Review Penelitian Kopi dan Kakao 1 (1) 2013, 12-23 Pancaningtyas
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KRIOPRESERVASI PADA TANAMAN SERTA PELUANG PENERAPANNYA PADA KAKAO (Theobroma cacao L.) Progress on Cryopreservation Technique in Different Crops and Its Possibility Applied on Cocoa (Theobroma cacao L.) Sulistyani Pancaningtyas1*) 1)
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman No. 90, Jember, Indonesia *) Alamat penulis (Corresponding Author):
[email protected] Naskah diterima (received) 17 September 2012, disetujui (accepted) 22 Nopember 2012
Abstrak Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mendukung perkembangan sektor ekonomi serta berkelanjutannya ekologi, baik peranan sebagai tanaman untuk konservasi air dan lahan maupun sebagai tanaman sumber karbon. Sebagai tanaman yang bijinya tergolong rekalsitran, penyimpanan bahan tanaman dalam bentuk biji/benih dalam jangka waktu lama menyebabkan daya kecambah dan vigornya menurun, sehingga cara penyimpanan ini dianggap kurang tepat. Oleh sebab itu diperlukan pengembangan metode penyimpanan benih kakao yang dapat memperpanjang waktu dormansi, sehingga menunda perkecambahannya. Penundaan masa dormansi benih kakao ini bermanfaat dalam pengelolaan benih yang akan dikrim dari sumber benih ke lokasi penanaman, serta bermanfaat untuk tujuan penyimpanan material genetik kakao. Teknologi kriopreservasi merupakan strategi potensial untuk pemeliharaan bahan tanam kakao sehingga didapatkan metode penyimpanan terbaik dan efisien, baik untuk multiplikasi, penyebaran dan koleksi plasma nutfah. Beberapa tahapan yang dapat diterapkan dalam kriopreservasi adalah perlakuan pratumbuh, prakultur, pemuatan (loading), dehidrasi jaringan, pembekuan, pencairan (thawing) dan pemulihan (recovery). Kriopreservasi menggunakan encapsulation-dehydration maupun kalus embriogenik dalam jangka panjang telah dikembangkan untuk konservasi plasma nutfah kakao. Menggunakan teknik kriopreservasi ini suatu organ atau jaringan dapat disimpan dalam waktu lama tanpa adanya penurunan viabilitas dan tanpa mengubah sifat genetik tanaman, sehingga metode kriopreservasi yang dikembangkan dalam bidang bioteknologi ini membuka peluang untuk penyimpanan bahan tanam kakao sebagai tanaman rekalsitran.
Abstract Cocoa (Theobroma cacao L.) is one of commodities that supports the development of economic sector and ecological conservation considering its role as plants for water holding, land conservation and as well as carbon source. As a recalcitrant seed crops, long term storage of cocoa seeds will make decreasing their viability and vigor. Hence, it was necessary to established cocoa seed storage methods that can extend of seed dormancy. This delayed wass useful in the management of the delivery of seed from seed sources to planting sites useful for storage purposes cocoa genetic material. The development of cryopreservation technology is a potential strategy to maintain cocoa
12
Perkembangan teknologi kriopreservasi pada tanaman serta peluang penerapannya pada kakao (Theobroma cacao L.)
somatic embryos, thus able to get the best and most efficient method for multiplication, dissemination and collection of germplasm. Several stages can be applied in the cryopreservation treatment including pre-growth, pre-culture, loading, dehydrated tissue, freezing, thawing and recovery. Nevertheless, cryopreservation by using encapsulation-dehydration has been developed for long term conservation of germplasm for cacao. Cryopreservation for an organ or tissue can be applied for long periods without decreasing in viability and changing the genetic characteristics of plants. Thus, cryopreservation method is a promising biotechnology and suitable method to be applied for cocoa as a recalcitrant seed crop. Key words :
Cocoa, viability, storage, cryopreservation, vitrification, long term storage
PENDAHULUAN Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mendukung perkembangan sektor ekonomi serta berkelanjutannya ekologi, baik peranannya sebagai tanaman untuk konservasi maupun sebagai sumber karbon. Perkebunan kakao di Indonesia mendapatkan perhatian intensif dari pemerintah karena memiliki arti penting bagi kesejahteraan keluarga petani, kurang lebih setara dengan 1,4 juta jiwa. Benih kakao tergolong sebagai benih rekalsitran yang tidak dapat disimpan lama. Peyimpanan dalam jangka waktu lama menyebabkan daya kecambah dan vigor benih kakao menurun. Benih kakao dapat disimpan pada suhu 25-27°C selama 6 hari dengan kadar air 18-20% dan kelembaban 55-75%. Kadar air yang tinggi menyebabkan benih kakao mudah terserang jamur dan mikroorganisme yang lain. Viabilitas benih rekalsitran hanya dapat dipertahankan sampai beberapa minggu atau beberapa bulan saja, meskipun disimpan pada kondisi optimum (Bewley & Black, 1994). Prosedur penyimpanan ini tidak efisien untuk penyimpanan benih kakao jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan metode penyimpanan benih kakao yang dapat memperpanjang masa dormansi benih, sehingga dapat memperpanjang masa pengiriman benih sampai ke lokasi
penanaman serta penyimpanan material genetik kakao. Pengembangan teknik perbanyakan tanaman secara klonal yang dinilai cukup efisien untuk saat ini adalah teknik somatic embryogenesis (SE). Teknik perbanyakan ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan teknik perbanyakan klonal secara konvensional (dengan metode sambung atau setek berakar), di antaranya akan diperoleh tanaman yang secara genetik seragam dalam jumlah jutaan hanya dalam waktu singkat serta hanya menggunakan sebagian kecil dari jaringan tanaman sebagai sumber perbanyakan. Tanaman yang dihasilkan dengan teknik SE secara genetik sama dengan induknya, sedangkan secara morfologi serupa dengan tanaman asal biji. Salah satu tahap penting dalam teknik perbanyakan SE adalah pemeliharaan kalus embriogenik, sehingga apabila ditemukan teknik penyimpanan kalus embriogenik dengan teknik kriopreservasi, maka produksi embrio somatik dapat dilakukan tanpa harus melakukan induksi ulang kalus dari eksplan.
Pengertian Teknologi Kriopreservasi Kriopreservasi didefinisikan sebagai teknik penyimpanan untuk spesimen biologi pada suhu yang sangat rendah (-1960C) pada media cryogenic seperti nitrogen cair (Grout,
13
Pancaningtyas
1995; Withers & Engelmann, 1997; LeluWalter et al. 2006). Menurut Jaret (1992), penyimpanan dengan pembekuan pada nitrogen cair merupakan metode yang potensial untuk penyimpanan dalam jangka panjang untuk konservasi plasma nutfah tumbuhan. Pada suhu yang sangat rendah seluruh proses pembelahan sel dan metabolisme berhenti, dan mengalami konservasi yang secara teoritis tidak terbatas oleh waktu (Engelmann, 2004). Penyimpanan material tanaman dengan teknik kriopreservasi, proses pembelahan sel dan proses metabolisme dalam sel, jaringan atau organ yang disimpan dapat dihentikan, sehingga bahan tanaman dapat disimpan tanpa terjadi modifikasi atau perubahan dalam waktu yang tidak terbatas (Ashmore, 1997). Teknik penyimpanan ini didasarkan pada salah satu metabolisme reduksi (kehilangan media kultur, dehidrasi sebagian) atau panahanan metabolisme melalui kriopreservasi dalam nitrogen cair pada suhu -196°C. Metode ini sudah dilakukan pada embrio somatik kopi. Berbagai macam keberhasilan telah dicapai seperti penumbuhan kembali embrio melalui embrio sekunder (Desbrunais et al., 1988, Tessereau, 1993) atau perubahan perkembangan tanaman melalui perkecambahan langsung embrio setelah proses media cair (Hatanaka et al., 1994). Menurut Jekkel et al. (1998) pada nitrogen cair dapat meminimalisir terjadinya kerusakan, sehingga teknik kriopreservasi banyak dimanfaatkan untuk konservasi plasma nutfah dalam bentuk biji, karena selain lebih mudah dan lebih sederhana untuk disimpan, tidak terjadi penurunan viabilitas (Madhava & Sreenath, 1999).
Keunggulan Teknologi Kriopreservasi Sebagai satu-satunya metode konservasi jangka panjang yang tersedia bagi tumbuhan
14
berbiji rekalsitran, penerapan kriopreservasi di Indonesia merupakan hal yang sangat diperlukan, mengingat potensi plasma nutfah tumbuhan yang sebagian besar berbiji rekalsitran, semi-rekalsitran atau berbiak vegetatif, yaitu pohon hutan, buah-buahan, umbi umbian, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan. Kondisi infrastruktur termasuk kemungkinan suplai nitrogen cair serta peralatan lainnya, adanya laboratorim kultur jaringan tanaman pada berbagai lembaga penelitian serta dimulainya penelitian pengembangan protokol kriopreservasi, sangat memungkinkan bagi pemanfaatan metode ini di Indonesia. Pemanfaatan kriopreservasi dalam koleksi rutin plasma nutfah tumbuhan di Indonesia dapat dimulai dengan penggunaan peralatan sederhana dan lebih ekonomis untuk spesies dengan tingkat pertumbuhan kembali (shoot recovery) yang telah cukup memadai sambil terus dilakukan pengujian pengembangan protokol yang lebih intensif, sehingga memungkinkan pertumbuhan kembali yang memadai bagi spesies lainnya (Leunufna, 2007). Konservasi dalam waktu yang lama untuk sumber daya genetik tanaman menggunakan kriopreservasi bergantung dari pembekuan embrio dan/atau shoot tip. Embrio dan shoot tip merupakan struktur komplek dengan komposisi sel yang heterogen, yang kemudian membutuhkan perlakuan perlindungan cryogenic untuk memastikan konservasi secara terintegrasi pada srukturnya dan ketika terkait dengan spesies tanaman dari daerah tropis, perlakuan khusus dibutuhkan untuk menginduksi toleransi dingin secara buatan, karena tanaman tropis tidak mengembangkan mekanisme toleransi dingin dan sangat sensitif terhadap suhu rendah (Engelmann, 2000). Penerapan teknik penyimpanan dengan metode kriopreservasi tampaknya merupakan strategi potensial apabila diterapkan untuk pemeliharaan embrio somatik kakao, bahkan
Perkembangan teknologi kriopreservasi pada tanaman serta peluang penerapannya pada kakao (Theobroma cacao L.)
kemungkinan merupakan metode penyimpanan terbaik dan efisien untuk multiplikasi embrio. Di samping itu dengan teknik kriopreservasi dapat digunakan untuk memodifikasi embrio somatik supaya dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu, maupun jika akan langsung dikecambahkan di media tumbuh. Hasil penelitian terkini menunjukkan tidak ditemukannya abnor-
malitas secara morfologi setelah di tempatkan pada media regenerasi (Ming-Hua & Sen-Rong, 2010). Kriopreservasi mengacu pada penyimpanan organisme hidup pada suhu yang sangat rendah, yang nantinya masih dapat disegarkan dan dipulihkan kembali seperti pada kondisi sebelum dilakukan penyimpanan. Penyimpanan jangka panjang dalam waktu
Tabel 1. Perbadingan beberapa keunggulan dan kelemahan dari metode kriopreservasi menurut Day et al. ( 2005) Table 1. Comparison some strengthen and weakness of Cryopreservasion according to Day et al. (2005)
Keuntungan
Kelemahan
1. Memberikan stabilitas terhadap perubahan komposisi genetik dari kultur waktu ke waktu akibat seleksi dan/atau pergeseran genetik.
1. Membutuhkan persiapan awal terhadap peralatan, supply dan training khusus.
2. Melindungi kultur dari masalah kontaminasi mikroba akibat kesalahan penanganan dan kesalahan pelabelan, atau kerusakan mekanis dari fasilitas kultur. 3. Membutuhkan tempat penyimpanan yang tidak terlalu besar, karena umumnya kultur hanya membutuhkan 1 atau 2 ml volume media. 4. Mengurangi biaya pemeliharaan jangka panjang ketika banyak strain yang harus dipertahankan.
yang tidak terbatas membutuhkan pemeliharaan terhadap organisme pada suhu perubahan menjadi seperti kaca dalam larutan bersuhu -130 0C, suhu ketika terjadi pembekuan air dalam waktu yang lambat akan menyublim dan mengkristal. Meskipun demikian, pembekuan pada suhu ekstra dingin dimungkinkan dapat menstabilisasi sel hidup selama seminggu, bahkan tahunan, sehingga nitrogen cair dibutuhkan untuk penyimpanan dalam waktu yang lama. Cyanobacteria
2. Membutuhkan fasilitas back up untuk ketahanan yang lebih tinggi, sejak kultur dicairkan dari kondisi beku yang umumnya tidak bertahan meskipun terjadi sesaat di bawah kondisi yang tidak terkontrol. 3. Membutuhkan keteraturan dalam hal supply (setidaknya selama satu bulan) untuk kebutuhan nitrogen cair atau alat pembeku pada suhu yang sangat rendah (-1500C) yang dapat diandalkan. 4. Pada umumnya membutuhkan 2-3 minggu untuk menghasilkan kultur yang tumbuh vigor dalam jumlah yang besar dari hasil pembekuan.
adalah salah satu contoh sel hidup yang mengalami kerusakan karena stres osmosis dan/atau kerusakan akibat pengkristalan es selama proses pembekuan dan pencairan. Cara paling efektif untuk meminimalisir potensi kematian adalah dengan menambahkan bahan cryoprotective pada kultur yang diprioritaskan untuk penyimpanan beku, dan untuk mengkontrol proses tingkat pendinginan dan pemanasan selama pengawetan (Baust, 2002).
15
Pancaningtyas
Saat ini telah dikembangkan pembekuan embrio dengan metode vitrifikasi yang lebih mudah dilakukan dan jauh lebih sederhana. Pada metode vitrifikasi, material yang akan dibekukan ditempatkan dalam media hiperosmolaritas atau cryoprotectant berkonsentrasi tinggi. Setelah itu material langsung dicelupkan ke dalam nitrogen cair sehingga larutan yang beku ini seolah-olah menjadi seperti kaca. Fenomena yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel selama kriopreservasi terutama terjadi selama tahap pembekuan, yang meliputi: efek solusi, pembentukan es ekstraseluler, dehidrasi dan pembentukan es intraseluler. Sebagian besar efek ini dapat dikurangi dengan cryoprotectants. Ketika telah mencapai tahap beku, bahan diawetkan relatif aman dari kerusakan lebih lanjut. Namun, perkiraan berdasarkan akumulasi radiasi kerusakan DNA selama penyimpanan kriogenik telah menyarankan periode penyimpanan maksimal 1000 tahun. Teknikteknik utama untuk mencegah kerusakan pada kriopreservasi adalah kombinasi mapan tingkat yang terkendali dan pembekuan lambat di satu sisi, dan proses pembekuan flash baru yang dikenal sebagai vitrifikasi di sisi lain (Vyutavanich, 2010).
Perkembangan Teknologi Kriopreservasi Kriopreservasi, suatu metode penyimpanan tanaman pada suhu ekstrim dingin petama kali ditemukan pada tahun 1937 (Luyet, 1937). Akan tetapi penelitian dan pemanfaatannya secara rutin berlangsung intensif mulai dekade 1990an. Di awal dekade 1990an kriopreservasi telah diteliti pada lebih dari 100 spesies tanaman (Takagi, 2000). Saat ini lebih dari 3000 aksesi dari 20 genera tanaman telah disimpan secara kriopreservasi di beberapa negara di dunia (Reed, 2002). Jumlah spesies tanaman yang
16
telah dikembangkan hingga saat ini menggunakan protokol kriopreservasi telah lebih dari 200 spesies (Engelmann, 2004), dan jumlah tersebut mengalami peningkatan secara terus menerus, dimana kriopreservasi secara rutin telah diaplikasikan untuk konservasi plasma nutfah dalam waktu yang lama. Jenis-jenis tanaman yang telah berhasil disimpan secara kriopreservasi antara lain adalah jeruk (Sakai et al., 1990), kopi (Abdelnour-Esquivel et al., 1992; Normah & Vengadasalam, 1992; Hatanaka et al., 1994), kelapa (Assy-Bah & Engelmann, 1992), ubi jalar (Towill & Jaret, 1992), kelapa sawit (Dumet et al., 1993), kentang (Hirai & Sakai, 1999), kiwi (Bachiri et al., 2001), kakao (Florin et al., 2000; Fang et al., 2004), nanas (Gamez-Pastrana et al., 2004), pisang (Panis et al., 2005), jahe (Yamuna et al., 2007), mangga (Wu et al., 2007), Pinus (Salaj et al., 2007), dan purwoceng (Roostika et al., 2007). Masingmasing tanaman memerlukan perlakuan yang berbeda untuk memastikan keberhasilan dari proses kriopreservasi. Hal ini sebagaimana pernah dijelaskan oleh McLellan et al. (1990), yaitu perlunya pengembangan protokol yang spesifik untuk kriopreservasi jaringan yang diadaptasikan untuk setiap individu tanaman atau bahkan untuk setiap genotipe, termasuk spesies. Metode kriopreservasi dalam bidang bioteknologi merupakan suatu peluang yang baik untuk penyimpanan bahan tanaman kakao sebagai tanaman yang bijinya tergolong rekalsitran. Metode ini juga bermanfaat untuk kepentingan konservasi plasma nutfah. Kriopreservasi menggunakan encapsulation-dehydration untuk jangka panjang telah dikembangkan untuk konservasi plasma nutfah kakao. Kemampuan hidup dari tiap individu embrio somatik yang dienkapsulasi setelah desikasi dan kriopreservasi dapat dicapai melalui optimasi
Perkembangan teknologi kriopreservasi pada tanaman serta peluang penerapannya pada kakao (Theobroma cacao L.)
larutan cryoprotectant (ABA dan gula), lama waktu osmosis dan evaporasi dehidrasi, serta tahapan perkembangan embrio (Fang et al., 2004). Menggunakan teknik kriopreservasi, suatu organ atau jaringan dapat disimpan dalam waktu lama tanpa adanya penurunan viabilitas, sehingga dapat menunjang kelestarian sumber daya hayati, dan lebih spesifik akan menunjang keberlanjutan produksi kakao dunia. Dalam perkembangannya, menggunakan teknik terbaru, kriopreservasi telah diterapkan untuk menyimpan kalus embriogenik kakao. Dengan metode ini kalus tersebut dapat disimpan dalam waktu lama dan masih mampu diekspresikan untuk menghasilkan embrio somatik (Florin et al., 2000).
Protokol Standar Kriopreservasi Teknik kriopreservasi pada berbagai sel, jaringan, dan organ telah banyak dilakukan, demikian juga dengan kriopreservasi embrio. Salah satu cara penyediaan embrio yang telah banyak dilakukan adalah pengawetan dengan metode freezing atau pembekuan melalui slow freezing, rapid freezing, dan ultra rapid freezing. Secara teknis, metode vitrifikasi dapat memperkecil kerusakan sel embrio akibat kristal es ekstraseluler, seperti yang dinyatakan oleh Kasai (1996) bahwa setelah dilakukan pengamatan terhadap embrio dari beberapa spesies, metode vitrifikasi dapat mengurangi kerusakan akibat pembekuan, karena suhu kritis dapat dilampaui sangat cepat. Sementara itu Jekkel et al. (1998) pernah meneliti teknik kriopreservasi dengan metode desikasi melalui pengeringan menggunakan udara. Pada waktu itu disimpulkan bahwa metode tersebut merupakan metode yang paling mudah diterapkan dibandingkan metode menggunakan cryoprotectant. Kriopreservasi untuk struktur organisme telah mengalami perkembangan, khususnya
untuk spesies tanaman dari daerah tropis, melalui pengembangan beberapa prosedur dasar teknik vitrifikasi seperti encapsulationdehydration, vitrivication dan pendekatan droplet-vitrification. Teknik tersebut kemudian disertai dengan peningkatan dalam hal ketahanan dan pemulihan setelah kriopreservasi, dibandingkan dengan protokol dasar proses kristalisasi secara konvensional. Hal ini membuktikan bahwa teknik tersebut lebih efektif untuk diaplikasikan dalam skala besar bagi embrio dan shoot tip pada berbagai tanaman. Strategi dalam melakukan teknologi kriopreservasi telah mengalami peningkatan dalam penerapannya untuk konservasi plasma nutfah (Gonzalez-Arnao et al., 2008). Beberapa tahapan yang dapat diterapkan dalam kriopreservasi menurut Roostika & Mariska (2004) adalah perlakuan pratumbuh, prakultur, pemuatan (loading), dehidrasi jaringan, pembekuan, pencairan (thawing) dan pemulihan (recovery). Perendaman jaringan dalam cryoprotectant secara langsung dapat menyebabkan efek merusak sel karena stres osmotik yang disebabkan oleh tingginya molaritas larutan dehidrasi. Hasil penelitian lebih lanjut oleh Roostika et al. (2007) menunjukkan bahwa larutan membutuhkan perlakuan khusus untuk meningkatkan toleransi terhadap stres osmotik akibat tingginya konsentrasi (molaritas) larutan cryoprotectant. Untuk meningkatkan toleransi desikasi, perlakuan pembekuan dengan subkultur embriogenik pada media yang mengandung konsentrasi sukrosa ditingkatkan sampai konsentrasi akhir 300g/l. Teknik kriopreservasi yang efisien untuk menumbuhkan tunas jahe secara in vitro telah dikembangkan berdasarkan prosedur encapsulation dehydration, encapsulation vitrification dan vitrification. Perlakuan pendahuluan untuk tumbuh dan kultur diperlukan untuk mendapatkan kemampuan terbaik untuk tumbuh kembali pada semua teknik tersebut. Pada prosedur vitrifikasi
17
Pancaningtyas
menunjukkan hasil pertumbuhan yang lebih baik (80%) dibandingkan dengan encapsulation vitrification (66%) dan encapsulation dehydration (41%) (Yamuna et al., 2007). Menurut Yin & Hong (2010), encapsulation vitrification merupakan metode yang menjanjikan dan mudah diterapkan untuk pengawetan kalus embriogenik Dioscorea bulbifera, yang memiliki ketahanan hidup sebesar 70%. Air dan keseimbangan osmosis terkait dengan pergerakan air masuk dan keluar dari sel merupakan parameter penting untuk kriopreservasi (Mazur, 2004). Pemindahan air memainkan peranan penting dalam mencegah kerusakaan saat pembekuan dan untuk pemeliharaan viabilitas setelah pencairan. Ada dua tipe protokol untuk kriopreservasi, yang berbeda dari segi mekanisme secara fisik. Yang pertama kita sebut kriopreservasi klasik atau konvensional, pembekuan yang menghasilkan es, sedangkan pada protokol dasar vitrifikasi, pembekuan normal tanpa pembentukan es (Engelmann, 2000). Pada protokol konvensional diperlukan perlakuan pendahuluan pada sample menggunakan larutan cryoprotective yang terdiri dari satu atau campuran colligative substansi kimiawi contohnya dimethyl sulphoxide (DMSO), yang biasanya ditambahkan secara terus menerus meningkat sampai konsentrasi terakhir yang lebih rendah dibandingkan konsentrasi dari larutan cryoprotective yang digunakan pada prosedur dasar vitrifikasi. Pada perlakuan pendahuluan ini memindahkan air dari dalam sel. Sedangkan, pada protokol dasar vitrifikasi menyertakan beberapa tahapan dehidrasi dan desikasi sebelum dilakukan pembekuan dengan memperlakukan sample pada konsentrasi yang tinggi larutan cryoprotective dan/atau kondisi pengeringan secara fisik. Sebagai hasilnya, hampir atau seluruh air yang beku dipindahkan selama proses dehidrasi,
18
pendinginan pada umumnya terbentuk cepat melalui perkecambahan langsung pada nitrogen cair, yang menginduksi vitrifikasi pada larutan internal (Engelmann, 2000). Secara mendalam, vitrifikasi (berasal dari bahasa Latin vitreum dan bahasa Perancis vitrifier) adalah perubahan suatu zat menjadi kaca (Varshneya, 2006). Pada umumnya, hal tersebut dapat terjadi melalui pendinginan suatu larutan secara cepat pada proses perubahan menjadi transparan/kaca. Beberapa reaksi kimia tertentu juga dihasilkan pada proses ini. Aplikasi paling penting adalah proses vitrifikasi pada antifreeze-seperti cairan dalam teknik cryopreservation. Etilen glikol digunakan sebagai antifreeze otomotif dan propilen glikol telah digunakan untuk mengurangi kristal es di es krim, sehingga menjadi halus/lembut. Vitrifikasi mengacu pada proses fisik larutan cryoprotective pada konsentrasi yang tinggi, serta sangat dingin menjadi suhu yang sangat rendah dan akhirnya memadat dalam bentuk kaca yang stabil, tanpa menjadi kristal pada proses pendinginan. Sample kemudian di simpan tanpa merusak pembentukan es intraseluler (Sakai & Engelmann, 2007). Menurut Ojovan & Lee 2010), vitrifikasi sebenarnya merupakan karakteristik untuk material yang tidak berbentuk atau sistem yang tidak beraturan dan terjadi ketika konektivitas antara tiap partikel elemen (atom, molekul, forming blocks) menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ambang batas. Vitrifikasi juga dapat terjadi ketika dimulai dengan cairan seperti air, biasanya melalui pendinginan yang sangat cepat atau pengenalan agen yang menekan pembentukan kristal es. Hal ini berbeda dengan pembekuan biasa yang menghasilkan pembentukan kristal es. Bahan aditif yang digunakan dalam Cryobiology atau diproduksi secara alami oleh organisme hidup di daerah kutub disebut cryoprotectant.
Perkembangan teknologi kriopreservasi pada tanaman serta peluang penerapannya pada kakao (Theobroma cacao L.)
Metode penyimpanan embrio somatik pada dasarnya dapat dipilah menjadi 3, yaitu: 1) Peyimpanan dengan hidrasi embrio. Embrio somatik yang dihasilkan pada media embriogenik diisolasi dan dipindah di atas kertas filter yang diimbibisi oleh media yang sama di dalam petrdishes steril dan disimpan pada kondisi gelap pada suhu 200C. Setelah disimpan, kemudian embrio langsung dikulturkan pada media dan kondisi untuk pengembangan planlet. 2) Penyimpanan dengan dehidrasi embrio. Embrio somatik dibekukan selama 5 minggu dalam media cair dipindah secara langsung ke lingkungan dengan berbagai macam kontrol kelembaban. Sebagai contoh, kandungan garam mineral yang memenuhi dalam desikasi digunakan untuk meregenerasikan kelembaban antara lain: NaCl dengan kelembaban 75%, K2CO3 dengan kelembaban 43%, 3) Penyimpanan dengan pembekuan embrio. Pembekuan dilakukan dengan pencelupan secara langsung dalam nitrogen cair dengan cryotube yang mengandung pre-dried embrio pada suhu 24°C selama 7 hari dengan kelembaban 75% setelah pembekuan menurut kondisi yang telah dijelaskan di atas. Untuk mendapatkan kembali, embrio dicairkan secara langsung melalui penggoyangan selama 2-3 menit dalam bak air suhu +40°C. Beberapa faktor dapat mempengaruhi pemulihan setelah pencairan pada kalus embriogenik yang telah disimpan (Skrlep et al., 2008). Salah satunya adalah aklimatisasi dingin, perlakuan ABA, dan prakultur. Aklimatisasi dingin telah dilaporkan sebagai salah satu metode yang paling penting dalam menunjang kesuksesan kriopreservasi pada sebagian besar tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro. Kerapatan dari suspensi embriogenik dan jenis dari perlakuan pendahuluan sangat mempengaruhi dari proses pemulihan setelah kriopreservasi dari kultur embriogenik, yang dievaluasi melalui kemampuannya bertahan
hidup dan kemampuannya untuk tumbuh kembali. Kerapatan awal dari suspensi sekitar 250 mg/ml dapat meningkatkan kemampuan untuk tumbuh kembali dari sel embriogenik. Perlakuan pendahuluan menggunkan maltose 0,4 M secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan tumbuh dibandingkan dengan sumber karbohidrat lain yang telah di uji. Selain itu, penambahan DMSO yang dikombinasikan dengan PEG 4000 dan sukrose (larutan PSD), bukan DMSO secara tunggal, pada hasil akhirnya, sangat bermanfaat untuk pemulihan jaringan setelah kriopreservasi (Marum et al., 2004). Tahapan perkembangan dari sel embriogenik menunjukkan peranan penting. Inkubasi kalus yang terdiri dari massa embriogenik pada tahapan yang lebih maju yaitu pendewasaan embrio (fase torpedo) selama 90 menit pada PVS2 dan pengawetan pada suhu -1960C, memberikan kemampuan untuk tumbuh dari kalus embriogenik yang sehat dan dapat bertambah secara optimum. Lebih lanjut, pencapaian suhu pencairan pada 450C, menghasilkan kemampuan untuk bertahan hidup maksimum (94%) pada fase torpedo, kemampuan untuk membelah dan lebih dari 70% pendewasaan menjadi fase kotiledon (Lambardi et al. 2005).
KESIMPULAN Dengan keberhasilan kriopreservasi pada beberapa spesies tanaman, khususnya kakao, maka membuka jalan untuk penerapan teknik ini di Indonesia. Penerapan tersebut dapat ditujukan untuk menyimpan benih kakao, sehingga dapat memperpanjang waktu dormansi benih sehingga menunda perkecambahannya. Penundaan ini bermanfaat dalam pengelolaan pengiriman benih dari sumber benih ke lokasi penanaman serta bermanfaat untuk tujuan penyimpanan material genetik kakao. Disamping itu metode ini juga dapat digunakan untuk
19
Pancaningtyas
menyimpan kalus embriogenik, maupun embrio somatik kakao, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai materi perbanyakan tanaman kakao secara klonal, sehingga tidak mengubah sifat genetik tanaman. DAFTAR PUSTAKA Abdelnour-Esquivel, A.; V. Villalobos & F. Engelmann (1992). Cryopreservation of zygitic embryos of Coffea spp. CryoLetters, 13, 297-302. Ashmore, S.E. (1997). Status report on the development and application of in vitro technique to the conservation and use of plant genetic resources, 67. IPGRI, Queensland, Australia. Assy-Bah, B. & F. Engelmann (1992). Cryopreservation of mature embryos of coconut (Cocos nucifera L.) and subsequent regeneration of planlets. CryoLetters, 13, 117-126. Bachiri, Y.; G.Q. Song; P. Plessis; A. ShoarGhaffari; T. Rekab & C. Morriset (2001). Routine cryopreservation of kiwi fruit (Actinidia spp.) germplasm by encapsulation dehydration: importance of plant growth regulators. CryoLetters, 22, 61-74. Baust, J.M. (2002). Molecular mechanisms of cellular demise assosciated with cryopreservation failure. Cell Preservation Technology, 1, 17-31 Bewley, J.D.& M. Black (1994). Seeds: Physiologi of Development and Germination. 3rd Edition. Plenum Press. London.
Engelmann, F. (2000). Importance of cryopreservation for the conservation of plant genetic resources. In: F. Engelmann & H. Takagi (eds) Cryopreservation of tropical plant germplasm: current research progress and application. JIRCAS, Tsukuba/IPGRI, Rome. Fang J.Y.; A. Wetten & P. Hadley (2004). Cryopreservation of cocoa (Theobroma cacao L.) somatic embryos for long-term germplasm storage. Plant Science, 166, 669-675 Florin B., E. Brulard & V. Pétiard (2000). In vitro cryopreservation of cacao genetic resources. pp 344-347. In: F. Engelman & H. Tagaki (eds) Cryopreservation of tropical plant germplasm. Japanese International Research Centre for Agricultural Sciences and IPGRI, Rome, Italy. Engelmann, F. (2004). Cryopreservation: progress and prospects. In vitro Cell Dev Biol Plant, 40, 427-433. Gamez-Pastrana, R.; Y. Martinez-Ocampu; C.I. Beristain & M.T. Gonzalez-Arnao (2004). An improved cryopreservation protocol for pineapple apices using en ca p su l a ti on -vi t r i fi ca t i on . CryoLetters, 25, 404-414. Gonzalez-Arnao, M.T.; A. Panta; W.M. Roca; R.H. Escobar & F. Engelmann (2008). Development and large scale application of cryopreservation techniques for shoot and somatic embryo cultures of tropical crops. Plant Cell, Tissues and Organ Culture, 92, 1-13.
Day, J.G. & J.J. Brand (2005). Alga Culturing Techniques : Cryopreservation methods for maintaining microalgal cultures (Chapter 12). Academic press.
Grout, B.W.W. (1995). Introduction to the In Vitro Preservation of Plant Cells, Tissues and Organs. p. 1-17. In : B. Grout (Ed.). Genetic Preservation of Plant Cells In Vitro.
Dumet, D.; F. Engelmann; N. Chabrillange & Y. Duval (1993). Cryopreservation of oil palm (Elaeis guinensis Jack.) somatic embryos involving a desiccation step. Plant Cell Rep., 12, 352-355.
Hatanaka, T.; T. Yasuda; T. Tamaguchi & A. Sakai (1994). Direct regrowth of encapsulated somatic embryos of coffee (Coffea canefora) after cooling in liquid nitrogen. CryoLetters, 15, 47-52.
20
Perkembangan teknologi kriopreservasi pada tanaman serta peluang penerapannya pada kakao (Theobroma cacao L.)
Hirai, D & A. Sakai (1999). Cryopreservation of in vitro grown axillary shoot tip meristems of potato (Solanum tuberosum L.) by encapsulation-vitrification. Potato Res, 42, 153-160. Jekkel, Zs.; G. Gyulai; J. Kiss & L.E. Heszky (1998). Cryopreservation of horsechesnut (Aesculus hippocastenum L.) somatic embryos using three different freezing methodes. Plant Cell, Tissues and Organ Culture, 52, 193-197. Jong-Yi, F.; A. Wetten & P. Hadley (2004). Cryopreservation of cocoa (Theobroma cacao L.) somatic embryos for long-term germplasm storage. Plant Science, 166, 669–675. Kasai, M. (1996). Simple and Efficient Methods for Vitrification of Mammalian Embryos. Animal Reproduction Sciences, 42, 67-75. Lambardi, M.; A. De Carlo & M. Capuana (2005). Cryopreservation of embryogenic callus of Aesculus hippocastanum L. by vitrification or one-step freezing. CryoLetters 26, 185-92.
Mazur, P. (2004). Principles of cryobiology. In: B.J. Fuller; N. Lane & E.E. Benson (eds) Life in the Frozen State. CRC Press. McLellan, M.R.; E.W.M. Schrijnemakers & F. van Iren (1990). The responses of four cultured plant cell lines to freezing and thawing in the presence or absence of cryoprotectant mixtures. Cryoletters, 11, 189-204. Ming-Hua, Y. & H. Sen-Rong (2010). A simple cryopreservation protocol of Dioscorea bulbifera L. embryogenic calli by encapsulation-vitrification. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 101, 349-358. Normah, M.N. & M. Vengadasalam (1992). Effect of moisture content on cryopreservation of Coffea and Vigna seeds and embryos. CryoLetters, 13, 199-208. Ojovan, M.I. & W.E. Lee (2010). Connectivity and glass transition in disordered oxide systems J. Non-Cryst. Solids, 356, 2534-2540.
Lelu-Walter, A.M.; M. Bernier Cardou & K. Klimaszewska (2006). Simplified and improved somatic embryogenesis for clonal propagation of Pinus pineaster Ait.. Plant Cell Rep, 25, 767-776.
Panis, B.; B. Piette & D. Swennen (2005). Droplet vitrification of apical meristems: a cryopreservation protocol applicable to all Musaceae. Plant Science, 168, 45-55.
Leunufna, S. (2007). Kriopreservasi untuk konservasi plasma nutfah tanaman: Peluang Pemanfaatannya di Indonesia. Jurnal Agrobiogen, 3, 80-88.
Roostika, I. & I. Mariska (2004). Pemanfaatan teknik kriopreservasi dalam penyimpanan plasma nutfah tanaman. Buletin Plasma Nutfah, 9, 10-18.
Luyet, B.J. (1937). The vitrification of organic colloids and ofprotoplasms. Biodinamica, 1, 1-14.
Roostika, I.; I. Darwati & R. Megia (2007). Kriopreservasi Tanaman Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Dengan Teknik Vitrifikasi. Berita Biologi, 8, 423-431.
Madhava Naidu, M. & H.L. Sreenath (1999). In vitro culture of coffee zygotic embryos for germplasm preservation. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 55, 227–230. Marum, L.; C. Estavo; M.M. Olivera; S. Amancio; L. Rodrigues & C. Miguel (2004). Recovery of cryopreserved embryogenic culture of maritime pineeffect of cryoprotectant and suspension density. CryoLetters, 25, 363-74.
Reed, B.M. (2002). Implementing cryopreservation for longtermgermplasm preservation in vegetativelypropagatedspecies. Biotechnology in Agriculture and Forestry, Cryopreservation of Plant Germplasm,11, 23-33. Sakai, A. & F. Engelmann (2007). Vitrification, encapsulation-vitrificatiion and drop-
21
Pancaningtyas
let-vitrification. CryoLetters, 28, 72-151. Salaj, T.; B. Panis; R. Swennen & J. Salaj (2007). Cryopreservation of embryogenic tissues of Pinus nigra Arn. by a slow freezing method. CryoLetter, 28, 69-76. Takagi, H. (2000). Recent development in cryopreservatiion of shoot apices of tropical species. In: F. Engelmann; H. Takagi (eds) Cryopreservation of tropical plant germplasm: current research progress and application. JIRCAS, Tsakuba/IPGRI, Rome. Towill, L.E. & R.L. Jarret (1992). Cryopreservation of sweet potato (Ipomea batatas (L.) Lan) shoot tips by vitrification. Plant Cell Report, 11, 175-178. Varshneya, A.K. (2006). Fundamentals of inorganic glasses. Sheffield: Society of Glass Technology. Vutyavanich, T.;W. Piromlertamorn & S. Nunta (2010). Rapid freezing versus slow programmable freezing of human spermatozoa. Fertil Steril, 93, 1921–1928. Withers, L. & F. Engelmann (1997). In vitro conservation of plant genetic resources. In: Altman A (ed) Agricultural biotechnology. Marcel Dekker, Inc., New York. Wu, J.Y.; X.L. Huang & Q.Z. Chen (2007). Induction and cryopreservation of embryogenic cultures from nucelli and immature cotyledon cuts of mango (Mangiferaindica L. var. Zihua). Plant Cell Rep., 26, 161-168. Yamuna, G.; V. Sumathi; S.P. Geetha; K. Praveen; N. Swapna & K.N. Babu (2007). Cryopreservation of in vitro grown shoots of ginger (Zingiber officinalen Rosc.). CryoLetters, 28, 52-241. Jekkel, Zs.; G. Gyulai; J. Kiss & L.E. Heszky (1998). Cryopreservation of horsechesnut (Aesculus hippocastenum L.) somatic embryos using three different freezing methodes. Plant Cell, Tissues and Organ Culture, 52, 193197.
22
Jong-Yi, F.; A. Wetten & P. Hadley (2004). Cryopreservation of cocoa (Theobroma cacao L.) somatic embryos for long-term germplasm storage. Plant Science, 166, 669–675. Kasai, M. (1996). Simple and Efficient Methods for Vitrification of Mammalian Embryos. Animal Reproduction Sciences, 42, 67-75. Lambardi, M.; A. De Carlo & M. Capuana (2005). Cryopreservation of embryogenic callus of Aesculus hippocastanum L. by vitrification or one-step freezing. CryoLetters, 26, 185-92. Lelu-Walter, A.M.; M. Bernier Cardou & K. Klimaszewska (2006). Simplified and improved somatic embryogenesis for clonal propagation of Pinus pineaster Ait. Plant Cell Rep, 25, 767776. Leunufna, S. (2007). Kriopreservasi untuk konservasi plasma nutfah tanaman: Peluang Pemanfaatannya di Indonesia. Jurnal Agrobiogen, 3, 80-88. Luyet, B.J. (1937). The vitrification of organic colloids and ofprotoplasms. Biodinamica, 1, 1-14. Madhava Naidu, M. & H.L. Sreenath (1999). In vitro culture of coffee zygotic embryos for germplasm preservation. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 55, 227–230. Marum, L.; C. Estavo; M.M. Olivera; S. Amancio; L. Rodrigues & C. Miguel (2004). Recovery of cryopreserved embryogenic culture of maritime pine-effect of cryoprotectant and suspension density. CryoLetters, 25, 363-74. Mazur, P. (2004). Principles of cryobiology. In: B.J. Fuller; N. Lane & E.E. Benson (eds) Life in the Frozen State. CRC Press. McLellan, M.R.; E.W.M. Schrijnemakers & F. van Iren (1990). The responses of four cultured plant cell lines to freezing and thawing in the presence or
Perkembangan teknologi kriopreservasi pada tanaman serta peluang penerapannya pada kakao (Theobroma cacao L.)
absence of cryoprotectant mixtures. Cryoletters, 11, 189-204. Ming-Hua, Y. & H. Sen-Rong (2010). A simple cryopreservation protocol of Dioscorea bulbifera L. embryogenic calli by encapsulation-vitrification. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 101, 349-358. Normah, M.N. & M. Vengadasalam (1992). Effect of moisture content on cryopreservation of Coffea and Vigna seeds and embryos. CryoLetters, 13, 199-208. Ojovan, M.I. & W.E. Lee (2010). Connectivity and glass transition in disordered oxide systems J. Non-Cryst. Solids, 356, 2534-2540. Panis, B.; B. Piette & D. Swennen (2005). Droplet vitrification of apical meristems: a cryopreservation protocol applicable to all Musaceae. Plant Science, 168, 45-55. Roostika, I. & I. Mariska (2004). Pemanfaatan teknik kriopreservasi dalam penyimpanan plasma nutfah tanaman. Buletin Plasma Nutfah, 9, 10-18. Roostika, I.; I. Darwati & R. Megia (2007). Kriopreservasi Tanaman Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Dengan Teknik Vitrifikasi. Berita Biologi, 8, 423-431. Reed, B.M. (2002). Implementing cryopreservation for longtermgermplasm preservation in vegetative-lypropagatedspecies. Biotechnology in Agriculture and Forestry, Cryopreservation of Plant Germplasm, 11, 23-33. Sakai, A. & F. Engelmann (2007). Vitrification, encapsulation-vitrificatiion and droplet-vitrification. CryoLetters, 28, 72-151.
Salaj, T.; B. Panis; R. Swennen & J. Salaj (2007). Cryopreservation of embryogenic tissues of Pinus nigra Arn. by a slow freezing method. CryoLetter, 28, 69-76. Takagi, H. (2000). Recent development in cryopreservatiion of shoot apices of tropical species. In: F. Engelmann; H. Takagi (eds) Cryopreservation of tropical plant germplasm: current research progress and application. JIRCAS, Tsakuba/IPGRI, Rome. Towill, L.E. & R.L. Jarret (1992). Cryopreservation of sweet potato (Ipomea batatas (L.) Lan) shoot tips by vitrification. Plant Cell Report, 11, 175-178. Varshneya, A.K. (2006). Fundamentals of inorganic glasses. Sheffield: Society of Glass Technology. Vutyavanich, T.;W. Piromlertamorn & S. Nunta (2010). Rapid freezing versus slow programmable freezing of human spermatozoa. Fertil Steril, 93, 1921–1928. Withers, L. & F. Engelmann (1997). In vitro conservation of plant genetic resources. In: Altman A (ed) Agricultural biotechnology. Marcel Dekker, Inc., New York. Wu, J.Y.; X.L. Huang & Q.Z. Chen (2007). Induction and cryopreservation of embryogenic cultures from nucelli and immature cotyledon cuts of mango (Mangiferaindica L. var. Zihua). Plant Cell Rep., 26, 161-168. Yamuna, G.; V. Sumathi; S.P. Geetha; K. Praveen; N. Swapna & K.N. Babu (2007). Cryopreservation of in vitro grown shoots of ginger (Zingiber officinalen Rosc.). CryoLetters, 28, 52-241. *********
23