perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBANTU RUMAH TANGGA DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Penulisan Hukum ( Skripsi )
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : NURITA NUGRAHANI NIM. E0006193
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
PERNYATAAN
Nama : Nurita Nugrahani Nim
: E0006193
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBANTU RUMAH TANGGA DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN adalah betul - betul karya sendiri. Hal - hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar sarjana yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi ) ini.
Surakarta,
Juli 2011
Yang membuat pernyataan
Nurita Nugrahani NIM. E0006193
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
ABSTRAK Nurita Nugrahani. E0006193. 2011. Perlindungan Hukum Terhadap Pembantu Rumah Tangga di Bawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum bagi pembantu rumah tangga di bawah umur ditinjau dari Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, penerapan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 terhadap pembantu rumah tangga dibawah umur dan untuk mengetahui hambatanhambatan perlindungan hukum terhadap pembantu rumah tangga dibawah umur. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, mengkaji mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Pembantu Rumah Tangga di Bawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pendekatan penelitian dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Jenis data penelitian yang digunakan meliputi data sekunder. Teknik pengumpulan sumber data penelitian yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Teknik analisis data yanng digunakan dalam penellitian ini adalah teknik analisa data kualitatif.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 68 bahwa pengusaha dilarang memperkerjakan anak atau tenaga kerja dibawah umur. Penerapan perlindungan hukum pembantu rumah tangga dibawah umur dipengaruhi kondisi perekonomian anak yang menyebabkan anak tersebut bekerja untuk dapat menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada situasi saat ini pembantu rumah tangga rentan dengan kekerasan, sehingga sangat mengkwatirkan apabila anak menjadi pembantu rumah tangga. Satu – satunya pengaturan mengenai tenaga kerja adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 68 dan Pasal 69, bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak atau tenaga kerja dibawah umur. Hambatan-hambatan penerapan perlindungan hukum pembantu rumah tangga dibawah umur tersirat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 68 dan Pasal 69. Dalam UndangUndang tersebut mengandung unsur yang rancu mengenai pekerjaan ringan yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut, apakah pembantu rumah tangga termasuk pekerjaan ringan,sehingga pembantu rumah tangga dibawah umur perlindungannya dirasa masih belum cukup memadai bagi pekerja anak dibawah umur khususnya. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pembantu Rumah Tangga dibawah umur, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
ABSTRACT Nurita Nugrahani. E0006193. 2011. Legal Protection Against Domestic Underage Judging from Act No. 13 of 2003 on Manpower. Law Faculty of Sebelas Maret University. This study aims to determine the setting of legal protection for domestic workers under terms of Act No. 13 of 2003, the application of Law No. 13 of 2003 against underage domestic servants and to determine barriers to legal protection against domestic under the stairs. This research is a normative legal research that is prescriptive, assessing the Law on the Protection Against Domestic Underage Judging from Act No. 13 of 2003 on Manpower. The research approach in this study is the approach of legislation and conceptual approaches. This type of research data used include secondary data. Source of research data collection techniques used is literature study. Yanng data analysis techniques used in this penellitian is qualitative data analysis techniques .. The results showed that setting the legal protection of minors. In Act 13 of 2003 article 68 that employers are prohibited from employing child labor or under. The application of domestic legal protection under the economic conditions of children affected is causing the child to work to make money to make ends meet. In the current situation of domestic workers vulnerable to violence, making it very mengkwatirkan when children become domestic servants. One - the only regulation of labor is Law No.13 of 2003 Article 68 and Article 69, that employers are prohibited from employing child labor or under. Obstacles to the implementation of domestic legal protection under the age implied by the Act No.13 of 2003 Article 68 and Article 69. In the Act contains an ambiguous element of light work as defined in law - the law, whether domestic helpers, including light work, so that domestic servants under its protection it is still not sufficient for workers, especially minors. Keywords: Legal Protection, Domestic minors, Law No.13 of 2003
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBANTU RUMAH TANGGA DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANGUNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN”. Penulis menyadari bahwa terselesainya Penulisan Hukum
ini tidak
terlepas dari moril maupun materiil serta doa dan dukungan dari berbagai pihak,oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku
Dekan
Fakultas
Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku dosen pembimbing Skripsi, yang telah meluangkan waktu untuk memberkan bimbingan dan nasehat kepada penulis dan yang telah banyak membantu sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi ) ini. 3. Bapak Syafrudin Yudho Wibowo, S.H.,M.H, selaku Pembimbing Akademik ,yang selalu memberi nasehat dan bantuan selama penulis belajar di Fakultas Hukum Univertas Sebelas Maret. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah memberi ilmu pengetahuan kepada penulis, sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini. 5. Bagian PPH yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi penulis dari mulai penulisan judul sampai selesainya penulisan hukum (skripsi) ini 6. Segenap karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis selama menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Orang tua penulis, Bapak Sugito dan Ibu Siti Maryatun yang telah memberikan dorongan berupa materiil maupun non materiil selama ini, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
semoga dapat penulis amalkan untuk kebaikan penulis serta dapat membahagiakan bapak dan ibu atas pencapaian yang akan datang. 8. Adikku Rifan Adi Nugraha, yang senantiasa menjadi adik yang baik dan memberi dukungan penulis. 9. Aswin Yuki Helmiarto S.H
yang selalu menyemangati serta membantu
penulis dalam mendapatkan data untuk skripsi ini, serta selalu memberikan perhatian spesialnya kepada penulis. 10. Teman-teman, sahabat-sahabatku angkatan 2006, Etha, Ranni, Riyya, Yoga, Dwie, Hastin, Natalia, Dian, Fitri, Odie, Hendy, Eko, dan semua teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah menjadi teman terbaik selama masa perkuliahan. Semoga kebersamaan ini tidak hanya berhenti pada akhir masa menempuh kuliah ini. 11. Dan semua pihak yang telah membantu penyusunan penulisan hukum atau skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu Penulis menyadari bahwa penulisan hukum masih jauh dari sempurna baik dari segi substansi maupun teknis penulisan. Untuk itu sumbang saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan penulisan hukum selanjutnya. Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk penulisan, akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
Surakarta,
Juli 2011
Penulis
Nurita Nugrahani
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................................
1
B. Perumusan Masalah .............................................................................
4
C. Tujuan Penelitian..................................................................................
4
D. Manfaat Penelitian ...............................................................................
5
E. Metodologi Penelitian .........................................................................
5
F. Sistematika Penulisan ..........................................................................
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ....................................................................................
10
1. Tinjauan Tentang Hukum sebagai Hasil Interaksi Sosial ...............
10
2. Tinjauan Mengenai Ketenagakerjaan .............................................
12
3. Tinjauan Mengenai Perlindungan Hukum Tenaga Kerja ..............
14
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................
18
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Pembantu Rumah Tangga di Bawah Umur ......................................................................
20
1. Gambaran Umum Mengenai Ketenagakerjaan di Indonesia ..........
20
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Mengenai commit to user Ketenagakerjaan ..............................................................................
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
3. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja di Bawah Umur ...................................................................................
25
B. Penerapan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Terhadap Pembantu Rumah Tangga di Bawah Umur ..........................................................
38
1. Kondisi Umum Tenaga Kerja di Indonesia ....................................
38
2. Penerapan Pengaturan Terhadap Tenaga Kerja Pembantu Rumah Tangga di Bawah Umur ....................................................
42
3. Harapan Kepada Hakim dalam Implementasi Perlindungan Anak ...............................................................................................
62
C. Hambatan – Hambatan Perlindungan Hukum Terhadap Pembantu Rumah Tangga Di Bawah Umur .........................................................
67
1. Perlunya perlindungan pembantu rumah tangga d bawah umur ....
67
2. Hambatan – Hambatan Perlindungan Hukum Terhadap Pembantu di Bawah Umur ..............................................................
70
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ..........................................................................................
80
B. Saran ....................................................................................................
82
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pekerja merupakan suatu hal yang sangat penting di dalam kehidupan manusia, sehingga semua orang membutuhkan pekerja. Pekerja merupakan sumber penghasilan seseorang dalam upaya mencukupi kebutuhan bagi dirinya sendiri
dan
keluarga.
Pekerja
juga
merupakan
suatu
sarana
untuk
mengaktualisasikan diri bagi seorang, sehingga hidupnya bisa lebih bermanfaat bagi dirinya, keluarga dan lingkungannya. Bekerja bagi seorang warga negara merupakan suatu hal penting bagi sebuah Negara. hal itu merupakan salah satu indikasi bahwa Negara tersebut dapat dikatakan terlepas dari masalah ekonomi yaitu salah satunya adalah semua warga negaranya dapat bekerja pada usia yang produktif, disertai dengan tersedianya lapangan kerja yang memadai, dan yang terpenting adalah adanya hak asasi manusia yang dijunjung tinggi serta dihormati. Pembantu Rumah Tangga telah ada sejak lama, diperkirakan ada sejak zaman kerajaan, penjajahan, begitu pula sesudah indonesian merdeka. Saat itu, Pembantu Rumah Tangga telah berkembang dan mengalami perubahan orientasi dari hubungan kekerabatan menjadi hubungan pekerja. Jenis ini tidak saja menyerap pekerja dewasa, namun juga menarik anak-anak untuk memasuki pekerja sektor informal ini. Pembantu Rumah Tangga anak biasanya melakukan pekerjaan sebagai tukang cuci, mengasuh anak, memasak, dan membersihkan rumah. Mereka biasanya berasal dari pedesaan, dari keluarga miskin, berpendidikan rendah dan sebagai besar adalah kaum perempuan. Keberadaanya di tempat kerja, tanpa perlindungan hukum, tanpa pengawasan pihak berwenang, tanpa ikatan kontrak kerja, tanpa uraian pekerjaan, tanpa aturan jam kerja, tanpa upah minimum, serta tanpa hari libur. Hal ini menjadi kondisi yang kurang menguntungkan bagi anak yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga anak, yang semestinya dapat tumbuh kembang dan mendapatkan perlindungan, namun harus terjebak pada commit to user pekerjaan yang belum memiliki rambu-rambu hukum dan standar 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
ketenagakerjaan. Ini berarti Pembantu Rumah Tangga anak berada pada situasi dan kondisi rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Tidak sewajarnya anakanak yang berusia di bawah umur (usia di bawah 18 tahun) untuk bekerja. Namun kasus Pembantu Rumah Tangga anak yang muncul di berbagai daerah negara ini masih kerap terjadi. Negara Indonesia merupakan Negara hukum, yang harus mampu dengan maksimal memberikan perlindungan kepada tiap-tiap warga negaranya, tanpa disertai dengan perbedaan/diskriminasi dalam bentuk apapun di hadapan hukum. Perlindungan hukum itu timbul dikarenakan adanya hubungan hukum (rechtbrettekking) diantara subjek hukum yang memiliki relevansi hukum/akibat hukum, sehingga menimbulkan hak dan kewajiban. Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan. Di beberapa negara, hal ini dianggap tidak baik bila seorang anak di bawah umur tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan sekolah. Seorang 'bos' dilarang untuk mempekerjakan anak di bawah umur, namun umum minimumnya tergantung dari peraturan negara tersebut. Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Namun beberapa kelompok hak pemuda merasa bahwa pelarangan kerja di bawah umur tertentu melanggar hak manusia. Penggunaan anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negaranegara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengijinkan karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan. (www.wikipedia.com) Di bidang Ketenagakerjaan, Negara Indonesia memiliki Undang-Undang commit to user yang mengatur mengenai Tenaga Kerja. Diantaranya adalah Undang-Undang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
Nomor 13 Tahun 2003, yang tentunya harus bisa melindungi hak-hak Pekerja/Buruh. Hal itu tentunya harus ada kecocokan antara peraturan yang telah diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari (Principles of Legality). Terutama bagi kaum Pembantu Rumah Tangga, diperlukan sebuah peraturan yang secara khusus untuk melindungi keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat tempat dimana ia bekerja. Hal itu bertujuan untuk menghindarkan mereka dari kesewenang-wenangan Majikan/Pengusaha (Pemberi Kerja). Tujuan dibentuknya hukum, setidaknya harus dapat memenuhi tiga hal pokok yang sangat mendasar, diantaranya adalah keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan ( Satjipto Raharjo, 2005 : 19 ). Namun, pada kenyataanya terkadang ketiga tujuan hukum tersebut belum bisa sepenuhnya diwujudkan. Oleh karena itu,
maka
dianggap
perlu
untuk
melakukan
kajian
pembentukan
ulang/rekonstruksi pengaturan perlindungan hukum terhadap Pembantu Rumah Tangga dibawah umur agar hak-hak mereka dapat terlindungi secara adil di hadapan hukum. Pada Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 68 disebutkan bahwa pengusaha dilarang untuk mempekerjakan anak, UndangUndang Nomor 13 tahun 2003, Pasal 69 juga menyebutkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak dibawah 18 tahun atau berusia 13-15 tahun untuk melakukan pekerjaan berat dan harus menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : “PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
PEMBANTU
RUMAH
TANGGA DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut lebh lanjut dengan menitikberatkan pada rumusan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap pembantu rumah tangga dibawah umur?
2.
Bagaimana penerapan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 terhadap pembantu rumah tangga dibawah umur?
3.
Apakah hambatan-hambatan perlindungan hukum terhadap pembantu rumah tangga dibawah umur?
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu penelitian, pasti ada tujuan yang hendak dicapai. Tujuan dari penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah : 1.
Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum bagi pembantu rumah tangga di bawah umur ditinjau dari Undang-undang Nomor 13 tahun 2003. b. Untuk mengetahui penerapan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 terhadap pembantu rumah tangga dibawah umur. c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan perlindungan hukum terhadap pembantu rumah tangga dibawah umur.
2.
Tujuan Subyektif a. Untuk memperdalam pengetahuan dan wawasan penulis di bidang Hukum Ad ministrasi Negara pada umumnya, serta memperdalam pengetahuan penulismengenai perlindungan hukum bagi pembantu rumah tangga pada khususnya. b. Untuk memenuhi
persyaratan
akademis
guna memperoleh
gelar
kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian akan bernilai apabila memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1.
Manfaat teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Ilmu hukum khususnya di bidang Hukum Ketenagakerjaan; b. Memberikan, sumbangan pemikiran yang dapat dijadikan literatur dalam hukum, khususnya di bidang Hukum Ketenagakerjaan; c. Menambah literatur yang dapat dijadikan sebagai data sekunder dalam referensi bagi penelitian yang selanjutnya;
2.
Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapaat menambah pemahaman penulis serta masyarakat sejauh mana peraturan perundang-undangan yang selama ini ada dapat memberikan perlindungan hukum bagi pekerja, khususnya pembantu rumah tangga dibawah umur.
E. Metodologi Penelitian
Untuk mendapatkan suatu data yang diperlukan dalam penelitian hukum ini, maka Penulis menggunakan metode penelitian tertentu yang sesuai. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak ada hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu (Soerjono Soekanto, 2008: 42). Metodologi berasal dari kata metode yang berarti “jalan ke”, namun menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan sebagai berikut : 1. Sesuatu tipe pemikiran yang digunakan dalam penelitian dan penilaian 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur (Soerjono Soekanto, 2008:5). Berdasarkan hal tersebut, penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penulisan antara lain sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, untuk penelitian ini penulis hanya menjawab isu hukum dalam lapisan dogmatig hukum. Di mana penelitian hukum terdiri dari: a) penelitian pada ranah dogmatig hukum, yaitu penelitian hukum berkaitan dengan fakta hukum yang dihadapi; b) penelitian pada ranah teori hukum, yaitu isu hukum dalam penelitian tersebut harus mengandung konsep hukum; c) penelitian pada ranah filsafat hukum, yaitu untuk memahami isu hukum yang berkaitan dengan asas hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 65-77). 2. Sifat Penelitian Sifat Penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang preskriptif dan terapan. Penelitian ini bersifat bersifat preskriptif yaitu ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 22). 3. Pendekatan Penelitian Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif, maka di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yaitu pendekatan undang-undang (statute aproach), pendekatan historis
(historical
approach),
pendekatan
komparatif
(comparative
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 93). Pendekatan yang digunakan dan dilakukan di dalam penelitian hukum ini adalah Pendekatan undang-undang (statute approach), commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian hukum ini dipergunakan jenis data sekunder, yang dari sudut kekuatan mengikatnya digolongkan ke dalam beberapa sumber data, yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2006:141). Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 6) Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. : SE07/MEN/1990
Tentang
Penggolongan
Komponen
Upah
dan
Pendapatan Non Upah b. Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud, 2006: 141). Sebagai pendukung dari data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu terdiri dari buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, internet, sumber lainnya yang memiliki korelasi dengan penelitian ini. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam commit to (library user penelitian ini adalah studi kepustakaan research) yaitu pengumpulan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
data dengan jalan membaca literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan data sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, internet, jurnal. Dari data tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai data penunjang dalam penulisan hukum ini. 6. Teknik Analisis Sumber Bahan Hukum Teknik analisis yang penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu teknik analisis deduksi (deduktif). Sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles seperti yang dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau konklusi (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 47). Selanjutnya menurut Philipus M. Hadjon dalm Peter Mahmud Marzuki, yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum, sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Dari kedua hal tersebut kemudian dapat ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 47).
F. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah pemahaman yang jelas mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini, akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini, penulis akan membahas mengenai dua hal, yaitu kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam menemukan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penulisan hukum ini, commit to userhukum, tinjauan umum mengenai antara lain : tinjauan umum mengenai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
hukum Ketenagakerjaan, tinjauan umum mengenai perlindungan hukum Ketenagakerjaan. Yang kedua adalah mengenai kerangka pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai hasil penelitian dan pembahasan
yang
telah
penulis
lakukan,
yaitu
mengenai
pembentukan kembali rekonstruksi peraturan perlindungan hukum bagi Pembantu Rumah Tangga di bawah umur mengenai : Gambaran Umur Mengenai Ketenagakerjaan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Mengenai Ketenagakerjaan, Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Dibawah Umur, Kondisi Umur Tenaga Kerja di Indonesia, Penerapan pengaturan terhadap tenaga kerja Pembantu Rumah Tangga Dibawah umur, Harapan Kepada Para Hakim Dalam Implementasi Perlindungan Anak, Perlunya Perlindungan Pembantu Rumah Tangga di Bawah Umur, Hambatan-hambatan Perlindungan Hukum Terhadap Pembantu di Bawah Umur.
BAB IV : PENUTUP Bab ini menerangkan dari keseluruhan uraian yang telah dipaparkan kedalam bentuk kesimpulan dan juga memuat saran berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Mengenai Hukum Sebagai Hasil Interaksi Sosial a. Penjelasan Teori Interaksionisme simbolik George Herbert Mead (1863-1931), merupakan pemikir paling penting dalam pembentukan teori interaksionalisme simbolik, dengan karyanya yang paling penting populer Mind, Self, and Society, Interaksi simbolik ada karena ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind), mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial serta tujuan akhir untuk mengimplementasikan makna ditengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Definisi singkat mengenai ketiga ide dasar interaksionisme simbolik adalah : 1) Pikiran
(Mind),
kemampuan
untuk
menggunakan
harus
mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu yang lain, 2) Diri (Self), kemampuan untuk merefleksikan diri setiap individu ditengah-tengah keberadaan masyarakat (Society), jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikontruksikan oleh setiap individu di tengah-tengah keberadaan masyarakat dan setiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran ditengah-tengah masyarakat. Teori interaksi simbolik ini menekankan pada hubungannya antara simbol dan interksi, dimana inti dari pandangan pendekatan teori tersebut adalah individu itu sendiri. Banyak ahli dalam bidang ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu itu merupakan „objek yang secara commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
langsung bisa ditelaah dan dianalisa melalui interaksinya dengan individu yang lain. (www.scridb.com) Dalam pandangan Charles Horton Cooley (1846-1929), individu itu ada berkat proses berlanjut hidup secara biologis dan sosial. Sebaliknya, masyarakat sangatlah tergantung dari individu. Karena dari individu itulah yang
menyumbangkan
sesuatu
pada
kehidupan
bersama
Cooley
mengatakan bahwa, masyarakat dan individu bukanlah dua realitas yang berdiri secara terpisah melainkan dua sisi satau segi dari realitas yang satu dan sama. Dengan demikian, antara individu dan masyarakat merupakan dua sisi dari realitas yang sama, keduanya ibarat dua sisi dari satu mata uang. (Riyadi Soeprapto. 2001 : 111 – 112) b. Hukum Sebagai Interaksi Sosial Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan dinamis yang menyangkut antara manusia dengan orang-perorangan, antar kelompok manusia, dan antar orang-perorangan dengan kelompok. Dalam hal ini, George Herbert Mead membedakan interaksi sosial menjadi dua, yaitu : interaksi non-simbolis dan interaksi simbolis. Interaksi non-simbolis berarti manusia merespon secara langsung terhadap tindakan atau isyarat orang lain. Sedangkan interaksi simbolis berarti manusia menginterprestasikan masing-masing tindakan dan isyarat orang lain berdasarkan arti yang dihasilkan dari interprestasi yang ia lakukan (Riyadi Soeprapto. 2001 : 163). Hukum sebagai hasil interaksi sosial adalah hukum itu timbul dari adanya norma-norma yang secara baik ditaati atau dipatuhi oleh sekelompok masyarakat, yang mana didalam kehidupan sekelompok masyarakat tersebut tidak dapat terlepas dari suatu aturan hukum sehingga menciptakan adanya tindakan kelompok maupun individu, dengan syarat di dalam interaksi sosial tersebut harus terdapat kontak sosial dan komunikasi terlebih dahulu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
Mead berpandangan bahwa dalam pembentukan tindakan tersebut selalu terjadi kontak sosial, dimana hal ini sangat vital dalam pemahaman interaksionisme simbolis (Riyadi Soeprapto. 2001 : 168-169). Sedangkan komunikasi itu diperlukan agar sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok manusia yang lain, dan merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukan (http://elearning.indonusa.ac.id)
2. Tinjauan Mengenai Ketenagakerjaan a. Pengertian Ketenagakerjaan Menurut
Pasal
Undang-Undang
Nomor
13
tahun
2003,
Ketenagakerjaan berasal dari kata dasar “tenaga kerja” yang artinya “segal hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja”. Sedangkan yang dimaksud dengan Tenaga Kerja adalah “setiap orang yang mampu melakuakn pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan masyarakat. Pengertian tenaga kerja ini lebih luas cakupannya, karena meliputi pekerjaan atau buruh, yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan kata lain pekerja atau buruh adalah tenaga kerja yang sedang berada dalam ikatan hubungan kerja. Sedangkan tenaga kerja itu sendiri terbagi tenaga kerja yang sedang terikat dengan suatu hubungan kerja, dan tenaga kerja yang belum bekerja. 1) Landasan Pembangunan Ketenagakerjaan a)
Pancasila (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Kemanusiaan Yang adil dan Beradab (3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
(5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Dalam hal pembangunan ketenagakerjaan, sila ke-5 merupakan lapangan kerja yang memadahi, bagi tiap-tiap warga negara yang berhak untuk mendapatkan yang layak dan adil tanpa adanya diskriminasi, sehingga dapat menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yang pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001 dan perubahan keempat pada tahunn 2002. Dalam UUD 1945 tersebut terdapat beberapa Pasal yang menjadi landasan bagi pembangunan Ketenagakerjaan, yaitu : (1) Pasal 27 menyebutkan “Bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. (2) Pasal 28 D ayat (2) menyebutkan “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. (3) Pasal 28 H ayat (i) menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (4) Pasal 28 H ayat (2) menyebutkan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. (5) Pasal 28 H ayat (3) menyebutkan “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
(6) Pasal 28 H ayat (4) menyebutkan “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun”. (7) Pasal 28 1 ayat (2) menyebutkan “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun, dan berhak mendapatkan perlindungan yang bersifat diskriminatif itu”.
3. Tinjauan Mengenai Perlindungan Hukum Tenaga Kerja a. Perlindungan Hukum Terhadap Pembantu Rumah Tangga Di Indonesia, Pembantu Rumah Tangga mengacu kepada para Pembantu Rumah Tangga yang bekerja pada sebuah keluarga di dalam negeri yang merupakan suatu kelompok pekerja dan masyarakat yang memiliki berbagai keunikan persoalannya sendiri. Persoalan-persoalan tersebut adalah persoalan rumit yang sebenarnya sangat memprihatinkan rasa kemanusiaan dan keadilan kita. Dengan persoalan yang sangat memprihatinkan tersebut, perhatian Pemerintah dalam hal ini masih sangat minim. Ini dapat kita buktikan dengan adanya berbagai kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga,baik itu bagi Pembantu Rumah Tangga diluar negeri maupun di dalam negeri. Umumnya mereka yang menjadi Pembantu Rumah Tangga adalah kaum perempuan, baik anak-anak maupun yang sudah dewasa, sedikit sekali kita temukan kaum laki-laki yang memilih profesi sebagai pekerja rumah tangga. Dalam masyarakat kita sendiri, hanya sebagian kecil saja yang menganggap pekerjaan rumah tangga itu sebagai 'pekerjaan', dan si pekerjanya itu sebagai 'pekerja'. Pandangan stereotip mengenai pekerjaan dan si pekerjanya ini dapat menjadi salah satu kompleksitas persoalan dan permasalahan yang menyelimuti pekerjaan pembantu rumah tangga ini. Belum adanya aturan baku yang mengatur pekerjaan pembantu rumah tangga, termasuk upah, libur kerja, cuti, jam kerja, menjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
persoalan yang menyelimuti pekerjaan pembantu rumah tangga. Sehingga, dimungkinkan tidak ada kekuatan legal khusus yang bisa mengontrol terjadinya tindakan-tindakan pelanggaran ataupun eksploitasi terhadap pembantu rumah tangga. Setiap tenaga kerja, khususnya pembantu rumah tangga juga memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh perlakuan dan perlindungan yang sama tanpa diskriminasi dihadapan hukum. Dalam UUD 1945 telah disebutkan hak-hak konstitusional mereka yang tercantum dalam Pasal 27 ayat 2, Pasal 28A, Pasal 28C, Pasal 28D ayat 2, dan Pasal 28H ayat 2 yang wajib dilaksanakan Pemerintah/Negara. Selain UUD 1945, di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 juga terdapat beberapa Pasal yang mengatur mengenai hal tersebut. Di antaranya adala Pasal 5 dan Pasal 6, yang secara garis besar menyatakan bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi dalam hal perlakuan yang sama dan memperoleh pekerjaan. 1) Dasar Hukum Perlindungan Ketenagakerjaan a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Secara umum, dalam Undang-Undang ini telah banyak mengatur mengenai perlindungan hak-hak serta kewajiban apa saja yang harus diperhatikan baik oleh pekerja maupun majikan. Salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang ini adalah untuk menjamin kesamaan hak tanpa diskriminasi atas dasar apapun, dan menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh demi mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh itu sendiri beserta keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan dunia usaha, baik di daerah atau lokal maupun nasional. b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan kebebasan dasar manusia yang secara kodrati melekat serta tidak terpisahkan pada setiap manusia sejak ia dilahirkan. Dimana hak dasar itu harus dilindungi, dihormati,
dan
ditegakkan
demi
peningkatan
martabat
kemanusiaan, kebahagiaan, kecerdasan serta keadilan. Secara moral, eksistensi hak dan kebebasan manusia dengan kodratnya melekat pada harkat dan martabatnya sebagai manusia. Jadi, ada kewajiban moral untuk menghormati hak asasi manusia bagi setiap warga negara. Sedangkan secara hukum, eksistensinya diakui dalam lonstitusi dan perundang-undangan. Penegakan secara hukum ditugaskan pada institusi-institusi yang dibentuk untuk melindungi hak asasi tersebut, seperti Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang bertugas melakukan investigasi dan
arbitrasi
terhadap
keluhan-keluhan
masyarakat
yang
berkaitandengan hak asasi manusia. Selain itu, terdapat badanbadan peradilan baik itu Peradilan Umum, maupun Peradilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat diselesaikan oleh KOMNAS HAM. Pemerintah dalam hal ini, juga turut serta berkewajiban dan bertanggung
jawab
untuk
menghormati,
melindungi,
menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang telah disebutkan dalam Undang-Undang HAM tesebut. Dalam hal ini, hubungannya dengan perlindungan hak-hak dasar pekerja/buruh yang harus sepenuhnya menjadi perhatian Pemerintah tanpa adanya perlakuan diskriminasi dalam bentuk apapun. c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
Perlindungan Anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
scara
optimal
sesuai
harkat
dan
martabat
kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Penyelenggaraan perlindungan anak tersebut berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi : 1) Non diskriminasi. 2) Kepentingan yang terbaik bagi anak. 3) Hak untuk hidup,kelangsungan hidup, dan perkembangan anak, 4) Penghargaan terhadap pendapat anak. Negara
dan
Pemerintah
berkewajiban
menjamin
perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, ataupun orang lain secara hukum bertanggung jawab untuk itu. Kaitanya dalam perlindungan terhadap ketenagakerjaan adalah bahwa seringnya kita melihat dipekerjakannya seorang anak tanpa memperhatikan hak-hak dasar yang melekat pada anak tersebut. Sehingga kita melalaikan perlindungan terhadap keberadaan tenaga kerja yang masih berusia kurang dari 18 tahun (masih anak-anak). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
B. Kerangka Pemikiran
Perlindungan Hukum Terhadap Pembantu Rumah Tangga di Bawah Umur
Pengaturan Dalam Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Tentang Ketenagakerjaan)
Hambatan - Hambatan
Solusi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Keterangan: Pengaturan mengenai Perlindungan Hukum terhadap Pembantu Rumah Tangga di Bawah Umur di Indonesia telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaa. Di dalamnya telah mengatur hakhak pekerja sebagaimana mestinya, serta upah dan kerja yang telah di atur agar dapat memberikan perlindungan bagi pekerja. Diharapkan dengan adanya Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut dapat melindungi pekerja khususnya bagi pekerja yang masih berada di bawah umur (di bawah 18 tahun), yaitu dengan memperjuangkan hak-hak pekerja yang seharusnya diberikan kepada mereka. Namun di dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya dalam upaya Perlindungan hukum terhadap pekerja yang masih berada di bawah umur (di bawah 18 tahun) di Indonesia. Dengan adanya hambatan-hambatan tersebut diharapkan terdapat solusi yang bisa dipecahkan oleh pemerintah agar pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut dapat berjalan dengan konsisten dan menyeluruh, agar para pekerja khususnya di bawah umur dapat terlindungi hak-haknya sebagai pekerja yang seharusnya mendapatkan jaminan upah serta pemberian waktu dalam bekerja yang layak serta sesuai dengan apa yang telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Pembantu Rumah Tangga Dibawah Umur 1. Gambaran Umum Mengenai Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam kehidupan bermasyarakat dan memenuhi kebutuhan semua orang memenuhinya dengan cara bekerja untuk menghasilkan sesuatu baik barang maupun uang untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam pemenuhan kebutuhan manusia menggunakan tenaga dan pikiran untuk menghasilkan uang dan barang untuk memenuhi kebutuhannya tersebut atau disebut juga dengan bekerja. Perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan
menimbulkan banyak cara manusia untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kemampuan dan teknologi yang ada. Ketenagakerjaan di Indonesia pada era globalisasi sangat dipengaruhi oleh teknologi modern, sehingga banyak tenaga kerja manusia secara manual banyak ditinggalkan oleh banyak instansi maupun masyarakat yang dahulu menggunakan tenaga manusia secara manual. Pada saat era globalisasi tersebut banyak kenyataan bahwa diindonesia pemutusan hubungan kerja secara besarbesaran dan banyak pengangguran yang merajalela, oleh karena itu banyak tenaga kerja yang melakukan kerja apa adanya dan tidak memperhatikan apa yang seharusnya dilakukan dengan tidak bertentangan dengan hukum. Kurangnya lapangan pekerjaan, menimbulkan semakin banyaknya pengangguran di Indonesia. Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 113,74 juta orang, bertambah 1,79 juta orang dibanding jumlah angkatan kerja Agustus 2008 sebesar 111,95 juta orang, atau bertambah 2,26 juta orang dibanding Februari 2008 sebesar 111,48 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 104,49 juta orang, bertambah 1,94 juta orang dibanding keadaan pada Agustus 2008 sebesar 102,55 juta orang, atau bertambah 2,44 juta orang dibanding keadaan Februari 2008 sebesar 102,05 juta commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
orang. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 8,14 persen, mengalami penurunan apabila dibandingkan pengangguran Agustus 2008 sebesar 8,39 persen, dan pengangguran Februari 2008 sebesar 8,46 persen. Dibanding Februari 2008, hampir seluruh sektor mengalami peningkatan lapangan kerja, kecuali sektor konstruksi yang mengalami penurunan lapangan kerja sebanyak 120 ribu orang dan sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi yang . Sektor yang mengalami kenaikan terbesar adalah sektor perdagangan yaitu naik 1,16 juta orang, sektor jasa kemasyarakatan naik 830 ribu orang, dan sektor pertanian naik 340 ribu orang. Pada Februari 2009, jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan sebanyak 28,91 juta orang (27,67 persen), berusaha dibantu buruh tidak tetap sebanyak 21,64 juta orang (20,71 persen) dan berusaha sendiri sejumlah 20,81 juta orang (19,92 persen). Berdasarkan jumlah jam kerja maka pada Februari 2009 penduduk yang bekerja diatas 35 jam per minggu mencapai 73,12 juta orang (69,98 persen), sedangkan yang bekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari 8 jam per minggu hanya sekitar 1,58 juta orang (1,51 persen). Pekerja dengan pendidikan SD ke bawah mengalami penurunan sebanyak 190 ribu orang dalam setahun terakhir (Februari 2008 – Februari 2009), namun jumlahnya masih tetap mendominasi lapangan kerja di Indonesia yaitu sebanyak 55,43 juta orang (53,05 persen) pada Februari 2009 (http:// www.Depnaker.go.id/modules=251).
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Mengenai Ketenagakerjaan Aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan salah satunya adalah aktivitas ketenagakerjaan. Aktivitas tersebut dalam negara Indonesia diatur dengan undang-undang yang diberlakukan secara formal yang dibuat oleh lembaga yang berwenang. Undang-undang yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Keberlakuan undang-undang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
tersebut diharapkan dapat mengatur, menyelaraskan, menyeimbangkan dan mampu memenuhi apa yang diinginkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan seperti tenaga kerja itu sendiri sebagai subyek yang melakukan secara langsung suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh yang mempunyai kerja atau yang membutuhkan tenaga kerja agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan salah satu pihak atau semua pihak. Oleh karena itu dalam undang-undang tersebut mengatur perjanjian kerja antar pihak. a. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Undang-undang tersebut diberlakukan dengan latar belakang bahwa
pembangunan
nasional
dilaksanakan
dalam
rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera adil makmur yang merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan, sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan
serta
peningkatan
perlindungan
tenaga
kerja.
Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hakhak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. b. Pengaturan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dalam UndangUndang Nomor 13 tahun 2003 Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak, ini jelas bahwa dalam dunia usaha yang membutuhkan tenaga kerja, tidak diperkenankan menggunakan tenaga kerja dibawah umur. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
Pasal 69 Undang-Undang ketenagakerjaan mengatur: 1) Ketentuan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
68
dapat
dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. 2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 69 ayat (1) UndangUndang ketenagakerjaan harus memenuhi persyaratan : a) izin tertulis dari orang tua atau wali; b) perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c) waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d) dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; e) keselamatan dan kesehatan kerja; f) adanya hubungan kerja yang jelas; dan g) menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Pasal 70 Undang-Undang ketenagakerjaan,mengatur anak dibawah umur sebagai berikut: 1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. 2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun. 3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat : a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Pasal 71 Undang-Undang Ketenagakerjaan, juga mengatur mengenai bakat dan minat anak, bukan sebagai pembantu rumah tangga dibawah umur. Ketentuannya sebagai berikut: 1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. 2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. 3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 72 Undang-Undang ketenagakerjaan, mengatur mengenai anak yang melakukan pekerjaan dibawah umur yaitu dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. Pasal 73 Undang-Undang ketenagakerjaan, mengatur pembuktian anak telah bekerja yaitu anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 Undang-Undang ketenagakerjaan, mengatur mengenai orang-orang yang terlibat dalam memperkerjakan anak dibawah umur, yaitu sebagai berikut: 1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. 2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a) segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
b) segala
pekerjaan
menawarkan
anak
yang
memanfaatkan,
untuk
pelacuran,
menyediakan, produksi
atau
pornografi,
pertunjukan porno, atau perjudian; c) segala
pekerjaan
yang
memanfaatkan,
menyediakan,
atau
melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau d) semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. 3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 75 Undang-Undang ketenagakerjaan, mengatur mengenai kewajiban pemerintah mengenai pekerja anak dibawah umur yaitu: 1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. 2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Dibawah Umur Pengaturan perlindungan hukum tenaga kerja dibawah umur berkaitan dengan aturan–aturan yang lain yang tujuannya untuk melindungi tenaga kerja dibawah umur secara umum. Mengenai perlindungan anak, anak yang dimaksud adalah yang dibawah 18 tahun. Ketentuan mengenai anak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 yang penyusunannya ditujukan untuk melindungi anak. Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan setiap warga negaranya termasuk perlindungan terhadap anak. Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Bangsa Indonesia adalah negara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
yang besar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan masa depan negara. Agar setiap anak nantinya dapat menjadi penerus generasi bangsa, maka perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh optimal dan perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan. Selain itu juga memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya, serta perlakuan tanpa diskriminasi. Tujuan adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sehingga anak tidak sepantasnya bekerja masih dibawah umur, karena tidak sesuai dengan tujuan Undang-Undang ini. Kaitannya dengan tenaga kerja dibawah umur atau pembantu rumah tangga dibawah umur tidak mendukung tujuan dari negara untuk mewujudkan generasi yang berkualitas. Untuk menciptakan generasi yang berkualitas perlu kebebasan anak untuk berkembang,sehingga apabila ada pekerja anak dibawah umur, hal ini menyalahi undang-undang yang telah berlaku. Menurut Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, perlindungan khusus bagi anak yang yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual merupakan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi dilakukan melalui: a.
Penyebarluasan, sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan yang dieksploitasi secara ekonomi. Seperti Undang-Undang ketenagakerjaan.
b.
Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
c.
Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secara ekonomi. Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Anak, juga mengatur
larangan setiap orang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh lakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak. Dalam ketentuan ini terlihat jelas, bahwa orang tua, masyarakat, maupun anak itu sendiri melakukan eksploitasi anak secara ekonomi. Pembantu rumah tangga dibawah umur merupakan salah satu tindakan eksploitasi anak secara ekonomi. Hal tersebut dapat ditindak secara hukum, meskipun atas kemauan anak sendiri. Dan juga merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap anak agar dapat hidup lebih layak dan berkualitas sebagaimana anak-anak yang lainnya. Kecenderungan anak yang melakukan pekerjaan dibawah umur, karena keadaan ekonomi keluarga yang dibawah garis kemiskinan, sehingga anak terpaksa melakukan pekerjaan yang belum sesuai dengan usiannya. Secara sosial hal ini diakibatkan karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat sekitar, sehingga tidak menimbulkan suatu alasan untuk tidak melakukan hal ini. Dapat dimengerti, semua berkaitan dengan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat
itu
sendiri.
Orang
tua,
keluarga,
dan
masyarakat
bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi anak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintahan bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal dan terarah. Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggung-jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga
kesatuan dan persatuan
bangsa. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, sejak dari janin sampai berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, UndangUndang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas: a. non diskriminasi b. kepentingan yang terbaik bagi anak c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan, dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat melalui lembaga perlindungan anak, lembaga
keagamaan,
lembaga
swadaya
masyarakat,
organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha yang membutuhkan tenaga kerja. Hal ini berkaitan dengan perlindungan tenaga kerja dibawah umur. a. Nilai Anak Nilai anak dalam masyarakat sangat beragam, bergantung lingkungan sosial budaya masyarakat, tetapi yang pasti dari masa ke masa selalu mengalami pergeseran. Pemahaman akan nilai anak sangat penting karena persepsi nilai anak akan mempengaruhi pola asuh orang tua dan masyarakat terhadap anak, serta kebijakan negara/pemerintah terhadap dunia anak. Ada 3 (tiga) pandangan utama tentang anak. Pertama, anak sebagai nilai sejarah, yang berkembang di dalam keluarga raja, elite penguasa, yang dalam perkembangannya diikuti oleh komunitas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
penyangga keberadaan elite penguasa tersebut yaitu keluarga priyayi. Perspektif anak sebagai nilai sejarah berarti anak harus meneruskan sejarah dinasti, sejarah garis keturunan ke depan. Raja atau pemimpinpemimpin masyarakat di masa lalu sangat membanggakan anak lakilaki, karena secara tradisi laki-lakilah yang bisa menggantikan posisinya sebagai raja. Kedua, nilai ekonomi. Nilai ini tumbuh pada lapisan masyarakat umum dipandang sebagai nilai ekonomi karena dari anak-anak akan membantu menyangga kehidupan ekonomi keluarga, apalagi bila orang tua mereka sudah beranjak tua. Dalam realitas sosial, anak-anak di pedesaan sejak usia sangat awal sudah membantu orang tua ikut membawa dagangan ke pasar, mencangkul di sawah, menyiangi rumput di kebun, dan pada saat panen anak-anak dikerahkan untuk ikut memanen hasil pertaniannya, sehingga banyak di antara mereka yang meninggalkan bangku sekolah. Para aktivis perlindungan anak memperkirakan jumlah anak dipekerjakan mencapai 6000 hingga 12.000
orang,
Komisi
Perlindungan
Anak
Indonesi
(KPAI)
memperkirakan jumlah pekerja anak mencapai 2.685 juta anak. Mereka tidak hanya bekerja pada sektor domestik atau pekerjaan membantu meringankan beban orang tua seperti merumput, mencari kayu bakar, mengambil air di sumur, tetapi bekerja di sektor formal. Tidak jarang mereka bekerja pada area yang membahayakan dan membunuh masa depan anak-anak, yang disebut sebagai jenis-jenis pekerjaan terburuk. Ketiga, pandangan bahwa anak adalah amanah Tuhan yang harus dirawat, diasuh, dididik sesuai potensi yang dimiliki. Pandangan yang lebih religius ini melihat, anak bukan sekedar anak keturunan biologis dari seseorang, tetapi titipan Tuhan yang harus dijaga keberadaan dan kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, tanggung jawab orang tua terhadap anak bukan hanya tanggung jawab pribadi atau antar-manusia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
saja, tetapi ada tanggung jawab transendental antara manusia dengan Tuhan ( KPAI, laporan tahunan, 2009) b. Perspektif Hak Asasi Manusia Nilai anak yang kemudian dijadikan norma universal adalah bahwa anak juga dilihat sebagai manusia utuh, yang oleh karenanya memiliki hak asasi yang harus dilindungi. Perlindungan anak, dengan demikian merupakan bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia. Pasal 1 Deklarasi Universal Hak asasi Manusia misalnya menyebutkan bahwa : ”Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai budi dan hati nurani dan kehendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan”. Sementara pada Pasal 2 Deklarasi Universal tersebut menyatakan : ”Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya ....”. Berkaitan dengan hukum, Pasal 9 menyebutkan, ”Tidak seorang pun dapat ditangkap, ditahan, atau diasingkan secara sewenangwenang”. Dan untuk anak-anak, pada Pasal 25 ayat (2) disebutkan: ”Ibu dan anak-anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama”. Seorang expert tentang perlindungan anak Peter Newel, mengemukakan beberapa alasan subyektif dari sisi keberadaan anak sehingga anak membutuhkan perlindungan, yaitu: 1) Biaya untuk melakukan pemulihan (recovery) akibat dari kegagalan dalam memberikan perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
2) Anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas perbuatan (action) ataupun tidak adanya/dilakukannya perbuatan (unaction) dari pemerintah ataupun kelompok lainnya; 3) Anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam pemberian pelayanan publik; 4) Anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan loby untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah; 5) Anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan dan pentaatan hak-hak anak; 6) Anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan (http://hukum.unsrat.ac.id/mk/mk_6_2009.pdf). c. Konvensi Hak-Hak Anak Tuntutan para aktivis perempuan banyak mendapat respon dari komponen masyarakat termasuk para pemimpin-pemimpin dunia. Pada tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa, yang dikenal sebagai ”Deklarasi Jenewa”. Perkembangan penting dalam sejarah hak asasi manusia (HAM) terjadi pada tanggal 10 Desember 1948 ketika PBB mengadopsi Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia, yang kemudian dikenal sebagai ”Hari Hak Asasi Manusia Sedunia”. Beberapa hal menyangkut hak khusus anak tercantum di dalam deklarasi ini. Walaupun ketentuan tentang anak sudah masuk dalam Deklarasi Universal untuk Hak Asasi Manusia, tetapi para aktivis perlindungan anak masih menuntut adanya ketentuan-ketentuan khusus. Tuntutan tersebut direspon, ketika pada tahun tanggal 20 November 1959, Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan yang disebut sebagai
Deklarasi
Hak
Anak,
dimana
merupakan
deklarasi
internasional kedua, yang antara lain menyatakan: ”Anak harus menikmati perlindungan khusus dan harus diberikan kesempatan dan fasilitas, oleh hukum atau peraturan lainnya, untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
memungkinkan tumbuh jasmaninya, rohaninya, budinya, kejiwaannya, dan kemasyarakatannya dalam keadaan sehat dan wajar dalam kondisi yang bebas dan bermartabat. Dalam penetapan hukum untuk tujuan ini, perhatian yang terbaik pada saat anak harus menjadi pertimbangan utama.” (Asas 2). Jalan ke arah realisasi pemenuhan hak-hak anak sebagaimana tertuang dalam dua deklarasi internasional terjadi pada tahun 1979, ketika tahun 1979 dicanangkan sebagai ”Tahun Anak Internasional”. Untuk momentum ini, pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal mula perumusan Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child/CRC). Pada tahun 1989, rancangan konvensi hak anak diselesaikan dan pada tahun ini pula naskah akhir disyahkan dengan bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989, yang dituangkan dalam Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. Sejak itulah, anak-anak di seluruh dunia memperoleh perhatian secara khusus dalam standar internasional. Konvensi Hak Anak diratifikasi oleh hampir semua anggota PBB, yang menandakan bahwa semua bangsa di dunia sepakat dan sepaham untuk terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi hak anak tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasi konvensi hak anak berdasarkan Keppres Nomor 36 Tanggal 25 Agustus 1990. Konvensi hak anak terdiri dari 54 (lima puluh empat) pasal yang berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-ahak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara pihak yang meratifikasi konvensi hak anak. Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam konvensi hak anak tersebut dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak yaitu: 1) Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak dalam
konvensi hakuseranak yang meliputi hak untuk commit to
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to the highest standard of health and medical care attainable). 2) Hak terhadap Perlindungan (protection right), yaitu hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga dan anak-anak pengungsi. 3) Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights), yaitu hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non-formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak. 4) Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views in all matters affecting that child). Dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum, ia termasuk klaster perlindungan khusus. Beberapa pasal yang berhubungan dengan perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum adalah: Pasal 37 menyebutkan, negara-negara peserta harus menjamin bahwa: 1) Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi, atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
2) Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan Undang-Undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat. 3) Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara yang mengikat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada
umumnya.
Terutama,
setiap
anak
yang
dirampas
kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali penempatan tersebut diangap demi kepentingan si anak dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan kontak dengan keluarga melalui surat menyurat dan kunjungan, kecuali bila
dalam
keadaan-keadaan luar biasa. 4) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk menyangkat keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, mandiri dan adil, dan atas putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu. Pada Pasal 40 Konvensi Hak Anak cukup rinci diuraikan bagimana Negara melindungi anak yang berkonflik dengan hukum: 1) Negara-negara peserta mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain, dan yang
memperhatikan
umur
commit to user
anak
dan
keinginan
untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif masyarakat. 2) Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen internasional yang relevan, maka negara-negara pihak, terutama, harus menjamin bahwa: a) Tidak seorang anak pun dapat dimintakan, dituduh, atau diakui telah melanggar hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada waktu perbuatan-perbuatan itu dilakukan; b) Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum pidana, paling sedikit memiliki jaminanjaminan berikut: (1) Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum; (2) Diberi informasi segera dan langsung mengenai tuduhantuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali hukumnya, dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lainnya yang tepat dalam mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya; (3) Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang berwenang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu pemeriksaan yang adail menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam kepentingan terbaik bagi si anak, terutama, dengan memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya; (4) Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah, untuk memeriksa para saksi yang berlawanan, dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
untuk memperoleh keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-syarat keadilan; (1) Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka putusan ini dan setiap upaya yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali oleh penguasa lebih tinggi yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan pengadilan menurut hukum; (2) Mendapat seorang penterjemah dengan cuma-cuma kalau anak itu tidak mengerti atau berbicara dengan bahasa yang digunakan; (3) Kerahasiannya dihormati dengan sepenuhnya pada semua tingkatan persidangan. 3) Negara-negara pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan Undang-Undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembagalembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana, terutama: a) Pembentukan umur minimum, di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana; b) Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya; 4) Berbagai
pengaturan,
seperti
perawatan,
bimbingan
dan
pengawasan, perintah, penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu cara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan dengan keadaan-keadaan mereka maupun pelanggaran tersebut. Indonesia merupakan salah satu
negara yang
meratifikasi
konvensi hak anak oleh karena itu ia memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan dalam hukum positif secara nasional yang memiliki kekuatan hukum mengikat bagi warga negaranya. d. Definisi Anak Setiap negara memiliki definisi yang tidak sama tentang anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa, di dalam Convention on the Right of the Child (CRC) atau konvensi hak anak menetapkan definisi bahwa ”Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun kecuali menurut Undang-Undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa ”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Semestinya setelah lahir Undang-Undang Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan sebagai lex spesialist, semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus menyesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan yang berkaitan dengan pemenuhan hak anak. Dalam kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Masih banyak disharmonisasi perundang-undangan yang berkaitan dengan anak. Beberapa Undang-Undang bisa disebutkan: 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi lakilaki. 2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak mendefiniskian anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin. 3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefinisikan Anak adalah orang yang dalam perkara Anak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
Nakal telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin. 5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun. 6) Dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
B. Penerapan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Terhadap Pembantu Rumah Tangga Dibawah Umur 1. Kondisi Umum Tenaga Kerja di Indonesia Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 113,74 juta orang, bertambah 1,79 juta orang dibanding jumlah angkatan kerja Agustus 2008 sebesar 111,95 juta orang, atau bertambah 2,26 juta orang dibanding Februari 2008 sebesar 111,48 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 104,49 juta orang, bertambah 1,94 juta orang dibanding keadaan pada Agustus 2008 sebesar 102,55 juta orang, atau bertambah 2,44 juta orang dibanding keadaan Februari 2008 sebesar 102,05 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2009 mencapai 8,14 persen, mengalami penurunan apabila dibandingkan pengangguran Agustus 2008 sebesar 8,39 persen, dan pengangguran Februari 2008 sebesar 8,46 persen. Dibanding Februari 2008, hampir seluruh sektor mengalami peningkatan lapangan kerja, kecuali sektor konstruksi yang mengalami penurunan lapangan kerja sebanyak 120 ribu orang dan sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi yang menurun sebanyak 60 ribu orang. Sektor yang mengalami kenaikan terbesar adalah sektor perdagangan yaitu naik 1,16 juta orang, sektor jasa kemasyarakatan naik 830 ribu orang, dan sektor pertanian naik 340 ribu orang (http://www.depnaker.go.id) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
Pada Februari 2009, jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan sebanyak 28,91 juta orang, berusaha dibantu buruh tidak tetap sebanyak 21,64 juta orang dan berusaha sendiri sejumlah 20,81 juta orang. Berdasarkan jumlah jam kerja maka pada Februari 2009 penduduk yang bekerja diatas 35 jam per minggu mencapai 73,12 juta orang, sedangkan yang bekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari 8 jam per minggu hanya sekitar 1,58 juta orang. Pekerja dengan pendidikan SD ke bawah mengalami penurunan sebanyak 190 ribu orang dalam setahun terakhir (Februari 2008 – Februari 2009), namun jumlahnya masih tetap mendominasi lapangan kerja di Indonesia yaitu sebanyak 55,43 juta orang pada Februari 2009 (http://www.depnaker.go.id). a. Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Pengangguran Keadaan ketenagakerjaan di Indonesia pada semester pertama tahun 2009 pada umumnya masih normal dan belum menggambarkan dampak krisis ekonomi global yang terjadi pada saat ini. Aktifitas ekonomi
menjelang
pemilu
legislatif
sedikit
banyak
diduga
mempengaruhi penyerapan tenaga kerja pada Februari 2009. Kondisi ini terlihat pada situasi ketenagakerjaan, yang masih diwarnai dengan adanya peningkatan mereka yang bekerja selama setahun terakhir. Pada bulan Februari 2009, jumlah angkatan kerja mencapai 113,74 juta orang naik 1,79 juta orang dibanding keadaan Agustus 2008, dan naik 2,26 juta orang dibanding keadaan Februari 2008. Penduduk yang bekerja pada Februari 2009 bertambah sebanyak 1,94 juta orang dibanding keadaan Agustus 2008 dan bertambah 2,44 juta orang dibanding keadaan setahun yang lalu (Februari 2008). Jumlah penganggur pada Februari 2009 mengalami penurunan sekitar 130 ribu orang jika dibanding keadaan Agustus 2008, dan mengalami penurunan 170 ribu orang jika dibanding keadaan Februari 2008. Peningkatan jumlah tenaga kerja serta penurunan angka pengangguran telah menaikkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
(TPAK) sebesar 0,27 persen antara Februari 2008 sampai Februari 2009 (http://www.depnaker.go.id). b. Lapangan Pekerjaan Jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2009 lebih tinggi dibanding keadaan Februari 2008, dan kenaikan terjadi pada sebagian besar lapangan pekerjaan utama, kecuali sektor konstruksi yang mengalami penurunan lapangan kerja sebanyak 120 ribu orang dan sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi yang menurun sebanyak 60 ribu orang. Sektor yang mengalami kenaikan terbesar adalah sektor perdagangan yang naik 1,16 juta orang, sektor jasa kemasyarakatan naik 830 ribu orang, dan sektor pertanian naik 340 ribu orang. Meskipun secara umum dampak krisis global belum tercermin pada situasi ketenagakerjaan (khususnya pengangguran) pada Februari 2009, akan tetapi kenaikan tenaga kerja terutama hanya terjadi pada lapangan kerja tradisional yang tidak membutuhkan keahlian khusus, yaitu sektor pertanian, perdagangan, dan jasa kemasyarakatan (http://www.depnaker.go.id). c. Status Pekerjaan Secara kasar, kegiatan formal dan informal dari penduduk yang bekerja dapat diidentifikasi berdasarkan status pekerjaan. Dari tujuh kategori status pekerjaan utama, pekerja formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh atau karyawan, sisanya termasuk pekerja informal. Berdasarkan klasifikasi ini, maka pada Februari 2009 sekitar 30,51 persen bekerja pada kegiatan formal dan 69,49 persen bekerja pada kegiatan informal. Dari 104,49 juta orang yang bekerja pada Februari 2009, status pekerjaan utama yang terbanyak adalah sebagai buruh atau karyawan sebesar 28,91 juta orang, berusaha dibantu buruh tidak tetap sebesar 21,64 juta orang, dan berusaha sendiri sejumlah 20,81 juta orang, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
sedangkan yang terkecil adalah berusaha dibantu buruh tetap sebesar 2,97 juta orang. Jika dibanding keadaan setahun yang lalu, struktur pekerja
menurut
status
pekerjaan
relatif
stabil
namun
ada
kecenderungan peningkatan pada kelompok kegiatan informal, khususnya pada status berusaha sendiri dan pekerja keluarga (http://www.depnaker.go.id). d. Penduduk yang Bekerja menurut Jumlah Jam Kerja Secara umum, komposisi jumlah orang yang bekerja menurut jam kerja tidak mengalami perubahan berarti dari waktu ke waktu, namun ada kecenderungan peningkatan jumlah jam kerja pada kelompok 35 jam keatas. Pada Februari 2009, pekerja dengan jumlah jam kerja 35 jam keatas seminggu yang lazim dianggap sebagai pekerja penuh (full time worker) jumlahnya mencapai 73,12 juta orang atau sekitar 69,98 persen dari total penduduk yang bekerja. Sementara itu penduduk yang bekerja kurang dari 8 jam seminggu porsinya relatif kecil, yaitu hanya 1,58 juta orang, atau sekitar 1,51 persen (http://www.depnaker.go.id). e. Penduduk yang bekerja menurut pendidikan Pada bulan Februari 2009, jumlah penduduk yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan mengalami kenaikan untuk hampir semua golongan pendidikan jika dibandingkan keadaan Agustus 2008, kecuali untuk pekerja dengan pendidikan diploma yang mengalami penurunan sebanyak 100 ribu orang. Begitu juga jika dibandingkan dengan keadaan setahun yang lalu, dimana penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan mengalami kenaikan untuk hampir semua golongan pendidikan, kecuali pekerja dengan pendidikan SD ke bawah yang menurun sebanyak 190 ribu orang. Meskipun secara rata-rata terdapat kenaikan tingkat pendidikan pekerja di Indonesia, tetapi jumlah pekerja pada jenjang pendidikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
SD ke bawah masih tetap tinggi, pada Februari 2009 jumlahnya masih sekitar 55,43 juta orang. Pekerja dengan pendidikan tinggi secara absolut jumlahnya masih relatif kecil, pekerja dengan pendidikan Diploma I/II/III hanya sebesar 2,68 juta orang dan pekerja dengan pendidikan sarjana hanya sebesar 4,22 juta orang (http://www.depnaker.go.id). f. Persentase Tingkat Pengangguran menurut Pendidikan Jumlah pengangguran pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta orang atau 8,14 persen dari total angkatan kerja. Secara umum tingkat pengangguran terbuka (TPT) total cenderung menurun dibanding TPT Agustus 2008 sebesar 8,39 persen, dan TPT Februari 2008 sebesar 8,46 persen. Jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2008, TPT untuk sebagian besar tingkat pendidikan mengalami penurunan, kecuali TPT untuk pendidikan diploma dan universitas yang mengalami kenaikan. Antara Agustus 2008 ke Februari 2009 TPT untuk pendidikan diploma meningkat dari 11,21 persen menjadi 15,38 persen, dan TPT untuk pendidikan universitas naik dari 12,59 persen menjadi 12,94 persen. Pada semester ini TPT untuk pendidikan SMK adalah yang tertinggi yaitu sebesar 15,69 persen (http://www.sekretariatnegaraRI/ketenagakerjaan).
2. Penerapan pengaturan terhadap tenaga kerja Pembantu Rumah Tangga Dibawah umur a. Perlindungan Anak Di Indonesia Komitmen negara terhadap perlindungan anak, sesungguhnya telah ada sejak berdirinya negara ini. Hal itu bisa dilihat di dalam konstitusi dasar kita, pada Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan didirikannya negara ini antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
implisit, kata kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa didominasi oleh konotasi anak karena mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya, dilakukan melalui proses pendidikan, di mana ruang-ruang belajar pada umumnya berisi anak-anak dari segala usia. Anak secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 34 pada bagian batang tubuh yang berbunyi: ”Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Ketika Konvensi Hak Anak dideklarasikan Indonesia termasuk negara yang ikut aktif membahas dan menyetujuinya. Tidak sampai satu
tahun
sejak
ditetapkannya
CRC,
pemerintah
Indonesia
meratifikasi melalui Keppres Nomor 36 tanggal 25 Agustus 1990. Meratifikasi, berarti negara secara hukum internasional terikat untuk melaksanakan isi ratifikasi tersebut, yang tercermin dalam regulasi yang disusun serta implementasinya. Oleh karena itu sejak tahun 1990, Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub dalam Konvensi Hak Anak. (http://www.bing.com/search?q=konvensi+hak+anak&go=&form=QB RE&qs=n&sk=). Tahun 1997 pemerintah mengintrodusir Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dengan segala kelemahannya, untuk masanya, Undang-Undang ini dipandang sebagai bagian dari perhatian negara terhadap anak. Tidak bisa dilupakan pula, bahwa pada tahun 1999 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undangundang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya menyebutkan tentang anak. Kelahiran Undang-undang ini dinilai sebagai awal mula Indonesia secara lebih serius memperhatikan hak asasi manusia, setelah lebih dari 30 tahun masyarakat Indonesia hidup di bawah rezim Orde Baru yang menindas dan banyak melakukan perampasan terhadap hak asasi manusia. (http://www.komnaspa.or.id/pdf/UUPengadilanAnak.pdf) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
Tetapi puncak perjuangan perlindungan anak terjadi pada tahun 2002 ketika instrumen regulasi memberikan komitmen yang lebih jelas terhadap perlindungan anak. Pertama amandemen UUD 1945, dengan memunculkan pasal tambahan tentang anak, yakni pada Pasal 28 B ayat (2) yang berbunyi: ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Kedua, dengan diintrodusirnya Undang-Undnang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Walaupun di dalam konsideran tidak mencantumkan konvensi hak anak tetapi sangat jelas bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan turunan subtantif dari konvensi hak anak. Hal ini dibuktikan dengan: 1) Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi: a) Non diskriminasi; b) Kepentingan yang terbaik bagi anak; c) Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d) Penghargaan terhadap pendapat anak. 2) Pada penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan, bahwa hak anak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 dan prinsip-prinsip pokok yang tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak. 3) Pasal-pasal yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya menyangkut hak-hak anak sangat mirip dengan Konvensi Hak Anak, kecuali masuknya Pasal 19 yang berisi kewajiban anak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
Berkaitan dengan anak yang berhadapan atau berkonflik dengan hukum, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 memuat beberapa pasal, di antaranya Pasal 16 yang menyatakan bahwa : 1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. 3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara bagi anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasal 17 menyatakan bahwa: 1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: a) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. 2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Sementara itu pada Pasal 18 dinyatakan bahwa, ”Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”. Pada Pasal 59 disebutkan bahwa “pemerintah dan lembaga negara
lainnya
berkewajiban
dan
bertanggung
jawab
untuk
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,...”. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
Kemudian pada Pasal 64 dicantumkan beberapa butir yang lebih rinci sebagai berikut: a) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan
masyarakat. b) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud ayat 10 dilaksanakan melalui: a) Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b) Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c) Penyediaan sarana dan prasarana khusus; d) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e) Pemantauan
dan
pencatatan
terus
menerus
terhadap
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan g) Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. b. Paradigma Keadilan Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum 1) Pengertian Keadilan Bagi anak yang berkonflik dengan hukum Pengertian keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah dipastikannya semua anak untuk memperoleh layanan dan perlindungan secara optimal dari sistem peradilan dan proses hukum. Targetnya adalah bahwa noma-norma, prinsip dan standar hak-hak anak secara penuh diaplikasikan untuk semua anak tanpa kecuali, ketika mereka berhadapan dengan hukum, baik ia sebagai korban, saksi, maupun ketika diduga, didakwa atau telah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
dinyatakan sebagai pelaku pelanggar tidak pidana, atau yang selanjutnya disebut sebagai anak-anak yang behadapan atau berkonflik dengan hukum. Anak berhadapan dengan hukum diartikan ketika anak dalam posisi sebagai korban, sedangkan anak berkonflik dengan hukum ketika anak diposisikan sebagai tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana. Akses terhadap keadilan bagi anak juga bertujuan agar mereka dapat mencari dan mendapatkan pemulihan dalam proses peradilan, baik pidana maupun perdata. Kelompok kerja akses tterhadap keadilan Bappenas meyakini, bahwa akses terhadap keadilan hanya dapat dicapai apabila inisiatif pemberdayaan hukum juga mengikutsertakan anak. Setiap anak harus diberikan pengetahuan
dan
pemahaman
mengenai
hak-haknya
yang
dilindungi oleh hukum serta kepada masyarakat agar dukungan terhadap pemenuhan hak-hak anak juga didapatkan dari lingkungan sosial. Satu kenyataan bahwa hambatan akses terhadap keadlan bagi anak justeru sering datang dari masyarakat itu sendiri, yang menyebabkan perilaku birokrasi dan aparat penegak hukum memperoleh legitimasi dalam memperlakukan anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Isu anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia belakangan menjadi isu yang banyak menyedot perhatian para aktivis dan pengamat perlindungan anak karena setiap tahun jumlahnya terus bertambah. Setiap tahun sekitar 6000 anak menghuni Lapas Anak, dan masih ribuan lagi anak-anak yang berada di Lapas Dewasa, atau tempat-tempat tahanan lainnya (http://rezalubis.wordpress.com/2011/05/07/artikelperlindunganhukum-abh/). 2) Prinsip-Prinsip Keadilan Bagi Anak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
Perlindungan anak dan akses keadilan bagi anak adalah bagian dari implementasi nilai-nilai hak asasi manusia berdasarkan prinsip-prinsip : non-diskriminasi; kepentingan terbaik bagi anak; kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Dari prinisip dasar perlindungan anak tersebut, serta elaborasi dari sekian instrument internasional,
kiranya dapat
dibreackdown dalam 12 (Dua belas) prinsip-prinsip keadilan seperti diuraikan di bawah ini. a) Pelaku adalah korban Pelaku kenakalan anak adalah korban. Memang, mungkin terbukti anak yang melakukan sebuah tindak kenakalan, memang anak melanggar hukum positif, memang atas kelakukannya mungkin akan mengganggu tertib sosial, memang karena kenakalannya membuat publik marah, dan memang karena ulahnya ada pihak yang dirugikan, bahkan karena kenakalannya akan mendatangkan kematian dan siksa orang lain, namun apapun alasannya, sesungguhnya dia adalah korban. Dia korban dari perlakuan salah orang tuanya, dia korban dari pendidikan guru-gurunya, dia korban keijakan pemerintah lokal, atau dia korban dari lingkungan sosial yang memberikan tekanan psikis sehingga anak-anak melakukan sesuatu yang seharusnya belum/tidak dilakukan, bahkan karena suatu nilainilai terinternalisasi sejak usia dini maka ia tidak tahu bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah pelanggaran hukum. b) Pertimbangan Kepentingan terbaik Membangun masa depan adalah membangun dunia anak. Program-program pembangunan ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, dan lainnya, termasuk penghargaan akan hak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
asasi manusia adalah kehendak untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik daripada hari ini untuk anak-anak. Kenyataan tersebut diakui oleh para pemimpin Negara di berbagai belahan dunia. UNICEF dalam salah satu catatan akhir tahunnya (2007), menyatakan bahwa ukuran sejati pencapaian sebuah bangsa dan keselamatannya, kesejahteraannya, pendidikan dan sosialisasinya dan perasaan dikasihi, dihargai dan diikut sertakan di dalam keluarga-keluarga dan masyarakat tempat mereka dilahirkan. Perhatian terhadap dunia anak adalah ukuran sejauh mana sebuah masyarakat menempatkan posisi anak di dalam pembangunan nasionalnya. Dengan prinsip tersebut, penanganan anak berkonflik hukum hendaknya harus memastikan jaminan: (1) Anak tidak terputus hubungannya dengan orang tua. Aparat penegak hukum tidak akan pernah menahan anak
tanpa
sepengetahuan
orang
tuanya.
Selama
penyelidikan, penyidikan, dan pembuatan berita acara pemeriksaan harus didampingi orang tua atau wali. Polisi akan membatalkan segala tindakan terhadap anak selama anak tidak didampingi oleh orang tuanya. Apabila dengan sangat terpaksa terjadi penahanan anak, akses komunikasi orang tua terhadap anak harus dibuka seluas-luasnya tanpa batas waktu dan tempat. Penghalangan komunikasi orang tua dengan anak yang berkonflik dengan hukum oleh aparat hukum adalah sebuah kejahatan aparat Negara dan harus memperoleh hukuman berat. Untuk menjamin berjalannya prinsip ini, Negara harus memperbanyak “Polisi Anak”, “Jaksa Anak”, dan “Hakim Anak”. Aparat penegak hukum anak tersebut harus tersedia pada setiap unit terendah; Polisi Sektor (Polsek) untuk “Polisi Anak”, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
“Jaksa Anak” dan “Hakim Anak” untuk unit di Kabupaten/Kota. (2) Anak tidak terputus hak pendidikan, kebudayaan, kan pemanfaatan waktu luang Pendidikan adalah hak tertinggi seorang anak karena dengan hak ini keberlangsungan hidupnya disandarkan, oleh sebab itu tidak boleh ada seorang pun dan satu lembaga pun atas nama apa pun yang berwenang merampas hak pendidikan, minimal 9 tahun atau anak kiraira
berusia
sampai
16
tahun.
Maka
penindakan,
pemidanaan, dan proses peradilan lainnya tidak boleh menghilangkan kesempatan belajar, baik secara fisik maupn secara psikis. Aparat hukum harus memberitahukan kepada guru/kepala sekolah di mana anak belajar atas persoalan yang sedang dihadapi, dan guru atau kepala sekolah diajak berpartisipasi ikut mencari penyelesaian terbaik atas kasus yang menimpa anak didiknya. (3) Anak memperoleh kebutuhan hidup yang memadai sehingga tidak mengganggu tumbuh kembang Polisi, jaksa, dan hakim harus menyediakan ruang khusus untuk anak, sejak dari pemeriksaan, penahanan, dan persidangan. Proses peradilan anak harus batal demi hukum manakala aparat penegak hukum tidak mampu menyediakan sarana dan prasarana primer bagi anak-anak. Ia harus terjamin kebutuhan makan dan minum, buku-buku bacaan sehat, dan sarana bermain/ekspresi lainnya. (4) Anak memperoleh layanan kesehatan Sebelum aparat hukum menindak dan mempidanakan, harus dipastikan anak dalam keadaan sehat. Selama proses peradilan aparat hukum harus menyediakan layanan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
kesehatan yang memadai. Apabila terpaksa anak ditahan, maka aparat penegak hukum harus menyediakan fasilitas kesehatan yang secara rutin memeriksa kesehatan anak. Apabila anak sakit di dalam tahanan, aparat hukum yang menahan harus mempertangung jawabkannya dan anak harus dibebaskan untuk kesempatan pertama/segera. (5) Anak terbebas dari kekerasan dan ancaman kekerasan Aparat penegak hukum adalah teladan bagi anak-anak, oleh karena itu ia harus ramah, berlaku sopan, dan bertindak dengan penuh keadaban terhadap anak. Aparat penegak hukum tidak boleh melakukan tindakan kekerasan atau pun ancaman kekerasan, sekecil apa pun, baik berupa gerakan, kata-kata umpatan atau pelecehan, terleih lagi berupa
tindakan
kekerasan
fisik.
Pelanggaran
atas
ketentuan ini harus memperoleh hukuman berat. (6) Tidak menimbulkan trauma psikis Pemeriksaan terhadap saksi, korban, maupun pelaku harus dilakukan dengan metode khusus dan terlatih. Subyek perempuan hendaknya ditangani oleh aparat penegak hukum perempuan. Aparat penegak hukum tidak akan melecehkan
anak,
dengan
meminta
subyek
anak
memperagakan kejadian yang menyebabkan ia berhadapan dengan hukum, lebih-lebih untuk kasus pelecehan seks. Untuk kasus perkosaan, polisi dilarang keras melibatkan korban untuk kegiatan rekonstruksi peristiwa karena akan memperparah trauma psikis korban, serta mempermalukan di depan umum. (7) Tidak boleh ada stigmasi dan labelisasi pada anak-anak Peradilan terhadap anak adalah bagian dari pendidikan terhadap warga Negara. Oleh sebab itu peradilan anak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
tidak boleh diletakkan sebagai ajang pelampiasan dendam, melainkan pembinaan generasi muda untuk menjadi manusia bertanggung jawab. Oleh sebab itu, asas praduga tak bersalah harus dikedepankan oleh aparat penegak hukum.
Labelisasi
dan
stigmasi
bahwa
ia
nakal/jahat/vandalis/ kriminal/ narapidana, dan sebagainya harus
dihapus
karena
apa
pun
yang
dilakukan
sesungguhnya merupakan bagian perjalanan hidup manusia menemukan jati dirinya. (8) Tidak boleh ada publikasi pengungkapan identitas pada anak yang berkonflik dengan hukum Untuk menghindari labelisasi dan stigmasi di atas, maka seluruh rangkaian peradilan anak bukan untuk konsumsi publikasi. Pelanggar ketentuan ini, baik sumber berita maupun media yang mempublikasikan harus diberi sanksi. Kalau pun ada publikasi, hanya bersifat pengungkapan kasus dalam rangka kontrol masyarakat, dan pembelaan dan advokasi, tetapi bukan sebagai bahan eksploitasi kasus, dan pengungkapan-pengungkapan ala infotaintment. c) Tidak mengganggu tumbuh kembang anak Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum tidak boleh mengganggu tumbuh kembang anak. Seorang anak adalah sosok pribadi otonom yang sedang tumbuh dan berkembang. Ia akan mencapai pertumbuhan (fisik) dan perkembangan (psikis) optimal apabila memperoleh jaminan pemihan hak-haknya serta dilindungi dari perlakuan salah, eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi. Ini berarti sejak dalam kandungan seorang anak tidak boleh kekurangan gisi, tidak boleh menghirup udara kotor, tidak boleh kemasukan zat-zat kimia berbahaya, tidak boleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
menghirup nikotin, dan sebagainya. Setelah lahir pun ia mesti memperoleh asupan gisi yang memadai, pengasuhan yang kondusif, pendidikan yang berkualitas, terhindar dari penyakit menular, serta tingkat kesehatan yang prima. Dalam hal perlindungan khusus tentu saja agar tidak terganggu tumbuh kembang anak maka ia tidak boleh menerima kekerasan apalagi penyiksaan, penelantaran, diperdagangkan, menjadi budak nikotin-minuman keras-narkoba, pornografi, dan perlakuan lain yang membuat waktunya habis dalam tekanan sistematis tanpa mampu melakukan perlawanan dari dalam dirinya. Itulah maka pada tahun 2002 PBB mengeluarkan deklarasi Dunia Yang Layak anak, yang antara lain berisi seruan dari para pemimpin dunia: Kami menegaskan kembali kewajiban untuk bertindak guna meningkatkan dan melindungi hak-ahak setiap anak yaitu setiap umat manusia yang berumur di bawah 18 tahun termasuk para remaja. Kami bertekad untuk menghargai martabat dan mengamankan kesejahteraan semua anak. Kami mengakui bahwa Konvensi Hak-hak Anak, yaitu konvensi yang paling universal cakupannya sepanjang sejarah, serta protokol pilihannya, memuat seperangkat standar legal internasional yang komprehensif bagi perlindungan kesejahteraan anak. Kami
juga
mengakui
pentingnya
instrumen-instrumen
internasional lainnya yang relevan bagi anak-anak. Dengan semangat itu, maka dengan alasan apapun, semua orang dewasa, aparat hukum, apalagi negara, tidak boleh mengenakan perbuatan yang bisa mengganggu tumbuh kembang anak. Tugas orang dewasa adalah membantu tumbuh kembang anak secara optimal, bukan malahan menghambat dan mengganggunya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
d) Penghargaan Pendapat Anak Di dalam masyakat ada stigma bahwa di dalam nilai tawar pskis adalah minor, sedangkan orang dewasa adalah mayor. Pandangan ini berlanjut pada doktrin masyarakat bahwa kebenaran hanya milik orang dewasa yang harus diikuti secara taqlid oleh anak. Orang deawasa adalah subyek yang berhak atas
kata
me
memilihkan,
(memerintah,
mengarahkan,
menentukan member,
dan
masa
depan,
sebagainya),
sedangkan anak adalah obyek yang hanya punya hak kata di (diberi, disuruh, diperintah, diarahkan, ditentukan, diajar, dihukum, dan sebagainya). Prinsip perlindungan anak melihat anak juga sebagai subyek yang memiliki hak asasi manusia. Oleh sebab itu pendapat anak jua harus dihargai. Oleh karena itu, semua aparat penegak hukum yang menangani kasus anak berkonflik hukum harus bertindak professional dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) Memperlakukan anak sebagai pribadi manusia utuh yang sedang berkembang, tidak boleh melihat anak sebagai orang dewasa dalam bentuk mini. (2) Memperlakukan anak yang berhadapan dengan hukum dengangai cara-cara yang persuasif, bukan dengan cara-cara menakut-nakuti,
mengancam,
apalagi
melakukan
penyiksaan (turture). (3) Melibatkan unsur-unsur profesional seperti; pekerja sosial professional (professional sosial worker), psikolog, guru, dan tokoh-tokoh lokal. (4) Aparat penegak hukum tidak hanya berkutat pada pertanyaan
apa
dan
bagaimana
sebuah
tindakan
pelanggaran hukum dilakukan oleh anak, tetapi yang lebih commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
penting adalah menggali pertanyaan mengapa sebuah pilihan tindakan dilakukan. (5) Anak harus diberi kesempatan bicara seluas-luasnya, tidak banyak dipotong oleh pertanyaan-pertanyaan penegak hukum sehingga akan menghambat ekspresi anak. (6) Aparat penegak hukum tidak memberikan vonis-vonis awal yang menimbulkan trauma psikologis seperti; “Bohong, goblog, dasar berandal, bangsat, dasar preman kecil…”, dan sebagainya. (7) Pendapat
anak
harus
menjadi
dasar
utama
dalam
mengambil tindakan hukum selanjutnya. e) Prinsip adil dan setara Prinsip ini mengharuskan aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus anak berhadapan dengan hukum memperlakukan anak-anak tanpa membedakan status sosial, asal usul, agama, ras, dan sebagainya. Menurut Purnyati, sekitar 80 persen anak-anak yang berhadapan dengan hukum berasal dari keluarga di mana orang tuanya bematapencaharian buruh bangunan, karyawan pabrik, pedagang kecil, sopir, dan petani gurem.Menjadi pertanyaan besar mengapa anak-anak yang menjadi penghuni Lapas Anak sebagian besar berasal dari keluarga miskin. Layaklah bila masyarakat menaruh rasa curiga,
jangan-jangan
aparat
penegak
hukum
selalu
mempidanakan anak-anak yang melanggar hukum karena mereka tidak memiliki nilai tawar di hadapan para penegak hukum. Berbeda dengan anak-anak dari kalangan keluarga mampu, yang memiliki akses keadilan dan bargaining position sehingga terhindar dari pemidanaan dan pemenjaraan. Anakanak harus diperlakukan dengan adil dan setara agar ia sejak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
dini belajar tentang keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan sosial. f) Kepastian hukum Anak-anak pada usianya sedang dalam proses belajar menuju kedewasaan, termasuk di dalamnya belajar tentang tanggung jawab sosial, etika, dan adab suatu masyarakat. Oleh karena itu, ia harus diberitahu tentang nilai-nilai yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum. Bila ia melanggar hukum anak harus tahu hukuman apa yang akan diterima, sehingga setiap perbuatan telah diketahui resikonya. Jangan sampai seorang anak dilanda kebingungan sosial karena sebuah tindakan pada suatu kali memperoleh hukuman ringan, suatu kali hukuman berat, suatu kali tidak dihukum, bahkan suatu kali dibiarkan begitu saja. Ketidakpastian hukum akan menjadi awal ketidakpercayaan seorang anak terhadap hukum suatu Negara atau masyarakat, dan kelak akan melahirkan ketidakpedulian hukum. g) Pencegahan Kenakalan Anak Tidak kalah pentingnya adalah aspek preventif atau pencegahan terhadap kenakalan anak . Ini soal yang tidak mudah, tidak hanya menyangkut sejumlah larangan bagi anak untuk melakukan sesuatu yang dianggap tabu atau melanggar hukum, tetapi lebih menciptakan kondisi di mana anak tunduk pada norma-norma tertib sosial. Kenakalan bisa hadir dan diterima oleh masyarakat dalam konteks dan batas-batas pencarian identitas diri dan ekspresi spontan manusiawi, tetapi bukan tindakan yang mendestruktif diri sang anak, serta membahayakan bagi orang lain. Dalam hubungan ini reformasi pendidikan merupakan sebuah kemutlakan. Pendidikan tidak sekedar memberikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
doktrin-doktrin nilai lama yang menjadi kebenaran tidak terbantahkan, tetapi pendidikan yang selain mewariskan nilai lama juga melahirkan kreator. Ini artinya pendidikan harus mampu menggali dan mengembangkan potensi diri seorang anak, sehingga anak mampu menikmati proses pendidikan, bukan merasa tersiksa dan bereaksi dengan melakukan pemberontakan, deviasi sosial, bahkan vandalisme budaya. h) Mindset Peradilan Anak Mindset peradilan anak harus ditinjau kembali bila sungguh-sunguh menginginkan anak-anak mampu memperoleh akses keadilan sejati. Mindset yang ada di kebanyakan Negara, peradilan anak dilahirkan dalam posisi untuk mengadili anak karena anak-anak yang masuk dalam pusaran peradilan dipandang sebagai kriminal yang harus dipenjara. Tidak sedikit yang bahkan yang menatap peradilan anak sebagai ajang pelampiasan balas dendam secara formal dari “orang baikbaik” kepada “anak-anak jahat”. Saatnya dibangun mindset peradilan anak yang dalam semangat melindungi, sehingga ke depan pemikiran-pemikiran yang muncul adalah: (1) Peradilan anak harus merupakan sistem peradilan tersendiri yang bukan merupakan bagian dari sistem peradilan umum. (2) Pertimbangan-pertimbangan dalam peradilan anak bukan hukum ansich, tetapi juga aspek sosial, budaya, moral, dan nilai-nilai lokal. (3) Dasar pemikiran implementasi peradilan anak bukan hukum formal yang jumud, tetapi hukum progresif yang diabdikan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, bukan sebaliknya menindas nilai-nilai kemanusiaan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
(4) Bukan memperbanyak penjara, tetapi mengurangi dan meniadakan penjara anak; (5) Bukan memperbanyak pasal-pasal dalam Undang-Undang peradilan anak, tetapi menghapus pasal-pasal yang mengkriminalisasi anak; (6) Bukan menyesuaikan dengan berbagai ketentuan standar miminal instrument internasional, tetapi malahan jauh melebihi pemenuhannya; (7) Bukan
memperbanyak
polisi
dan
jaksa,
tetapi
memperbanyak psikolog dan pekerja sosial professional; (8) Bukan sibuk mencari pembenaran penghukuman, tetapi mencari langkah-langkah diversi dan restorative justice. (9) Hukuman kepada anak diorientasikan sebagai proses pembelajaran dan penemuan jati diri anak, bukan balas dendam, dan penyiksaan. (10) Sebagai proses pembelajaran, maka hukuman bagi anak dipandang
sebagai
hal
biasa,
tidak
perlu
ada
stigmasi/labelisasi bahwa ia narapidana atau sejenisnya. (11) Tidak ada pemidanaan (straaff) bagi anak, yang ada hanyalah tindakan (maatregel). (12) Aparat
penegak
hukum
sebagai
pelindung,
bukan
pengadilan. i) Pemidanaan sebagai upaya terakhir Prinsip
keadilan
yang
kesembilan
adalah
bahwa
pemindanaan dan pemenjaraan sebagai upaya terakhir. Dengan menyadari bahwa anak melakukan perbuatan tidak sepenuhnya dengan kesadaran dan sesungguhnya merupakan korban dari orang-orang sekitarnya dan lingkungan sosialnya, maka semestinya bahwa pemenjaraan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. Oleh sebab itu, selain diadili, dalam hukum positif commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
kita, ia selain diadili juga harus dilindungi agar tidak semakin jauh terjebak dalam perilaku vandalis. Pasal 37 Konvensi Hak-hak Anak memberikan pesan bahwa: (1) Tidak seorang anak pun akan mengalami siksaan atau kekejaman-kekejaman lainnya, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau yang menurunkan martabat. Baik
hukuman
mati
atau
hukuman
hidup
tanpa
kemungkinan dibebaskan tidak akan dikenakan untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berusia di bawah delapan belas tahun; (2) Tidak seorang anak pun akan kehilangan kebebasannya secara tidak sah dan sewenang-wenang. Penangkapan atau penghukuman anak akan disesuaikan dengan UndangUndang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak; (3) Setiap
anak
yang
dirampas
kebebasannya
akan
diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat seorang manusia dan dengan cara yang memberi perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan orang seusianya. Secara khusus, setiap anak yang dirampas kebebasannya akan dipisahkan dari orang dewasa kecuali bila tidak melakukannya dianggap sebagai kepentingan yang terbaik dari anak yang bersangkutan dan akan mempunyai hak untuk terus mengadakan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan, kecuali dalam keadaan luar biasa;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
(4) Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan mempunyai Hak untuk segera mendapatkan bantuan hukum dan bantuan- bantuan lain yang layak dan mempunyai hak untuk menantang keabsahan perampasan kebebasan itu di depan pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, bebas dan tidak memihak dan berhak atas keputusan yang cepat mengenai tindakan tersebut. Ketentuan tersebut
sudah diadopsi dalam Undang-
Undang Perlindungan Anak yang berarti menjadi hukum positif dengan cukup komprehensif. Gagalnya
aparat
penegak
hukum
membendung
pemidanaan anak akan mengakhiri akses memperoleh keadilan bagi anak karena dalam hukum acara pidana kita, pengadilan tidak berwenang mendeponir sebuah perkara yang sudah dimajukan oleh Kejaksaan. Efek yang akan terjadi adalah: (1) Anak akan mengalami trauma psikososial akut. Kosa kata ”Polisi”, ”Jaksa”, ”Hakim”, ”Sidang Pengadilan” adalah teror mental yang meruntuhkan struktur mental moral anak, dan akan sulit baginya untuk membangun kembali kehidupan yang putih dan indah khas anak-anak. (2) Proses persidangan, betapa pun putusan pengadilan menyatakan bebas, atau mengembalikan kepada orang tua, atau hukuman percobaan, atau bebas bersyarat, tetapi ia telah menerima label sebagai nara pidana, orang hukuman, atau yang sejenisnya. Kata ”diadili” pun sesungguhnya sebuah kata yang sangat menakutkan bagi seorang anak, apalagi bila muara akhir dari pengadilan tersebut adalah pemenjaraan. Pendek kata, proses pemidaan dan pemenjaraan adalah jalan gelap bagi anak-anak, ia meruparakan proses pematian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
masa depan oleh Negara, sehingga bukan sebuah pilihan apa pun alasannya. j) Perhatian Khusus Kelompok Rentan Di antara sekian banyak anak yang berhadapan dengan hukum, terdapat anak-anak yang rentan karena beberapa sebab, katakanlah anak-anak dari kelompok minoritas, anak dari keluarga broken home, anak-anak korban penyalahgunaan narkoba, anak-anak penyandang virus HIV/AIDS, anak-anak disable, dan yang sejenisnya.
Terhadap mereka, harus
memperoleh perhatian lebih dengan : (1) Mendahulukan penanganan secara tepat; (2) Tidak menyinggung sisi kelemahan statusnya; (3) Menciptakan suasana gembira selama proses penanganan; (4) Tidak berlama-lama dalam proses penanganannya; (5) Memastikan bahwa setelah penangnan kondisi anak menjadi lebih baik. k) Pendekatan Pekagender Menyandang status anak perempuan di negeri ini adalah menyandang double minoritas secara sosial. Perempuan dalam banyak hal lebih tidak berdaya, di tengah ketidakberdayaan anak laki-laki pada umumnya. Bisa dipastikan bila ada anakanak perempuan yang melakukan pelanggaran hukum, adalah sebagai ekspresi dari tekanan banyak pihak karena ia perempuan. Perlakuan orang tua atau masyarakat terhadap anak-anak
perempuan
misalnya;
pemaksaan
melakukan
perkawinan dini, tidak ada pilihan jenis dan tempat pendidikan, keharusan mengalah kepada anak laki-laki dalam segala persoalan, penghargaan yang rendah atas prestasi yang diraihnya, dan sebagainya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
Dalam himpitan kultur yang diskriminatif dan tidak emansipatoris seperti itu, bisa dipastikan bahwa anak-anak perempuan yang melanggar hukum bukanlah sebuah pilihan hidup atau kesadaran atas komunikasi sosialnya. Ia pasti korban dari pihak yang akan mengambil kepentingan akan posisinya. Oleh sebab itu pada posisi anak perempuan sebagai korban harus mendapatkan perlindungan lebih, sedangkan anak perempuan sebagai pelaku harus dibangkitkan harapan-harapan hidupnya. Pelecehan terhadap anak perempuan selama masa penanganan anak berkonflik hukum adalah sebuah kejahatan serius yang pelakunya harus dihukum berat. l) Tidak Ada Penjara Anak Memang penjara bukan untuk anak, sebab yang dibutuhkan anak adalah pendidikan, yang dibutuhkan anak adalah bantuan, yang dibutuhkan anak adalah bimbingan. Pemenjaraan terhadap adalah pembunuhan masa depan anak karena dengan labelisasi dan stigma bahwa ia sebagai narapidana, ia akan terhukum sepanjang hidup dan menjadi catatan pada setiap meja birokrasi. Memang banyak instrument internasonal
membolehkan
pemenjaraan,
juga
ketentuan
standar minimal PBB untuk pemidaan anak masih menyebutnyebut kemungkinan pemenjaraan anak dengan sejumlah persyaratan ketat, namun yang paling benar berdasarkan persepektif perlindungan anak adalah tidak ada pemenjaraan bagi anak. 3. Harapan Kepada Para Hakim Dalam Implementasi Perlindungan Anak Hakim adalah salah satu pilar peradilan anak di Indonesia, dengan posisinya sebagai benteng terakhir bagi anak untuk memperoleh keadilan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
Sebagai bagian dari Negara dalam mengimplementasikan perspektif perlindungan anak, kepada para hakim diharapkan bisa mengoptimalkan perannya sebagai berikut: Pertama, sebagai penyelenggara perlindungan anak, para hakim menjadi agent dari perubahan perspektif perlindungan anak untuk ikut mempromosikan hak-hak anak pada masyarakat luas. Kedua,
para
mengimplementasikan
hakim
di
Indonesia
ketentuan-ketentuan
memahami berbagai
dan
konvensi
internasional tentang anak, serta Undang-Undang Perlindungan Anak dalam proses peradilan anak. Ketiga, para hakim menjadi pelopor dalam praktek hukum untuk keadilan, bukan hukum untuk hukum semata. Keadilan harus menjadi tujuan utama dari praktek Negara hukum. Untuk mencapai tujuan ini, para hakim harus berani mempraktekkan prinsip-prinsip hukum progresif, yakni praktek hukum yang tidak terpaku para ketentuan tertulis semata, tetapi juga memainkan unsur hati nurani, lebih-lebih yang sedang menjadi mencari keadilan adalah anak. Keempat, tidak pernah menjatuhkan hukuman penjara kepada anak, apapun alasannya, karena penjara adalah bukan tempat yang layak bagi anak. Hukuman memang dimungkinkan bagi anak yang bersalah, tetapi penjara bukan hukuman terbaik. Ia akan jauh lebih baik bila hukuman yang diterima berupa dikembalikan kepada orang tua, atau hukuman lain yang paling mungkin. Yang pasti, ia tidak dipisahkan dengan keluarganya, tempat pendidikan, komunitas dan dunianya. Hingga kini, Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang khusus mengatur pembantu rumah tangga, misalnya mengenai batas umur, upah minimum, jumlah jam kerja per hari, dan sebagainya. Namun, batasan usia minimum anak diperbolehkan bekerja diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 dan Rekomendai Nomor 146 yang telah disahkan oleh pemerintah Indonesia dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999. Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa batas minimum usia anak bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Dengan demikian, Ibu tidak dapat dipersalahkan atau dituduh mempekerjakan anak di bawah umur, sebab telah sesuai dengan ketentuan perUndang-Undangan yang berlaku (anak itu sudah berusia 15 tahun). Karena belum ada Undang-Undang yang khusus mengatur tentang pembantu rumah tangga, jika terjadi kasus-kasus tertentu seperti kekerasan, peraturan yang dapat mengatur kasus tersebut adalah UndangUndang umum seperti KUHP, Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan sebagainya (Zulfa Djoko Basuki SH.MH, FHUI/Majalah Sekar). Pekerja anak memang tersebar luas di Indonesia. International Labor Organization (ILO) memperkirakan bahwa 4.201.452 orang anak di bawah usia delapan belas tahun bekerja dalam jenis pekerjaan yang dapat membahayakan diri; lebih dari 1,5 juta diantaranya adalah anak perempuan. Sebuah usaha pengumpulan data pokok di tahun 2002-2003 yang dilakukan oleh Universitas Indonesia dan International Program on the Elimination of Child Labor (IPEC) (bagian dari ILO yang menangani pekerja anak) memperkirakan bahwa terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, di mana setidaknya 688.132 (34,83 persen) di antaranya adalah anak-anak; 93 persen dari jumlah tersebut adalah anak perempuan di bawah usia delapan belas tahun. Sebagai perbandingan, di tahun 2001 Biro Pusat Statistik Indonesia memperkirakan bahwa terdapat 579.059 pekerja rumah tangga, di mana hanya 152.184 orang di antaranya (26,7 persen) merupakan anak-anak. ILO mempertanyakan metodologi pengumpulan data pemerintah, dan menyimpulkan bahwa angka yang dikeluarkan oleh pemerintah terlalu rendah dibandingkan jumlah pekerja rumah tangga yang sebenarnya di negara ini (http://www.article/ILO.sid). Pekerjaan rumah tangga di Indonesia, dan di seluruh dunia, umumnya dilakukan oleh perempuan dan anak perempuan dan seringkali commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
dianggap sebagai perpanjangan dari tugas perempuan di masyarakat, yaitu dalam hal perawatan rumah dan keluarga. Pekerjaan tersebut berada di lingkungan pribadi, tidak diatur oleh pemerintah, dan tertutup dari pengamatan masyarakat. ILO memperkirakan lebih banyak anak perempuan berusia di bawah enam belas tahun yang bekerja di bidang jasa rumah tangga dibandingkan dengan kategori pekerjaan anak lainnya di seluruh dunia. Karena pekerjaan tersebut umumnya dilakukan oleh perempuan dan anak perempuan, dan seringkali dipandang sebagai perpanjangan pekerjaan rumah tangga sehari-hari tanpa perlu dibayar, pekerjaan rumah tangga ini dianggap sebagai pekerjaan yang kasar dan tidak membutuhkan ketrampilan. Perlu diingat bahwa pekerja rumah tangga sering disebut sebagai “pembantu” dan bukan “pekerja” baik oleh pemerintah maupun oleh majikan mereka. Gambaran ini sangat merugikan karena dengan gambaran tersebut terdapat kesan bahwa pekerjaan rumah tangga itu tidak perlu dibayar. Pesatnya urbanisasi di Indonesia mengakibatkan semakin besarnya kebutuhan atas pekerja rumah tangga oleh masyarakat kelas menengah. Saat ini, ada semakin banyak keluarga muda yang berpindah ke kota-kota, dan juga semakin banyak kaum wanita yang menjadi bagian dari angkatan kerja formal. Hal ini menyebabkan semakin bertambahnya permintaan terutama terhadap tenaga kerja anak perempuan di bawah usia lima belas tahun untuk membantu membesarkan anak dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Permintaan yang lebih tinggi terhadap tenaga anak-anak dibandingkan tenaga orang dewasa terutama disebabkan karena anak-anak dapat dibayar lebih murah dan dianggap lebih mudah dikendalikan. Selain permintaan dari majikan, kemiskinan dan kurangnya kesempatan mendapatkan pendidikan mendorong anak-anak untuk bekerja. Banyak keluarga miskin di daerah terpencil yang tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi mereka dan tergantung kepada anak-anak mereka untuk mencari penghasilan tambahan. Selain itu, krisis ekonomi di tahun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
1997-1998 juga mengakibatkan meningkatnya jumlah buruh anak di daerah perkotaan, termasuk di sektor informal yang tidak memiliki aturan hukum. Kemiskinan dan biaya pendidikan ini selanjutnya memaksa anakanak untuk putus sekolah dan memasuki sektor informal yang tidak membutuhkan pendidikan khusus. Hal ini selanjutnya menciptakan generasi pekerja baru yang hanya terbatas memiliki ketrampilan rendah dan melakukan pekerjaan bergaji rendah yang, nantinya juga cenderung tidak akan mampu memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka sendiri. Anak-anak umumnya direkrut dari daerah terpencil atau daerah urban miskin untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga di kota-kota besar. Sebuah survey yang dilakukan oleh sebuah LSM di Yogyakarta menemukan pola perekrutan di Jawa Tengah sebagai berikut: dengan imbalan sejumlah uang, seorang penduduk desa biasanya bertindak sebagai agen lokal bagi calon majikan atau perekrut yang berasal dari luar desa; atau perekrut informal dan calon majikan datang berkunjung ke desa tersebut dan merekrut langsung, terkadang salah seorang penduduk desa itu bertindak sebagai perantara (http://www.bing.com/search?q=hasil+penelitian+LSM+yogyakarta+tenta ng+perekrutan+tenaga+kerja+anak&go=&form=QBRE&qs=n&sk=). Pengecualian pekerja rumah tangga dari hukum ketenagakerjaan di Indonesia, ditambah dengan tidak adanya peraturan dan pengawasan pemerintah terhadap proses perekrutan dan kondisi kerja, mengakibatkan pekerja rumah tangga anak mudah terjerumus ke dalam perdagangan tenaga kerja paksa. Perdagangan anak merupakan praktek yang serupa dengan perbudakan dan juga merupakan salah satu bentuk terburuk pekerjaan anak, yang pencegahannya merupakan kewajiban pemerintah. Perdagangan
anak
berarti
perekrutan,
pengiriman,
pemindahan,
penyembunyian atau penerimaan anak untuk tujuan-tujuan eksploitasi seksual atau tenaga kerja, kerja paksa atau perbudakan. Eksploitasi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
mencakup sedikitnya, pemerasan atau penggunaan orang sebagai pelacur atau bentuk-bentuk pemerasan seksual lainnya, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, pemaksaan sebagai pelayan, atau pengambilan organ tubuh. Jika anak anak, dan bukan orang dewasa, terlibat dalam perdagangan manusia, hal ini dapat terjadi tanpa adanya paksaan, penculikan, pemalsuan, atau penipuan.
C. HAMBATAN-HAMBATAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBANTU RUMAH TANGGA DIBAWAH UMUR 1. Perlunya Perlindungan Pembantu Rumah Tangga di Bawah Umur Pembantu Rumah Tangga Anak adalah setiap laki-laki ataupun perempuan
yang
umurnya
dibawah
18
tahun
(Undang-undang
Perlindungan Anak) dan masih disebut anak atau belum dewasa dan bekerja di dalam wilayah rumah tangga tertentu dengan imbalan upah ataupun bentuk lainnya. Ada beberapa masalah yang sering dihadapi oleh pembantu rumah tangga anak, yaitu eksploitasi; bentuk eksploitasi ini adalah dipekerjakan dengan waktu kerja yang tidak jelas dan sangat panjang dengan pemberian upah yang tidak sesuai, atau tidak diberikan upah dan juga tidak diberi hari libur. Selain eksploitasi tersebut pembantu rumah tangga anak juga rawan mengalami kekerasan diantaranya; a. Kekerasan fisik seperti pemukulan, penganiyaan, disiram air panas, disterika, disundut rokok, dicambuk dan lain-lain. b. Kekerasan psikis seperti dicaci maki, dicela, diberikan panggilan yang tidak baik berupa hinaan fisik atau direndahkan. c. Kekerasan ekonomi seperti pemberian upah tidak sesuai dengan perjanjian kerja atau ditangguhkan dengan alasan pengguna jasa tidak ada uang bahkan upah tidak dibayarkan dan lain sebagainya. d. Kekerasan seksual seperti dirayu, dipegang, dipaksa melakukan seks, pelecehan seksual, sampai upaya perkosaan. Diskriminasi, pembedaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
perlakuan seperti gaji antara pembantu rumah tangga laki-laki dan perempuan sama sedangkan pekerjaan pembantu rumah tangga perempuan lebih berat. Anak masih dalam proses perkembangan dan pertumbuhan, untuk memberikan jaminan agar mereka terhindar dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, membantu seorang pembantu rumah tangga anak dapat menjalankan pekerjaannya dengan aman dan tenang, sementara hak-hak dasarnya sebagai anak tetap terpenuhi. Antisipasi akan adanya perbudakan dan penjualan anak merupakan sebuah upaya penghapusan terhadap pembantu rumah tangga anak. Seharusnya pembantu rumah tangga anak tidak pernah ada, akan tetapi kondisi riil yang dihadapi pada masyarakat menjadikan anak-anak bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Untuk itu selayaknya pembantu rumah tangga anak mendapatkan hak sesuai dengan aturan perundangan (Undang-Undang
Perlindungan
Anak
dan
Undang-Undang
Ketenagakerjaan) yang melindungi haknya sebagai anak dengan beberapa tambahan hak yang harus dipenuhi diantaranya: a. Memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan b. Memperoleh upah yang pantas (idealnya Upah Minimum Propinsi), tempat tidur yang memadai, waktu istirahat yang cukup, pekerjaan yang spesifik dan jelas (tidak semrawut dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga), mendapat perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja serta adanya jaminan sosial. c. Jam kerja yang tidak terlalu lama agar dapat tetap melanjutkan sekolah dan bergaul dan d. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya. Idealnya pembantu rumah tangga anak tidak pernah ada, karena mereka tidak layak bekerja untuk mencari nafkah, masa-masa itu seharusnya mereka sedang menikmati masa pendidikan dan pertumbuhan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
yang dibiayai oleh negara. Hal ini dapat dilihat pada beberapa peraturanperaturan di bawah ini: a. UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) berbunyi: ”Fakir miskin dan anak-anak terlantar menjadi tanggung jawab negara”. b. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2000 tentang Pengesahan konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang berbunyi: “Segala bentuk perbudakan atau praktik sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon, dan penghambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata”. c. Rekomendasi
Undang-Undang Nomor 1
tahun 2000 tentang
penghapusan segala bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak: Pekerjaan yang mengeksploitasi anak-anak secara fisik, psikis atau pemaksaan seksua Bekerja di bawah tanah, di bawah air. d. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial (Pasal 9 (1), Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berkreasi, sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11). (Pasal 12) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,
berhak
mendapat
perlindungan
dari
perlakuan:
diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya, Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16) (1), Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk (Pasal 17) (1), mendapatkan perlakuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
secara manusiawi dan penenpatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum, Negara, pemerintah, masyarkat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 20), Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakana suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan atau mental (Pasal 21). Negara atau pemerintah seharusnya menjamin bahwa setiap anak dapat sekolah dan tidak bekerja. Jadi bila saat ini ada Pembantu rumah tangga anak, semua terjadi karena seorang anak terkondisikan dengan paksa untuk bekerja, karena ketiadaaan biaya sekolah atau kemiskinan yang menghimpit, maka pembantu rumah tangga anak
berhak
mendapatkan perlindungan yang baik dan diberikan hak-haknya. 2. Hambatan-hambatan Perlindungan Hukum Terhadap Pembantu di Bawah Umur Pada tahun 2005 Human Rights Watch merilis Selalu Siap Disuruh, sebuah laporan sepanjang 74 halaman yang mendokumentasikan eksploitasi dan pelecehan endemis pekerja rumah tangga anak di Indonesia. Anak-anak perempuan ini bercerita tentang bagaimana mereka dibujuk dengan janji-janji palsu mengenai upah yang lebih tinggi di kota tanpa mendapatkan perincian mengenai tugas-tugas yang akan mereka jalankan, jam bekerja yang ditentukan bagi mereka, atau tidak adanya kesempatan mereka untuk bersekolah. Kebanyakan anak-anak perempuan ini bercerita bahwa mereka umumnya bekerja 14 sampai 18 jam per hari, tujuh hari dalam seminggu, tanpa hari libur. Banyak diantara mereka yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
mengatakan kepada kami bahwa majikan-majikan mereka melarang mereka meninggalkan rumah di mana mereka bekerja, mengisolasi mereka dari dunia luar dan dengan demikian memposisikan mereka dalam keadaan dengan risiko pelecehan yang lebih tinggi dengan sedikit pilihan untuk mendapat bantuan. Banyak di antara majikan-majikan yang menahan pembayaran dan upah apapun sampai anak yang bersangkutan telah kembali ke rumah majikan-dan bahwa banyak majikan yang tidak membayar anak tersebut sama sekali atau membayar kurang dari jumlah yang mereka janjikan. Taktik menahan gaji mencegah pekerja rumah tangga anak yang tinggal jauh dari rumah mereka sendiri untuk meninggalkan situasi yang eksploitatif. Dalam kasus-kasus terburuk, ditemukan bahwa anak-anak perempuan dilecehkan secara fisik, psikologis, dan seksual oleh majikan mereka atau anggota keluarga majikan mereka, selain eksploitasi atas tenaga kerja mereka. Pada tahun 2008, Human Rights Watch kembali ke Indonesia untuk menilai perkembangan-perkembangan sejak riset pertama tersebut. Tiga tahun kemudian, situasi untuk pekerja rumah tangga anak masih tetap sangat menggelisahkan. Mereka masih terus menderita beragam luas jenis pelecehan yang didokumentasikan secara ekstensif pada tahun 2005. Yang menjadi perhatian disini adalah
kebijakan-kebijakan dan
tindakan-tindakan pemerintah pusat dan daerah. Meski ada beberapa perkembangan dalam skala terbatas di dalam beberapa bidang-sebagai contoh, pendirian oleh kepolisian unit-unit pelayanan yang berdedikasi bagi perempuan dan anak di tingkat propinsi dan beberapa kota serta pengesahan
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak
Nomor
21
Pidana Perdagangan
Tahun
2007
tentang
Orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat-secara umum tanggapan resmi Indonesia masih tidak cukup substantif, koheren, dan kurang mencerminkan urgensi. Kegagalan dalam mengimplementasikan perlindungan yang efektif berarti bahwa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
pemerintah pusat dan lokal bertanggung jawab karena telah membiarkan pekerja-pekerja anak terekspos terhadap pelecehan dan eksploitasi. Dalam mayoritas besar kasus yang ada, kepentingan utama pemberi kerja adalah pengurusan rumah tangga mereka, bukan pengembangan diri pekerja mereka, oleh karena itu hubungan antara majikan dan pekerja rumah tangga adalah hubungan komersil, bukan hubungan keluarga atau hubungan pribadi. Lebih dari itu, motivasi seorang majikan yang merekrut seorang anak dan bukan orang dewasa adalah untuk menemukan seseorang yang bersedia bekerja untuk dengan bayaran lebih sedikit, yang akan lebih jarang mengeluh, lebih mudah diperintah, dan mempunyai koneksi sosial yang lebih sedikit. Faktor-faktor ini juga mempunyai kemungkinan untuk membuat pekerja rumah tangga lebih rentan terhadap pelecehan dan eksploitasi dan lebih tidak mampu melindungi dirinya sendiri. Beberapa pejabat pemerintah mengklaim bahwa kondisi kerja pekerja rumah tangga tidak memungkinkan untuk bisa dimonitor atau diatur, dan oleh karena itu tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Namun begitu, permasalahannya bukan bahwa inspeksi dan monitor tidak mungkin dilakukan, permasalahan sebenarnya adalah pemerintah memilih untuk tidak memprioritaskan perlindungan pekerjapekerja muda ini. Sebagai contoh, bahwa bahkan hotline telepon mendasar yang dapat dipergunakan oleh anak-anak untuk melaporkan pelecehan dan mencari bantuan tidak dijawab atau ditangani oleh staf yang layak. Para pejabat juga cenderung memilih untuk mendukung kemudahan dan kenyamanan para majikan dibanding membela hak pekerja rumah tangga anak. Sebagai contoh, pekerja rumah tangga anak disiratkan tidak dapat diberikan upah minimum seperti pekerja-pekerja lainnya karena lebih penting agar lebih banyak majikan tetap mampu mempekerjakan dan menggaji seorang pekerja rumah tangga. Tetapi argumen seperti ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
mengabaikan kenyataan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi setiap individu dari eksploitasi dan pelecehan. Jika sampai para pembuat kebijakan percaya bahwa lebih banyak keluarga seharusnya dapat mengakses bantuan pekerjaan rumah tangga atau perawatan anak, maka pemerintah seharusnya mempertimbangkan kebijakan alternatif-seperti jasa perawatan anak umum yang terjangkau, menjadikan tempat kerja lebih fleksibel bagi orang tua yang bekerja, atau memberikan cuti hamil dan cuti perawatan anak yang lebih baik bagi para ayah-yang tidak bergantung kepada eksploitasi dan pembayaran gaji yang rendah bagi pekerja rumah tangga anak. Menganjurkan peraturan mengenai kontrak tertulis juga mungkin mengintimidasi majikan sedemikian rupa sehingga mereka bahkan tidak akan mempekerjakan seorang pekerja rumah tangga. Tetapi negosiasi dan pengikatan diri kepada kontrak tertulis yang menjabarkan hak dan kewajiban majikan maupun pekerja dapat menguntungkan kedua belah pihak, karena proses ini membantu menjabarkan dengan jelas hubungan kerja mereka sejak awal dan dapat dipakai sebagai alat referensi yang penting.
Pembuatan
"contoh"
kontrak
standar
dapat
membantu
mengurangi keresahan mengenai penggunaan kontrak tertulis. Pejabat-pejabat pemerintah juga berusaha untuk berargumentasi bahwa pembatasan jumlah jam maksimum seorang pekerja rumah tangga diperbolehkan bekerja-seperti yang dijaminkan kepada pekerja-pekerja lain-tidak dapat diberikan kepada pekerja rumah tangga anak karena pekerjaan rumah tangga adalah sebuah pengecualian karena bukan merupakan pekerjaan dengan jam kantor antara 09.00 – 17.00 yang tetap. Selain itu, ada pula anggapan bahwa pekerja rumah tangga anak tidak memerlukan hari libur. Dan kenyataannya, juga dipertanyakan apakah pekerja rumah tangga akan tahu apa yang akan mereka lakukan apabila mereka diberi satu hari libur seperti pekerja formal lainnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
Argumen-argumen ini mengabaikan fakta bahwa pengaturan jumlah jam kerja maksimum dan istirahat sehari dalam seminggu memungkinkan pemerintah untuk memenuhi kewajiban mereka dalam melindungi hak pekerja rumah tangga untuk kondisi pekerjaan yang adil dan baik, kesehatan, dan hak untuk beristirahat. Tidak ada pekerja yang dapat diharuskan untuk selalu siap sedia oleh majikannya. Apabila seorang majikan memang sungguh-sungguh membutuhkan bantuan sepanjang waktu, pekerja rumah tangga tambahan untuk mengisi shift kedua dan ketiga dapat dipekerjakan. Jam kerja yang berlebih dan kurangnya harihari untuk istirahat berpengaruh langsung kepada kesehatan dan perkembangan anak. Anak-anak juga memerlukan waktu untuk menghubungi dan berinteraksi dengan keluarga mereka sendiri, untuk menghindari perasaan terisolir dan berakibat kepada masalah masalah psikologis yang menjadi akibatnya. Sebuah hari libur untuk pekerja rumah tangga juga merupakan masalah keamanan bagi majikan dan anggota keluarga mereka karena siapapun akan berfungsi dengan lebih baik dan lebih berhati-hati apabila diberi istirahat yang cukup. Mitos-mitos ini bertahan karena kurangnya pengetahuan secara umum mengenai kondisi-kondisi yang dihadapi oleh banyak pekerja rumah tangga anak, yang merupakan akibat dari kurangnya pengawasan pemerintah dan penyelidikan ke mengenai kehidupan pekerja-pekerja rumah tangga anak, dan dari pandangan diskriminatif yang berkelanjutan mengenai kedudukan anak perempuan dan perempuan dewasa dalam masyarakat. Sikap tidak peduli dan konsep yang salah dapat menjadi rintangan utama dalam penegakan hukum yang berlaku dan merupakan rintangan besar terhadap pembuatan dan implementasi regulasi dan kebijakan yang lebih baik. Yang terutama mencemaskan adalah kenyataan bahwa pandangan seperti
itu
tampaknya
banyak
terdapat
di
dalam
Departemen
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, kementerian negara yang memiliki commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
tanggung jawab utama dalam melakukan investigasi terhadap eksploitasi tenaga kerja anak dan merancang legislasi untuk melindungi pekerja rumah tangga. Pejabat-pejabat di Departemen Ketenagakerjaan dan Transmigrasi sepertinya tidak mengakui keberadaan pelecehan-pelecehan yang seharusnya mereka cegah. Kegagalan-kegagalan mereka menjadi hambatan bagi usaha pihak-pihak lain yang terlibat, baik pemerintah maupun non-pemerintah, yang memang mengakui kerentanan khusus para pekerja rumah tangga anak. Walaupun
Indonesia
memiliki
peraturan-peraturan
yang
dimaksudkan untuk menjamin hak-hak anak, dan telah memulai inisiatifinisiatif untuk menyediakan perlindungan bagi mereka, usaha-usaha ini masih mengandung banyak kontradiksi, tidak tuntas dan, yang paling menonjol, tidak diimplementasikan dengan layak. Secara khusus, kegagalan pemerintah Indonesia yang terus-menerus dalam melakukan reformasi hukum ketenagakerjaan yang diskriminatif mengakibatkan pekerja rumah tangga anak rentan terhadap pelehan dan eksploitasi. Pengecualian semua pekerja rumah tangga dari hak-hak dasar pekerja yang diberikan kepada pekerja formal oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang ketenagakerjaan indonesia-misalnya upah minimum, upah lembur, delapan jam kerja per hari, dan empat puluh jam kerja per minggu, satu hari libur dalam seminggu, liburan, dan jaminan sosial-mempunyai pengaruh diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan, yang merupakan mayoritas dari pekerja rumah tangga. Pengecualian dalam hukum tersebut juga mendorong berlanjutnya pelecehan nilai pekerjaan rumah tangga dan pekerja rumah tangga. Di tingkat propinsi dan kota, inisiatif-inisiatif lokal, seperti peraturan daerah baru propinsi Jawa Tengah yang menyebutkan pekerjaan rumah tangga sebagai sebuah contoh bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak-menawarkan potensial commit to user
akan
adanya
penambahan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
perkembangan. Meski demikian, keputusan pemerintah daerah Jakarta untuk mencabut salah satu legislasi paling progresif dalam perlindungan pekerja rumah tangga di Indonesia adalah keputusan yang sangat disesalkan.
Siratan
bahwa
standar
perlindungan-perlindungan
ketenagakerjaan ini diturunkan sebagai respon terhadap keengganan pemerintah untuk memberi anggaran berupa sumber daya dan pelatihan yang diperlukan agar mereka dapat memenuhi tugas yang telah diatur hukum yang telah disebutkan di atas juga mengecewakan. Ada beberapa contoh dari perkembangan yang dilakukan untuk memperbaiki situasi yang dihadapi oleh pekerja rumah tangga anak. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang, walapun tidak memenuhi standar internasional, dapat merepresentasikan kontribusi dalam perlindungan pekerja rumah tangga anak-tetapi hanya apabila pemerintah menindaklanjuti kampanye kesadaran masyarakat yang sesuai dan menuntut orang yang dituduh bertanggung jawab melakukan tindak pidana perdagangan orang ke pengadilan. Perkembangan positif yang lain adalah pendirian sebuah unit pelayanan yang berdedikasi bagi perempuan dan anak yang berdedikasi oleh kepolisian di semua kantor Polisi Daerah, di banyak kantor Polisi Resort. Walaupun tindakan ini masih harus menghasilkan perubahan meluas yang dapat dibuktikan, tindakan ini menjanjikan-tetapi, sekali lagi, hanya apabila disediakan dengan sumber daya yang layak dan dukungan. Meski demikian, polisi juga harus melakukan lebih banyak untuk melindungi pekerja rumah tangga anak dan untuk menuntut mereka yang melakukan kejahatan terhadap pekerja rumah tangga anak. Banyak korban dan saksi mata yang enggan mendatangi polisi, memberi kepercayaan kepada polisi, atau menyediakan informasi kepada polisi atas dasar kehawatiran bahwa polisi akan bersikap tidak simpatik, tidak kooperatif, tidak efektif, atau korup. Adalah kewajiban polisi untuk memperbaiki commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
persepsi-persepsi ini melalui kinerja yang lebih baik dan lebih sensitif terhadap masalah gender dan anak. Polisi juga seringkali mengambil pendekatan yang sangat pasif dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan pekerja rumah tangga, contohnya, dengan menempatkan beban untuk mencari saksi mata atau alat bukti pendukung kepada korban, dan tidak secara pro-aktif melakukan investigasi kasus pelecehan, termasuk kasus eksploitasi ekonomi. Eksploitasi tenaga kerja dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga adalah masalah pidana, dan polisi harus menginvestigasi tuduhan pelecehan dan harus menuntut pelaku apabila ada bukti kuat bahwa seorang majikan melakukan pelanggaran-walaupun para pihak telah berusaha melakukan penyelesaian informal melalui pemberian sejumlah uang dari majikan ke korban. Prosedur polisi harus dengan segera direformasi agar dapat secara efektif merespon tuduhan pelecehan dan eksploitasi yang diadukan oleh pekerja rumah tangga. Secara khusus, polisi harus menyediakan perlindungan sementara bagi korban dalam waktu 24 sejak menerima laporan kekerasan di dalam rumah tangga yang bersangkutan, dan memperbaiki waktu respon kepolisian dalam melakukan penyelidikan sebagai respon terhadap aduan yang dibuat oleh pekerja rumah tangga. Baik polisi maupun pejabat ketenagakerjaan harus melakukan tugas-tugas mereka yang sudah ada dalam menegakkan peraturanperaturan ketenagakerjaan yang berlaku. Kejaksaan juga masih dapat melakukan lebih banyak lagi untuk merespon dengan cara yang lebih sensitif terhadap masalah gender dan anak menyangkut permasalahan dan kebutuhan pekerja rumah tangga yang menjadi korban pelecehan. Menindak tindakan kriminal yang dilakukan terhadap pekerja rumah tangga anak secara hukum menyampaikan pesan yang penting bahwa masyarakat tidak akan memberi toleransi saat anak-anak mereka commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
dilecehkan dan diekspoitasi dalam bentuk-bentuk terburuk pekerjaan rumah tangga. Rencana Aksi Nasional Indonesia dalam Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak mengidentifikasi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik atau ekonomi sebagai "pembantu rumah tangga", bersama dengan 12 sektor kerja anak lainnya, sebagai salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Pada tahun 2008, rencana ini memasuki fase kedua berjangka waktu lima tahunnya, di mana melalui rencana aksi nasional ini pemerintah berkomitmen untuk menghapuskan bentukbentuk pekerjaan terburuk anak di sector ini. Tetapi evaluasi tingkat berberhasilan fase pertama dari rencana aksi nasional beragam, dan komite aksi di tingkat propinsi dan kota yang telah dibentuk untuk menjalankan rencana ini sepertinya beragam dalam tingkat efektivitas dan antusiasme kerja mereka. Biaya pendidikan langsung dan tidak langsung seringkali memaksa anak-anak untuk berhenti sekolah dari Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama sebelum mereka menyelesaikan pendidikan wajib sembilan tahun mereka, dan ini adalah salah satu faktor dalam mendorong masuknya anak-anak ke dalam angkatan kerja. Meningkatkan kesempatan anak-anak kurang mampu dalam mengakses pendidikan dan pelatihan kejuruan lainnya akan menurunkan dengan sangat jumlah anak-anak yang didorong menjadi pekerja rumah tangga di usia muda. Perubahan adalah mungkin jika dilakukan saat pejabat-pejabat pemerintah yang relevan memilih untuk memprioritaskan perlindungan yang lebih kuat bagi pekerja rumah tangga anak. Pada tahun 2010, para anggota International Labor Organization (ILO) (Organisasi Buruh Internasional), termasuk Indonesia, akan mengadakan pertemuan untuk membahas usulan sebuah perjanjian internasional baru yang mengatur kondisi kerja yang layak bagi pekerja rumah tangga. Fakta bahwa warga negara Indonesia merupakan sebagian dari puluhan ribu pekerja rumah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
tangga yang dilecehkan di di negara-negara lain diakui oleh pemerintah, antara lain melalui pendirian sebuah klinik kepolisian khusus bagi perempuan yang pulang ke Indonesia dengan luka-luka yang disebabkan oleh pelecehan. Meski demikian, advokasi untuk perlindungan bagi pekerja rumah tangga Indonesia di luar negeri hanya akan mempunya kredibilitas apabila Indonesia juga terlihat mengakui dan mengambil tindakan terhadap pelecehan pekerja rumah tangga di dalam Indonesia sendiri, termasuk pekerja rumah tangga anak. Indonesia harus bertindak cepat untuk memperbaiki keadaan di rumah sendiri, daripada mengambil risiko dengan mendapatkan reputasi sebagai salah satu negara dengan perlindungan pekerja rumah tangga anak terburuk.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. SIMPULAN Sebagaimana rumusan permasalahan dari penulisan skripsi dengan hasil penelitian secara normatif mendapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 68 pengusaha dilarang memperkerjakan anak atau tenaga kerja dibawah umur, namun dikecualikan dalam Pasal 69 yaitu bagi anak yang berusia 13 (tiga belas) sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 mengenai perlindungan anak, anak merupakan potensi, generasi penerus bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan masa depan negara. Oleh sebab itu anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh optimal dan perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan, selain itu juga memberikan jaminan pemenuhan terhadap hak-haknya.
2. Penerapan pengaturan terhadap tenaga kerja dibawah umur, khususnya pembantu rumah tangga dibawah umur sesuai dengan permasalahan pokok penulisan skripsi ini. Dilihat dari kondisi perekonomian indonasia yang semakin hari semakin memperbanyak pengangguran dan kurangnya lapangan pekerjaan menimbulkan pekerjaan pembantu rumah tangga dipilih oleh orang- orang yang membutuhkan pekerjaan termasuk anak dibawah umur. Hal tersebut juga dipengaruhi kondisi perekonomian anak yang menyebabkan anak tersebut kerja apapun yang terpenting adalah dapat menghasilkan uang. Pada situasi saat ini pembantu rumah tangga rentan dengan kekerasan, sehingga sangat mengkhawatirkan apabila anak menjadi pembantu rumah tangga. Satu – satunya pengaturan mengenai tenaga kerja adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 68 pengusaha dilarang memperkerjakan commit to useranak atau tenaga kerja dibawah 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
umur, namun dikecualikan dalam Pasal 69 yaitu bagi anak yang berusia 13 (tiga belas) sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan social. Dalam Undang-Undang tersebut mengandung unsure yang tidak jelas mengenai pekerjaan ringan yang dimaksud dalam undang – undang tersebut, apakah pembantu rumah tangga termasuk pekerjaan ringan,sehingga pembantu rumah tangga dibawah umur perlindungannya masih belum jelas, akan tetapi jika melihat konstitusi sebagai pengaturan tertinggi yaitu : Dalam UUD setelah amandemen diatur dalam Pasal 28 B ayat (2) bahwa anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 3. Hambatan dalam penerapan perlindungan terhadap pembantu rumah tangga dibawah umur tersirat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 68 dimana pengusaha dilarang mempekerjakan anak atau tenaga kerja dibawah umur, namun berbanding terbalik dalam Pasal 69 yaitu bahwa bagi anak yang berusia 13 (tiga belas) sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan social. Dalam Undang- Undang tersebut mengandung unsur yang rancu mengenai pekerjaan ringan yang dimaksud dalam undang – undang tersebut, apakah pembantu rumah tangga termasuk pekerjaan ringan,sehingga pembantu rumah tangga dibawah umur perlindungannya masih belum jelas. Dan juga mengenai kondisi perekonomian serta tingkat pendidikan yang rendah dari orang tua anak yang lebih baik anak bekerja mencari uang daripada sekolah menghabiskan biaya. Selain itu juga pengetahuan anak yang kurang, sehingga hanya memikirkan keadaan ekonomi tetapi tidak memikirkan masa depan, hal ini menjadi hambatan yang rumit yang tidak dapat diselesaikan dari satu pihak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
B. SARAN
Pengaturan mengenai pelindungan terhadap pembantu rumah tangga dibawah umur seharusnya dibuat pengaturan mengenai penghapusan tenaga kerja dibawah umur khususnya pembantu rumah tangga,hal ini akan sangat berpengaruh terhadap potensi generasi penerus bangsa yang akan datang agar lebih berkualitas. Pengecualian dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 harusnya diperbaharui agar tidak menimbulkan kerancuan. Untuk memperbaiki kondisi tenaga kerja anak tidak dapat dilaksakan dari satu pihak saja namun perlu kerja sama antara pemerintah dalam rangka mewujudkan perekonomian rakyat dan pendidikan yang memadai bagi anak sebagai generasi, penerus yang berkualitas. Hal ini agar dapat menjadi prioritas utama yang terpenting untuk membangun generasi penerus yang berkualitas dan sebagai wujud penghapusan pembantu rumah tangga dibawah umur dan agar dapat dilaksanakan secara konsisten dan menyeluruh.
commit to user