PERLUASAN HAMA SASARAN FORMULASI INSEKTISIDA NABATI RSA1 PADA TIGA SPESIES SERANGGA HAMA SAYURAN
NUR ASYIYAH
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
ABSTRAK NUR ASYIYAH. Perluasan Hama Sasaran Formulasi Insektisida Nabati RSA1 pada Tiga Spesies Serangga Hama Sayuran. Dibimbing oleh DADANG. Kebutuhan atas sayuran diperkirakan akan terus mengalami peningkatan. Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan produksi sayuran untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Namun, upaya peningkatan produksi sayuran ini sering dihadapkan pada kendala yang cukup sulit diantaranya adalah serangan hama dan patogen tanaman. Untuk mengatasinya, mayoritas produsen atau petani memilih pestisida sintetik untuk mendapatkan hasil panen yang optimal dan hasil pengendalian lebih cepat. Sementara itu, konsumen menginginkan produk pertanian yang aman konsumsi, bebas residu pestisida dan aman bagi lingkungan. Solusi yang dapat ditawarkan untuk masalah ini adalah dengan penggunaan insektisida nabati yang dinilai relatif lebih aman bagi manusia dan lingkungan karena bersifat mudah terurai (biodegradable). Penelitian insektisida nabati telah banyak dilakukan. Tanaman yang telah terbukti dapat dijadikan sebagai bahan insektisida nabati diantaranya adalah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl., Piperaceae) dan srikaya (Annona squamosa L., Anonaceae). Kedua tanaman tersebut telah dibuktikan efektif mengendalikan beberapa jenis serangga hama. Campuran ekstrak keduanya efektif untuk mengendalikan Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) dengan mortalitas 100% pada konsentrasi 0,1%. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hama sasaran lain campuran kedua ekstrak tersebut yang diberi nama formulasi RSA1. Formulasi RSA1 merupakan campuran ekstrak cabe jawa dan srikaya dengan perbandingan 2:1 yang dicampurkan pelarut dan adjuvant. Penelitian ini terdiri dari empat pengujian, yaitu uji formulasi RSA1 terhadap Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae), Maruca testulalis (Lepidoptera: Pyralidae), Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae) dan C. pavonana yang disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa formulasi RSA1 efektif mengendalikan C. pavonana dengan tingkat mortalitas mencapai 100% pada konsentrasi 0,2% pada 48 jam setelah perlakuan (JSP). Mortalitas S. litura mencapai 30% pada konsentrasi 0,2% dan 26,7% pada konsentrasi 0,1% dengan metode celup daun, sedangkan dengan metode semprot larva hanya mencapai 20% pada konsentrasi 0,2% dan 13,3% pada konsentrasi 0,1% pada 72 JSP. Mortalitas H. armigera mencapai 66,7% pada konsentrasi 0,2% dan 60% pada konsentrasi 0,1% dengan metode celup daun, sedangkan dengan metode semprot larva hanya mencapai 6,7% pada konsentrasi 0,2% dan 3,3% pada konsentrasi 0,1% pada 72 JSP. Mortalitas M. testulalis mencapai 70% pada konsentrasi 0,2% dan 50% pada konsentrasi 0,1% pada 72 JSP. Walaupun demikian, hasil pengujian terhadap H. armigera dengan metode celup dan hasil pengujian terhadap M. testulalis dinilai cukup baik karena efektivitasnya hampir mendekati 80% dan diperkirakan dapat mengurangi kerusakan pada tanaman. Apabila diaplikasikan di lapangan, perbedaan dan keragaman hasil pengujian yang diperoleh kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu lama penyimpanan bahan uji, jenis bahan uji dan faktor dalam serangga uji.
PERLUASAN HAMA SASARAN FORMULASI INSEKTISIDA NABATI RSA1 PADA TIGA SPESIES SERANGGA HAMA SAYURAN
NUR ASYIYAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi Nama Mahasiswa NRP
: Perluasan Hama Sasaran Formulasi Insektisida Nabati RSA1 pada Tiga Spesies Serangga Hama Sayuran : Nur Asyiyah : A34054194
Disetujui Pembimbing
Dr. Ir. Dadang, MSc. NIP. 19640204 199002 1 002
Diketahui Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Dr. Ir. Dadang, MSc. NIP. 19640204 199002 1 002
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP NUR ASYIYAH, lahir pada tanggal 08 Februari 1986 di Indramayu dari pasangan suami istri Bapak Sukatma dan Ibu Yulis yang beralamat di Jl. Raya Kedokanbunder Wetan Blok Gopala RT. 03 RW. 01 No. 813 Kecamatan Kedokanbunder, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat 45283. Penulis merupakan anak ke-5 dari 7 bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah menengah umum (SMU) di Pondok Pesantren Modern Husnul Khotimah, Kuningan Jawa Barat dan lulus pada tahun 2005. Sejak tahun 2005, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian. Selama di SMU dan IPB, penulis aktif mengikuti berbagai organisasi dan kepanitiaan seperti OSIS di SMU dan selama di IPB ikut tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman IPB (Himasita-IPB), bahkan selama dua periode yaitu periode 2006/2007 menjabat sebagai bendahara dan periode 2007/2008 sebagai sekretaris. Selain itu, penulis juga ikut tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Perlindungan Tanaman Indonesia (HMPTI) sebagai anggota Biro Informasi dan Komunikasi pada periode 2006/2008. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar Proteksi Tanaman pada tahun ajaran 2007/2008.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Perluasan Hama Sasaran Formulasi Insektisida Nabati RSA1 pada Tiga Spesies Serangga Hama Sayuran ini merupakan tugas akhir program sarjana di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan formulasi insektisida nabati RSA1 pada tiga jenis serangga hama sayuran. Penelitian dilaksanakan dari bulan April hingga November 2009 di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Dadang, MSc. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan saran kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Agus dan Bapak Sodik yang telah banyak membantu dalam penyediaan bahan dan alat selama penulis melakukan penelitian, serta tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam penelitian ini yaitu Ibnu, Triva, Iin Solikhin, Wiwin, Mahathir, Sena, Ratih, seluruh anggota Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman, mahasiswa angkatan 42 dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Bogor, Januari 2010 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
ix
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
Latar Belakang ...............................................................................
1
Tujuan ..............................................................................................
4
Manfaat ..........................................................................................
4
Hipotesis ..........................................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
6
Kebutuhan dan Produksi Sayuran di Indonesia ..............................
6
Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) ...............................
8
Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) . .............
10
Maruca testulalis Geyer (Lepidoptera: Pyralidae) ..........................
11
Crocidolomia pavonana Zeller (Lepidotera: Pyralidae) ................
11
Pestisida Sintetik, Manfaat dan Dampaknya ......... .........................
12
Pestisida Nabati ...............................................................................
14
Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl., Piperaceae) ......... ...............
15
Srikaya (Annona squamosa Linn., Piperaceae) ..............................
16
Potensi P. retrofractum dan A. squamosa sebagai Insektisida Nabati ...............................................................
16
Produk Pertanian, Petani dan Konsumen .........................................
19
BAHAN DAN METODE ........................................................................
21
Tempat dan Waktu .........................................................................
21
Penyediaan Serangga Uji ................................................................
21
Pemeliharaan dan Perbanyakan Serangga Uji ................................
21
Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) .........................
21
Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) ...............
22
Maruca testulalis (Lepidoptera: Pyralidae) ..........................
22
Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae) .................
23
Sumber Ekstrak Tanaman untuk Insektisida Nabati .......................
23
Ekstraksi Tanaman ..........................................................................
23
Formulasi RSA1 ..............................................................................
24
Uji Formulasi RSA I pada S. litura ..................................................
24
Uji Formulasi RSA I pada M. testulalis ..........................................
24
Uji Formulasi RSA1 pada C. pavonana .........................................
25
Uji Formulasi RSA1 pada H. armigera ..........................................
25
Rancangan Percobaan .....................................................................
26
Analisis Data ...................................................................................
26
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
27
Hasil Pengujian ...............................................................................
27
Uji Formulasi RSA1 pada C. pavonana ..............................
27
Uji Formulasi RSA1 pada S. litura .......................................
28
Uji Formulasi RSA1 pada H. armigera ................................
30
Uji Formulasi RSA1 pada M. testulalis .................................
32
Pembahasan Umum .......................................................................
33
KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
39
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
40
viii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Persentase mortalitas C. pavonana yang diperlakukan formulasi RSA1...........................................................................
27
Tabel 2 Persentase mortalitas S. litura yang diperlakukan formulasi RSA1...........................................................................
29
Tabel 3 Persentase mortalitas H. armigera yang diperlakukan formulasi RSA1...........................................................................
30
Tabel 4 Persentase mortalitas M. testulalis yang diperlakukan formulasi RSA1...........................................................................
32
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Tingkat mortalitas C. pavonana yang diperlakukan formulasi RSA1.......................................................................
28
Gambar 2 Tingkat mortalitas S. litura yang diperlakukan formulasi RSA1.......................................................................
30
Gambar 3 Tingkat mortalitas H. armigera yang diperlakukan formulasi RSA1.......................................................................
31
Gambar 4 Tingkat mortalitas M. testulalis yang diperlakukan formulasi RSA1.......................................................................
33
PENDAHULUAN Latar Belakang Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang sangat penting. Kebutuhan atas sayuran semakin meningkat seiring meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi sayuran. Selain itu, kebutuhan atas sayuran diperkirakan semakin meningkat dengan adanya program “Gema Sayuran” yang telah dicanangkan oleh Departemen Pertanian sejak tahun 2006 sampai tahun 2010 yang bertujuan untuk meningkatkan konsumsi sayuran dan gizi penduduk Indonesia. Menurut Direktur Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka Ditjen Hortikultura Deptan, konsumsi sayuran penduduk Indonesia masih di bawah standar Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) (Anonim 2009). Berkaitan dengan hal tersebut, produktivitas sayuran harus terus ditingkatkan untuk menjaga ketersediaannya. Namun, upaya peningkatan produktivitas sayuran ini sering dihadapkan pada berbagai kendala. Kendala yang sering dihadapi terutama yang berkaitan dengan iklim yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan organisme pengganggu tanaman (OPT) sayuran yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan produksi baik secara kualitas maupun kuantitas. Sebagai contoh, menurut Rukmorini (2009) produksi bawang merah pada tahun 2004 mencapai 757 ribu ton atau menurun sebesar 0,7% dibandingkan produksi tahun sebelumnya. Penurunan produksi ini disebabkan oleh penurunan produktivitas bawang merah pada tahun 2004 yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan dan serangan hama patogen tanaman. Produksi beberapa jenis tanaman sayuran mengalami fluktuasi. Produksi bawang merah, bawang putih, dan wortel pada 1998 masing-masing mengalami kenaikan 17%, 4%, dan 29% dibandingkan 1997 sedangkan kentang, tomat dan kubis mengalami penurunan masing-masing sebesar 13%, 9%, dan 7% (Portal Indonesia 2007). Contoh lain, petani sering menderita kerugian pada saat musim hujan karena beragam jenis sayuran cepat busuk akibat tergenang air hujan dan diserang hama dan patogen (Anonim 2004). Selain itu, tingginya curah hujan juga menyebabkan kerugian yang besar bagi petani sayuran di Kawasan Lereng Gunung Merbabu dan Andong Kabupaten Magelang karena dapat meningkatkan serangan patogen tanaman yang
2
mengakibatkan produksi sayuran menyusut sekitar 25 sampai 35 persen (Wawasan Digital 2009). Upaya pengendalian OPT sangat penting dilakukan untuk mencegah penurunan produksi. Berbagai upaya pengendalian sudah dilakukan mulai dari kultur teknis, fisik, mekanik sampai kimiawi menggunakan pestisida sintetik. Namun, pengendalian kimiawi atau secara kimia menggunakan pestisida sintetik yang paling sering dilakukan dan paling disenangi oleh petani. Penggunaan pestisida terbanyak adalah dalam bidang pertanian yaitu hampir 85%. Alasan mereka memilih pestisida sintetik karena akan memberikan hasil yang lebih cepat dan hasilnya dapat dievaluasi relatif cepat terutama untuk pengendalianpengendalian yang sifatnya kuratif atau penyembuhan. Selain itu, alasan lainnya adalah karena penggunaan pestisida sintetik juga bersifat fleksibel, mudah beradaptasi dalam segala situasi karena tersedia dalam berbagai bentuk formulasi dan mudah didapatkan di kios-kios pestisida atau toko-toko pertanian, penggunaannya lebih praktis, dan lebih ekonomis dibandingkan dengan pengendalian lain (Dadang 2007). Namun, di samping semua kelebihannya di atas, pestisida sintetik juga dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif tersebut diantaranya adalah meningkatkan resistensi hama dan patogen di lapangan, dapat menyebabkan terjadinya resurjensi dan ledakan hama atau penyakit, meninggalkan residu pada produk pertanian yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan karena kandungan pestisida yang umumnya adalah racun dan persistensinya di alam terlebih lagi jika penggunaannya tidak secara bijaksana dalam arti tidak sesuai dosis, aturan, dan kebutuhan. Sebenarnya, petani juga sudah banyak yang mengetahui dampak negatif akibat penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak bijaksana. Namun ironisnya, kebanyakan petani masih mengabaikan hal-hal tersebut dengan beranggapan bahwa semakin banyak pestisida yang digunakan maka hasilnya akan semakin baik dan dapat menyelamatkan tanaman mereka dari gangguan OPT sehingga hasil produksi yang didapat pun akan semakin besar. Mereka tidak peduli dengan semakin meningkatnya harga pestisida. Menurut mereka semahal apapun harga pestisida tetap akan mereka beli jika pestisida tersebut dapat
3
memberikan hasil sesuai dengan yang mereka inginkan. Mereka beranggapan bahwa semakin mahal harga pestisida semakin baik pula kualitasnya. Berlawanan dengan hal tersebut, masyarakat atau konsumen yang menikmati hasil produksi dari petani menginginkan produk pertanian yang sehat, aman konsumsi, dan aman bagi lingkungan. Mereka mulai menghendaki produk-produk pertanian yang sedikit menggunakan pestisida bahkan bebas residu pestisida. Oleh karena itu, diperlukan solusi dari masalah tersebut yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Solusi yang dapat ditawarkan untuk masalah ini adalah dengan mengurangi atau mengganti penggunaan pestisida kimia sintetik dengan pestisida nabati yang dinilai lebih aman. Saat ini banyak dikembangkan penelitian mengenai pestisida alami sebagai alternatif pengendalian. Salah satu contoh adalah pengembangan penelitian tentang insektisida nabati yang berasal dari bahan tumbuhan yang berpotensi membunuh hama tanaman. Menurut Dadang (2007) insektisida nabati atau insektisida botani (botanical insecticide) adalah insektisida yang berbahan aktif senyawa dari tumbuhan atau tanaman. Anonim (2008) mengartikan pestisida nabati sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas. Selain itu, penggunaan insektisida atau pestisida nabati ini lebih menguntungkan karena terbuat dari bahan alami atau nabati, maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam, sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan, karena residu mudah hilang. Dua jenis tanaman yang telah terbukti efektif dijadikan sebagai insektisida nabati adalah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl., Piperaceae) dan srikaya (Annona squamosa Linn., Anonaceae). Cabe jawa mengandung piperine yang mempunyai rasa pedas. Piperine yang dimurnikan sangat berpotensi menekan kemunculan imago Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) dengan nilai ED50 sebesar 50 ppm (Trakoontivakorn et al. 2005). Menurut Kardinan (2002) biji srikaya mengandung senyawa kimia annonain yang terdiri atas squamosin dan asimisin yang bersifat racun terhadap serangga. Ekawati (2008) melaporkan bahwa perlakuan ekstrak metanol P. retrofractum konsentrasi 5% memberikan pengaruh penghambatan peneluran
4
pada S. zeamais yang sangat tinggi yaitu sebesar 100%. Tiga jenis ekstrak, P. retrofractum, A. squamosa dan Aglaia odorata Lour., (Meliaceae) memberikan tingkat efektifitas yang tinggi baik terhadap C. pavonana maupun Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Yponomeutidae) dengan memberikan nilai LC95 lebih rendah pada konsentrasi ekstrak 0,1% dengan menggunakan metode residu pada daun. Sementara itu dengan metode perlakuan setempat hanya ekstrak A. squamosa yang memberikan efektivitas tinggi. Dua ekstrak campuran yaitu campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada perbandingan 1:1 dan 2:1 memberikan nilai LC rendah terhadap P. xylostella (Dadang et al. 2007). Potensi ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa yang sangat baik dalam mengendalikan beberapa jenis hama tanaman tersebut harus terus dikembangkan karena insektisida nabati ini relatif lebih aman dibandingkan dengan insektisida kimia dan bahan-bahannya mudah didapat sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya produksi pertanian dan bisa dibuat sendiri oleh petani. Penelitian lebih lanjut mengenai perluasan hama sasaran sangat diperlukan untuk mengetahui efektivitas
P. retrofractum dan A. squamosa dalam penggunaannya untuk
pengendalian jenis hama lain yang belum pernah dilakukan pengujian. Dalam penelitian ini diujikan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa dengan bahan tambahan Agristik 0,1% terhadap tiga spesies serangga hama sayuran yaitu S. litura, H. armigera dan M. testulalis dengan C. pavonana sebagai pembanding. Campuran ekstrak ini diberi nama formulasi RSA1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah informasi tentang efektivitas P. retrofractum dan A. squamosa maupun campurannya dalam mengendalikan beberapa jenis hama sayuran.
Tujuan Mengetahui keefektifan formulasi insektisida nabati RSA1 pada tiga spesies serangga hama sayuran sebagai perluasan target hama sasaran pada formulasi insektisida nabati RSA1.
5
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan dan pengembangan insektisida nabati dengan bahan dan sasaran hama yang lebih beragam. Dalam jangka panjang hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai
alternatif
pengganti
insektisida
kimia
sintetik
untuk
mengendalikan hama tanaman yang dapat diaplikasikan secara langsung oleh petani pada skala yang lebih luas.
Hipotesis Formulasi insektisida nabati RSA1 bersifat insektisidal terhadap beberapa jenis serangga hama yang bekerja sebagai racun perut dan racun kontak.
TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan dan Produksi Sayuran di Indonesia Menurut Direktur Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka Ditjen Hortikultura konsumsi sayuran penduduk Indonesia masih di bawah standar yang ditetapkan oleh Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) yaitu baru mencapai 73 kg/kapita/tahun, sedangkan standar kecukupan untuk sehat sebesar 91,25 kg/kapita/tahun. Sementara itu konsumsi sayuran penduduk Indonesia menurut data Departemen Pertanian (Deptan) pada tahun 2005 sebesar 35,30 kg/kapita/tahun, tahun 2006 sebesar 34,06 kg/kapita/tahun, tahun 2007 meningkat sebesar 40,90 kg/kapita/tahun dan tahun 2008 mengalami penurunan kembali menjadi 37,59 kg/kapita/tahun (Anonim 2009). Berkaitan dengan hal tersebut, Deptan telah mencanangkan program “Gema Sayuran” di tingkat propinsi di seluruh wilayah Indonesia. Program ini telah dilakukan sejak tahun 2006 di Aceh Besar, tahun 2009 di NTB dan tahun 2010 akan dilakukan di Pekanbaru, Riau. Tujuan program ini adalah untuk memasyarakatkan konsumsi sayuran guna meningkatkan gizi keluarga/masyarakat mulai dari anak-anak hingga dewasa, memperbaiki pandangan masyarakat terhadap
sayuran
produk
petani
Indonesia,
membangun
rasa
bangga
mengkonsumsi produk pertanian Indonesia, mendorong peningkatan produk sayuran Indonesia, meningkatkan hidup sehat bergizi dengan pangan, vitamin, mineral, serat dan antioksidan yang cukup, serta mendorong pengembangan keanekaragaman produk sayuran (Anonim 2009). Selain konsumsi, produksi sayuran dalam negeri juga masih rendah. Berdasarkan data produksi sayuran Ditjen Hortikultura bahwa produksi sayuran (di luar jamur) pada 2008, baru mencapai 8,72 juta ton. Jumlah tersebut menurun sebesar 1,43% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan produk sayuran pasar dalam negeri masih didominasi oleh produk sayuran dari luar negeri dan menyebabkan Indonesia masih harus mengimpor kekurangannya seperti pada tahun 2006, Indonesia mengimpor lebih dari 16 jenis sayuran sebanyak 550.437,6 ton dan pada tahun 2007 volumenya meningkat menjadi 782.734,8 ton (Iriana dan Suhendar 2009).
7
Contoh lain dari penurunan produksi komoditas hortikultura adalah produksi bawang merah pada tahun 2004 sebesar 757 ribu ton. Jumlah tersebut menurun sebesar 0,7% dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya walaupun luas panen pada tahun tersebut meningkat sebesar 1,3%. Penurunan produksi ini disebabkan oleh penurunan produktivitas bawang merah pada tahun 2004 yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan yang dapat meningkatkan serangan hama dan patogen tanaman. Berlawanan dengan bawang merah, produksi bawang daun pada tahun 2003 mencapai 345,7 ribu ton atau meningkat sebesar 9,7% dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya. Namun, luas panen bawang daun pada tahun 2003 menurun sebesar 7,5% dibandingkan tahun sebelumnya (Deptan 2009). Produksi beberapa jenis tanaman sayuran mengalami fluktuasi. Produksi bawang merah, bawang putih, dan wortel pada 1998, masing-masing mengalami kenaikan 17%, 4%, dan 29% dibandingkan 1997. Pada jenis tanaman yang sama, yang mengalami penurunan adalah hasil kentang, tomat dan kubis, masing-masing 13%, 9%, dan 7% (Portal Indonesia 2007). Neraca perdagangan komoditas hortikultura secara total pada tahun 2003 dan 2004 sudah mencapai defisit masing-masing sebesar USD 105,4 juta dan USD 163,7 juta. Defisit neraca perdagangan hortikultura tersebut disebabkan oleh defisit pada komoditas buah-buahan dan sayuran. Pada tahun 2003 defisit neraca perdagangan buah-buahan dan sayuran masing-masing mencapai USD 63,5 juta dan USD 55,7 juta sedangkan pada tahun 2004 masing-masing meningkat mencapai USD 101,8 juta dan USD 76,7 juta (Deptan 2009). Penurunan produksi sayuran juga mengakibatkan menurunnya pasokan rata-rata sayuran di pasar. Contohnya pasokan cabai di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta pada bulan Maret minggu ke-4 menurun sekitar 10,9% dibandingkan dengan minggu ke-2. Pada minggu ke-1 bulan April pasokan mengalami sedikit kenaikan dibandingkan minggu ke-4 Maret, namun pada minggu ke-2 pasokan cabai mulai mengalami penurunan sekitar 9,4% dibandingkan minggu ke-1 bulan April. Sementara untuk komoditas bawang merah, pasokan bulan Maret minggu ke-4 mengalami penurunan sekitar 24% dibandingkan minggu ke-2. Pada minggu ke-1 April pasokan bawang mengalami sedikit kenaikan dibandingkan minggu ke-
8
4 Maret. Pada Bulan April minggu ke-2 mengalami penurunan sekitar 19% dibandingkan minggu ke-1 April (Dirjen Horti 2008). Berdasarkan informasi di atas, kebutuhan terhadap sayuran diperkirakan akan semakin meningkat sehingga upaya peningkatan produktivitas sayuran harus terus ditingkatkan. Namun, upaya peningkatan produktivitas sering dihadapkan pada berbagai kendala sehingga dapat menghambat upaya peningkatan bahkan terjadi penurunan produksi dan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Berbagai kendala tersebut diantaranya adalah penyempitan lahan pertanian dan peningkatan perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dipicu oleh perubahan iklim. Kerugian sering diderita petani pada saat musim hujan. Para petani sayuran mengeluhkan anjloknya harga beragam jenis sayuran yang disebabkan banyak komoditas sayuran yang cepat busuk akibat tergenang air hujan dan memicu munculnya hama dan patogen penyebab penyakit yang menyerang tanaman (Rukmorini 2009). Hal serupa juga di alami oleh petani sayuran di Kawasan Lereng Gunung Merbabu dan Andong wilayah Kabupaten Magelang. Produksi sayuran menyusut sekitar 25-35% akibat meningkatnya curah hujan yang dapat meningkatkan serangan hama dan patogen sehingga tanaman tidak dapat tumbuh secara maksimal. Hal ini menyababkan petani menderita kerugian yang sangat besar. Contohnya adalah produksi tomat hanya sebesar 7,5 kuintal. Padahal pada kondisi normal produksinya dapat mencapai satu ton. Beberapa komoditas sayuran yang mengalami penurunan produksi adalah tomat yang sekitar 25%, kubis dan lombok sekitar 30% dan sawi putih sekitar 35% (Wawasan Digital 2009).
Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) Spodoptera litura termasuk dalam famili Noctuidae dan ordo Lepidoptera. Spesies ini telah lama diduga sebagai spesies kosmopolitan. S. litura memiliki dua karakteristik khas yaitu bulan sabit hitam pada ruas abdomen ke-4 dan ke-10, dan dikelilingi oleh garis-garis kuning pada bagian lateral dan dorsalnya. S. litura terdapat di Asia, Pasifik dan Australia. Di Indonesia, S. litura diketahui sebagai hama tembakau tetapi bersifat polifag mencakup banyak tanaman. Jenis ini
9
merupakan hama yang biasa ditemukan pada tembakau baik di pembibitan maupun di lapang. Jika tindakan pengendalian tidak dilakukan selama satu musim dapat menyebabkan kerusakan yang serius. Di Jawa, larva biasa ditemukan pada lahan kedelai yang masak dan menyebabkan kehilangan hasil berupa defoliasi total. Mereka juga diketahui sebagai hama kacang-kacangan, kentang, lombok dan bawang-bawangan, dan sedikit pada golongan Ricinus dan kubis. Hama ini kadang ditemukan pada beberapa tanaman serat, sayuran, dan tanaman hias. Mereka lebih menyukai tempat yang lembab dan sering bersembunyi di dalam tanah selama siang hari dan menyerang tanaman muda pada malam hari (Kalshoven 1981). Hama ini termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang terdiri dari 4 fase hidup, yaitu telur, larva, pupa dan imago. Fase larva terdiri atas lima instar. Instar yang sangat berbahaya bagi tanaman adalah instar III dan IV. Telur diletakkan dalam kelompok dan ditutupi oleh sutera. Ulat menetas setelah 3-5 hari dan pada awalnya hidup secara gregarious. Beberapa hari kemudian, tergantung ketersediaan makanan mereka menyebar menggunakan benang dibantu oleh angin dan agens pembawa lain. Mereka mencapai instar akhir dalam waktu dua minggu dengan panjang mencapai 50 mm. Larva instar akhir sangat rakus. Pupa terjadi di tanah dalam kepompong yang terbuat dari tanah. Ngengat memiliki rentang hidup yang pendek dan dapat meletakkan telur dalam 2-6 hari dan menghasilkan beberapa kelompok telur. Total telur yang dihasilkan ± 2000-3000. Mereka kawin beberapa kali (Kalshoven 1981). Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat (Marwoto dan Suharsono 2008). Hama ini merupakan salah satu hama daun yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang, dan lain-lain. Mereka menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif dan
10
generatif. Pada fase vegetatif, mereka menyerang daun tanaman muda sehingga hanya tersisa tulang daun saja sedangkan pada fase generatif mereka menyerang dengan memangkas polong-polong muda (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 1985). Serangan S. litura menyebabkan kerusakan sekitar 12,5% dan lebih dari 20% pada tanaman umur lebih dari 20 hari setelah tanam (HST) (Adisarwanto & Widianto 1999).
Helicoverpa armigera Hubner (Lepidotera: Noctuidae) Larva yang baru menetas berwarna terang dengan bintik-bintik gelap kecil dan kepalanya berwarna gelap. Setelah larva berkembang, warnanya akan semakin gelap dan bintik-bintik gelap akan semakin jelas terlihat. Larva berukuran sedang mempunyai garis dengan warna beragam di sepanjang tubuh, pigmen gelap berbentuk pelana di segmen keempat dan bagian belakang kepala, dan kaki berwarna gelap. Larva yang berukuran besar mempunyai rambut-rambut putih di sekeliling kepalanya. Imagonya berupa ngengat berwarna coklat kusam mengkilat dengan tanda gelap dan panjangnya 35 mm. Pada bagian tanda gelap terdapat bagian berwarna terang atau pucat di bagian sayap belakang. Telur berdiameter 0,5 mm dan menetas dalam 2-5 hari. Hama ini menyerang semua jenis tanaman pertanian tetapi hanya sedikit yang menyerang gandum dan barley. Serangannya yang sangat luas pada berbagai jenis tanaman inilah yang menyebabkannya menjadi hama dalam sistem pertanian yang luas tidak hanya pada tanaman yang spesifik saja. Larva memakan daun tetapi biasanya menyebabkan kerusakan yang lebih parah ketika larva memakan bagian pucuk, ruas batang, bunga, biji dan atau buah. Kerusakan ini termasuk kehilangan hasil secara langsung dan menurunkan kualitas (DEEDI 2007). Ulat (larva H. armigera) dicirikan dengan warna hijau pucat, kadangkadang titik-titik hitam, dan pola garis-garis gelap tipis di sepanjang tubuh, garisgaris semakin gelap pada segmen kedua dan ketiga. Pada instar akhir, garis-garis gelap menjadi tidak terlalu mencolok dan titik-titik hitam di kelilingi area berwarna merah. Spesies ini mempunyai variasi warna yang beragam, seperti lebih terang atau lebih gelap pada larva dan imagonya. Karakteristik dari spesies
11
ini adalah bentuk tubuhnya akan berubah jika diganggu. Dia akan pergi dan menjatuhkan diri dan menggulung tubuhnya menjadi spiral. Ketika larva telah berkembang penuh yaitu berukuran 4 cm, larva akan berpupa dalam kokon di bawah permukaan tanah. Imagonya yang berupa ngengat akan keluar setelah ± 3 minggu. Sayap depan berwarna coklat dengan tanda gelap mengkilat di masingmasing sayap. Sayap belakang berwarna kuning mengkilat dikelilingi bagian gelap dan terang. Ngengat dewasanya sangat mirip dengan H. punctigera, tetapi untuk H. armigera dicirikan dengan larvanya mempunyai rambut-rambut putih pada protoraks, larva tidak mempunyai segi tiga gelap pada abdomen ruas pertama dan ngengatnya mempunyai tanda pucat yang dikelilingi bagian hitam di sayap belakang (Evans dan Crossley 2009). H. armigera merupakan salah satu hama utama yang menyerang jagung disetiap daerah sentra maupun pengembangan. Hama ini dikenal pula dengan ulat penggerek tongkol (Baco dan Tandiabang 1988 dalam Sarwono et al. 2003). Ambang kendali H. armigera pada tanaman kedelai adalah apabila terdapat 2 ekor per rumpun pada umur 45 hari setelah tanam atau intensitas serangan mencapai lebih dari 2% (Marwoto et al. 2001).
Maruca testulalis Geyer (Lepidoptera: Pyralidae) Maruca testulalis adalah jenis hama pada tanaman kacang-kacangan seperti kacang tunggak, kacang panjang, kacang hijau dan kedelai. Nama umumnya penggerek polong, penggerek polong buncis, penggerek polong kedelai, ngengat kacang dan penggerek polong kacang-kacangan. Ia memakan pucuk bunga, bunga dan polong muda. Dalam beberapa kasus instar-instar muda memakan mahkota bunga dan batang muda (Wikipedia 2009). Maruca testulalis merupakan hama utama pada tanaman kacang hijau. Hama ini menyerang bunga, kecambah, dan polong dari beberapa leguminosa budidaya maupun liar. Serangga ini menyebar di seluruh daerah tropis. Di jawa dan Sumatera, kedelai dan kacang-kacangan, Canavallia, Crotalaria, Tephrosia, Pueraria, Cajanus, Derris, Sesbania, Caesalpinia dll dilaporkan sebagai tanaman inang. Larva muda memiliki preferensi terhadap opening flower (bunga yang mekar). Mereka juga memakan kuncup bunga dan polong muda dan makan daun
12
dan tunas. Bagian yang terserang terjalin menjadi satu oleh benang sutera. Larva berwarna hijau muda dengan kepala berwarna coklat atau gelap, cervic berbentuk perisai dan rambut papilla, dan mampu tumbuh mencapai 16 mm. Pupa ditemukan di tanah pada kokon yang terbuat dari benang sutera. Bunga dan kecambah terserang layu namun tetap menggantung karena jaring sutera. Secara umum kerusakan yang diakibatkan merupakan kerusakan minor (Kalshoven 1981). Kehilangan hasil di daerah tropik dan sub tropik mencapai lebih dari 60% akibat serangan hama ini (Macfoy et al. 1983). Hama penggerek polong Maruca tetulalis merupakan hama utama tanaman kacang hijau. Kehilangan hasil akibat serangan hama ini mencapai antara 13–59% pada musim kemarau (Balitkabi 2008).
Crocidolomia pavonana Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) Crocidolomia binotalis, ulat krop kubis besar umum terdapat pada tanaman crucifera yang dibudidayakan maupun yang liar, dapat ditemukan di Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia dan pulau-pulau di Pasifik. Di jawa, ditemukan di dataran rendah sampai daerah perbukitan atau sedang. Hama menyerang berbagai jenis tanaman brassicae/kubis-kubisan termasuk sawi, vetsai, lobak, radish dan nasturtium liar. Larva muda hidup secara gregarious dan memakan bagian bawah daun kubis. Mereka menghindari cahaya. Kemungkinan daun yang terserang akan habis secara keseluruhan, terutama daun muda; titik tumbuh juga diserang. Pewarnaan larva sangat beragam, tapi umumnya berwarna hijau dengan warna bagian dorsal pucat dan pita hitam di bagian lateral, lempengan kitin mengandung rambut. Warna lateral dan ventral adalah kekuningan. Mereka tumbuh sampai ukuran sekitar 18 mm, dan berpupa di tanah yang dangkal dibungkus dengan lapisan tipis yang dilindungi partikel tanah. Ngengat bersifat nokturnal dan tidak tertarik cahaya. Telur diletakkan di kumpulan yang tumpang tindih berukuran 3x5 mm di bagian bawah daun. Betina hidup selama 16-24 hari dan memproduksi 11-18 kumpulan yang terdiri dari 3080 telur. Di Bogor, perkembangan penuh selesai dalam 22-30 hari. Spesies ini merupakan hama tanaman kubis yang paling umum dan paling merusak di Jawa. Akibat dari serangan ini menyebabkan kerusakan yang serius pada pertanaman,
13
tapi biasanya kubis bisa melakukan pertumbuhan tambahan, tapi kemudian tidak membentuk krop. Larva biasanya dikembangbiakkan di laboratorium karena mereka cocok untuk pengujian insektisida (Kalshoven 1981).
Pestisida Sintetik, Manfaat dan Dampaknya Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama dan patogen penyeebab penyakit tanaman yang mencakup serangga, tungau, gulma, cendawan, bakteri, virus, nematoda, siput, tikus, burung dan organisme lain yang dianggap merugikan dan menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh secara optimal (Biotis 2009). Menurut Tarumingkeng (1977), pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad hidup yang mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Pestisida berasal dari kata Pest yang berarti hama dan cide yang berarti membunuh. Aplikasi pestisida di lapangan digunakan bersama-sama dengan bahan lain misalnya minyak untuk melarutkan, air untuk mengencerkan, tepung untuk mempermudah dalam pengenceran atau penyebaran dan penyemprotan, bubuk yang dicampur sebagai pengencer (dalam formulasi dust), atraktan (misalnya bahan feromon) untuk pengumpan, bahan yang bersifat sinergis untuk penambah daya racun, dsb. Penggolongan pestisida didasarkan pada sasaran, asal dan sifat kimia. Berdasarkan sasaran pestisida digolongkan menjadi insektisida (racun serangga), fungisida (racun cendawan), herbisida (racun gulma), akarisida (racun tungau), rodentisida (racun tikus), nematisida (racun nematoda), dst. Sedangkan berdasarkan asal dan sifat kimianya digolongkan menjadi pestisida sintetik anorganik dan organik, serta pestisida hasil alam seperti nikotin, piretrin dan rotenon, sedangkan untuk jenis racunnya dibedakan atas racun sistemik dan racun kontak. Penggunaan pestisida dalam pengendalian akan memberikan hasil yang lebih cepat terutama untuk pengendalian-pengendalian yang bersifat kuratif (penyembuhan). Penggunaan pestisida juga bersifat fleksibel, mudah beradaptasi dalam segala hal dan situasi karena tersedia dalam berbagai bentuk formulasi dan
14
mudah didapatkan di kios-kios pestisida atau toko-toko pertanian, penggunaannya lebih praktis, dan lebih ekonomis dibandingkan dengan pengendalian lain. Hal inilah yang menyebabkan petani lebih memilih pestisida sintetik dibandingkan dengan jenis pengendalian lainnya. Penggunaan pestisida terbanyak adalah dalam bidang pertanian, bahkan hampir 85% pestisida yang beredar di dunia ini digunakan untuk bidang pertanian (Dadang 2007). Menurut Girsang (2006) pestisida adalah bahan beracun yang termasuk pencemar bagi lingkungan dan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Cara aplikasinya yang tidak bijaksana dapat menyebabkan degradasi lingkungan berupa kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh sifatnya yang beracun dan persistensinya yang cukup lama bahkan untuk beberapa jenis pestisida dapat mencapai puluhan tahun. Pencemaran pestisida dapat terjadi melalui angin, aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Sebagai contoh pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi atau kebun akan ikut terbawa aliran air ke sungai dan akhirnya ke laut jika terjadi hujan. Sedangkan sisa pestisida yang tidak terbawa akan mengendap di tanah dan sebagian terdapat pada tanaman yang diaplikasi pestisida sebagai residu dan akan membahayakan bagi organisme yang memakannya. Makhluk hidup pada ekosistem perairan yang ada di sawah, sungai dan laut seperti ikan dan makhluk hidup aquatik lainnya dapat teracuni oleh pestisida yang terbawa aliran air dan akhirnya dapat meracuni organisme yang memakannya dengan kadar racun yang terus terakumulasi sehingga kadar racun pada organisme yang terdapat pada aras tropi yang lebih tinggi pada rantai makanan akan semakin meningkat. Beberapa hasil monitoring menunjukkan bahwa hampir di setiap tempat di lingkungan sekitar kita seperti dii dalam tanah, air minum, air sungai, air sumur, dan udara ditemukan residu pestisida. Kondisi seperti ini secara tidak langsung dapat membahayakan organisme bukan sasaran dan dapat menurunkan kualitas lingkungan. Menurut Coutney et al. (1973) dalam Saenong (2008), pencemaran perairan oleh pestisida bersumber dari aliran air di daerah pertanian terutama selama musim hujan. Kadar pestisida yang tinggi dapat membunuh makhluk hidup yang ada di dalam air. Namun, ada pula pestisida-pestisida yang
15
persistensinya tinggi seperti golongan organoklorin meskipun dengan kosentrasi rendah dapat masuk dalam rantai makanan dan mengalami proses peningkatan kadar (biological magnification) sampai pada derajat yang mematikan. Perlakuan paraquat pada dosis 1,0 ppm selama 4 jam dapat menurunkan produktivitas fitoplankton sebesar 53%, perlakuan diquat dengan dosis yang sama dalam selang waktu 48 jam menurunkan produktivitas 45%, sedangkan perlakuan diuran dengan dosis 1,0 ppm dalam selang waktu 4 jam menurunkan produktivitas sampai 87% (Pimentel 1974 dalam Saenong 2008).
Pestisida Nabati Pestisida nabati dikenal juga dengan pestisida alami. Pestisida nabati berbahan aktif senyawa metabolit sekunder tumbuhan baik tunggal maupun majemuk yang bisa digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Selain itu, pestisida nabati juga bisa berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul) dan pembunuh. Secara umum, pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas (Anonim 2008). Insektisida nabati atau insektisida botani (botanical insecticide) adalah insektisida yang berbahan aktif senyawa dari tumbuhan atau tanaman (Dadang 2007). Penggunaan insektisida atau pestisida nabati lebih menguntungkan karena terbuat dari bahan alami atau nabati yang bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam, sehingga tidak mencemari lingkungan dan diniliai relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan, karena residu mudah hilang. Selain itu, pestisida nabati juga memiliki tingkat selektivitas yang tinggi sehingga dapat mengurangi resiko bahaya pada organisme bukan sasaran (Anonim 2008). Di Indonesia terdapat banyak jenis tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati. Bahan dasar pestisida alami ini bisa didapatkan pada beberapa jenis tanaman. Zat yang terkandung di masing-masing tanaman memiliki fungsi berbeda ketika berperan sebagai pestisida (Anonim 2008). Pestisida nabati bersifat “hit and run” (pukul dan lari), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat hilang
16
di alam. Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk ke dalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida (Kardinan 2002).
Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl., Piperaceae) Cabe jawa merupakan tumbuhan asli Indonesia. Cabe jawa biasa ditanam di pekarangan, ladang atau tumbuh liar di tempat-tempat yang tanahnya tidak lembab dan berpasir seperti di dekat pantai atau di hutan hingga ketinggian 600 m dpl. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 10 m. Cabe jawa termasuk tanaman tahunan, mempunyai batang percabangan liar yang dimulai dari pangkalnya yang keras dan menyerupai kayu, tumbuh memanjat, melilit, atau melata dengan akar lekatnya. Daun tunggal, bertangkai, bentuknya bulat telur sampai lonjong, pangkal membulat, ujung runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan atas licin, permukaan bawah berbintik-bintik, panjang 8,5-30 cm, lebar 3-13 cm dan berwarna hijau. Bunga berkelamin tunggal, tersusun dalam bulir yang tumbuh tegak atau sedikit merunduk, bulir jantan lebih panjang dari bulir betina. Buah majemuk berupa bulir, bentuk bulat panjang sampai silindris, bagian ujung agak mengecil, permukaan tidak rata, bertonjolan teratur, panjang 2-7 cm, garis tengah 4-8 mm dan bertangkai panjang. Buah muda berwarna hijau, keras dan pedas kemudian warna berturut-turut berubah menjadi kuning gading dan akhirnya menjadi merah, lunak dan manis ketika buah sudah masak. Biji bulat pipih, keras dan berwarna cokelat kehitaman. Cara perbanyakan tanaman ini adalah dengan biji atau stek batang (Anonim 2008). Cabe jawa, cabe jamu, lada panjang, atau cabe saja (P. retrofractum syn. P. longum) adalah kerabat lada dan termasuk dalam suku sirih-sirihan atau famili Piperaceae (Wikipedia 2008). Cabe jawa tersebar di seluruh nusantara dan tumbuh pada ketinggian di bawah 600 m dpl atau pada tanah miskin hara dan sangat kering misalnya di pantai. Namun, cabe jawa juga dapat tumbuh di hutan yang daunnya gugur secara berkala. Tumbuhan ini tidak dibudidayakan karena dapat tumbuh liar dan dapat diperbanyak dengan stek. Pertumbuhannya dibantu dengan penyangga supaya dapat tumbuh tegak. Jika dipangkas tingginya dapat mencapai 5 kaki dan jika tidak dipangkas tanaman akan tumbuh tinggi dan tidak berbunga. Tanaman
17
dewasa berbunga dan berbuah sepanjang tahun dan tiap beberapa hari menghasilkan 30-40 buah (Heyne 1987).
Srikaya (Annona squamosa Linn., Piperaceae) Tumbuhan ini merupakan perdu tegak, tinggi 2-3 m, banyak ditanam di kebun-kebun terutama di Jawa Timur dan Madura karena buahnya harum dan rasanya enak. Akar tumbuhan ini beracun. Daunnya yang dimemarkan sangat berpotensi
sebagai
bahan
untuk
mempercepat
pecahnya
bagian
yang
membengkak. Buah hanya dihasilkan pada musim hujan. Biji memiliki kulit yang keras dan mengandung 45% minyak yang tidak mengering dan berwarna kuning. Di India dan Indonesia, biji tumbuhan ini digiling menjadi tepung untuk membunuh kutu kepala (Heyne 1987).
Potensi P. retrofractum dan A. squamosa sebagai Insektisida Nabati Buah cabe jawa sangat berpotensi untuk dijadikan bahan insektisida nabati. Salah satu kandungan buah cabe jawa adalah piperine yang mempunyai daya antiperetik, analgesik, antiinflamasi dan menekan susunan syaraf pusat. Selain terdapat pada buah, piperine juga terdapat pada bagian akar (Sentra Informasi Iptek 2009). Cabe jawa mengandung piperine yang mempunyai rasa pedas. Piperine yang dimurnikan sangat berpotensi menekan kemunculan imago Sitophilus oryzae (Coleoptera: Curculionidae) dengan ED50 sebesar 50 ppm (Trakoontivakorn et al. 2005). Srikaya (A. squamosa) merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai peluang untuk digunakan sebagai bahan insektisida nabati. Biji srikaya mengandung 42-45% lemak, resin dan senyawa kimia annonain yang terdiri atas squamosin dan asimisin yang bekerja sebagai racun perut dan racun kontak terhadap serangga serta bersifat sebagai insektisida, repelent dan antifeedant (Kardinan 2002). Akar dan kulit kayu tanaman srikaya mengandung flavonoid, borneol, kamphor, terpene, dan alkaloid anonain. Di samping itu, akarnya juga mengandung saponin, tanin, dan polifenol. Biji srikaya mengandung minyak, resin, dan bahan beracun yang bersifat iritan. Buahnya mengandung asam amino, gula buah, dan mucilago. Sedangkan buah yang masih muda mengandung
18
tanin. Kandungan biji srikaya berkhasiat memacu enzim pencernaan, abortivum, anthelmintik dan pembunuh serangga (insektisida). Kulit kayu berkhasiat sebagai astringen dan tonikum. Buah muda dan biji juga berkhasiat sebagai antiparasit (Anonim 2009). Menurut Ekawati (2008), ekstrak tanaman P. retrofractum memberikan efek dalam menghambat aktivitas peneluran Sitophilus zeamais (Coleoptera: Curculionidae) yang baik pada perlakuan ekstrak metanol pada semua konsentrasi untuk metode tanpa pilihan dan pada konsentrasi 5% untuk metode pilihan, serta pada konsentrasi 0,5%, 1%, dan 5% pada perlakuan ekstrak heksana dengan metode tanpa pilihan dan pilihan. Serbuk tanaman P. retrofractum dapat menghambat aktivitas peneluran S. zeamais pada semua perbandingan dengan nilai rata-rata aktivitas penghambatan peneluran sebesar 100% dengan metode tanpa pilihan dan metode pilihan. Tiga ekstrak, P. retrofractum, A. squamosa dan A. odorata memberikan tingkat efektifitas yang tinggi baik terhadap C. pavonana maupun P. xylostella dengan memberikan nilai LC95 lebih rendah pada konsentrasi ekstrak 0,1% dengan menggunakan metode residu pada daun. Sementara itu dengan metode perlakuan setempat hanya ekstrak A. squamosa yang memberikan efektivitas tinggi. Untuk pengujian kompatibilitas dua estrak dari tiga ekstrak yaitu P. retrofractum, A. squamosa dan A. odorata, menunjukkan bahwa campuran ekstrak P. retrofractum dengan A. squamosa dan A. odorata dengan A. squamosa menunjukkan efek sinergis untuk semua perbandingan, sedang campuran A. odorata dengan P. retrofractum menunjukkan pengaruh sinergis hanya pada perbandingan 1:1 terhadap C. pavonana. Pengujian terhadap larva P. xylostella menghasilkan satu ekstrak yang bersifat sinergis untuk semua tingkat LC (lethal concentrations) yaitu campuran ekstrak A. odorata dengan A. squamosa pada perbandingan 1:1, namun demikian terdapat dua ekstrak campuran yaitu campuran ekstrak P. retrofractum dengan A. squamosa pada perbandingan 1:1 dan 2:1 yang memberikan nilai LC rendah (Dadang et al. 2007). Ekstrak biji srikaya berpengaruh nyata pada pembentukan pupa dan imago hama krop kubis. Peningkatan konsentrasi ekstrak menyebabkan berkurangnya pembentukan pupa dan imago. Perlakuan terhadap larva menyebabkan larva yang
19
hidup menjadi lemah pada instar akhir dan fase prapupa sehingga menyebabkan larva gagal mengalami pupasi, demikian juga dengan imagonya (Herminanto et al.
2004).
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
ekstrak
biji
srikaya
memperlihatkan perbedaan mortalitas larva Aedes aegypti pada semua dosis setelah 12 jam pengamatan, dosis terendah 400 ppm dengan mortalitas 34% dan dosis tertinggi 800 ppm dengan mortalitas 89% (Adam et al. 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji lada dan srikaya efektif mengendalikan Callosobruchus spp. pada semua aras dosis yang diujikan. Bubuk biji lada pada dosis 0,5%, 1%, dan 2% serta biji srikaya pada dosis 0,5% dan 2% mampu mempertahankan viabilitas benih kedelai tetap baik setelah disimpan selama 70 hari, sedangkan bubuk biji srikaya dosis 1% tidak sebaik dosis lainnya (Dinarto dan Astriani 2006). Campuran ekstrak tanaman P. retrofractum dan A. squamosa pada konsentrasi (PA 3:7 0,05%, PA 3:7 0,1%, PA 1:1 0,05%, PA 1:1 0,1%) menunjukkan kematian larva C. pavonana <50% pada 1 hari setelah perlakuan (HSP). Pada 3 HSP terjadi peningkatan kematian larva yang mencapai 100% kecuali pada perlakuan ekstrak PA 1:1 0,05% yang menunjukkan kematian larva sebesar 89,74%. Selama 10 hari pemaparan baik penyemprotan maupun pengolesan pada tanaman brokoli pada semua konsentrasi tidak menunjukkan adanya gejala fitotoksik. Hal ini menunjukkan bahwa campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa hingga konsentrasi 0,1% aman untuk diaplikasikan (Isnaeni 2006).
Produk Pertanian, Petani dan Konsumen Permintaan pasar akan produk pertanian yang sehat terus meningkat. Sebagian masyarakat mulai menyadari pentingnya arti kesehatan terutama bagi mereka yang ekonominya tergolong cukup dan mapan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan permintaan produk-produk pertanian organik yang diyakini lebih sehat karena bebas bahan kimia berbahaya. Salah satu contohnya adalah permintaan terhadap beras organik. Permintaan pasar terhadap beras organik tetap tinggi walaupun harganya relatif mahal (Rp 8.000 – Rp 13.000 per kg) dibandingkan beras biasa (Rp 4.500 & Rp 6.000 per kg). Beras organik adalah
20
beras yang berasal dari padi yang dibudidayakan tanpa menggunakan bahan kimia sintetik, seperti pupuk kimia dan pestisida (Natural Nusantara 2009). Masalah serangga hama tanaman akan selalu menyertai dalam proses produksi pertanian sehingga teknologi pengendalian hama tanaman di lapangan memang sangat diperlukan. Sementara itu tuntutan konsumen sekarang ini yang memberikan perhatian lebih pada kesehatan tubuh dan lingkungan yang menuntut lebih banyak akan produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi dan aman juga pada saat diproduksi di lapangan sehingga tidak mengganggu kesehatan lingkungan. Untuk itu diperlukan pendekatan yang komprehensif sehingga dapat mempertemukan kedua kepentingan tersebut, yaitu antara produsen (pelaku agribisnis) dalam pengendalian serangga hama tanaman dan konsumen dalam hal mendapatkan produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan insektisida nabati yang mempunyai sifat relatif aman bagi manusia dan lingkungan. Untuk mendapatkan insektisida yang efektif, efisien dan aman maka perlu studi yang komprehensif dan terarah sehingga akan dihasilkan formulasi yang siap pakai oleh pelaku agribisnis (Dadang dan Prijono 2008).
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari bulan April hingga November 2009.
Penyediaan Serangga Uji Serangga uji yang digunakan adalah Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae), Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae), Maruca testulalis (Lepidoptera: Pyralidae) dan Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae). Serangga yang digunakan untuk pengujian adalah larva instar dua dari generasi ke-2 atau selanjutnya.
Pemeliharaan dan Perbanyakan Serangga Uji Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) Larva S. litura dipelihara dalam wadah plastik (27,5 cm x 19 cm x 6 cm) di ruang pemeliharaan serangga Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Larva diberi pakan daun kedelai. Pemberian pakan dilakukan setiap hari. Pemberian pakan ini dilakukan sampai larva serangga tersebut akan berpupa. Ketika larva serangga mencapai instar akhir, bagian dasar wadah diberi serbuk gergaji dengan ketebalan ±1 cm untuk tempat berpupa. Setelah menjadi pupa, wadah dipindahkan ke dalam kurungan (40 cm x 40 cm x 40 cm) hingga serangga menjadi imago. Ketika imago muncul, yaitu kira-kira selama dua minggu imago diberi makan madu murni yang telah diencerkan dengan air dengan perbandingan 1:6 (v/v) atau sampai madu berwarna kuning terang dengan cara menggantungkan kapas yang telah dilumuri madu pada tali yang diikatkan di bagian atas kurungan. Pemberian makan imago ini terus dilakukan selama masih ada imago yang hidup di dalam kurungan. Selain itu, diletakkan pula daun kedelai yang batangnya direndam dalam botol kecil berisi air ke dalam kurungan untuk tempat imago
22
meletakkan telur. Paket telur yang menempel pada daun dipanen setiap hari dan daun untuk tempat meletakkan telur diganti dengan daun yang baru. Paket telur yang telah dipanen diletakkan dalam wadah plastik kembali dan dibiarkan sampai menetas selama kurang lebih dua minggu. Setelah telur menetas menjadi larva kemudian diberi pakan dengan daun kedelai segar dan terus dilakukan tahapan selanjutnya seperti yang telah dijelaskan di atas.
Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) Cara pemeliharaan C. pavonana sama dengan cara pemeliharaan S. litura. Perbedaan terletak pada daun yang digunakan untuk pakan dan tempat peletakkan telur. Daun yang digunakan untuk pakan dan tempat peletakkan telurnya adalah daun brokoli. Larva diberi pakan setiap hari hingga berpupa kemudian dipindahkan ke dalam kurungan (40 cm x 40 cm x 40 cm) sampai muncul imago dan diberi pakan madu yang telah diencerkan dengan pengenceran 1:6 (v/v). Selanjutnya, daun brokoli segar diletakkan dalam botol kecil yang berisi air untuk tempat imago meletakkan telur. Paket telur yang menempel pada daun dipanen setiap hari dan diganti dengan daun yang baru. Daun yang ditempeli telur dibiarkan dalam botol kecil berisi air sampai telur tersebut menetas kemudian larva dipindahkan ke dalam wadah plastik dan dilakukan tahapan selanjutnya seperti yang telah disebutkan.
Maruca testulalis (Lepidoptera: Pyralidae) Pemeliharaan dan perbanyakan M. testulalis adalah dengan cara memelihara larva dalam botol plastik kecil. Setiap botol berisi satu larva dan diberi pakan dengan buah kacang panjang yang telah dipotong-potong. Setelah larva menjadi pupa, pupa dikumpulkan dan ditempatkan dalam satu wadah kemudian diletakkan di kurungan berbentuk silinder (diameter 18 cm dan tinggi 35 cm) sampai imago muncul. Imago diberi pakan madu yang telah diencerkan dengan pengenceran 1:6 (v/v) dan diletakkan tanaman kacang panjang muda yang ditanam dalam gelas plastik untuk tempat imago meletakkan telur. Telur yang menempel di daun dibiarkan hingga menetas. Telur yang telah menetas menjadi
23
larva dipindahkan ke dalam botol plastik kecil dan seterusnya seperti yang telah dijelaskan.
Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae) Pemeliharaan H. armigera sama dengan cara pemeliharaan M. testulalis, tetapi pakan yang digunakan adalah daun brokoli, baby corn, atau daun cabai besar merah. Imago meletakkan telur pada kain berserabut yang digantungkan pada bagian atas kurungan hingga menjuntai ke bawah. Telur dipindahkan dalam wadah pemeliharaan dan dibiarkan sampai menetas. Setelah telur menetas diberi pakan dengan daun brokoli dan setelah mencapai instar tiga dipindahkan ke dalam botol plastik kecil yang diisi satu ekor larva dan diberi pakan daun brokoli, baby corn, atau daun cabai besar merah. Tahapan selanjutnya sama dengan yang telah dijelaskan.
Sumber Ekstrak Tanaman untuk Insektisida Nabati Bahan-bahan insektisida nabati yang digunakan berasal dari tanaman cabe jawa dan srikaya. Bagian tanaman yang digunakan adalah buah cabe jawa dan biji srikaya.
Ekstraksi Tanaman Buah cabe jawa dan biji srikaya dikering-anginkan terlebih dahulu di tempat yang tidak langsung terpapar cahaya matahari. Setelah itu, kulit biji srikaya dikupas dan buah cabe jawa dipotong kecil-kecil. Biji srikaya yang telah bersih dan buah cabe jawa yang sudah dipotong-potong kemudian dihancurkan dengan cara ditumbuk atau diblender secara terpisah. Setelah hancur, bahan tanaman tersebut disaring sehingga diperoleh serbuk bijinya. Ekstraksi buah cabe jawa dan biji srikaya dilakukan dengan metode maserasi yaitu dengan merendam masing-masing serbuk tanaman dalam pelarut metanol dengan perbandingan 1:10 (w/v). Perendaman dilakukan selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan kertas saring yang diletakkan dalam corong Buchner sampai dihasilkan filtrat, dan ampasnya dibilas berulang-ulang sampai tidak berwarna. Masing-masing filtrat diuapkan dengan rotary evaporator
24
pada suhu 50oC dan tekanan 580-750 mmHg hingga dihasilkan ekstrak kasar tanaman. Ekstrak kasar tanaman kemudian disimpan dalam lemari es pada suhu 4oC hingga saat digunakan.
Formulasi RSA1 Formulasi RSA1 adalah formulasi yang mengandung campuran ekstrak buah cabe jawa P. retrofractum (R) dan ekstrak biji srikaya A. squamosa (S) dengan perbandingan 2:1 dalam pelarut metanol 5% dan bahan tambahan Agristik 0,1% (A1).
Uji Formulasi RSA1 pada S. litura Pengujian formulasi RSA1 pada S. litura dilakukan dengan dua metode, yaitu metode celup daun dan metode semprot larva. Masing-masing metode diulang tiga kali dengan tiga konsentrasi formulasi RSA1 yaitu kontrol (0%), 0,1%, dan 0,2%. Metode celup daun dilakukan dengan cara mencelupkan daun kedelai pada larutan formulasi RSA1 kemudian dikering-anginkan dan diletakkan pada cawan petri. Selanjutnya dimasukkan larva S. litura instar kedua sebanyak 10 ekor larva per cawan dan diamati pada 24, 48 dan 72 jam setelah perlakuan (JSP). Pada setiap pengamatan, daun diganti dengan daun tanpa perlakuan. Parameter pengamatan adalah kematian serangga uji. Metode semprot larva dilakukan dengan menyemprotkan larutan formulasi RSA1 pada larva S. litura yang diletakkan di cawan petri menggunakan hand sprayer kemudian dipindahkan ke dalam cawan petri yang telah diisi dengan daun kedelai. Masing-masing cawan petri diisi 10 ekor larva. Selanjutnya diamati pada 24, 48 dan 72 JSP. Pada setiap pengamatan, daun diganti dengan daun tanpa perlakuan. Parameter yang diamati adalah kematian serangga uji.
Uji Formulasi RSA1 pada M. testulalis Pengujian formulasi RSA1 pada M. testulalis dilakukan dengan metode celup daun, yaitu daun kacang panjang dicelupkan pada larutan formulasi RSA1 kemudian dikering-anginkan dan diletakkan pada cawan petri. Larva M. testulalis instar kedua dimasukkan dalam cawan petri sebanyak 10 ekor larva per cawan dan
25
diamati pada 24, 48 dan 72 JSP. Pada setiap pengamatan, daun diganti dengan daun tanpa perlakuan. Parameter yang diamati adalah kematian serangga uji. Pengujian dilakukan sebanyak tiga ulangan dengan tiga konsentrasi berbeda yaitu kontrol (0%), 0,1% dan 0,2%.
Uji Formulasi RSA1 pada C. pavonana Pengujian formulasi RSA1 pada C. pavonana dilakukan dengan metode celup daun, yaitu daun brokoli yang berbentuk persegi dengan ukuran 4 cm x 4 cm dicelupkan ke dalam larutan formulasi RSA1 kemudian dikering-anginkan dan diletakkan pada cawan petri. Larva C. pavonana instar kedua dimasukkan dalam cawan petri sebanyak 10 ekor larva per cawan dan diamati pada 24, 48 dan 72 JSP. Pada setiap pengamatan, daun diganti dengan daun tanpa perlakuan. Parameter yang diamati adalah kematian serangga uji. Pengujian dilakukan sebanyak tiga ulangan dengan tiga konsentrasi berbeda yaitu kontrol (0%), 0,1% dan 0,2%.
Uji Formulasi RSA1 pada H. armigera Pengujian formulasi RSA1 pada H. armigera dilakukan dengan dua metode, yaitu metode celup dan metode semprot larva. Masing-masing metode diulang sebanyak tiga kali dengan tiga konsentrasi formulasi RSA1 yaitu kontrol (0%), 0,1% dan 0,2%. Metode celup dilakukan dengan cara mencelupkan daun cabai besar merah pada larutan formulasi RSA1 kemudian dikering-anginkan dan diletakkan pada cawan petri. Larva H. armigera instar kedua dimasukkan dalam cawan petri sebanyak 10 ekor larva per cawan dan diamati pada 24, 48 dan 72 JSP. Pada setiap pengamatan, daun diganti dengan daun tanpa perlakuan. Parameter yang diamati adalah kematian serangga uji. Metode semprot larva dilakukan dengan menyemprotkan larutan formulasi RSA1 pada larva H. armigera yang diletakkan di cawan petri menggunakan hand sprayer kemudian dipindahkan ke dalam botol plastik kecil yang telah diisi dengan potongan baby corn. Setiap botol plastik kecil diisi 1 ekor larva dan jumlah untuk 1 ulangan sebanyak 10 ekor larva sehingga dibutuhkan 90 botol plastik kecil untuk 3 ulangan kemudian diamati pada 24, 48 dan 72 JSP. Jika pada
26
saat pengamatan pakan telah habis, maka harus ditambahkan pakan yang baru. Parameter yang diamati adalah kematian serangga uji.
Rancangan Percobaan Penelitian ini terdiri dari empat pengujian, yaitu uji formulasi RSA1 pada S. litura dengan dua metode yaitu celup dan semprot larva, uji formulasi RSA1 pada M. testulalis dengan metode celup, uji formulasi RSA1 pada C. pavonana dengan metode celup, dan uji formulasi RSA1 pada H. armigera dengan metode celup dan semprot larva. Parameter yang diamati adalah kematian serangga uji. Masing-masing pengujian tersebut dilakukan sebanyak tiga ulangan dan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL).
Analisis Data Data persentase kematian serangga uji dianalisis dengan Statistical Analisis System (SAS) versi 6.12 dan pembandingan nilai tengah dengan selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Formulasi RSA1 telah terbukti efektif untuk mengendalikan C. pavonana dalam skala laboratorium, semi lapangan dan lapangan pada penelitian sebelumnya. Perluasan hama sasaran formulasi RSA1 perlu dilakukan untuk menguji efektivitasnya terhadap jenis hama lain. Hasil penelitian ini akan membahas efektivitas formulasi RSA1 terhadap tiga spesies hama sayuran yaitu S. litura, H. armigera dan M. testulalis.
Uji Formulasi RSA1 pada C. pavonana Pengujian formulasi RSA1 pada C. pavonana ini merupakan uji verifikasi untuk pengujian formulasi RSA1 pada tiga spesies serangga hama lainnya karena formulasi RSA1 ini telah terbukti efektif untuk mengendalikan C. pavonana. Hasil pengujian formulasi RSA1 terhadap C. pavonana dengan metode celup pada tiga taraf konsentrasi (0,1%, 0,2% dan kontrol) yang diamati pada 24, 48 dan 72 JSP disajikan pada Tabel 1; Tabel 1
Mortalitas C. pavonana yang diperlakukan insektisida nabati RSA1 dengan metode celup
Konsentrasi (%) Kontrol (0) 0,1 0,2 a b c
24 JSP 3,3±5,8b 10,0±10b 50,0±10a
Mortalitas (%) ± SDa 48 JSP 20,0±0c 50,0±10b 100,0±0a
72 JSPb 23,3±5,8cc 53,3±5,8b 100,0±0a
SD = standar deviasi JSP = Jam Setelah Perlakuan Untuk setiap rataan selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan, α = 0,05
Tabel di atas menunjukkan bahwa mortalitas C. pavonana berbeda nyata antara perlakuan dengan kontrol pada semua konsentrasi dengan mortalitas pada akhir pengamatan sebesar 53,3% pada konsentrasi 0,1% dan 100% pada konsentrasi 0,2%. Peningkatan konsentrasi pada pengujian ini menunjukkan perbedaan mortalitas yang sangat signifikan yaitu sebesar ±50%. Mortalitas C. pavonana pada setiap waktu pengamatan juga menunjukkan hasil yang berbeda
28
nyata antara perlakuan dengan kontrol. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa formulasi RSA1 sangat efektif digunakan untuk mengendalikan C. pavonana dengan daya bunuh sampai 100% pada konsentrasi 0,2%. Tingkat mortalitas C. pavonana yang diperlakukan formulasi RSA1 pada setiap pengamatan, dapat dilihat secara lebih jelas pada gambar 1; 100
Mortalitas (%)
80 60 40 20 0 24
48 jam setelah perlakuan (JSP)
0,1 %
0,2 %
72
0% (kontrol)
Gambar 1 Tingkat mortalitas C. pavonana yang diperlakukan formulasi RSA1 Gambar di atas menunjukkan bahwa mortalitas C. pavonana semakin meningkat pada setiap waktu pengamatan. Mortalitas pada perlakuan dengan konsentrasi 0,2% mencapai 100% pada 48 JSP, sedang pada konsentrasi 0,1% hanya 53,3% sampai akhir pengamatan. Mortalitas kontrol yaitu sebesar 23,3% pada akhir pengamatan (72 JSP).
Uji Formulasi RSA1 pada S. litura Hasil uji formulasi RSA1 pada S. litura dengan metode celup dan semprot larva yang diamati pada 24, 48 dan 72 JSP disajikan dalam Tabel 2;
29
Tabel 2 Mortalitas S. litura yang diperlakukan formulasi RSA1 Konsentrasi (%) Kontrol (0) 0,1 0,2
b
24 JSP 3,3±5,8b 3,3±5,8b 20±10a
Mortalitas (%) ± SDa
Metode celup 48 JSP 72 JSP 13,3±11,5a 13,3±11,5a 13,3±5,8a 26,7±5,8a 26,7±15,3a 30,0±10a
Metode semprot larvab 24 JSP 48 JSP 72 JSPc 0,0±0a 0,0±0a 0,0±0b 13,3±5,8a 13,3±5,8a 13,3±5,8a 13,3±11,5a 16,7±15,3a 20,0±10a
a
SD = standar deviasi Untuk setiap metode uji rataan selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan, α = 0,05 c JSP = Jam Setelah Perlakuan b
Pengujian formulasi RSA1 dengan metode celup menunjukkan hasil yang berbeda nyata hanya pada 24 JSP dengan mortalitas tertinggi sebesar 20% pada konsentrasi 0,2%, sedangkan pada pengamatan 48 JSP dan 72 JSP tidak menunjukkan hasil berbeda nyata yang hanya mampu mematikan serangga uji sebesar 30% sampai akhir pengamatan pada konsentrasi tertinggi. Hasil pengujian formulasi RSA1 dengan metode semprot larva juga menunjukkan tidak berbeda nyata pada pengamatan 24 JSP dan 48 JSP, sedangkan pada pengujian 72 JSP menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara perlakuan dengan kontrol dengan mortalitas sebesar 13,3% pada konsentrasi 0,1% dan 20% pada konsentrasi 0,2%. Jika hasil kedua metode tersebut dibandingkan, metode celup masih lebih baik dibandingkan dengan metode semprot larva karena persentase mortalitasnya lebih tinggi. Namun demikian, formulasi RSA1 ini tidak cukup efektif untuk mengendalikan S. litura karena angka mortalitasnya masih di bawah 80%. Mortalitas S.
litura mengalami
peningkatan pada setiap waktu
pengamatan. Tingkat mortalitas S. litura pada 24, 48 dan 72 JSP, dapat dilihat lebih jelas pada gambar 2;
30
35
Mortalitas (%)
30 25 20 15 10 5 0 24
48 jam setelah perlakuan (JSP)
72
celup 0,1%
celup 0,2%
celup 0% (kontrol)
semprot larva 0,1%
semprot larva 0,2%
semprot larva 0% (kontrol)
Gambar 2 Tingkat mortalitas S. litura yang diperlakukan formulasi RSA1 Gambar di atas memperlihatkan bahwa tingkat mortalitas pada perlakuan semakin meningkat pada setiap pengamatan, sedangkan tingkat mortalitas kontrol menunjukkan angka yang cukup stabil. Tingkat mortalitas S. litura metode celup mencapai 30% pada 72 JSP, sedangkan pada metode semprot larva hanya sebesar 20%.
Uji Formulasi RSA1 pada H. armigera Hasil pengujian formulasi RSA1 pada H. armigera dengan tiga taraf konsentrasi (0,1%, 0,2% dan kontrol) yang diamati pada 24, 48 dan 72 JSP disajikan pada Tabel 3; Tabel 3 Mortalitas H. armigera yang diperlakukan insektisida nabati RSA1 Konsentrasi (%) Kontrol (0) 0,1 0,2 a
b
Mortalitas (%) ± SDa
Metode celup 24 JSP 48 JSP 72 JSP 0,0±0a 0,0±0b 13,3±5,8b 6,7±11,5a 43,3±25,2a 60,0±20a 13,3±5,8a 33,3±15,3a 66,7±11,5a
Metode semprot larvab 24 JSP 48 JSP 72 JSPc 0,0±0a 0,0±0a 0,0±0a 0,0±0a 3,3±5,8a 3,3±5,8a 3,3±5,8a 3,3±5,8a 6,7±11,5a
SD = standar deviasi Untuk setiap metode uji rataan selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan, α = 0,05 c JSP = Jam Setelah Perlakuan. b
31
Pengujian formulasi RSA1 dengan metode celup menunjukkan berbeda nyata antara semua perlakuan dengan kontrol pada 48 dan 72 JSP, sedangkan pada 24 JSP antara perlakuan dengan kontrol tidak berbeda nyata. Pengujian formulasi RSA1 pada H. armigera dengan metode celup ini menunjukkan hasil yang cukup baik karena angka mortalitasnya mencapai 60% pada konsentrasi 0,1% dan 66,7% pada konsentrasi 0,2% pada 72 JSP. Hasil pengujian dengan metode semprot larva menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara perlakuan dengan kontrol pada semua waktu pengamatan. Angka mortalitasnya hanya mencapai 6,7% pada konsentrasi 0,2% pada 72 JSP. Jika dibandingkan hasil pengujian antara dua metode tersebut, metode celup jauh lebih baik dibandingkan dengan metode semprot larva yang terlihat dari selisih angka mortalitas yang sangat jauh berbeda antara kedua metode. Tingkat mortalitas H. armigera yang diperlakukan RSA1 dengan metode celup dan metode semprot larva dapat dilihat lebih jelas pada gambar 3; 80 70 Mortalitas (%)
60 50 40 30 20 10 0 24
48 jam setelah perlakuan (JSP)
72
celup 0,1%
celup 0,2%
celup 0% (kontrol)
semprot larva 0,1%
semprot larva 0,2%
semprot larva 0% (kontrol)
Gambar 3 Tingkat mortalitas H. armigera yang diperlakukan formulasi RSA1 Gambar di atas menunjukkan mortalitas H. armigera pada perlakuan metode celup mengalami peningkatan yang cukup baik pada setiap pengamatan hingga mencapai 66,7% pada konsentrasi 0,2% di 72 JSP dan 60% pada konsentrasi 0,1%
32
pada 72 JSP sedangkan tingkat mortalitas kontrol cukup rendah jika dibandingkan dengan perlakuan yaitu sebesar 13,3% pada 72 JSP. Tingkat mortalitas H. armigera pada metode semprot larva sangat rendah pada semua perlakuan sampai akhir pengamatan yaitu hanya sebesar 6,7% pada konsentrasi 0,2% dan 3,3% pada konsentrasi 0,1% sedangkan pada kontrol menunjukkan hasil yang sangat baik yaitu 0% atau tidak ada serangga uji yang mati. Walaupun demikian, metode semprot larva untuk pengujian formulasi RSA1 ini tidak cukup baik karena angka mortalitasnya sangat rendah.
Uji Formulasi RSA1 pada M. testulalis Hasil uji formulasi RSA1 pada M. testulalis dengan metode celup disajikan pada Tabel 4; Tabel 4
Mortalitas M. testulalis yang diperlakukan insektisida nabati RSA1 dengan metode celup
Konsentrasi (%) Kontrol (0) 0,1 0,2
24 JSP 3,3±5,8b 16,7±5,8a 23,3±5,8a
Mortalitas (%) ± SDa 48 JSP 72 JSPb 6,7±5,8c 6,7±5,8b c 26,7±5,8b 50,0±17,3a 46,7±5,8a 70,0±10a
a
SD = standar deviasi JSP = Jam Setelah Perlakuan c Untuk setiap rataan selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan, α = 0,05
b
Formulasi RSA1 menunjukkan efikasi yang cukup efektif untuk mengendalikan M. testulalis. Mortalitas M. testulalis mencapai 50% pada perlakuan dengan konsentrasi 0,1% dan mencapai 70% pada konsentrasi 0,2%, sementara kematian kontrol hanya sebanyak 6,7%. Pengujian tersebut menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara perlakuan dengan kontrol pada semua konsentrasi dan pada setiap waktu pengamatan. Peningkatan konsentrasi sampai 0,2% pada pengujian ini menunjukkan perbedaan selisih mortalitas yang signifikan. Tingkat mortalitas M. testulalis pada pengujian ini cukup baik pada setiap pengamatan.
Peningkatan
mortalitas
terus
bertambah
seiring
dengan
bertambahnya waktu pengamatan. Peningkatan mortalitas M. testulalis pada pengujian ini dapat dilihat secara lebih jelas pada gambar berikut;
33
80
Mortalitas (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 24
48
72
jam setelah perlakuan(JSP) 0,1 %
0,2 %
0% (kontrol)
Gambar 4 Tingkat mortalitas M. testulalis yang diperlakukan formulasi RSA1 Gambar di atas memperlihatkan mortalitas M. testulalis yang diperlakukan formulasi RSA1 semakin meningkat pada setiap waktu pengamatan. Begitu pula dengan mortalitas kontrol terjadi peningkatan. Namun, mortalitas kontrol masih cukup rendah yaitu hanya sebesar 6,7% sampai pada akhir waktu pengamatan. Mortalitas M. testulalis pada perlakuan menunjukkan hasil yang sangat baik yaitu sebesar 50-70% pada akhir waktu pengamatan.
Pembahasan Umum Formulasi RSA1 merupakan formulasi insektisida nabati yang terdiri dari campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa dengan bahan tambahan Agristik sebagai bahan pengemulsi dan perekat. Formulasi RSA1 telah dilaporkan efektif mengendalikan dua jenis hama sayuran yaitu C. pavonana dan P. xylostella. Campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada perbandingan 1:1 dan 2:1 telah terbukti menunjukkan efek sinergis untuk mengendalikan kedua hama tersebut dengan nilai LC yang rendah. Penggunaan agristik sebagai bahan tambahan untuk pengemulsi dan perekat memberikan campuran yang sangat baik dan harganya lebih ekonomis dibandingkan bahan campuran lain. Perluasan hama sasaran formulasi RSA1 pada penelitian ini ditujukan pada S. litura, H. armigera, dan M. testulalis. Metode uji yang digunakan pada
34
pengujian formulasi RSA1 pada S. litura dan H. armigera digunakan dua metode uji yaitu metode celup dan metode semprot larva, sedangkan pada M. testulalis dan C. pavonana hanya digunakan satu metode uji yaitu dengan metode celup. Hal ini dilakukan dengan melihat perilaku dari masing-masing serangga hama tersebut. S. litura dan H. armigera biasanya menyerang daun dan buah tanaman inangnya sehingga keberadaannya masih dapat dijangkau oleh insektisida yang diaplikasikan dengan dua metode tersebut yang diharapkan dapat membunuh serangga hama baik sebagai racun perut maupun racun kontak, sedang untuk M. testulalis dan C. pavonana, biasanya terdapat di bagian dalam dari tanaman inangnya. Misalnya, untuk C. pavonana berada di dalam krop kubis dan menyerangnya dari dalam dan M. testulalis menyerang bunga kacang panjang maupun polongnya dari dalam sehingga menyebabkan bunga gugur dan polong rusak. Perilaku keduanya yang demikian menyebabkan mereka jarang terlihat pada bagian luar tanaman sehingga insektisida tidak dapat menjangkau keberadaan mereka jika diaplikasikan dengan cara semprot larva. Dengan demikian, metode yang digunakan untuk keduanya hanya metode celup. Hal ini juga sesuai dengan hasil pengujian pada S. litura dan H. armigera yang menunjukkan metode celup lebih baik dari metode semprot larva dengan membandingkan mortalitas perlakuan antar metode sebagai faktor terkoreksi untuk mortalitas sehingga untuk pengujian selanjutnya yaitu pengujian pada M. testulalis metode yang digunakan adalah metode celup. Pemilihan metode yang tepat akan memberikan hasil yang lebih baik dan dapat mengefisienkan penggunaan insektisida sehingga penggunaannya dapat dihemat dan biaya yang dikeluarkan dapat ditekan apabila diaplikasikan di lapangan. Penjelasan di atas sesuai dengan yang diungkapkan Dadang dan Prijono (2008) bahwa dalam pemilihan metode perlakuan harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu macam bioaktivitas yang akan diketahui (pengaruh letal, penghambat perkembangan, penghambat makan, pengusir/repellent dan penekan kemampuan reproduksi), tujuan pengujian (landasan penggunaan di lapangan, dan pembangkitan data ilmiah), cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga (racun kontak, racun perut dan efek fumigan), sifat dan ciri serangga uji (cara hidup atau cara makan dan ukuran) dan cara aplikasi di lapangan (penyemprotan,
35
perlakuan benih, penyiraman atau penebaran sediaan insektisida ke tanah, pencelupan atau perendaman dalam media cair, penyuntikan batang, dan infus akar). Selain itu, alasan penggunaan kedua metode tersebut disesuaikan dengan hasil penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa formulasi RSA1 efektif mengendalikan serangga hama sebagai racun perut dan racun kontak. Pengujian formulasi RSA1 pada S. litura menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara perlakuan dengan kontrol, baik pada metode celup maupun pada metode semprot larva. Namun, pada metode celup hanya berbeda nyata pada pengamatan 24 JSP sedangkan pada 48 dan 72 JSP menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Begitu pula pada metode semprot larva, hasil berbeda nyata hanya ditunjukkan pada waktu akhir pengamatan atau pada 72 JSP. Walaupun menunjukkan hasil yang berbeda nyata, formulasi RSA1 ini belum bisa dikatakan efektif untuk mengendalikan S. litura karena mortalitasnya hanya mencapai 30% pada metode celup dan 20% pada metode semprot larva pada konsentrasi 0,2%. Menurut Mumford dan Norton (1984) dalam Laba dan Soekarna (1986), suatu insektisida dikatakan efektif apabila dapat mematikan serangga uji ≥80%. Pengujian formulasi RSA1 pada H. armigera menunjukkan hasil yang cukup baik hanya pada metode celup dengan hasil yang berbeda nyata antara perlakuan dan kontrol, sedangkan pada metode semprot larva hasilnya tidak berbeda nyata. Mortalitas H. armigera pada metode celup mencapai 60% pada konsentrasi 0,1% dan 66,7% pada konsentrasi 0,2% di akhir pengamatan, sedangkan pada metode semprot larva hanya mencapai 6,7% pada konsentrasi 0,2%. Meskipun demikian, formulasi RSA1 ini juga belum bisa dikatakan efektif untuk mengendalikan H. armigera, hanya saja dapat menekan kerusakan pada tanaman menjadi lebih kecil seiring dengan berkurangnya populasi. Pengujian formulasi RSA1 pada M. testulalis menunjukkan hasil yang cukup baik dan berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan. Mortalitas serangga uji mencapai 50% pada konsentrasi 0,1% dan 70% pada konsentrasi 0,2% di akhir pengamatan (72 JSP). Namun dengan hasil tersebut, formulasi RSA1 ini belum bisa dikatakan efektif untuk mengendalikan M. testulalis karena hasilnya masih kurang dari 80%, hanya saja dapat mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh hama tersebut.
36
Pengujian formulasi RSA1 pada C. pavonana tetap menunjukkan hasil yang sangat baik dan sangat berbeda nyata dengan kontrol. Mortalitas serangga uji mencapai 100% pada konsentrasi 0,2%. Dengan demikian, formulasi RSA1 ini sangat efektif untuk mengendalikan C. pavonana. Namun jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, efektivitas dari formulasi RSA1 ini mengalami penurunan yang ditunjukkan dengan pencapaian tingkat mortalitas serangga uji sebesar 100% pada konsentrasi 0,2% sedangkan pada penelitian sebelumnya mortalitas 100% dicapai pada konsentrasi 0,1%. Pengujian yang sama dengan bahan dan metode yang sama tidak menutup kemungkinan akan memberikan hasil yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada pengujian formulasi RSA1 pada C. pavonana seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keragaman hasil pengujian. Menurut Busvine (1971) dalam Dadang dan Prijono (2008), pengujian insektisida nabati dapat memberikan hasil yang beragam bergantung pada jenis bahan uji, faktor dalam serangga uji, dan faktor lingkungan. Namun, faktor yang sangat berpengaruh dalam pengujian ini kemungkinan adalah faktor pertama dan kedua yaitu jenis bahan uji dan faktor dalam serangga uji karena pengujian ini dilakukan dalam skala laboratorium dan faktor lingkungan ditiadakan karena kondisi lingkungan dianggap sama. Kandungan bahan aktif dalam tumbuhan sering beragam bergantung pada keragaman genetika tumbuhan, keadaan geografi daerah asal tumbuhan tersebut, fase pertumbuhan dan musim pada saat pemanenan bagian yang mengandung bahan insektisida. Selain itu, cara penanganan bagian tumbuhan tersebut dan cara ekstraksi dapat mempengaruhi kandungan bahan aktif insektisida nabati yang diperoleh. Faktor dalam serangga yang dapat mempengaruhi hasil pengujian adalah spesies, strain, fase perkembangan serangga, umur, jenis kelamin, dan ukuran. Perbedaan kepekaan antar spesies serangga terhadap senyawa bioaktif tertentu dapat disebabkan oleh perbedaan sifat sistem penghalang masuknya senyawa tersebut ke dalam tubuh serangga (misal perbedaan ketebalan kutikula), perbedaan ketahanan bagian sasaran atau perbedaan kemampuan metabolik serangga dalam menguraikan dan menyingkirkan bahan racun dari dalam tubuhnya. Strain serangga dari spesies tertentu yang diperoleh dari areal
37
pertanaman yang sering disemprot insektisida akan lebih tahan terhadap insektisida nabati yang memiliki cara kerja yang sama dengan insektisida yang sering digunakan tersebut (resistensi silang) dibandingkan dengan strain serangga dari areal pertanaman yang jarang disemprot insektisida. Perbedaan kepekaan terhadap senyawa bioaktif diantara fase perkembangan yang berbeda dalam daur hidup serangga dapat dikaitkan dengan perubahan anatomi, fisiologi, dan ukuran serangga tersebut. Perbedaan kepekaan terhadap senyawa bioaktif diantara serangga pradewasa dengan umur yang berlainan kemungkinan disebabkan oleh pertumbuhan dan perubahan yang berkaitan dengan proses ganti kulit. Serangga yang berukuran lebih besar (umur relatif sama) sering lebih tahan terhadap senyawa bioaktif daripada serangga yang lebih kecil, walaupun dosis yang diberikan telah dikoreksi dengan bobot badan. Perbedaan kepekaan ini kemungkinan berkaitan dengan perbedaan luas permukaan jaringan sasaran, karena kerja suatu racun sering melibatkan permukaan jaringan. Pada serangga kecil, senyawa aktif diduga dapat lebih cepat mencapai dan menjenuhi bagian sasaran dalam konsentrasi yang cukup untuk menimbulkan peracunan dibandingkan pada serangga yang lebih besar (Dadang dan Prijono 2008). Faktor lain yang memungkinkan dapat menyebabkan perbedaan dan keragaman hasil pengujian adalah lama penyimpanan ekstrak kasar tumbuhan atau formulasi insektisida nabati yang akan digunakan. Ekstrak kasar tumbuhan yang segera digunakan untuk pengujian dengan ekstrak kasar yang mengalami penyimpanan dalam beberapa waktu mungkin saja berpengaruh pada hasil pengujian sehingga menunjukkan hasil yang berbeda. Begitu pula halnya dengan formulasi siap pakai yang langsung digunakan untuk pengujian mungkin saja hasil pengujiannya
akan
berbeda
dengan
formulasi
yang
sudah
mengalami
penyimpanan selama waktu tertentu sebelum digunakan untuk pengujian. Selain kemungkinan faktor di atas yang menyebabkan terjadinya perbedaan hasil pengujian atau tidak efektifnya suatu insektisida terhadap serangga uji, ada kemungkinan faktor lain yang sangat berpengaruh yaitu tingkat resistensi serangga uji terhadap senyawa bioaktif tertentu. Tidak menutup kemungkinan bahwa serangga uji yang digunakan khususnya S. litura dan H. armigera yang digunakan dalam pengujian ini telah resisten terhadap suatu bahan
38
aktif insektisida tertentu sehingga mempengaruhi daya kerja bioaktif insektisida nabati formulasi RSA1 ini. Seperti yang telah dilaporkan oleh Hadiyani et al. (2005) bahwa hama penggerek buah kapas H. armigera di daerah pengembangan kapas Lamongan telah mengalami perubahan dari populasi yang peka tahun 2000 menjadi populasi yang resisten pada tahun 2004 dan 2005 terhadap bahan aktif endosulfan, tiodikarb, sipermetrin, betasiflutrin, dan lamda sihalotrin masingmasing dengan nilai rasio resistensi (RR) 20, 690, 1.050, 100, dan 40 kali. Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi meliputi faktor genetik, biologi dan operasional (Georgiou 1983 dalam Untung 2008). Faktor genetik antara lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominansi alel resisten. Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku hama, jumlah generasi per tahun, keperidian, mobilitas dan migrasi. Faktor operasional meliputi jenis dan sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insektisida yang digunakan sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran, dosis, frekuensi dan cara aplikasi dan bentuk formulasi,. Mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi menjadi tiga. Mekanisme pertama adalah peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida karena bekerjanya enzim-enzim tertentu seperti enzim dehidroklorinase (terhadap DDT), enzim mikrosomal oksidase (terhadap karbamat, OP, piretroid), glutation transferase (terhadap OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP). Kedua adalah penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga seperti asetilkolinesterase (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf seperti terhadap DDT dan piretroid. Ketiga adalah penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumen seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan insektisida. Ketahanan serangga terhadap suatu jenis atau beberapa jenis insektisida disebabkan oleh lebih dari satu penyebab dan mekanisme ketahanan. Ada beberapa jenis serangga yang cepat membentuk populasi yang resisten tetapi ada yang lambat dan ada juga jenis-jenis insektisida yang cepat menimbulkan reaksi ketahanan dari banyak jenis serangga (Untung 2008).
KESIMPULAN DAN SARAN Formulasi RSA1 efektif mengendalikan C. pavonana dengan tingkat mortalitas mencapai 100% pada konsentrasi 0,2% pada 48 JSP, namun pada hasil pengujian ini terdapat penurunan jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya. Pada tiga serangga hama lainnya yaitu S. litura, H. armigera dan M. testulalis menunjukkan hasil yang tidak begitu efektif karena tingkat mortalitasnya masih di bawah 80%. Walaupun demikian, hasil pengujian terhadap H. armigera dengan metode celup dan hasil pengujian terhadap M. testulalis dinilai cukup baik karena hasilnya hampir mendekati 80% dan diperkirakan dapat mengurangi kerusakan pada tanaman. Perbedaan dan keragaman hasil pengujian yang diperoleh kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu jenis bahan uji, faktor dalam serangga uji, lama penyimpanan bahan uji dan kemungkinan resisten pada serangga uji. Penelitian lanjutan mengenai luasan hama sasaran formulasi RSA1 terhadap jenis serangga hama lainnya sangat disarankan karena formulasi RSA1 ini mempunyai potensi yang sangat baik dalam mengendalikan serangga hama tanaman. Selain itu, perlu dilakukan pengujian pengaruh daya simpan insektisida nabati terhadap efektivitas insektisida nabati tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Adam, Sutomo dan Suwarni. 2005. Uji toksisitas ekstrak bji srikaya (Annona squamosa Linn.) terhadap larva Aedes aegypti. Jurnal Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat-Universitas Gadjah Mada:8-14. Adisarwanto dan Widianto, R. 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah Kering-Pasang Surut. Jakarta: Penebar Swadaya. [Anonim]. 2004. Ingin untung malah buntung. Kompas 26 Maret 2004. [Anonim]. 2007. Konsumsi sayuran Indonesia di bawah standar FAO. Pelita 21 November 2009. [Anonim]. 2008. Pestisida nabati. http://www.index.php.htm [10 Mei 2008] [Badan Litbang Pertanian]. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis kedelai. Badan Litbang Pertanian:32. [Balitkabi]. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2008. Pengendalian hama Maruca pada kacang hijau. http://www.balitkabi.litbang.deptan.go.id. [20 Januari 2010] [Biotis] PT. Biotis Agrindo. 2009. Apa itu pestisida. http://www.biotis.htm [14 Mei 2009] Dadang, Sartiami D. dan Istiaji B. 2007. Pengembangan formulasi insektisida botani untuk pengelolaan hama tanaman kubis-kubisan dalam upaya mengurangi penggunaan insektisida sintetik. http://lppm.ipb.ac.id/ [17 November 2009] Dadang, Isnaeni N. dan Ohsawa K. 2007. Ketahanan dan pengaruh fitotoksik campuran ekstrak Piper retrofractum dan Annona squamosa pada pengujian semi lapangan. J. HPT Tropika 7(2):91-99. Dadang. 2007. Insektisida untuk Pertanian. IPB: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Dadang dan Prijono D. 2008. Insektisida Nabati Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor [Deptan]. Departemen Pertanian. 2009. deptan.go.id [15 Desember 2009]
Hortikultura.
http://hortikultura.-
Dinarto W. dan Astriani D. 2006. Usaha mempertahankan viabilitas benih kedelai dari serangan Callosobruchus spp. dengan biji lada dan srikaya selama dalam penyimpanan. http://inherent.mercubuana-yogya.ac.id. [02 September 2009] [Dirjen Horti]. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Perkembangan pasokan cabai dan bawang merah. http://www.hortikultura.deptan.go.id [15 Desember 2009]
41
[Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan]. 1985. Pengenalan Jasad Pengganggu Tanaman Palawija. Jakarta: Dirjen Pertanian Tanaman Pangan. Ekawati IW. 2008. Pengaruh empat jenis ekstrak dan serbuk tanaman terhadap aktivitas peneluran Sitophilus zeamais Motsch. (Coleoptera: Curculionidae). [skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Evans DH. dan Crossley S. 2009. Helicoverpa armigera (Hubner, 1805) (one synonym : Heliothis conferta) corn ear worm, tomato grub, tobacco budworm, cotton bollworm Heliothinae, Noctuidae. http://wwwstaff.it.uts.edu.au [17 November 2009] Girsang W. 2009. Dampak negatif penggunaan pestisida. http://usitani.wordpress.com [10 Mei 2009] Hadiyani S., Sunarto DA., Sujak, dan Wakhidah N. 2005. Resistensi Helicoverpa armigera (Hubner) terhadap insektisida di daerah pengembangan kapas Lamongan. http://balittas.litbang.deptan.go.id [07 Desember 2009] Herminanto, Wiharsi dan Sumarsono T. 2004. Potensi ekstrak biji srikaya (Annona squuamosa L.) untuk mengendalikan ulat crop kubis (Crocidolomia pavonana F.) Agrosains 6 (1): 31-35 Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Iriana DW. dan Suhendar Y. 2009. Ayo makan sayuran. http://www.agrina.co.id [20 November 2009] Isnaeni N. 2006. Ketahanan dan pengaruh fitotoksik campuran ekstrak Piper retrofractum dan Annona squamosa pada pengujian semi lapangan. [skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Kardinan A. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya Laba, IW. dan Soekarna D. 1986. Mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura, F.) pada berbagai instar dan perlakuan insektisida pada kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penel. dan Pengemb. Tan. Pangan. Bogor. 11 hal. Macfoy CA., Dabrowski ZA. Dan Okech. 1983. Studies on legume pod borer, Maruca testulalis (Geyer)-IV. Cowpea resistance to oviposition and larva feeding insect Sci. Aplic. 4(12):145-152 Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. http://puslittan.bogor.net [27 Agustus 2009]
42
Marwoto, Suharsono dan Bejo, 2001. Pengendalian hama terpadu pada budidaya kedelai. Buletin Palawija. Jurnal Tinjauan Ilmiah. Penelitian Tanaman Palawija. No. 1-2001. Balaitkabi-Malang. Hal. 15-23. [Natural Nusantara]. 2009. Hidup sehat dengan mengkonsumsi beras organik. http://www.naturalnusantara.co.id [07 Desember 2009] [Portal Indonesia]. Portal Nasional Republik Indonesia. www.indonesia.go.id [15 Desember 2009]
2007.
Pertanian.
[DEEDI] Department of Employment, Economic Development and Innovation Queensland Primary Industries and Fisheries. 2007. Helicoverpa armigera and H. punctigera. http://www.dpi.qld.gov.au/home.htm [13 November 2009] Rukmorini R. 2009. Harga sayur-mayur anjlok. Kompas 31 Mei 2009. Saenong MS. dan Hipi A. 2008. Kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan sebagai dampak penggunaan pestisida pertanian. http://www.Balitsereal [16 November 2008] Sarwono, Pikukuh B., Sukarno R., Korlina E., dan Jumadi. 2003. Serangan ulat penggerek tongkol Helicoverpa armigera pada beberapa galur jagung. Agrosains Vol. 5 No. 2. [Sentra Informasi Iptek]. 2009. Cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.). http://www.iptek.net.id [20 November 2009] Tarumingkeng RC. 1977. Pestisida dan penggunaannya. http://www.pestisidaformulasi.pdf [09 Mei 2009] Trakoontivakorn G., Juntarawimoon R., Hanboonsong Y. dan Nakahara K. 2005. Piperine, a component of long pepper, suppresses insect pests of rice storage. Jircas annual report:54-55 Untung K. 2008. Manajemen resistensi pestisida sebagai penerapan pengelolaan hama terpadu. http://cdsindonesia.wordpress.com/ [17 November 2009] Wardhana AH. dan Husein A. 2005. Efek larvasidal ekstrak air biji srikaya (Annona squamosa L) terhadap larva lalat Chrysomya bezziana. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 2005. Wardhana AH., Widyastuti E., Wiratmana AWA., Muharsini S. dan Darmono. 2004. Uji efikasi ekstrak heksan daging biji srikaya (Annona squamosa L) terhadap pertumbuhan larva lalat Chrysomya bezziana secara In vitro. JITV Vol. 9. No. 4.272-280 [Wawasan Digital]. 2009. Produksi sayur-mayur http://www.wawasandigital.com [20 November 2009]
menurun.
[Wikipedia]. 2008. Tanaman obat: cabe jawa. http://www.wikipedia.org [10 Mei 2008]. [Wikipedia]. 2009. Maruca. http://www.wikipedia.org [30 November 2009] [Wikipedia]. 2009. Mengenal buah nona. November 2009]
http://www.wikipedia.org [20