PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA SEBELUM DAN SESUDAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NO. 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh: ANDRIO 1111048000015
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M
ABSTRAK ANDRIO. NIM 1111048000015. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA SEBELUM DAN SESUDAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTENG JAMINAN PRODUK HALAL. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M, xi + 80 halaman + lampiran + daftar pustaka. Skripsi ini menganalisis mengenai penyelesaian sengketa konsumen setelah disahkannya Undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Analisa skripsi ini memfokuskan pada penyelesaian sengketa konsumen yang mengaitkan antara Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian yuridis normatif dengan jenis deskriptif dan bersifat kualitatif. Penulis juga mendasari penulisan skripsi ini dangan landasan Al Quran yaitu surat As Shad ayat 26, Al Baqoroh ayat 168, dan Al Baqoroh ayat 173.Hasil Penelitian menyimpulkan bahwa sebelum disahkannya Undang-undang Jaminan Produk Halal maka penyelesaian sengketa konsumenn menggunakan ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen yakni upaya hukum dalam penyelesaian sengketa yang konsumen dapat dilakukan dengan 2 cara. Yaitu dengan melalui jalur litigasi dan jalur non litgasi. Kemudian penyelesaian sengketa konsumen setelah disahkannya Undang-undang Jaminan Produk Halal. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa konsumen belum diatur secara khusus oleh UU ini. Jadi secara otomatis mekanisme penyelesaian sengketa konsumen masih menggunakan mekanisme lama yaitu merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Ketidak adaanya ketentuan dalam hal penyelesaian konsumen dalam Undang-undang Jaminan Produk halal merupakan sesuatu yang amat disayangkan sebab undang-undang ini mengangkat suatu hal yang khusus yaitu perlindungan konsumen muslim.
Kata Kunci
: Jaminan Produk Halal, Perlindungan Konsumen, Sengketa Konsumen, Penyelesaian Sengketa, BPSK
Pembimbing
: 1. Dra. Hj. Hafni Muchtar, MH., MM. 2. Andi Syafrani, SH., MLLC
Daftar Pustaka : 1945 – 2015
iv
KATA PENGANTAR
الر ِحيم ِِ بِ ْس َّ ِِالر ْح َم ِن َّ ِـــــــــمِﷲ Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terkait Penyelesaian Sengketa Sebelum Dan Sesudah Disahkannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal” ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, para thabi’in, dan para umatnya. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Tidak mudah bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dikarenakan halangan, ujian, dan dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Namun hal tersebut tidak membuat penulis menyerah untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari elaborasi keilmuan penulis serta dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
2.
Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH, dan Drs. Abu Thamrin, SH., M.Hum, selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Dra. Hj. Hafni Muchtar, M.M., M.H., dan Andi Syafrani, S.H., M.L.L.C., selaku dosen pembimbing skripsi 1 dan dosen pembimbing skripsi 2 yang dengan sabar telah memberikan ilmu, waktu serta arahan kepada penulis.
4.
Bapak Djawahir Hejjaziey S.H., M.H,. M.A serta seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengajari penulis, memberikan ilmu yang bermanfaat selama kuliah, dan tidak lupa seluruf staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum.
5.
Bapak Edi Achmadi serta Mama Rohana ibunda penulis yang sangat penulis cintai, yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan nasehat, doa, semangat, serta dukungan materil maupun immateril sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
6.
Andrian Ahmad Arrifai, Andrey Arya Ibrahim, Andriana Rachmah, Androy adik serta kakak penulis Terima kasih untuk doa dan bantuan kalian semua.
7.
Shinta Susanti sebagai teman diskusi serta penyemangat hati penulis yang setia menemani penulis dikala menemukan kejenuhan dan memberikan semangat secara psikologis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
8.
Barra Muhammad Hilma Iskandar, Moh. Rifki Alpiandi, Kurnialif Triono, Ilyas Aghnini, Nevo Amaba, DanG, Febyo Hartanto, Rudi Hartono, Idham Katiasan Robbi, Angga Ariyana, Moh. Nurdiansyah, Dwi Afif Rifai. Sebagai sahabat penulis yang telah banyak memberikan hiburan,
vi
pengalaman, bantuan kepada penulis baik penting maupun tidak penting dalam proses penyelesaian skripsi. 9.
Abdul Karim Munthe, S.H., M.H., Lc sebagai senior yang selalu menjadi tempat penulis mencurahkan keresahan untuk di diskusikan terkait skripsi ini yang telah penulis anggap sebagai abang sendiri.
10.
Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum (HMI Komfaksy) Cabang Ciputat.
11.
Teman-teman Program Studi Ilmu Hukum Angkatan 2011, Fadillah Haidar, Muhammad Khadafi, Muhammad Iqbal Hidayatullah dan yang lainnya yang tidak dapat di ketik satu persatu nama kalian namun tidak mengurangi segala memori 4 tahun lebih bersama kalian.
12.
Keluarga besar HIAWATA (Himpunan Siswa Pecinta Alam SMA HUTAMA) yang telah memberikan banyak pelajaran dan pengalaman kepada penulis.
13.
Risky Arianto Marman, Randi, Sofi Ari Wibowo, Muh. Risky Engelen, Rama Irlangga, Denny Nurmansyah, Achmad Amirudin, Kurniawan, Maya Puspita, Agung Suulistyanto, Wahyu Tri, Dedeh Kurnia, Gita Aprilia, Della Anindya, Ayu Aprilia. sahabat dekat penulis saat diluar urusan perkuliahan..
14.
Keluarga besar KIBAR (Komunitas Indonesia Baru) sebagai sekolah yang telah memberikan pelajaran serta pengalaman berpolitik bagi penulis.
15.
Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
vii
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan penulis masih terbatas, untuk itu penulis selalu terbuka atas kritik dan juga saran yang bersifat membangun demi kesempurnannya.Tidak ada yang penulis bisa berikan kecuali doa dan ucapan terima kasih kepada kalian, semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua yang membacanya. Billahitaufiqwalhidayah
Ciputat, September 2015
( Penulis )
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ...
i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................... ....
ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................. ....
iii
ABSTRAK ............................................................................................. ...
iv
KATA PENGANTAR .......................................................................... ....
v
DAFTAR ISI ......................................................................................... ....
ix
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................... B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................ E. Kerangka teori dan kerangka konsep............... ............... . F. Metode penelitian................................................... .......... G. Sistematika Penulisan .....................................................
BAB II
1 7 8 9 10 14 16
TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. B. C. D. E.
Pengertian perlindungan konsumen.................................... Sejarah singkat perlindunfan konsumen............................. Jenis-jenis perlindungan konsumen.................................... Asas-asas perlindungan konsumen..................................... Tanggung jawab konsumen dan produsen 1. Hak dan kewajiban Konsumen..................................... 2. Hak dan kewajiban produsen........................................ F. Sengketa konsumen 1. Pengertian sengketa konsumen .................................... 2. Pihak-pihak damam sengketa konsumen...................... 3. Bentuk sengketa konsumen ..........................................
ix
18 20 24 25 28 30 32 33 36
BAB III
URGENSI PRODUK HALAL A. B. C. D. E.
BAB IV
Pengertian Jaminan Produk Halal ..................................... Sejarah dan perkembangan LPPOM MUI ....................... Asas-Asas Dan Tujuan Jaminan Produk Halal ................ Pelanggaran Jaminan Produk Halal ................................... Kasus dan Penjelasanya .....................................................
39 41 42 43 45
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SEBELUM DAN SESUDAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL A. Penyelesaian sengketa konsumen sebelum disahkannya undangundang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal ...................................... ..................................................... 58 B. Penyelesaian sengketa konsumen sesudah disahkannya undangundang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal ......................................................... .................................. 74
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................ B. Saran ..................................................................................
78 79
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
81
LAMPIRAN
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Suatu perkembangan baru dalam masyarakat dewasa ini melihat pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian di dunia usaha baik secara nasional maupun internasional khususnya di negara-negara maju adalah mengenai perhatian terhadap masalah perlindungan konsumen. Apabila di masa lalu pihak produsen atau industriawan yang dipandang sangat berjasa bagi perkembangan perekonomian negara yang mendapat perhatian lebih besar, maka dewasa ini perlindungan terhadap konsumen lebih mendapat perhatian sejalan dengan makin meningkatnya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Pihak konsumen yang dipandang lebih lemah perlu mendapat perlindungan lebih besar dibanding masa-masa yang lalu. Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang tanggung jawab produsen atas kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan ini lazim disebut dengan tanggung jawab produk (product liability).1 Secara historis tanggung jawab produsen (product liability) lahir karena adanya ketidakseimbangan kedudukan dan tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Oleh karena itu, produsen yang pada awalnya menerapkan strategi yang berorientasi pada produk dalam pemasaran produknya harus mengubah strategi menjadi pemasaran yang berorientasi pada konsumen, di 1
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), H.11.
1
2
mana produsen harus hati-hati dengan produk yang dihasilkan olehnya. Oleh karena itu masalah tanggung jawab produsen (product liability) telah mendapat perhatian yang semakin meningkat dari berbagai kalangan, baik kalangan industri, asuransi, pedagang, pemerintah dan para ahli hukum. Dalam perkembanganya, hukum tentang tanggung jawab produsen menjadi masalah yang melampaui batasbatas negara
maju di dunia internasional. Sehingga diperlukan penambahan-
penambahan terutama dalam rangka mempermudah pemberian kompensasi bagi konsumen yang menderita kerugian akibat produk yang merugikan masyarakat.2 Kurangnya kesadaran dan tanggung jawab sebagai produsen akan berakibat fatal dan menghadapi resiko bagi kelangsungan hidup dan kredibilitas usahanya. Rendahnya kualitas produk atau adanya cacat pada produk yang dipasarkan akan menyebabkan kerugian bagi konsumen, di samping produsen itu juga akan menghadapi tuntutan kompensasi yang pada akhirnya akan bermuara pada kalah bersaingnya produk tersebut dalam merebut pangsa pasar. Permasalahan tersebut akan terasa semakin penting dalam era perdagangan bebas dan era globalisasi. Hal ini disebabkan persaingan yang dihadapi bukan hanya di antara produk-produk pada level domestik tapi juga pada level dunia internasional. Demikian juga permasalahan hukum yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab produsen bukan hanya berdasarkan pada hukum nasional Indonesia, namun akan berhadapan juga dengan sistem hukum asing, belum lagi apabila dikaitkan dengan jumlah kompensasi yang memungkinkan lebih besar sesuai dengan standar hidup para konsumen di negara yang bersangkutan. 2
Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah Dan Perkembangannya Di Beberapa Negara, (Bandung: Alumni, 1988), h.105.
3
Hans W. Misklitz, menyatakan bahwa dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh 2 (dua) model kebijakan, yaitu: Pertama kebijakan yang bersifat komplementer yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan).3 Dalam berbagai kasus, konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasarkan kebijakan komplementer (memberikan informasi) tetapi juga harus ditindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris (meminimalkan resiko yang harus ditanggung konsumen). Konsumen memiliki risiko yang lebih besar daripada pelaku usaha, dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan. Hal ini disebabkan karena posisi tawar konsumen yang lemah, maka hak-hak konsumen sangat riskan untuk dilanggar. Hal ini dikemukakan oleh Edmon Makarim pada buku “Hukum Perlindungan Konsumen”.4 Terhadap posisi konsumen tersebut, ia harus dilindungi oleh hukum, karena salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Perlindungan kepada masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum yang menjadi hak konsumen. Demi terwujudnya kepastian hukum ini bertolak dari permasalahanpermasalahan yang dihadapi bukan hanya oleh konsumen di Indonesia bahkan juga seperti yang dialami oleh konsumen di negara-negara berkembang lainnya,
3
Hans W. Micklitz, Rencana Undang-Undang Perlindungan Konsumen Di Mata Pakar Jerman, (Warta Konsumen XXIV No. 12 Desember), h.3-4. 4
Abdul Halim Barkatullah. Hak-hak Konsumen.( Bandung: Nusa Media. 2010).h 1.
4
tidak hanya sekedar bagaimana konsumen memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu menyangkut kepada bagaimana menyadarkan semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah, maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Ketentuan perundang-undangan mengharapkan agar para pengusaha menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang atau jasa yang berkualitas, aman dimakan / digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Untuk itu pemerintah diharapkan juga menyadari bahwa diperlukan regulasi yang berkaitan dengan perpindahan barang dan/ atau jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi jalannya regulasi tersebut dengan baik. Sedangkan konsumen harus menyadari hak-hak mereka sehingga konsumen dapat melakukan sosial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah. Lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjtnya
disingkat
UUPK)
bertujuan
untuk
memberikan
perlindungan konsumen di Indonesia yang selama ini kurang mendapat perhatian agar bisa lebih baik dari sebelumnya. Pada era ekonomi global saat ini masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat, selama ini masih banyak konsumen yang dirugikan karena perilaku-perilaku curang oleh pelaku usaha. Untuk mencegah pelaku usaha terus-menerus berlaku curang, UUPK telah memberikan ruang bagi konsumen untuk menuntut hak-haknya yang telah
5
dilanggar. UUPK Pasal 45 ayat (1), setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Gugatan terhadap masalah pelanggaran hak konsumen perlu dilakukan karena posisi kosumen dan pelaku usaha sama-sama berimbang di mata hukum. Pada awalnya konsumen yang merasa dirugikan karena memakai produk / jasa pelaku usaha hanya disediakan satu instrumen hukum untuk menuntut hakhaknya tersebut yaitu konsumen hanya bisa mengajukan gugatannya melalui pengadilan saja, namun dengan lahirnya undang-undang perlindungan konsumen sekarang ini, konsumen telah diberikan instrumen baru dalam membela hak-hak konsumen yang dilanggar. Instrumen tersebut dengan melalui jalur litigasi (melaluai peradilan) atau dengan jalur non-litigasi ( jalur diluar peradilan). Dengan kata lain untuk perkara tersebut diserahkan kembali kepada para pihak untuk memilih salah satu dari kedua instrumen tersebut. Terkait dengan jaminan terhadap konsumen muslim Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 29 ayat (1) mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Tentang jaminan produk halal Allah Swt telah berfirman dalam surat Al Baqoroh ayat 168 sebagai berikut:
6
Artinya: Wahai manusia makanlah dari makanan yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sungguh syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik
7
disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat. Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai Jaminan Produk Halal perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetika serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik untuk meneliti tentang PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA SEBELUM DAN SESUDAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NO. 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
8
Agar masalah yang dibahas Penulis tidak melebar sehingga dapat mengakibatkan ketidakjelasan pembahasan masalah, maka Penulis akan membatasi masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah tersebut adalah tentang perlindungan hukum bagi konsumen muslim terkait penyelesaian sengketa sebelum dan sesudah disahkannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
permasalahan
diatas,
maka
Penulis
mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana
penyelesaian
sengketa
konsumen
sebelum
disahkannya
UU.No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ? b. Bagaimana
penyelesaian
sengketa
konsumen
Sesudah
disahkannya
UU.No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa konsumen sebelum disahkannya UU.No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. b. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa konsumen Sesudah disahkannya UU.No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. 2. Manfaat Penelitian
9
Berawal dari rumusan penelitian yang telah dijelaskan diatas, terdapat beberapa manfaat yang ingin Penulis, yaitu : a. Manfaat Teoitis 1). Untuk lebih memperkaya ilmu Penulis baik di bidang hukum maupun di bidang bisnis. 2). Untuk mengelaborasikan ilmu yang diperoleh Penulis di perkuliahan dengan fakta hukum yang terjadi di masyarakat. 3). Untuk menambah khasanah keilmuan di bidang hukum bisnis bagi pembacanya. b. Manfaat Praktis 1). Penelitian ini bermanfaat bagi praktisi hukum, pengamat, dan mahasiswa ilmu hukum khusunya tentang hukum perlindungan konsumen. 2). Agar penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan bagi semua pihak khususnya yang hidup di lingkungan Hukum Bisnis. D. Tinjauan ( Review ) Kajian Terdahulu Sebagai bahan pertimbangan dalam penilitian ini, Penulis akan menyertakan beberapa hasil penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut: Pertama adalah Analisis yang dikemukakan oleh Hj. Muskibah S.H.,M.H yang berjudul “Analisis Mengenai Cara Penyelesaian Sengketa” sebuah jurnal yang ditulis oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi. Jurnal yang di tulis
10
tersebut menjelaskan tentang penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yang termaktub dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Kemudian yang kedua adalah penelitian skripsi yang dilakukan Oleh Andi Syafrani mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Hukum Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Islam” yang dibuat pada tahun 2002, tujuan dari penulisan skripsi tersebut adalah untuk mengelaborasikan antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan Hukum islam. E. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori Disini Penulis membahas beberapa definisi, di antaranya : a. Teori hukum Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya, proses pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut Negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji pembentukan undang-undang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) menurut Lawrence M.Friedman dalam sistem hukum mengandung 3 (tiga) komponen, yaitu : a. Struktur hukum (legal structure) b. Subtansi hukum (legal substance) c.
11
Budaya hukum (legal culture).5Struktur hukum mengacu pada bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum.6 Hubungan antar lembaga tinggi Negara. Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi (lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu diantara institusi tersebut adalah peradilan dengan berbagai perlengkapannya. b. Teori keadilan Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil, keadilan ditandai oleh hubungan yang baik antara satu dengan yang lain, tidak mengutamakan diri sendiri, tapi juga pihak lain serta adanya kesamaan.7 Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.8 Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Adam Smith yang hanya menerima satu konsep keadilan yaitu keadilan komutatif. Menurut Adam Smith keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu keadilan komutatif yg menyangkut kesetaraan dan keharmonisan hubungan antara satu orang dengan orang lain. Ketidakadilan berarti pincangnya hubungan antar 5
Lawrence M.Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), (Bandung: Nusa Media 2009) h. 12 6
Lawrence M.Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj) h.15 7
Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogjakarta: Genta Publishing, 2010) h. 44 8
Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 40
12
manusia karena kesetaraan yg terganggu. Keadilan legal sudah terkandung dalam keadilan komutatif, karena keadilan legal hanya konsekuensi lebih lanjut dari prinsip keadilan komutatif. Demi menegakkan keadilan komutatif, negara harus bersikap netral dan memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali. c. Konsumen Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. (UUPK Pasal 1 ayat (2) ) d. Konsumen Muslim Konsumen muslim adalah setiap orang beragama islam pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. e. Produk Halal Produk halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.
f. Sengketa Sengketa berawal pada situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya dimulai dari
perasaan tidak puas, bersifat
subjektif dan tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok.
13
Apabila perasaan kecewa atau tidak puas disampaikan kepada pihak kedua dan pihak kedua menanggapi dan dapat memuaskan pihak pertama maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, apabila perbedaan pendapat tersebut harus berkelanjutan maka akan terjadi apa yang disebut sengketa. Sengketa dalam pengertian sehari-hari
dimaksudkan sebagai suatu
keadaan dimana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak atau tidak berlaku demikian. 2. Kerangka Konsep Kerangka konsep dalam penulisan ini Penulis ambil dari Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, diantaranya: a.
Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
b. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. c. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.
14
d. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan Produk. e. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. f. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH
adalah
badan
yang
dibentuk
oleh
Pemerintah
untuk
menyelenggarakan JPH. g. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan bersifat yuridis normatif. Dalam sebuah penelitian hukum diperlukan metode-metode ilmiah dalam pengumpulan data untuk diteliti yang berdasarkan pada sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gelaja hukum dengan cara
menganalisanya.9 Sifat dari penelitian ini adalah kualitatif yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan matematis, statistik dan lain sebagainya, melainkan menggunakan penekanan ilmiah.10 Penelitian menggunakan metode kepustakaan, bahwa penelitian hukum normatif sama dengan penelitian hukum 9
Soerjono Soekanto, Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cetakan kesepuluh (Jakarta : Grafindo Persada, 2007) h. 43. 10
Lexy Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi, (Bandung : PT. Remaja Rosyada Karya, 1997), h. 6.
15
kepustakaan yang menitikberatkan perhatiannya pada data seunder.11 Studi literatur ini akan meliputi pengindentifikasian, penjelasan dan penguraian secara sistematis bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah yang dikaji maka disebut dengan penelitian yuridis normatif. 2. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif yaitu12: pendekatan
perundang-undangan,
pendekatan
historis,
dan
pendekatan
konseptual. 3. Metode Pengumpulan Data Penelitian hukum normatif menitikberatkan studi kepustakaan atau metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi (documentary method).13 Maka data yang dijadikan bahan penelitian adalah data sekunder yang meliputi ketiga bahan sebagai berikut:14 a. Bahan hukum primer. Penulis peroleh dari beberapa
peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Poduk Halal, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta undang-undang lain yang terkait
11
Nico Ngani, Metodologi Penelitian Hukum Dan Penulisan Hukum, cetakan pertama (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2012), h. 71. 12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 93. 13 Nico Ngani, Metodologi Penelitian Hukum Dan Penulisan Hukum, cetakan pertama, (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2012), h. 180. 14
78-79.
Nico Ngani, Metodologi Penelitian Hukum Dan Penulisan Hukum, cetakan pertama. h.
16
penyelesaian sengketa konsumen dan tidak terkecuali peraturan pemerintah. b. Bahan hukum sekunder diperoleh Penulis dari Buku-buku terkait pembahasan hukum perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa konsumen, keterangan, kajian, makalah seminar,dll. c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan Penulis sebagai bahan yang mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Indonesia,Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum. 4. Metode Penulisan Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh Penulis dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.” G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah penjabaran dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk memberikan gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut: Pada bab pendahuluan ini Penulis berusaha menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, kemudian sedikit memberikan Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konseptual, kajian terdahulu berupa skripsi atau jurnal ilmiah Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.
17
Pada bab Tinjauan Umum Hukum Perlindungan Konsumen ini Penulis menguraiakan beberapa tinjauan umum terkait hukum perlindungan konsumen. Seperti
pengertian,
jenis-jenis
perlindungan
konsumen,
sejarah
singkat
perlindungan konsumen di Indonesia, asas-asas perlindungan konsumen serta Tanggung jawab konsumen dan produsen Pada bab Jaminan Produk Halal Dan Sengketa Konsumen ini Penulis menguraikan tentang jaminan produk halal meliputi pengertian, sejarah perkembangan LPPOM MUI dalam jaminan produk halal, asas-asas dan tujuan jaminan produk halal serta beberapa kajian terhadap sengketa konsumen meliputi pengertian, para pihak serta, jenis-jenis sengketa konsumen, terlebih penulis juga mengulas sedikit mengenai Small Claim Court yang telah diterbitkan sebagai PERMA nomor 2 tahun 2015. Pada bab Penyelesaian Sengketa Konsumen Sebelum Dan Sesudah Disahkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Penulis disini membahas Penyelesaian Sengketa Konsumen Sebelum Dan Sesudah Disahkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal berupa analisis yang bersumber pada ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 serta Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Bab Penutup disini Penulis memberikan berupa kesimpulan dari apa yang Penulis tulis serta beberapa saran yang bisa Penulis berikan terkait apa yang menjadi permasalahan.
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Perlindungan Konsumen Sebelum Pembahasan perlindungan konsumen penulis terlebih dahulu membahas apa itu konsumen? Konsumen menurut UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berarti konsumen memiliki peranan yang tidak bisa di elakkan dalam dunia bisnis khususnya perdagangan. Konsumen sendiri dalam perjalanannya harus mendapat perlindungan oleh negara karena setiap apa yang dibeli oleh konsumen terdapat pendapatan negara berupa pajak penghasilan negara (PPN). Terlebih adanya perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia yang dapat ditemukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945), oleh karena itu maka setiap produk hukum yang dihasilkan oleh badan legislatif harus mampu memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat. Terdapat beberapa pendapat para sarjana mengenai
perlindungan
mengungkapkan
hukum,
diantaranya
Satjipto
Rahardjo
yang
perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi
19
20
kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.1 Kemudian Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.2 Serta Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum diartikan sebagai tindakan melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek hukum dengan perangkat-perangkat hukum. Bila melihat pengertian perlindungan hukum di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur dari perlindungan hukum, yaitu: subyek yang melindungi, obyek yang akan dilindungi, alat atau instrumen maupun upaya yang digunakan untuk tercapainya perlindungan tersebut.3 Dari beberapa pengertian mengenai perlindungan hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu upaya untuk melindungi kepentingan individu atas kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai hak untuk menikmati martabatnya, dengan memberikan kewenangan padanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.
1
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003)
h.121. 2
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia,(Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,Surakarta 2003)h. 14. 3
Philipus M. Hadjon,dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, ( Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2011) h.10
21
Pasal 1 angka 1 UUPK menyatakan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dalam pasal tersebut, perhatian penulis tertuju pada kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, kalimat tersebut diharapkan mampu menjadi benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang pelaku usaha demi melindungi konsumen. B. Sejarah Singkat Perlindungan Konsumen Perkembangan ekonomi yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Bervariasinya produk yang semakin luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, jelas terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik maupun yang berasal dari luar negeri. Perkembangan yang demikian tersebut, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta semakin terbukanya kesempatan dan kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Kondisi dan fenomena tersebut, pada sisi lainnya dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada di posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya
22
oleh pelaku usaha melalui jalan promosi, cara penjualan, serta perjanjian standar yang merugikan konsumen.4 Hal tersebut bukan hanya gejala regional saja, tetapi menjadi permasalahan yang mengglobal dan melanda seluruh konsumen di dunia. Timbulnya kesadaran konsumen, telah melahirkan salah satu cabang baru dalam ilmu hukum yaitu hukum Perlindungan Konsumen yang dikenal juga dengan hukum konsumen (consumers law). Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun kalau dilihat dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk hukum adat.5 Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai dikenal dari gerakan serupa di Amerika Serikat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini cukup merespon terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 Tentang Perlindungan Konsumen. Setelah YLKI kemudian muncul organisasi-organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang tahun 1985, Yayasan Bina Lembaga Konsumen Indonesia (YBLKI) di Bandung dan beberapa perwakilan di berbagai propinsi tanah air. Keberadaan YLKI sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen karena 4
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) h. 11-12. 5
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, h. 11-12.
23
lembaga ini tidak hanya sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan dan menerima pengaduan, tapi juga sekaligus mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan. YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat memberi hasil, sebab pemerintah
mengkhawatirkan
bahwa
dengan
lahirnya
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Pada awal tahun 1990-an, kembali diusahakan lahirnya Undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Salah satu ciri pada masa ini adalah pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan sudah memiliki kesadaran tentang arti penting adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hal ini diwujudkan dalam dua naskah Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu yang pertama adalah hasil kerjasama dengan fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan yang kedua adalah hasil kerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Tetapi hasilnya sama saja, kedua naskah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut tidak dibahas di DPR. Pada akhir tahun 1990an, Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya diperjuangkan oleh lembaga konsumen dan Departemen Perdagangan, tetapi adanya tekanan di lembaga
keuangan
internasional
(IMF/International
Monetary
Fund).
Berdasarkan desakan dari IMF itulah akhirnya Undang-Undang Perlindungan
24
Konsumen dapat dibentuk.6 Keberadaan Undang-undang Perlindunga Konsumen merupakan simbol kebangkitan hak-hak sipil masyarakat, sebab hak konsumen pada dasarnya juga adalah hak-hak sipil masyarakat. Undang-undang Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detail dari hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, walaupun judulnya mengenai perlindungan konsumen tetapi materinya lebih banyak membahas mengenai pelaku usaha dengan tujuan melindungi konsumen. Hal ini disebabkan pada umumnya kerugian yang diderita oleh konsumen merupakan akibat perilaku dari pelaku usaha, sehingga perlu diatur agar tidak merugikan konsumen. Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Az Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Sedangkan hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak atau satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa di dalam pergaulan hidup.7
6
Sudaryatmo, Memahami Hak Anda Sebagai Konsumen, PIRAC, Cetakan I, (Jakarta, 2001), h 23. 7
Az Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 72
25
C. Jenis – Jenis Perlindungan Konsumen Dalam ketentuan UUPK, wujud dari upaya penyelenggaraan perlindungan konsumen meliputi tiga tahapan yakni pada masa pra-jual, pada saat transaksi penjualan dan perlindungan purna jual. Dari beberapa tahapan yang ada tersebut, pada dasarnya bentuk perlindungan yang ideal untuk diberikan kepada konsumen adalah perlindungan yang bersifat preventif dan bukan yang bersifat represif. Untuk mewujudkan perlindungan konsumen yang bersifat preventif, pemerintah melalui UUPK telah mengamanatkan pembentukan lembaga yang akan menyelenggarakan perlindungan konsumen di Indonesia yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) terdapat dalam BAB VIII UUPK, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) terdapat dalam BAB IX UUPK, dan Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM)8. Sementara itu, bentuk perlindungan konsumen yang bersifat represif, dalam ketentuan UUPK diatur dalam pasal 19 sampai dengan pasal 28 UUPK, di mana di dalamnya mengatur perihal tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen atau yang lebih dikenal sebagai tanggung jawab perdata. Selain itu, UUPK juga mengamanatkan perihal adanya suatu lembaga khusus yang bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) terdapat dalam XI UUPK.
8
Erna Widjajati dan Yessy Kusumadewi, Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta : Roda Inti Media, 2010), hal. 107.
26
D. Asas – Asas Perlindungan Konsumen Tugas dari hukum itu sendiri khususnya hukum ekonomi adalah menciptakan keseimbangan baru antara kepentingan-kepentingan konsumen, para produsen, masyarakat dan pemerintah. Dinamika yang reaksioner, khususnya dengan globalisasi ekonomi, membuat kita berpikir proaktif termasuk di dalamnya dengan melakukan pembaruan hukum.9 Komitmen konstitusional bangsa dengan jelas menyebutkan, seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh kesejahteraan dan keadilan. Tapi harapan itu berhadapan dengan kenyataan mengenai perkembangan ekonomi yang semakin terbuka. Pada situasi seperti ini, daya saing kondisi perekonomian Indonesia perlu terus ditingkatkan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan, pembangunan ekonomi nasional pada era globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang dan jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana penting kesejahteraan rakyat, dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Konsiderans selanjutnya mengatakan, semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat proses globalisasi ekonomi, harus tetap menjamin peningkatan
9
N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cetakan ke-1. (Jakarta : Panta Re, 2005), h .81.
27
kesejahteraan masyarakat. Demikian juga kepastian tentang mutu, jumlah dan keamanan barang dan yang diperolehnya dari pasar. Upaya menjaga harkat dan martabat konsumen, perlu didukung peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Penjelasan Umum UUPK pada alinea delapan menyebutkan, undang-undang ini mengacu pada filosofi pembangunan nasional, termasuk pembangunan hukum di dalamnya yang memberikan perlindungan terhadap konsumen yang berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945. Ada lima asas perlindungan konsumen yang ditetapkan UUPK pasal 2. Asas-asas tersebut meliputi, yakni: 1. Asas manfaat, dimana asas ini mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
28
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan dan berimbang.
2. Asas Keadilan, asas ini memberikan ruang partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
3. Asas keseimbangan, asas yang memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan Negara.
29
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, asas yang memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk
yang
dikonsumsi/dipakainya dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.
5. Asas kepastian hukum, asas yang mengatur baik pelaku usaha maupun konsumen
mentaati
hukum
dan
memperoleh
keadilan
dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum, artinya Undang-undang perlindungan konsumen mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung didalam Undang-undang perlindungan konsumen harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya Undang-undang perlindungan konsumen sesuai dengan yang diharapkan. E. Tanggung Jawab Konsumen dan Produsen 1. Hak dan Kewajiban Konsumen Ketentuan mengenai hak-hak konsumen terdapat dalam Pasal 4 UUPK, Hak-hak Konsumen tersebut ialah: a. Hak konsumen mendapatkan keamanan b. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar
30
c. Hak untuk didengar d. Hak untuk memilih e. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikan f. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian g. Hak untuk mendapat penyelesaian hukum h. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat i. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang j. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen Dari sepuluh butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang
31
merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi. Sedangkan hak-hak konsumen harus seiring sejalan dengan kewajiban. Berbicara tentang konsumen hendaknya membahas pula masalah produsen beserta hak-hak dan kewajibannya. Kewajiban konsumen menurut UUPK sebagaiman diatur dalam pasal 5, yaitu : a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 2. Hak dan Kewajiban Produsen Hak-hak dan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Bab III tentang Hak dan Kewajiban sebagaimana terdapat dalam pasal 6 dan 7 UUPK. Hak-hak produsen dalam pasal 6 adalah sebagai berikut : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi
dan
nilai
tukar
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan; b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
32
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan mengenai kewajiban produsen sebagaimana termuat dalam pasal 7, UUPK memberikan 7 kewajiban produsen, yakni : a.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat pengguanaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
33
g. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
F. Sengketa Konsumen 1. Pengertian Sengketa Konsumen Asal mula sengketa berawal pada situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya dimulai dari perasaan tidak puas, bersifat subjektif dan tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok. Apabila perasaan kecewa atau tidak puas disampaikan kepada pihak kedua dan pihak kedua menanggapi dan dapat memuaskan pihak pertama maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, apabila perbedaan pendapat tersebut harus berkelanjutan maka akan terjadi apa yang disebut sengketa. Sengketa dalam pengertian seharihari dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu
menghendaki pihak lain
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak atau tidak berlaku demikian. Lebih lanjut terdapat perbedaan ruang lingkup sengketa konsumen dengan sengketa transaksi konsumen yakni: Ruang lingkup sengketa konsumen lebih luas dibandingkan dengan sengketa transaksi konsumen. Sengketa konsumen dapat mencakup semua segi hukum bagi keperdataan, pidana, maupun tata negara.
34
Sedangkan istilah sengketa transaksi konsumen lingkupnya lebih sempit, hanya mencakup aspek hukum keperdataan.10 Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 bahwa konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan umum, bukan ke peradilan tata usaha negara. Dengan demikian sengketa konsumen dalam hal ini hanya mencakup
aspek
hukum perdata dan pidana saja. Menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Keputusan Nomor: 350 / MPP / Kep / 12 / 2001 tanggal 10 Desember 2001, yang dimaksud dengan sengketa konsumen
adalah sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.11 Berdasarkan uraian di atas dan kaitannya dengan hak-hak konsumen, maka dapat diartikan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa yang terjadi antara konsumen sebagai pengguna barang/jasa dengan pelaku atau produsen yang telah melanggar hak-hak konsumen. 2. Pihak-Pihak dalam Sengketa Konsumen
10
Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen “Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran. (Bandung; Nusa Media, 2008) h.108. 11
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
35
Sengketa konsumen adalah sengketa yang terjadi antara dengan pelaku usaha atau produsen. Konsumen
konsumen
sebagai pengguna/ pemakai
barang atau jasa dan pelaku usaha atau produsen sebagai penyedia barang atau jasa. Barang atau
jasa yang dapat menjadi objek sengketa adalah produk
konsumen, yaitu barang yang umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup konsumen dan tidak untuk diperdagangkan.12 Berikut siapa-siapa saja yang terlibat dalam sengketa konsumen: a.
Konsumen
Sebagai pengguna/pemakai barang atau jasa, konsumen dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu : pertama
dapat
yaitu konsumen yang
membeli produk barang/jasa untuk di olah kembali kemudian diperdagangkan. Kedua yaitu
konsumen yang memakai barang/jasa untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri (untuk tujuan non komersial).13 Berdasarkan penjelasan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, kelompok pertama dapat dikategorikan sebagai konsumen antara. Dikatakan sebagai
konsumen antara karena konsumen ini menggunakan atau memakai
produk barang/jasa untuk meneruskan proses produksi menjadi produk lainnya dan selanjutnya hasil
produksi tersebut akan dijual kembali ke masyarakat.
Sedangkan kelompok kedua adalah diartikan sebagai konsumen akhir, dikatakan sebagai konsumen akhir karena
konsumen ini merupakan pengguna atau
12
Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen “Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran. (Bandung; Nusa Media, 2008)h.109. 13
M Sadar, Moh. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. (Jakarta: Akademia 2012) h. 57.
36
pemanfaat akhir dari suatu produk barang/jasa. Selanjutnya sesuai dengan uraian diatas, maka dengan demikian pengertian konsumen dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir yang menggunakan produk barang/jasa. b. Pelaku Usaha Salah satu pihak yang ada dalam sengketa konsumen lainnya adalah pelaku usaha sebagai penyedia barang/jasa. Pelaku usaha dalam arti yang lebih sempit, biasanya dikatakan sebagai produsen. Menurut Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebutkan bahwa ada empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha baik privat maupun publik).14 kelompok tersebut adalah sebagai berikut: a. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan usaha. Seperti perbankan, usaha leasing tengkulak, penyedia dana, dan lain sebagainya. b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang atau jasa dari barang-barang atau jasa-jasa lainnya (bahan baku, bahan tambahan / penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang / badan usaha yang memproduksi sandang, orang/usaha berkaitan dengan pembangunan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan / perasuransian, perbankan.
14
Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen “Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran. (Bandung; Nusa Media, 2008) h.111.
37
c.
Distributor,
yaitu
pelaku
usaha
yang
mendistribusikan
atau
memperdagangkan barang atau jasa tersebut kepada masyarakat seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, kedai, toko supermaket, hypermarket, rumah sakit, warung dokter, kantor pengacara, dan sebagainya. Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 Butir 3, Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun. bukan badan hukum yang mendirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia,
baik
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Penjelasan mengenai Pasal tersebut adalah dikatakan sebagai pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah Perusahaan, Koorporasi, Badan Usaha Milik Negara, Koperasi, Importir, Pedagang, Distributor, dan lain-lain. 3. Bentuk Sengketa Konsumen Sengketa konsumen terjadi karena adanya ketidak-puasan konsumen terhadap suatu produk atau kerugian yang dialami konsumen karena penggunaan atau pemakaian barang atau jasa. Setiap kali konsumen membeli dan menggunakan barang
konsumen hendaknya waspada agar tidak dirugikan.
Bentuk sengketa konsumen yang disebabkan oleh kerugian yang diderita oleh konsumen adalah sebagai berikut: a. Cacat Tubuh / Fisik (Personal Injury)
38
Adalah cacat fisik atau kerugian yang melekat pada diri konsumen sebagai akibat dari mengkonsumsi suatu produk. b. Cacat Fisik (Injury to The Product it Self / Some Other Property) Adalah kerugian yang diderita akibat rusaknya produk barang atau tidak berfungsinya produk yang sudah dibeli. c. Kerugian Ekonomi (Pure Economic Loss) Adalah kerugian yang langsung berkaitan dengan produk yang dibelinya yang muncul ketika produk itu tidak sesuai dengan tingkat performance yang diharapkan. Kerugian semacam ini ada dua tipe yaitu: Pertama adalah Kerugian Ekonomi Langsung, (Direct Economic Loss / Diminution Value of The Product), yaitu kerugian yang dialami oleh konsumen karena pengurangan nilai dari produk yang dibelinya. Kedua adalah Kerugian Ekonomi Tidak Langsung (Indirect Economic Loss / Resulting From The Performace of Product), adalah kerugian yang disebabkan oleh performance dari produk yang dibelinya atau produk yang cacat sehingga tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dengan demikian kita dapat melihat bahwa penyebab sengketa konsumen itu terjadi bukan hanya karena kerugian
yang
secara
langsung
diderita
oleh
konsumen
dalam
penggunaan/pemakaian produk pelaku usaha tetapi juga menunjukkan bahwa
39
sengekta konsumen ini bisa terjadi akibat kerugian yang diderita konsumen secara tidak langsung dalam penggunaan suatu produk atau barang tertentu. Pada prinsipnya setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan umum, apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen secara damai dan penyelesaian di luar pengadilan (melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana di atur dalam Undang-Undang.15 Kewenangan menyelesaikan sengketa konsumen melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku di lingkungan peradilan umum tersebut. Hal ini berarti tatacara pengajuan gugatan dalam masalah perlindungan konsumen mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku.16
15
Rachmad Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan, 2004) h.224.
16
Rachmad Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, h.224.
BAB III URGENSI JAMINAN PRODUK HALAL
A. Pengertian Jaminan Produk Halal Jaminan Produk Halal menurut UUJPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai Jaminan Produk Halal perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Ketika kita sebagai penduduk Indonesia yang notabennya sebagai mayoritas pemeluk agama Islam terbesar di dunia yang sudah sepatutnya negara memberikan kepastian hukum bagi penduduk muslim terkait jaminan halal produk
40
41
yang beredar masyarakat. Terlebih bila di sandingkan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat ke 173 sebagai berikut:
Artinya “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al Baqoroh ayat 173).
Sejalan dengan ayat diatas, negara Indonesia memang harus memiliki dasar perlindungan terhadap produk halal sebagai jaminan untuk rakyat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Maka secara moral negara harus bisa menjawab permasalahan jaminan terhadap produk halal yang beredar di masyarakat. Terlebih bila mengacu pada Pasal 29 UUD 1945 sebagai fundamental norm maka negara Indonesia berkewajiban membuat produk hukum berupa undang-undang untuk menjawab permasalahan jaminan produk halal. Sebagai upaya hukum untuk memberikan perlindungan bagi konsumen muslim dalam konteks produk halal, di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak akhir tahun 1980-an dimana tonggak awalnya dengan didirikannya LPPOM MUI
42
sebagai pengkaji produk obat-obatan, kosmetik dan makanan yang beredar di masyarakat. LPPOM MUI sendiri merupakan lembaga khusus yang di bentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. B. Sejarah dan Perkembangan LPPOM MUI Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan kosmetika Majelis Ulama Indonesia (kemudian selanjutnya disebut LPPOM MUI) dibentuk oleh MUI sebagai respon atas merebaknya isu lemak babi yang sangat meresahkan masyarakat. Isu yang berawal dari kajian Tris Susanto, dosen teknologi pangan pada Universitas Brawijaya Malang, mempublikasikan penelitiannya terhadap sejumlah produk makanan di Buletin Canopy edisi Januari 1989. Tris Susanto mendaftarkan 34 (tiga puluh empat) makanan yang mengandung lemak babi1. Informasi ini kemudian terus meluas sampai ke masjid-masjid dengan jumlah produk yang terus betambah. Jika daftar awal dilandasi dengan penelitian, maka daftar yang belakangan muncul karena asas dugaan. Yang mengandung lecithin dan emulsifier dianggap mengandung lemak babi, termasuk produk susu ternama. Orang lalu memboikot produk susu ini, tapi tidak berhenti di sini saja. Perusahaan juga menghentikan pasokan susu yang diperoleh dari petani perah, lalu petani tidak terima, marah dan membuang susunya tersebut diselokan. Ternyata isu ini membuat pemerintah was-was dan berkembang sangat cepat dalam skala yang sangat massif. Sehingga jika dibiarkan berlarut-larut
1
Ali Mustafa Yakub. Kriteria Halal –Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika menurut Al-Qur’an dan Hadis. H 256.
43
dapat mengganggu perekonomian nasional, karena banyak produk makanan dan minuman yang dijauhi konsumen. Presiden Soeharto (almarhum) meminta MUI untuk mengatasi carut marut ini, maka kemudian untuk menjaga sekaligus meningkatkan ketentraman batin umat, maka didirikanlah sebuah lembaga bernama LPPOM MUI. Melalui Surat Keputusan Nomor : 018/MUI/I/1989 tertanggal 6 januari 1989 yang beranggotakan ahli agama dan ilmuawan yang berkompeten.2 C. Asas-Asas Dan Tujuan Jaminan Produk Halal Dalam penjelasan mengenai asas-asas dan tujuan yang terkandung dalam jaminan produk halal, penulis mengutip dari penjelasan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014, di antaranya sebagai berikut: a. Asas “perlindungan” adalah bahwa dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal bertujuan melindungi masyarakat muslim. b. Asas “keadilan” adalah bahwa dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. c. Asas “kepastian hukum” adalah bahwa penyelenggaraan Jaminan Produk Halal bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. d. Asas “akuntabilitas dan transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang 2
www.halalmui.org diakses pada tanggal 18 juli 2015.
44
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. e. Asas “efektivitas dan efisiensi” adalah bahwa penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dilakukan dengan berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau terjangkau. f. Asas “profesionalitas” adalah bahwa penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dilakukan dengan mengutamakan keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik.
D. Pelanggaran Jaminan Produk Halal Pelanggaran adalah suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan dan situasi yang tertentu oleh undang-undang dinyatakan terlarang, yang karenanya telah terjadi dapat mengakibatkan penghukuman badan dan atau moral bahkan perampasan sebagian kekayaan bagi pelakunya. Bahwa Pelanggaran atas Jaminan produk halal, adalah serangkaian perbuatan terlarang dan tercela oleh undang-undang, dalam kaitan dengan kegiatan untuk menjamin kehahalan suatu produk, yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, Penjualan dan penyajian produk berupa barang atau jasa yang terkait makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologi, produk rekayasa genetika, serta barang gunaan yang dipakai atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Selanjutnya bahwa keHalalan suatu produk adalah ditentukan berdasarkan syariat islam dan sertifikat
45
halal. Lebih lanjut bahwa Proses Produk Halal adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kahalalan produk. Sedangkan Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) berdasarkan fatwa Halal Tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahwa salah satu urgensi pembentukan Undang-Undang tentang jaminan produk halal adalah untuk meningkatkan situasi dan kondisi keamanan dan ketenteramana umum masyarakat serta sebagai sarana pengawasan dan pengendalian sosial terhadap sikap prilaku konsumen dan produsen atas suatu produk yang jaminan kepastian hukumnya telah terlebih dahulu ditentukan oleh hukum agama islam (syariat islam). Bahwa Ketentuan tentang larangan dalam menjamin kepastian hukum kehalalan suatu produk , terdapat dalam pasal 56 dan pasal 57, Undang Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, sebagai berikut : Pertama Pasal 56 yang menyebut bahwa Pelakau Usah yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana dimaksud pasal 25 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun atau denda palinh banyak Rp.2.000.000.000,-(dua miliar rupiah). Sedangkan pasal 25 huruf b, menyatakan pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal. Kemudian yang kedua Pasal 57 menyebut bahwa Setiap orang yang terlibat dalam proses jaminan produk halal yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan pelaku usaha
46
sebagaimana dimaksud pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2(dua) tahun atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,-(dua miliar rupiah). Sedangkan pasal 43 menyatakan setiap orang yang terlibat dalam proses jaminan produkhalal (JPH) wajib merahasiakan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh pelaku usaha.
E. Kasus dan Penjelasannya Kali ini penulis memberikan beberapa kasus terkait pelanggaran jaminan produk halal, Berikut ini rangkuman dari kasus-kasus peredaran barang haram yang pernah terjadi di Indonesia.3 Banyak motif yang melatar belakangi tindakan curang ini, diantaranya untuk mendapatkan keuntungan berlipat tanpa memperdulikan dampak negatif bagi konsumennya. Namun karena kurangnya pengetahuan dan pengawasan dari konsumen, maka mereka dengan bebas memproduksi dan mengedarkan makanan haram tersebut. 1. Kasus Lemak Babi Umat Islam pernah digegerkan oleh hasil temuan DR. Tri Soesanto tentang kasus lemak babi pada era tahun 1980-an, di mana kandungan gelatin terdapat pada beberapa produk makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Saat itu DR.Tri Soesanto (Dosen Teknologi Pangan Universitas Brawijaya, Malang) bersama sejumlah mahasiswanya melakukan penelitian dan menemukan banyaknya makanan yang memakai bahan dari babi. Langsung saja umat Islam Indonesia tersentak atas hasil penelitian tersebut. 3
www.Pusathalal.com diakses pada 25 September 2015.
47
Waktu itu Tri berkesimpulan banyak orang yang tidak tahu bahwa makanan yang dikonsumsinya memakai bahan dari babi atau barang yang diharamkan dalam Islam. Selanjutnya Tri menindaklanjuti dengan melakukan penelitian produk-produk yang ada di pasar swalayan atau pasar tradisional, khususnya produk yang memakai gelatin, shortening, lard dan alkohol. Gelatin adalah protein yang diturunkan dari kulit, jaringan urat dan tulang binatang. Gelatin umumnya berasal dari babi, karena tulang babi lunak. Sedangkan shortening semacam margarine yang berasal dari lemak hewan, bisa dari minyak tumbuhan yang ditambahkan ke lemak babi. Sedangkan lard adalah minyak babi. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil yang mencengangkan, Tri menemukan 34 jenis makanan dan minuman yang mengandung barang haram, dengan sendirinya menghebohkan masyarakat Muslim di Indonesia. Akibat yang muncul adalah banyak produsen biskuit yang mengklaim bahwa produknya tidak haram, dan mengiklankan produknya di beberapa media massa, bahkan ada yang harus mengeluarkan dana ratusan juta rupiah untuk mengiklankan produknya tidak haram. Saking hebohnya masyarakat Muslim kala itu, Sekjen Departemen Agama (ketika itu) Tarmizi Taher bersama tim MUI secara demonstratif minum susu di pabrik Dancow di Pasuruan untuk meredam keresahan masyarakat. 2. Kasus Ajinomoto Kasus Ajinomoto mencuat tahun 2001, dan sempat menghebohkan masyarakat Muslim akibat Fatwa MUI yang yang mengharamkan bumbu
48
masakan ini karena ditengarai bahan baku pembuatannya dicampur dengan lemak babi. Tentu saja masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim tersentak dengan adanya fatwa dari MUI ini. Namun oleh aparat keamanan, empat pemimpin PT Ajinomoto langsung diamankan untuk meredam gejolak massa, dengan tuduhan melanggar UU konsumen. Sebenarnya PT.Ajinomoto sudah memiliki serifikat halal dari MUI, namun berlakunya hanya 2 tahun dan berakhir Juni 2000. Setelah tanggal tersebut pihak Ajinomoto tak lagi melakukan pemeriksaan ke MUI, mereka malah mengubah bahan bakunya, yang ditengarai mengandung ekstrak lemak babi. PT. Ajinomoto Indonesia membantah bahwa produk akhir MSG Ajinomoto mengandung unsur porcine. Hal tersebut dikemukakan oleh Tjokorda Bagus Sudarta dari manajemen Ajinomoto dalam siaran persnya. Sebelumnya Tjokorda melalui media masa mengakui menggunakan bactosoytune yang diekstraksi dari daging babi untuk menggantikan olypeptone yang biasa di ektraksi dari daging sapi. Penggunaan
bactosoytune
karena
lebih
ekonomis.
Menurutnya,
penggunaan ekstrak daging babi itu hanyalah sebagai medium dan sebenarnya tidak berhubungan dengan produk akhir. Untuk menjaga ketenangan dan keresahan yang sudah meluas di masyarakat pihak Ajinomoto menarik secara serentak seluruh produk MSG Ajinomoto dalam 3 minggu terhitung mulai 3 Januari 2001 sebanyak 10 ribu ton. Akibat kasus ini PT. Ajinomoto harus
49
menanggung kerugian dengan memberi ganti rugi kepada para pedagang sebesar Rp 55 miliar. PT. Ajinomoto juga minta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia, dan menyatakan seluruh produk MSG Ajinomoto stok baru hanya boleh dipasarkan setelah mendapat sertifikat halal yang baru dari MUI. 3. Kasus Ayam Tiren dan Bakso Ayam Tiren Perdagangan bangkai ayam atau yang populer disebut sebagai ayam mati kemaren (tiren) sudah berlangsung lama, terutama di kota-kota besar dan di wilayah Jabodetabek. Di pasar-pasar tradisional, ayam-ayam tiren ini biasanya dijual sudah dipotong-potong dan dikamuflase dengan bumbu berwarna kuning, sehingga warna pucat daging ayam tersebut tersamar. Ciri-ciri ayam tiren di antaranya adalah dagingnya agak amis, kebirubiruan, dan licin karena dilumuri formalin. Bekas pemotongan pada leher tidak lebar dan ada bercak-bercak darah di kepala maupun lehernya. Hal yang jelas adalah ayam tiren ini harganya murah. Sejumlah razia yang dilakukan aparat terkait di sejumlah kota di Indonesia menemukan sejumlah kasus perdagangan ayam tiren. Terakhir adalah kasus ayam tiren di daerah Bantul, DI Yogyakarta. Aparat gabungan menggerebek rumah Sugiyoto di Dusun Pungkuran Wetan, Pleret, Bantul, akhir Agustus 2012. Sugiyoto yang selama ini berbisnis memproduksi bakso dari daging ayam tiren itu selanjutnya dijadikan sebagai tersangka. Di rumah Sugiyoto aparat menemukan barang bukti berupa ayam tiren dan bakso.
50
Menurut informasi, dua rumah dijadikan tempat produksi rumahan bakso yang dibuat dari daging ayam tiren di Dusun Pungkuran Wetan itu. Setidaknya bisnis bangkai ayam Sugiyoto itu sudah berjalan sekitar 10 tahun. Tiap harinya lebih kurang 500 kilogram daging diolah kemudian dijadikan bakso. Sekitar 7.000 butir bakso diperdagangkan setiap harinya. Bahkan, bisnis bakso yang tiap hari beromzet jutaan rupiah ini diawali dari sepetak rumah sederhana, hingga menjadi rumah tangga yang berkecukupan dan memiliki bangunan rumah bagus serta kendaraan roda empat. 4. Kasus Perdagangan Daging Celeng Februari 2011, tepatnya 8 Februari 2011, masyarakat dikejutkan oleh beredarnya daging celeng (babi hutan) di Semarang. Dinas Pertanian Kota Semarang meminta masyarakat mewaspadai kemungkinan beredarnya daging celeng, karena sudah ada kasus penemuan daging celeng oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Daging celeng tersebut ada yang diedarkan dengan cara dioplos dengan daging sapi. Masyarakat diimbau lebih waspada dan jangan tergiur harga daging yang murah, apalagi kalau daging tersebut jelas-jelas daging yang diharamkan. Hasil temuan Satpol PP Kota Semarang akhirnya menyeret seorang yang bernama Timbang Pangaribuan warga Tembalang pemilik daging celeng seberat 1 kwintal, dan menyita barang bukti tersebut. Kasus penemuan daging celeng merupakan kasus pertama yang terjadi di Kota Semarang. Ternyata peredaran
51
daging celeng sudah meluas di kota-kota besar dan yang sudah terungkap antara lain Jakarta, Bogor, Bandung, Tangerang, Palembang. Pemasok daging babi hutan (celeng) Edi Candra, 45, ditangkap aparat Polres Tangerang Banten. Edi Candra merupakan penjual daging celeng untuk konsumsi daging bakso, yang dibekuk polisi, Sabtu (15/2/2012). Daging celeng itu dijual ke para pedagang bakso dari Tangerang, Jakarta, dan Solo. Untuk mengawetkan daging, Edi menaburkan potasium nitrat dan formalin yang bisa menyebabkan sakit ginjal.Edi mengaku daging yang dijualnya adalah daging celeng yang ia beli dari Lahat, Sumatera Utara.Ia sudah menjual daging celeng selama tujuh bulan. Pelanggannya tersebar di Tangerang, Jakarta, Solo, dan Surabaya. Edi membeli daging celeng itu dari pedagang besar di Lahat Rp8.500 per kilogram. Peredaran daging celeng dengan sebutan daging sapi muda di Jakarta, ternyata sudah lama terjadi. Hanya saja masyarakat belum banyak yang mengetahui dan instansi yang berwenang belum melakukan razia secara intensif seperti yang dilakukan aparat Sudin Peternakan dan Perikanan Kodya Jakarta Timur. Modus peredarannya, sebenarnya mirip dengan narkoba. Distributor daging celeng tersebut tidak diketahui, karena menggunakan berbagai penyamaran. Hal ini terungkap dari keterangan lima pelaku yang tertangkap menggunakan daging celeng untuk dijual atau dicampur sebagai bahan bakso.Kepala Sudin Peternakan dan Perikanan Kodya Jakarta Timur drh Dzawil Hidjah mengungkapkan, dari keterangan para pelaku, diketahui, daging celeng yang didapat berasal dari Sumatera terutama Lampung. “Namun ketika ditanya
52
siapa yang mengirim atau distributornya, mereka ternyata tidak tahu termasuk nama atau ciri-cirinya, apalagi tempat tinggal si pengirim daging” jelas Dzawil, Kamis (5/10/2006). Jaringan perdagangan oplosan daging sapi dengan babi hutan atau celeng dibongkar aparat Polres Bogor. Jaringan itu beroperasi di Lampung, Pasar Senen Jakarta, dan Bogor.Kepala Bidang Operasi Satuan Reserse Kriminal Polres Bogor Inspektur Satu Hepi kemarin mengungkapkan, empat pelaku ditangkap dalam penggerebekan pada Rabu (6/12/2006) malam. Mereka yang dibekuk, yakni Dwiyanto, 31, pemasok daging oplosan, serta Sudi, 38, Supardi, dan Pardi, 33. Ketiganya adalah tukang bakso yang merangkap sebagai pengedar. Saat digerebek, mereka tengah membagi daging oplosan sapi dan daging celeng seberat 2,9 kuintal.Saat diperiksa, Dwiyanto mengaku membeli daging oplosan tersebut dari Pasar Senen dengan harga Rp16.000 per/kg. Penjual di Pasar Senen mendapatkan daging celeng hasil buruan di Lampung kemudian dicampur dengan daging sapi. ''Tersangka kemudian mengedarkan daging itu di Bogor” Sebuah rumah makan di Kota Cilegon, pada bulan Ramadan 1433H membuat menu spesial dari daging celeng atau babi, menurut pengakuan pemilik restoran tersebut barang haram itu didapatnya dari Medan, Sumatera Utara, masuk melalui Pelabuhan Merak. "Daging celeng dan babi yang ada di daftar menu masakan rumah makan saya ini dari Medan, masuk lewat Pelabuhan Merak," ujar pemilik rumah makan yang tak jauh dari Kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Cilegon, dan bersebelahan dengan pintu masuk Restoran Laguna, berinisial GT, Ahad (7/8/2012).Ia menjelaskan, pasokan daging celeng atau babi yang
53
didapatnya di kirim oleh saudaranya yang ada di Medan, sesuai dengan pesanan. GT mengakui dan menyadari daging celeng atau babi dilarang di Cilegon, apalagi dijual saat bulan Ramadan dan menjadi menu masakan utama. "Saya tidak akan berjualan menu daging celeng di sini, kalau tidak ada pesanan dari pelanggan saya. Lagi pula pelanggan yang makan di sini semuanya non-Muslim, kalau ada Muslim tentu saya tolak," katanya menjelaskan.Masih menurut pemilik warung, pihaknya telah berjualan daging celeng selama tiga bulan.Sementara itu, Kepala Seksi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Cilegon, Endang Sudradjat mengatakan, dirinya belum mengetahui bahwa di dekat perkantoran Dishub di Kelurahan Kedaleman, Kecamatan Cibeber, ada warung yang buka siang hari, dengan menu daging celeng. Di Bogor, empat tersangka pengedar daging bakso celeng diringkus satuan Rekrim Polres Bogor di lokasi pembuatan bakso di Desa Tlajung Udik RT 02/10, Kecamatan Gunungputri, Kabupaten Bogor. Dari tersangka, polisi menyita 2.900 kilogram daging celeng yang sebagian besar sudah berbentuk bakso. KBO Polres Bogor, Iptu Hapi, kepada wartawan, Kamis (7/12/2006), menyebutkan, keempat tersangka masing-masing Pardi, Dwiyanto, Bardi, dan Sumadi. Mereka mengontrak rumah di Desa Gunungputri, yang mereka jadikan tempat pembuatan bakso dari daging sapi dicampur daging celeng itu. Disebutkan, terbongkarnya kawanan penjual baso dengan daging celeng ini setelah polisi mendapat laporan dari masyarakat.Tiga pelaku berhasil ditangkap oleh Unit Reserse Mobil (Resmob) karena menjual daging oplosan di Pasar Soak Batok, Jl Merdeka, Minggu (7/3/2010). Mereka ditangkap ketika melayani pembeli. Dari keterangan
54
mereka berdua, ternyata daging-daging tersebut dipasok dari Pendi (38), pengantar daging, warga Desa Sungai Raso Pemulutan Ogan Ilir. Langsung saja petugas menangkap Pendi yang saat itu memang sedang berada di lokasi mengantarkan pesanan. Kepala Bidang Pengendalian Operasi Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta Nurwidi Hartana mengungkapkan, dalam razia daging di pasar tradisional dan tempat penjualan makanan di „Kota Gudeg‟ ini beberapa waktu lalu ditemukan bakso daging sapi yang dicampur daging babi. Dinas Ketertiban dan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertanian, Kota Yogyakarta, telah memeriksa dua pedagang bakso, dan menyerahkannya ke polisi. Keduanya dikenai sanksi tindak pidana ringan (tipiring). “Razia makanan memang sering kami lakukan. Para pedagang di pasar tradisional, di tempat penjualan makan dan rumah penyembelihan unggas menjadi sasaran kami,” ujar Nurwidi Hartana di Kota Yogyakarta, Jumat (3/9/2012). Tidak kurang dari 200 kilogram daging dan 50 kilogram jeroan sapi yang diduga hasil glonggongan, Jumat (20/8/2012) dini hari, ditemukan oleh tim gabungan dalam operasi di Kecamatan Tegalrejo, Jawa Tengah. Menurut Kepala Seksi Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Magelang, John Manglapi, daging dan jeroan itu diangkut dengan mobil [I]pick up [/I]dari arah Salatiga dan menurut pengakuan pembawa akan dijual di luar Magelang. Karena alasan itu oleh Tim Gabungan yang terdiri dari Kepolisian, Satpol PP dan Dinas Peternakan dan Perikanan, daging dan jeroan itu tidak ditahan. “Tapi pembawa itu tetap kami beri peringatan,” kata John.
55
Daging giling yang telah membusuk beredar di sejumlah pasar di Bogor, Jawa Barat. Ini terbukti dengan ditemukannya cadangan daging impor membusuk yang digiling lalu dijual di Pasar Anyar Bogor oleh Wakil Wali Kota Achmad Ruc‟yat, Kamis (19/8/2012). Penemuan daging busuk ini setelah ada laporan dari pembeli bahwa sekelompok pedagang menggiling daging busuk kemudian dijual kepada pembeli. Tujuannya menggiling daging itu adalah untuk menhilangkan jejak bahwa daging yang mereka jual itu telah membusuk. “Daging giling itu lebih murah dibanding daging lokal,” kata Achmad.Dari gudang pedagang daging giling petugas pemerintah Bogor menyita daging sapi tiga kilogram yang sudah membiru. Petugas Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Pusat menemukan usus ayam berformalin di pasar-pasar di Senen dan Kemayoran, sabtu (27/11/2010. Dari pasar Kemayoran, petugas menyita 4,5 kilogram usus berformalin. “Setelah diperiksa, kami pastikan usus ayam ini mengandung formalin,” ujar Sarjoni, Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian. Sarjoni menambahkan, dia menyita barang bukti saja, sedangkan penjual usus ayam berformalin hanya diberikan peringatan keras agar tidak menggunakan formalin lagi. “Kalau mereka masih mengulangi, kami akan serahkan mereka ke pihak yang berwajib untuk dilakukan tindakan hukum,” tutur Sarjoni. Hari Kamis (25/112012) pagi, Kepolisian Resort Jakarta Barat menyita 650 kilogram usus berformalin dari Latifa, perempuan penjual usus ayam di Jalan Duri Raya, Tambora, Jakarta Barat. Saat ditangkap di Tambora, polisi menyita 200 kilogram usus berformalin dari tangan Latifa. Setelah dikembangkan di
56
rumah pelaku di Bambu Apus, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. polisi menemukan 350 kilogram usus ayam berformalin dan 100 kilogram usus ayam yang masih dalam proses formalin. “Usus ayam ini dia setorkan ke penjual bubur ayam keliling di Tambora,” ujar Wakil Kepala Polres Jakarta Barat, Ajun Komisaris Besar, Aan Suhanan di Jakarta, Kamis. “Saya sudah tiga tahun jualan usus dikasih formalin Pak Polisi. Untungnya gede Pak Polisi. Maaf Pak Polisi,” ujar Latifa dengan suara lirih. Kata Latifa, pemberian formalin dilakukan dengan cara membersihkan dan merebus usus ayam lebih dulu. Selanjutnya, usus ayam itu direndam selama sehari semalam di dalam bak air yang sudah dicampur cairan formalin. Setelah dikemas menggunakan plastik, usus ayam berformalin tersebut dijual. Selain menyita ratusan kilogram usus ayam berformalin, polisi juga menyita satu unit mobil pick up Suyzuki Futura dan satu jerigen berisi tiga liter cairan formalin. Penyidik kesehatan dari Kementrian Kesehatan Sarlan, menjelaskan, formalin tidak boleh dicampurkan dengan makanan, karena n menimbulkan kanker, memicu gagal ginjal, gagal pankreas, dan gagal fungsi hati, gagal jantung. Ratusan daging ayam mati kemaren (tiren) diperdagangkan di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Ini terungkap dalam operasi yang dilancarkan petugas Dinas Peternakan Kabupaten Trenggalek dan Satuan Polisi Pamong Praja (setempat.“Daging-daging yang tak layak konsumsi atau sudah membusuk berhasil kami temukan,” ujar doker hewan Budi Satriawan saat operasi tersebut, Rabu (25/8/2012). Dinas Peternakan Kabupaten Trenggalek membenarkan dugaan maraknya peredaran ayam tiren marak di sejumlah pasar
57
tradisional di daerah ini. Sebab, razia dalam rangka pengawasan menjelang Lebaran ini hanya dilakukan di beberapa lokasi pasar tradisional. Misalnya, di Pasar Pon Trenggalek dalam razaia ini petugas mengambil sampel beberapa potong ayam yang telah berubah warna dan memiliki kadar PH di atas normal. Petugas juga menemukan sekeranjang daging ayam tiren di Pasar Pogalan. Aparat Polres Ponorogo menggagalkan pengiriman 100 kilogram daging sapi gelongongan asal Jawa Tengah. Polisi juga menangkap Sudoto (29), pria asal Boyolali,
Jawa Tengah, pemilik daging gelonggongan tersebut,
Senin
(26/03/2012) dini hari. Dari pengakuan Sudoto, rencananya daging dan balungan tersebut akan dijual di Pasar Songgolangit, Ponorogo. Pedagang di pasar terbesar di wilayah Ponorogo tersebut, banyak yang menjadi pelanggannya. Kepala Polres Ponorogo, Ajun Komisaris Besar Yuda Gustawan mengatakan, pihaknya merazia mobil pengangkut daging gelonggongan tersebut di Desa Biting, Kecamatan Badegan, wilayah perbatasan antara Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kepala Polres Ponorogo, Ajun Komisaris Besar Yuda Gustawan mengatakan, pihaknya merazia mobil pengangkut daging gelonggongan tersebut di Desa Biting, Kecamatan Badegan, wilayah perbatasan antara Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Tim gabungan merazia sejumlah pasar tradisional di Solo dan menangkap basah beberapa kios yang menjual daging sapi gelonggongan, ayam tiren, dan hati sapi yang sudah rusak. Bahkan ada pedagang yang sempat menyembunyikan daging gelonggongan di bawah selimut. Petugas gabungan dari Dinas Peternakan dan Pertanian (Dispertan) Jateng dan Dispertan Kota Surakarta, melakukan razia itu pada Jumat (10/8/2012) pagi. Di Pasar Legi, yang merupakan pasar terbesar di
58
Solo, petugas mendapati setidaknya 5 kg daging sapi basah atau daging sapi gelonggongan.
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SEBELUM DAN SESUDAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL
A. Penyelesaian Sengketa Konsumen Sebelum Disahkannya UU. No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Sebagai topik bahasan terkait persoalan penyelesaian sengketa konsumen sebelum diundangkannya UU. No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, negara Indonesia sendiri telah memiliki produk hukum dalam menyelesaikan persoalan sengketa konsumen yaitu UU.No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konumen. Dimana awal kelahirannya undang-undang ini memang diharapkan bisa melindungi konsumen dari segala kerugian yang timbul akibat penggunaan barang konsumsi. Sejalan dengan penyelesaian sengketa konsumen, menurut Pasal 19 ayat (1) UUPK bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut harus dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Hal ini sesuai yang ditetapkan dalam Pasal 19 ayat (2) bahwa pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
58
59
Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari ini ternyata pelaku usaha memberikan ganti rugi, maka tidak akan terjadi sengketa konsumen. Namun, sebaliknya apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari ini pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi, maka akan terjadi sengketa konsumen. Konsumen yang dirugikan akan melakukan upaya hukum dengan cara menggugat pelaku usaha. Sengketa konsumen sendiri terjadi apabila pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi kepada konsumen dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Sengketa (konflik) konsumen adalah suatu kondisi di mana pihak konsumen menghedaki agar pihak pelaku usaha berbuat atau tidak berbuat sesuai yang diinginkan, tetapi pihak pelaku usaha menolak keinginan itu. Sengketa konsumen yang demikian tersebut dapat diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa ini seperti terdapat dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas ketentuan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen juga diatur dalam Pasal 45 menyatakan: 1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
60
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum; 2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan suka rela para pihak yang bersengketa; 3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang; 4. Apabila tidak dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan kiranya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Dengan mendasarkan kepada kedua pasal tersebut di atas, yaitu, Pasal 23 dan Pasal 45, maka penulis menilai cara penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan melalui pengadilan. Artinya dalam penyelesaian sengketa konsumen dapat ditentukan di luar pengadilan (dalam hal ini BPSK) dan melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai Pasal 47 diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Penyelesaian sengketa melalui
61
pengadilan sesuai Pasal 48 mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45. Mengenai siapa yang dapat melakukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha diatur dalam Pasal 46. Sesuai ketentuan Pasal 46 ayat (1) gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
yang
memenuhi syarat, yaitu, berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tugas bahwa tujuan didirikannya
organisasi
tersebut
adalah
untuk
kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Gugatan yang diajukan sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah, diajukan kepada peradilan umum. Artinya, gugatan ini tidak boleh diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Adapun gugatan atas pelanggaran pelaku usaha
62
dapat dilakukan seorang konsumen atau ahli warisnya diajukan kepada BPSK dan/atau peradilan umum. Gugatan sekelompok konsumen diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Gugatan perwakilan kelompok atau class action adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang melalui kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.1 Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dapat melakukan legal standing, yaitu sebagai hak gugat dari seseorang, sekelompok orang atau organisasi.2 1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK Dalam menyelesaikan sengketa konsumen, konsumen kebanyakan menggunakan jalur non litigasi. Mengapa jalur ini banyak diambil oleh konsumen?
Karena dengan menggunakan
jalur non litigasi
konsumen
menginginkan penyelesaian perkara yang mudah, cepat serta dengan biaya yang murah. Sebagai pengantar maka penulis memberikan penjelasan terkait BPSK sebagai berikut: a. Tugas dan wewenang BPSK
1
Sudaryatmo et. al., Konsumen Menggugat, Jakarta: Piramedia 2003, hal. 7.
2
Zaim Saidi et. al., Menuju Mahkamah Keadilan, Jakarta: Piramedia 2003, hal. 40.
63
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian badan penyelesaian sengketa konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Secara khusus, fungsi BPSK adalah sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dan lembaga ini dibentuk di kabupaten/kota. Adapun tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) meliputi: a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrasi atau konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klasula baku; d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran kententuan dalam undang-undang ini; e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. Melakukan penelitian dan pemerikasaan sengketa perlindungan konsumen; g. Memanggil
pelaku
usaha
yang
diduga
telah
melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undangundang ini;
64
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang sebagaimana dimaksud para huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pmeriksaan; k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Badan Penyelesaia Sengketa Konsumen (BPSK) anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha. Anggota setiap unsur berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001. Adapun mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001. Untuk pertama kali pembentukan badan penyelesaian sengketa (BPSK) diatur dalam Surat
65
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/8/2002 tanggal 29 Agustus 2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada pemerintah kota Makassar, kota Palembang, kota Surabaya, kota Bandung, kota Semarang, kota Yogyakarta dan kota Medan. b. Bentuk - bentuk penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK Sesuai ketentuan Pasal 52 huruf a Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 ditegaskan bahwa tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dengan cara melalui mediasi atau arbitrasi atau konsiliasi. Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/2002. Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara mediasi atau konsiliasi atau arbitrasi dilakukan atas pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa konsumen ini bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrasi dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh majelis yang bertindak sebagai arbiter.
66
Majelis dibentuk oleh Ketua BPSK, yang jumlah anggotanya ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) yang memenuhi semua unsur, yang unsur pemerintah, unsur pelaku usaha dan unsur konsumen, serta dibantu oleh seorang panitera. Putusan majelis bersifat final dan mengikat. Penyelesaian sengketa konsumen wajib dilaksanakan selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua pulah satu) hari kerja, terhitung sejak permohonan diterima oleh sekretariat BPSK. Terhadap putusan majelis, para pihak yang bersengketa dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan putusan majelis diterima oleh para pihak yang bersengketa. Keberatan terhadap putusan BPSK, tata cara pengajuannya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2006. Keberatan adalah upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK. Keberatan tersebut hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrasi yang dikeluarkan oleh BPSK. Keberatan ini dapat diajukan baik oleh pelaku usaha dan/atau konsumen kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum konsumen. Keberatan terhadap putusan arbitrasi BPSK sesuai Pasal 6 ayat (3) Perma Nomor 01 Tahun 2006 dapat diajukan apabila memenuhi persyaratan pembatalan putusan arbitrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu: a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu dan dinyatakan palsu;
67
b) Setelah putusan arbitrase BPSK diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau; c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Dalam hal keberatan diajukan atas dasar syarat tersebut di atas, majelis hakim dapat mengeluarkan pembatalan putusan BPSK. Dalam hal keberatan diajukan atas dasar alasan lain di luar syarat tersebut, majelis hakim dapat mengadili sendiri konsumen yang bersangkutan. Dalam mengadili sendiri, majelis hakim wajib memperhatikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Majelis hakim harus memberikan putusan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak sidang pertama dilakukan. c. Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK, baik secara tertulis maupun lisan melalui sekretariat BPSK. Permohonan tersebut dapat juga diajukan oleh ahli wari atau kuasanya apabila konsumen meninggal dunia, sakit atau telah berusia lanjut, belum dewasa, atau orang asing (warga negara asing). Permohonan yang diajukan secara tertulis yang diterima oleh BPSK dikeluarkan bukti tanda terima kepada pemohon. Permohonan yang diajukan secara tidak tertulis dicatat oleh sekretariat BPSK dalam suatu format yang disediakan, dan dibubuhi tanda tangan atau cap stempel oleh konsumen, atau ahli warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon
68
diberikan bukti tanda terima. Berkas permohonan tersebut, baik tertulis maupun tidak tertulis dicatat oleh sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi. Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai: a. Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri; b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha; c. Barang atau jasa yang diadukan; d. Bukti perolehan (bon, kwitansi dan dokumen bukti lain); e. Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang dan jasa tersebut; f. Saksi yang mengetahui barang dan jasa tersebut diperoleh; g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.
Dalam hal permohonan diterima, maka dilanjutkan dengan persidangan. Ketua BPSK memanggil pelaku usaha secara tertulis disertai dengan copy permohonan penyelesaian sengketa konsumen, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan penyelesaian sengketa diterima secara benar dan lengkap. Dalam surat panggilan dicantumkan secara jelas mengenai hari, jam dan tempat persidangan serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan surat jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen dan disampaikan pada hari persidangan pertama, yang dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke-7 (tujuh) terhitung sejak diterimanya permohonan penyelesaian sengketa konsumen
69
oleh BPSK. Majelis bersidang pada hari, tanggal dan jam yang telah ditetapkan, dan dalam persidangan majelis wajib menjaga ketertiban jalannya persidangan. Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Majelis dalam menyerahkan sengketa konsumen dengan cara konsiliasi mempunyai tugas: a. Memangggil konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan; b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundan-undangan dibidang perlindungan konsumen; Tata cara penyelesaia sengketa konsumen dengan cara konsiliasi adalah: a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi; b. Majelis bertindak sebagai konsiliator; c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan keputusan;
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Dalam persidangan dengan cara mediasi, majelis dalam menyelesaikan sengketa dengan cara mediasi, mempunyai tugas:
70
a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; d. Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; e. Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi adalah: a. Majelis menyerhkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi; b. Majelis bertindak aktif sebagai mediator dengan memberikan nasihat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa; c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan kekuatan;
Arbitrasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrasi, para pihak memilih arbitrator dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha, unsur pemerintah dan konsumen sebagai anggota majelis. Arbitrator yang dipilih oleh para pihak, kemudian memilih
71
arbitrator ke-tiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Kemudian untuk mempermudah pemahaman tentang penyelesaian sengketa konsumen ini, maka penulis menggambarkan bagan tata cara penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan non litigasi (diluar peradilan) dalam hal ini memalui BPSK, berikut bagan yang penulis salin dari situs PN Bekasi Kota dan BPSK: a. Bagan Pendaftaran Gugatan.
Gambar 1
72
b. Bagan Alur Persidangan
Gambar 2
2. Penyelesaian sengketa melalui sistem Gugatan Sederhana (Small Claim Court) Penulis kemudian disini menambahkan sistem baru dalam peradilan di Indonesia yaitu dengan mekanisme penyelesaian gugatan sederhana dalam
73
PERMA nomor 2 tahun 2015 yang telah di terbitkan oleh Mahkamah Agung pada 7 agustus 2015 yang lalu. Peraturan tersebut sebenarnya dibuat sebagai respon terhadap masyarakat yang melakukan gugatan keperdataan dengan nominal paling banyak 200 juta rupiah. Menurut PERMA ini, penyelesaian gugatan sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak 200 juta rupiah. Dalam pema ini juga mengatur terkait yang tidak masuk dalam gugatan sederhana yaitu sengketa atas tanah dan perkara yang penyelesaian sengketanya melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Para pihak dalam gugatan sederhana teridi dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali meliliki kepentingan hukum yang sama. Penggugat dan tergugat wajib menghadiri persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Gugatan sederhana dipimpin dan diputus oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan. Jangka waktu penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 hari sejak hari sidang pertama. Dalam gugatan perdata biasa hakim bersifat pasif namun dalam Perma ini hakim bersifat aktif dalam menyelesaikan gugatan sederhana ini, diantaranya: 1. Memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana secara berimbang pada para pihak.
74
2. Mengupayakan
penyelesaian
perkara
secara
damai
termasuk
menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian diluar persidangan. 3. Menuntun pihak dalam pembuktian. 4. Menjelaskan upaya hukum yang dapat di tempuh para pihak.
Upaya hukum terhadap putusan gugatan sederhana adalah dengan mengajukan keberatan. Keberatan diajukan kepada ketua pengadilan dengan menandatangani akta pernyataan keberatan dihadapan panitera disertai alasanalasanya. Putusan keberatan merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali.
B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Sesudah Disahkannya UU. No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Setelah disahkannya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal maka Negara Indonesia telah memiliki landasan hukum untuk melindungi konsumen muslim dari beredarnya produk makanan dan minuman konsumsi yang tidak halal. Namun yang amat disayangkan oleh penulis dalam undang-undang tersebut tidak secara khusus menerangkan tentang penyelesaian sengketa yang terjadi apabila konsumen merasa dirugikan oleh produsen yang tidak menjamin kehalalan produknya. Disini peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum bagi konsumen muslim untuk menyelesaikan sengketanya seperti firman Allah SWT dalam surat As Shad ayat 26 sebagai berikut:
75
Artinya: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. Tidak adanya bab khusus tentang penyelesaian sengketa konsumen membuat celah dimana celah ini bisa dimanfaatkan untuk melemahkan undangundang ini sebab selama pembahasan undang-undang di parlemen banyak pihak (fraksi-fraksi) pro dan kontra terhadap adanya undang-undang ini. Penulis sendiri menilai bahwa undang-undang ini belum layak diundangkan sebab banyak pekerjaan rumah yang harus di benahi oleh undang-undang ini. Apabila kita lihat dari aspek sengketa konsumen saja undang-undang ini tidak membahas mengenai sengketa konsumen, sebab undang-undang adalah sebuah solusi dari sebuah problematika yang terjadi ditengah masyarakat. Jaminan produk halal sendiri timbul akibat keresahan sekaligus respon dari masyarakat yang ingin dijamin oleh negara kehalalan produk yang beredar ditengah pasar domestik. Namun realita yang terjadi undang-undang hanya menjamin terkait sertifikasi dan labelisasi halal yang notabennya hanya bersifat administratif saja adapun perbuatan pelanggaran hukum yang pasti terjadi undang-undang ini hanya memberikan sanksi bagi produsen.
76
Berbicara undang-undang ini maka penulis melihat sebenarnya apa kelebihan UUJPH dibanding dengan peraturan perundangan yang sebelumnya sudah mengatur jaminan produk halal walau tidak secara jelas pengaturannya. Penulis melihat UUJPH ini sebagai sebuah harmonisasi hukum yang lengkap sebagai penjawab permasalahan masyarakat karena permasalahan jaminan produk halal walau hanya bersifat administratif namun dasar hukumnya sudah jelas yaitu UUD 1945 Pasal 29. Disinilah letak poin utamanya yaitu kepastian hukum yang harus didapat oleh masyarakat muslim. Indonesia sendiri walapun bukan negara islam namun karena penduduknya mayoritas beragama islam pasti produk hukum yang dibuat secara tidak langsung dipengaruhi semangat islam. Seperti yang di kemukakan oleh Friederich Karl Von Savigny bahwa hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama masyarakat konsep inilah yang terjadi dalam tatanan hukum di Indonesia yang dipengaruhi oleh agama maupun adat istiadat. UUJPH dan UUPK dalam tujuannya memang sama yaitu melindungi konsumen dari produk-produk yang tidak jelas informasi yang di berikan oleh produsen serta mencegah tejadinya kerugian baik secara materil maupun immateril. Yang membedakan kedua undang-undang ini adalah objek yang dilindungi yaitu konsumen secara umum dengan konsumn yang beragama islam. Karena sifat dari undang-undang ini adalah lex specialis derogat lex generalis maka sepatutnya undang-undang ini harus memiliki mekanisme sendiri dalam penyelesaian sengketa konsumen muslim demi terciptanya perlindungan hukum.
77
Ketentuan penutup pada bab X dalam UUJPH menekankan bahwa segala yang berkaitan dengan jaminan produk halal maka dikembalikan lagi kepada peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya, kaitannya dengan penyelesaian sengketa berarti UUJPH mengembalikan lagi penyelesaian sengketa pada UUPK artinya UUPK berlaku untuk sementara dalam penyelesaian sengketa konsumen. Namun, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah mengapa UUJPH terkesan terburu-buru pengesahannya walau proses penggodokannya di badan legislatif sudah dimasukan dalam prolegnas sejak tahun 2004. Penulis beranggapan bahwa pengesahan UUJPH ini ada kaitannya dengan akhir masa jabatan presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode 2009-20014 sehingga UUJPH ini masih banyak kelemahannya. UUJPH ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014 sedangkan masa jabatan presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir 19 Oktober 2014.
BAB V PENUTUP
Analisis tentang perlindungan konsumen muslim yang penulis sajikan dalam bab-bab sebelumnya sebagai ungkapan rasa keingin tahuan penulis terhadap penyelesaian sengketa konsumen setelah disahkannya Undang-undang nomor 33 tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Sebagai sebuah karya tulis ilmiah sudah sebagai keharusan bagi penulis memberikan beberapa uraian kesimpulan dan saran. Berikut uraian kesimpulan dan saran:
A. Kesimpulan 1. Upaya hukum yang dapat dipilih oleh konsumen muslim ketika haknya
dilanggar oleh pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat ditempuh dengan menggunakan jalur litigasi (melalui peradilan umum) dan jalur non litigasi. Penyelesaian melalui jalur non litigasi dilakukan oleh BPSK dengan cara Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase. 2. Dalam hal penyelesaian sengketa konsumen Undang-Undang Jaminan
Produk Halal belum mengatur secara terang bagaimana pengaturannya, jadi Undang-undang ini memberikan kembali mekanisme penyelesaian sengketa kepada ketentuan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen.
78
79
B. Saran 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal seharusnya mengatur lebih khusus terkait mekanisme penyelesaian sengketa konsumen, sebab undang-undang ini berisikan materi yang berbau syariah. Jadi, secara otomatis maka seharusnya undang-undang ini bisa lebih melindungi konsumen muslim karena kita di Indonesia mengenal istilah Lex Spesialis derogat Lex Generalis. 2. Pemerintah harus lebih aktif lagi dalam menegaskan mengenai perlindungan bagi konsumen muslim sejalan dengan penyelesaian sengketa konsumen mungkin dengan menambah tugas dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) karena dalam UUPK saja telah menguatkan fungsi BPSK. 3. Bagi konsumen muslim di Indonesia sudah sepatutnya saling memberi koreksi terhadap Undang-undang ini sebab walau bagaimanapun Undangundang ini sudah sedikit menjawab permasalahan terkait labelisasi makanan halal, penulis juga berharap Undang-undang ini segera mendapatkan peraturan pelaksana dari pemerintah sekarang agar apa yang menjadi tujuan pembentukannya dapat terlaksana seperti sebagaimana mestinya. 4. Bagi penulis selanjutnya, penelitian terhadap perlindungan hukum bagi konsumen muslim supaya dapat dilanjutkan untuk disempurnakan dengan menggunakan metode dan analisis yang berbeda sehingga dapat dijadikan
80
karya ilmiah yang saling melengkapi sebagai penambah khasanah keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Arrasjid, Chainur, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Barkatullah, Abdul Halim. Hak-hak Konsumen.( Bandung: Nusa Media. 2010). Friedman, Lawrence M., Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), (Bandung: Nusa Media 2009) Hadjon, Philipus M, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, ( Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2011). Halim Barkatullah, Abdul. Hukum Perlindungan Konsumen “Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran. (Bandung; Nusa Media, 2008). Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta : Kencana, 2010). Meleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi, (Bandung : PT. Remaja Rosyada Karya, 1997). Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,Surakarta 2003). Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar. Cetakan ke-2 (Jakarta : Daya Widya, 2000). Nasution, Az. Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995).
80
81
Ngani, Nico, Metodologi Penelitian Hukum Dan Penulisan Hukum, cetakan pertama (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2012). Rahardjo, Satjipto, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003) Rahardjo, Satjipto, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogjakarta: Genta Publishing, 2010) Sadar, Muhammad. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. (Jakarta: Akademia 2012). Siahaan, N. H. T. Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cetakan ke-1. (Jakarta : Panta Re, 2005). Sidabalok, Janus. hukum perlindungan konsumendi Indonesia, ( Bandung: citra aditya bakti, 2006). Soekanto, Soerjono dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cetakan kesepuluh (Jakarta : Grafindo Persada, 2007). Toar, Agnes M., tanggung jawab produk, sejarah dan perkembangannya di beberapa negaraa, (bandung: Alumni, 1988). Usman, Rachmad. Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan, 2004). Widjaya, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia pustaka utama, 2008). Widjajati, Erna dan Yessy Kusumadewi, Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta: Roda Inti Media, 2010).
82
Yakub, Ali Mustafa. Kriteria Halal –Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika menurut Al-Qur’an dan Hadis.
Jurnal, Makalah, Seminar Micklitz, Hans W, rencana undang-undang perlindungan konsumen di mata pakar jerman, (warta konsumen XXIV No. 12 Desember 2004).
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Pemeriksaan Dan Penetapan Pangan Halal Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Internet www.halalmui.org www.pusathalal.com
SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
a. bahwa
Undang-Undang
Indonesia
Tahun
Dasar
1945
Negara
Republik
mengamanatkan
negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya
masing-masing
dan
untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu; b. bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan
produk
yang
dikonsumsi
dan
digunakan masyarakat; c. bahwa
produk yang beredar di masyarakat belum
semua terjamin kehalalannya; d. bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan perlu diatur
dalam
suatu
peraturan
perundang-
undangan; e. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal; Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan . . .
-2Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Produk
adalah
barang dan/atau jasa yang terkait
dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. 2.
Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.
3.
Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah
rangkaian
kehalalan Produk pengolahan,
kegiatan mencakup
untuk
menjamin
penyediaan
penyimpanan,
bahan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk. 4.
Bahan
adalah
unsur
yang
digunakan
untuk
membuat atau menghasilkan Produk. 5.
Jaminan
Produk
Halal
yang
selanjutnya
disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. 6. Badan . . .
-36.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH.
7.
Majelis
Ulama
disingkat MUI
Indonesia
adalah
yang
wadah
selanjutnya
musyawarah
para
ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. 8.
Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah
lembaga
yang
melakukan
kegiatan
pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk. 9.
Auditor
Halal
kemampuan
adalah
orang
melakukan
yang
pemeriksaan
memiliki kehalalan
Produk. 10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. 11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk. 12. Pelaku
Usaha
adalah
orang
perseorangan
atau
badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum
yang
menyelenggarakan
kegiatan
usaha di wilayah Indonesia. 13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH. 14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 15. Menteri
adalah
menteri
yang
menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 2 . . .
-4Pasal 2 Penyelenggaraan JPH berasaskan: a.
pelindungan;
b.
keadilan;
c.
kepastian hukum;
d.
akuntabilitas dan transparansi;
e.
efektivitas dan efisiensi; dan
f.
profesionalitas. Pasal 3
Penyelenggaraan JPH bertujuan: a.
memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan
kepastian
ketersediaan
Produk
Halal
bagi
masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan b.
meningkatkan
nilai
tambah
bagi
Pelaku
Usaha
untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Pasal 4 Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
BAB II PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL Bagian Kesatu Umum Pasal 5 (1)
Pemerintah
bertanggung
jawab
dalam
menyelenggarakan JPH.
(2) Penyelenggaraan . . .
-5(2)
Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3)
Untuk
melaksanakan
penyelenggaraan
JPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH
yang
berkedudukan
di
bawah
dan
bertanggung jawab kepada Menteri. (4)
Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.
(5)
Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Kedua
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Pasal 6 Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang: a.
merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b.
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
c.
menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
d.
melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;
e.
melakukan
sosialisasi,
edukasi,
dan
publikasi
Produk Halal; f.
melakukan akreditasi terhadap LPH;
g.
melakukan registrasi Auditor Halal;
h.
melakukan pengawasan terhadap JPH;
i.
melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
j.
melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Pasal 7 . . .
-6Pasal 7 Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan: a.
kementerian dan/atau lembaga terkait;
b.
LPH; dan
c.
MUI. Pasal 8
Kerja
sama
BPJPH
dengan
kementerian
dan/atau
lembaga terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait. Pasal 9 Kerja sama BPJPH dengan LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan untuk pemeriksaan dan/atau pengujian Produk. Pasal 10 (1)
Kerja
sama
BPJPH
dengan
MUI
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk:
(2)
a.
sertifikasi Auditor Halal;
b.
penetapan kehalalan Produk; dan
c.
akreditasi LPH.
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.
Pasal 11 . . .
-7Pasal 11 Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
kerja
sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Lembaga Pemeriksa Halal Pasal 12 (1)
Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH.
(2)
LPH
sebagaimana
dimaksud
mempunyai
kesempatan
membantu
BPJPH
pada
yang
ayat
sama
melakukan
(1)
dalam
pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalan Produk. Pasal 13 (1)
Untuk
mendirikan
LPH
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan: a.
memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
b.
memiliki akreditasi dari BPJPH;
c.
memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan
d.
memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama
dengan
lembaga
lain
yang
memiliki
laboratorium. (2)
Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.
Pasal 14 . . .
-8Pasal 14 (1)
Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
(2)
Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
harus
memenuhi
persyaratan: a. b. c.
d.
e. f.
warga negara Indonesia; beragama Islam; berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi; memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan memperoleh sertifikat dari MUI. Pasal 15
Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 bertugas: a. b. c. d. e.
memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan; memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk; memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan; meneliti lokasi Produk; meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan; f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk; g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH. Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB III . . .
-9BAB III BAHAN DAN PROSES PRODUK HALAL Bagian Kesatu Bahan Pasal 17 (1)
Bahan yang digunakan dalam PPH terdiri atas bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong.
(2)
Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari: a.
hewan;
b.
tumbuhan;
c.
mikroba; atau
d.
bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik.
(3)
Bahan
yang
berasal
dari
hewan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a pada dasarnya halal, kecuali yang diharamkan menurut syariat. Pasal 18 (1)
Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi: a.
bangkai;
b.
darah;
c.
babi; dan/atau
d.
hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.
(2)
Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI. Pasal 19 . . .
- 10 Pasal 19 (1)
Hewan yang digunakan sebagai bahan Produk wajib disembelih sesuai dengan syariat dan memenuhi kaidah
kesejahteraan
hewan
serta
kesehatan
masyarakat veteriner. (2)
Tuntunan penyembelihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 20
(1)
Bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau kesehatan
membahayakan
bagi
orang
yang
mengonsumsinya. (2)
Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau
proses
rekayasa
genetik
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur,
terkandung,
dan/atau
terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan. (3)
Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI. Bagian Kedua Proses Produk Halal Pasal 21
(1)
Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk tidak halal. (2) Lokasi . . .
- 11 (2)
Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
(3)
a.
dijaga kebersihan dan higienitasnya;
b.
bebas dari najis; dan
c.
bebas dari Bahan tidak halal.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 22
(1)
Pelaku
Usaha
yang
tidak
memisahkan
lokasi,
tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. b. (2)
peringatan tertulis; atau denda administratif.
Ketentuan
lebih
Pengenaan sanksi Peraturan Menteri.
lanjut
mengenai
administratif
tata
diatur
cara dalam
BAB IV PELAKU USAHA Pasal 23 Pelaku Usaha berhak memperoleh: a.
informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem JPH;
b.
pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan
c.
pelayanan
untuk
mendapatkan
Sertifikat
Halal
secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak diskriminatif.
Pasal 24 . . .
- 12 Pasal 24 Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib: a.
memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;
b.
memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; c.
memiliki Penyelia Halal; dan
d.
melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH. Pasal 25
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib: a.
mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal;
b.
menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal;
c.
memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan,
penyimpanan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; d.
memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal berakhir; dan
e.
melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH. Pasal 26
(1)
Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal. (2) Pelaku . . .
- 13 (2)
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk. Pasal 27
(1)
Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi administratif berupa:
(2)
a.
peringatan tertulis;
b.
denda administratif; atau
c.
pencabutan Sertifikat Halal.
Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. b. c.
(3)
teguran lisan; peringatan tertulis; atau denda administratif.
Ketentuan
lebih
Pengenaan sanksi Peraturan Menteri.
(1)
(2)
lanjut
mengenai
administratif
tata
diatur
cara dalam
Pasal 28 Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c bertugas: a. mengawasi PPH di perusahaan; b. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan; c. mengoordinasikan PPH; dan d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan. Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan: a. beragama Islam; dan b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan.
(3) Penyelia . . .
- 14 (3) (4)
Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH. Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB V TATA CARA MEMPEROLEH SERTIFIKAT HALAL Bagian Kesatu Pengajuan Permohonan Pasal 29 (1)
Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH.
(2)
Permohonan
Sertifikat
Halal
harus
dilengkapi
dengan dokumen:
(3)
a.
data Pelaku Usaha;
b.
nama dan jenis Produk;
c.
daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d.
proses pengolahan Produk.
Ketentuan
lebih
lanjut
pengajuan permohonan
mengenai
Sertifikat
tata
Halal
cara diatur
dalam Peraturan Menteri. Bagian Kedua Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal Pasal 30 (1)
BPJPH
menetapkan
LPH
untuk
melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. (2) Penetapan . . .
- 15 (2)
Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga Pemeriksaan dan Pengujian Pasal 31 (1)
Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh Auditor Halal.
(2)
Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi.
(3)
Dalam
hal
pemeriksaan
dimaksud pada
ayat
(1)
Produk terdapat
sebagaimana Bahan
yang
diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium. (4)
Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal. Pasal 32
(1)
LPH
menyerahkan
hasil
pemeriksaan
dan/atau
pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH. (2)
BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk. Bagian . . .
- 16 - Bagian Keempat Penetapan Kehalalan Produk Pasal 33 (1)
Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
(2)
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.
(3)
Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2)
mengikutsertakan
pakar,
unsur
kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait. (4)
Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan
dan/atau
pengujian
Produk
dari
BPJPH. (5)
Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI.
(6)
Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal. Bagian Kelima Penerbitan Sertifikat Halal Pasal 34
(1)
Dalam
hal
Sidang
Fatwa
Halal
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan halal pada Produk
yang
dimohonkan
Pelaku
Usaha,
BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal. (2)
Dalam
hal
Sidang
Fatwa
Halal
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan Produk
tidak
halal,
BPJPH
mengembalikan
permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan. Pasal 35 . . .
- 17 Pasal 35 Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja
terhitung
sejak
keputusan
kehalalan
Produk
diterima dari MUI. Pasal 36 Penerbitan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 wajib dipublikasikan oleh BPJPH. Bagian Keenam Label Halal Pasal 37 BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional. Pasal 38 Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantumkan Label Halal pada: a. b. c.
kemasan Produk; bagian tertentu dari Produk; dan/atau tempat tertentu pada Produk. Pasal 39
Pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak. Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 41 . . .
- 18 Pasal 41 (1)
(2)
Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran lisan; b. peringatan tertulis; atau c. pencabutan Sertifikat Halal. Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Pembaruan Sertifikat Halal Pasal 42
(1)
Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan
oleh
BPJPH,
kecuali
terdapat
perubahan komposisi Bahan. (2)
Sertifikat
Halal
wajib
diperpanjang
oleh
Pelaku
Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir. (3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pembaruan
Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 43 Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh Pelaku Usaha.
Bagian . . .
- 19 - Bagian Kedelapan Pembiayaan Pasal 44 (1)
Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang
mengajukan
permohonan
Sertifikat
Halal. (2)
Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 45
(1)
BPJPH dalam mengelola keuangan menggunakan pengelolaan keuangan badan layanan umum.
(2)
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH diatur dalam Peraturan Menteri. BAB VI KERJA SAMA INTERNASIONAL Pasal 46
(1)
Pemerintah
dapat melakukan kerja sama internasional dalam bidang JPH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Kerja
sama
sebagaimana berbentuk
internasional dimaksud
dalam
pada
pengembangan
bidang
ayat JPH,
(1)
JPH dapat
penilaian
kesesuaian, dan/atau pengakuan Sertifikat Halal. (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 47 . . .
- 20 Pasal 47 (1)
Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia berlaku
ketentuan
sebagaimana
diatur
dalam
Undang-Undang ini. (2)
Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2).
(3)
Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diregistrasi
oleh
BPJPH
sebelum
Produk
diedarkan di Indonesia. (4)
Ketentuan
mengenai
tata
cara
registrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 48 (1)
Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VII PENGAWASAN Pasal 49 BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.
Pasal 50 . . .
- 21 Pasal 50 Pengawasan JPH dilakukan terhadap: a.
LPH;
b.
masa berlaku Sertifikat Halal;
c.
kehalalan Produk;
d.
pencantuman Label Halal;
e.
pencantuman keterangan tidak halal;
f.
pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; g.
keberadaan Penyelia Halal; dan/atau
h.
kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH. Pasal 51
(1)
BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
(2)
Pengawasan
JPH
lembaga terkait
dengan
kementerian
dan/atau
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB . . .
- 22 BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 53 (1)
Masyarakat
dapat
berperan
serta
dalam
penyelenggaraan JPH. (2)
Peran
serta
masyarakat
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa: a.
melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan
b.
mengawasi Produk dan Produk Halal yang beredar.
(3)
Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk dan
Produk
dimaksud
Halal
pada
yang
ayat
(2)
beredar huruf
sebagaimana b
berbentuk
pengaduan atau pelaporan ke BPJPH. Pasal 54 BPJPH
dapat
memberikan
penghargaan
kepada
masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan JPH. Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Menteri. BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 56 Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 57 . . .
- 23 Pasal 57 Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 58 Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir. Pasal 59` Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 60 MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk. Pasal 61 LPH
yang
sudah
ada
sebelum
Undang-Undang
ini
berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak BPJPH dibentuk. Pasal 62 . . .
- 24 Pasal 62 Auditor halal yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Auditor Halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 63 Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Penyelia Halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 28 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UndangUndang ini diundangkan. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 64 BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 65 Peraturan
pelaksanaan
Undang-Undang
ini
harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 66 . . .
- 25 Pasal 66 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan
Perundang-undangan
yang
mengatur
mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UndangUndang ini.
Pasal 67 (1)
Kewajiban
bersertifikat
halal
bagi
Produk
yang
beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. (2)
Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis Produk yang bersertifikat halal diatur secara bertahap.
(3)
Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 68
Undang-Undang diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar . . .
- 26 Agar
setiap
orang
pengundangan penempatannya
mengetahuinya, Undang-Undang
dalam
Lembaran
memerintahkan ini
Negara
dengan Republik
Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 295