i
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH PENYIMPAN ATAS SIMPANANNYA YANG TIDAK DIJAMIN OLEH LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (Suatu Studi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan)
SKRIPSI
OLEH : NINING ANALITA E1A008318
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
ii
PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH PENYIMPAN ATAS SIMPANANNYA YANG TIDAK DIJAMIN OLEH LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (Suatu Studi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan) Disusun Oleh : NINING ANALITA E1A008318
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman pada Rabu, 29 Agustus 2012 MENGETAHUI Pembimbing I,
Pembimbing II,
Penguji,
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. Dr. Sulistyandari, S.H., M.Hum MI. Wiwik Yuni Hastuti, S.H., M.H. NIP. 19520603 198003 2 001 NIP. 19600526 198703 2 003 NIP. 19600426 198702 2 001
MENGETAHUI DEKAN,
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. NIP. 19520603 198003 2 001
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH PENYIMPAN ATAS SIMPANANNYA YANG TIDAK DIJAMIN OLEH LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (Suatu Studi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan)
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenaranya. Apabila pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto,
Nining Analita E1A008318
Agustus 2012
iv
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahim Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan
menyelesaikan
rahmat
penulisan
dan
hukum
hidayah-Nya, (skripsi)
sehingga
berjudul
penulis
dapat
“PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP NASABAH PENYIMPAN ATAS SIMPANANNYA YANG TIDAK DIJAMIN OLEH LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (Suatu Studi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan)”. Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dalam rangka melengkapi syaratsyarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum pada Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis sepenuhnya menyadari begitu banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, untuk itu penulis dengan besar hati menerima saran dan kritik yang membangun. Penulisan hukum (skripsi)
ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari
bimbingan, arahan, petunjuk, bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua pihak yang telah turut membantu penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Hj. Rochani Urip Salami, SH, M.S., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memimpin dengan bijaksana dalam meningkatkan kualitas Fakultas Hukum, para mahasiswa dan para alumninya, sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah meluangkan
v
waktunya kepada penulis untuk membimbing, mengarahkan dan memberi masukan yang sangat berguna kepada penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. 2.
Edi Waluyo, SH., Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
3.
Dr. Sulistyandari, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.
4.
MI. Wiwik Yuni Hastuti, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.
5.
Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang mana telah mengajarkan dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
6.
Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7.
Love of the light, Relly Ade Saderi to inspire me. Menghabiskan seluruh harinya untuk penulis agar tetap bersemangat dan selalu sabar membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terimakasih atas kesabaranmu dan telah bersedia menungguku sejauh ini. Ik hou van jou.
8.
Specifically for my lovely parents Bpk. Dedi Zubaedi dan Bpk. Karyadi, Mamah Juminah dan Mamah Lilis yang telah memberikan do‟a, cinta dan
vi
kasih sayang kepada penulis sejak lahir sampai saat ini. Semoga apa yang tengah terjadi di antara kita akan indah pada akhirnya. 9.
Semua keluargaku yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas do‟a dan semangatnya.
10. Sahabat terbaikku Santi Gombong, Nindu, de Miftha, Dwiaji, Ike, febri, Farah, serta seluruh teman seperjuangan angkatan 2008, teman-teman PMAT, teman-teman UKI FH, teman-teman PLKH Pidana, Perdata, PTUN, temanteman KKN Lomanis RW 1, dan yang tidak bisa Penulis sebut satu per satu, terimakasih atas dukungannya kawan. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan serta bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Demikianlah semoga penulisan hukum (skripsi) ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, kalangan akademis, praktisi serta masyarakat umum.
Purwokerto,
Agustus 2012
Penulis,
Nining Analita
vii
MOTTO :
If you want one year of prosperity, grow grain. If you want ten years of prosperity, grow trees. And if you want one hundred years of prosperity, grow people
PERSEMBAHAN :
Penulisan hukum yang jauh dari sempurna ini penulis persembahkan kepada : Allah SWT yang selalu ada bagi umat-Nya Nabi Muhammad SAW atas suri tauladannya Seseorang yang selalu memberiku motivasi Bpk. Dedi Zubaedi dan Bpk. Karyadi, Mamah Juminah dan Mamah Lilis, serta seluruh keluarga besarku Sahabat-sahabat terbaikku
viii
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai perlindungan hukum nasabah penyimpan atas simpanannya yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan, serta tanggung jawab bank terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank Untuk menganalisis hal tersebut dilakukan penelitian normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bersifat deskriptif maksudnya menggambarkan bagaimana keadaan-keadaan atau fakta yang terjadi dimasyarakat sehingga didapatkan data yang seakurat mungkin. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik kepustakaan dan teknik dokumenter. Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tidak semua simpanan nasabah akan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan, artinya ada simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan pada dasarnya haruslah dapat melindungi dana nasabah. Dengan adanya lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, maka apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut. Melalui pembayaran premi oleh bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan maka telah terjadi peralihan risiko dari bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan. namun dengan adanya simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan menyebabkan nasabah yang simpanannya termasuk kategori yang tidak dijamin tersebut akan menghadapi risiko, yaitu apabila bank tempat mereka menempatkan simpanannya dicabut izin usahanya, maka ada kemungkinan simpanan nasabah tersebut tidak dikembalikan, maka sebagai perlindungan hukumnya Undang-Undang LPS memberikan hak kepada nasabah penyimpan tersebut bahwa untuk simpanan yang tidak dijamin karena simpanannya melebihi maksimal penjaminan yaitu Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) akan akan mendapatkan pembayaran dari hasil pencairan aset bank dalam proses likuidasi dengan urutan ke enam sesuai ketentuan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang LPS, serta untuk simpanan yang tidak dijamin karena memenuhi ketentuan Pasal 19 Undang-Undang LPS dapat mengajukan keberatan kepada LPS atau mengajukan gugatan ke Pengadilan. Adapun tanggung jawab bank terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank, maka tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban tersebut menjadi tanggung jawab pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan bank menjadi Bank Gagal, tentunya dengan memperhatikan bentuk hukum bank yang bersangkutan. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Simpanan tidak dijamin, Lembaga Penjamin Simpanan.
ix
ABSTRACT This study aims to examine and answer the question of legal protection for customers' storage savings are not guaranteed by the Deposit Insurance Corporation, as well as responsibility for the bank to deposit the Depositor is not being met right from the sale of bank assets in the event of revocation of business license and bank liquidation To analyze these studies are descriptive with the normative use of primary legal materials, legal materials secondary, and tertiary legal materials. Descriptive meaning describing how the circumstances or facts occurring in the community so that the data obtained are as accurate as possible. The data collection techniques used is the technique of literary and documentary techniques. From the results of research conducted result that not all customer deposits would be guaranteed by the Deposit Insurance Agency, which means that there are customer deposits are not insured by the Deposit Insurance Corporation. Establishment of LPS basically be able to protect customer funds. With the institutions that guarantee public deposits, so if the bank fails, the agency that would replace the public funds deposited in the bank failed. Through the payment of premiums by the bank to the Deposit Insurance Agency has been a shift of risk from the bank to the Deposit Insurance Agency. but with the customer deposits are not insured by the Deposit Insurance Corporation has customer deposits are not guaranteed category will be at risk, ie when the bank where they put their savings license has been revoked, it is possible that customer deposits are not returned, then the legal protection LPS Act entitles depositors is that for savings are not guaranteed because of the savings exceeds the maximum guarantee of Rp. 2,000,000,000.00 (two billion dollars) will be getting payments from the melting of the bank's assets in the liquidation process to sixth in accordance with Article 54 paragraph (1) of Law LPS, as well as for savings are not guaranteed by the provisions of Article 19 LPS Act may submit objection to LPS or filed with the Court. The responsibility of the bank to deposit the Depositor unfulfilled rights of the sale of bank assets in the event of revocation and liquidation of the bank, then the responsibility to meet those obligations is the responsibility of the old shareholders were shown to cause the bank to Bank Failure, of course with respect to the legal form of the bank concerned. Keywords: Protection Law, are not guaranteed deposits, the Deposit Insurance Corporation.
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iii KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................ vii ABSTRAK ....................................................................................................... viii ABSTRACT ....................................................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................... 8 C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 9 D. Kegunaan Penelitian .............................................................................. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Terhadap Perbankan .................................................... 10 B. Tinjauan Menganai Perlindungan Hukum dan Nasabah ......................... 38 C. Tinjauan Mengenai Lembaga Penjamin Simpanan ................................. 47 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ............................................................................... 64 B. Spesifikasi Penelitian ............................................................................. 65 C. Sumber Bahan Hukum .......................................................................... 65 D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ..................................................... 67 E. Metode Penyajian Bahan Hukum ........................................................... 67 F. Metode Analisis .................................................................................... 68 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ..................................................................................... 70 B. Pembahasan ........................................................................................... 80 BAB V PENUTUP A. Simpulan ............................................................................................... 126 B. Saran ..................................................................................................... 128 DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Industri perbankan merupakan salah satu komponen sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekononomi nasional. Hal ini dikarenakan kegiatan perekonomian suatu negara tidak pernah terlepas dari lalu lintas pembayaran uang, di mana industri perbankan memegang peranan yang sangat strategis sehingga dapat dikatakan sebagai pusat dari sistem perekonomian. Peran stategis yang dimiliki perbankan dalam perekonomian nasional telah mendorong lahirnya berbagai kebijakan, tetapi tidak semua kebijakan dan aturan yang pernah diterapkan terhadap dunia perbankan nasional membawa dampak yang positif. Pada tahun 1988 pemerintah mengeluarkan Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 1988). Paket deregulasi ini sangat memberikan kemudahan bagi pertumbuhan bankbank swasta. Materi yang diatur oleh Pakto 1988 adalah : 1. Pendirian bank umum dan bank pembangunan swasta dibebaskan dengan syarat mempunyai modal setor hanya sebesar Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). 2. Seluruh bank nasional dapat membuka kantor cabangnya di seluruh wilayah Indonesia asalkan memenuhi persyaratan 24 (dua puluh empat) bulan terakhir tergolong sehat. 3. Perluasan kesempatan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat dan memperluas kewenangannya. 4. Mempermudah pengakuan atau pemberian status kepada bank devisa. 5. Mempermudah bank asing untuk membuka cabang-cabangnya di 5 (lima) kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang. 6. Mempermudah pendirian bank-bank campuran (patungan) di 5 (lima) kota besar tersebut.1 1
30.
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern Kesatu, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.
2
Keterkaitan dan kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan merupakan pilar dan unsur utama yang harus dijaga dan dipelihara. Kepercayaan ini dapat diperoleh dengan adanya kepastian hukum dalam pengaturan dan pengawasan bank serta penjaminan simpanan nasabah bank untuk meningkatkan kelangsungan usaha bank secara sehat. Dengan demikian maka bagi pemerintah dan kalangan perbankan perlu sekali untuk tetap selalu membangkitkan pemahaman yang benar dari masyarakat terhadap industri perbankan. Hal itu telah diatur dan merupakan satu kewajiban yang tercantum dalam Undang-Undang Perbankan. Kegiatan pokok bank yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada
masyarakat
dengan tujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi serta stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Jika industri perbankan dalam kondisi yang stabil dan baik, tentunya ini akan memberikan pengaruh positif terhadap perekonomian suatu negara, namun jika yang terjadi adalah sebaliknya maka akan memberikan pengaruh negatif terhadap perekonomian suatu negara bahkan meluas kepada sektor lainnya. Pada awal Juli 1997, terjadi depresiasi mata uang Baht Thailand yang memberikan dampak berupa proses penularan regional (contagion effect) ke negara-negara Asia lainnya seperti Korea, Malaysia, dan Filipina tak terkecuali Indonesia. Keadaan ini mengakibatkan krisis yang meluas kepada seluruh sektor
3
kehidupan, termasuk krisis perbankan yaitu melemahnya nilai tukar rupiah tehadap mata uang Baht, Peso dan Ringgit. Dampak dari krisis perbankan menyebabkan 16 bank dinilai oleh otoritas perbankan tidak mungkin lagi dipertahankan eksistensinya, sehingga dicabut izin usahnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (sebelum direvisi dengan Undng-Undang Nomor 10 Tahun 1998), yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan dan mencabut izin usaha bank adalah Menteri Keuangan berdasarkan rekomendasi dari Bank Indonesia. 2 Pencabutan izin usaha bank tersebut mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional menjadi terpuruk . Sebagai tindak lanjut dari pencabutan izin usaha, dilakukan pembubaran badan hukum bank tersebut melalui proses likuidasi bank. Likuidasi bank terhadap 16 bank tersebut, pada saat itu ternyata menimbulkan domino effect antara lain didahului dengan adanya rush disektor perbankan sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional menjadi terpuruk.3 Keadaan ini memperlihatkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap perbankan perlu diperkuat, yaitu perlu diberikan jaminan atas dana yang disimpannya. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan perlu diperkuat. Untuk itu perlu diberikan jaminan atas dana yang disimpannya. Keberadaan suatu sistem penjaminan simpan yang diatur secara tegas dan disusun secara lengkap dan meningkatkan kepercayaan pada akhirnya memperkuat seluruh sistem perbankan. 4 Keinginan tersebut merupakan salah satu wujud perlindungan hukum yang diberikan terhadap nasabah penyimpan dana melalui sistem perbankan Indonesia.
2
Adrian Sutedi, 2007, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 131-132. 3 Ibid. 4 Zulkarnain Sitompul, 2002, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.140
4
Perlindungan hukum memiliki arti sebagai upaya atau tindakan yang diberikan oleh hukum dalam arti peraturan perundang-undangan untuk melindungi subyek hukum dari adanya pelanggaran atas hak dan kewajiban para pihak yang terdapat dalam sebuah hubungan hukum. Perlindungan hukum nasabah penyimpan dana adalah perlindungan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau hukum positif yang berlaku bagi nasabah penyimpan dana. Perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana bertujuan untuk melindungi kepentingan dari nasabah penyimpan dan simpanannya yang disimpan di suatu bank tertentu terhadap suatu resiko kerugian. 5 Di tataran undang-undang maupun Peraturan Bank Indonesia terdapat pengaturan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi nasabah. Sehingga hukum sebagai alat rekayasa social (Law as a tool of social engineering) terlihat aktualisasinya di sini. Menurut sistem perbankan di Indonesia, perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana dapat dilakukan melalui dua cara yakni perlindungan secara implisit dan eksplisit. Perlindungan secara implisit adalah perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. Sedangkan perlindungan secara eksplisit yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut.6 Berdasarkan hal tersebut, sekaligus untuk menghambat melemahnya nilai tukar rupiah, Pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan untuk memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (Blanket Guarantee), namun waktu itu disadari, bahwa penjaminan yang demikian merupakan kebijakan yang bersifat sementara, karena jika keadaan sudah memungkinkan penjaminan harus dibatasi.
5
Hermansyah, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana, hlm. 124.
6
Ibid., hlm. 123.
5
Pelaksanaan penjaminan oleh pemerintah atas seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) terbukti dapat menghentikan arus penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan dan secara perlahan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun demikian luasnya ruang lingkup penjaminan tersebut telah membebani anggaran negara dan dapat menyebabkan timbulnya tindakan kurang hati-hati terhadap resiko yang terjadi (moral hazard) baik dari pengelola bank maupun dari masyarakat, yaitu pengelola bank menjadi kurang hatihati dalam mengelola dana masyarakat, sementara nasabah tidak peduli untuk mengetahui kondisi keuangan bank karena simpanannya dijamin secara penuh oleh pemerintah. Dengan demikian program penjaminan atas seluruh kewajiban bank kurang mendorong terciptanya disiplin pasar.7 Upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas dan agar tetap menciptakan rasa aman dan nyaman bagi nasabah penyimpan dana serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas dan diperlukan sebuah lembaga yang independen, transparan dan akuntabel untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dana. Seakan disadarkan akan pentingnya mengatur penjaminan dana nasabah penyimpan oleh adanya peristiwa krisis moneter, serta mengingat sistem penjaminan yang tengah berjalan pada waktu itu (Blanket Guarantiee), dilakukan penyesuaian terhadap Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan melalui pengundangan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan). Pasal 37B ayat (1) Undang-Undang Perbankan menentukan:
7
http://www.lps.go.id, diakses tanggal 28 Januari 2012.
6
“Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan”. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru tersebut, kewajiban manjamin simpanan nasabah penyimpan merupakan kewajiban yang diletakkan kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan antara bank dengan nasabah. Pasal 37B ayat (2) Undang- Undang Perbankan menyebutkan bahwa: “Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan”. Masalahnya, pemerintah masih kesulitan untuk menentukan momentum yang tepat untuk melaksanakan amanat pasal 37B ayat (2) Undang- Undang Perbankan di atas serta mengakhiri program penjaminan Blanket Guarantee, mengingat pada Tahun 1998 masih terus terjadi gelombang likuidasi berikutnya sehingga praktis ini menyebabkan Blanket Guarantee harus diperpanjang. Sebagai palaksanaan dari amanat Pasal 37B ayat (2) tersebut, pada tanggal 22 September 2004 dibentuk secara resmi suatu lembaga tetap yang bertugas untuk menjamin keamanan dana nasabah dibank yaitu dengan dikeluarkannya UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mulai beroperasi pada tanggal 22 September 2005. Dengan adanya Undang-Undang LPS yang mewajibkan kepada setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia menjadi peserta Penjaminan (sebagaimana dituangkan dalam Pasal 8 (1) Undang-Undang
7
LPS), maka kewajiban menjamin simpanan nasabah yang semula terletak pada bank (sebagaimana dituangkan dalam Pasal 37B Undang-Undang Perbankan), namun bank tersebut dicabut izin usahanya akan beralih menjadi kewajiban LPS dengan pembayaran premi oleh bank kepada LPS sebagai jaminan atas simpanan nasabah yang diperalihkan itu. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang LPS, nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), namun sejak tanggal 13 Oktober 2008 yaitu dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008 tentang Besaran Nilai Simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan, nilai simpanan yang dijamin oleh LPS menjadi Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Dengan demikian terhadap nasabah yang simpanannya melebihi Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) tidak dijamin oleh Undang-Undang LPS. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian jamin (menjamin) adalah menanggung atau berjanji akan memenuhi kewajiban orang lain yang membuat perjanjian apabila perjanjian itu tidak ditepati. Dengan demikian, tidak dijamin berarti tidak ditanggung atau tidak dipenuhi kewajiban orang lain yang membuat perjanjian apabila perjanjian itu tidak ditepati. Berdasarkan pengertian tersebut, simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh UU LPS dapat diartikan sebagai simpanan nasabah yang tidak ditanggung oleh LPS, sehingga menimbulkan pertanyaan bagi penulis, bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan atas simpanan yang tidak dijamin oleh UU LPS.
8
Berkaitan dengan kondisi apabila bank kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha bank tidak dapat dilanjutkan, maka bank tersebut menjadi Bank Gagal yang berakibat dicabut izin usahanya yang kemudian ditindaklanjuti dengan likuidasi bank yang bersangkutan, jika dalam proses likuidasi penjualan aset telah habis namun masih ada nasabah penyimpan yang belum mendapat hak atas simpanannya, muncul pertanyaan bagaimana tanggung jawab bank terhadap nasabah yang demikian. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
lebih
”PERLINDUNGAN
mendalam
guna
HUKUM
menyusun TERHADAP
skripsi
dengan
NASABAH
judul: ATAS
SIMPANANNYA YANG TIDAK DIJAMIN OLEH LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (Suatu Studi terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan)”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan atas simpanannya yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan? 2. Bagaimanakah tanggung jawab bank terhadap nasabah penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank?
9
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui mengenai perlindungan hukum bagi simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. 2. Untuk mengetahui tanggung jawab bank terhadap nasabah penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya literatur tentang perlindungan hukum bagi simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. 2. Kegunaan Praktis Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai perlindungan hukum bagi simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat di jadikan refrensi, bacaan yang bermanfaat, dan sumber informasi bagi penelitian selanjutnya.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Terhadap Perbankan 1. Pengertian dan Sumber Hukum Perbankan Indonesia 1.1 Pengertian Perbankan Definisi perbankan secara yuridis terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perbankan, yaitu: “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.” Hukum yang mengatur tentang perbankan disebut dengan hukum perbankan, namun untuk memberikan definisi hukum perbankan secara operasional sangat sulit. Oleh karena itu, perlu dikemukakan beberapa pengertian hukum perbankan dari para ahli hukum perbankan. Definisi Hukum Perbankan menurut Muhamad Djumhana adalah: “Kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi dan eksistensinya serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain. Dari rumusan tersebut akan terungkap bahwa pengaturan di bidang perbankan, akan menyangkut diantaranya: 1. Dasar-dasar perbankan, yaitu menyangkut asas-asas kegiatan perbankan seperti: norma efisiensi, keefektifan, kesehatan bank, profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga perbankan, serrta hubungan, hak dan kewajibannya. 2. Kedudukan hukum pelaku di bidang perbankan seperti: kaidahkaidah mengenai pengelolanya seperti dewan komisaris, direksi, karyawan maupun pihak yang terafiliasi, juga mengenai bentuk dan badan hukum pengelolanya, serta mengenai kepemilikannya. 3. Kaidah-kaidah perbankan yang secara khusus yang memperhatikan kepentingan umum seperti kaidah-kaidah yang mencegah persaingan
11
yang tidak wajar, antitrust, perlindungan terhadap konsumen (nasabah), dan lain-lainnya. Di Indonesia bahkan mempunyai kekhususan tersendiri, yaitu bahwa perbankan nasional harus memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan unsurunsur pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional. 4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur organisasi, yang mendukung kebijakan ekonomi dan moneter pemerintah, seperti Dewan Moneter, dan Bank Sentral. 5. Kaidah-kaidah yang mengarahkan kehidupan perekonomian yang berupa dasar-dasar untuk perwujudan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya melalui penetapan sanksi, insentif, dan sebagainya. 6. Keterkaitan satu sama lainnya dari ketentuan dan kaidah-kaidah hukum tersebut sehingga tidak mungkin berdiri sendiri, malahan keterkaitannya merupakan hubungan logis dari bagian-bagian lainnya.”8 Menurut Munir Fuady dalam bukunya Hukum Perbankan Modern mendefinisikan hukum perbankan adalah: “Serangkaian kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundangundangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, prilaku petugas-petugasnya, hak, kewajuban, tugas, dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan tersebut.”9
Hukum Perbankan Indonesia berbeda dengan Hukum Perbankan negara lain, karena memiliki karakteristik yang menjdi ciri khas dari Hukum Perbankan yang berlaku di negara lain.
Bentuk dan jenis sesuatu sangat dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi lingkungan, baik dari segi sosial budaya maupun dari segi alam, dan sejarah perkembangannya. Demikian pula corak perbankan Indonesia mempunyai kekhasan karakterisyik yang mungkin sedikit berbeda 8
Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 1-2. 9 Munir Fuady, 1999, Hukum Perbankan Modern (Berdasarkan UU Th 1998) Buku Kesatu, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm. 14.
12
dengan corak perbankan yang lazim dinegara lain, tetapi secara umumnya corak perbankan di Nusantara tatap sama dengan yang berlaku menyeluruh di belahan dunia manapun. Kekhasan ini banyak dipengaruhi oleh ideologi Pancasila, yang kemudian dijabarkan lagi dalam Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Garis-Garis Basar Haluan Negara. Kekhasan yang terlihat jelas dalam kehidupan perbankan Indonesia, di antaranya: 1. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utamanya adalah sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat, dan bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka menigkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah penigkatan kesejahteraan rakyat banyak (Pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan); 2. Perbankan Indoensia sebagai sarana pembagunan nasional, juga guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan mekmur berdasarkan Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945, pelaksaan perbankan Indonesia harus nayak memperhatikan keserasian, keselarasan, dan kesemimbangan unsur-unsur Trilogi Pembangunan; 3. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi, dan tanggung jawabnya kepada masyarakat tetap harus senantiasa bergarak cepat guna menghadapi tantangan yang semakin berat dan luas dalam perkembangan perekonomian nasional maupun internasional. 10
1.2 Sumber Hukum Perbankan Sumber hukum Perbankan Indonesia yang dimaksud meliputi sumber hukum dalam arti material maupun sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti material adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum itu sendiri, yang terdiri dari jenis-jenisnya sehingga bergantung dari sudut mana dilakukan peninjauannya, apakah dari sudut pandang ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan lain sebagainya. Dalam bidang hukum, hal yang terpenting dalam pelaksanaan kehidupan hukum adalah sumber hukum formal, 10
2012.
http://hasibah.wordpress.com/2010/11/05/hukum-perbankan/html diakses tanggal 17 Mei
13
adapun sumber hukum dalam arti material baru diperhatikan jika dianggap perlu untuk diketahui asal-usul kaidah hukum tersebut. Sumber hukum formal Perbankan Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar 1945 (terutama Pasal 33); 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-undang pokok dibidang Perbankan dan undang-undang sektoral yang terkait, seperti: a. Undang-Undang
Nomor
7
Tahun
1992
tentang
Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar; d. Burgerlijk Wetboek
(Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata),
terutama ketentuan Buku II dan Buku III mengenai hukum jaminan dan perjanjian; e. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), terutama ketentuan Buku I mengenai surat-surat berharga; f. Faillisement Verordening (Peraturan Kepailitan) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
14
Nomor 1 Tahun 1998 yang disahkan menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998; g. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; h. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; i. Undang-Undang
Nomor
7
Tahun 1994
tentang
Pengesahan
Agreement Establishing World Organization; j. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; k. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; l. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; m. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah; 4. Peraturan Pemerintah, seperti: a. Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program Rekapitulasi Bank Umum; b. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional; c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1999 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri. 5. Keputusan Presiden, seperti: a. Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia;
15
b. Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat; c. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 1998 tentang Bidang/Jenis Usaha yang dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang Terbuka untuk Usaha Menengah atau Usaha Besar Dengan Syarat Kemitraan; d. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum; Selain itu kita ketahui pula, bahwa di samping sumber hukum formal terdapat faktor-faktor lain yang membantu pembentukan hukum perbankan, yaitu diantaranya perjanjian, yurisprudensi, dan doktrin. 11 2. Asas, Fungsi, dan Tujuan Perbankan 2.1 Asas Perbankan Kegiatan operasional lembaga perbankan perlu dilandasi dengan asas hukum. Asas hukum merupakan dasar atau Ratio Legis bagi debentuknya suatu norma hukum, demikian pula sebaliknya norma hukum harus dapat dikembalikan kepada asas hukumnya. Asas hukum adalah dasr normatif pembentukan hukum, tanpa asas hukum positif tidak memiliki makna dan kehilangan watak normatif, dan untuk menjadi aturan suatu asas memerlukan bentuk yuridis. 12 Asas-asas yang dikenal dalam Perbankan Indonesia yaitu: Asas Demokrasi Ekonomi, Asas Kehati-hatian (Prudential Principle), Asas
11
Ibid., hlm. 11. Djuhaendah Hasan, Asas-Asas dan Norma Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia, Makalah, Bandung, Tanpa Tahun, hlm. 10. 12
16
Kepercayaan (Fiduciary Principle), Asas Kerahasiaan (Confidential Principle), dan Asas Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle). a. Asas Demokrasi Ekonomi Salah satu Asas Perbankan yang dianut di Indonesia ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan yang mengemukakan bahwa: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Asas demokrasi ekonomi yang dimaksud adalah demokrasi ekonomi yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini terdapat dalam penjelasan umum dan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan. Berkaitan dengan itu, umtuk memperoleh pengertian mengenai makna demokrasi ekonomi Indonesia itu, dalam ceramahnya di Gedung Kebangkitan Nasional angga 16 Mei 1981, ahli ekonomi Universitas Gadjah Mada Mubyarto merumuskan bahwa demokrasi ekonomi Indonesia sebagai Demikrasi ekonomi Pancasila mempunyai ciri-ciri sebagaiberikut: pertama, dalam sistem ekonomi Pancasila koperasi ialah siko guru perekonomian; kedua, perekonomian Pancasila digerakkan oleh rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial, dan yang paling penting ialah moral; ketiga, perekonomian Pancasila ada hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam Pancasila terdapat solidaritas sosial; keempat, perkonomian Pancasila berkaitan dengan persatuan Indonesia, yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi. Sedangkan sistem perekonomian kapitalis pada dasarnya kosmopolitanisme, sehingga dalam mengejar keuntungan tidak mengenal batas-batas negara; kelima, sistem perkonomian Pancasila tegas dan jelas adanya keseimbangan antara perencanaan sentral (nasional) dengan tekanan pada desentralisasi di dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi. 13
13
Hermansyah, Op. Cit., hlm. 19.
17
b. Asas Kehati-hatian (Prudential Principle) Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan juga mengatur bahwa asas demokrasi ekonomi sebagaimana diuraikan di atas dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Adapun mengenai prinsip kehati-hatian tersebut tidak ada penjelasan secara resmi, tetapi kita dapat mengemukakan bahwa bank dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, terutama dalam membuat
kebijaksanaan
dan
menjalankan
kegiatan
usahanya
wajib
menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing secara cermat, teliti, dan profesional sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat. Asas kehati-hatian menurut Zulfi Diane Zaini dalam bukumya Independensi Bank Indonesia dan Penyelesaian Bank Bermasalah adalah: Asas kehati-hatian (Prudential Principle) adalah: suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan Prinsip Kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. 14 Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi seluruh ketentuan dan norma hukum yang berlaku di dunia perbankan secara konsisten dengan didasari oleh itikad baik. Prinsip kehati-hatian ini tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
14
Zulfi Diane Zaini, 2012, Independensi Bank Indonesia dan Penyelesaian Bank Bermasalah, Bandung: CV. Keni Media, hlm. 56.
18
c. Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle) Asas Kepercayaan (Fiduciary Relation Principle) adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank. Asas Kepercayaan adalah: Suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan nasabah. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya. Kemauan masyarakat untuk menyimpan sebagian uangnya dibank, semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperolehnya kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan dan disertai dengan imbalan.15 Asas Kepercayaan (Fiduciary Relation Principle) ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perbankan, yaitu: “Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”. d. Asas Kerahasiaan (Confidential Principle) Asas Kerahasiaan adalah (Confidential Principle) adalah: Asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank menurut kelaziman dunia perbankan (wajib) dirahasiakan kerahasiaan tersebut adalah: Untuk kepentingan bank sendiri karena bank memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya dibank. 16 Asas Kerahasiaan (Confidential Principle) tercermin dalam Pasal 1 angka 28 dan Pasal 40 sampai dengan Pasal 44A Undang-Undang Perbankan. Menurut Pasal 40 Undang-Undang Perbankan, bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun dalam 15 16
Ibid, hlm. 55. Ibid, hlm. 56.
19
ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan dalam hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia
Urusan Piutang Negara
(UPLN/PUPN), untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar informasi antar bank yang kesemuanya itu atas permintaan, persetujuan/kuasa dari nasabah penyimpan/ahli warisnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41A, 42, 43, 44 dan 44A Undang-Undang Perbankan. e. Asas Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle). Asas mengenal nasabah (Know Your Customer Principle) adalah asas yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui nasabah, memantau kegiatan transaksi termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Asas ini tercermin dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Tujuan yang hendak
dicapai
dalam penerapan prinsip
mengenal
nasabah adalah
meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan.
20
2.2
Fungsi Perbankan Fungsi Perbankan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang
Perbankan yang mengemukakan bahwa: “Fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”. Ketentuan di atas menunjukkan fungsi utama perbankan yaitu sebagai “Financial Intermediary” yaitu perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dana (lock of funds) serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Fungsi utama ini akan terasa dengan memperhatikan ilustrasi sebagai berikut: dalam masyarakat pihak-pihak yang kelebihan dana dan tidak dapat mengelolanya, demi mengamankan dana tersebut kemudian menyimpannya dibank, selanjutnya dana yang terhimpun dibank tersebut oleh bank akan disalurkan kepada pihak yang kekurangan dana. Katakanlah pihak yang kekurangan dana adalah sebuah perusahaan yang kegiatan usahanya memproduksi barang, dengan demikian dana yang disalurkan tersebut akan lebih meningkat kegunaannya yaitu kegiatan produksi perusahaan tersebut dapat terus berjalan sehingga menyelamatkan pula nasib para pegawai dengan memberikan gaji yang normal. 2.3
Tujuan Perbankan Perbankan di Indonesia mempunyai tujuan yang strategis dan tidak semata-mata berorientasi ekonomis, tetapi juga berorientasi kepada hal-
21
hal yang non-ekonomis seperti masalah menyangkut stabilitas nasional yang mencakup antara lain stabilitas politik dan stabilitas sosial. 17 Mengenai tujuan perbankan secara lengkap diatur dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Perbankan yang mengemukakan bahwa: “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam
rangka
meningkatkan
pemerataan,
pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. Seluruh pengaturan operasional perbankan dan hal-hal lain yang terkait dengan itu, seperti asas dan fungsi perbankan, pada dasarnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan perbankan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan di atas. Fungsi pengaturan perbankan secara umum terbagi atas: a. Fungsi untuk tujuan moneter, ditujukan untuk mendorong stabilitas moneter di Indonesia. Oleh karena masih dominannya perbankan di Indonesia sebagai salah satu sumber pembiayaan investasi. b. Fungsi untuk tujuan pengawasan terhadap kegiatan usaha perbankan. Pengaturan ini ditujukan dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan bank maupun kesehatan sistem keuangan secara keseluruhan, sehingga diharapkan agar bank melaksanakan praktikpraktik perbankan yang sehat serta menjaga persaingan yang sehat diantara pelaku perbankan. c. Fungsi untuk tujuan pencapaian program pembangunan Indonesia. 18 Dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, diharapkan lembaga perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya dapat melindungi kepentingan masyarakat penyimpan dana khususnya, serta menunjang kegiatan ekonomi pada umumnya, terutama dalam lingkup dunia usaha dapat menunjang perkembangan sektor riil yang lebih baik dan dapat berperan dalam mengembangkan perekonomian nasional. Lembaga
17
Hermansyah, Op. Cit, hlm. 20. Heru Soepraptomo, Analisis Ekonomi terhadap Hukum Perbankan, Newsletter No. 28/VII/Maret/1997, Jakarta, 1997, hlm. 1-2. 18
22
perbankan dituntut mampu menciptakan stabilitas nasional dalam arti yang seluas-luasnya. 19 3. Pengertian Bank Untuk memberikan pengertian tentang bank dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Untuk itu sebagai gambaran umum, berikut adalah beberapa pengertian bank, yakni : Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian bank adalah sebagai berikut: Bank adalah usaha dibidang keuangn yang menarik dan mengeluarkan uang dimasyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. 20 Prof. G. M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik memberikan pendapat mengenai bank, yang disitir oleh Thomas Suyatno sebagai berikut: Bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral. 21 Menurut Hermansyah, dalam bukunya, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, mengatakan bahwa: Pada dasarnya bank adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan untuk menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada
19
Zulfi Diane Zaini, Op. Cit., hlm. 57. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2008, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: Balai Pustaka. 21 Thomas Suyatno, 1997, Kelembagaan Perbankan, Bandung: Gramedia, hlm. 1. 20
23
pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan/atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. 22 Definisi Bank menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perbankan yaitu: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. 4. Jenis-Jenis Bank 4.1 Dilihat dari bidang usahanya Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bank menurut jenisnya dibagi menjadi dua, yaitu : 1) Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perbankan). 2) Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perbankan). 4.2 Dilihat dari kepemilikannya Dilihat dari kepemilikannya bank dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu : 1) Bank Umum Milik Negara, yaitu bank yang hanya dapat didirikan berdasarkan undang-undang. 2) Bank Umum Swasta, yaitu bank yang hanya dapat didirikan dan menjalankan usahanya setelah mendapatkan izin dari pimpinan Bank Indonesia. 3) Bank Campuran, yaitu bank umum yang didirikan bersamaan oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan 22
Hermansyah, Op. Cit., hlm. 19.
24
didirikan oleh warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleg warga Negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri. 4) Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu Bank Pembangunan Daerah. 23 4.3 Dilihat Dari Status dan Kedudukannya Status dan kedudukan bank diukur dari kemampuannya dalam melayani masyarakat yang terdiri dari jumlah produk yang ditawarkan, modal, serta kualitas pelayanannya. Terdiri dari: 1) Bank Devisa, yaitu bank yang dapat melaksanakan transaksi ke luar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing, misalnya transfer ke luar negeri, inkaso ke luar negeri, travelers cheque, pembukaan dan pembayaran Letter of Credit, dan transaksi lainnya. 2) Bank Non Devisa, yaitu bank yang belum memiliki ijin untuk melaksanakan transaksi ke luar negeri seperti yang dilakukan oleh Bank Devisa. Sehingga transaksi yang dilakukan oleh bank ini meliputi transaksi dalam negeri. 24 4.4 Dilihat Dari Aspek Cara Menentukan Harga; Jenis bank dilihat dari aspek menentukan harga, baik harga beli maupun harga jual dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Bank Konvensional, yaitu bank yang melaksanakan prinsip konvensional yang menggunakan dua metode, yaitu: a) menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk simpanan seperti giro, tabungan, deposito berjangka, maupun produk pinjaman (kredit) yang diberikan berdasarkan tingakt bunga tertentu. b) untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak bank menggunakan atau menerapkan berbagai biaya dalam nominal atau prosentase tertentu. Sistem penetapan biaya ini disebut fee based. 2) Bank Syariah (bank bagi hasil), yaitu bank yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah Islam. 25
23
Widjanarto, 2003, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, hlm. 56-58. 24 Martono, 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta: Ekonisia, hlm. 30. 25 Ibid, hlm. 30-31.
25
5. Bentuk Hukum Bank Persyaratan untuk memperoleh izin biasanya diikuti oleh berbagai syarat dan salah satu syaratnya adalah bentuk hukum bank yang akan didirikan. Ada beberapa bentuk hukum bank yang dapat dipilih jika ingin mendirikan bank. Adapun bentuk hukum bank di Indonesia mengacu pada jenis bank itu sendiri. Untuk bentuk hukum Bank Umum menurut Pasal 21 ayat 1 Perbankan dapat berupa salah satu dari bentuk hukum berikut ini: a. Perseroan Terbatas b. Koperasi, atau c. Perusahaan Daerah Ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang baru sedikit berbeda dengan ketentuan dalam pasal yang sama dalam Undang-Undang Perbankan yang sebelumnya, di mana dalam ketentuan yang baru tidak mengakui Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagai salah satu bentuk hukum Bank Umum, meski kenyataannya sampai saat ini bank-bank negara masih tetap memakai nama PT PERSERO tanpa perbedaan perlakuan apapun dengan Perseroan Terbatas yang biasa. Hal ini dapat difahami bahwa nama PERSERO itu sampai saat ini masih dipakai karena sudah terlanjur terdaftar sebagai korespondennya di luar negeri dan apabila hendak merubahnya bukan sesuatu yang sederhana dilakukan. Sedangkan bentuk hukum Bank Perkreditan Rakyat menurut Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Perbankan dapat berupa salah satu dari bentuk hukum berikut ini:
26
a. Perusahaan Daerah b. Koperasi c. Perseroan Terbatas d. Atau bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Perbankan yang baru tidak mengalami perbedaan dengan ketentuan pasal yang sama dalam Undang-Undang Perbankan sebelumnya seperti halnya Pasal 21 ayat (1) di atas dan sampai saat ini masih berlaku untuk bentuk hukum Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Adanya bentuk hukum lain yang akan diatur oleh Peraturan Pemerintah adalah dimaksudkan untuk memberikan wadah kepada lembaga penyelenggara perbankan yang lebih kecil dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR), seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Badan Kredit Desa, dan lembaga-lembaga lainnya. 6. Kegiatan Usaha Bank Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perbankan menunjukkan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum, yaitu sebagai berikut : a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. memberikan kredit; c. menerbitkan surat pengakuan hutang; d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya: 1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud; 2) surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan suratsurat dimaksud; 3) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah; 4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI); 5) obligasi;
27
6) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun; 7) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun; e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah; f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya; g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga; h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga; i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak; j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek; k. membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya; l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat; m. menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas, berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Perbankan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum adalah sebagai berikut : a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank antara perusahaan lain dibidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaanny, dengn memenuhi etentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; d. bertindak sebagai pendiri dana pensiunan dan pengurus dana pensiunan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiunan yang berlaku.
28
Bank Umum dilarang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Undang-Undang Perbankan, yaitu: a. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c; b. melakukan usaha perasuransin; c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7. Kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Perbankan, di mana dalam ketentuan huruf c Undang-Undang Perbankan yang baru diganti sehingga berbunyi: “Menyediakan pembiayaan dan penempatan uang berdasarkan prinsip Syari‟ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia” Berdasarkan hal di atas, usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Perbankan adalah: a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. Memberikan kredit; c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan uang berdasarkan prinsip Syari‟ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan dalam bank lain. Kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan perlu disesuaikan dengan adanya batasan jenis-jenis pelayanan yang dapat diberikan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Untuk itu, dalam Pasal 14 Undang-Undang Perbankan ditentukan bahwa:
29
“Bank Perkreditan Rakyat dilarang: a. Menerima simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing; c. Melakukan penyertaan modal; d. Melakukan usaha perasuransian; e. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.” 7. Tinjauan Umum Bank Indonesia sebagai Bank Sentral 7.1 Dasar Hukum Bank Indonesia Bank Indonesia (selanjutnya disebut sebagai BI) adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 D Undang-Undang Dasar tahun 1945. BI pertama kali diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia, yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 13 tahun 1968 tentang Bank sentral. Seiring perkembangan zaman, keberadaan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1968 tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi, diantaranya belum menjamin seutuhnya kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga independen. Berkaitan dengan hal tersebut, dirasakan perlunya UndangUndang tentang Bank Sentral yang dapat memberikan landasan hukum kuat bagi terselenggaranya tugas bank sentral secara efektif. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang diundangkan tanggal 17 Mei 1999 diharapkan dapat menjadi landasan kokoh bagi terselenggaranya bank sentral yang efektif dan independen. Kemudian di tahun 2004 diundangkan Undang-Undang No 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia atas perubahan Undang-Undang No 23 tahun 1999 (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang BI). Dilakukan perubahan guna dilaksanakannya prinsip
30
keseimbangan antara independensi BI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan pengawasan dan tanggung jawab atas kinerjanya serta akuntabilitas publik yang transparan. Di tahun 2008, Indonesia terkena dampak krisis global sebagai akibat krisis keuangan di Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia berupaya membendung dampak krisis keuangan Amerika Serikat sehingga stabilitas sistem keuangan tetap terpelihara. Salah satu dengan cara merubah kriteria agunan yang dijaminkan oleh bank untuk memperoleh kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia. 26 Pemerintah menilai kebutuhan perubahan kriteria tersebut merupakan keadaan kepentingan yang memaksa sehingga presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2009 pada tanggal 13 Januari 2009. 7.2 Tujuan dan Tugas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Tujuan BI secara tegas dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) UndangUndang BI, yaitu: “Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah” Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta terhadap mata uang negara lain, dan
26
Suryo Pranoto, Analisis dan Krisis Global terhadap Perbankan Syariah,Tersedia : http://Suryodsign.wordpress.com (25 September 2011),2009,hlm 37.
31
kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.27 Demikian tujuan BI saat ini sesuai dengan Undang-Undang BI adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut BI mempunyai tiga tugas utama, yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang BI. 1. Tugas Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan moneter Untuk mencapai tujuan Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan nilai rupiah, fungsi menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan moneter tercermin dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang BI menegaskan bahwa: “Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Bnk Indonesia berwenang: a. menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi; b. melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan caracara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada: 1) operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing; 2) penetapan tingkat diskonto; 3) penetapan cadangan wajib minimum; 4) pengaturan kredit atau pembiayaan.” a) Peran Bank Indonesia sebagai Lender of Last Resort Peran pokok BI yang tetap dan tidak berubah dari ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 adalah sebagai pemberi pinjaman
27
Abdul Kadir Muhammad & Rilda Murniati, 2004, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 38.
32
dalam keadaan darurat (lender of last resort) kepada bank yang mengalami krisis kesulitan pendanaan jangka pendek. Dalam hal ini, Bank Indonesia hanya membantu dengan kriteria mengalami mismatch yang disebabkan oleh risiko kredit dan risiko pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, risiko kredit atau risiko pasar. Bank Indonesia memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistematis dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan.28 Untuk mencegah penyalahgunaan kredit dari Bank Indonesia tersebut maka pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibatasi selama-lamanya 90 (sembilan puluh) hari dan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah itu harus dijamin dengan surat berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, bila kredit dari Bank Indonesia tersebut tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia berhak mencairkan agunan yang dikuasainya. Transaparansi Bank Indonesia akan dinilai dari akuntabilitas yang terukur dalam menerapkan formula atau mengkategorikan lembaga keuangan yang patut memperoleh fasilitas pertolongan darurat. Formula seperti itu penting diungkapkan secara terbuka agar publik mempunyai kesempatan menilai kondisi suatu bank sebelum dikategorikan insolvent, bangkrut, mengalami mismatch atau ada indikasi moral hazard dijajaran pengurus atau pemiliknya. Di samping itu juga untuk menepis berkembangnya isu atau desasdesus tidak jelas yang tidak menguntungkan upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat, transparan dan kompetitif. Selain itu, juga untuk menagkal penilaian subjektif seperti ketakutan yang tidak proporsional hanya atas dasar alih penutupan atau pencabutan izin suatu bank akan membawa risiko sistematik berupa domino 28
Hermansyah, Op.cit., hlm. 47.
33
effect yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan yang menjadi runtuh.29 b) Pengendalian Moneter Bank Indonesia dalam hal dalam menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah, dimana dalam menetapkannya pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia menetapkan kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat, serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.30 Dalam hal nilai tukar, BI melaksanakan kebijakan nilai tukar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden. Fungsi BI dalam hal ini adalah hanya terbatas sekedar memberi usulan kepada pemerintah dan hanya bertugas menjalankan kebijakan nilai tukar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kewenangan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan nilai tukar itu antara lain : 1) Devaluasi atau revaluasi terhadap mata uang asing dalam sistem nilai tukar tetap (fixed rate) 2) Intervensi pasar dalam sistem nilai tukar mengambang (floating rate) 3) Penetapan nilai tukar harian serta lebar peta intervensi dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating rate).31
29
Didik J. Rachbini, dkk., Op. cit., hlm. 173. O. P. Simorangkir, 2000, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 23. 31 Malayu S. P. Hasibuan, 2001, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Bumi Aksara), hlm. 34. 30
34
BI juga berwenang melakukan pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka di pasar uang baik berupa rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, pengaturan kredit atau pembiayaan. 2. Tugas Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran Kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 23 UndangUndang BI. Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang untuk melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan kegiatannya serta menetapkan penggunaan alat pembayaran. Kewajiban menyampaikan laporan secara berkala dimaksudkan agar BI dapat memantau penyelenggaraan sistem pembayaran. Sedangkan, penetapan alat pembayaran dimaksudkan agar alat pembayaran yang digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan bagi pengguna, termasuk membatasi penggunaan alat pembayaran tertentu dalam rangka prinsip kehatihatian. Tuntutan yang mengemuka di masa depan adalah bagaimana Bank Indonesia mampu melengkapi instrumentasi dan keahliannya agar dapat mengikuti atau menselaraskan kepesatan kemajuan teknologi dan derivat sistem pembayaran yang telah berkembang demikian canggih dan mengglobal. 32
32
Didik J. Rachbini, Op. Cit., hlm. 178.
35
a) Sistem dan Penyelenggaraan kliring Bank Indonesia bertugas dalam hal memperluas, memperlancar serta mengatur lalu lintas pembayaran giral antar bank, yaitu kegiatan bayarmembayar dengan warkat bank yang diperhitungkan atas beban dan untuk kepentingan nasabah bank yang telah ditetapkan. 33 Penyelenggaraan kegiatan kliring antar bank serta penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang mendapat persetujuan Bank Indonesia, dan Bank Indonesia akan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia dalam menetapkan mekanisme untuk meminimalkan
risiko
kegagalan
pemenuhan
kewajiban
bank
dalam
penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank. b) Mengeluarkan dan Mengedarkan uang Salah satu fungsi bank sentral yang cukup vital adalah kewenangannya dalam menerbitkan uang dari suatu Negara (note issue), dan ini adalah kewenangan yang memonopoli dari bank sentral. 34 Sesuai amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah. Bank Indonesia mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam yang merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia. 35 Kewenangan itu adalah mencabut, menarik serta memusnahkan uang, menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan penentuan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai konsekuensi dari ketentuan tersebut, maka Bank Indonesia harus menjamin ketersediaan uang di masyarakat dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas memadai. 36
33
Thomas Suyatno, Op. Cit., hlm. 72. Munir Fuady, Op.Cit. hlm. 118. 35 Thomas Suyatno, Op.Cit., hlm. 19. 36 Malayu S. P. Hasibuan, Loc. cit. 34
36
Uang yang dikeluarkan oleh BI dibebaskan dari bea materai dan mencabut atau menarik uang rupiah dari peredaran dengan memberikan penggantian yang sama nilainya. Dalam hal ini, Bank Indonesia memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan penukaran uang dalam pecahan yang sama. 3. Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank Pengaturan dan Pengawasan Bank merupakan salah satu tugas Bank Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang BI. Dalam rangka melaksanakan tugas ini, BI melakukan hal sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang BI mengatur sebagai berikut: “Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.” Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang BI berwenang menetapkan ketentuan‐ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati‐hatian. Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, Bank Indonesia memiliki kewenangan yang diatur dalam pasal 26 Undang-Undang BI, yaitu : a. memberikan dan mencabut izin usaha bank; b. memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank; c. memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank; d. memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan‐kegiatan usaha tertentu.
37
Bank Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan terhadap bank baik dengan cara pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan tidak langsung adalah dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank. Pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Pada dasarnya, pemeriksaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilaksanakan secara berkala sekurangkurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank. Di samping itu, pemeriksaan dapat dilakukan setiap waktu jika dipandang perlu, untuk meyakinkan pengawasan hasil tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan dari praktek perbankan yang sehat.37 Bank Indonesia berwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dimana hal ini dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan (Pasal 28 Undang-Undang BI). Pemeriksaan terhadap bank dilakukan secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan dan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan. Bank dan pihak lain tersebut wajib memberikan kepada pemeriksa: a. keterangan dan data yang diminta; b. kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya; c. hal‐hal lain yang diperlukan seperti salinan dokumen yang diperlukan dan lain‐lain (Pasal 29 Undang-Undang BI).
37
Ibid.
38
Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaaan terhadap bank (Pasal 30 UndangUndang BI) Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan (Pasal 31 Undang-Undang BI). Dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang‐undang tentang Perbankan yang berlaku (Pasal 33 Undang-Undang BI).
B. Tinjauan Mengenai Perlindungan Hukum dan Nasabah 1. Perlindungan Hukum Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga dalam hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaedah. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah. 38 Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan hak dan kewajiban. Hak 38
39.
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm.
39
dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman. Sehubungan dengan hal di atas, menurut Hermansyah: Perlindungan hukum memiliki arti sebagai upaya atau tindakan yang diberikan oleh hukum dalam arti peraturan perundang-undangan untuk melindungi subyek hukum dari adanya pelanggaran atas hak dan kewajiban para pihak yang terdapat dalam sebuah hubungan hukum. Perlindungan hukum nasabah penyimpan dana adalah perlindungan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau hukum positif yang berlaku bagi nasabah penyimpan dana. Perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana bertujuan untuk melindungi kepentingan dari nasabah penyimpan dan simpanannya yang disimpan di suatu bank tertentu terhadap suatu resiko kerugian.39 Sulistyandari dalam bukunya Hukum Perbankan: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, mengemukakan bahwa: Perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya untuk mempertahankan haknya tersebut.40
39
Hermansyah, Op. Cit., hlm. 124. Sulistyandari, 2012, Hukum Perbankan: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, Sidoarjo: Laros, hlm. 283. 40
40
Mengenai hak dan kewajiban Nicolai memberikan pengertian sebagai berikut: “Een recht hould in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepalde feitelijk handeling te verichten of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op het verichten van een handeling door een ander. Een plicht implieert een verplichting om een bepaalde handeling te verichten of na laten” (Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak meakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).41 Perlindungan hukum tersebut dapat bersifat preventif maupun bersifat represif sebagaimana pendapat Philipus M. Hadjon yang disitir oleh Sulistyandari, yaitu: Dalam menganalisis perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan perlindungan hukum represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Di dalam perlindungan hukum bagi rakyat ini minimal ada dua pihak, di mana perlindungan hukum difokuskan pada salah satu pihak, pemerintah disatu pihak dengan tindakn-tindakannya, berhadapan dengan rakyat yang dikenai tidakantindakan pemerintah tersebut.42
41 42
Nicolai dalam Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 283. Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 283-284.
41
2. Pengertian Nasabah Nasabah dapat didefenisikan sebagai pihak yang menggunakan jasa suatu bank. Nasabah dibagi atas nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah penyimpan dapat didefenisikan sebagai nasabah yang menyimpan dana dibank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Perbankan yang menyebutkan bahwa: “Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank sebagaimana dalam undang-Undang yang berlaku.” Sementara nasabah debitur didefenisikan sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Perbankan yang menyebutkan bahwa: “Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.” Adapun nasabah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nasabah penyimpan. 3. Hubungan Hukum antara Bank dengan Nasabah Penyimpan Undang-Undang Perbankan tidak mengatur secara tegas mengenai hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan, namun dari beberapa ketentuan dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum antara bank dengan nasabah adalah berdasarkan suatu perjanjian penyimpanan. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perbankan :
42
“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu”. Perjanjian penyimpanan dana merupakan dasar hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan. Hubungan hukum antara bank dengan nasabah menurut Munir Fuady terdiri dari dua bentuk, yaitu: 1) hubungan kontraktual, dan 2) hubungan non kontraktual. 43 Lebih lanjut Munir Fuady memberikan penjelasan hubungan hukum antara bank dengan nasabah sebagai berikut: Hubungan hukum antara bank dengan nasabah bersumber dari ketentuanketentuan buku III (Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata), didasarkan atas ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagai aturan yang bersifat umum. Selain itu didasarkan atas aturan-aturan yang bersifat khusus mengenai pinjam pakai habis Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata44. Ketentuan mengenai hubungan hukum di atas juga menunjukkan bahwa hubungan antara bank dengan nasabah yang berdasarkan hubungan kontraktual berlaku hampir terhadap semua nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan, ataupun nasabah non-deposan non-debitur sebagai berikut: Terhadap nasabah debitur, hubungan kontraktual tersebut berdasarkan atas suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai kreditur (pemberi dana) dengan pihak debitur (peminjam dana).
43 44
Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 102. Ibid.
43
Hukum kontrak yang menjadi dasar terhadap hubungan bank dan nasabah debitur bersumber dari ketentuan-ketentuan KUH Perdata tentang kontrak (buku ketiga). Sebab, menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undangundang bagi kedua belah pihak. Namun demikian, selain dari ketentuan umum mengenai kontrak berlaku untuk semua jenis kontrak, sebagaian sarjana berpendapat bahwa perjanjian kredit bank diatur juga oleh ketentuan khusus mengenai “pinjam pakai habis” (Verbruiklening) vide Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata.45 Hubungan kontraktual terhadap nasabah deposan ataupun nasabah nondeposan non-debitur adalah: Berbeda dengan nasabah debitur, maka untuk nasabah deposan atau nasabah non-debitur, tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur untuk kontrak jenis ini dalam KUH Perdata. Karena itu kontrak-kontrak untuk nasabah seperti itu hanya tunduk kepada ketentuan-ketentuan umum dari KUH Perdatamengenai kontrak. Di samping itu, berbeda dengan kontrak untuk nasabah debitur, in casu kontrak kredit yang seringkali diatur cukup komprehensif, maka untuk kontrak antara bank dengan nasabah deposan atau nasabah non-deposan non-debitur lazimnya hanya diatur dalam bentuk kontrak yang sangat simpel. 46 Hubungan hukum kontraktual tersebut dapat terjadi dalam tiga jenis, yaitu: 1) sebagai hubungan debitur (bank) dan kreditur (nasabah); 2) sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekedar hubungan antara debitur dengan kreditur; 3) sebagai hubungan implied contract yaitu hubungan kontrak yang tersirat.47 Hubungan hukum anatara bank dengan nasabah di samping hubungan kontraktual, adalah hubungan non kontraktual. Menurut Munir Fuady ada enam jenis hubungan kontraktual, yaitu: 1) 2) 3) 4) 45
Hubungan Fidusia (fiduciary relation), Hubungan Konfidensial, Hubungan Bailor-Bailee, Hubungan Principal-Agent,
Ibid. Ibid, hlm 102-103. 47 Ibid, hlm.103. 46
44
5) Hubungan Mortgagor-Mortgagee, 6) Hubungan Trustee-Beneficiary. 48 Berhubung hukum di Indonesia tidak dengan tegas mengakui hubunganhubungan tersebut, maka hubungan-hubungan tersebut baru dapat dilaksanakan jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak untuk hal tersebut. Atau setidaktidaknya ada kebiasaan dalam praktek perbankan untuk mengakui eksistensi kedua hubungan tersebut. Sedangkan mengenai pengertian hubungan non kontraktual dapat dijelaskan sebagai berikut: Yang dimaksud dari hubungan non kontraktual ini adalah bahwa hubungan nasabah penyimpan dengan bank itu muncul bukan karena adanya kontrak/perjanjian, melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya hukum tertulis/peraturan perundang-undangan yang mengaturnya atau hukum tidak tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan yang mengaturnya. Dalam peraturan perundangan perbankan di Indonesia, hubungan non kontraktual ini bisa dilihat antara lain dalam UU Perbankan, UU BI, berserta peraturan pelaksananya. 49 Sulistyandari mengemukakan hubungan non kontraktual dilihat antara lain dalam Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang BI, Undang-Undang LPS, serta peraturan pelaksananya sebagai hubungan kepercayaan, hubungan kehatihatian, hubungan kerahasiaan, hubungan menjamin dana simpanan, hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah, hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah. Lebih lanjut mengenai inti masing-masing hubungan di atas yang merupakan hubungan non kontraktual, adalah sebagai berikut:
48
Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 104. Sulistyandari, Aspek Hukum Pembobolan Uang Nasabah Bank (Bagian II), Senin, 11 April 2011, tersedia: http://gagasanhukum.wordpress.com diakses tanggal 24 Mei 2012. 49
45
1. Hubungan kepercayaan, dapat diuraikan sebagai berikut: Bank adalah lembaga perantara/intermediasi (intermediary institution), di mana bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, di sini muncul hubungan hukum antara bank (debitur) dengan nasabah penyimpan (kreditur), nasabah penyimpan mempercayakan dana simpanannya kepada bank untuk dikelola, untuk itu nasabah penyimpan berhak atas pengembalian simapanan denga bunga. Kemudian oleh bank dana tersebut disalurkan kepada nasabah peminjam, di sini muncul juga hubungan hukum antara bank (kreditur) dengan nasabah peminjam (debitur), bank menyalurkan dana simpanan kepada nasabah peminjam dalam bentuk kredit (kata kredit dari bahasa Romawi „credere‟ artinya percaya), yang artinya bank juga mempercayakan dana itu kepada nasabah peminjam untuk dikelola, dan untuk itu bank berhak atas pengembalian dana yang dipinjamkan dengan bunganya. 50 2. Hubungan hubungan kehati-hatian, dapat diuraikan sebagai berikut: Dalam melakukan kegiatan usaha, artinya dalam melaksanakan kegiatan usaha seperti pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank harus hati-hati dengan memperhatikan 2 (dua) hal yaitu: (1) Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk memperoleh kayakinan atas kemampuan nasabah debitur/peminjam untuk melunasi utangnya bank harus melakukan anlisis atau penilaian yang seksama terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (colateral), dan prospek usaha (condition of economy) dari nasabah debitur. Di sini agunan hanya merupakan salah satu unsur yang harus dianalisis dalam pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur lain bank sudah memperoleh keyakinan bahwa nasabah debitur akan mampu melunasi utangnya, agunan dapat hanya berupa barang proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Bank tidak wajib meminta berupa barang yaang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. (2) Bank wajib memperhatikan mengenai ketentuan maksimum pemberian kredit atau kegiatan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Perbankan. 51
50 51
Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 304. Ibid, hlm. 308.
46
3. Hubungan kerahasiaan, dapat diuraikan sebagai berikut: Hubungn kerahasiaan diatur dalam Pasal 40 dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 42A, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 51 Undang-Undang Perbankan. Pasal 40 menentukan bahwa (1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi. 52 4. Hubungan menjamin dana simpanan, dapat diuraikan sebagai berikut: Hubungan ini diatur dalam Pasal 37B Undang-Undang Perbankan bahwa: (1) setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan; (2) untuk menjamin simpanan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan; (3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia; (4) ketentuan mengenai penjaminan dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.53
5. Hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah, dapat diuraikan sebagai berikut: Hubungan ini diatur dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perbankan dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, tanggal 20 Januari 2005. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perbankan mengatakan bahwa untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. 54 6. Hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah, dapat diuraikan sebagai berikut: Dari Pasal 2 PBI Nomor 7/7/PBI/2005 dapat diketahui bahwa ada hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan, di mana bank mempunyai kewajiban menyelesaikan setiap pengaduan yang diajukan nasabah dan atau
52
Ibid, hlm. 311. Ibid, hlm. 316 54 Ibid, hlm. 323. 53
47
perwakilan nasabah, sebaliknya nasabah mempunyai hak intuk penyelesaian dari setiap pengaduannya kepada bank.55
C. Tinjauan Mengenai Lembaga Penjamin Simpanan 1. Sejarah dan Pengertian Lembaga Penjaminan Simpanan 1.1 Sejarah Lembaga Penjaminan Simpanan Pertengahan tahun 1997, di Indonesia terjadi krisis moneter di mana salah satu sektor yang paling parah terkena imbasnya adalah sektor perbankan. Untuk mengatasi krisis tersebut, salah satu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah adalah mencabut izin usaha 16 bank swasta, yang selanjutnya disebut dengan Bank Dalam Likuidasi (BDL), kemudian ditindaklanjut i dengan pembubaran badan hukum bank tersebut melalui proses likuidasi bank. Likuidasi 16 bank swasta nasional tersebut ternyata membwa dampak yang sangat luas dikalangan masyarakat. Peristiwa ini membuat panik masyrakat, sehingga menyebabkan runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional terutama kepada kelompok bank swasta nasional dengan ditandai terjadinya penarikan dana secara besar-besaran dan signifikan. Tidak sedikit masyarakat kemudian menarik dananya di bank, sebagian memang ada yang memindahkannya ke bank lain, terutama bank pemerintah, karena dianggap lebih aman. Namun ada juga yang disimpan di dalam safe deposit box sehingga menjadi dana mati yang tidak berputar, atau bahkan ada juga yang menyimpan dananya di “bawah bantal”.
55
Ibid, hlm. 326.
48
Untuk
meningkatkan kembali
kepercayaan
masyarakat
terhadap
perbankan, maka pada tahun 1998 Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan jaminan atas dana nasabah atau kewajiban pembayaran oleh bank, termasuk simpanan masyarakat yang berupa penjaminan 100 persen (blanket guarantee). Hal ini merupakan satu-satunya cara yang harus dilakukan Pemerintah untuk menghentikan penarikan dana oleh deposan yang dikhawatirkan akan terus berlanjut, mengingat pada waktu itu tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan sudah berada pada titik nol. Meski demikian Pemerintah sebenarnya sadar bahwa kebijakan tersebut hanyalah
bersifat
sementara,
yaitu
sampai
kembalinya
kepercayaan
masyarakat. Dan memang terbukti, blanket guarantee dapat mengembalikan kembali kepercayaan masyarakat terhap industri perbankan, namun ini justru menimbulkan masalah baru, yaitu dikarenakan ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas yakni penjaminan 100 persen atas dana nasabah menyebabkan timbulnya tindakan kurang hati-hati terhadap resiko yang terjadi (moral hazard) baik dari pengelola bank maupun dari masyarakat, yaitu pengelola bank menjadi kurang hati-hati dalam mengelola dana masyarakat, sementara nasabah tidak peduli untuk mengetahui kondisi keuangan bank karena simpanannya dijamin secara penuh oleh pemerintah. Selain itu, dalam sistem blanket guarantee, terdapat tiga perrmasalahan utama yang akan dihadapi sistem perbankan, pertama, adalah ketidakjelasan tentang siapa yang dilindungi masyarakat deposan ataukah bankir? Kedua, akan selalu muncul ketidakprofesionalan dalam
49
pengelolaan bank, tanggung jawab manajemen bank cenderung rendah serta yang ketiga, risiko kerugian negara akan cenderung tinggi. 56 Oleh karena itu pemerintah harus segera mengakhiri sistem blanket guarantee yang memang sejak semula hanya direncanakan untuk sementara dan menggantinya dengan sistem penjaminan yang dibatasi. Terdapat beberapa hal positif yang dapat dicapai dengan dihapuskannya program blanket guarantee, yakni: b. Mengurangi biaya yang harus dikeluarkan pemerintah; c. Meminimalkan moral hazard bagi pemilik dan pengelola bank; dan d. Meningkatkan disiplin pasar.57 Dari sinilah sejarah terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan dimulai. Pemerintah mulai mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keppres Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Seiring
dengan
mulai
pulihnya
kepercayaan
masyarakat
untuk
menyimpan dananya di bank, maka Pemerintah mulai menyiapkan langkah untuk keluar dari program penjaminan perbankan oleh Pemerintah dengan membentuk suatu lembaga untuk melaksanakan sistem penjaminan yang lebih permanen. Tahun 2004 industri perbankan ditandai dengan mulai dihapuskannya program penjaminan yang populer dengan sebutan blanket guarantee dan diganti dengan sistem penjaminan yang lebih permanen. Secara bertahap program tersebut dikurangi cakupannya dan diturunkan jumlah maksimal yang dijaminkan. Blanket Guarantee merupakan kebijakan sementara yang diberlakukan pemerintah sejak Tahun 1998 yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 (Keppres No. 26/1998). Program penjaminan tersebut pada saat itu dilaksanakan oleh Badan 56
Adrian Sutedi, 2010, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm. 5. 57 Zulfi Diane Zaini, Op. Cit., hlm 165.
50
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang sudah berakhir masa kerjanya di Tahun 2004.58 Berakhirnya masa kerja BPPN membuka kesempatan Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut LPS) yang diamanatkan dalam Pasal 37B Undang-Undang Perbankan, yang menetapkan bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan, untuk segera dibentuk. Maka dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut Undang-Undang LPS) menandakan sudah dibentuknya secara resmi suatu lembaga tetap yang bertugas untuk menjamin keamanan dana nasabah dibank. Terhitung sejak tanggal 22 september 2005 LPS telah beroperasi dan Pemerintah telah mengangkat anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan melalui Keputusan Presiden Nomor 161/M Tahun 2005. Adanya lembaga penjamin simpanan nasabah, maka Bank Sentral di Indonesia dapat membatasi bantuannya kepada lembaga perbankan, khususnya dalam hal penjaminan dana para nasabah penyimpan dana/deposan. Kemudian, dengan adanya lembaga penjamin simpanan nasabah tersebut dapat memberikan rasa tanggung jawab yang lebih besar kepada para pemilik dan pengelola bank, karena bank-bank yang dikelolanya harus selalu likuid dan selalu dijaga tingkat kesehatannya, yang semuanya bertumpu pada etika dan moral dari para pemilik dan pengelola bank tersebut.59 1.2 Pengertian Lembaga Penjaminan Simpanan Amanat untuk membentuk LPS telah ditindaklanjuti dengan intensif oleh Pemerintah dan dilaksanakan bersama oleh Departemen Keuangan (DepKeu), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan Bank Indonesia. Bahkan rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai LPS telah diserahkan pemerintah kepada DPR menjelang akhir tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa LPS sangat diperlukan dalam upaya 58
Zulkarnain Sitompul, 2005, Problematika Perbankan, Bandung: Books Terrace & Library, hlm. 315. 59 Ibid, hlm. 198-199.
51
menopang sistem perbankan. Karena itulah sistem perbankan yang merupakan simpul terlemah, diperlukan adanya keberadaan LPS. Dengan demikian LPS harus dipandang sebagai salah satu pilar dalam mendukung peningkatan stabilitas sistem keuangan tersebut. Pilar yang lain mencakup pengaturan dan pengawasan bank, lender of last resort, sistem pembayaran dan dukungan fiskal. 60 Berdasarkan Undang-Undang LPS sebagaimana dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420, LPS adalah lembaga yang independen, transparan dan akuntabel, melaksanakan tugas dan wewenangnya bertanggung jawab kepada Presiden yang mempunyai fungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya. 2 Fungsi, Tugas dan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan 2.1 Fungsi dan Tugas Lembaga Penjamin Simpanan Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang LPS adalah: Fungsi LPS dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang LPS adalah: a. Menjamin simpanan nasabah penyimpan. b. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya. Fungsi menjamin simpanan nasabah sebagaimana dimaksud dalam dalam ketentuan Pasal 4 huruf a Undang-Undang LPS di atas tidak terlepas dari 60
Brahmandita, 2004, Penjamin Simpanan dan Fasilitas Likuiditas (Bersama Menopang Simpul Terlemah), Jakarta: Media Indonesia, hlm. 23.
52
sejarah pendirian LPS yang pada dasarnya dilakukan sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap dua risiko yaitu irrational run terhadap bank dan systemic risk. Dalam menjalankan usaha bank biasanya hanya menyisakan sebagian kecil dari simpanan yang diterimanya untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan dana oleh nasabah. Sementara, bagian terbesar dari simpanan yang ada dialokasikan untuk pemberian kredit. Keadaan ini menyebabkan perbankan tidak dapat memenuhi permintaan dalam jumlah besar dengan segera atas simpanan nasabah yang dikelolanya, bila terjadi penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar. Tugas Lembaga Penjamin Simpanan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-undang LPS yang menyebutkan bahwa: 1) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, LPS mempunyai tugas: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan. b. Melaksanakan penjaminan simpanan. 2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, LPS mempunyai tugas sebagai berikut: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan. b. Marumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik. c. Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. 2.2 Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-undang LPS yang menyebutkan bahwa: 1) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut: a. menetapkan dan memungut premi penjaminan. b. menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
53
c. melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS. d. mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank. e. melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data tersebut pada angka 4. f. menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim. g. menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu. h. melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan. i. menjatuhkan sanksi administratif. 2) LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan Bank Gagal dengan kewenangan: a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS; b. menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan; c. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank; dan d. menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur. 3 Lembaga Penjamin Simpanan sebagai Lembaga Penjamin Simpanan Nasabah Penyimpan Lembaga Penjamin Simpanan didirikan berdasarkan Undang-Undang LPS yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan (dalam bentuk giro, deposito, sertifikat desposito dan tabungan atau bentuk lainnya atau yang dipersamakan dengan itu). Lembaga Penjamin Simpanan juga harus turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan nasional. Untuk itu, lembaga penjamin simpanan memiliki kewenangan antara lain untuk menetapkan dan memungut premi penjaminan dari bank-bank (yang dikumpulkan menjadi dana lembaga penjamin simpanan). Dengan pembayaran premi yang dilakukan oleh bank peserta penjaminan kepada Lembaga Penjamin Simpanan, maka dalam hal
54
terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank, pelaksanaan kewajiban bank terhadap nasabah atas simpanannya beralih menjadi tanggung jawab Lembaga Penjamin Simpanan. Lembaga Penjamin Simpanan merupakan penyempurnaan dari program penjaminan pemerintah terhadap seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) yang berlaku di masa lalu (tahun 1998 sampai dengan 2005). Kebijakan blanket guarantee disatu sisi dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, namun disisi lain kebijakan tersebut telah membebani keuangan negara dan dapat menimbulkan moral hazard bagi pelaku perbankan dan nasabah. 61 Adrian Sutedi dalam bukumya Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan mengemukakan mengenai simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai berikut : 1. Simpanan yang dijamin meliputi giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipesamakan dengan itu. 2. Simpanan nasabah bank berdasarkan Prinsip Syariah yang dijamin meliputi: a. Giro berdasarkan Prinsip Wadiah, b. Tabungan berdasarkan Prinsip Wadiah, c. Tabungan berdasarkan Prinsip Muharabah muthlaqah atau Prinsip Mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank, d. Deposito bardasarkan Prinsip Muharabah muthlaqah atau Prinsip Mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank, e. Simpanan berdasarkan Prinsip Syariah lainnya yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan setelah mandapat pertimbangan Lembaga Pengawas Perbankan. 3. Simpanan yang dijamin merupakan simpanan yang berasal dari masyarakat, termasuk yang berasal dari bank lain. 4. Nilai Simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank. 5. Saldo tersebut berupa: a. Pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah, untuk Simpanan yang memiliki komponen bagi hasil yang timbul dari transaksi dengan prinsip syariah; b. Pokok ditambah bunga yang telah menjadi hak nasabah, untuk Simpanan yang memiliki komponen bunga;
61
Adrian Sutedi, Aspek Hukum, hlm. 11.
55
c. Nilai sekarang per tanggal pencabutan izin usaha dengan menggunakan tingkat diskonto yang tercatat pada bilyet, untuk Simpanan yang memiliki komponen diskonto. 6. Saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank adalah hasil penjumlahan saldo seluruh rekening simpanan nasabah pada bank tersebut, baik rekening tunggal maupun rekening rekening gabungan (joint ccount). 7. Untuk rekening gabungan (joint account), saldo rekening yang diperhitungkan bagi satu nasabah adalah saldo rekening gabungan tersebut yang dibagi secara prorata denggan jumlah pemilik rekening. 8. Dalam hal nasabah memiiki rekening tunggal dan rekening gabungan (joint account), saldo rekening yang terlebih dahulu diperhitungkan adalah sakdo rekening tunggal. Dalam hal nasabah memiiki rekening yang dinyatakan secara tertulis diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain (beneficary), maka saldo rekening tersebut diperhitungkan sebagai saldo rekening pihak lain (beneficary) yang bersangkutan.62 Nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank yang semula berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang LPS ditetapkan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2008 tersebut diubah menjadi paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) wajib membayar klaim penjaminan kepada nasabah penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya. 63 Selain apabila nilai simpanan nasabah penyimpan melebihi batas maksimal yang akan dijamin oleh LPS, LPS juga tidak akan membayar klaim penjaminan kepada nasabah penyimpan apabila memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang LPS, yang menetapkan: “Klaim Penjaminan dinyatakan tidak layak bayar apabila berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi: a. Data simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank b. Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar; dan/atau c. Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat”
62
Ibid, hlm. 68-70. Zulfi Diane Zaini, Op. Cit., hlm. 200.
63
56
4. Lembaga Penjamin Simpanan sebagai Lembaga yang Turut Aktif Memelihara Stabilitas Sistem Perbankan LPS mempunyai tugas berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang LPS dalam rangka melakukan fungsi memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Tugas LPS yang dimaksud adalah: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara sistem perbankan. b. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik. c. melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang LPS memberikan pengertian Bank Gagal, yaitu: “Bank gagal (failing bank) adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.”
Proses penanganan bank gagal dalam upaya penyelamatannya dilakukan oleh LPS setelah mendapatkan pemberitahuan dari Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas perbankan, bahwa ada suatu bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan. Kemudian LPS akan melakukan tindakan konkret setelah Komite Koordinasi menetapkan suatu bank menjadi bank gagal berdampak sistemik atau bank gagal tidak berdampak sistemik dan menyerahkannya kepada LPS.
57
a. Penyelesaian Bank Gagal tidak Berdampak Sistemik Penyelesaian bank gagal tidak berdampak sistemik dilakukan LPS dengan cara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf a Undang-Undang LPS, yaitu: 1. melakukan penyelamatan; atau 2. tidak melakukan penyelamatan bank gagal tersebut LPS dapat menyelamatkan bank gagal yang tidak berdampak sistemik apabila terpenuhi seluruh prasyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Peraturan LPS Nomor 4/PLPS/2006 tentang Penyelesaian Bank Gagal yang tidak Berdampak Sistemik, yaitu sebagai berikut: a. Perkiraan biaya penyelamatan paling tinggi sebesar 60% dari perkiraan biaya tidak menyelamatkan; b. Bank masih memiliki prosepek usaha yang baik, dengan indikator: 1) Setelah diselamatkan atau setelah dilakukan penambahan modal oleh LPS: i. Non Performing Loan (NPL) netto lebih kecil dari 5%; ii. tidak terdapat pelanggaran dan atau pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Posisi Devisa Netto (PDN). 2) Pada saat bank dinyatakan sebagai Bank Gagal: i. Predikat tingkat kesehatan bank paling rendah Kurang Sehat dengan Peringkat Komposit 4 untuk Bank Umum dan Kurang Sehat dengan Rating 3 untuk Bank Perkreditan Rakyat yang ditetapkan oleh LPP; ii. terdapat direksi bank yang memenuhi persyaratan fit & proper test; iii. masih melakukan kegiatan usaha sebagai bank kecuali dibatasi oleh ketentuan; dan iv. terdapat investor potensial yang dibuktikan dengan adanya kesepakatan sebelumnya dengan bank dan terdapat setoran dana yang disimpan dalam escrow account. c. Terdapat pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat kesedian untuk: i. menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS; ii. menyerahkan kepengurusan bank kepada LPS;
58
iii. tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS apabila proses penyelamatan yang dilakuka LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan iv. menyerahkan surat kuasa dari seluruh pemegang saham kepada LPS untuk melakukan penjualan atas seluruh saham yang dimiliki masing-masing pemegang saham. d. Bank menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai: i. Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia dan agunan yang diserahkan; ii. data keuangan nasabah debitur; iii. struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 tahun terakhir; dan iv. informasi lainnya yang dibutuhkan LPS terkait dengan aset, kewajiban, dan permodalan bank. Jika seluruh prasyarat terpenuhi, RUPS menyerahkan segala hak dan wewenangnya kepada LPS. Selanjutnya LPS dapat melakukan upaya penyelamatan dengan Penyertaan Modal Sementara (PMS), mengganti pengurus bank, merestrukturisasi aset dan kewajiban, serta upaya-upaya lain yang diperlukan. Sedangkan dalam hal prasyarat penyelamatan tidak terpenuhi, LPS merekomendasikan kepada Bank Indonesia untuk mencabut izin usaha bank gagal tersebut. Terhadap bank yang telah dicabut izin usahanya, LPS melakukan verifikasi dan rekonsiliasi data simpanan nasabah untuk menetapkan simpanan yang layak bayar untuk selanjutnya dilakukan pembayaran klaim penjaminan simpanan melalui bank pembayar. Selain membayar klaim penjaminan, LPS juga membentuk tim likuidasi untuk membereskan aset dan kewajiban bank, serta membagikan hasil likuidasi bank tersebut kepada nasabah penyimpan yang simpanannya tidak dijamin, kreditur, serta para pemegang saham.
59
b. Penyelesaian Bank Gagal Berdampak Sistemik Penyelesaian atau penanganan bank gagal yang berdampak sistemik dilakukan LPS dengan cara sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf b Undang-Undang LPS, yaitu: 1. penyelamatan dengan mengikutsertakan pemegang saham; atau 2. penyelamatan tanpa mengikutsertakan pemegang saham LPS mengikutsertakan pemegang saham dalam upaya penanganan bank gagal sistemik apabila terpenuhi seluruh prasyarat yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang LPS, yaitu sebagai berikut: a. pemegang saham menyetor sekurang-kurangnya 20% dari perkiraan biaya penanganan; b. ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat kesediaan untuk: 1) menyerahkan kepada LPS hak dan wewenang RUPS; 2) menyerahkan kepada LPS kepengurusan bank; dan 3) tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS dalam hal proses penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. bank menyerahkan kepada LPS, dokumen mengenai: 1) penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia; 2) data keuangan Nasabah Debitur; 3) struktr permodalan dan susunan pemegang saham 3 (tiga) tahun terakhir; dan 4) informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban, dan permodalan bank, yang dibutuhkan LPS. Selanjutnya, dalam penanganan Bank Gagal yang diakukan oleh LPS dengan mengikutsertakan pemegang saham, maka dalam waktu 1 hari setelah ditetapkan sebagai Bank Gagal pemegang saham dan pengurus bank melepaskan dan menyerahkan kepada LPS segala hak, kepemilikan, kepengurusan dan/ atau kepentingan lainnya.
60
Setelah pemegang saham bank melakukan penyetoran modal perlu diperhatikan keadaan ekuitas bank, jika: 1. Ekuitas bank bernilai positif, LPS dan pemegang saham lama membuat perjanjian yang mengatur penggunaan hasil penjualan saham bank. Dalam perjanjian tersebut diatur mengenai penggunaan hasil penjualan saham bank dengan urutan sebagai berikut: a. Pengembalian seluruh biaya penanganan yang telah dikeluarkan LPS. b. Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada posisi sesaat setelah pemegang saham lama melakukan penyetoran modal. c. Jika setelah penggunaan hasil penjualan saham bank masih ada sisa maka akan dibagi secara proporsional kepada LPS dan pemegang saham lama. 2. Ekuitas bank bernilai nol atau negatif, maka pemegang saham lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham bank. Sedangkan
dalam
hal
penanganan
Bank
Gagal
dengan
mengikutsertakan pemegang saham tidak dapat dilakukan, LPS melakukan penanganan Bank Gagal tanpa mengikutsertakan pemegang saham. Berdasarkan Undang-Undang LPS mengambilalih segala hak, kepemilikan, kepengurusan dan/ atau kepentingan lainnya. Setelah segala hak, kepemilikan, kepengurusan dan/ atau kepentingan lainnya
dalam
penanganan
Bank
Gagal
dengan
maupun
tanpa
mengikutsertakan pemegang saham menjadi kewenangan LPS, selanjutnya
61
LPS melakukan upaya penanganan dengan penyetoran modal sementara (PMS), mengganti pengurus bank, merestrukturisasi aset dan kewajiban bank, serta upaya lain yang diperlukan. Jika ekuitas bernilai positif pada saat penyerahan bank kepada LPS, maka dibuat perjanjian mengenai penggunaan hasil penjualan saham bank dengan ketentuan: 1. Pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan oleh LPS. 2. Pengembalian kepada pemegang saham lama sebesar ekuitas pada saat penyerahan. 3. Jika masih ada sisa dari hasil penjualan saham, maka sisa tersebut akan dibagi secara proporsional kepada LPS dan pemegang saham lama. Namun jika ekuitas bank bernilai nol atau negatif pada saat penyerahan bank kepada LPS, maka pemegang saham lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham bank setelah penanganan. Berdasarkan uraian di atas, penanganan Bank Gagal berdampak sistemik pada dasarnya bermuara kepada penjualan aset bank yang bersangkutan, oleh karena itu LPS wajib untuk menjual saham bank yang dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-Undang LPS, yaitu: 1) LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak dimulainya penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
62
2) Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang opimal bagi LPS. Likuidasi bank gagal yang izin usahanya telah dicabut dapat dilakukan oleh LPS dan pemegang saham. Tindakan yang dilakukan LPS dalam melikuidasi bank gagal adalah : 1) melakukan semua kewenangan dalam hal penyelesaian dan penanganan bank gagal; 2) memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dan talangan pesangon pegawai sebesar jumlah minimum pesangon sebagaimana
diatur
dalam
peraturan perundang-
undangan; 3) melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan aset bank sebelum proses likuidasi dimulai; dan 4) memutuskan pembubaran badan hukum bank, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan status bank sebagai bank dalam likuidasi. Sedangkan likuidasi bank yang dicabut izin usahanya atas permintaan pemegang sahamnya sendiri dilakukan oleh pemegang saham yang bersangkutan. Dalam hal ini, LPS tidak membayar klaim penjaminan nasabah penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya atas permintaan pemegang saham. Berkaitan dengan fungsi turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan oleh LPS, Zulkarnain Sitompul memberikan pendapatnya yaitu: Lembaga penjamin simpanan (LPS) dapat berfungsi untuk mengatur keamanan dan kesehatan bank secara umum. Di samping itu lembaga
63
penjamin simpanan juga dapat berfungsi sebagai pengawas yang dilakukan dengan cara memantau neraca, praktik pemberian pinjaman dan strategi investasi dengan maksud untuk melihat tanda-tanda financial distress yang mengarah kepada kebangkrutan bank. Oleh sebab itulah keberadaan lembaga penjamin simpanan sebagai bagian dari sistem perbankan menjadi penting guna mencegah kepanikan nasabah dengan jalan menyakinkan nasabah tentang keamanan simpanan sekalipun kondisi keuangan bank memburuk. 64
64
Makalah_lps.pdf , by Dr. Zulkarnain Sitompul, SH, LL.M, Op. Cit., hlm.6-7.
64
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa: Penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 65 Penelitian yuridis normatif ini menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu suatu usaha pendekatan terhadap masalah yang diteliti dengan fokus dan sekaligus tema sentral penelitian terhadap berbagai aturan hukum, dimana hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat yaitu : a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait satu dengan lain secara logis. b. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak aka nada kekurangan hukum. c. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis. 66
65
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers), 2007, hlm. 13-
14. 66
Haryono dalam Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan MetodologiPenelitian Hukum Normatif, Jawa Timur: Bayumedia Publishing, hlm. 302-303.
65
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang diguakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian deskriptif. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan, sebagai berikut: Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum. 67
C. Sumber Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer Yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan / atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan / atau badan-badan pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat Negara. Bahan Hukum Sekunder, yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. 68 Dalam penelitian ini peraturan perundang-undangan yang akan ditelaah terkait isu hukum tentang perlindungan hukum bagi simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan,
67 68
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 10. Johnny Ibrahim, Op. Cit. hal. 141.
66
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 1998 tentang Bank Indonesia, 4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional, 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, 6. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008 tentang Besaran Nilai Simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan, 7. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan perlindungan nasabah penyimpan. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah bukubuku, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum, artikel koran serta internet serta bahan lain yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. c. Bahan Hukum Tertier Yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
67
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Dalam melakukan penelitian ini, pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode sebagai berikut : 1. Metode kepustakaan; yaitu pengumpulan bahan hukum dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka, dalam hal ini adalah literatur-literatur yang ada relevansinya dengan isu hukum perlindungan hukum terhadap simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan; 2. Metode dokumenter; yaitu pengumpulan bahan hukum dengan cara pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah, dalam penelitian ini yang digunakan adalah dokumen yang diperoleh dari internet yang menyediakan website terkait segala hal yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
E. Metode Penyajian Bahan Hukum
Metode penyajian bahan hukum dalam penulisan ini adalah deskriptif analitif atau disajikan secara sistematis. Untuk bahan hukum sekunder akan disajikan sesuai dengan kebutuhan analisis namun tidak menghilangkan maksud yang terkandung dalam bahan hukum tersebut. Penyajian bahan ini dapat ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada karya tulis.
68
F. Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam menganalisis bahan hukum adalah normatif kualitatif, yaitu dengan menginterpretasikan isu hukum merujuk kepada ketentun-ketentuan Hukum Perbankan Indonesia. Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menganalisis atau menelaah bahan hukum adalah sebagai berikut: 1. Mula-mula dihimpun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti. Bahan hukum tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan, menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non-pemerintah, dan internet. 2. Terhadap bahan hukum primer, dipelajari dan diidentifikasi dengan norma hukum yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, menganalisis masalah dengan maksud mencari dalil. 3. Dari hasil identifikasi tersebut dapat dianalisa dan dideskripsikan, serta dinilai untuk menjawab isu hukum yang diajukan. 4. Semua hasil yang diperoleh dari bahan-bahan hukum tersebut di atas, berikut mencari hubungannya antara satu dengan yang lain dengan menggunakan penalaran deduktif induktif untuk menghasilkan proposisi dan konsep, baik berupa definisi, deskripsi, maupun klasifikasi sebagai hasil penelitian. Melalui langkah-langkah analisis bahan hukum tersebut diharapkan ditemukan jawaban ilmiah atas tema pokok penelitian ini, yakni “perlindungan hukum
69
terhadap nasabah penyimpan atas simpanannya yang tidak dijamin
oleh
Lembaga Penjamin Simpanan, dan tanggung jawab bank terhadap nasabah penyimpan atas simpanannya yang tidak terpenuhi haknya dari hasil aset bank”.
70
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
1. Simpanan Nasabah yang tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam Likuidasi Bank IFI (Bahan Hukum Sekunder) PT. Bank IFI Berdiri pada Tahun 1955 sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang dikenal dengan nama Finance and Investment Company. PT. IFI berubah menjadi bank umum pada Februari 2003 dan mengganti nama menjadi PT. Bank IFI, dengan pemegang saham Yayasan Kesejahteraan Pegawai BTN, PT. Pengelola Investama Mandiri, dan Grup Ramako. Berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Bank
Indonesia No.
11/19/KEB.GBI/2009 tanggal 17 April 2009, Bank Indonesia memutuskan untuk mencabut izin usaha PT. Bank IFI, karena tidak bisa menambah modal dan menjaga likuiditasnya. Pencabutan izin usaha dilakukan sesuai dengan mekanisme dan prosedur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/9/PBI/2004 tanggal 26 Maret 2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/27/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008. Beberapa pertimbangan pencabutan izin usaha Bank IFI oleh Bank Indonesia adalah: 1. Sejak Tahun 2002, Bank IFI masuk dalam pengawasan intensif Bank Indonesia. Pada Tahun 2008, status pengawasan intensif tersebut
71
meningkat menjadi pengawasan khusus. Aset Bank IFI hanya sebesar Rp. 440 Miliar atau 0,01% dari total aset industri perbankan nasional; 2. Dari sisi kecukupan modal atau (Capital Adequacy Ratio/CAR), Bank IFI di bawah 8%, sebagaimana ditetapkan oleh Bank for International Settlements
(BIS)
dengan
menerbitkan
dokumen
International
Convergence of Capital Measurement and Capital Standards pada Juli 1988 atau dikenal sebagai Accord 88 (Basel I), hal tersebut menggambarkan bahwa kian kecil modal kian besar potensi risiko yang bakal dihadapi bank; 3. Dari sisi ratio kredit bermasalah atau non performing aloan (NPL), angkanya
mencapai
24%,
jauh
melewati
ambang
batas
yang
dipersyaratkan Bank Indonesia sebesar 5%. Dengan NPL yang demikian tinggi, bank wajib menetapkan cadangan (penyisihan, penghapusan aktiva produktif atau PPAP) yang sangat besar. Cadangan ini akan menggerus modal yang tercermin pada CAR. Masalahnya, CAR Bank IFI jauh di bawah ambang batas 8% yang membuatnya tidak mampu bertahan di tengah persaingan industri perbankan. Dalam likuidasi Bank IFI terdapat simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh LPS. Data LPS per 31 Maret 2009 menunjukkan, simpanan nasabah Bank IFI di atas Rp 2 miliar adalah Rp 191,2 miliar yang terdiri atas 30 rekening. Bank IFI memiliki 9.600 rekening simpanan dan jumlah total rekening yang memiliki simpanan di bawah Rp 2 miliar sebesar Rp 160,4 miliar, berdasarkan posisi saat dilikuidasi. Simpanan yang dijamin adalah simpanan total setiap
72
orang di satu bank maksimal Rp 2 miliar, dengan suku bunga simpanan maksimal sesuai yang ditetapkan LPS, sebesar 7,75 persen (17 Maret 2009). Sehingga bila nantinya, ada satu orang lebih dari satu rekening simpanan dengan total lebih dari Rp 2 miliar, hal itu tidak dijamin oleh LPS. Dana sebesar itu pasti tidak dijamin LPS.69 2. Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur mengenai Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Penyimpan atas Simpanannya (Bahan Hukum Primer) 2.1 Menurut Undang-Undang Perbankan Kewajiban menjamin simpanan nasabah Pasal 37B Undang-Undang Perbankan Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan, sedangkan untuk melaksanakan penjaminan simpanan itu akan dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan. 2.2 Menurut Undang-Undang LPS 2.2.1
Fungsi LPS Pasal 4 Undang-Undang LPS Fungsi LPS adalah: a. Menjamin simpanan Nasabah Penyimpan; dan b. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
2.2.2
Kepesertaan LPS Pasal 8 Undang-Undang LPS 1) Setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan.
69
http://www.radarbuton.com.html diakses tanggal 28 Mei 2012.
73
2) Kewajiban bank menjadi peserta Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk Badan Kredit Desa. 2.2.3
Pembayaran kewajiban bank kepada kreditur 2.2.3.1 Pasal 53 Undang-Undang LPS Likuidasi bank dilakukan dengan cara: a. Pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada para debitur diikuti dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan tersebut; atau b. Pengalihan aset dan kewajiban bank kepada pihak lain berdasarkan persetujuan LPS. 2.2.3.2 Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang LPS Kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, dilakukan dengan urutan sebagai berikut: a. Penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; b. Penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c. Biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor; d. Biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e. Pajak yang terutang; f. Bagian Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak dijamin; dan g. Hak dari kreditur lainnya.
74
2.3 Menurut Undang-Undang BI Tugas BI Pasal 8 Undang-Undang BI Bank Indonesia mempunyai 3 (tiga) tugas, yaitu: 1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter 2. Mengatur dan menjaga sistem pembayaran 3. Mengatur dan mengawasi bank.” 2.4 Menurut
Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
7/7/PBI/2005
sebagaimana telah dirubah Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah 2.4.1
Pasal 2 ayat (1) Bank wajib menyelesaikan setiap Pengaduan yang diajukan Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah.
2.4.2
Pasal 6 ayat (1)
Bank wajib menerima setiap Pengaduan yang diajukan oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah yang terkait dengan Transaksi Keuangan yang dilakukan oleh Nasabah. 2.4.3
Pasal 10 ayat (1) Bank wajib menyelesaikan Pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal penerimaan Pengaduan tertulis.
2.4.4
Pasal 12 Bank wajib menginformasikan status penyelesaian Pengaduan setiap saat Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah meminta penjelasan kepada Bank mengenai Pengaduan yang diajukannya.
75
3. Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur mengenai Tanggung Jawab Bank terhadap Nasabah Penyimpan (Bahan Hukum Primer) 3.1 Tanggung jawab pengembalian simpanan nasabah apabila seluruh aset bank telah habis Pasal 54 ayat (5) Undang-Undang LPS Apabila seluruh aset bank telah habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban bank terhadap pihak lain, maka kewajiban tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan bank menjadi Bank Gagal. 3.2 Tanggung jawab pemegang saham menurut bentuk hukum bank 3.2.1 Bentuk hukum bank menurut Undang-Undang Perbankan Pasal 21 Undang-Undang Perbankan 1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa: a. Perseroan Terbatas; b. Koperasi; atau c. Perusahaan Daerah. 2) Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari: a. Perusahaan Daerah; b. Koperasi; c. Perseroan Terbatas; d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
76
3.3 Tanggung jawab pemegang saham pada bank sesuai bentuk hukumnya 3.3.1
Perseroan Terbatas 3.3.1.1 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 1) Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila: a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk
memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan
kekayaan
Perseroan,
yang
77
mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. 3.3.1.2 Pasal 104 1) Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 2) Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. 3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
78
4) Anggota
Direksi
tidak
bertanggungjawab
atas
kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan: a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan c. Tidak
mempunyai
benturan kepentingan
baik
langsung maupun tidak d. Langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan e. Lelah
mengambil
tindakan
untuk
mencegah
terjadinya kepailitan 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga bagi Direksi dari Perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga 3.3.2
Koperasi 3.3.2.1 Keanggotaan Koperasi Pasal 17 Undang-Undang Nomor Nomor 25 Tahun1992 tentang Perkoperasian
79
1) Anggota Koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi. 2) Keanggotaan Koperasi dicatat dalam buku daftar anggota 3.3.2.2 Tanggung jawab pengurus koperasi Pasal 34 Undang-Undang Nomor Nomor 25 Tahun1992 tentang Perkoperasian 1) Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri, menanggung kerugian yang diderita Koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya. 2) Disamping penggantian kerugian tersebut, apabila tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan. 3.3.3 Perusahaan Daerah Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah 1) Termasuk anggota Direksi dalam kedudukan selaku demikian, yang tidak dibebani tugas penyimpanan uang, surat-surat berharga dan barang-barang persediaan, yang karena tindakan melawan hukum atau karena melalaikan kewajiban dan tugas yang dibebankan kepada mereka dengan langsung atau tidak langsung
80
telah menimbulkan kerugian bagi Perusahaan Daerah, diwajibkan mengganti kerugian tersebut.
B. Pembahasan 1. Perlindungan Hukum terhadap Nasabah atas Simpanannya yang Tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan Sebagai palaksanaan dari amanat Pasal 37B ayat (2) Undang-Undang Perbankan, pada tanggal 22 September 2004 dibentuk secara resmi suatu lembaga tetap yang bertugas untuk menjamin keamanan dana nasabah dibank yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mulai beroperasi pada tanggal 22 September 2005. Dengan adanya Undang-Undang LPS yang mewajibkan kepada setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia menjadi peserta Penjaminan (sebagaimana dituangkan dalam Pasal 8 (1) UndangUndang LPS), maka kewajiban menjamin simpanan nasabah yang semula terletak pada bank (sebagaimana dituangkan dalam Pasal 37B Undang-Undang Perbankan), dengan pembayaran premi oleh bank kepada LPS akan beralih menjadi kewajiban LPS untuk menjamin simpanan nasabah ketika bank tersebut dicabut izin usahanya. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang LPS, nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), namun sejak tanggal 13 Oktober 2008 yaitu dengan
81
diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008 tentang Besaran Nilai Simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan, nilai simpanan yang dijamin oleh LPS menjadi Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Dengan demikian terhadap nasabah yang simpanannya melebihi Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) tidak dijamin oleh Undang-Undang LPS. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian jamin (menjamin) adalah menanggung atau berjanji akan memenuhi kewajiban orang lain yang membuat perjanjian apabila perjanjian itu tidak ditepati. Dengan demikian, tidak dijamin berarti tidak ditanggung atau tidak dipenuhi kewajiban orang lain yang membuat perjanjian apabila perjanjian itu tidak ditepati. Berdasarkan pengertian tersebut, simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh UU LPS dapat diartikan sebagai simpanan nasabah yang tidak ditanggung oleh LPS, sehingga menimbulkan pertanyaan bagi penulis, bagaimana perlindungan hukum terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak dijamin oleh UU LPS. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan pembahasan guna mendapat jawaban mengenai perlindungan hukum terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak dijamin oleh Undang-Undang LPS. Salah satu misi dunia usaha perbankan adalah menerima simpanan baik berupa giro, deposito, sertifikat desposito dan tabungan atau bentuk lainnya atau yang dipersamakan dengan itu. Dana ini dibutuhkan bank dalam menjalankan usahanya, yang tidak mungkin hanya diandalkan dari modal bank
82
sendiri. Untuk itu, dalam rangka menarik dana segar dari masyarakat, bank pun terus melakukan pembaharuan dalam menawarkan layanan jasa perbankan. Kepercayaan merupakan inti dari perbankan sehingga sebuah bank harus mampu menjaga kepercayaan dari para nasabahnya. Hukum sebagai alat rekayasa social (Law as a tool of social engineering) terlihat aktualisasinya di sini. Di tataran undang-undang maupun PBI terdapat pengaturan dalam rangka untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan dan sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum bagi nasabah. Berkaitan dengan hal di atas, Hermansyah mengemukakan: Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat tergantung kepada kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Sehingga tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah bank yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, yang pada saat ini tengah gencar melakukan ekspansi untuk mencari dan menjaring nasabah, maka perlindungan hukum bagi Nasabah Penyimpan terhadap kemungkinan terhadap terjadinya kerugian sangat diperlukan. 70 Perlindungan hukum harus mutlak diberikan kepada Nasabah Penyimpan dana, yaitu untuk melindungi haknya. Para Nasabah Penyimpan dana akan lebih mengharapkan bank yang aman untuk menyimpan dananya daripada bank yang memberikan bunga tinggi tetapi juga sangat berisiko untuk menyimpan dana. Padahal jika telah ada perlindungan yang pasti terhadap para
70
Hermansyah, Op. Cit., hlm. 132.
83
Nasabah Penyimpan, akan mendorong mereka yang mempunyai dana lebih untuk menyimpan di bank. Perlindungan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk dari pendapat Sulistyandari yang mengemukakan sebagai berikut: Perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya untuk mempertahankan haknya tersebut.71 Mengenai hak dan kewajiban Nicolai memberikan pengertian sebagai berikut: “Een recht hould in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepalde feitelijk handeling te verichten of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op het verichten van een handeling door een ander. Een plicht implieert een verplichting om een bepaalde handeling te verichten of na laten” (Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak meakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).72 Selanjutnya Sulistyandari yang menyatakan bahwa hubungan hukum bank dengan Nasabah Penyimpan dana adalah hubungan kontraktual dan 71
Sulistyandari, Hukum Perbankan: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, (Sidoarjo: Laros), 2012, hlm. 283. 72 Nicolai dalam Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 283.
84
hubungan non kontraktual, di mana hubungan kontraktual muncul berdasarkan perjanjian atau kontrak yang disebut dengan Perjanjian Penyimpanan, sedangkan hubungan non kotraktual yang sering disebut dengan asas-asas khusus dari hubungan nasabah dengan bank, muncul bukan karena adanya perjanjian atau kontrak, melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan/atau hukum tidak tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan yang mengaturnya, maka hubungan hukum yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah hubungan hukum kontraktual dan hubungan hukum non kontraktual. Pendapat di atas menekankan bahwa perlindungan hukum bukan hanya dalam arti sebagai upaya atau tindakan yang diberikan oleh hukum dalam arti peraturan perundang-undangan saja, melainkan upaya yang diberikan oleh hukum dalam arti Perjanjian atau kontrak jika hubungan hukum antara bank dengan nasabah lahir dari sebuah perjanjian atau kontrak untuk melindungi subyek hukum dari adanya pelanggaran atas hak dan kewajiban para pihak yang terdapat dalam sebuah hubungan hukum. Hal ini merupakan bentuk konsistensi dari hubungan hukum antara bank dengan nasabah yaitu hubungan kontraktual dan hubungan nonkontraktual. Dalam hubungan hukum kontraktual, hubungan hukum antara bank dengan Nasabah Penyimpan dana didasarkan atas Perjanjian Penyimpanan, yang mengandung arti bahwa hubungan antara bank dengan nasabah timbul dari
Perjanjian
Penyimpanan
yang
melahirkan
perikatan
sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban, yaitu kewajiban bank untuk mengembalikan
85
simpanan nasabah beserta bunga yang diperjanjikan, dengan demikian maka kewajiban bank tersebut merupakan hak bagi nasabah, yaitu untuk memperoleh pengembalian simpanannya beserta bunga. Menurut R. Subekti yang disitir oleh Sentosa Sembiring dalam bukunya Hukum Perbankan mendefinisikan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Perjanjian itu menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya”. 73 Dalam hubungan hukum non kontraktul, hubungan hukum antara bank dengan nasabah didasarkan karena adanya hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yang mengandung arti bahwa perikatan lahir sebagai akibat dari hubungan antara bank dengan nasabah yang diatur dalam
undang-undang, dengan demikian hak dan kewajiban yang
ditimbulkan juga lahir dari undang-undang, dalam hal ini antara lain kewajiban bank untuk menjamin dana nasabah sebagaimana diatur dalam Pasal 37 B Undang-Undang Perbankan, hal ini tujuannya agar simpanan nasabah dapat dikembalikan apapun yang terjadi pada bank, dengan demikian maka kewajiban bank untuk menjamin simpanan nasabah tersebut merupakan hak bagi Nasabah Penyimpan. Selanjutnya mengenai nasabah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Nasabah Penyimpan, yang dapat didefenisikan sebagai nasabah yang
73
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Bandung: CV. Mandar Maju, 2000, hlm. 61.
86
menyimpan dana di bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Perbankan yang menyebutkan bahwa: “Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank sebagaimana dalam undang-Undang yang berlaku.” Sedangkan simpanan yang dimaksud adalah Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perbankan, yaitu: “Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan Perjanjian Penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.” Sehubungan dengan perlindungan hukum terhadap Nasabah Penyimpan dana yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu perlindungan hukum terhadap Nasabah Penyimpan yang tidak dijamin oleh LPS, maka akan diuraikan terlebih dahulu mengenai perlindungan hukum terhadap Nasabah Penyimpanan berdasarkan hubungan kontraktuan dan hubungan
non
kontraktual. Perlindungan hukum terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanannya yang tidak dijamin oleh LPS berdasarkan hubungan kontraktual dan hubungan non kontraktual akan dibahas dengan menghubungkannya dengan menguraikan mengenai simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh LPS dalam hubungan kontraktual dan dalam hubungan non kontraktual.
87
Simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh LPS dalam hubungan kontraktual antara bank dengan Nasabah Penyimpan, maka ketika kewajiban bank untuk mengembalikan simpanan Nasabah Penyimpan baru dibayar sebagian (hanya sebatas kewajiban yang beralih kepada LPS yaitu maksimal Rp.2.000.000,00 (dua miliar rupiah)), sisanya inilah dalam hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah, tetap menjadi kewajiban bank. Sebagaimana diuraikan di depan, bahwa hubungan hukum antara bank dengan Nasabah Penyimpan dana adalah didasarkan atas Perjanjian Penyimpanan (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perbankan). Dalam Hukum Perdata, Perjanjian Penyimpanan termasuk dalam bentuk perjanjian tidak barnama, yaitu perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Sulistyandari yang mengemukakan sebagai berikut: Perjanjian Penyimpanan dana merupakan perjanjian yang tidak mendapat pengaturan secara khusus dalam KUH Perdata, KUHD, maupun UndangUndang Perbankan, oleh karena ketentuan umum perrjanjian dalam KUH Perdata tersebut berlaku bagi semua perjanjian, maka termasuk berlaku pula bagi Perjanjian Penyimpanan dana. 74 Pendapat senada yang menegaskan bahwa Perjanjian Penyimpanan termasuk dalam bentuk perjanjian tak barnama juga dikemukakan oleh Daniel Djoko Tarliman dalam Disertasinya yang berjudul “Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penyelesaian Bank Gagal di Indonesia” sebagai berikut:
74
Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 296.
88
Perjanjian Penyimpanan dana terrmasuk jenis perjanjian tidak bernama yang sifatnya sui generis dalam arti tunduk pada ketentuan umum dari suatu perjanjian sedangkan ketentuan perjanjian bernama dipakai secara analogi. 75 Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa
Perjanjian
Penyimpanan sebagai perjanjian tidak bernama tunduk pada KUHPerdata khususnya Buku III tentang Perikatan, khususnya Bab I, II, IV yang merupakan ketentuan umum perjanjian, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam macam perikatan dan sebagainya. Bagian khusus terdapat dalam Bab V sampai Bab XVII memuat peraturan-peraturan yang mengenai perjanjian-perjanjian bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang banyak di pakai dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, Sewa menyewa, pinjam meminjam, perjanjian perburuan, pemberian (shenking) dan sebagainya. Pasal 1233 KUH Perdata menyebutkan: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang” Selanjutnya dalam Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
75
Daniel Djoko Tarliman, 2008, “Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penyelesaian Bank Gagal di Indonesia”, Ringkasan Disertasi yang tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya.
89
Perjanjian Penyimpanan antara bank dengan Nasabah Penyimpan dalam praktiknya merupakan perjanjian standar atau baku yang isinya ditentukan oleh pihak bank. Hubungan antara Nasabah Penyimpan dengan bank berdasarkan hubungan kontraktual, di mana dalam hubungan kontraktual ini hak-hak Nasabah Penyimpan lahir dari kontrak/Perjanjian Penyimpanan dana yang dibuat oleh bank dengan Nasabah Penyimpan sendiri. Selain itu hak-hak Nasabah Penyimpan juga diatur/diberikan oleh KUH Perdata maupun ketentuan Hukum Perbankan, hanya saja Perjanjian Penyimpanan dana dalam praktik isinya ditentukan oleh pihak bank seperti berapa besar perhitungan bunga/jasa simpanan, biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh Nasabah Penyimpan dan biasanya Perjanjian Penyimpanan dana merupakan perjanjian standar/baku yang biasanya terdapat ketentuan yang lebih menguntungkan pihak bank. 76 Dengan demikian, hak dan kewajiban Nasabah Penyimpan merupakan perikatan yang lahir dari Perjanjian Penyimpanan dana, maka ketika bank dicabut izin usahanya dan hak Nasabah Penyimpan baru dibayar sebagian (sebesar jaminan yang dilakukan oleh LPS), sisanya tetap menjadi hak nasabah dan merupakan kewajiban bank atas dasar Perjanjian Penyimpanan, jika bank tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang diperjanjikan, maka bank telah melakukan tindakan wanprestasi. Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu: a. Tidak malakukan apa yang disanggupi akan dilakukan; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya; c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. 77 Bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi maka ada akibat hukum baginya, menurut Abdulkadir Muhammad akibat hukum tersebut berupa : 76 77
Sulistyandari, Op. Cit., hlm. 300. Subekti, 1995, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa. hlm. 1.
90
a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata); b. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata); c. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata); d. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat (1) HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara.78 Sedangkan akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi menurut Nindyo Pramono adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Membayar kerugian yang diderita kreditur; Pembatalan perjanjian; Peralihan resiko; Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim. 79
Selanjutnya dalam Pasal 1236 KUH Perdata dirumuskan bahwa: “Si berutang adalah wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya”. Dari uraian di atas, maka Nasabah Penyimpan dana selaku penggugat dapat menuntut biaya, rugi dan bunga yaitu simpanan dan bunganya juga biaya lain termasuk ganti biaya atas biaya berperkara di pengadilan.
78
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 20-21. 79 Nindyo Pramono, 2003, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, Cet. 1, hlm. 2.22.
91
Simpanan nasabah yang tidak dijamin dalam hubungan non kontraktual maksudnya adalah bahwa simpanan nasabah tersebut tidak dijamin berdasarkan Undang-Undang LPS. Pasal 16 Undang-Undang LPS yang menentukan: “LPS wajib membayar klaim penjaminan kepada Nasabah Penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya” Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya nasabah. Dalam hal bank tidak dapat melanjutkan usahanya dan harus dicabut izin usahanya, lembaga penjamin simpanan bertanggung jawab membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut sampai jumlah tertentu. Adapun simpanan yang tidak dijamin, akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Hal ini disebabkan bank yang melakukan kegiatan usaha adalah sebagai peserta penjaminan. Nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank yang semula berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang LPS ditetapkan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2008 tersebut diubah menjadi paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) wajib membayar klaim penjaminan kepada Nasabah Penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya. 80 Selain apabila nilai simpanan Nasabah Penyimpan melebihi batas maksimal yang akan dijamin oleh LPS, LPS juga tidak akan membayar klaim penjaminan kepada Nasabah Penyimpan apabila memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang LPS, yang menetapkan: “Klaim Penjaminan dinyatakan tidak layak bayar apabila berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi: 80
Zulfi Diane Zaini, Op. Cit., hlm. 200.
92
a. Data simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank b. Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar; dan/atau c. Nasabah Penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat” Berdasarkan hal di atas, maka simpanan nasabah yang tidak dijamin dalam hubungan non kontraktual berdasarkan Undang-Undang LPS adalah sebagai berikut: 1. Simpanan nasabah yng melebihi nilai Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); 2. Simpanan nasabah yang berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi memenuhi ketentuan Pasal 19 Undang-Undang LPS. Berdasarkan identifikasi simpanan nasabah di atas, muncul pertanyaan bagaimana hukum memberikan perlindungan terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak dijamin tersebut. Dari data nomor 2.1 Pasal 37 B Undang-Undang Perbankan mengenai kewajiban menjamin simpanan dana nasabah, apabila dihubungkan dengan data nomor 2.2.2 Pasal 8 Undang-Undang LPS mengenai kepesertaan LPS, Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Perbankan mengenai penjaminan simpanan, Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perbankan mengenai kewajiban bank menyedikan informasi bagi nasabah dan dihubungkan dengan pendapat Sulistyandari, maka dapat dideskripsikan bahwa simpanan dana nasabah di bank harus dijamin melaui LPS sebagai bentuk perlindungan eksplisit terhadap nasabah atas simpanannya.
93
Adanya simpanan yang tidak dijamin oleh LPS menyebabkan nasabah yang simpanannya termasuk kategori yang tidak dijamin tersebut akan menghadapi risiko, yaitu apabila bank tempat mereka menempatkan simpanannya ditutup. Menurut Undang-Undang LPS, fungsi LPS selain menjamin simpanan Nasabah Penyimpan juga turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, dalam fungsinya turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, LPS mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan; merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik (Pasal 5 ayat (2)). LPS juga mempunyai kewenangan mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS; menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan; meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank; dan menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur (Pasal 6 ayat (2)). Berkaitan dengan Pasal 6 ayat (2) di atas, LPS mempunyai kewenangan untuk melakukan likuidasi terhadap Bank Gagal yang sudah dicabut izin
94
usahanya. Likuidasi bank tersebut dilakukan dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 53 Undang-Undang LPS, yaitu: a. pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada para debitur diikuti dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan tersebut; atau b. pengalihan aset dan kewajiban bank kepada pihak lain berdasarkan persetujuan LPS. Sedangkan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dilakukan dengan urutan yang ditentukan dalam Pasal 54 Undang-Undang LPS, yaitu sebagai berikut: a. penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; b. penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c. biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor; d. biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e. pajak yang terutang; f. bagian Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak dijamin; dan g. hak dari kreditur lainnya. Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang LPS mengenai urutan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi nasabah yang memiliki simpanan dengan kategori tidak dijamin oleh LPS, yaitu: 1. Simpanan nasabah yang melebihi nilai Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); 2. Simpanan nasabah yang berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi memenuhi ketentuan Pasal 19 Undang-Undang LPS.
95
Simpanan nasabah yang tidak dijamin oleh LPS pada angka 1 adalah urutan huruf f pada Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang LPS, akan mendapatkan pembayaran dari hasil pencairan aset bank dalam proses likuidasi sesuai dengan urutannya yaitu urutan ke enam. Sedangkan untuk simpanan yang tidak dijamin karena memenuhi Pasal 19 Undang-Undang LPS, maka berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang LPS, Nasabah Penyimpan yang merasa dirugikan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada LPS yang didukung dengan bukti nyata dan jelas atau melakukan upaya hukum melalui pengadilan. Mengenai upaya hukum melalui pengadilan dilakukan dengan mengajukan tuntutan ganti rugi atas dasar Perbuatan Melawan Hukum, hal ini dikarenakan pihak LPS tidak memenuhi kewajiban yang telah diamanatkan oleh undangundang sehingga nasabah tidak memperoleh jaminan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang LPS. Dasar gugatannya adalah Pasal 1365 KUH Perdata. Berdasarkan hal di atas, Nasabah Penyimpan yang simpanannya tidak dijamin berdasarkan hubungan non kontraktual berdasarkan Undang-Undang LPS khususnya pada Pasal 19 Undang-Undang LPS, dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan dengan mengajukan gugatan atas dasar Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Dalam Pasal 1365 KUH Perdata dirumuskan bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
96
Upaya hukum yang ditempuh dengan pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri. Apabila Nasabah Penyimpan dana yang merasa dirugikan dan mengajukan gugatan kepada LPS hanya satu orang, tentu bukanlah suatu masalah. Tetapi bagaimana jika yang mengajukan gugatan tersebut puluhan, ratusan, hingga ribuan orang. Tentu gugatan tersebut kurang efektif. Apabila
yang
mengajukan gugatan/penggugatnya
banyak
orang,
memiliki kesamaan peristiwa, memiliki dasar hukum dan memiliki kesamaan tuntutan, sedangkan pihak yang digugat/tergugat hanya satu, alangkah lebih efisiennya apabila diajukan gugatan perwakilan kelompok. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, yang dimaksud dengan gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Dengan mengajukan gugatan secara perwakilan dapat diharapkan beberapa keuntungan, diantaranya : 1. Proses jauh lebih murah. Tidak perlu mengeluarkan beberapa kali biaya untuk hal yang sama. 2. Putusan Majelis hakim yang saling bertentangan seandainya gugatan diajukan sendiri-sendiri, dapat dihindari. 3. Pelaku pelanggaran akan semakin berhati-hati dan diharapkan jera karena apabila melakukan pelanggaran yang sama ia akan berhadapan tidak hanya satu orang tetapi banyak orang.81
81
Krisna Harahap, 2007, Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbitrase & Alternatif serta Mediasi, Cet. 5, Bandung: PT. Grafitri Budi Utami, hlm. 36-37.
97
Nasabah Penyimpan dana yang memiliki kesamaan peristiwa, memiliki dasar hukum dan memiliki kesamaan tuntutan dapat bersama-sama mengajukan gugatan dengan diwakili oleh wakil kelompok, wakil kelompok ini juga harus menderita kerugian yang sama dengan anggota kelompok. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk Nasabah Penyimpan dana untuk mengajukan gugatannya sendiri terlebih bila tidak terdapat kesamaan peristiwa, tidak memiliki dasar hukum yang sama dan tidak memiliki kesamaan tuntutan. Dasar hukum yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan adalah Perbuatan Melawan Hukum atas hubungan non kontraktual. Berdasarkan segala uraian mengenai perlindungan hukum terhadap nasabah atas simpanannya yang tidak dijamin oleh LPS sebagaimana telah diuraikan di atas, maka simpanan nasabah PT. Bank IFI yang tidak dijamin oleh LPS dikarenakan nilai simpanannya melebihi batas maksimal penjaminan yang ditentukan, yaitu Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), yang terdiri atas 30 rekening dengan total jumlah adalah Rp 191,2 (seratus sembilan puluh satu miliar koma dua rupiah), seharusnya mendapat perlindungan hukum, yaitu tetap akan dibayarkan setelah pencairan aset bank yang dilikuidasi yaitu menjadi tanggung jawab PT. Bank IFI. Jika pemegang saham PT. Bank IFI tidak melaksanakan tanggung jawab yang menjadi kewajibannya, maka Nasabah Penyimpan dapat melakukan upaya hukum sebagai berikut: 1. Berdasarkan
hubungan
kontraktual,
Nasabah
Penyimpan
dapat
mengajukan upaya hukum ke Pengadilan dengan mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi. Hal ini dikarenakan pihak PT. Bank IFI tidak
98
memenuhi prestasi seperti yang telah diperjanjikan sebelumnya, yaitu melakukan wanprestasi dengan tidak mengembalikan dana simpanan nasabah beserta bunganya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Dasar gugatannya adalah Pasal 1236 KUH Perdata. 2. Berdasarkan hubungan non kontraktual, Nasabah Penyimpan PT. Bank IFI yang merupakan kategori ke 2 yaitu simpanannya melebihi Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), akan mendapatkan pembayaran dari pencairan aset PT. Bank IFI dalam likuidasi dengan urutan ke enam dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang LPS. 2. Tanggung Jawab Bank terhadap Nasabah Penyimpan atas Simpanan yang tidak Terpenuhi Haknya dari Hasil Penjualan Aset Bank dalam Hal Terjadi Pencabutan Izin Usaha dan Likuidasi Bank Likuidasi Bank Gagal oleh LPS berkaitan dengan kondisi apabila bank kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha bank tidak dapat dilanjutkan, maka bank tersebut
menjadi Bank Gagal yang
berakibat dicabut izin usahanya yang kemudian ditindaklanjuti dengan likuidasi bank yang bersangkutan. Dalam hal terjadi demikian, LPS sebagai Lembaga Penjamin Simpanan para nasabah (sebagai akibat menerima premi dari nasabah) tentu menjamin uang Nasabah Penyimpan, namun tentu sesuai dengan kriteria syarat-syarat penjaminannya. Kriteria tersebut diantaranya adalah jumlah maksimal uang deposan per orang nasabahnya, dan bunga maksimal yang masih berada di ambang penjaminannya. Dalam arti kata,
99
deposito yang diberikan bunga melebihi ketentuan penjaminan LPS tentunya tidak termasuk yang dijamin pengembaliannya. Kerugian dan kewajiban bank yang lainnya, yang berada diluar uang nasabah serta hutang-piutang dari bank yang dilikuidasi itu bukan merupakan kewajibannya LPS. Kewajiban itu akan dibayarkan dari hasil likuidasi asset dan kekayaan bank yang dilikuidasi tersebut. Kewajiban ini adalah likuidasi bank oleh Pemegang Saham. Hal ini berarti tanggung jawab dikembalikan kepada bank, dan keadaan demikian menimbulkan pertanyaan bagi Penulis bagaimana tanggung jawab bank yang bersangkutan, mengingat bentuk hukum bank itu berbeda-beda, oleh karena itu perlu dilakukan pembahasan guna mendapatkan jawabannya. Dalam rangka melaksanakan tugas BI yang ketiga yaitu mengatur dan mengawasi bank sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 Undang-Undang BI, salah satunya adalah mencabut izin usaha bank. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 33 Undang-Undang BI bahwa dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian BI membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang‐undang tentang Perbankan yang berlaku, dalam hal ini melakukan pencabutan izin usaha bank yang bersangkutan. Pencabutan izin usaha merupakan tindakan yang dilakukan oleh BI dikarenakan bank tersebut tidak dapat mengatasi kesulitannya atau keadaan
100
bank yang bersangkutan membahayakan sistem perbankan nasional. Dikatakan keadaan bank yang bersangkutan membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian BI, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Pencabutan ijin usaha bank merupakan langkah akhir dari usaha menyehatkan bank yang terkena kesulitan. Sebelumnya telah ditempuh langkah-langkah oleh BI agar : 1. Pemegang saham menambah modal; 2. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau Direksi bank; 3. Bank menghapusbukukan kredit yang macet, dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya; 4. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; 5. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban. (Pasal 37 ayat (1)) Undang-Undang Perbankan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa apabila bank kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha bank tidak dapat dilanjutkan, maka bank tersebut menjadi Bank Gagal. Selanjutnya LPS akan melakukan penyelesaian, baik yang berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik. LPS melakukan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik atau yang tidak berdampak sistemik setelah LPP atau Komite Koordinasi menyerahkan penyelesaiannya kepada LPS (Pasal 21 ayat
101
(2) UU LPS). Komite Koordinasi adalah komite yang beranggotakan Menteri Keuangan, LPP, Bank Indonesia dan LPS yang memutuskan kebijakan penyelesaian dan penanganan suatu Bank Gagal yang berdampak sistemik. Penyelesaian atau penanganan Bank Gagal dilakukan oleh LPS terdapat dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU LPS yaitu dengan cara sebagai berikut: a. Penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank Gagal dimaksud. b. Penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan pemegang saham lama atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama. Ketika tindakan penyelamatan yang dilakukan LPS tidak berhasil, maka dilakukanlah tindakan likuidasi. Undang-Undang Perbankan dalam Pasal 37 dan 37A maupun penjelasannya tidak memberikan perumusan istilah, definisi, karakter (ciri-ciri), dan struktur hukum dari “likuidasi”. Likuidasi bank adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank. Jadi likuidasi bank bukanlah sekedar pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank, tetapi berkaitan dengan proses penyelesaian segala hak dan kewajiban dari suatu bank yang dicabut izin usahanya. Setelah suatu bank dicabut izin usahanya, dilanjutkan lagi dengan proses pembubaran badan hukum bank yang bersangkutan, dan seterusnya dilakukan proses pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban (piutang dan utang) bank sebagai akibat dari pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank. 82 Kemudian dalam perkembangannya, terdapat beberapa istilah yang ada kaitannya dengan likuidasi, yaitu : 1. Dissolution, yaitu rangkaian proses yang terdiri dari proses pemberhentian badan hukum dan bisnis perusahaan, penjualan aset, pembagian hasil penjualan aset kepada para pihak yang berhak dan dalam
82
Eko Purwoningsih, 2005, Pencabutan Izin Usaha Dan Likuidasi PT Bank Asiatic:Kajian Yuridis Praktis, Jakarta : Sripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 57.
102
proses ini dilakukan juga proses pembubaran. Terdapat 3 (tiga) macam dissolusi, yaitu : a. Dissolusi Sukarela (voluntary dissolution), yaitu disolusi yang dilakukan atas rekomendasi dari salah satu atau lebih organ perseroan dan diputus oleh RUPS. b. Dissolusi Administrasi (administrative dissolution), yaitu dissolusi yang dilakukan atas perintah pemerintah karena perusahaan tidak memenuhi prosedur hukum tertentu atau karena alasan demi kepentingan umum. Dissolusi ini dilakukan tidak secara sukarela sehingga disebut juga involuntary dissolution. c. Dissolusi judisial (judicial dissolution), merupakan salah satu involuntary dissolution yang diperintahkan oleh Pengadilan karena permohonan dari pemegang saham, kreditor atau negara karena alasan-alasan khusus. 2. Winding up, yaitu suatu proses dimana perusahaan yang sudah diputuskan untuk dilikuidasi diangkat likuidatornya, asetnya dikumpulkan dan dibagikan kepada para kreditor, pemegang saham atau kepada pihak lainnya yang berhak. Istilah ini di beberapa negara disamakan dengan likuidasi, seperti halnya likuidasi disamakan dengan dissolusi. 3. Termination, merupakan pengakhiran suatu perusahaan setelah proses likuidasi selesai. Pengertian ini dapat disamakan dengan pembubaran menurut hukum Indonesia. 83
Pengertian likuidasi tidak terbatas pada pencabutan izin usaha bank akan tetapi lebih luas lagi termasuk tindakan pembubaran (outbinding) badan hukum bank dan penyelesaian atau pemberesan (vereffening) seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat dibubarkannya badan hukum bank tersebut atau dari bank yang dilikuidasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terakhir dilakukan penyelesaian terhadap seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkan oleh bank yang dilikuidasi tersebut. Dengan demikian istilah likuidasi ini mencakup lembaga pembubaran dan pemberesan. Selanjutnya berikut ini akan diuraikan mengenai tanggung jawab bank menurut bentuk hukumnya, yang merupakan bentuk analisis lebih lanjut 83
Munir Fuady, 2003, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, cet. I, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 180.
103
mengenai tanggung jawab bank terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank, namun sebelum lebih jauh mebahas mengenai tanggung jawab bank tersebut, ada baiknya memberi batasan dari kata tanggung jawab itu sendiri. Mengenai pengertian tanggung jawab, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberi pengertian sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Dalam hal ini, tanggung jawab timbul karena telah diterima wewenang. Tanggung jawab juga membentuk hubungan tertentu antara pemberi wewenang dan penerima wewenang. Jadi tanggung jawab dalam pengertian ini seimbang dengan wewenang. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.84 Menurut W.J.S. Poerwodarminto, tanggung jawab adalah sesuatu yang menjadi kewajiban (keharusan) untuk dilaksanakan, dibalas dan sebagainya. Dengan demikian kalau terjadi sesuatu maka seseorang yang dibebani tanggung jawab wajib menanggung segala sesuatunya. Dengan kata lain, tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. 84
http://sonny-tobelo.blogspot.com/2010/12/teori-pertanggungjawaban.html tanggal 8 Mei 2012.
diakses
pada
104
Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. 85 Adapun dalam karya ilmiah ini tanggung jawab dibatasi pada tanggung jawab dalam konteks liability, yaitu
tanggung jawab bank menyangkut
kewajiban secara aktual dalam hubungannya dengan Nasabah Penyimpan untuk melaksanakan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa hubungan hukum antara bank dengan Nasabah Penyimpan adalah hubungan kontraktual dan hubungan non kontraktual. Hubungan kontraktual yaitu didasarkan pada Perjanjian Penyimpanan antara bank dengan Nasabah Penyimpan. Apabila ditilik lebih dalam lagi mengenai jenis perjanjian, maka perjanjian ini merupakan perjanjian tak bernama. Layaknya perjanjian pada umumnya, Perjanjian Penyimpanan tunduk pada KUHPerdata khususnya Buku III tentang Perikatan, di mana selain mengatur tentang perjanjian bernama Buku III juga berlaku bagi perjanjian tak bernama, namun karena tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, maka perjanjian itu selain mengikuti peraturan umum (lex generalis) yaitu Buku III KUHPerdata juga tunduk pada peraturan khususnya (lex specialis) yaitu Undang-Undang Perbankan. Ketentuan umum Perikatan dalam Buku III KUHPerdata antara lain adalah sebagaimana yang dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengenai kekuatan mengikatnya perjanjian. Mengikat artinya masing-masing para pihak dalam perjanjian tersebut harus menghormati dan 85
http://deqoer.blogdetik.com/2010/07/08/arti-tanggung-jawab/.html diakses pada tanggal 8 Mei 2012.
105
melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi perjanjian. Terikatnya para pihak pada perjanjian tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Tunduknya Perjanjian Penyimpanan pada ketentuan KUHPerdata menghendaki pula tunduk pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, maka jika terjadi pelanggaran hak Nasabah Penyimpan oleh bank seharusnya perlindungan hukum diberikan oleh Perjanjian Penyimpanan dana itu sendiri karena perjanjian adalah undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sunt servanda). Selanjutnya hubungan antara bank dengan Nasabah Penyimpan adalah hubungan non kontraktual, dalam hubungan ini hak-hak Nasabah Penyimpan terhadap bank muncul karena adanya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, biasanya hubungan kontraktual ini tercipta pada saat hubungan praktek antara pihak bank dengan pihak nasabah. Hubungan non kontraktual yang diatur dalam hukum tertulis yaitu Undang-Undang Perbankan dan peraturan pelaksananya yaitu hubungan kepercayaan, hubungan kehati-hatian, hubungan kerahasiaan, hubungan menjamin dana simpanan, hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah, hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah. Seperti halnya dalam hubungan kontraktual, dalam hubungan non kontraktual ini juga terdapat pengaturan perlindungan hukum terhadap Nasabah Penyimpan dana, yaitu:
106
1. Dalam hubungan kepercayaan, perlindungan hukum diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Perbankan tentang pemberian kredit, Pasal 16 UndangUndang Perbankan tentang perizinan dan 29 Undang-Undang Perbankan tentang pembinaan dan pengawasan perbankan 2. Dalam hubungan kehati-hatian, perlindungan hukum berupa pengenaan sanksi kepada bank berdasarkan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Perbankan yang berupa teguran tertulis, dan pelanggaran itu dapat diperhitungkan dengan komponen tingkat kesehatan bank, bahkan bank dapat diberikan sanksi pencabutan izin usaha, dan dengan adanya ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan maka Direksi dari bank yang bersangkutan dapat diadukan oleh nasabah sebagai telah melaksanakan tindak pidana dan dijatuhi sanksi pidana. 3. Dalam hubungan kerahasiaan, perlindungan hukum diatur dalam berupa pengenaan sanksi kepada bank berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perbankan. 4. Dalam hubungan menjamin simpanan nasabah, Hubungan ini ditur dalam Pasal 37 B Undang-Undang Perbankan, bahwa (1) setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan; (2) untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan; (3) Lembaga Penjamin Simpann sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia
107
5. Dalam hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah, perlindungan hukum berupa pengenaan sanksi administratif kepada bank berdasarkan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Perbankan yang berupa teguran tertulis, dan pelanggaran itu dapat diperhitungkan dengan komponen tingkat kesehatan bank, namun jika pelanggaran dilakukan dengan sengaja oleh anggota Direksi dan pegawai dari bank yang bersangkutan dapat diadukan oleh nasabah karena telah melakukan tindak pidana dan dijatuhi sanksi pidana berdasarkan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan Selanjutnya membahas mengenai tanggung jawab bank terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank, perlu diuraikan terlebih dahulu bahwa dalam proses Likuidasi suatu bank, terhadap pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur yang diperoleh dari hasil pencairan dan/atau penagihan piutang, maka terdapat 3 (tiga) kemungkinan hasil likuidasi adalah sebagai berikut: 1. Aset Positif (Hak > Kewajiban); Dalam hal ini masih terdapat sisa hasil likuidasi dan/atau sisa aset setelah pelaksanaan likuidasi selesai. 2. Aset Nol (Hak = Kewajiban); Dalam hal ini tidak terdapat sisa hasil likuidasi dan/atau sisa aset setelah pelaksanaan likuidasi selesai maupun tidak lagi terdapat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh bank. 3. Aset Negatif (Hak < Kewajiban); Dalam hal ini seluruh aset bank telah habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban bank terhadap pihak lain.
108
Dari 3 (tiga) kemungkinan hasil likuidasi di atas, kemungkinan yang ketigalah yang menuntut adanya tanggung jawab bank untuk memenuhi hak pihak lain (dalam hal ini Nasabah Penyimpan) atas simpanannya yang harus dikembalikan. Berdasarkan data nomor 2.2.4 Pasal 54 ayat (5) Undang-Undang LPS dapat diketahui bahwa tanggung jawab bank yang berupa kewajiban pengembalian simpanan nasabah akibat likuidasi oleh pemegang saham, dalam hal seluruh aset bank telah habis dalam proses likuidasi namun masih terdapat kewajiban bank terhadap pihak lain, maka kewajiban tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan bank menjadi Bank Gagal, ini berarti bahwa tanggung jawab itu dikembalikan kepada bank. Munir Fuady mengemukakan sebagai berikut: Adanya kewajiban pemegang saham lama untuk membayar kewajiban terhadap pihak lain ini merupakan suatu bentuk dari pelaksanaan suatu doktrin piercing the corporate veil yang berasal dari sistem hukum common law. Doktrin ini diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau PT lain atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu PT (badan hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh PT yang bersangkutan. 86 Pendapat Munir Fuady di atas dikaitkan dengan data 2.2.4, tampak bahwa pemegang saham lama dapat dimintai pertanggungjawaban bila ia terbukti sebagai penyebab bank menjadi Bank Gagal. Adapun yang dimaksud pemegang saham adalah orang-orang, baik perseorangan (Natuurlijke Persoon), maupun badan hukum (Rechtspersoon), yang menyetorkan sejumlah 86
Munir Fuady (b), 2002, Doktrin-doktrin dalam Corporate Law dan Eksistensinya di Indonesia,Citra Aditya Bakti,Bandung, hal. 8
109
modal untuk suatu jumlah saham tertentu yang diambil bagian olehnya. Ketika penyelesaian kewajiban bank terhadap hak-hak Nasabah Penyimpan Dana yang tidak dapat terpenuhi dalam proses likuidasi, maka pemegang saham bank wajib mengganti semua kerugian nasabah dengan menyita seluruh asset-aset pribadi pemegang saham karena kegagalan bank dikarenakan pemegang saham. Berkaitan dengan hal bahwa kerugian yang dialami oleh Nasabah Penyimpan tidak lepas dari kesalahan yang dilakukan oleh bank, ada dua macam teori mengenai hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian, yaitu : 1. Teori Conditio Sine Qua Non; Oleh Von Buri, yang mengemukakan suatu hal adalah sebab dari suatu akibat dan akibat tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. 2. Teori Adequate Veroorzaking; Oleh Von Kries, yang menyatakan bahwa suatu hal baru dapat dikatakan sebab dari suatu akibat jika menurut pengalaman manusia dapat diperkirakan terlebih dahulu bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat. 87 Teori di atas paralel dengan pendapat Zulkarnain Sitompul yang menyatakan sebagai berikut: Kegagalan bank tidak terlepas dari Kelemahan internal industri perbankan terutama juga disebabkan oleh rendahnya kualitas pengelolaan internal yang tercermin dari konsentasi kredit yang berlebihan pada satu grup atau individu, serta campur tangan pemilik yang berlebihan dalam manajemen bank. 88 Dengan demikian, kerugian yang dialami oleh Nasabah Penyimpan sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh bank maka pihak bank wajib
87
Shofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bandung, hlm. 26. 88
Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan, Op. Cit. hlm. 21.
110
mengganti semua kerugian nasabah, namun karena badan hukum bank itu dibubarkan oleh LPS dalam rangka melakukan likuidasi Bank Gagal sebagaimana diatur dalam Pasal 43 huruf d Undang-Undang LPS, maka dalam Pasal 54 ayat (5) Undang-Undang LPS ditentukan bahwa kewajiban bank terhadap pihak lain yang belum terpenuhi dari hasil penjualan aset bank dan telah habis dalam proses likuidasi tersebut, wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkab bank menjadi Bank Gagal. Membahas mengenai tanggung jawab pemegang saham lama, maka perlu memperhatikan bentuk hukum dari bank yang bersangkutan untuk mengetahui batasan tanggung jawab pemegang sahamnya. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Perbankan dikenal beberapa bentuk hukum bank, maka tanggung jawab pemegang saham lama pun harus memperhatikan bentuk hukum bank dimaksud, oleh karena itu berikut ini akan diuraikan mengenai tanggung jawab bank menurut bentuk hukum yang dimungkinkan menurut Undang-Undang Perbankan yaitu bank dengan bentuk hukum Perseroan Terbatas (PT), bank dengan bentuk hukum Koperasi, maupun bank dengan bentuk hukum Perusahaan Daerah. 1. Perseroan Terbatas (PT) Undang-Undang Perbankan mengatur bahwa salah satu bentuk hukum Bank Umum ataupun BPR adalah Perseroan Terbatas (Pasal 21 UndangUndang Perbankan). Oleh sebab itu, konstruksi hukum organ Perseroan Terbatas Perbankan sudah tentu sama dengan yang diatur di dalam Undang-
111
undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (yang selanjutnya disebut Undang-Undang PT). Dalam Undang-Undang PT, ada keadaan di mana suatu perusahaan yang berbadan hukum PT mengalami kepailitan. Undang-Undang Perbankan juga memungkinkan terjadinya keadaan di mana suatu bank dinyatakan pailit. Kepailian bagi bank dimungkinkan sebagaimana terdapat dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, “Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua harta yang dititipkan pada bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan”. Akan tetapi, UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tersebut tidak memuat ketentuan lebih lanjut sehingga harus berdasarkan peraturan yang berlaku umum. 89 Dari sinilah muncul adanya kebutuhan pemberesan kewajiban bank yang berbadan hukum PT menggunakan Undang-Undang PT. Berdasarkan data nomor 3.3.1.1 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PT, Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki, namun masih ada kemungkinan pemegang saham harus bertanggung jawab hingga menyangkut kekayaan pribadinya berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang PT, yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (1) tidak berlaku apabila: a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan
itikad
kepentingan pribadi; 89
Adrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 234.
buruk
memanfaatkan
Perseroan
untuk
112
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Berkaitan dengan data nomor 3.3.1.1 mengenai batas tanggung jawab pemegang saham di atas, data nomor 3.3.1.2 Pasal 104 ayat (2) UndangUndang PT mengatur bahwa dalam hal kepailitan disebabkan karena kesalahan atau kelalaian Direksi, maka pelaksanaan segala kewajiban Perseroan menjadi tanggung jawab Direksi yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut, termasuk kewajiban terhadap para kreditur. Mengenai pengertian Direksi, Menurut teori Organisme dari Otto von Gierke sebagaimana yang dikutip oleh Syuiling adalah sebagai berikut: Direksi adalah organ atau alat perlengkapan badan hukum. Seperti halnya manusia mempunyai organ-organ, seperti tangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya dan karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak manusia, maka setiap gerakan atau aktifitas Direksi badan hukum dikehendaki atau diperintah oleh badan hukum sendiri, sehingga Direksi adalah personifikasi dari badan hukum itu sendiri. Sebaliknya Paul Scholten dan Bregstein (1954), langsung mengatakan bahwa Direksi mewakili badan hukum. 90 Sebaliknya Paul Scholten dan Bregstein langsung mengatakan bahwa Direksi mewakili badan hukum PT. Direksi adalah merupakan salah satu organ perseroan terbatas yang memiliki tugas serta bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan 90
Nindyo Pramono, 2007, Tanggung Jawab Dan Kewajiban Pengurus PT ( Bank Menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Buletin Hukum dan Kebanksentralan, Volume 5 nomr 3 Tahun 2007, hlm.15.
113
untuk kepentingan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangat sentral dalam paradigma perseroan terbatas. Hal ini karena Direksiyang akan menjalankan fungsi pengurusan dan perwakilan perseroanterbatas.91 Bertitik tolak dari pendapat ketiga ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Direksi PT itu bertindak mewakili PT sebagai badan hukum, sehingga ini merupakan tugas utama Direksi. Adapun hakikat dari perwakilan adalah bahwa seseorang melakukan sesuatu perbuatan untuk kepentingan orang lain atas tanggung jawab orang itu. Di samping tugas utama Direksi tersebut, Rudhi Prasetya menyatakan bahwa termasuk sebagai tugas Direksi dalam perbuatan dan kejadian sehari-hari tersebut, menurut anggaran dasar: 1. menandatangani saham-saham yang dikeluarkan, bersama-sama komisaris; 2. menyusun laporan neraca untung rugi perseroan pada akhir tahun, sebagai pertanggungjawaban Direksi, dengan menyampaikannya dan meminta untuk disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Sahara (RUPS); 3. melakukan pemanggilan RUPS dan memimpin RUPS (khusus untuk PT terbuka RUPS dipimpin oleh komisaris). 92
Tugas dan wewenang Direksi tersebut di atas penting untuk diketahui sebelum menganalisis mengenai tanggung jawab Direksi. Rudhi Prasetya menyatakan bahwa : Jika berbicara mengenai pertanggungjawaban, maka dapat dilihat dari segi hubungan ekstern dan segi hubungan intern. Tanggung jawab ekstern adalah tanggung jawab sebagai dampak dalam hubungan dengan pihak luar. Sedangkan tanggung jawab intern adalah dampak dari hubungan si pengurus sebagai organ terhadap organ lainnya, yaitu institusi komisaris dan/atau rapat umum pemegang saham . Sedangkan jika dilihat dari 91
M.Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama, cet.ke-1, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 225. 92 Ibid, hlm. 227.
114
substansinya, maka tanggung jawab Direksi perseroan terbatas dibedakan setidak-tidaknya menjadi empat kategori, yakni: 1. tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan duty toskill and care; 2. tanggung jawab berdasarkan doktrin manajemen ke dalam (indoor manajement rule); 3. tanggung jawab berdasarkan prinsip Ultra vires; dan 4. tanggung jawab berdasarkan prinsip piercieng the corporate veil.93 1. Tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan duty to skill and care: yang dimaksud dengan tugas fiduciary duties dari seorang Direksi dalam hal ini adalah tugas yang terbit secara hukum (by the operation of law) dari suatu hubungan fidusia antara Direksi dan perusahaan yang dipimpinnya, sehingga seorang Direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of skill and care). Oleh karena kedudukannya sebagai fidusia maka tanggung jawab Direksi menjadi sangat tinggi (high degree). 2. Tanggung jawab
berdasarkan
doktrin
manajemen
ke
dalam
(indoor manajement rule ): Doktrin manajemen ke dalam merupakan doktrin kontemporer yang mengajarkan bahwa jika pihak yang menjalankan tugas-tugas perusahaan dalam menjalankan tugas-tugasnya konsisten dengan isi anggaran dasar perseroan, maka pihak perusahaan terikat dengan pihak ketiga atas segala tindakan yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut. 3. Tanggung jawab berdasarkan prinsip ultra vires: Yang dimaksud dengan rinsip ultra vires adalah pelampaun kewenangan perusahaan. Konsekuensi dari pelanngaran ini akan menyebabkan perbuatan tersebut menjadi tidak
93
Ibid.
115
sah dan batal demi hukum, dan jika ada pihak yang merasa dirugikan, maka pihak Direksilah yang mesti bertanggung jawan secara pribadi. 4. Tanggung jawab Direksi berdasarkan prinsip piercieng the corporate veil: Dalam ilmu hukum, prinsip penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate veil) diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas tindakan hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku, tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya perbuatan tersebut dilakukan oleh/atas nama perseroan pelaku. Dari data nomor 3.3.1.1 Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang PT mengenai batas tanggung jawab pemegang saham, dikaitkan dengan data nomor 3.3.1.2 2 Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang PT mengenai tanggung jawab Direksi, dan dihubungkan dengan pendapat Rudhi Prasetya dapat disimpulkan bahwa apabila bank berbentuk atau berbadan hukum PT, maka tanggung jawab terletak pada pemegang saham yaitu sebesar saham yang dimilikinya (kecuali jika pemegang saham memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang PT, maka tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan) atau jika bank yang bersangkutan dicabut izin usahanya karena kesalahan atau kelalaian Direksi, maka pelaksanaan segala kewajiban Perseroan menjadi tanggung jawab Direksi yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut. 2. Koperasi Bentuk hukum Bank Umum ataupun BPR dalam yang dimungkinkan menurut Pasal 21 Undang-Undang Perbankan setelah Perseroan Terbatas
116
adalah Koperasi, maka konstruksi hukum organ Koperasi Perbankan sudah tentu sama dengan konstruksi hukum organ Koperasi secara umum. Pengaturan mengenai badan hukum koperasi di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkoperasian). Koperasi dapat dibedakan dari badan usaha lainnya, karena adanya: 1. Sifat kesukarelaan dalam keanggotaan koperasi. Sifat ini mengandung arti bahwa menjadi anggota koperasi tidak boleh dipaksakan siapapun, sifat kesuka relaan ini juga mengandung arti bahwa seorang anggota dapat mengundurkan diri dari koperasi sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam Anggaran Dasar Koperasi. 2. Adanya prinsip demokrasi. Prinsip ini menunjukkan bahwa pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggotanya. 3. Pembagian sisa hasil usaha berdasar atas prinsip keadilan dan asas kekeluargaan. Sisa hasil usaha koperasi tidak dibagi semata-mata atas dasar modal yang dimiliki anggota dalam koperasi, tetapi juga atas dasar perimbangan jasa usaha mereka terhadap koperasi. 4. Koperasi bukan merupakan akumulasi modal. Meskipun koperasi bukan merupakan suatu akumulasi modal, tetapi koperasi memerlukan modal pula untuk menjalankan kegiata usahanya. 5. Prinsip Kemandirian dari koperasi. Ini mengandung arti bahwa koperasi harus dapat berdiri sendiri, tanpa bergantung kepada pihak lain yang dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan dan usaha sendiri. 6. Selain lima prinsip tersebut, dalam pengembangan dirinya koperasi juga melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan perkoperasian dan bekerja sama dengan antar koperasi. 94 Koperasi yang merupakan badan hukum dimana dalam pengelolaan kegiatan sehari-harinya dilaksanakan oleh pengurus, maka dalam hal pertanggungjawaban kepada rapat anggota maupun kepada anggotanya sendiri 94
http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/08/prinsip-koperasi-indonesia.html. tanggal 23 Juli 2012.
Diakses
117
tentunya bergantung kepada perbuaan yang dilakukan oleh pengurus koperasi tersebut, sebab dalam mengelola koperasi kepada para pengurus ini diberikan beberapa kewenangan, tugas dan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam anggaran koperasi yang bersangkutan. Mengenai tanggung jawab koperasi terhadap para krediturnya hanya terbatas pada harta kekayaan koperasi itu sendiri. Dalam hal kekayaan koperasi tidak cukup untuk menutupi semua tuntutan yang diajukan oleh para kreditur, berdasarkan Pasal 17 ayat
(1) Undang-Undang Perkoperasian yang
menentukan bahwa anggota Koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi, maka para anggota koperasi diminta secara perorangan untuk bertanggung jawab bagi hutang-hutang koperasi jika terjadi pembubaran. Tanggung jawab para anggota bagi hutang-hutang koperasi hanya dapat berlaku berdasarkan dua syarat, yaitu: 1. Dalam hal pemburan koperasi 2. Dalam hal harta kekayaan koperasi tidak cukup untuk menutupi semua tuntutan yangdiajukan oleh para kreditur. Mengenai pembubaran bentuk hukum Koperasi, Pasal 46 UndangUndang Perkoperasian mengaturnya yang menyatakan bahwa pembubaran Koperasi dapat dilakukan berdasarkan: a. keputusan Rapat Anggota, atau b. keputusan Pemerintah
118
Selanjutnya keputusan pembubaran koperasi disampaikan oleh pengurus, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto sebagai berikut: Sebagai perangkat organisasi yang memegang kedaulatan tertinggi dalam koperasi, maka melalui pengurus koperasi memberitahukan secara tertulis keputusan pembubaran koperasi tersebut kepada semua kreditur dan pemerintah dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal keputusan rapat anggota pembubaran. 95 Sebagai
perangkat
organisasi
yang
diberikan wewenang
untuk
melakukan tindakan dan upaya hukum untuk dan atas nama koperasi yang bersangkutan, pengurus bertanggung jawab mengenai segala kegiatan pengelolaan koperasi dan usahanya kepada rapat anggota dan rapat anggota luar biasa. Selanjutnya masalah penyelesaian setelah dikeluarkannya keputusan pembubaran koperasi, maka segera dilakukan penyelesaian. Penyelesaian diatur dalam Pasal 51 Undang-undang Perkoperasian, yakni: Untuk kepentingan kreditur dan para anggota koperasi terhadap pembubaran
koperasi
dilakukan
penyelesaian
pembubaran
yang
selanjutnya disebut penyelesaian. Dari data nomor 3.3.2 Pasal 34 Undang-undang Perkoperasian mengenai tanggung jawab pengurus menanggung kerugian yang diderita koperasi karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya, dihubungkan dengan
pendapat
Muhammad
Firdaus
dan
Agus
Edhi
Susanto
mengemukakan bahwa pengurus koperasi adalah perangkat organisasi yang 95
Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, Perkoperasian: Sejarah, Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 57.
119
memegang kedaulatan tertinggi dalam koperasi, maka dapat dideskripsikan bahwa tanggung jawab bank yang berbadan hukum Koperasi adalah tanggung jawab setiap anggota Koperasi atau jika kerugian disebabkan karena kesalahan pengururs, maka pengurus tersebut yang harus bertanggung jawab. 3. Perusahaan Daerah Sampai saat ini pengaturan mengenai Perusahaan Daerah masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang merupakan produk Orde Lama yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perusahaan Daerah). Pada dasarnya tujuan dari pengaturan Perusahaan Daerah dalam suatu Undang-Undang adalah untuk melaksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945 (yang belum diamandemen) dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah swatantra yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Mengenai Perusahaan Daerah sebagai salah satu bentuk hukum Perusahaan yang diizinkan untuk berusaha di bidang perbankan, semula ketentuannya mengacu pada kewenangan daerah berdasarkan Undang-Undang No 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah, di mana Peraturan Daerah (Perda) yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memberikan wewenang pada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mendirikan Perusahaan Daerah yang berusaha di bidang perbankan. Ketentuan ini sekarang memperoleh nuansa yang baru, yakni dengan berlakunya Otonomi Daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
120
Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan. Dalam hal ini, pendirian bank daerah baik milik Pemda maupun Swasta Daerah sangat bermanfaat bagi daerah, karena selain memperlancar aktivitas keuangan daerah juga untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD). Definisi Perusahaan Daerah ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perusahaan Daerah, yaitu : ”Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan Perusahaan Daerah ialah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undangundang ini yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan Daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-undang.” Sebagai salah satu bentuk hukum, Perusahaan Daerah memiliki modal, yang sebagian atau seluruh permodalan Perusahaan Daerah berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan dan seperti halnya PT, modal PD terdiri dari saham-saham. Dalam UU PD, diatur bahwa saham-saham tersebut digolongkan dalam 2 jenis, yaitu saham prioriteit yang hanya dapat dimiliki oleh daerah, dan saham biasa yang dapat dimiliki oleh daerah, warganegara, dan/atau badan hukum Indonesia. Organ Perusahaan daerah meliputi : a. RUPS; b. Direksi; dan c. Badan Pengawas. Pada sutau Perusahaan Daerah fungsi Rapat Pemegang Saham tidak selalu sebagai pengambil keputusan akhir dalam perjalanan roda perusahaan,
121
hal ini dibatasi bahwa keputusan Rapat Pemegang Saham harus diambil dengan permufakatan seluruh pemegang saham, manakala tidak tercapai permufakatan atas suatu hal yang akan diputuskan maka Kepala Daerah memiliki kewenangan untuk memutus masalah tersebut dengan tetap memperhatikan pendapat pendapat yang berkembang dalam RUPS, hal mana diatur didalam Bab VI tentang Rapat Pemegang Saham pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang menyatakan : 1) Tata-tertib rapat pemegang saham/saham prioritet dan rapat umum pemegang saham (prioritet dan biasa) diatur dalam peraturan pendirian Perusahaan Daerah. 2) Keputusan dalam rapat pemegang saham/saham prioriteit dan rapat umum pemegang saham (prioritet dan biasa) diambil dengan kata mufakatan. 3) Jika kata mufakat termaksud pada Ayat (2) tidak tercapai maka pendapatpendapat yang dikemukakan dalam musyawarah disampaikan kepada Kepala Daerah dari Daerah yang mendirikan Perusahaan Daerah. 4) Kepala Daerah termaksud pada Ayat (3) mengambil keputusan dengan memperhatikan pendapat-pendapat termaksud. Pengurusan Perusahaan Daerah dilakukan oleh suatu Direksi, jumlah anggota serta susunan Direksi diatur didalam peraturan daerah yang merupakan peraturan pendiriannya, pengangkatan anggota Direksi pada Perusahaan Daerah dilakukan oleh Kepala Daerah setelah mendengar pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah yang mendirikan Perusahaan Daerah, mengenai pengangkatan anggota Direksi terdapat dua mekanisme, Kepala Daerah memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan anggota Direksi jika modal badan usaha tersebut seluruhnya berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Pengangkatan anggota Direksi Perusahaan Daerah
122
dilakukan dari usulan pemegang saham prioritas, bagi badan usaha yang modalnya sebahagian dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Undang-undang Perusahaan Daerah juga mengatur tentang pengawasan Perusahaan Daerah, Pasal 19 menyatakan bahwa Direksi dalam menjalankan pengurusannya terhadap perusahaan berada di bawah pengawasan Kepala Daerah bagi Perusahaan daerah yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemda. Fungsi pengawasan dilaksanakan oleh Pemegang Saham atau Pemegang Saham Prioritas mana kala saham-saham perusahaan tersebut dimiliki oleh lebih dari satu pegang saham. Pengawasan juga dapat dilakukan oleh badan yang dibentuk atau ditunjuk dengan diberikan mandat untuk melakukan pengawasan oleh Kepala Daerah atau Pemegang Saham. Biasanya tugas pengawasan yang diserahkan kepada suatu Dewan/Badan terhadap suatu perusahaan yang besarnya ditunjuk satu badan, yang menjalankan
pengawasan
umum
terhadap
perusahaan
sedang
untuk
perusahaan-perusahaan yang kecil ditunjuk hanya satu badan untuk melakukan pengawasan. Selanjutnya hal penting yang perlu diperhatikan dalam mencermati ketentuan Undang-Undang Perusahaan Daerah adalah bahwa Kepala Daerah sebagai pemegang saham prioriteit. Hal ini dapatdilihat dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Peruahaan Daerah. 1) Saham-saham Perusahaan Daerah terdiri atas saham-saham prioritet dan sahamsaham biasa. 2) Saham-saham prioritet hanya dapat dimiliki oleh Daerah.
123
Kaitannya dengan tanggung jawab pemegang saham, terdapat teori piercing the corporate veil yang mengatakan bahwa adakalanya pemegang saham bertanggung jawab tidak sebatas saham yang dimilikinya, hal ini sejalan dengan pendapat Widjaja Gunawan, yaitu: Teori piercing the corporateveil berarti hukum tidak memberlakukan prinsip terpisahnya tanggung jawab dan harta kekayaan badan hukum dari tanggung jawab dan kekayaan pemegang saham. Sungguh pun secara de jure seluruh persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu perseroan terbatas untuk menjadi badan hukum telah sempurna dilakukan, cadar yang membatasi badan hukum dengan pemegang saham dapat dikoyak, jadi kemungkinan berdasarkan teori ini pemegang saham dalam hal-hal tertentu ikut bertanggung jawab sampai kepada harta pribadinya atas tidakan yang dilakukan oleh dan atas nama perseroan. Hapusnya pertanggung jawaban akibat terjadinya piercing the corporateveil adalah perlakuan oleh pemegang saham bahwa harta perseroan adalah harta kekayaan pribadi, sehingga yang bersangkutan mempergunakan harta perseroan untuk kepentingan pribadi. 96 Dalam kaitanya dengan teori piercing the corporate veil, Kepala Daerah sebagai pemegang saham prioriteit dapat dimintai pertanggung jawaban manakala melakukan perbuatan yang menyebabkan kerugian pada Perusahaan Daerah. Ketika Perusahaan Daerah tersebut berbentuk Perseroan Terbatas, berbeda dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah yang tidak mengatur hal yang demikian itu, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Selanjutnya mengenai tanggung jawab pegawai terdapat dalam data nomor 3.3.3 Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Perusahaan Daerah yang menentukan:
96
Widjaja Gunawan, 2008, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik Perseroan Terbatas, Penerbit Forum Sahabat . hlm 29.
124
“Semua pegawai Perusahaan Daerah, termasuk anggota Direksi dalam kedudukan selaku demikian, yang tidak dibebani tugas penyimpanan uang, surat-surat berharga dan barang-barang persediaan, yang karena tindakan melawan hukum atau karena melalaikan kewajiban dan tugas yang dibebankan kepada mereka dengan langsung atau tidak langsung telah menimbulkan kerugian bagi Perusahaan Daerah, diwajibkan mengganti kerugian tersebut.” Dari data nomor 3.3.3 di atas, dikaitkan dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perusahaan Daerah, serta dihubungkan dengan pendapat Widjaja Gunawan, dapat dideskripsikan bahwa tanggung jawab Perusahaan daerah merupakan tanggung jawab Kepala Daerah sebagai pemegang saham prioriteit, apabila kerugian Perusahaan Daerah karena akibat kesalahan pegawai, maka pegawai itulah yang bertanggung jawab. Bank IFI yang berbadan hukum PT, maka dalam hal seluruh aset telah habis dalam likuidasi sedangkan masih terdapat kewajiban terhadap Nasabah Penyimpan, maka tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban tersebut terletak pada para pemegang saham PT. Bank IFI sebatas pada saham yang ditanamnya, namun jika Bank Gagal terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi PT. Bank IFI, maka Direksi PT. Bank IFI bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Bardasarkan segala uraian mengenai tanggung jawab bank terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin uaha dan likuidasi bank, maka tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban tersebut menjadi tanggung jawab pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan bank menjadi Bank
125
Gagal,
tentunya
dengan
memperhatikan
bentuk
hukum
bank
yang
bersangkutan. a. Apabila bank berbentuk atau berbadan hukum PT, maka tanggung jawab terletak pada pemegang saham yaitu sebesar saham yang dimilikinya (kecuali jika pemegang saham memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang PT, maka tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan) atau jika bank yang bersangkutan dicabut izin usahanya karena kesalahan atau kelalaian Direksi, maka pelaksanaan segala kewajiban Perseroan menjadi tanggung jawab Direksi yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut. b. Apabila bank berbadan hukum Koperasi, tanggung jawab terletak pada setiap anggota Koperasi atau jika kerugian disebabkan karena kesalahan pengururs, maka pengurus tersebut yang harus bertanggung jawab. c. Apabila bank berbadan hukum Perusahaan Daerah, berdasarkan merupakan
tanggung jawab Kepala Daerah sebagai pemegang saham prioriteit, apabila kerugian Perusahaan Daerah karena akibat kesalahan pegawai, maka pegawai itulah yang bertanggung jawab.
126
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 1. Perlindungan hukum terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanannya yang tidak dijamin oleh LPS dapat dibagi menurut hubungan hukum bank dengan Nasabah Penyimpan. a. Berdasarkan hubungan kontraktual, perlindungan hukumnya diatur dalam Pasal 1236 KUH Perdata, yaitu simpanan yang tidak dijamin tetap menjadi hak nasabah dan merupakan kewajiban bank atas dasar Perjanjian Penyimpanan, jika bank tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang diperjanjikan, maka bank telah melakukan tindakan Wanprestasi, sehingga Nasabah Penyimpan dapat menuntut bank berdasarkan ketentuan tersebut. b. Berdasarkan hubungan non kontraktual, perlindungan hukumnya adalah : 1. Simpanan nasabah yang melebihi nilai Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); perlindungan hukumnya diatur dalam Pasal 54 ayat (1) huruf g Undang-Undang LPS, yaitu akan mendapatkan pembayaran dari hasil pencairan aset bank dalam proses likuidasi dengan urutan ke enam; 2. Simpanan nasabah yang memenuhi ketentuan Pasal 19 Undang-Undang LPS, perlindungan hukumya diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang LPS, yaitu dapat mengajukan keberatan kepada LPS atau melakukan
127
upaya hukum melalui pengadilan atas dasar Perbuatan Melawan Hukum. 2. Tanggung jawab bank terhadap Nasabah Penyimpan atas simpanan yang tidak terpenuhi haknya dari hasil penjualan aset bank dalam hal terjadi pencabutan izin usaha dan likuidasi bank, berdasarkan Pasal 54 ayat (5) Undang-Undang LPS merupakan tanggung jawab pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan bank menjadi Bank Gagal, dengan memperhatikan bentuk hukum bank yang bersangkutan. a. Apabila bank berbentuk atau berbadan hukum PT, berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PT maka tanggung jawab terletak pada pemegang saham yaitu sebesar saham yang dimilikinya (kecuali jika pemegang saham memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang PT, maka tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan) atau jika bank yang bersangkutan dicabut izin usahanya karena kesalahan atau kelalaian Direksi, berdasarkan Pasal 104 Undang-Undang PT maka pelaksanaan segala kewajiban Perseroan menjadi tanggung jawab Direksi yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut. b. Apabila bank berbadan hukum Koperasi, berdasarkan Pasal 34 Undangundang Perkoperasian tanggung jawab terletak pada setiap anggota Koperasi
atau jika kerugian disebabkan karena kesalahan pengururs, maka pengurus tersebut yang harus bertanggung jawab. c. Apabila bank berbadan hukum Perusahaan Daerah, berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Perusahaan Daerah
128
tanggung jawab Perusahaan daerah merupakan tanggung jawab Kepala Daerah sebagai pemegang saham prioriteit, apabila kerugian Perusahaan Daerah karena akibat kesalahan pegawai, maka pegawai itulah yang bertanggung jawab. B. Saran 1. Upaya hukum bagi Nasabah Penyimpan atas simpanannya yang tidak dijamin oleh LPS masih kurang melindungi hak-haknya dikarenakan harus melalui proses yang tidak banyak diketahui oleh masyrakat, maka seharusnya pemerintah segera membuat peraturan mengenai tata cara tentang likuidasi atas keinginan pemegang saham dan juga tata cara mengenai upaya hukum atau pengajuan gugatan bagi Nasabah Penyimpan dana yang dana simpanannya belum kembali setelah bank dilikuidasi dan aset bank telah habis; 2. Bagi pihak bank, diharapkan untuk selalu mengumumkan keadaan atau kesehatan masing-masing bank, baik melalui media massa atau melalui website. Hal ini dimaksudkan agar para nasabah bank mengetahui risiko terhadap dana simpanannya, serta hendaknya pula pihak bank memberikan perlakukan yang sama terhadap Nasabah Penyimpan dana baik yang kecil maupun yang besar, sehingga tidak ada nasabah yang tidak mendapatkan pengembalian simpanannya dengan alasan aset telah habis sedangkan pemegang saham tidak dapat diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA LITERATUR Djumhana, Muhammad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Fuady, Munir, 1999, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Fuady, Munir, 2003, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Cet. I, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Fuady, Munir, 2003, Hukum Perbankan Modern (Berdasarkan UU Th 1998) Buku kesatu , Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Harahap, Krisna, 2007, Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbitrase & Alternatif serta Mediasi, Cet. 5, Bandung: PT. Grafitri Budi Utami. Hasibuan, Malayu S. P., 2001, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: Bumi Aksara. Hermansyah, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana. Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan MetodologiPenelitian Hukum Normatif, Jawa Timur: Bayumedia Publishing. Martono, 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta: Ekonisia. Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty. Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Muhammad, Abdul Kadir & Rilda Murniati, 2004, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Pramono, Nindyo, 2003, Hukum Komersil, Cet. 1, Jakarta: Pusat Penerbitan UT. Sembiring, Sentosa, 2000, Hukum Perbankan, Bandung: CV. Mandar Maju. Simorangkir, O. P., 2000, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Jakarta: Ghalia Indonesia. Sitompul, Zulkarnain, 2002, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
_________________, 2005, Problematika Perbankan, Bandung: Books Terrace & Library. Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers.
Subekti, 1995, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa. Sulistyandari, 2012, Hukum Perbankan: Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, Sidoarjo: Laros. Sutedi, Adrian, 2007, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika. ____________, 2010, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan, Jakarta: Sinar Grafika. Suyatno, Thomas, 1997, Kelembagaan Perbankan, Bandung: Gramedia. Tarliman, Daniel Djoko, 1983, “Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penyelesaian Bank Gagal di Indonesia”, Ringkasan Disertasi yang tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya. Widjanarto, 2003, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Zaini, Zulfi Diane, 2012, Independensi Bank Indonesia dan Penyelesaian Bank Bermasalah, Bandung: CV. Keni Media. HARIAN/ MAKALAHK/KARYA ILMIAH Brahmandita, 2004, Penjamin Simpanan dan Fasilitas Likuiditas (Bersama Menopang Simpul Terlemah), Media Indonesia, 16 Februari 2004. Hasan, Djuhaendah , Tanpa Tahun, Asas-Asas dan Norma Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia, Makalah, Bandung. Purwoningsih, Eko, 2005, Pencabutan Izin Usaha Dan Likuidasi PT Bank Asiatic:Kajian Yuridis Praktis, Jakarta : Sripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Soepraptomo, Heru, 1997, Analisis Ekonomi terhadap Hukum Perbankan, Newsletter No. 28/VII/Maret/1997, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1998 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008 tentang Besaran Nilai Simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan WEBSITE Hasibah, Hukum Perbankan, 5 November 2010, http://hasibah.wordpress.com/2010/11/05/hukum-perbankan/html tanggal 17 Mei 2012.
tersedia: diakses
Manyawa, Sonny Tobelo, Tanggung Jawab, tersedia : http://sonnytobelo.blogspot.com/2010/12/teori-pertanggungjawaban.html diakses pada tanggal 8 Mei 2012. Pranoto, Suryo, 2009, Analisis dan Krisis Global terhadap Perbankan Syariah, Tersedia : http://Suryodsign.wordpress.com , 25 September 2011. Purwanto, Adi, Arti Tanggung Jawab, Selasa, 8 Juli 2010, tersedia: http://deqoer.blogdetik.com/2010/07/08/arti-tanggung-jawab/.html diakses pada tanggal 8 Mei 2012. Sulistyandari, Aspek Hukum Pembobolan Uang Nasabah Bank (Bagian II), Senin, 11 April 2011, tersedia: http://gagasanhukum.wordpress.com diakses tanggal 24 Mei 2012.