ISSN 1410-1939
PERLAKUAN OSMOCONDITIONING DAN PUPUK PELENGKAP CAIR ORGANIK TERHADAP VIGOR, VIABILITAS DAN PERTUMBUHAN JATI BELANDA (Guazoma ulmifolia Lamk.) [THE EFFECT OF OSMOCONDITIONING AND ORGANIK FOLIAR FERTILIZER SUPPLEMENT ON VIGOUR, VIABILITY AND GROWTH OF BASTAR CEDAR (Guazoma ulmifolia Lamk.)] Ami Suryawati Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian UPN ‘Veteran’ Yogyakarta Kampus Pusat Jl.SWK 104, Condong Catur, Yogyakarta 55283 Abstract Research to study the effects of osmoconditioning and organik supplemental foliar fertilizer on the seed vigour, viability and growth of Bastar Cedar (Guazoma ulmifolia Lamk.) has been carried out in Seed Technology Laboratory and green house of UPN Veteran Yogyakarta, from February through to April 2005. There were two experiments which were arranged in a Completely Randomized Design. The first experiment was the use of KNO3 as an osmoconditioning (0, 5, 10 and 15 g L-1) and consisted of four replications. The second experiment was the use of KNO3 (5, 10 and 15 g L-1) in combination with organik supplemental foliar fertilizer (Bio KG, SNN and Supermess), and consisted of three replications. The result of the first experiment showed that the use of KNO3 10 g L-1 as an osmoconditioning showed better vigour and viability. Osmoconditioning with KNO3 10 g L-1 gave better shoot height and leaves area at eight weeks after planting. Meanwhile, there was no interaction between osmoconditioning and organik fertilizer found in the second experiment. The application of Supermess as an organik supplemental foliar fertilizer showed better shoot height at eight weeks after planting. Kata kunci: jati Belanda, osmoconditioning, KNO3, Bio KG, SNN, Supermess.
PENDAHULUAN Jati Belanda (Guazoma ulmifolia Lamk.) merupakan salah satu tanaman yang saat ini banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Berdasarkan analisis fitokimia, daun jati Belanda mengandung senyawa-senyawa triterpen, sterol, alkaloid, karotenoid, flavonoid, tannin, karbohidrat dan saponin (Nurhayati et al., 2004). Di dalam kulitnya terkandung karbohidrat (10%), damar-damaran (9,3%), tannin (2,7%), glukosa dan asam lemak (Achyat dan Rosyidah, 2000). Bagian tanaman jati Belanda yang dapat dimanfaatkan untuk bahan obat adalah daun, kulit batang dan bijinya. Daun jati Belanda banyak dipakai sebagai pelangsing tubuh, sedangkan kulit batangnya dimanfaatkan sebagai obat disentri, wasir, pneumonia, batuk dan bronchitis (Nurhayati et al., 2004). Jati Belanda memiliki peluang untuk menjadi komoditas potensial di dalam industri fitofarma karena kandungan proantocyanidin yang diisolasi dari daunnya dapat digunakan sebagai obat kolera dan bahan baku produk pelangsing juga peluruh lemak. Harga tepung kulit batang jati Belanda pada
tahun 2001 di pasaran dunia adalah US $ 55per kg (Nurhayati et al., 2004). Saat ini jati Belanda termasuk dalam sembilan tanaman obat unggulan yang dikembangkan secara komprehensif mulai dari penelitian pharmaceutical sampai uji klinis, di samping mengkudu, jambu biji, sambiloto, kunyit, jahe merah, temu lawak, salam dan cabe Jawa (Anonim, 2004). Mengingat prospek untuk budidaya tanaman jati Belanda di masa mendatang cukup cerah sejalan dengan permintaan pasar yang cukup besar, maka diperlukan upaya peningkatan hasil tanaman baik melalui perluasan areal tanam maupun perbaikan teknik budidaya tanaman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan penyediaan bibit yang berkualitas dan seragam serta didukung oleh kondisi pertumbuhan yang optimal di lapangan. Untuk memperoleh bibit jati Belanda yang seragam dan berkualitas baik, diperlukan penggunaan benih dengan viabilitas dan vigor yang tinggi. Tanaman jati Belanda hanya berbunga sekali dalam setahun, sehingga benih jati Belanda memerlukan penyimpanan untuk menyesuaikan dengan jadual penyemaiannya. Hal ini menyebabkan benih mengalami kemunduran yang berkaitan erat de-
71
Jurnal Agronomi 10(2): 71-75
ngan berkurangnya respirasi, biosintesis, keseragaman tumbuh, resistensi, produksi, daya simpan dan meningkatnya kecambah abnormal (Herwati et al., 1996). Untuk itu diperlukan suatu metode guna meningkatkan viabilitas dan vigor benih agar diperoleh bibit jati Belanda yang seragam dan berkualitas baik dengan memanipulasi benih melalui perlakuan awal sebelum benih dikecambahkan yang biasa disebut dengan priming atau invigorasi. Invigorasi merupakan perlakuan pendahuluan pada benih sebelum dikecambahkan dan dapat meningkatkan viabilitas benih yang telah disimpan. Teknik priming/invigorasi yang digunakan yaitu osmoconditioning dan matriconditioning. Osmoconditioning menggunakan bahan pelarut yang memiliki potensi osmotik rendah seperti PEG, KNO3, mannitol, KH2PO4 dan beberapa jenis garam lainnya, sedangkan matriconditioning menggunakan bahan padatan dengan potensi osmotik rendah (Donald, 2000). Perlakuan invigorasi biasa digunakan pada berbagai spesies benih yang berukuran kecil (Donald, 2000), di antaranya menggunakan KNO3. Penelitian Farida (2002) dan Mia (1999) menunjukkan bahwa penggunaan KNO3 efektif untuk meningkatkan perkecambahan benih cabai dan terong Jepang. Penggunaan KNO3 menurunkan T50 (waktu untuk berkecambah 50%), meningkatkan laju perkecambahan dan meningkatkan kapasitas untuk berkecambah. Benih terong Jepang yang diberi perlakuan osmoconditioning dengan KNO3 10g L-1 memiliki rata-rata indeks vigor dan daya kecambah lebih tinggi dibandingkan tanpa osmoconditioning. Penyediaan benih yang cepat tumbuh dan seragam akan menentukan pertumbuhan tanaman selanjutnya. Namun demikian, hal ini harus didukung oleh tercukupinya unsur hara yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan tanaman jati Belanda di lapangan. Pada umumnya unsur hara memegang peranan penting dalam pertumbuhan tanaman. Unsur hara makro dan mikro sangat berperan dalam menghasilkan cabang dan daun. Faktor yang harus diperhatikan adalah cara meningkatkan ketersediaan unsur hara yang akan diserap oleh tanaman, yang dapat dilakukan dengan pemupukan. Penggunaan pupuk pelengkap cair merupakan teknologi alternatif yang dapat meningkatkan produksi tanaman. Pupuk pelengkap cair mengandung unsur yang sangat diperlukan dalam fotosintesis seperti unsur Mg, Fe dan Cu. Kondisi ini memungkinkan unsur tersebut berada di dalam daun dan terus-menerus melakukan fungsinya sebagai pemacu fotosintesis. Dalam penelitian ini digunakan pupuk pelengkap cair organik SNN, Supermess dan Bio KG (Tabel 1).
72
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi KNO3 terbaik bagi vigor dan viabilitas benih jati Belanda, dan mendapatkan konsentrasi KNO3 dan pupuk pelengkap cair yang paling tepat untuk pertumbuhan jati Belanda. Tabel1. Kandungan unsur hara di dalam pupuk pelengkap cair SNN, Supermess dan Bio KG. Unsur hara Makro: Nitrogen Fosfor Kalium Magnesium Belerang Kalsium Mikro: Besi Natrium Seng Tembaga Mangan Boron Klor IAA Hormon tumbuhan
SNN1)
Kandungan (%) Supermess2) Bio KG3)
25 25 25 ada ada ada
5 3 2,5 0,14
0,76 0,003 1,67 0,41 0,35
ada ada ada ada ada ada ada ada
0,05 0,02 0,01 0,01 -
0,28 0,14 0,09 0,18 -
ada
-
-
Sumber: 1) PT Indmira Citra Tani Indonesia (1999). 2) PT Jenawi Suburindo Rejeki. 3) Hasil analisis Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM (2003).
BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2005 di Laboratorium Teknologi Benih dan Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta. Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yaitu percobaan-1 (laboratorium), dan dilanjutkan dengan percobaan-2 di lapangan. Percobaan laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yang terdiri empat taraf KNO3 sebagai osmoconditioning (0, 5, 10 dan 15 g L-1). Percobaan diulang empat kali, masing-masing terdiri dari 50 benih. Percobaan-2 di lapangan menggunakan RAL faktorial yang terdiri atas dua faktor. Faktor-1 adalah tiga konsentrasi KNO3 terbaik dari percobaan-1, yaitu osmoconditioning dengan
Amy Suryawati: Pengaruh KNO3 dan Pupuk Pelengkap Cair terhadap Perkecambahan Jati Belanda.
KNO3 (5, 10 dan 15 g L-1). Faktor-2 adalah macam pupuk pelengkap cair organik, yaitu Bio KG, SNN dan Supermess, yang masing-masing diuji dengan konsentrasi 2 mL L-1. Percobaan diulang tiga kali, masing-masing terdiri dari 10 tanaman. Benih jati Belanda yang diperoleh dari Merapi Farma dan telah disimpan selama 5 bulan, direndam dalam fungisida Benlate 2% selama 10 menit, lalu dikeringanginkan. Benih diletakkan dalam cawan Petri yang beralaskan 2 lembar kertas saring dan diberi larutan KNO3 4 mL untuk setiap 25 butir benih sesuai perlakuan. Perlakuan osmoconditioning tersebut dilakukan selama 2 hari di alat pengecambah benih (germinator). Setelah perlakuan, benih diukur kadar airnya dan diuji perkecambahannya selama 14 hari dalam bak perkecambahan. Benih yang telah dikecambahkan selama 4 minggu dan memiliki 2 daun dipindah ke polybag berisi tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1. Perlakuan pupuk pelengkap cair dilakukan mulai umur 3 minggu setelah tanam setiap 7 hari sekali. Pengamatan di laboratorium meliputi parameter: kadar air benih (metode gravimetric), daya kecambah (hari ke-10 dan ke-14), indeks vigor (diamati setiap hari sampai hari ke-14), bobot kering kecambah normal, dan daya hantar listrik air rendaman benih. Sementara itu pengamatan di lapang meliputi parameter: tinggi tanaman (umur 5, 6, 7 dan 8 minggu setelah pindah tanam), luas daun (umur 8 minggu setelah pindah tanam), bobot kering tanaman (umur 8 minggu setelah pindah tanam), dan bobot kering daun (umur 8 minggu setelah pindah tanam). Data dianalisis keragamannya dengan sidik ragam pada jenjang nyata 5%, yang dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada jenjang nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perlakuan osmoconditioning dengan KNO3 0 g L-1 pada percobaan-1 (laboratorium) menunjukkan rata-rata daya kecambah dan berat kering kecambah normal yang lebih kecil dibandingkan dengan KNO3 konsentrasi 5, 10 maupun 15 g L-1 (Tabel 2). Hal ini disebabkan pada perlakuan KNO3 0 g L1 , imbibisi air berjalan terlalu cepat dan tidak terkendali karena tingginya perbedaan tekanan osmotik larutan KNO3 dan benih. Mekanisme osmoconditioning terjadi pada perlakuan KNO3 5, 10 dan 15 g L-1, penyerapan air oleh benih berjalan lebih terkendali. Imbibisi yang terkendali menyebabkan jaringan berkembang secara teratur sehingga memberi waktu persiapan pada membran dan memungkinkan turunnya kerusakan imbibisi (Parera dan
Cantlife, 1991). Pada keadaan ini metabolisme benih berlangsung secara aktif sebagai persiapan untuk perkecambahan benih. Proses osmoconditioning dengan KNO3 dapat meningkatkan laju perkecambahan dan keserentakan saat berkecambah, peningkatan mutu fisiologis dan biokemis dalam media imbibisi dengan potensial air yang rendah dan pengaturan hidrasi. KNO3 dapat menstimulir pengambilan oksigen dan merangsang perkecambahan benih (Copeland dan Donald, 1995). Selama proses osmoconditioning juga terjadi peningkatan aktivitas enzim yang bertanggung jawab atas pergerakan lemak yang diikuti perkecambahan (Fu et al., 1988), peningkatan α-amylase dan β-amylase, peningkatan sintesis protein dan sintesis DNA dan RNA pada benih (Donald, 2000). Tabel 2. Rata-rata daya kecambah (DK), indeks vigor (IV), berat kering kecambah normal (BKKN) dan daya hantar listrik (DHL). Konsentrasi DK BKKN DHL (mS IV KNO3 (%) (g) cm-1) 23,52 c 1,67 b 0,01 b 37,59 a 0 g L-1 39,00 b 2,81 b 0,02 a 20,09 b 5 g L-1 54,50 a 4,62 a 0,02 a 17,88 c 10 g g L-1 42,50 b 2,75 b 0,02 a 20,62 b 15 g L-1 Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom/ baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata berdasarkan Uji Duncan taraf 5%.
Perlakuan KNO3 10 g L-1 menunjukkan nilai rata-rata daya hantar listrik yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan KNO3 0, 5; dan 15 g L-1. Hal ini disebabkan pada KNO3 10 g L-1 imbibisi berjalan lebih lambat dan terkendali sehingga kerusakan membran lebih rendah dan kebocoran metabolit pada benih juga sedikit. Imbibisi air oleh benih pada perlakuan KNO3 0 dan 5 g L-1 berlangsung lebih cepat dan mendadak sehingga terjadi kerusakan membrane dan kebocoran metabolit lebih besar, sedangkan pada KNO3 15 g L-1 imbibisi berjalan sangat lambat akibat penggunaan KNO3 yang berlebihan sehingga imbibisi terhambat. Penggunaan KNO3 10 g L-1 memberikan daya kecambah dan indek vigor yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan KNO3 0, 5; dan 15 g L1 . Hal ini dikarenakan kerusakan membran dan kebocoran metabolit perlakuan KNO3 10 g L-1 lebih rendah ditunjukkan dengan rendahnya daya hantar listrik benih. Pada konsentrasi KNO3 yang tepat persiapan benih untuk berkecambah menjadi lebih optimal, proses mobilisasi perubahan cadangan makanan dari pati menjadi glukosa, fruktosa dan sukrosa, lemak menjadi gliserin dan asam lemak, serta perubahan protein menjadi asam amino juga
73
Jurnal Agronomi 10(2): 71-75
berjalan lebih maksimal. Kondisi seperti ini benih memberikan viabilitas dan vigor yang lebih tinggi sehingga daya kecambah dan indek vigor lebih baik. Walaupun demikian peningkatan daya kecambah yang dicapai pada perlakuan KNO3 10 g L-1 tidak maksimal (54,50%), karena daya ke-cambah awal (KNO3 0 g L-1) sangat rendah (23,52%). Dari percobaan-1 (Tabel 2) dapat diketahui bahwa konsentrasi KNO3 0 g L-1 memiliki daya kecambah yang sangat rendah, sehingga pada percobaan selanjutnya hanya digunakan bibit jati Belanda hasil perlakuan KNO3 5, 10 dan 15 g L-1. Hasil analisis pengaruh perlakuan konsentrasi KNO3 terhadap pertumbuhan tanaman pada percobaan-2 (lapangan) yang disajikan pada Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa KNO3 10 g L-1 juga memberikan tinggi tanaman umur 8 mst tertinggi dan luas daun yang terbaik walaupun tidak berbeda nyata dengan KNO3 5 g L-1. Bibit dengan perlakuan KNO3 10 g L-1 lebih cepat berkecambah sehingga setelah dipindah tanam lebih cepat menyesuaikan diri sehingga dapat segera memanfaatkan kesuburan media tumbuhnya, selain itu perlakuan osmoconditioning itu sendiri dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman (Donald, 2000). Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman umur 5, 6, 7 dan 8 mst (cm) Konsentrasi KNO3 5 g L-1 10 g L-1 15 g L-1 Macam PPC Bio KG SNN Supermess
5 mst 13,44 ab 14,63 a 12,33 b
Tinggi tanaman (cm) 6 mst 7 mst 19,33 a 23,06 a 20,53 a 24,70 a 18,45 a 22,20 a
8 mst 25,61 b 31,00 a 25,70 b
13,75 p 13,89 p 13,46 p
18,59 p 19,78 p 20,04 p
21,57 p 23,37 p 24,63 p
24,78 q 27,01 q 30,51 p
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom/ baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata berdasarkan Uji Duncan taraf 5%.
Penggunaan berbagai macam pupuk pelengkap cair organik hanya berpengaruh nyata pada tinggi tanaman umur 8 minggu setelah tanam, tetapi tidak berpengaruh pada luas daun, bobot kering daun dan bobot kering tanaman. Diduga tanaman tidak boros hara, sudah tercukupi dari media tanam. Perlakuan pupuk pelengkap cair Supermess menunjukkan rata-rata tinggi tanaman umur 8 mst lebih tinggi dibandingkan Bio KG dan SNN. Tanaman sudah tercukupi unsur haranya dari media tanam, selain itu meskipun kandungan unsur haranya sedikit, Supermess mengandung hormon pertumbuhan yang mendukung pertumbuhan tanaman menjadi lebih tinggi.
74
Tabel 4. Rata-rata luas daun (cm2), bobot kering daun (g) dan bobot kering tanaman (g) umur 8 mst. Konsentrasi KNO3
Luas daun
5 g L-1 10 g L-1 15 g L-1 Macam PPC Bio KG SNN Supermess
395,58 ab 476,78 a 358,32 b
1,041 a 1,148 a 1,069 a
Bobot kering tanaman 2,184 a 2,536 a 2,339 a
406,94 p 379,50 p 444,23 p
1,021 p 1,041p 1,195 p
2,247p 2,411p 2,401 p
Bobot kering daun
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom/ baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata berdasarkan Uji Duncan taraf 5%.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Perlakuan osmoconditioning pada percobaan pertama (di laboratorium) berpengaruh terhadap viabilitas dan vigor benih jati Belanda. 2. Perlakuan KNO3 sebanyak 10 g L-1 menghasilkan viabilitas dan vigor tertinggi pada benih jati Belanda. 3. Tidak terdapat interaksi antara perlakuan konsentrasi KNO3 dan macam pupuk pelengkap cair organik pada percobaan ke-dua (di lapangan). 4. Perlakuan KNO3 10 g L-1 memberikan tinggi tanaman dan luas daun umur 8 minggu setelah tanam yang lebih baik dibandingkan KNO3 15g L-1. 5. Penggunaan pupuk organik cair Supermess memberikan rata-rata tinggi tanaman umur 8 minggu setelah tanam terbaik. 6. Perlakuan macam pupuk pelengkap cair organik tidak berpengaruh nyata pada parameter tinggi tanaman umur 5, 6 dan 7 minggu setelah tanam, luas daun, bobot kering daun dan bobot kering tanaman.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Min Setyaningrum, SP alumni FP UPN Veteran Yogyakarta yang telah membantu terlaksananya penelitian ini dan Ir. Heti Herastuti, MP, staf pengajar pada Fakultas Pertanian UPN Veteran, Yogyakarta, yang telah memberi banyak masukan pada penelitian ini.
Amy Suryawati: Pengaruh KNO3 dan Pupuk Pelengkap Cair terhadap Perkecambahan Jati Belanda.
DAFTAR PUSTAKA Achyat, E. D. dan R. Rosyidah. 2000. Jati Belanda. Htttp://www.asimaya.com/jamu/isi/jatiBelanda_ster culiaceae.htm. (Diakses 20 Desember 2004). Anonim. 2004. Industri Jamu Minta Perhatian Pemerintah. Htttp://www.kompas.com/compass_cetak/0410/29/h umaniar. (Diakses 20 Desember 2004). Copeland, L. O. dan M. Donald. 1995. Principles of Seed Science and Technology (3rd ed.). Chapman and Hall, New York. Donald, M. 2000. Seed Priming in Seed Technology and Its Biological Basis. Sheffield Academic Press, Sheffield, England. Farida, S. 2002. Perlakuan Invigorasi Benih dalam Meningkatkan Viabilitas Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Tanaman Cabai Besar. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta, Yogyakarta. Fu, J. R., X. H. Lu, R. Z. Chen, B. Z. Zhang, Z. S. Li dan D. Y. Cai. 1988. Osmoconditioning of peanut
seeds with KNO3 to improve vigor and some biochemical activities. Seed Science and Technology 16: 197-212. Herwati, A., R. Suwarno, Abdul dan F. Rohman. 1996. Pengaruh lama penyimpanan benih tembakau terhadap pertumbuhan bibit. Jurnal Agronomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 4: 26-34. Mia, R. 1999. Pengaruh Priming terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Terong Jepang. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta, Yogyakarta. Nurhayati, H., N. Maslahah dan B. Sofiana. 2004. Standar prosedur operasional budidaya jati Belanda. Dalam Standar prosedur operasional budidaya cabe Jawa, mengkudu, jambu biji, jati Belanda dan salam. Circular Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 10: 30-35. Parera, C. A. dan D. J. Cantlife. 1991. Improved germination and modified imbibition of shrunken-2 sweet corn by seed disinfection and solid matrix priming. Journal of American Society for Horticultural Science 116: 942-945.
75
Jurnal Agronomi 10(2): 71-75
76