LEX HUMANA Jurnal Hukum dan Humaniora Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016; 81-107
p-ISSN: 2460-5689 e-ISSN: 2460-5859
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGUASAAN TANAH WAKAF OLEH PENERIMA WAKAF (NAZHIR) LEGAL PROTECTION TO WAQF LAND OWNERSHIP BY RECIPIENT WAQF (NAZHIR) Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti Fakultas Hukum, Universitas Jember Email :
[email protected] Abstrak Wakaf sebagai suatu lembaga keagamaan disamping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah juga berfungsi sosial. Fungsi dari wakaf adalah untuk mengekalkan manfaat tanah yang diwakafkan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik menyebutkan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tata cara dan pendaftaran perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah. Perwakafan tanah milik dalam Undang-Undang Pokok Agraria tersebut secara yuridis merupakan realisasi dari pengakuan terhadap unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Hal yang demikian itu sesuai dengan Politik Hukum Agraria Nasional maupun Pancasila sebagai asas kerohanian Negara yang meliputi sebuah tertib hukum Indonesia. Terkait dalam menafsirkan dan melaksanakan peraturan agraria (pertanahan) yang berlaku, harus berlandaskan dan bersumber pada Pancasila. Secara hukum positif pelaksanaan wakaf harus dilakukan dengan ikrar yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan dua orang saksi serta harus dibuat dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, sebagaimana disebutkan dalam asal 17 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Akibat yang sering ditimbulkan masalah perwakafan tanah seperti perubahan tanah wakaf menjadi milik perseorangan ataupun persengketaan lain yang timbul dimana apabila seorang wakif meninggal dunia, sebagian ahli warisnya menolak dan tidak mengakui bahwa tanahnya tersebut adalah tanah wakaf. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Penguasaan Tanah Wakaf, Penerima Wakaf (Nazhir)
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
81
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
Abstract Endowments as a religious institution in addition to functioning as the worship of God is also a social function. The function of the endowment is to perpetuate the benefits of soil diwakafkan. Indonesian Government Regulation No. 28 Year 1977 on perwakafan Land Belongs to mention that in accordance with the provisions of Article 14 paragraph (1) letter b and Article 49 paragraph (3) of Law No. 5 of 1960, it is necessary to regulate the procedure and registration perwakafan land owned by government regulation. Perwakafan land belonging to the Basic Agrarian Law are legally a realization of the recognition of the elements that rely on religious law. Such things according to the Law of the National Agrarian Politics and Pancasila State spirituality that includes a rule of law in Indonesia. Relevant in interpreting and implementing regulations agrarian (land) applicable, must be based and based on Pancasila. Legally the positive implementation of the endowment to do with the pledge made before the Pledge Deed Official Waqf (PPAIW) and two witnesses, and should be made in the Deed of Pledge Waqf, as mentioned in Article 17 of Law No. 41 Year 2004 on Waqf. A result which often caused problems such as changes in land perwakafan donated land into private property or other disputes arising where if a wakif died, most heirs reject and do not recognize that the land was waqf land. Keywords: Legal protection, Waqf Land Tenure, Recipients Waqf (nadzir)
Pendahuluan Wakaf sebagai suatu lembaga keagamaan disamping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah juga berfungsi sosial. Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.1 Fungsi dari wakaf adalah untuk mengekalkan manfaat tanah yang diwakafkan. Hal demikian itu merupakan manifestasi dari ajaran Agama Islam, dimana dalam sebuah hadist Rosululloh SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah yang terjemahannya : “Apabila mati anak adam, maka terputuslah daripadanya seluruh amalnya kecuali tiga hal yaitu shodaqoh jariyah, ilmu yang dan anak sholeh yang mendo’akan kedua orang tuanya.” Imam Muslim meletakkan hadist ini dalam bab wakaf karena para ulama menafsirkan istilah shodaqoh jariyah disini dengan wakaf.2 Rachmadi Usman, 2009, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika,hal. 121 Adijani Al-Alabij, 1989, Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, hal. 25
1 2
82
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik menyebutkan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tata cara dan pendaftaran perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah. Perwakafan tanah milik merupakan perbuatan suci, mulia dan terpuji yang dilakukan oleh seorang (umat Islam) atau badan hukum. Dengan memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya menjadi tanah “wakaf-sosial”, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran hukum Islam.3 Pengaturan wakaf lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta di umumkan. Adapun peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Terkait hal tersebut penulis menemukan sebuah fakta hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 456 K/AG/2007 yang pok ok perkaranya adalah mengenai status kepemilikan tanah sebagai harta waris yang diikut sertakan dalam perwakafan tanah oleh orang lain. Berdasarkan pokok perkara tersebut Inaq Nursih, Inaq Jembar, keduanya bertempat tinggal di Padamara, Dusun Otak Desa, Desa Pringgabaya, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, keduanya adalah para Pemohon Kasasi dahulu para Penggugat/ para Terbanding. Melawan, Haji Muhsan, Amaq Abd. Rahman, keduanya bertempat tinggal di Dusun Belawong, Desa Pringgabaya, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, dan Mamiq Suhud, bertempat tinggal di Dusun Seimbang, Desa Pringgabaya, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, para Termohon Kasasi dahulu para Tergugat/para Pembanding. Kepemilkan tanah bermula sejak tahun 1933 oleh Amaq Nurtasih (kakek para Penggugat) meninggal dunia, tanah tersebut diwarisi oleh Amaq Nursih, setelah meninggal dunia diwarisi oleh para Penggugat, tanah tersebut dimiliki, dikuasai oleh para penggugat. Pada sekitar bulan Maret 2006, para Penggugat diperintahkan oleh mereka yang menamakan dirinya tim Boedi Harsono, Edisi Revisi 2008 Jilid 1, Sejarah Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya, Jakarta, Jambatan, hal. 348 3
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
83
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
koordinasi perkuburan tanah renteng Desa Pringgabaya memaksa para penggugat untuk meninggalkan dan meyerahkan tanah sengketa kepada Desa Pringgabaya dengan alasan bahwa tanah sengketa tersebut adalah tanah perkuburan Desa Pringgabaya karena tanah tersebut diikut sertakan dalam perwakafan tanah oleh orang lain, yakni almarhum H. Mukhtar sewaktu ia masih hidup kepada Desa Pringgabaya untuk dijadikan atau dipergunakan sebagai tanah perkuburan Desa dengan penerima wakaf atau nazhir: a. Nursiah sebagai Ketua (telah meninggal dunia); b. H. Mukhsan sebagai Skretaris (Tergugat I); c. H. Abd. Rehan alias H. Abd. Rahman sebagai Bendahara (Tergugat II); d. Mamiq Suhud sebagai anggota (Tergugat III); e. H. Mukhtar sebagai anggota (telah meninggal dunia). Akibat yang sering ditimbulkan masalah perwakafan tanah seperti perubahan tanah wakaf menjadi milik perseorangan ataupun persengketaan lain yang timbul dimana apabila seorang wakif meninggal dunia, sebagian ahli warisnya menolak dan tidak mengakui bahwa tanahnya tersebut adalah tanah wakaf. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis dapat menarik rumusan masalah, yaitu: 1. Apakah norma hukum yang mengatur kewenangan notaris dalam pembuatan akta ikrar wakaf tanah telah memberikan perlindungan hukum kepada penerima wakaf (nazhir)? 2. Apakah ada alas hak dari ahli waris untuk menggugat tanah yang telah diwakafkan oleh pewaris? 3. Bagaimana konsepsi perlindungan hukum dimasa yang akan datang agar penerima wakaf (Nazhir) tidak digugat oleh ahli waris? Metode Penelitian Metodologi merupakan cara kerja bagaimana menemukan atau memperoleh atau menjalankan suatu kegiatan untuk memperoleh hasil yang kongkrit. Menggunakan suatu metode dalam melakukan suatu kebenaran hukum. Metode penelitian merupakan faktor penting dalam setiap penulisan karya ilmiah yang digunakan sebagai cara untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran serta menjalankan prosedur 84
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
yang benar serta dapat dijalankan secara ilmiah. Penggunaan metode dalam melakukan suatu penelitian merupakan ciri khas dari ilmu untuk mendapatkan suatu kebenaran hukum penggunaan metode dalam penulisan suatu karya ilmiah untuk menjawab isu yang dihadapi.4 Sehingga pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode yang tepat diharapkan dapat memberikan suatu alur pemikiran secara berurutan dalam usaha pencapaian pengkajian.Terkait itu, suatu metode digunakan agar dalam tesis ini dapat mendekati suatu kesempurnaan yang bersifat sistematik penulisannya. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah Yuridis Normatif yang berarti mengkaji berbagai macam aturan hukum yang bersifat formal seperti undang-undang, literatur-literatur yang berisi konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan, terkait dengan isu hukum yang dihadapi untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang sesuai dengan kebenaran ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan objektif.5 Pendekatan masalah yang digunakan oleh penulis dalam penulisan tesis ini digunakan pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Berdasarkan pendekatan ini akan dikaji kesesuaian antara undang-undang satu dengan undangundang lain untuk mendapatkan argumentasi yang sesuai. Dan Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Pemahaman akan perundang-undangan dan doktrindoktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam meyelesaikan isu yang dihadapi.6 Konsep-konsep atau ide-ide hukum yang dapat membantu peneliti dalam penelitian dan untuk membangun suatu argumentasi hukum.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Grup), Hal. 35. 5 Ibid, Hal. 96. 6 Ibid, Hal. 36. 4
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
Media, 2010
85
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
Pembahasan Norma Hukum Yang Mengatur Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Ikrar Wakaf Tanah Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang menyebutkan notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-undang lain. Notaris adalah pejabat umum yang independent (mandiri) berhak mengatur, menentukan kantor baik berupa letak maupun bentuk gedung dan karyawan dari jumlah maupun gaji, tidak tergantung kepada kepada pejabat maupun lembaga lain. Bila ada istilah “Publik” dalam jabatan notaris maka publik disini mempunyai arti pejabat ini melayani masyarakat umum dalam hal pembuatan beragam atau banyak macam dari akta otentik belum dilimpahkan kepada pejabat lain dan diminta oleh masyarakat umum yang membutuhkan atau berkepentingan agar perbuatan hukum mereka dinyatakan dalam bentuk akta otentik dan oleh Undangundang mengharuskan dalam bentuk akta otentik.7 Menurut habib Adjie, Notaris sebagai Pejabat publik, Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari Openbaar Ambtenaar, dalam konteks ini, Openbaar, tidak bermakna Umum, tetapi bermakna Publik, dan ambt pada dasarnya adalah jabatan publik. Maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 UUJN harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik Pasal 15 ayat (1) UUJN dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Mengkategorikan Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam hal ini Publik yang bermakna hukum, bukan Publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintah yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Hal ini dapat dibedakan dari produk masingmasing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terkait dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final dan Pejabat Tata Usaha Negara merupakan suatu jabatan tetap tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, A.A. Andi Prajitno, Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, (Cetakan Ketiga, Jakarta: Selaras, 2013), Hal. 24. 7
86
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
karena akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris dan bukan kehendak Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa di pengadilan umum. Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam Hukum Administrasi Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, serta sengketa dalam Hukum Administrasi Negara diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara. Notaris dalam kategori sebagai Pejabat Publik yang bukan dengan wewenag yang tersebut dalam aturan hukum yang mengatur Jabatan Notaris yang sekarang berlaku.8 Menurut Veegens-Oppenheim-Polak,9 akta adalah “suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti.” Akta Otentik adalah “suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh/atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud itu, di tempat di mana akta dibuat.”10 Sedangkan Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.11 Menurut Abdul Kohar,12 akta itu dikatakan otentik, kalau dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Otentik itu artinya sah. Karena Notaris itu adalah pejabat yang berwenang membuat akta, maka akta yang dibuat di hadapan Notaris adalah akta otentik, atau akta itu sah. Keberadaan PPAIW dalam praktek perwakafan disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, LN Tahun 1977 Nomor 38, TLN Nomor 3107 (selanjutnya disebut PP No.28 Tahun 1977). Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 28 Tahun 1977 menentukan: (1) Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf. (2) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. Habib Adjie,Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris, (Bandung: Rafika Aditama, 2009), Hal. 163. 9 Tan Thong Kie, Studi Notariat: Serba-Serbi Praktek Notaris, (Buku I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), Hal. 154. 10 Pasal 1868 KUHPerdata. 11 Pasal 1 angka 7 UUJN. 12 Abdul Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), Hal. 3. 8
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
87
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
Setelah diundangkannya Undang-Undang Wakaf pada tanggal 27 Oktober 2004, maka sebagai pelaksana Undang-Undang tersebut, pada tanggal 15 Desember 2006 telah diundangkan PeraturanPemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, LN Tahun 2006 Nomor 105, TLN Nomor 4667 (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat PP No. 42 Tahun 2006). Menge nai PPAIW diatur dalam Pasal37 PP No. 42 Tahun 2006, Akta ikrar wakaf termasuk dalam kategori akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang dan ditunjuk oleh menteri Agama, baik dari unsur kepala KUA maupun notaris yang telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 37 PP No. 42 tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, yaitu: (1) PPAIW harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala KUA dan/ atau pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf. (2) PPAIW harta benda wakaf bergerak selain uang adalah kepala KUA dan/atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri. (3) PPAIW harta benda wakaf bergerak berupa uang adalah Pejabat Lembaga Keuangan Syariah paling rendah setingkat Kepala Seksi LKS yang ditunjuk Menteri. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan ayat (3) tidak menutup kesempatan bagi wakif untukmembuat AIW di hadapan Notaris. (5) Persyaratan Notaris sebagai PPAIW ditetapkan oleh Menteri.13 Berdasarkan Pasal 37 berikut penjelasannya di atas, dapat dipahami bahwa yang dapat diangkat sebagai PPAIW adalah: a. Kepala KUA, untuk benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dan benda wakaf bergerak selain uang. b. Pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf di tingkat Kabupaten/Kota dan provinsi, untuk benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dan benda wakaf bergerak selain uang. c. Pejabat Lembaga Keuangan Syariah paling rendah setingkat Kepala Seksi LKS, untuk benda wakaf bergerak berupa uang. d. Notaris, untuk semua jenis benda wakaf. Penjelasan Pasal 37 PP No. 42 Tahun 2006, “Yang dimaksud “pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf” dalam pasal ini adalah pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf di tingkat Kabupaten/Kota dan provinsi”. Yang dimaksud dengan “pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri” adalah pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf atau notaris yang ditunjuk oleh Menteri. 13
88
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (4) tersebut diatas bahwa Notaris dapat membuat Akta Ikrar Wakaf untuk semua jenis benda yang menurut hukum dapat diwakafkan. Terkait memberi peluang kepada Notaris sebagai PPAIW untuk semua jenis benda wakaf, menunjukkan pemerintah fleksibel dalam pelaksanaan pembuatan Akta Ikrar Wakaf. Wakif diberi kebebasan untuk menentukan pilihan saat akan membuat akta ikrar wakaf, apakah akan dibuat di hadapan Kepala KUA sebagai PPAIW benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dan benda wakaf bergerak selain uang, atau datang ke Pejabat Lembaga Keuangan Syariah (LKS) untuk benda wakaf bergerak berupa uang ataumemilih aktanya dibuat oleh Notaris. Menurut Indroharto kewenangan dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.14 Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintah baru dapat menjalakan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku sehingga bersifat sah. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.15 Notaris sebagai sebuah jabatan (bukan profesi atau profesi jabatan), dan jabatan apapun yang ada di negeri ini mempunyai wewenang tersendiri. Setiap wewenang harus ada dasar hukumnya. Kalau kita berbicara mengenai wewenang, maka wewenang seorang Pejabat apapun harus jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pejabat atau jabatan tersebut. Sehingga jika seorang Pejabat melakukan suatu tindakan diluar wewenang disebut sebagai perbuatan melanggar hukum. Terkait itu, suatu wewenang tidak muncul begitu saja sebagai hasil dari suatu diskusi atau pembicaraan dibelakang meja ataupun karena pembahasan-pembahasan ataupun pendapat-pendapat dilembaga legeslatif, tapi wewenang harus dinyatakan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.16 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), Hal. 68. 15 SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, (Yogyakarta:Liberty, 1997), Hal. 154. 16 Ibid, Hal. 78 14
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
89
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
Kewenangan Notaris tersebut diatur dalam Pasal 15 UUJN yang menyatakan bahwa: (1) Notaris berwenang membuat akta autentik menegenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan arau kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lainyang ditetapkan oleh Undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), notaris berwenang pula: a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus: b. Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalm buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat Akta risalah lelang. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Hukum Islam perwakafan telah terjadi seketika itu juga dengan adanya pernyataan wakif yang merupakan ijab. Namun, secara hukum positif pelaksanaan wakaf harus dilakukan dengan ikrar yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan dua orang saksi serta harus dibuat dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, sebagaimana disebutkan dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf : 1. “Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nazhir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.” 2. “Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.”
90
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
Pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tersebut meyatakan adanya kewenangan notaris dalam membuat akta ikrar wakaf. Berdasarkan kewenangannya dalam pembuatan akta ikrar wakaf notaris harus melaksanakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Notaris sebagai PPAIW diatur juga dalam Pasal 27 Peratun Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013 Tentang Tata cara Perwakafan Benda tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang yang menyebutkan bahwa: (1) Notaris ditetapkan menjadi PPAIW dengan KeputusanMenteri. (2) Persyaratan Notaris untuk dapat ditetapkan menjadi PPAIW sebagai berikut: a. Beragama Islam; b. Amanah; dan c. Memiliki sertifikat kompetensi di bidang perwakafan yang diterbitkan oleh Kementrian Agama. (3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dapat diangkat menjadi PPAIW setelah mengajukan permohonan kepada Mentri. Kekuatan pembuktian akta otentik, dengan demikian juga akta Notaris, adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Pada pemberian tugas inilah terletak pemberian tanda kepercayaan kepada para pejabat itu dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang mereka buat.17 Pada setiap akta otentik, dengan demikian juga pada akta Notaris, dibedakan 3 (tiga) kekuatan pembuktian, yaitu: 1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)
Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan. Akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang 17
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1996), Hal. 54.
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
91
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
benar-benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tandatangannya itu atau apabila itu dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. 2. Kekuatan Pembuktian Formal (Formele Bewijskracht)
Sepanjang mengenai kekuatan pembuktian formal ini (juga dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya) yang merupakan pembuktian lengkap, maka akta partij dan akta pejabat dalam hal ini adalah sama, dengan pengertian bahwa keterangan pejabat yang terdapat di dalam kedua golongan akta itu ataupun keterangan dari para pihak dalam akta, baik yang ada di dalam akta partij maupun di dalam akta pejabat, mempunyai kekuatan pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap orang, yakni apa yang ada dan terdapat di atas tandatangan mereka.
3. Kekuatan Pembuktian Material (Materiele Bewijskracht)
Dahulu dianut pendapat, bahwa dengan kekuatan pembuktian formal tadi habislah kekuatan pembuktian dari akta otentik. Pendapat sedemikian sekarang ini tidak dapat diterima lagi. Ajaran semacam itu yang dinamakan “de leer van de louter formele bewijskracht” telah ditinggalkan, oleh karena itu merupakan pengingkaran terhadap perundang-undangan sekarang, kebutuhanpraktek dan sejarah.
Dengan demikian, kekuatan pembuktian material, sama pentingnya dengan kekuatan pembuktian lahiriah dan kekuatan pembuktian formal. Satu dan yang lainnya saling memperkuat, bahwa suatu akta adalah akta otentik. Penerbitan Akta Ikrar wakaf dan proses pendaftaran dan penerbiatan ser tifik at wakaf oleh Kantor Pertanahan. Akta Ikrar wakaf merupakan satu-satu nya alat bukti otentik yang dapat membuktikan telah dilakukannya perbuatan hukum perwakafan tanah. Akta Ikrar Wakaf yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) menurut hukum diakui secara sah oleh negara, sehingga dapat digunakan untuk membuktikan adanya pemberian wakaf. Pemberian wakaf yang dilakukan tanpa pembuatan Akta Ikrar Wakaf tidak sah menurut hukum positif di indonesia. Pasal 17 Undang-Undang Wakaf secara limitatif telah menjelaskan: “Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nazhir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi”, “Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW”. 92
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
Dengan memberikan kewenangan kepada Notaris untuk membuat AIW Tanah, sesungguhnya disamping membuka peluang dan tantangan bagi Notaris, juga memberikan perlindungan hukum yang lebih baik kepada para pihak, terutama bagi nazhir dan masyarakat. Bagi Wakif benar-benar terlindungi bahwa harta benda wakafnya diperuntukan sebagaimana mestinya, kalau wakafnya untuk jangka waktu tertentu, benar-benar terjamin harta benda wakaf tersebut kembali kepada Wakif. Bagi masyarakat lebih terjamin, manfaat dari harta benda wakaf yang diwakafkan, sampai kepada mereka. Setelah objek wakaf dibatalkan oleh ahli waris kepada penerima wakaf (nazhir) Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 456 K/AG/2007 status tanah ladang Para Pemohon kasasi tersebut menjadi tanah wakaf, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 456 K/AG/2007 yang menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Mataram dengan putusannya Nomor: 21/Pdt.G/PTA.MTR. tanggal 24 Mei 2007 M. bertepatan dengan tanggal 7 Jumadil Awal 1428 H. yang amarnya sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa permohonan banding para Pembanding dapat diterima; 2. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Selong Nomor: 130/Pdt.G/2006/PA.SEL, tanggal 20 Desember 2006 M. bertepatan dengan tanggal 29 Dzulqa’dah 1427H. dengan mengadili sendiri sebagai berikut: a. Menolak gugatan para Penggugat untuk seluruhnya; b. Menghukum para Penggugat untuk membayar biaya perkara pada tingkat pertama sebesar Rp. 876.000,- (delapan ratus tujuh puluh enam ribu rupiah); 3. Menghukum Terbanding untuk membayar biaya perkara pada tingkat banding sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) Akibat hukum dari ditolaknya Permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi yaitu Inaq Nursih dan Inaq Jembar, status tanah ladang tersebut menjadi tanah wakaf yang selanjutnya akan digunakan sebagai tanah perkuburan Desa Pringgabaya, selaku nazhir atas tanah tersebut yaitu: Haji Muhsan, Amaq Abd. Rahman dan Mamiq Suhud, berkewajiban menjalankan tugasnya sesuai dengan peruntukan tanah wakaf yang berdasarkan Akta Ikrar Wakaf tersebut, sebagaimana telah disebutkan, bahwa nazhir adalah orang yang diserahi tugas untuk mengurus dan memelihra tanah wakaf, dimana nazhir berkewajiban menjaga, mengembangkan, membudidayakan potensi wakaf dan melestarikan manfaat tanah yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya, jelas nazhir sangat berperan dalam pengelolaan dan kelestarian tanah wakaf tersebut.
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
93
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
Dilihat dari posisi nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurus tanah wakaf mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan nazhir dalam perwakafan sehingga berfungsi tidaknya wakaf bagi mauquf’alaih sangat tergantung dari pada nazhir wakaf. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap tanah wakaf yang di amanahkan kepadanya. Alas Hak dari Ahli Waris untuk Menggugat Tanah yang Telah Diwakafkan oleh Pewaris Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama. Di Indonesia, perwakafan diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 sebelum lahir Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan tanah milik dan sedikit disinggung dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Namun peraturan perundang-undangan tersebut hanya mengatur benda-benda wakaf tak bergerak dan peruntukannya lebih banyak untuk kepentingan ibadah mahdhah, seperti masjid, musholla,pesantren, kuburan, dan lain-lain.18 Karena keterbatasan cakupannya, kedua peraturan perundang-undangan tersebut belum memberikan peluang yang maksimal bagi tumbuhnya pemberdayaan bendabenda wakaf secara produktif dan profesional. Maka pada tanggal 27 Oktober 2004, Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diundangkan oleh pemerintah (Presiden) yang memiliki urgensi, yaitu selain untuk kepentingan ibadah mahdhah, juga menekankan perlunya pemberdayaan wakaf secara produktif untuk kepentingan sosial (kesejahteraan umat). Sebagaimana dimaklumi bahwa keberadaan undang-undang ini telah lama didambakan dan dinantikan oleh masyarakat kita, khususnya umat Islam. Peraturan perundangundangan tentang wakaf di Indonesia telah menjadi persoalan yang cukup lama karena belum ada Undang-Undang yang secara khusus tentang wakaf, sehingga perwakafan di negeri kita kurang berkembangsecara optimal. Keberadaan wakaf untuk kesejahteraan masyarakat banyak menjadi tuntunan yang tidak bisa dihindari lagi. Apalagi di saat negeri kita sedang mengalami krisis yang belum selesai. Oleh karena itu sudah selayaknya umat Islam khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya mengapresiasi UU wakaf ini secara positif. UU wakaf ini merupakan penyempurnaan Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Era Wakaf Produktif Sebuah Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, (Cet. 3, Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), Hal. 89. 18
94
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
dari beberapa peraturan perundangan wakaf yang sudah ada dengan menambah hal-hal baru sebagai upaya pemberdayaan wakaf secara produktif dan profesional. Pentingnya pendaftaran benda-benda wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. Urgensi pendaftaran benda-benda wakaf itu dimaksudkan agar seluruh perwakafan dapat dikontrol dengan baik, sehingga bisa dihindari penyelewengan yang tidak perlu, baik oleh nazhir maupun pihak ketiga. Persyaratan nazhir (pengelola harta wakaf). Ada beberapa hal yang diatur dalam Undang-Undang wakaf mengenai nadzir wakaf, yaitu (a) selain perseorangan, terdapat penekanan berupa badan hukum dan organisasi. Sehingga dengan menekankan bentuk badan hukum atau organisasi diharapkan dapat meningkatkan peran-peran kenadziran untuk mengelola wakaf secara lebih baik. (b) persyaratan nadzir disempurnakan dengan pembenahan manajemen kenadziran secara profesional, seperti amanah, memiliki pengetahuan mengenai wakaf, berpengalaman di bidang manajemen keuangan, kemampuan dan kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugas nadzir. Penambahan persyaratan nadzir ini diharapkan dapatmemaksimalkan pengembangan potensi wakaf yang ada. (c) pembatasan masa jabatan nadzir. Kalau aturan perundangan sebelumnya tidak mengatur tentang masa kerja nadzir, dalam Undang-Undang wakaf ini menjadi poin penting agar nadzir bisa dipantau kerjanya melalui tahapan-tahapan periodik untuk menghindari penyelewengan dan atau pengabaian tugas-tugas kenadziran. (d) nadzir dapat menerima hak pengelolaan dan pengembangan benda wakaf, agar nadzir wakaf tidak sekedar dijadikan pekerjaan sambilan yang hanya dijalani seadanya, tapi benar-benar mau dan mampu menjalankan tugas-tugasnya sehingga mereka patut diberikan hak-hak yang pantas sebagaimana mereka kerja di dalam dunia profesional. Menekankan pentingnya pembentukan sebuah lembaga wakaf nasional yang disebut dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Badan wakaf ini bersifat independenyang bertujuan untuk membina terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf baik secara nasional maupun internasional. Sehingga BWI kelak akan menduduki peran kunci, selain berfungsi sebagai nadzir juga berfungsi sebagai pembina nadzir sehingga harta benda wakaf dapat dikelola dan dikembangkan secara produktifUndang-Undang wakaf juga menekankan pentingnya. Pemberdayaan benda-benda wakaf yang menjadi ciri utama UU wakaf ini. Aspek pemberdayaan dan pengembangan benda wakaf selama ini memang terlihat belum optimal, karena disebabkan oleh banyak hal, antara lain paham konservatisme umat Islam mengenai wakaf, khususnya yang terkait dengan Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
95
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
harta benda wakaf tidak bergerak. Undang-Undang wakaf ini menekankan pentingnya pemberdayaan dan pengembangan benda-benda wakaf yang mempunyai potensi ekonomi tinggi untuk kesejahteraan masyarakat.19 Nazhir berasal dari kata kerja bahasa Arab nadzra-yandzurunadzaram yang mempunyai arti, menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun nazhir adalah isim fa’il dari kata nazhir yang kemudian dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas (penjaga). Sedangkan nazhir wakaf atau biasa disebut nazhir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Secara istilah nazhir adalah orang atau sekelompok orang dan badan hukum yang diserahi tugas oleh wakif untuk mengelola wakaf. Dari pengertian nazhir yang telah dikemukakan, tampak dalam perwakafan, nazhir memegang peranan yang penting. Walaupun mujtahid tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuknazhir wakaf (pengawas wakaf) baik nazhir tersebut wakif sendiri, mauquf alaihnya.20 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 yang mengatur tentang tatacara pendaftaran perwakafan tanah hak milik yang memuat antara lain persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran, dan ketentuan peralihan. Selanjutnya Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 memerinci lebih lanjut tentang tata cara perwakafan tanah milik, antara lain tentang ikrar wakaf dan aktanya, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, hak dan kewajiban nażir, perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan, penyelesaian perselisihantanah wakaf, serta biaya perwakafan tanah milik. Apabila terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain yang terkait dengan obyek wakaf sengketa yang diatur dalam pasal 49 tersebut, apabila subyek sengketanya antara orang-orang yang beragama islam maka Pengadilan Agama mempunyai wewenang untuk sekaligus memutus sengketa tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 50 ayat 2 sebagai berikut: Apabila terjadi sengketa hak milik sebagai dimaksut pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.21 19 20
Ibid, Hal. 92-93. Tahir Azhary, Hukum Islam Zakat dan Wakaf , (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2005),
Hal.116. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakrta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. Ke4, 2000), Hal. 498. 21
96
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
Penulis mengangkat kasus menegenai pembatalantanah wakaf oleh ahli waris kepada nazhir dalam Putusan Nomor: 456 K/AG/2007. Berdasarkan kasus ini yang menjadi pemberi wakaf (wakif) adalah almarhum Amaq Nursih, dan penerima wakaf (nazhir) adalah almarhum H. Mukhtar yang merupakan salah satu anggota dari tim koordinasi perkuburan tanah renteng Desa Pringgabaya, Nursiah sebagai Ketua (telah meninggal dunia), H. Mukhsan sebagai Skretaris (Tergugat I), H. Abd. Rehan alias H. Abd. Rahman sebagai Bendahara (Tergugat II), Mamiq Suhud sebagai anggota (Tergugat III), H. Mukhtarsebagai anggota (telah meninggal dunia). Inaq Nursih dan Inaq Jembar adalah anak dari almarhum Amaq Nursih (para Pemohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding). Haji Muhsan, Amaq Abd. Rahman dan Mamiq Suhud adalah anggota dari tim koordinasi perkuburan tanah renteng Desa Pringgabaya (para Termohon Kasasi dahulu para Tergugat/para Pembanding). Sewaktu hidupnya H. Mukhtar sebagai penerima wakaf (nazhir) adalah pengelola perwakafan tanah ladang yang dilakukan pada tanggal 18 Mei 1993 sesuai dengan Akta Ikrar Wakaf tanggal 13 Mei 1993 Nomor W.2/K-3/06/1993 dan telah dibuatkan dan diterbitkan sertifikat tanah wakaf nomor 22 tahun 2001 tanggal 20 November 2001 sejak tanggal 23 Juli 2005 yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lombok Timur. Semula tanah ladang tersebut para Penggugat dapatkan sebagai warisan dari orang tua para Penggugat yang bernama Amaq Nursih (telah meninggal dunia) dan almarhum Amaq Nursih (ayah para Penggugat) yang mendapatkan tabah ladang tersebut dari orang tuanya (kakek para Penggugat) yang bernama Amaq Nurtasih (telah meninggal dunia), Amaq Nurtasih telah memilik dan mengusai tanah ladang tersebut sejak zaman Belanda yaitu sejak tahun 1933. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara perdata agama pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari 3 (tiga) orang, Drs. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H., sebagai Hakim Ketua Majelis; Drs. H. Habiburrahman, M.Hum. dan Prof. DR. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., sebagai Hakim Anggota. Majelis Hakim ini melalui rapat permusyawaratan majelis hakim telah mengambil keputusan untuk perkara perdata agama ini yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Agung pada hari Rabu tanggal 12 Maret 2008, Reg. NO: 456 K/AG/2007. Secara ringkas Putusan Mahkamah Agung tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
97
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
1. Menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi: 1. INAQ NURSIH, 2. INAQ JEMBAR tersebut: 2. Menghukum para pemohon Kasasi/para Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah); Setelah melihat kronologi Putusan Nomor: 456 K/AG/2007 pnyelesaian perkara pembatalan tanah wakaf yang dilakukan oleh ahli waris dari wakif dan juga melihat dasar pertimbangan hakim dalam memutus, penulis dapat menyimpukan sebagai berikut: 1. Nazhir dalam pembuatan akta ikrar wakaf sudah sesuai dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Yaitu diucapkan oleh wakif sendiri atau ahli warisnya di depan PPAIW dengan disaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi. Yang dalam Putusan Nomor: 456 K/AG/2007 saksi sebagai berikut: a. Nursiah sebagai Ketua (telah meninggal dunia); b. H. Mukhsan sebagai Skretaris (Tergugat I); c. H. Abd. Rehan alias H. Abd. Rahman sebagai Bendahara (Tergugat II); d. Mamiq Suhud sebagai anggota (Tergugat III); e. H. Mukhtar sebagai anggota (telah meninggal dunia). 2. Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah wakaf, UUPA telah menetukan adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 1 UUPA yang berbunyi, “untuk menjamin keapstian hukum oleh pemerintah diadakan pendafataran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.” Setelah tanah wakaf tersbut didafatarkan dan diterbitkan Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW yang bersangkutan. Pasal 3 UU Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, “wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan”. Yang dalam Putusan Nomor: 456 K/AG/2007 Akta Ikrar Wakaf tanggal 13 Mei 1993 Nomor W.2/K-3/06/1993 dan telah dibuatkan atauditerbitkan Sertipikat Tanah Wakaf Nomor 22 tahun 2001 tanggal 20 November 2001 sejak tanggal 23 Juli 2005 yang diterbitkan oleh BPN Kabupaten Lombok Timur. Dalam perkara ini hakim Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Mataram dengan putusannya Nomor: 21/Pdt.G/PTA.MTR. tanggal 24 Mei 2007 M. bertepatan dengan tanggal 7 Jumadil Awal 1428 H. Sudah sesuai dengan hukum formil yang telah diatur dalam Perturan Perundang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
98
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
Pengajuan tututan kepengadilan bagi pihak yang merasa haknya dilanggar merupakan suatu keharusan untuk menjamin adanya kepastian hukum, pengadilan sebagai tempat terakhir bagi pencari keadilan dan dianggap memberikan suatu kepastian hukum karena putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Akta ikrar wakaf yang dibuat secara sah baik secara yuridis formal maupun materiil tidak dapat dibatalkan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, “wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.” Konsepsi Perlindungan Hukum Dimasa yang Akan Datang agar Penerima Wakaf (Nazhir) Tidak Digugat oleh Ahli Waris Dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (4) Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf nazhir adalah “pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untukdikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.” Pentingnya kedudukan nazhir dalam proses perwakafan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama nazhir untuk kepentingan pihak yang dimaksudkan dalam akta ikrar wakaf sesuai dengan peruntukannya. Akan tetapi terdaftarnya harta benda wakaf atas nama nazhir tidak membuktikan kepemilikan nazhir atas harta benda wakaf, bahkan pergantian nazhir tidak mengakibatkan peralihan harta benda yang bersangkutan. Para fuqaha tidak mencantumkan nazhir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, hal ini mungkin karena mereka berpendapat bahwa wakaf merupakan ibadah tabarru’ (pemberian yang bersifat sunnah saja). Padahal dalam pelaksanaan wakaf yang dilaksanakan di mana saja, kedudukan nazhir merupakan suatu hal yang sangat penting dan sentral. Di pundak nazhir inilah tanggung jawab untuk memelihara, menjaga, dan mengembangkan wakaf agar wakaf dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Nazhir inilah yang bertugas untuk menyalurkan hasil wakaf dan memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat sesuai yang direncanakan.22 Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Agar harta itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus-menerus, maka harta itu harus dijaga, dipelihara, dan jika mungkin dikembangkan. Dilihat dari tugas nazhir, di manadia berkeAbdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Hal. 269. 22
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
99
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
wajiban untuk mengadmistrasikan harta benda wakaf, menjaga mengembangkan harta benda sesuai dengan fungsi, tujuan, dan peruntukannya serta melestarikan manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya. Demikian pentingnya kedudukan nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf itu bagi mauquf alaih sangat bergantung pada nazhir wakaf. Meskipun demikian tidak berarti bahwa nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanatkan kepadanya. Nazhir memiliki tugas dan kewenangan untuk mengelola, mengembangkan juga menjaga keutuhan dan kelestarian harta benda wakaf yang telah diterima dari Wakif. Nazhir memiliki peran kewenangan yang sangat penting terhadap harta benda wakaf yang telah diterimanya. Meskipun Nazhir memiliki tugas dan kewenangan untuk mengelola harta benda tanah wakaf, namun yang menjadi masalah adalah bahwa tugas kewenangan untuk mengelola harta tanah wakaf tersebut belum sepenuhnya dapat diwujudkan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat yaitu pada prinsipnya untuk membantu mewujudkan kesejahteraan umum. Nazhir seharusnya memiliki kewajiban penuh untuk mengurus dan bertanggungjawab atas kekayaan harta benda wakaf serta hasilnya.23 Nazhir dalam melaksanakan pengelolaan pemanfaatan harta tanah wakaf untuk dapat mencapai tujuan yang sepenuhnya sangat diperlukan adanya penguwasaan pengetahuan kemampuan dan ketrampilan yang memadai. Nazhir sebagai pengelola pemanfaatan harta tanah wakaf agar dapat mewujudkan tujuan yang diharapkan maka bagi nazhir tanah wakaf wajib memiliki bekal pengetahuan yang memadai, kemampuan dan ketrampilan professional yang memadai sesuai dengan bidang yang dikelolanya. Tugas nazhir untuk pengelolaan pemanfaatan merupakan bidang yang paling komplek, karena yang dapat menentukan suatu tanah wakaf itu dapat bermanafaat dan sesuai dengan peruntukannya atau tidak, pengeloalaan itu dapat memenuhi keinginan sesuai harapan atau tidak adalah sangat bergantung pada pengelolaannya yang dalam hal ini dilakukan oleh nazhir. Maka pengelolaan tanah wakaf itu harus dilakukan dengan secara baik dan benar agar dapat menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Selama ini nazhir melakukan tugas dan kewenangan untuk mengelola tanah wakaf itu pada umumnya semata-mata hanya berdasarkan kepercayaan, dimana nazhir yang hanya dengan pengetahuan kemampuan dan keterampilan seadanya. Sebagian besar nazhir belum melakukan usaha pengelolaan tanah wakaf itu benar-benar secara proffesional dan optimal. Bahder Johan Nasution & Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2007), Hal. 71. 23
100
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
Perlindungan hukum berasal dari bahasa Belanda berbunyi rechtsbercherming van de bergers tegen de overhead.24 Pengertian perlindungan itu sendiri adalah segala bentuk tindakan yang bertujuan memberikan kondisi aman, nyaman dan berkepatian hukum bagi subjek hukum serta orang perorangan (person) maupun badan hukum (rechtpersoon). Perlindungan hukum ini dilakukan tentunya untuk membatasi dan menghindari terjadinya suatu tindakan yang dilakukan secara sewenang-wenang. Menurut Dyah Ochtorina Susanti Perlindungan hukum adalah salah satu wacana yang banyak digulirkan guna menjamin hak-hak masyarakat. Pada tulisan ini, akan diuraikan mengenai teori Perlindungan Hukum (selanjutnya disingkat TPH). Teori Perlindungan Hukum,terkait dengan hukum ekonomi dibangun oleh Salmond dan dikembangkan oleh J.P. Fitzgerald, dan di Indonesia, TPH juga dikembangkan oleh Philipus M. Hadjon. Fitzgerald saat menjelaskan TPH Salmond, menguraikan bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan danmengkoordinasikan berbagai kepentingan dalammasyarakat, dengan cara membatasi berbagai kepentingan tersebut, karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak.25 Bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya, untuk bertindak dalam rangka kepentingannya, yang disebut sebagai hak. Jadi, tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.Berdasarkan substansi TPH Salmond dan Fitzgerald, maka dapat dipahami bahwa hukum harus diciptakan dengan tujuan melindungi kepentingan masyarakat, dengan cara mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan tersebut. Hukum melindungi hak-hak masyarakat dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepada mereka untuk bertindak, misalnya tindakan hukum untuk menuntut melalui institusi hukum, agar hak mereka terpenuhi. Perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu: Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), Hal. 2. 25 Dyah Ochtorina Susanti, Bahan ajar mata kuliah Teori Hukum, disampaikan di Program Pasca Sarajana Ilmu Hukum Universitas Islam Kadiri (UNISKA), Kediri, 03 Desem ber 2011, (Selanjutnya disebut Dyah Octorina Susanti). 24
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
101
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
1. Pertama, perlindungan hukum secara represif, yang bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa dalam arti luas, yaitu penanganan perlindungan hukum bagi hak masyarakat melalui proses pengenaan sanksi administrasi. 2. Kedua, perlindungan hukum secara preventif, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang sangat besar artinya bagi tindakan pemerintahan yang didasarkan kepada kebebasan bertindak karena pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi. Terkait konsep perlindungan hukum tersebut, dalam putusan Nomor: 456 K/ AG/2007 nazhir mendapatkan perlindungan hukum, setelah tanah wakaf tersbut didafatarkan dan diterbitkan Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW yang bersangkutan. Pasal 3 UU Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, “wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan”. Yang dalam Putusan Nomor: 456 K/AG/2007 Akta Ikrar Wakaf tanggal 13 Mei 1993 Nomor W.2/K-3/06/1993 dan telah dibuatkan atau diterbitkan Sertipikat Tanah Wakaf Nomor 22 tahun 2001 tanggal 20 November 2001 sejak tanggal 23 Juli 2005 yang diterbitkan oleh BPN Kabupaten Lombok Timur. Sarana perlindungan hukum preventif, meliputi: pertama,the right to be heard, artinya setiap individu sebagai anggota masyarakat berhak menuntut pemenuhan hak mereka, sebagai upaya mewujudkan keadilan. Kedua,access to information, artinya perlindungan hukum yang diupayakan oleh pemerintah dengan cara membuka akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh informasi Tentang proses pemenuhan hak mereka, sebagai wujud dari pelaksanaan pemerintahan yang baik. Konsep perlindungan hukum memiliki signifikan dengan perlindungan hukum nazhir dalam konteks adanya peran pemerintah melalui pembentukan hukum guna melindungi pihak yang lemah (nazhir), yang rentan mendapat gugatan dari ahli waris wakif, tujuan dari hukum ini tentu saja harus dilakukan melalui proses hukum yang dinamis atau kontekstual, tetapi juga tidak mengabaikan tekstual. Hal ini dapat dicapai dan dipertahankan melalui penyelenggaraan hukum dalam proses sosial poltik yang dinamis, karena proses sosial politik itu merupakan konteks sosial politik dimana hukum itu bekerja. Melalui proses yang dinamis itu, tujuan hukum dapat dicapai dalam kehidupan bermasyarakat. Konsekuensinya adalah hukum itu sendiri haruslah dalam prosesnya yang dinamis serta wajib memilii kredibilitas dan akuntabilitas. Kredibilitas dan akuntabilitas hukum dapat dimiliki jika penyelenggaraan hukum itu memperlihatkan suatu konsistensi.26 26
102
Dominikus Rato, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan, dan Memahami Hukum, (SuraLEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
Dikaitkan dengan tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum, dan Pancasila sebagai asas kerohanian Negara yang meliputi sebuah tertib hukum Indonesia. untuk mencapai kesejahteraan umum perlu adanya kerja sama seluruh komponen bangsa dengan memanfaatkan segenap potensi yang ada. Termasuk potensi pengembangan lembaga-lembaga ekonomi yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat. Wakaf sebagai salah satu lembaga yang berasal dari hukum Islam telah lama dikenal dan hidup dalam masyarakat Indonesia. Dalam konsideran dibawah perkataan menimbang huruf Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dinyatakan bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Lembaga wakaf hanya ada pada agama Islam yang diorientasikan kepada kesejahteraan umat melalui penyerahan tanah Hak Milik untuk selama-lamanya yang pendaftaran tanahnya diatur dalam Hukum Tanah Nasional. Supriadi menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, terdapat 2 (dua) sasaran adanya perwakafan, yaitu: (1) kekayaan berupa tanah yang dapat diberikan untuk keperluan peribadatan; (2) kekayaan berupa tanah yang dapat diberikan untuk kepentingan umum.27 Terhadap tanah wakaf yang didaftarkan ke kantor pertanahan akan diberikan sertipikat wakaf, dengan demikian tanah wakaf yang telah didaftarkan memperoleh perlindungan hukum. Arie S. Hutagalung menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka rechtscadaster yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa buku tanah dan sertipikat tanah yang terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur.28 Guna menjaga kelestarian dan keamanan terhadap harta benda wakaf maka nazhir memiliki peran juga dalam menjamin untuk menjaga kepastian hukum terhadap tanahwakaf. Status setiap tanah wakaf harus jelas tentang hukum bagi hak masyarakat melalui baya: Laksbang Justitia, 2011), Hal. 110. 27 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Hal. 135. 28 Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Idonesia, 2005), Hal. 81. Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
103
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
proses kepastian hukum mengenai kepemilikannya dan pengenaan sanksi administrasi. perlindungan hukumnya. Nazhir berkewajiban untuk mengusahakan kelengkapan sertipikat dari tanah wakaf yang dikelolanya sebagai alat bukti kepemilikan yang sah terhadap tanah wakaf. Pembuatan AIW belumlah sempurna untuk memberikan perlindungan hukum kepada nazhir. Perlindungan hukum menurut Rahardjo, Adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Karena pada dasarnya bukti bahwa telah beralihnya harta wakaf dari wakif kepada nazhir adalah berupa bukti kepemilikan hak atas tanah berupa sertifikat. Sepanjang sertifikat atas harta wakaf belum dilakukan peralihan dari wakif kepada nazhir berdasarkan akta ikrar wakaf maka perlindungan hukum kepada nazhir belumlah sempurna. Untuk itu perlu dilakukan Pengamanan terhadap kepemilikan tanah wakaf setelah dibuatkan AIW oleh PPAIW. Bentuk pengamanan selanjutnya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kepemilikan tanah wakaf yang telah diberikan kepada nazhir adalah PPAIW nama nazhir melakukan balik nama sertipikat dengan melakukan pendaftaran pada kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota. Sertipikat atas nama wakif dicoret dan diganti dengan atas nama nazhir dengan dibuatkan sertipikat wakaf. Bentuk perlindungan hukum kepada nazhir dalam pengelolaan harta wakaf dengan mendaftarkan akta ikrar wakaf untuk diterbitkan sertifikat wakaf sebagai jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap nazhir. Kesimpulan 1. Akta Ikrar Wakaf tanah Harus dibuat oleh Notaris, kewenangan Notaris membuat Akta Ikrar Wakaf tanah diatur secara tegas dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN danPasal 37 ayat (4) PP No. 42 Tahun 2006, sehingga akta tersebut menjadi akta otentik serta Akta Ikrar Wakaf tanah yang dibuat Notaris harus didaftarkan di Pengadilan Agama untuk mendapatkan surat penetapan yang memperkuat Akta Ikrar Wakaf tanah. Norma tersebut belum memberikan perlindungan hukum secarapasti ke penerima wakaf karena belum adanya kewajiban untuk membuat Akta Ikrar Wakaf tanah di Notaris. 2. Tidak ada alas hak ahli waris untuk menggugat tanah wakaf, karena tanah wakaf tersebut tidak termasuk sebagai harta warisan ahli waris. Tanah wakaf yang telah di wakafkan dan telah memenuhi rukun serta syarat sahnya wakaf tanah sesuai dengan
104
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
peraturan yang berlaku tidak dapat digugat sesuai dengan Pasal 3 UU No. 41 Tahun 2004, wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. 3. Konsepsi perlindungan hukum di masa yang akan datang agar penerima wakaf Nazhir agar tidak digugat oleh ahli waris terbagi dalam 2 (dua) bentuk: a. Pertama, perlindungan hukum secara represif, yang bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa dalam arti luas, yaitu penanganan perlindungan b. Kedua, perlindungan hukum secara preventif, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, kewajiban untuk membuat Akta Ikrar Wakaf tanah dan mendaftarkan Akta Ikrar Wakaf tersebut untuk diterbitkan sertipikat tanah wakaf serta memberitahukan kepada seluruh ahli waris. Saran 1. Kepada Pemerintah dalam hal ini harus terus berupaya mensosialisasikan perbuatan hukum wakaf harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), kewenangan Notaris untuk membuat Akta Ikrar Wakaf tanah haruslah segera diwajibkan sehingga dapat terlaksana dan memberikan perlindungan hukum terhadap tanah wakaf, sehingga dikemudian hari dapat meminimalisir gugatan maupun tuntutan atas perbuatan hukum wakaf tanah tersebut. 2. Bagi Nazhir harus dengan sungguh-sungguh menjaga dan melestarikan, mengamankan serta mengoptimalkan fungsi tanah wakaf tersebut sesuai dengan mauquf’alaih tanah wakaf tersebut agar jangan sampai tanah wakaf beralih fungsi dan beralih hak. Dan perlu adanya suatu pengawasan secara berkesinambungan oleh instansi terkait terhadap pelaksanaan perwakafan tanah yang ada didalam masyarakat sehingga gugatan maupun tuntutan oleh ahli waris terhadap tanah wakaf dapat dihindari . Daftar Pustaka A.A. Andi Prajitno, 2013, Apa dan Siapa Notaris di Indonesia Cetakan Ketiga, Jakarta: Selaras. Abdul Kohar, 1983, Notaris dalam Praktek Hukum,Bandung: Alumni. Abdul Manan, 2006, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, 2006, Era Wakaf Produktif Sebuah Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, Cet. 3, Jakarta: Mitra Abadi Press. Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
105
Perlindungan Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Penerima Wakaf (Nazhir)
Adijani Al-Alabij, 1989, Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press. Ahmad Rofiq, 2000, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. Ke4. Arie Sukanti Hutagalung, 2005, Tebaran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Idonesia. Bahder Johan Nasution & Sri Warjiyati, 2007, Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju. Boedi Harsono, Edisi Revisi 2008 Jilid 1, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaanny, Jakarta: Jambatan. Dyah Ochtorina Susanti, 2011, Bahan ajar mata kuliah Teori Hukum, disampaikan di Program Pasca Sarajana Ilmu Hukum Universitas Islam Kadiri (UNISKA), Kediri. Dominikus Rato, 2011, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan, dan Memahami Hukum, Surabaya: Laksbang Justitia. G.H.S. Lumban Tobing, 1996, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga. Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung: Refika Aditama. Habib Adjie, 2011, Hukum Notaris Indonesia, Tafsiran Tematik Terhadap UU No. 3 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, cetakan ketiga, Bandung: Rafika Aditama. Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu. Rachmadi Usman, 2009, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogya karta :Liberty. Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika. Tahir Azhary, 2005, Hukum Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: Papas Sinar Sinanti. Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat: Serba-Serbi Praktek Notaris, Buku I, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
106
LEX HUMANA, Jurnal Hukum dan Humaniora
Atok Naimulloh, Dominikus Rato, Dyah Ochtorina Susanti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Wakaf. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam.
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016
107