www.parlemen.net
"Perlindungan Saksi Dalam Perspektif Perempuan: Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inistiatif DPR" oleh: Asnifriyanti Damanik, SH.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrintinasi terhadap perempuan (CEDAW) telah mewajibkan negara-negara peserta untuk membuat peraturan yang tepat termasuk pembuatan UU, untuk mengubah dan menghapus perlakuan, kebiasaan dan praktek-praktek diskriminatif terhadap perempuan. Tahun 1992, sidang Komite CEDAW telah mengeluarkan Rekomendasi Umum No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan yang menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Fakta bahwa. kekerasan yang berbasis jender sering dialami oleh perempuan baik di lingkungan domestik maupun publik. Namun, kasus yang muncul sampai ke permukaan hanya sedikit. Dari pengalaman melakukan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan yang berbasis jender, ditentukan bahwa sistem hukum belum memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi perempuan korban. Dengan kata lain, sistem hukum belum berperspektif perempuan. Banyak kasus kekerasan yang berbasis jender yang gagal diproses sampai ke pengadilan karena kesulitan pembuktian. Selain itu, banyak juga perempuan yang memilih untuk "mendiamkanā kekerasan yang dialaminya karena takut ancaman fisik, psikis, seksual dan kehilangan sumber penghasilan dari pelaku dan "kroninya". Tidak adanya perlakuan khusus pada saat proses pemeriksaan perkara seringkali membuat korban menjadi korban untuk sekian kalinya. Minimnya pemahaman penegak hukum tentang perspektif perempuan membuat korban menjadi tidak nyaman dan trauma ketika bersinggungan dengan sistem hukum kita. Tahun 2003 Komnas Perempuan mengkompilasi data-data kasus kekerasan yang berbasis jender yang ditangani oleh lembaga pelayanan/pemberi bantuan hukum dan instansi Penegak hukum. Berdasarkan data yang terkumpul, telah terjadi 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sepanjang tahun 2003. Selain jumlah tersebut, di tingkat Kejaksaan Agung dilaporkan 1.853 kasus kekerasan (sampai November 2003). Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2002 (5.163 kasus) dan 2001 (3.169 kasus). Walaupun demikian, data ini merupakan peristiwa kekerasan yang berhasil dilaporkan ke lembaga pengada layanan ataupun yang dimonitoring oleh lembaga tersebut. Pada kenyataannya lebih banyak kasus kekerasan yang dialami perempuan yang tidak dapat dilaporkan, baik karena budaya yang tidak mendukung proses ini maupun kurangnya akses perempuan terhadap informasi lembaga layananan yang mereka butuhkan. Dari total 5.934 kasus, 1.007 kasus dilaporkan oleh lembaga kepolisian, 1.013 kasus dilaporkan oleh Rumah Sakit, 162 kasus dilaporkan oleh lembaga pengadilan dan 3.733 oleh LSM. Dari 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan, 2.703 kasus (46 %) adalah kasus kekerasan dalam keluarga. Tercakup dalam kategori ini adalah kekerasan yang dilakukan terhadap isteri (KTI) sebanyak 2.025 kasus (75 %), kekerasan yang dilakukan terhadap anak perempuan (P) 389 kasus (14 %), kekerasan dalam pacaran (KDP) 266 kasus (10%), dan kasus kekerasan dalam keluarga lainnya yang berjumlah 23 kasus (1 %). Pada kekerasan dalam keluarga ini pelakunya adalah orang yang mempunyai hubungan yang dekat dengan korban antara lain suami, pacar, ayah, kakek dan paman.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Dari total 5.934 kasus, 3.231 (54 %) lainnya terjadi di lingkup masyarakat terdiri 294 (9,1 %) kasus kekerasan di tempat kerja (termasuk yang dialami buruh migran), 283 (8,7 %) kasus perdagangan perempuan, termasuk 12 kasus (0,4 %) kekerasan di wilayah konflik, 2.642 (81,8 %) lainnya adalah perkosaan, pelecehan seksual, penipuan dan lain-lain. Pada kekerasan dalam komunitas ini, pelaku umumnya adalah orang tak dikenal, teman kerja, tetangga ataupun orang yang memiliki hubungan struktural dengan korban, misalnya atasan di tempat kerja, majikan pada konteks buruh migran, agen pada konteks trafficking. Secara khusus dalarn situasi konflik, kekerasan terjadi berkaitan dengan konsentrasi pihak keamanan sebagaimana yang dialami perempuan di Aceh dan Poso. Kekerasan terhadaap perempuan berbeda dengan bentuk kekerasan lainnya. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, kekerasan langsung ditujukan terhadap perempuan karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak proporsional. Kekerasan terhaadap perempuan merupakan bentuk penyerangan terhadap integritas tubuh perempuan serta harkat dan martabatnya sebagai manusia. Trauma atas kekerasan yang berbasis jender yang dialami oleh seorang perempuan akan dibawa sampai akhir hayatnya. Hal ini terbukti dari trauma yang dialami oleh perempuan Indonesia yang rnenjadi korban kekerasan seksual pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, untuk meminimalisir trauma yang dialami perempuan korban kekerasan dalam setiap proses peradilan, untuk menghapus segala bentuk kekerasan yang berbasis jender dan untuk memberikan perlindungan hukum yang cukup setiap perempuan korban kekerasan berbasis jender dalam mencari keadilan maka segala pengalaman perempuan ketika bersinggungan dengan sistem hukum, segala kebutuhan perempuan korban kekerasan berbasis jender serta perspektif perempuan harus tertuang dalam suatu rumusan peraturan perundangan-undangan yang akan diterapkan kepada perempuan korban. Demikian juga dalam RUU perlindungan saksi yang menjadi usul inisiatif DPR RI periode 2004, perspektif perempuan harus masuk didalamnya. Apakah pengalaman perempuan korban kekerasan berbasis jender, kebutuhan perempuan korban kekerasan berbasis jender, pemikiran perempuan dan keikutsertaan perempuan dalam perumusannya telah diakomodir dalam RUU Perlindungan Saksi usul inisatif DPR? Beberapa catatan kritis Penulis terhadap RUU Perlindungan Saksi usul inisiatif DPR, sebagai berikut : 1.
Dalam konsiderans.
RUU ini tidak mempertimbangkan masalah yang dihadapi dan dialami para saksi dan perempuan korban kekerasan berbasis jender ketika menghadapi sistem peradilan. Fakta bahwa perempuan mengalami trauma untuk kesekian kalinya dan perempuan korban membutuhkan suatu perlindungan hukum tidak diakomodir dalam konsideran RUU ini. RUU lebih mempertimbangkan fakta kesulitan penegak hukun dalam mencari kejelasan tentang tindak pidana sebagai alasan untuk dibentuknya UU perlindungan saksi. Seharusnya, titik berat dari RUU Perlindungan saksi adalah perlindugan terhadap saksi dan korban serta hak-hak yang harus diberikan kepada saksi dan korban. Alasan-alasan mengapa saksi dan korban membutuhkan perlindungan hukum ketika mereka harus memberikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak pidana seharusnya muncul dalam konsiderans RUU ini. 2.
Dalam dasar hukum
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Dasar hukum yang menjadi dasar pembentukan RUU ini sangat sempit sekali. Sebagai UU yang akan dipergunakan sebagai payung dalam menerapkan perlindungan terhadap saksi dan korban dari segala bentuk tindak pidana seharusnya RUU ini memasukkan UU lain yang telah mengatur tentang adanya perlindungan terhadap saksi dan/atau korban. UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Penghapusan segala bentuk diskriminasi teradap perempuan dan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga yang telah mengatur tentang perlindungan terhadap korban seharusnya menjadi dasar hukum pembentukan UU Perlindungan Saksi. Sehingga, Hal-hal yang sudah diatur mengenai perlindungan terhadap korban didalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat diterapkan terhadap korban kekerasan berbasis jender lainnya di luar lingkup rumah tangga. 3.
Dalam Bab Ketentuan Umum a. Pasal 1 tentang defenisi
Definisi tentang korban belum mengakomodir perempuan korban kekerasan berbasis jender. Definisi korban yang terdapat dalam RUU ini bersifat umum yakni hanya korban yang mengalami penderitaan fisik, mental maupun kerugian ekonomi. Penderitaan fisik, mental dan kerugian ekonomi juga dialami oleh perempuan korban kekerasan berbasis jender tetapi penderitaan seksual yang umumnya dialami oleh perempuan harus dimasukan dalam definisi atau rumusan tentang siapa yang dimaksud dengan korban. Fakta, tentang trauma yang dialami perempuan korban kekerasan seksual dan kesulitan bagi korban yang mengalami kekerasan seksual untuk mencari keadilan atas kekerasan yang dialaminya harus diakomodir dalam rumusan tentang-korban. Selain itu, rumusan atau defenisi tentang perlindungan sementara perintah perlindungan sebagaimana telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga belum dipastikan dalam RUU ini. Mengingat banyak hal yang akan diberlakukan dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan, seperti kewajiban untuk memasukkan perspektif jender dalam setiap aktifitas pemberian perlindungan bagi perempuan korban kekerasan maka defenisi/rumusan tentang perspektif jender harus dimuat. Rumusan tentang ancaman juga harus memasukkan dampak fisik, psikis, seksual dan kerugian ekonomi bagi saksi dan/atau korban sehingga akin memudahkan untuk nienyatakan bahwa telah terjadi ancaman terhadap saksi dan/atau korban. Dengan adanya rumusan yang telah mengakomodir dampak bagi perempuan korban kekerasan berbasis jender maka rumusan tersebut akan mampu memenuhi kebutuhan perempuan korban bahwa dirinya mengalami ancaman. b.
Pasal 2
Asas-asas dari RUU ini masih bersifat umum dan belum mengakomodir kepentingan perempuan secara seluruhnya. Asas kerahasiaan, non diskriminasi, kepastian hukum, keadilan dan kesetaraan jender dan perlindungan korban harus dimasukkan sebagai asas dari RUU ini. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi terhadap Perempuan mewajibkan negara untuk mencantumkan asas non diskriminasi dalam setiap peraturan perundang-undangan. Bahkan amandemen UUD 1945 mengakui bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun. Asas keadilan dan kesetaraan jender penting untuk dimasukkan sebagai asas dalam RUU ini karena semua ketentuan-ketentuan yang diatur dalam RUU ini harus berspektif jender. Pencantuman asas keadilan dan kesetaraan jender akan memudahkan untuk melihat apakah ketentuan-ketentuan yang ada dalam RUU ini telah berpespektis jender atau belum. Selain itu, Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
pencantuman asas ini akan berimplikasi juga kepada penerapan dari RUU ini nantinya. Substansi dan pelaksanaan subtansi RUU ini nantinya harus sejalan. 4.
Dalam Bab II tentang Perlindungan dan hak-hak saksi dan korban.
RUU ini tidak melihat adanya suatu kondisi dan situasi khusus yang dialami oleh setiap saksi dan/atau korban. RUU ini hanya memberikan perlakuan khusus bagi saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancamaan. Kondisi dan situasi saksi yang berbeda seperti umur, jenis kelamin dan kemampuan yang berbeda tidak diakomodir, Seperti telah diuraikan sebelumnya, perempuan yang mengalami kekerasan berbasis jender akan mengalami dampak psikologis yang berbeda dengan korban kekerasan secara umum. Perempuan seringkali disalahkan atau dipojokkan sebagai pihak yang turut serta menciptakan kekerasan yang terjadi pada dirinya. Latar belakang kehidupan perempuan korban kekerasan seringkali dijadikan bahan pertimbangan dalam memberikan keadilan bagi dirinya. Stigma atau peran yang diberikan kepada perempuan seringkali menghambat perempuan untuk memperoleh keadilan atas kekerasan yang dialaminya. Pengakuan bahwa perempuan korban kekerasan berbasis jender membutuhkan perlakuan yang khusus sangat penting sekali. Untuk itu, RUU ini harus mengatur tentang hak-hak khusus bagi perempuan korban kekerasan berbasis jender. Peradilan Pidana Internasional sendiri membuat aturan khusus berkaitan dengan pemberian perlindungan bagi perempuan. Mengingat kekerasan berbasis jender terjadi karena korbannya adalah berjenis kelamin perempuan atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak proporsional telah menimbulkan trauma tersebut bagi korban maka untuk tidak memperparah trauma yang dialami atau tidak memperparah kondisi psikologis yang dialaminya maka perempuan korban yang memberikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak pidana harus mendapatkan hak-hak khusus. Hak-hak khusus terhadap setiap Saksi perempuan korban kekerasan pada saat memberikan keterangan yang harus tercantum dalam RUU ini adalah : a. mendapatkan pemulihan fisik ataupun psikologis, sebelum, selama, atau setelah proses pemberian keterangan. b. mendapatkan ruangan khusus selama proses pemberian keterangan di tingkat penyelidikan, penyidikan niaupun pada saat akan memberikan kesaksian di depan pengadilan. c. mendapatkan pendampingan baik pendamping huk.iun, mcdis maupun psikologis. d. Untuk diperiksa di dalam persidangan tanpa kehadiran terdakwa. e. memberikan keterangan di bawah sumpah secara tertulis atau dengan sarana elektronik di hadapan pejabat yang berwenang apabila berdasarkan hasil pemeriksaan psikolog yang selama ini mendampingi saksi korban menyatakan proses peradilan akan membuat korban trauma kembali atau membuat kondisi psikologis saksi korban semakin parah. f. Saksi yang mengalami kekerasan seksual berhak dirahasiakan identitasnya. 5.
Dalam pasal 9
RUU ini hanya membuat terobosan kecil dalam hukum acara yang berkaitan dengan pemeriksaan saksi dan alat bukti lainnya. Kondisi dan situasi khusus dari setiap saksi dan/atau korban yang berbeda-beda serta perkembangan zaman dan teknologi harus terakomodir dalam RUU ini. Perluasan alat bukti harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan teknologi tersebut. Memasukkan data tentang kekerasan, rekaman, atau Infonnasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada a). tulisan, suara atau gambar, b). peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, dan c). Huruf, Tanda, Angka, Simbol, atau Perforasi (?Tampilan) yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya, sebagai alat bukti akan memudahkan penegak hukum dalam menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana. RUU ini juga harus mengakomodir kesulitan pemeriksaan saksi dan/atau korban yang berada ditempat berbeda. Dalam hal pemberian Keterangan pada saat Pemeriksaan di Sidang Pengadilan tanpa bertatap muka dengan Terdakwa dapat dilakukan dengan menggunakan dengan Alat Pembicaraan jarak jauh dengan menggunakan Layar Monitor (Teleconference) 6.
RUU ini harus mencapai perlindungan saksi yang lebih luas.
Banyaknya kasus kekerasan terhadap buruh migran dan korban trafiking yang mayoritas adalah perempuan merupakan fakta yang terjadi. Keberadaan korban yang seringkali berada di luar negeri dan sebagian pelakunya juga berada di luar negeri harus dapat dipertimbangkan dalam merumuskan RUU ini. Dalam RUU ini, kebutuhan akan perlindungan dari buruh migran yang mengalami kekerasan, perlindungan buruh-buruh di perusahaan serta korban trafiking belum ditampung. Selain faktor locus delicti di luar negeri dan pelakunya di luar negeri, kondisi korban yang rentan menjadi pelaku juga harus diberi perhatian dalam RUU Perlindungan Saksi. Calon buruh migran yang "menerima" dan "menggunakan" paspor atau KTP palsu memiliki kendala tersendiri. Bila mereka melaporkan tentang adanya pemalsuan tersebut, maka mereka terancam menjadi pelaku apabila pelaku sebenarnya tidak dapat ditangkap atau diperiksa oleh penyidik. Bila mereka tetap menggunakan, maka mereka dianggap sebagai pendatang haram dan dikenai hukuman. Begitu juga dengan korban trafiking, bila mereka kabur dari tempat "penyekapan" dan tertangkap oleh petugas di luar negeri maka mereka dapat dikenakan sebagai pendatang haram. 7.
ketentuan yang diatur Pasal 68 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam RUU Perlindungan saksi:
a.
Pengadilan wajib mengambil tindakan2 secukupnya untuk melindungi keselamatan, kesejahteraan fisik dan psikologis, martabat dan privasi dari Saksi Perempuan Korban Kekerasan. Pengadilan harus mempertimbangkan faktor2 yang relevan meliputi usia, gender, kesehatan. dan sifat kejahatan yang didasarkan pada gender/jenis kelamin (gender based violence). Tindakan2 ini tidak boleh merugikan atau tidak sesuai dengan hak2 para tersangka maupun tedakwa dan dengan persidangan yang adil dan tidak memihak. Pengadilan wajib memberi fasilitas yang memungkinkan Saksi untuk melakukan pemberian keterangan, pengajuan bukti, dengan sarana elektronik atau sarana khusus lainnya. Pengadilan wajib mengakui dan memberikan Hak pada Korban untuk berpartisipasi baik langsung atau melalui Kuasa Hukum, Pendamping, dan memberikan pandangan mereka dan dapat mengajukan pandangan dan kepentingannya dalam setiap proses peradilan. Pengadilan harus mempertimbangkan adanya keterwakilan perempuan dan perspektif gender dalam setiap penunjukkan Hakim, Jaksa, dan Panitera. UU ini mensyaratkan dalam setiap tahapan proses peradilan harus mengikutsertakan orang2 yang memiliki Keahlian/penguasaan berkaitan dengan Masalah Kekerasan
b.
c.
d.
e. f.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
g.
terhadap Perempuan, berkaitan dengan upaya Perlindungan Saksi di setiap proses peradilan. Pengadilan harus memberikan Restitusi, Rehabilitasi, Kompensasi, dan Hak-hak lain yang terkait dengan Kepentingan Korban.
Demikianlah beberapa catat kritis atas RUU Perlindungan Saksi usul inisiatif DPR berdasarkan perspektif perempuan. Semoga dapat menjadi pertimbangan atau bahan pemikiran untuk merumuskan usulan RUU sandingan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net