biaya. 5. Otonomi pasien pada informed consent yang meliputi hak pasien untuk menolak, mempertimbangkan informasi pengetahuan yang diberikan, berpartisipasi dalam membuat keputusan, bebas untuk memilih dalam rangka mendapatkan persetujuan. 6. Mempunyai kemampuan penentuan keputusan seperti pasien untuk memilih 7. Menjaga kerahasian dan kapan tidak dilakukannya pada pelayanan kesehatan 8. Berkata jujur seperti penyampaian bad news dan terapi plasebo 9. Hubungan baik antara tim medis yaitu konsultasi dan hubungan pasien konsultan, jawaban terhadap pelanggaran profesional/error medis oleh teman sejawat, pendekatan terhadap kritisi teman sejawat, dan jawaban kesalahan teman sejawat. 10. Pembelajaran etika medis yaitu persetujuan pasien (patient consent), pembelajaran menejemen pasien koma dan meninggal, mempertahankan kualitas menejemen pasien pada pembelajaran, dan peranan residen terhadap kesalahan/error yang dilakukan oleh tim. 11. Etika penelitian yang meliputi informed consent, kerahasian, penilaian risiko penelitian, berkeadilan pada penelitian, dan penelitian yang mudah mencemari kelompok 12. Konflik maternal-fetal seperti masalah abortus 13. Terminasi hidup dan isu etika yaitu tidak melakukan resusitasi, euthanasia, dan
14. Mengakhiri life support. Kesimpulan etika medis telah terjadi perobahan dari paternalistik keotonomi pasien artinya residen orthopaedi dan traumatologi mampu menghormati hak pasien dalam mengambil keputusan tentang penentuan tindakan dari beberapa opsi yang ditawarkan. Residen orthopaedi dan traumatologi harus melayani pasien tanpa memperberat penderitan (no do harm) dan harus mampu meniadakan malapraktek/error. Residen orthopaedi dan traumatologi harus berorientasi ke arah perbaikan dan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkeadilan.
C. KOMUNIKASI EFEKTIF Komunikasi residen orthopaedi dan traumatologi merupakan interaksi dokter-pasien dan bukan transmisi dengan harapan mencegah sesuatu yang tidak nyata (unrealistic) sehingga mencapai diagnosis dan terapi/tindakan yang rasional dan tepat. Komunikasi tersebut harus disertai empati dan terharu terhadap penderitaan pasien yang dapat dimanifestasikan dalam bentuk body language, atau komunikasi non-verbal, dengan tujuan untuk mencapai proses penyembuhan, kepuasan pasien, perbaikan kualitas pelayanan kesehatan, dan keselamatan pasien. Mencapai diagnosis yang tepat perlu mengeksplorasi riwayat penyakit secara efektif dan efisien dengan membangun komunikasi hubungan dokterpasien dan melakukan diskusi secara rasional. Kemudian memerlukan komunikasi pemeriksaan fisik secara sopan dan sistematis. Pemeriksaan tambahan dalam rangka membantu diagnosis dan penentuan terapi atau tindakan terbaik berdasarkan kebijakan berdasar bukti (EBM) yang memerlukan kesepakatan bersama (informed consent). Residen orthopaedi dan traumatologi berdiskusi secara rinci keuntungan dan kerugian setiap opsi yang ditawarkan sampai pasien memahami tanpa paksaan, tekanan, atau rayuan (conflict of interest), jujur dan dipercaya karena diskusi selalu secara rasional. Penyampaian diagnosis dan prognosis juga harus secara “breaking bad news” yaitu menjalankan tahap persiapan, membangun hubungan, komunikasi efektif, siap menhadapi reaksi emosi, memvalidasi emosi dan pemahaman, kemudian membuat perencanaan atau SPIKE dan follow-up. Kesimpulan keterampilan komunikasi yang baik adalah sabar, pendengar yang baik dan terletak di dalam hati residen orthopaedi dan traumatologi pada pelayanan kesehatan system lokomotor.
PENDIDIKAN PROFESIONALISME Berdasarkan masalah atau hambatan seperti yang diterangkan di atas maka pendidikan profesionalisme orthopaedi dan traumatologi perlu dipikirkan:
1. Pendidikan profesional orthopaedi dan traumatologi membutuhan kerangka kerja dari nilai perilaku yang memfokuskan observasi dan pengukuran sikap perilaku residen orthopaedi dan traumatologi.
2. Pendidikan profesional orthopaedi dan traumatologi harus mengembangkan melalui media networking untuk residen/ahli orthopaedi dan traumatolgi pada praktek pelayanan profesional.
3. Pendidikan profesional orthopaedi dan traumatologi harus mampu meyakinkan batasan profesionalisme dan selalu menggunakannya pada praktek pelayanan kesehatan system lokomotor.
4. Pendidikan profesional orthopaedi dan traumatologi harus meliputi materi pembelajaran, kesalahan residen orthopaedi dan traumatologi oleh karena itu mereka harus mempunyai pengetahuan klinis (clinical knowledge) yang terkini sehingga perlu melakukan longlife learning. Kemudian bagaimana residen orthopaedi dan traumatologi profesional mengenal/mengetahui kekurangannya. Kesimpulan pendidikan/pelatihan atau pendidikan berkelanjutan profesionalisme orthopaedi dan traumatologi kepada residen dan ahli perlu dilakukan setiap ada pertemuan atau pendidikan berkelanjutan dengan harapan: 1. Pendidikan/pelatihan orthopadi dan traumatologi membutuhkan batasan kembali pada kerangka kerja dari nilai yang memfokuskan observasi, pengukuran, dan sikap perilaku. 2. Mampu mengembangkan petunjuk di digital media dan social networking untuk residen dan ahli orthopaedi dan traumatologi. 3. Mendeskripsikan profesionalisme secara jelas dan meyakinkan pada pendidikan berkelanjutan.
4. Melakukan pendidikan/pelatihan dan longlife learning bagaimana mengenalkan profesionalisme orthopaedi traumatologi tersebut
serta dan
Dengan tujuan pendidikan atau pelatihan profesionalisme orthopaedi dan traumatologi pada residen/ahli mampu mendemonstrasikan: 1. Penghargaan, empati, rasa iba, jujur, menjawab kebutuhan pasien daripada kebutuhan pribadinya, terukur, sabar, sosial dan profesional, serta bertanggung jawab perkembangan terbaik pada profesinya. 2. Tanggung jawab prinsip etika medis pada pelayanan kesehatan, meyakinkan pasien, dan informed consent. 3. Sensitif dan tanggung jawab kepada pasien, adat istidat dan norma setempat, gender, dan kekurangan atas kemampuannya. Penilaian pendidikan/pendidikan berkelanjutan profesionalisme orthopaedi dan traumatologi akan menghasilkan: peningkatkan kesadaran institusi, memperbaiki menejemen pasien, memperbaiki persepsi pasien, memperbaiki persepsi residen/ahli dan institusi, menghargai sikap perilaku baik, mempersiapkan istilah untuk komunikasi tentang profesionalisme, memperbaiki kualitas individu berkelanjutan, mengidentifikasi pelanggran hukum, dan menghukum sikap perilaku yan tidak dapat diterima. KEPUSTAKAAN 1. AAMC and NBME Conference (2002). Embedding: Profesionalism in Medical Education. Baltimore, Maryland. 2. Armis (2010). Pembelajaran Keterampilan Komunikasi Clerkship/Dokter atau Residen dengan Pasien. Tajidu Press, Jogjakarta. 3. Beck GZ and Kaldjian L (2005). Teaching Profesionalism to Medical Residents: WB06. SGIM 28th Annual Meeting New Orleans, Lousiana. The University of Iowa. 4. Bouma HK (2008). Is Emphaty Necessary for the Practice Of ”Good” Medicine. The Open Ethics Journ. 2: 1-12. 5. Blackmer J (2007). Profesionalism and the Medical Association. World Medical Association, Ferney-Voltare, France 6. College of Physicians and Surgeon of Ontario (2003). Profesional Responsibilities in Postgraduate Medical Education. College of Physician and Surgeon of Ontario. 7. Cornwall R (2001). Ethics in Practice: Teaching Profesionalism in Orthopaedic Residency. JBJS 83A: 626-8 8. Cruess RL, Cruess SR, and Johnston SE (2000). The Orthopaedi Forum: Profesionalism and Medicine Sosiall Contract. JBJS 82A: 1189-94. 9. Danielsen RD and Cawley JF (2007). Compassion And Integrity In Health Professions Education. Int Journ Allied Health science 5 (2); 1-9
10. Epstein RM dan Hundert EM (2002): Defining and assessing profesionalcompetency. JAMA 287 (2): 226-35, 11. Fard NN, Asghari F, and Mirzazadeh A (2010). Ethical issues confronted by medical students during clinical rotations. Med Educ 44: 723-30. 12. Goldie J (2000). Review of ethics curricula in undergraduate medical education. Med Educ 34: 108-19. 13. Gross RH, Greene J, Haynes R, and Schafer MF (2008). The Orthopaedic Forum: AOA symposium, Orthopaedic Residency Training: Are we Meeting Expectations? JBJS 90A: 429-37. 14. Kern DE, Thomas PA, Hughes MT, Baker LR, et al. (2009). The Six Step Approach to curriculum Development. 32rd SGIM Annual Meeting 15. Kirk LM (2007). Profesionalism in Medicine: definitions and considerations for teaching. Proc (Bayl Univ Med Cent) 20: 13-6. 16. Larkin GL (19990. Evaluating Profesionalism in Emergency Medicine: Clinical Ethical Competence. Acad Emerg Med (6): 302-11. 17. Lesser CS, Lucey CR, Egener B, Braddock III CH, Linas SI, and Levinson W (2010). A Behavioral and Systems View of Profesionalism. JAMA (304): 2732-7. 18. Light TR and Swiontkowski MF (2006). The Orthopaedic Forum: AOA Profesionalism Guiding Leadership. JBJS 88A: 2303-4 19. McDonagh D (2008). Medical Profesionalism. Northeast Flor Med Suppl 6-7 20. Passi V, Doug M, Peile Ed, Thistlethwaite J, and Johnson N (2010). Developing medical profesionalism in future doctros: a systemtic review. Intern J Med Ed (1): 19-29. 21. Qu B, Zhao YH, and Sun BZ (2012). Assessment of Resident physicians in Profesionalism, Interpersonal and Communication Skills: Multisource Feedback. Int J Med Sci. 9: 228-36. 22. Sethuraman KR (2006). Profesionalism in Medicine. Region Health Forum (10): 110. 23. Singer PA (2003). Strengthening the role of ethics in medical eduacation. JAMC 168: 854-55. 24. Spondafer J, Pohl CA, Rattner SL, and Nasca TJ (2010). Profesionalism in Medicine. Cambride University Press, Cambridge. 25. Wade G, Glenn R (2006). Don’t Know We Are Teaching: Unveiling the Hidden Curriculum. Clin Orthop Relat Res (449): 20-7.