PERKEMBANGAN SEL-SEL GONADOTROPIN ADENOHIPOFISE MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) PADA PERIODE PRA- DAN PASCALAHIR
R ANNY KARYANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Perkembangan Sel-Sel Gonadotropin Adenohipofise Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Periode Pra- dan Pascalahir merupakan karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. drh. Nurhidayat, MS. dan Drh. Supratikno, MSi. Penelitian ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
R Anny Karyani NRP B04104018
2
ABSTRAK R ANNY KARYANI. Perkembangan Sel-Sel Gonadotropin Adenohipofise Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Periode Pra- dan Pascalahir. Di bawah bimbingan NURHIDAYAT dan SUPRATIKNO. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pola perkembangan sel-sel gonadotropin (luteinizing hormone/LH dan follicle stimulating hormone/FSH) adenohipofise monyet ekor panjang/MEP (Macaca fascicularis) pada periode pradan pascalahir. Penelitian ini menggunakan lima hipofise fetus MEP umur kebuntingan 70 hari (F70), 85 hari (F85), 100 hari (F100), 120 hari (F120) dan 150 hari (F150) serta dua sampel hipofise anak umur 10 hari (A10) dan 105 hari (A105). Sayatan hipofise MEP diwarnai secara imunohistokimia dengan menggunakan anti human βLH dan βFSH rabbit serum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sel-sel imunoreaktif LH (ir-LH) telah dapat dideteksi pada F70. Kepadatan sel-sel ir-LH mengalami sedikit penurunan pada F120 dan relatif konstan pada F150. Sedangkan, sel-sel imunoreaktif FSH (ir-FSH) baru terdeteksi pada F100. Kepadatan sel-sel ir-FSH mulai meningkat pada F150 dan distribusinya relatif konstan sampai A105. Sel-sel gonadotropin ini umumnya tersebar di seluruh daerah pars distalis dengan kecenderungan lebih banyak pada sex zone. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada MEP, perkembangan sel-sel LH terjadi lebih awal dari pada sel-sel FSH dan pola distribusinya mirip dengan pada manusia dan babi. Kata kunci : perkembangan, sel gonadotropin, LH, FSH
3
ABSTRACT R ANNY KARYANI. The Development of Adenohypophysis Gonadotrophin Cells of Long Tailed Monkey (Macaca fascicularis) During Pre- and Postnatal Period. Under supervision of NURHIDAYAT and SUPRATIKNO. The objective of this research was to study the development pattern of adenohypophysis gonadotrophin cells (luteinizing hormone/LH cells and follicle stimulating hormone/FSH cells) of long tailed monkey/MEP (Macaca fascicularis) during pre- and postnatal period. This research used hypophysis collected from fetuses aged 70 (F70), 85 (F85), 100 (F100), 120 (F120) and 150 (F150) days of gestation and two postnatal aged 10 (A10) and 105 (A105) days old. The sections of hypophysis were stained immunohistochemically using antihuman βLH and βFSH rabbit serum. The results showed that the LH immunoreactive (LH-ir) cells were detected at F70. The density of LH-ir cells were slightly decreased at F120 and appeared establish at F150, while, FSH immunoreactive (FSH-ir) cells were detected at F100. The density of FSH-ir cells was increased at F150 and their distribution to the definitive areas appeared establish at A105. Generally, the gonadotrophin cells were distributed in all areas of pars distalis but more abundant in the sex zone. Based on the results, we concluded that the development of LH cells appeared to be earlier than FSH cells, and their distribution pattern resembled with human and pig. Key word: development, gonadotrophin cells, LH, FSH
4
RINGKASAN R ANNY KARYANI. Perkembangan Sel-Sel Gonadotropin Adenohipofise Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Periode Pra- dan Pascalahir. Dibimbing oleh NURHIDAYAT dan SUPRATIKNO. Macaca fascicularis/monyet ekor panjang (MEP) merupakan satwa primata yang memiliki kemiripan dengan manusia baik secara anatomis maupun fisiologis, karena adanya kedekatan filogenetik dan perbedaan evolusi yang lebih pendek. Berkaitan dengan banyaknya peran MEP dalam penelitian biomedis, maka perlu didukung oleh data-data dasar dari hewan ini seperti aspek morfologi, fisiologi dan perkembangan struktur organnya. Data tentang perkembangan organ tubuh MEP pada periode pra- dan pascalahir hingga saat ini belum banyak dilaporkan, khususnya yang berhubungan dengan perkembangan kelenjar hipofise. Gonadotropin adalah hormon yang dihasilkan oleh adenohipofise, terdiri dari luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH). Pada masa pralahir, hormon ini mempengaruhi proses diferensiasi seksual, pembentukan folikel primer dan organ kelamin luar. Apabila terjadi gangguan dalam perkembangan sel-sel adenohipofise penghasil gonadotropin, maka dapat mengakibatkan kelainan pada organ-organ seksual yang akan terlihat pada saat pascalahir. Salah satu kelainan yang dapat terjadi berupa abnormalitas pada organ kelamin luar. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan sel-sel gonadotropin adenohipofise MEP pada periode pra- dan pascalahir. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar untuk dapat dikembangkan dan dapat diaplikasikan bagi masyarakat di bidang biomedis. Penelitian ini menggunakan masing-masing satu sampel hipofise fetus MEP umur kebuntingan 70 hari (F70), 85 hari (F85), 100 hari (F100), 120 hari (F120) dan 150 hari (F150) serta anak umur 10 hari (A10) dan 105 hari (A105). Sampel hipofise diambil dan diproses mengikuti prosedur histokimia standar dengan metode parafin (Humason 1967) dan disayat secara serial dengan ketebalan 10 µm. Sayatan diletakkan di atas gelas objek yang telah dilapisi bahan perekat yaitu 2% silan (3- aminopropyltrietoxysilane/APES) dalam aseton. Sayatan hipofise diwarnai secara imunohistokimia dengan metode AvidinBiotin Complex (ABC) (Hsu et al. 1981). Setelah proses deparafinisasi dan rehidrasi, sayatan dilakukan pre-treatment berupa inkubasi dengan 3% hidrogen peroksida selama15 menit dan 10% normal goat serum selama 30 menit pada suhu ruang. Sayatan hipofise selanjutnya diinkubasi dengan anti human βLH dan βFSH rabbit serum (Gift NIDDK, USA), masing-masing dengan pengenceran 1:500 selama 1 malam pada suhu 4oC untuk LH dan 4 malam untuk FSH. Sebagai antibodi kedua digunakan 0,02% rabbit IgG goat serum (Vector Laboratories, Inc.). Untuk visualisasi hasil pewarnaan, sayatan diinkubasi dengan larutan 3,3-diaminobenzidine (DAB) dan untuk pewarnaan latar belakang, digunakan pewarnaan hematoksilin. Hasil pewarnaan kemudian, diamati pola distribusi dan densitas/kepadatan sel dari sel imunoreaktif LH (ir-LH) dan sel imunoreaktif FSH (ir-FSH) terhadap antibodi kedua hormon tersebut dari setiap tingkatan umur sampel.
5
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada F70, kelenjar hipofise telah dapat dibedakan bagian adenohipofise dan neurohipofise. Pada umur ini, proporsi adenohipofise dan neurohipofise relatif seimbang. Seiring dengan bertambahnya umur fetus, bagian adenohipofise berkembang lebih cepat dibandingkan dengan neurohipofise. Gambaran anatomi kelenjar hipofise pada MEP ini secara umum mirip seperti pada manusia, babi dan pada mamalia lainnya. Sel-sel ir-LH pada F70, telah ditemukan di daerah caudal anterior Rathke`s lumen (Ca), caudal distal (Cd), middle zone (M), anterior middle zone (Am), sex zone (S) dan pars tuberalis (T). Densitas sel-sel ir-LH mulai meningkat pada F85 dan mengalami sedikit penurun pada F120 kemudian mulai konstan pada F150 sampai A105. Dengan bertambahnya umur sampel, sel-sel ir-LH tersebar di seluruh daerah pars distalis dengan kecenderungan lebih padat pada daerah S. Sel-sel ir-LH pada MEP terdeteksi relatif lebih awal dan diduga karena sel LH memiliki peranan yang sangat penting dalam proses perkembangan organ kelamin luar, proses diferensiasi seks dan pembentukan folikel primer Sel-sel ir-FSH, belum ditemukan pada F70 dan F85 pada semua daerah pengamatan adenohipofise dan mulai terdeteksi pada F100 di daerah Ca, Cd, M, Am dan S dengan densitas yang sangat rendah. Densitas sel-sel ir-FSH mulai meningkat pada F150 dan mulai konstan pada A105. Dengan bertambahnya umur sampel, sel-sel ir-FSH tersebar di seluruh daerah pars distalis dengan kecenderungan lebih padat di daerah S. Keterlambatan terdeteksinya, sel-sel irFSH karena berhubungan dengan fungsi FSH yang cenderung lebih berperan pada masa pascalahir. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada MEP sel-sel ir-LH terdeteksi lebih awal dibandingkan dengan sel ir-FSH. Secara umum, distribusi kedua sel-sel gonadotropin ini tersebar di seluruh daerah pars distalis dengan kecenderungan lebih padat di daerah S dan pola ini mirip dengan pola distribusi sel gonadotropin pada manusia dan babi. Kata kunci: perkembangan, sel gonadotropin, LH, FSH
6
PERKEMBANGAN SEL-SEL GONADOTROPIN ADENOHIPOFISE MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) PADA PERIODE PRA- DAN PASCALAHIR
R ANNY KARYANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
7
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Perkembangan Sel-Sel Gonadotropin Adenohipofise Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Periode Pra- dan Pascalahir.
Nama
: R Anny Karyani.
NRP
: B04104018.
Menyetujui
Dosen Pembimbing Utama
Dosen Pembimbing Anggota
Dr. drh. Nurhidayat, MS. NIP 131 760 852
Drh. Supratikno, MSi. NIP 132 313 044
Mengetahui, Wakil Dekan FKH
Dr. Nastiti Kusumorini. NIP 131 699 942
Tanggal Lulus:
8
PRAKATA Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan judul Perkembangan Sel-Sel Gonadotropin Adenohipofise Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada Periode Pra- dan Pascalahir.
Tugas akhir ini
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua Orangtua, Nenek dan Kakek penulis yang telah memberikan doa, nasihat, materi, perhatian, serta kasih sayang yang tiada henti diberikan. Sebentuk kasih untuk Adik-adik penulis: Ivana dan Umar. 2. Paman Tedi Nugraha yang telah memberikan waktu, perhatian, kasih sayang dan materi untuk penulis selama penulis kuliah di FKH IPB. 3. Dr. drh. Nurhidayat, MS. sebagai dosen pembimbing akademik dan sekaligus dosen pembimbing skripsi utama yang telah bersedia membimbing, memberikan waktu, memberikan dorongan semangat, arahan, masukan yang berharga, kesabaran dan ilmu yang diberikan kepada penulis hingga akhir penulisan skripsi. 4. Drh. Supratikno, MSi. sebagai dosen pembimbing anggota, yang telah banyak membantu, meluangkan waktu, memberikan saran, masukan yang berharga dan kesabaran selama penelitian dan penulisan skripsi. 5. Dr. drh. Hera Maheswari, MSc. sebagai dosen penguji, yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan dalam skripsi. 6. Drh. Kusdiantoro Muhamad, MSi. sebagai dosen penilai seminar, yang telah memberikan saran untuk perbaikan penulisan skripsi. 7. Drh. Sri Wahyuni, MSi. atas bantuan, dukungan, dorongan semangat yang telah diberikan bagi penulis selama penelitian. 8. Keluarga besar Lab Anatomi (Prof. Dr. drh Koeswirnangning Sigit, MS, Dr. drh. Chairun Nisa’, MSi., Drh. Savitri Novelina, MSi. dan Mas Bayu)
9
yang membuat penulis merasa betah dalam menjalani penelitian dan atas bantuan yang telah diberikan. 9. Sahabat terbaik Dordia A Rotinsulu, yang telah memberikan semangat, saran, dorongan, kasih sayang, pendengar keluh kesah Penulis selama penulisan skripsi ini. 10. Arin dan Debby, yang selalu membantu, memberikan masukan, dorongan semangat, pendengar yang baik selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini. 11. Winda, Ivan, Dwi S, teh Ochi, Krido yang telah membantu, memberikan masukan dan untuk angkatan 41 Asteroidea angkatan terbaik, teristimewa sukses selalu. Amin. 12. Dhita, Revi, Lele, Vita, Palupi, Gia, Dhila, Ranny, Velma, Nila, Dhani, Athi, Ima, Lia, Ridho dan anak-anak Dwi Regina atas yang selalu memberikan semangat kepada penulis selama di kosan.
Terakhir penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademika Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Tak cukup kata bagi pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala bantuan, semangat dan doa yang dipanjatkan. Penulis juga menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan dan kemajuan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
10
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut pada hari Minggu tanggal 28 Desember 1986 dari ayah bernama R Daddy Mediduviantono dan ibu bernama Dian Agustini. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar Penulis mulai pada tahun 1992-1997 di SD PT Condong Garut dan tahun 1997-1998 di SDN Marga Mulya.
Penulis melanjutkan
pendidikan menengah pertama pada tahun 1998-2001 di SLTPN 2 Tarogong Garut. Penulis melanjutkan pendidikan menengah atas pada tahun 2001-2004 di SMUN 2 Tarogong Garut. Tahun 2004 Penulis lulus dari SMUN 2 Tarogong Garut dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis memilih program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas
Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, Penulis mengikuti berbagai kegiatan diantaranya Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Hewan kesayangan dan satwa aquatik, HIMPRO satwa liar, Bendahara Komunitas Seni Steril kepengurusan 2006-2007, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan (IMAKAHI) sebagai pengurus departemen zoonosis, pengurus DKM An-Nahl dan pengurus Himpunan Mahasiswa Islam cabang Fakultas Kedokteran Hewan.
11
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………........ xiv DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
xv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang………………………………………………......... Tujuan Penelitian……………………………………………......... Manfaat Penelitian…………………………………………...........
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Macaca fascicularis………………………………....... Habitat dan Penyebaran Macaca fascicularis.................................. Gambaran Umum Macaca fascicularis........................................... Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Hipofise……………………........ Perkembangan Kelenjar Hipofise……………………………….... Vaskularisasi Kelenjar Hipofise…………………………………... Sel-Sel Gonadotropin dan Perkembangannya..................................
4 5 6 7 8 9 10
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian……………………………….......... Hewan Coba……………………………………………………..... Bahan Penelitian………………………………………………...... Alat Penelitian…………………………………………….............. Pengambilan Sampel…………………………………………….... Proses Pembuatan Blok Parafin dan Pemotongan Preparat…......... Pewarnaan Imunohistokimia pada Kelenjar Hipofise…………...... Pengamatan...................................................................................... Analisis Data…………………………………………………........
14 14 15 15 15 16 17 18 18
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Gambaran Umum Perkembangan Kelenjar Hipofise....................... Perkembangan Sel-Sel Imunoreaktif LH......................................... Perkembangan Sel-Sel Imunoreaktif FSH.......................................
19 19 22
PEMBAHASAN Gambaran Umum Perkembangan Kelenjar Hipofise....................... Perkembangan Sel-Sel Imunoreaktif LH......................................... Perkembangan Sel-Sel Imunoreaktif FSH.......................................
24 24 25
12
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan...................................................................................... Saran.................................................................................................
27 27
DAFTAR PUSTAKA…………………………..........................................
28
LAMPIRAN.................................................................................................
32
13
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Sel dan jenis hormon yang dihasilkan oleh adenohipofise..............
2
Distribusi dan densitas sel-sel ir-LH adenohipofise monyet ekor panjang pada berbagai umur............................................................
3
8
20
Distribusi dan densitas sel-sel ir-FSH adenohipofise monyet ekor panjang pada berbagai umur............................................................
22
14
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Monyet
ekor
panjang
(kiri)
dan
peta
daerah/wilayah
penyebarannya...................................................................................
5
2
Gambaran skematis perkembangan kelenjar hipofise......................
8
3
Gambaran skematis peredaran darah pada kelenjar hipofise mamalia............................................................................................
10
4
Pembagian daerah pemotongan kelenjar hipofise pada babi............
16
5
Pembagian daerah pengamatan kelenjar hipofise.............................
18
6
Potongan medial kelenjar hipofise MEP pada F70, F150 dan A10..
19
7
Distribusi sel-sel ir-LH adenohipofise MEP pada F100 dan A10....
21
8
Distribusi sel-sel ir-FSH adenohipofise MEP pada F100 dan A10..
23
15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Prosedur pembuatan larutan phosphate buffered saline (PBS).........
33
2
Prosedur pembuatan larutan Diaminobenzidine (DAB)....................
34
3
Coating slide dengan silan (3-aminopropyltrietoxysilane/APES)....
35
4
Prosedur pewarnaan imunohistokimia (IHK) metode ABC (Avidin-Biotin Complex method).......................................................
36
16
PENDAHULUAN Latar Belakang Satwa primata merupakan mamalia yang memiliki kemiripan dengan manusia baik secara anatomis maupun fisiologis, karena adanya kedekatan filogenetik dan perbedaan evolusi yang lebih pendek (VandeBerg 1995). Selain itu, satwa primata juga memiliki kemiripan dalam metabolisme tubuh dengan manusia (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Karena kemiripan tersebut, satwa primata
sering
dijadikan
sebagai
penggembangan
berbagai
bidang
hewan ilmu
model
untuk
kesehatan
dan
penelitian biomedis
dan untuk
kesejahteraan manusia. Satwa primata yang banyak dijadikan sebagai hewan model adalah Macaca fascicularis (monyet ekor panjang/MEP).
Saat ini, populasi MEP
menempati urutan pertama dalam hal jumlah dan tersebar luas di Asia Tenggara. Di Indonesia, MEP tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan beberapa tempat di Bali (Supriatna dan Edy 2000). Berdasarkan penggunaannya sebagai hewan model, MEP menempati urutan kedua setelah Monyet Rhesus (Macaca mulatta) (Whitney 1995). Berkaitan dengan banyaknya peran MEP dalam penelitian biomedis, untuk itu perlu didukung oleh data-data dasar hewan ini seperti aspek morfologi, fisiologi dan perkembangan struktur organnya.
Data tentang proses
perkembangan tubuh MEP pada periode pra- dan pascalahir, hingga saat ini belum banyak dilaporkan khususnya yang berhubungan dengan perkembangan kelenjar hipofise. Gonadotropin adalah hormon yang dihasilkan oleh adenohipofise, terdiri dari luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH). Pada masa
diferensiasi
seksual,
pembentukan folikel primer dan perkembangan organ kelamin luar.
Apabila
terjadi
pralahir,
hormon
gangguan
dalam
ini
mempengaruhi
perkembangan
proses
sel-sel
adenohipofise
penghasil
gonadotropin, maka dapat mengakibatkan kelainan pada organ-organ seksual yang akan terlihat saat pascalahir.
Salah satu kelainan yang dapat terjadi berupa
abnormalitas pada organ kelamin luar (Conte dan Grumbach 1997; Fora 2007).
17
Pada hewan dewasa, LH pada betina berfungsi untuk ovulasi, menstimulasi pematangan folikel dan pembentukan corpus luteum (CL) untuk menghasilkan progesteron.
Sedangkan pada jantan, LH berfungsi untuk
menstimulasi sel Leydig (interestitial sel) untuk mensintesis dan mensekresikan testosteron.
Sedangkan FSH pada betina, berfungsi untuk menstimulasi
pematangan dan pertumbuhan folikel pada ovarium dan pada jantan hormon ini berfungsi untuk proses spermatogenesis (Toelihere 1979; Brown 1994; Aron et al.1997). Menurut Taylor dan Martin (1997), pada masa pralahir sel LH terdeteksi lebih awal dibandingkan dengan sel FSH. Hal ini disebabkan fungsi LH pada fetus yang mempengaruhi perkembangan organ kelamin luar, proses diferensiasi seksual dan pembentukan folikel primer.
Pada fetus manusia laki-laki yang
mengalami anensepalik akan menyebabkan perkembangan yang tidak sempurna pada organ kelamin luar dan tidak turunnya testis ke ruang abdomen. Hal ini disebabkan oleh fungsi LH pada masa pralahir yang mengalami gangguan, sehingga sel-sel Leydig tidak dapat memproduksi testosteron.
Hal ini bisa
menyebabkan pseudohermaphroditism yaitu, laki-laki yang memiliki testis tetapi organ kelamin luar tidak sempurna. Sedangkan bila kasus anensepalik terjadi pada fetus wanita, dapat mengakibatkan perkembangan ovarium yang tidak sempurna ditandai dengan menurunnya jumlah folikel primer dan primordial. Akibat lain adalah terjadinya pseudohermaphroditism yang ditandai dengan tidak berkembangnya organ kelamin luar secara sempurna meskipun memiliki ovarium (Kaplan et al. 1976; Conte dan Grumbach 1997). Pada kasus penghilangan adenohipofise atau hipofisektomi total, akan mempengaruhi fungsi dari organ yang dipengaruhi oleh adenohipofise. Demikian pula sekresi sel-sel gonadotropin (FSH dan LH) akan terpengaruh (Capen dan Martin 1989).
Pada fetus Macaca mulatta yang dihipofisektomi pada umur
kebuntingan 111-116 hari, akan mengakibatkan penurunan persentase sel-sel interestitial dan mengurangi jumlah spermatogonia pada jantan (Gulyas et al. 1977). Pada betina keadaan ini akan mengurangi berat ovarium, pengurangan jumlah sel primordial dan akan menyebabkan terjadinya atresia ovari secara signifikan. Pada individu dewasa, akan mengalami defisiensi sel gonadotropin
18
sehingga memperlihatkan gejala klinis yaitu penurunan libido pada jantan, anestrus pada betina, kegagalan ovulasi, kegagalan perkembangan ovum, penurunan ciri-ciri seks sekunder dan kegagalan fungsi dari kelenjar asesoris (Capen dan Martin 1989). Beberapa penelitian mengenai perkembangan hipofise telah dilakukan pada fetus manusia (Baker and Jaffe 1975; Asa et al. 1986), fetus tikus (Sétálό dan Nakane 1972; Nemeskéri et al. 1988), fetus babi (Sasaki et al. 1992), fetus domba (Hadj et al. 1993) dan fetus Anjing Beagle (Sasaki dan Nishioka 1998). Demikian juga, mengenai aksis hipofise-kelenjar adrenal pada Anjing Beagle (Sasaki dan Nishioka 1998), pada MEP (Nurhidayat et al. 2008) dan distribusi sel GH, TSH dan Prolaktin (Supratikno 2008). Sampai saat ini, penelitian mengenai perkembangan sel-sel gonadotropin adenohipofise MEP belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk melengkapi data dasar MEP dan sebagai sumber informasi penelitian selanjutnya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar untuk dapat dikembangkan dan dapat diaplikasikan bagi masyarakat di bidang ilmu kesehatan dan biomedis.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pola perkembangan sel-sel gonadotropin adenohipofise MEP pada periode pra- dan pascalahir.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai perkembangan sel-sel gonadotropin adenohipofise MEP pada periode pra- dan pascalahir.
19
TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Macaca fascicularis Satwa primata merupakan salah satu sumber daya alam yang dimiliki Indonesia yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Satwa primata sering dijadikan sebagai hewan model dalam penelitian ilmu kesehatan dan biomedis untuk kesejahteraan manusia. Satwa primata memiliki nilai ilmiah untuk penelitian biomedis manusia karena memiliki kemiripan anatomis dan fisiologis dengan manusia. Hal ini disebabkan oleh kedekatan filogenetik dan perbedan evolusi yang lebih pendek (VandeBerg 1995; Supriatna dan Edy 2000; Siroris 2005). Menurut Phyllis dan Agustin (1999), ordo primata secara garis besar dibagi dalam dua subordo yaitu Prosimii (primata primitif) dan Anthropoidea (Monyet dan Kera). Superfamili primata secara garis besar dibagi dalam tiga superfamili yaitu Ceboidea (New word monkeys), Cercopithecidea (Old word monkeys) dan Hominoidea (Orang Utan, Simpanse dan manusia).
Dari tiga
superfamilli tersebut, yang sering digunakan sebagai hewan model untuk penelitian adalah Monyet Asia dari superfamili Cercopithecidae, yaitu genus Macaca terutama Macaca fascicularis dan Macaca mulatta (Whitney 1995). Napier dan Napier (1986), membagi genus Macaca menjadi 12 spesies, yaitu M. sylvana, M. silenus, M. sinica, M. nemestrina, M. mulatta, M. radiata, M. fascicularis, M. assamensis, M. arctoides, M. fuscata, M. muara dan M. cyclopis. Monyet ekor panjang/MEP memiliki beberapa nama lain diantaranya M. irus, Monyet Cynomolgus, Long Tailed Monkey, Monyet Pemakan Kepiting (crab eating monkey) dan Monyet Jawa. Taksonomi MEP menurut Phyllis dan Agustin (1999) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Primata
Subordo
: Anthropoidea
20
Infraordo
: Catharrhini
Superfamili
: Cercopithecoidea
Famili
: Cercopithecidae
Subfamili
: Cercopithecinae
Genus
: Macaca
Spesies
: Macaca fascicularis
Habitat dan Penyebaran Macaca fascicularis Kondisi habitat seperti tipe vegetasi dan ketersediaan pakan akan berpengaruh terhadap jumlah populasi MEP. Hal ini dapat dilihat pada populasi MEP di hutan sekunder umumnya lebih banyak dibandingkan dengan di hutan primer.
Selain mempengaruhi jumlah populasi, kondisi habitat juga dapat
mempengaruhi jumlah kelompok.
Sebagai contoh, di hutan primer MEP
beranggotakan 20–30 ekor dan di hutan sekunder MEP beranggotakan 30–50 ekor. Namun MEP lebih banyak tinggal di daerah sekitar penduduk (Whitney 1995; Supriatna dan Edy 2000; Bonadio 2000a). Habitat MEP tersebar mulai dari hutan primer, hutan sekunder, hutan bakau, hutan mangrove dan sepanjang pinggiran sungai (Supriatna dan Edy 2000; Bonadio 2000a). MEP memiliki penyebaran habitat yang luas di Asia Tenggara mulai dari Burma sampai Philipina dan ke arah selatan yaitu Indocina, Malaysia dan Indonesia (Gambar 1) (Whitney 1995; Bonadio 2000a; Siroris 2005).
Gambar 1
Monyet ekor panjang (kiri) dan peta daerah/wilayah penyebarannya (merah) (Bonadio 2000b).
21
Gambaran Umum Macaca fascicularis Monyet ekor panjang/MEP tergolong monyet kecil, monyet ini memiliki rambut berwarna coklat dengan bagian perut berwarna lebih muda disertai rambut keabu-abuan pada bagian muka. Dalam perkembangannya, rambut yang tumbuh pada muka tersebut berbeda-beda antara individu. Perbedaan warna ini, dapat membantu untuk mengenali individu berdasarkan jenis kelamin dan umur. Pada saat dilahirkan (neo-natal), MEP mempunyai rambut yang berwarna hitam yang akan berubah menjadi berwarna abu-abu coklat kemerahan saat MEP menjadi dewasa.
MEP memiliki warna yang lebih terang pada bagian ventral tubuh
(Whitney 1995; Supriatna dan Edy 2000; Bonadio 2000a). MEP
merupakan
satwa
primata
yang
aktivitas
kesehariannya
menggunakan kaki depan dan belakang dalam berbagai variasi untuk berjalan dan berlari (quadrupedalism) (Napier dan Napier 1986).
MEP mempunyai
kemampuan melihat dengan menggunakan kedua mata dalam waktu yang bersamaan (binocular vision). MEP memiliki ekor yang berotot serta ditutupi oleh rambut-rambut pendek (Supriatna dan Edy 2000).
Panjang ekor MEP
biasanya berkisar antara 400-565 mm. Panjang kepala dan badan berkisar antara 350–455 mm.
MEP memiliki bantalan untuk duduk (ischial callosity) dan
memiliki kantung pipi (cheek pouch) yang berfungsi untuk menyimpan makanan sementara. Secara umum, MEP memiliki susunan gigi I2/2, C1/1, PM2/2 dan M3/3 (Napier dan Napier 1986; Smith dan Mongkoewidjojo 1988). MEP mencapai dewasa kelamin pada umur antara 36-48 bulan. Namun dewasa tubuh MEP berkisar antara 4,5-5,5 tahun. Waktu pembiakan (breeding interval) terjadi antara 24-48 bulan, lama kebuntingan MEP 150-180 hari dengan rataan 167 hari. Jumlah anak yang dilahirkan dalam satu kali proses kelahirkan satu ekor (jarang sekali dua ekor) dengan berat bayi yang dilahirkan berkisar antara 420-600 gram. MEP jantan dewasa mempunyai ukuran tubuh lebih besar dari pada betina dewasa. Jantan memiliki berat badan 6-11 kg sedangkan pada betina hingga 4-9 kg. MEP memiliki lama hidup (lifespan) berkisar antara 25-30 tahun (Smith dan Mongkoewidjojo 1988; Whitney 1995; Bonadio 2000a).
22
Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Hipofise Pada manusia, kelenjar hipofise merupakan kelenjar yang relatif kecil yang memiliki diameter kira-kira 1 cm dan berat berkisar atara 0,5–1 gram (Turner dan Bagnara 1976; Guyton 1994). Kelenjar hipofise terletak di dasar otak yaitu di dalam lekukan os sphenoidale yang sering disebut dengan sela tursika atau Turkish saddle dan diselubungi oleh duramater (Capen dan Martin 1989; Aron et al. 1997).
Kelenjar hipofise dihubungkan dengan hipotalamus oleh
tangkai hipofise atau infundibulum (Brown 1994). Menurut Turner dan Bagnara (1976), kelenjar hipofise merupakan penghubung penting dalam sistem neuroendokrin, namun kelenjar ini memiliki kemampuan yang kecil untuk berfungsi secara bebas. Hipofise terbagi menjadi dua bagian yaitu hipofise posterior dan hipofise anterior. Hipofise posterior atau yang sering dikenal dengan neurohipofise terdiri dari median eminence, infundibulum dan pars nervosa. Hipofise anterior yang sering dikenal dengan adenohipofise terdiri dari pars distalis, pars tuberalis dan pars intermedia. Pars distalis merupakan bagian terbesar dari adenohipofise yang tersusun oleh sel-sel spesifik yang menghasilkan hormon (Tabel 1) (Banks 1993; Samuelson 2007). Berdasarkan kemampuan sel dalam mengikat zat warna, sel-sel penyusun adenohipofise dibagi menjadi dua grup yaitu sel kromofilik dan sel kromofob. Sel kromofilik terdiri dari sel asidofil dan sel basofil. Sel asidofil yang terwarnai oleh pewarnaan yang bersifat asam dengan menyerap warna kemerahan pada sitoplasma. Sedangkan sel basofil yang terwarnai oleh pewarnaan yang bersifat basa dengan menyerap warna biru sampai keunguan pada sitoplasma.
Pada
manusia, sel-sel gonadotropin bersifat basofil dengan diameter granula berkisar antara 200 nm dan populasinya berkisar antara 10-15% yang tersebar di seluruh adenohipofise (Banks 1993; Aron et al. 1997; Ganong 2003; Samuelson 2007).
23
Tabel 1 Sel dan jenis hormon yang dihasilkan oleh adenohipofise Sifat sel
Jenis sel
Hormon yang dihasilkan
Asidofil
Somatotrop
Growth hormone (GH) atau somatrotropin (STH)
Laktrotop
Prolactin (PRL)
Tirotop
Thyroid stimulating hormone (TSH)
Gonadotrop
Luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating
Basofil
hormone (FSH) Kortikotrop
Adrenocorticotropic hormone (ACTH)
Perkembangan Kelenjar Hipofise Kelenjar hipofise berkembang dari dua asal yang berbeda yaitu lapisan kecambah ektoderm stomodeum dan ektoderm saraf (Gambar 2).
Lapisan
kecambah ektoderm stomodeum berasal dari rongga mulut primitif dan ektoderm saraf berasal dari diencepalon (Turner dan Bagnara 1976; Banks 1993; Guyton 1994). Pada masa embrional, terjadi evaginasi atap rongga mulut ke arah dorsal yang membentuk kantung Rathke dan akan berkembang menjadi adenohipofise. Pada saat yang bersamaan terjadi evaginasi diensefalon otak ke arah ventral. Akibatnya, otak mengalami perluasan ke arah ventral membentuk neurohipofise (Turner dan Bagnara 1976; Capen dan Martin 1989).
Gambar 2 Gambaran skematis perkembangan kelenjar hipofise (Bowen 2006).
Menurut Sasaki et al. (1992), pada fetus babi umur kebuntingan 25 hari Rathke pouch telah terbentuk dan masih berhubungan dengan rongga mulut primitif.
Selanjutnya, pada fetus umur 40 hari sudah ditemukan pembagian
hipofise fetus yang jelas yaitu telah terbentuk pars distalis, pars tuberalis, pars
24
intermedia dan pars nervosa.
Pada umur tersebut, kelenjar hipofise telah
memperlihatkan bentuk yang sama dengan kelenjar hipofise babi dewasa. Sedangkan pada manusia, perkembangan embrional hipofise di mulai pada umur kehamilan 4 minggu. Diferensiasi dan proliferasi sel-selnya berkembang cepat dan membentuk unit hipotalamo-hipofise pada umur kebuntingan 20 minggu (Aron et al. 1997).
Vaskularisasi Kelenjar Hipofise Menurut Aron et al. (1997), kelenjar hipofise memiliki suplai darah relatif banyak yaitu sekitar 0,8 ml/menit yang berasal dari hubungan sirkulasi portal median eminence hipotalamus dan hipofise anterior.
Darah yang masuk ke
hipofise berasal dari arteri carotis interna yang kemudian bercabang menjadi arteri hipofise superior, medial dan inferior (Aron et al. 1997). Arteri hipofise superior membawa darah ke median eminence hipotalamus yang akan membentuk jalinan kapiler sebagai pleksus primer. Selanjutnya, hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus akan disalurkan ke pleksus tersebut.
Hormon ini, akan berjalan
sepanjang vena porta hipofise pars tuberalis dan berakhir di pleksus sekunder. Pada pleksus sekunder ini, hormon-hormon hipotalamus akan menstimulasi selsel hipofise untuk mensintesis dan mengeluarkan hormon yang kemudian dikeluarkan kembali ke pleksus sekunder. Hormon yang dihasilkan akan beredar bersama sirkulasi darah (Brown 1994). Pada fetus babi umur 40 hari (Sasaki et al. 1992) dan pada fetus Anjing Beagle umur 30 hari (Sasaki et al. 1998), telah ditemukan kapiler-kapiler darah. Pada hipofise pars distalis fetus Anjing Beagle umur 38 hari (Sasaki et al. 1998), telah ditemukan kapiler-kapiler darah yang di suplai dari vena porta hipofise tetapi belum ditemukan adanya pleksus primer di median eminence.
Setelah umur
kebuntingan 52 hari, pada hipofise telah ditemukan pleksus primer di median eminence yang berhubungan dengan vena porta hipofise.
25
Gambar 3
Gambaran skematis peredaran darah pada kelenjar hipofise mamalia (Campbell 2005).
Sel-Sel Gonadotropin dan Perkembangannya Sel-sel gonadotropin adalah sel yang menghasilkan LH dan FSH yang mengatur dan menghasilkan hormon untuk kebutuhan reproduksi (Toelihere 1979; Guyton 1994).
Pada mencit, sel gonadotropin berbentuk polihedral dan
terdistribusi di seluruh daerah, walaupun sel ini lebih banyak ditemukan di daerah sex zone (Baker dan Gross 1978). Menurut Sasaki dan Nishioka (1998), sel LH pada fetus Anjing Beagle awalnya terdeteksi di daerah posterior midventral pars distalis. Sedangkan pada fetus babi, sel LH awalnya terdeteksi di daerah rostral adenohipofise yang lebih dikenal dengan daerah sex zone (Sasaki et al. 1992). TSH, LH dan FSH merupakan hormon glikoprotein heterodimer yang tersusun oleh dua komponen yaitu α glycoprotein yang sama dan β glycoprotein yang bervariasi tergantung dari reseptor hormon masing-masing (Kurosumi dan Inoue 1986; Aron et al. 1997; Styne 1997). Pada hewan dewasa, LH pada betina berfungsi untuk menstimulasi pematangan folikel, menginduksi ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding sel folikel, pelepasan ovum dan pembentukan corpus luteum (CL) dalam menghasilkan progesteron (Toelihere 1979). Sedangkan pada jantan, LH sering disebut juga Interestitial Cell Stimulating Hormone (ICSH) yang berfungsi menstimulasi sel Leydig (interestitial sel) untuk mensintesis dan mensekresikan
26
testosteron (Toelihere 1974; Brown 1994; Styne 1997).
Pada betina, FSH
berfungsi untuk menstimulasi pematangan dan pertumbuhan folikel pada ovarium sedangkan pada jantan untuk proses spermatogenesis (Brown 1994). Pada manusia, sel gonadotropin telah mengalami diferensiasi seks pada umur fetus 15-25 minggu (Asa et al. 1988) dan sel gonadotropin ini baru terdeteksi pada umur kehamilan trimester pertama.
Konsentrasi serum
gonadotropin meningkat pada kehamilan trimester kedua dan secara berangsurangsur menurun sampai awal kelahiran. Konsentrasi serum gonadotropin pada laki-laki lebih rendah dibandingkan pada wanita.
Pada awal kelahiran,
konsentrasi serum gonadotropin mengalami penurunan tetapi setelah beberapa hari pascalahir mengalami peningkatan kembali. Serum gonadotropin rendah selama masa anak-anak merupakan normal (Styne 1997). Menurut Baker dan Jaffe (1975), sel LH sudah terdeteksi pada kultur sel yang berasal dari hipofise fetus umur 7 minggu. Sel LH mulai terdeteksi dengan metode imunohistokimia pada fetus manusia umur kehamilan 12 minggu (Asa et al. 1988) dan 10,5 minggu kehamilan (Baker dan Jaffe 1975). Menurut Asa et al. (1991), sel FSH sudah terdeteksi pada kultur sel yang berasal dari hipofise fetus manusia umur 13 minggu pada wanita dan 20 minggu untuk laki-laki. Menurut Sasaki et al. (1992), dengan lama kebuntingan babi 114 hari, pada fetus babi umur kebuntingan 40 hari sel LH sudah ditemukan pada pars distalis tetapi relatif masih sangat jarang. Pada fetus babi umur 60-80 hari, LH terkonsentrasi di daerah rostral adenohipofise. Pada fetus babi umur kebuntingan 90 hari sel LH menyebar pada semua daerah pars distalis dengan kecenderungan banyak pada daerah sex zone. Pada domba dengan lama kebuntingan antara 140-159 hari, sel LH pada fetus domba umur kebuntingan 60 hari sudah ditemukan dan meningkat densitasnya secara signifikan pada umur fetus 100 hari. Pada fetus domba umur 60 hari, sel LH teramati pada daerah inferior kelenjar hipofise namun pada fetus domba umur kebuntingan 100 hari ditemukan di seluruh bagian kelenjar hipofise. Densitas sel LH meningkat pada umur kebuntingan 120 hari sampai awal kelahiran dan tidak banyak berubah setelah lahir. Sedangkan sel FSH pada fetus
27
domba, baru diitemukan pada umur kebuntingan 100 hari dan meningkat densitasnya setelah umur fetus domba lebih dari 100 hari (Hadj et al. 1993). Pada fetus domba jantan, densitas sel FSH meningkat dua kali pada umur kebuntingan 120-130 hari dibandingkan dengan umur fetus 100 hari. Pola ini, hampir sama pada betina tetapi densitasnya lebih rendah dibandingkan dengan pada jantan.
Densitas sel LH dan FSH lebih banyak pada jantan antara
kebuntingan 99-120 hari, menurun pada umur kebuntingan 140 hari dan meningkat dua kali lebih banyak pada awal kelahiran. Namun pada fetus domba betina densitas sel LH dan FSH stabil pada umur 99 hari dan tidak banyak mengalami perubahan sampai kelahiran (Hadj et al. 1993). Menurut Taylor dan Martin (1997), pada masa pralahir, sel LH lebih awal terdeteksi dibandingkan dengan sel FSH. Hal ini disebabkan oleh fungsi LH pada fetus yang mempengaruhi perkembangan organ kelamin luar.
Pada umur
kehamilan fetus 8 minggu, organ kelamin luar baik pada laki-laki dan wanita memiliki kapasitas yang sama untuk berdiferensiasi. Diferensiasi organ kelamin luar pada fetus laki-laki, sangat tergantung dari ketersediaan testosteron dan dihidrotestosteron yang distimulasi oleh sel Leydig fetus. Tidak terdapatnya dihidrotestosteron dan testosteron, akan menyebabkan gangguan
maskulinisasi
dihidrotestosteron
dari
memiliki
organ fungsi
kelamin yaitu
luar.
untuk
Testosteron menstimulasi
dan
proses
perkembangan struktur organ kelamin luar, peleburan lipatan uretra dan turunnya labioscrotalis ke scrotum (Taylor dan Martin 1997). Menurut Conte dan Grumbach (1997), saat pengeluaran androgen merupakan masa yang penting bagi fetus laki-laki, karena androgen menghambat pertumbuhan septum vesicovaginal dan perkembangan struktur organ kelamin interna pada wanita. Hal ini biasanya terjadi pada umur kehamilan 8 minggu. Bila pada umur kehamilan ini,sintesis LH tidak berlangsung dengan baik, maka proses maskulinisasi pada fetus laki-laki akan menyebabkan beberapa gangguan diantaranya: 1. Kerusakan sintesis dan sekresi dari testosteron fetus atau perubahan pada dihidrotestosteron. 2. Terjadinya defisiensi dan tidak sempurnanya aktifitas androgen reseptor.
28
3. Tidak sempurnanya produksi dan aksi dari anti mulerian hormone. Sehingga fetus laki-laki akan mengalami kegagalan dalam proses perkembangan organ kelamin luar seperti pada kasus pseudohermaphroditism (Taylor and Martin 1997; Styne 1997).
29
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Anatomi Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari sampai Juli 2008.
Hewan Coba Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan masing-masing satu sampel hipofise fetus MEP umur kebuntingan 70 hari (F70), 85 hari (F85), 100 hari (F100), 120 hari (F120) dan 150 hari (F150) serta anak umur 10 hari (A10) dan 105 hari (A105). Sampel tersebut, diperoleh dari Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor (PSSP-IPB) dan proses pelaksanaan pengambilan sampel dilakukan di bawah pengawasan dan persetujuan Komisi Kesejahteraan Hewan (Animal Care and Use Committee/ACUC) PSSP, LPPM-IPB nomor 02-0030IR. Sampel diperoleh dari fetus yang berasal dari induk hasil tangkapan dari alam yang telah dikarantina dan dikandangkan secara individu untuk pemeriksaan kesehatan. Untuk mendapat ketepatan umur fetus yang akan digunakan, induk tersebut dikawinkan dengan metode time mating. Sebelum dikawinkan, induk betina diamati siklus mensturasinya dengan menggunakan metode ulas vagina. Setelah diperoleh induk dengan siklus yang teratur, induk tersebut dimasukkan ke dalam kandang kawin. Pada masa subur yang ditandai dengan adanya lendir vagina yang encer (hari ke 11), jantan dimasukkan kedalam kandang selama 3 hari. Hari kedua pada saat pejantan berada dalam kandang kawin ditetapkan sebagai hari ke nol kebuntingan dengan standar deviasi satu hari.
Proses
perkawinan dan pengambilan fetus dilakukan oleh PSSP-IPB.
30
Bahan Penelitian Sampel hipofise diperfusi menggunakan paraformaldehid 0,2% dalam larutan phosphate buffered saline (PBS) 0,1 M pH 7,4, sedangkan hipofise diambil dan dilakukan fiksasi di dalam larutan paraformaldehid 4% dan dehidrasi serta clearing masing-masing menggunakan alkohol dan xylol bertingkat serta proses parafinisasi dengan menggunakan parafin Histoplast® (dengan titik leleh 56-57oC). Untuk keperluan pewarnaan imunohistokimia (IHK) diperlukan bahanbahan antara lain: larutan PBS, destilated water (DW), larutan 3% hidrogen peroksida (H2O2), larutan 10% normal goat serum (Vector Laboratories, Inc.), anti human βLH rabbit serum dan anti human βFSH rabbit serum dengan pengenceran 1:500, 0,02% anti rabbit IgG goat serum (Vector Laboratories, Inc.), larutan avidin dan biotin, larutan 0,03% 3,3 diaminobenzidine (DAB), 2% silan (3-aminopropyltrietoxysilane/APES) dalam aseton dan hematoksilin.
Alat Penelitian Pada proses parafinisasi dan pemotongan jaringan peralatan yang digunakan antara lain gelas piala, inkubator, sliding microtome dan gelas objek. Untuk proses pewarnaan peralatan yang digunakan antara lain rak slide, gelas penutup, kotak lembab, mikro pipet, pena parafin, tissue dan timer. Pengamatan dan visualisasi hasil pewarnaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dan peralatan mikrofotografi.
Pengambilan Sampel Setelah mencapai umur kebuntingan yang telah ditentukan, fetus diambil dengan metode laparotomi medianus.
Fetus dibius dengan menggunakan
pentobarbital (6 mg/kg BB) melalui intra-umbilikal, sedangkan untuk anak MEP umur A10 dan A105 dibius dengan pentobarbital (20 mg/kg BB) secara intraperitoneal.
31
Setelah
terbius,
sampel
monyet
diperfusi
dengan
menggunakan
o
paraformaldehid 0,2% dalam PBS pada suhu 37 C secara intrakardial dengan kecepatan 10 ml/menit sebagai pembilasan awal.
Proses selanjutnya adalah
perfusi sampel dilakukan dengan menggunakan larutan paraformaldehid 4% dalam PBS pada suhu 4oC selama 20 menit sebagai larutan fiksatif. Selanjutnya hipofise dimasukkan ke dalam alkohol 70% sebagai stopping point.
Proses Pembuatan Blok Parafin dan Pemotongan Sampel Sampel hipofise selanjutnya dimasukkan ke dalam tissue cassette untuk proses dehidrasi, yaitu direndam secara berurutan di dalam alkohol 70%, 80%, 90% dan 95% masing-masing selama 6 jam dan di dalam alkohol 100%(1), 100%(2) dan 100%(3) masing-masing selama 1 jam pada suhu kamar. Proses selanjutnya, yaitu proses clearing dengan merendam sampel di dalam larutan xylol (I, II dan III) masing-masing selama 30 menit pada suhu kamar.
Proses
selanjutnya, yaitu proses infiltrasi jaringan sampel di dalam larutan parafin dengan tiga kali pemindahan masing-masing selama 30 menit pada suhu 67oC. Sampel hipofise selanjutnya dilakukan proses pencetakan di dalam parafin. Pemotongan jaringan dilakukan dengan menggunakan sliding microtome dengan ketebalan 10 µm secara serial dengan berpedoman pada teknik pemotongan hipofise babi (Gambar 4) (Sasaki et al. 1992). Hasil pemotongan, diletakkan di atas
gelas
objek
yang
telah
di
coating
dengan
2%
silan
(3-
aminopropyltrietoxysilane/APES) dalam aseton sebelumnya.
Gambar 4 Pembagian daerah pemotongan kelenjar hipofise pada babi. Potongan a, b dan c adalah potongan medial, paramedial dan lateral (Sasaki et al. 1992).
32
Pewarnaan Imunohistokimia pada Hipofise Pewarnaan imunohistokimia (IHK) dilakukan dengan menggunakan metode Avidin-Biotin Complex (ABC) (Hsu et al. 1981).
Setelah proses
deparafinisasi dan rehidrasi, sampel dibilas dengan menggunakan destilated water (DW) sebanyak tiga kali masing-masing selama lima menit. Setelah itu, di sekitar potongan sampel dikeringkan dengan menggunakan tisue dan diberi batas dengan menggunakan pena parafin mengelilingi sampel. Slide selanjutnya, ditempatkan mendatar dalam kotak lembab dan ditetesi dengan 3% H2O2 dalam DW selama 15 menit pada suhu ruang, kemudian dibilas menggunakan PBS sebanyak tiga kali masing-masing selama lima menit. Slide selanjutnya, diinkubasi dengan 10% normal goat serum (Vector Laboratories, Inc.) selama 30 menit pada suhu ruang, kemudian dibilas menggunakan PBS sebanyak tiga kali masing-masing selama lima menit. Selanjutnya slide, diinkubasi dengan anti human βLH rabbit serum dan anti human βFSH rabbit serum masing-masing dengan pengenceran 1:500 selama semalam pada suhu 4oC untuk LH dan 4 malam untuk FSH. Slide kemudian, diinkubasikan dengan 0,02% rabbit IgG goat serum (Vector Laboratories, Inc.) selama 30 menit pada suhu 37oC, pada waktu yang bersamaan dibuat campuran 10 µl avidin dan 10µl biotin (Vector Laboratories, Inc.) dalam 1ml PBS. Slide jaringan kemudian, diinkubasi dengan campuran avidin dan biotin selama 30 menit pada suhu 37oC, kemudian dibilas menggunakan PBS sebanyak tiga kali masing-masing selama lima menit. Untuk visualisasi hasil pewarnaan, slide jaringan diinkubasi dengan larutan 0,03% DAB selama 5-20 menit sambil diamati di bawah mikroskop. Sel-sel imunoreaktif terlihat berwarna coklat pada sitoplasmanya. Untuk pewarnaan latar belakang, digunakan pewarnaan hematoksilin. Tahapan terakhir adalah proses dehidrasi dan clearing jaringan kemudian ditutup dengan gelas penutup (cover glass) menggunakan bahan perekat Entelan®.
33
Pengamatan. Pengamatan sel-sel imunoreaktif terhadap LH (ir-LH) dan imunoreaktif terhadap FSH (ir-FSH) meliputi waktu pertama kali sel imunoreaktif terdeteksi, pola distribusi dan densitas/kepadatan sel yang positif terhadap antibodi kedua hormon tersebut dari setiap tingkatan umur sampel. Hal ini dilakukan, untuk mempelajari pola perkembangan sel-sel LH dan FSH.
Untuk mempermudah
pengamatan, hipofise dibagi menjadi beberapa daerah pengamatan dengan berpedoman pada pembagian daerah pengamatan hipofise babi menurut Sasaki et al. (1992), yaitu pars tuberalis (T), caudal anterior Rathke`s lumen (Ca), caudal distal (Cd), middle zone (M), sex zone (S) dan menambahkan satu daerah pengamatan yaitu anterior middle zone (Am) (Gambar 5). Pengamatan terhadap kepadatan sel dilakukan dengan menggunakan metode skoring. Pada pengamatan terhadap densitas/kepadatan sel, skor yang diberikan adalah negatif (-), sangat rendah (+/-), jarang/sedikit (+), sedang (++), padat (+++) dan paling padat (++++).
Gambar 5
Pembagian daerah pengamatan kelenjar hipofise. T: pars tuberalis, S: sex zone, M: middle zone, Am: anterior middle zone, C: caudal area, Ca: caudal anterior Rathke`s lumen, Cd: caudal distal, I: pars intermedia, R: lumen kantung Rathke, B: buluh darah, E: median eminence dan N: pars nervosa, (Dimodifikasi dari Sasaki et al.1992).
Analis Data Pengamatan dilakukan terhadap distribusi dan densitas/kepadatan sel-sel ir-LH dan ir-FSH. Data yang diperoleh kemudian diolah secara deskriptif.
34
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Gambaran Umum Perkembangan Kelenjar Hipofise Kelenjar hipofise monyet ekor panjang/MEP pada umur kebuntingan 70 hari (F70) telah menunjukkan bentuk dan struktur yang mirip dengan kelenjar hipofise MEP dewasa (Gambar 6). Pada umur ini, proporsi adenohipofise dan neurohipofise relatif seimbang. Seiring dengan bertambahnya umur fetus, bagian adenohipofise berkembang relatif lebih cepat dibandingkan dengan neurohipofise. Bentuk kelenjar hipofise pada fetus MEP mirip dengan struktur kelenjar hipofise pada MEP dewasa namun ukurannya relatif lebih kecil. F70
A10
F150
T
T
N
T
I
I
I N
D
D
D
R
N
R
R
200 µm
200 µm
200 µm
Gambar 6 Potongan medial kelenjar hipofise MEP pada F70, F150 dan A10. T= pars tuberalis, D=pars distalis, I= pars intermedia, N= pars nervosa dan R= Rathke’s lumen.
Perkembangan Sel-Sel Imunoreaktif LH Pada F70, sel-sel imunoreaktif terhadap LH (ir-LH) sudah ditemukan di seluruh daerah pars distalis dan pars tuberalis (Tabel 2). Sel-sel ir-LH ditemukan dengan densitas padat di daerah Ca, densitas sedang di daerah Cd dan M tetapi di daerah Am, S dan T densitasnya rendah. Pola distribusi sel-sel LH, mengalami perubahan pada F85 dibandingkan dengan pada F70 yaitu sel-sel ir-LH ditemukan dengan densitas padat di daerah Ca, Cd, M dan S, densitas sedang di daerah Am tetapi tidak ditemukan di daerah T. Pola distribusi pada F85 ini juga ditemukan pada F100 (Tabel 2; Gambar 7).
35
Pada F120, ditemukan pola distribusi sel-sel ir-LH yang mirip dengan pada F100, tetapi terjadi sedikit penurunan proporsi densitas di daerah Cd dan M yang semula densitasnya padat menjadi sedang pada F120. Sedangkan pada F150, sel-sel ir-LH terdistribusi di seluruh daerah pars distalis dan pars tuberalis. Pola distribusi pada F150 ini tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan pada F120, tetapi terjadi peningkatan densitas sel-sel ir-LH di semua daerah pars distalis. Pola distribusi pada A10 relatif tidak banyak mengalami perubahan, namun densitas di daerah S relatif lebih padat dibandingkan dengan densitas selsel ir-LH umur sebelumnya (Tabel 2; Gambar 7). Pada A105, distribusi sel-sel irLH tersebar merata di seluruh daerah pars distalis dengan densitas sangat padat pada daerah Ca, Cd dan S.
Tabel 2 Distribusi dan densitas sel-sel ir-LH adenohipofise monyet ekor panjang pada berbagai umur Umur
Daerah pengamatan Ca
Cd
M
Am
S
T
F70
+++
++
++
+
+
+
F85
+++
+++
+++
++
+++
-
F100
+++
+++
+++
++
+++
-
F120
+++
++
++
++
+++
-
F150
+++
+++
+++
+++
+++
++
A10
+++
+++
+++
++
++++
++
A105
++++
++++
+++
+++
++++
+++
Keterangan: Ca: caudal anterior Rathke`s lumen, Cd: caudal distal, M: middle zone, Am: anterior middle zone, S: sex zone dan T: pars tuberalis. -: negatif, +: rendah, ++: sedang, +++: padat dan ++++: sangat padat.
36
F100
30 µm
200 µm 30 µm
A10
30 µm
200 µm
30 µm
Gambar 7 Distribusi sel-sel ir-LH adenohipofise MEP pada F100 dan A10. Inset: daerah merah (Cd), biru (Ca), hijau (S) dan kuning (M), tanda panah menunjukkan sel-sel ir-LH yang berwarna coklat. Pada adenohipofise F100 sel-sel ir-LH terdistribusi di daerah Ca, Cd, M, Am dan S dengan densitas cukup padat. Pada adenohipofise A10 sel-sel ir-LH terdistribusi di daerah Ca, Cd, M, Am, S dan T dengan densitas padat.
37
Perkembangan Sel-Sel Imunoreaktif FSH Sel-sel imunoreaktif terhadap FSH (ir-FSH) belum ditemukan pada F70 dan F85 pada seluruh daerah pengamatan adenohipofise. Pada F100, sel-sel irFSH mulai terdeteksi dan terdistribusi di seluruh daerah pars distalis dengan densitas sangat rendah (Tabel 3; Gambar 8).
Pada F120, sel-sel ir-FSH
terdistribusi di seluruh daerah pars distalis dan pars tuberalis. Pada F120, sel-sel ir-FSH memiliki densitas sedang di daerah S dan densitas sangat rendah di daerah Ca, Cd, M dan Am. Sedangkan pada F150, sel-sel ir-FSH terdistribusi merata di seluruh daerah pars distalis dan pars tuberalis dengan densitas sedang, kecuali di daerah Am. Pola distribusi pada F150 juga ditemukan pada A10, tetapi terjadi peningkatan densitas di daerah S. Pola distribusi sel-sel ir-FSH pada A105, mengalami perubahan dibandingkan dengan A10 karena terjadinya peningkatan densitas di daerah Cd dan T, sedangkan pada daerah S, sel-sel ir-FSH densitasnya tetap padat.
Tabel 3 Distribusi dan densitas sel-sel ir-FSH adenohipofise monyet ekor panjang pada berbagai umur Umur
Daerah pengamatan Ca
Cd
M
Am
S
T
F70
-
-
-
-
-
-
F85
-
-
-
-
-
-
F100
+/-
+/-
+/-
+/-
+
-
F120
+
+/-
+/-
+
++
+
F150
++
++
++
+
++
++
A10
++
++
++
+
+++
++
A105
++
+++
++
++
+++
+++
Keterangan: Ca: caudal anterior Rathke`s lumen, Cd: caudal distal, M: middle zone, Am: anterior middle zone, S: sex zone dan T: pars tuberalis. -: negatif, (+/-): sangat rendah, +: rendah, ++: sedang dan +++: padat.
38
F100
200 µm
30 µm
A10
30 µm
200 µm
30 µm
Gambar 8 Distribusi sel-sel ir-FSH adenohipofise MEP pada F100 dan A10. Inset: daerah hitam (M), biru (S) dan merah (Cd), tanda panah menunjukkan sel-sel ir-FSH yang berwarna coklat. Pada adenohipofise F100 sel-sel ir-FSH terdistribusi di daerah Ca, Cd, M, Am dan S dengan densitas sangat rendah. Pada adenohipofise A10 sel-sel ir-FSH terdistribusi di daerah Ca, Cd, M, Am, S dan T dengan densitas cukup padat.
39
PEMBAHASAN
Gambaran Umum Perkembangan Kelenjar Hipofise Gambaran anatomi kelenjar hipofise pada MEP secara umum mirip seperti pada manusia (Aron et al. 1997), babi (Sasaki et al. 1992) dan pada mamalia lainnya. Pada periode pralahir kelenjar hipofise relatif kecil dibandingkan dengan kelenjar hipofise MEP dewasa.
Pada umur F70, kelenjar hipofise telah bisa
dibedakan bagian adenohipofise dan bagian neurohipofise. Pada F70, proporsi adenohipofise dan neurohipofise relatif simbang. Namun dengan bertambahnya umur sampel, proporsi adenohipofise relatif lebih cepat berkembang. Hal ini diduga adanya proliferasi sel-sel penyusun adenohipofise lainnya yaitu sel-sel ACTH (Nurhidayat et al. 2008), sel GH, TSH dan PRL (Supratikno 2008) disamping sel-sel LH dan FSH. Sehingga proporsi adenohipofise relatif lebih besar dibandingkan dengan neurohipofise.
Perkembangan Sel-Sel imunoreaktif LH Menurut Samuelson (2007), sel-sel gonadotropin termasuk ke dalam kelompok sel yang bersifat basofil dan pada dewasa sel gonadotropin hanya berkisar 10-15% dari total sel-sel parenkim adenohipofise. Pada adenohipofise MEP, distribusi sel-sel ir-LH ini menunjukkan adanya kesesuaian dengan distribusi sel-sel basofil (Supratikno 2008), terutama pada sampel yang berumur lebih tua. Sel-sel ir-LH memiliki pola distribusi yang relatif sama mulai F70 sampai dengan A105. Kesesuaian yang sama juga ditemukan pada distribusi selsel basofil yang lainnya dari adenohipofise yaitu sel-sel ACTH (Nurhidayat et al. 2008) dan sel-sel TSH (Supratikno 2008). Pada F70, sel-sel ir-LH sudah ditemukan di seluruh daerah pars distalis dan pars tuberalis. Sel-sel LH bersama-sama dengan sel ACTH, sel GH dan sel TSH pada MEP berkembang relatif lebih awal dibandingkan dengan sel-sel adenohipofise lainnya yaitu PRL dan FSH. Sel-sel ir-LH terdeteksi relatif lebih awal dan diduga karena sel LH memiliki peran yang sangat penting dalam proses perkembangan organ kelamin luar. Selain itu LH juga, sangat berperan dalam proses diferensiasi seksual dan pembentukan folikel primer (Conte dan Grumbach
40
1997; Fora 2007). Pada babi, sel-sel ir-LH terdeteksi pada umur kebuntingan 40 hari di daerah rostral adenohipofise dan selanjutnya akan menyebar ke seluruh daerah pars distalis (Sasaki et al. 1992). Sedangkan pada Anjing Beagle, sel-sel ir-LH awalnya ditemukan di daerah posterior midventral pars distalis kemudian menyebar ke seluruh daerah pars distalis (Sasaki et al. 1998). Pada F120, sel-sel ir-LH mengalami sedikit penurunan densitas di daerah Cd dan M.
Hal ini, di duga adanya proliferasi sel-sel lain seperti ACTH
(Nurhidayat et al. 2008), sel GH, TSH, PRL (Supratikno 2008) yang juga pesat pada F120, sehingga menurunkan proporsi sel-sel LH terhadap total sel-sel parenkim di adenohipofise pada F120. Pada F150, sel-sel ir-LH relatif tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan F120 namun, terjadi peningkatan densitas sel-sel ir-LH di seluruh daerah pars distalis. Pola distribusi sel-sel ir-LH pada A10 tidak banyak mengalami perubahan namun densitas di daerah S lebih padat. Dengan bertambahnya umur fetus, sel-sel ir-LH tersebar di seluruh daerah pars distalis dengan kecenderungan lebih banyak di daerah S. Pola distribusi sel LH MEP ini mirip dengan pola distribusi sel LH pada manusia (Baker dan Jaffe 1975), tikus (Baker dan Gross 1978) dan babi (Sasaki et al. 1992).
Perkembangan Sel-Sel Imunoreaktif FSH Sel-sel ir-FSH belum ditemukan pada F70 dan F85 pada seluruh daerah pengamatan adenohipofise, tetapi pada fetus umur tersebut sel-sel basofil sudah terdeteksi dengan densitas yang masih sangat rendah (Supratikno 2008). Hal ini menunjukkan belum adanya kesesuaian distribusi antara sel-sel basofil dengan distribusi sel-sel ir-FSH pada F70 dan F85. Keadaan ini diduga karena sel-sel basofil yang terdeteksi pada F70 dan F85 merupakan sel-sel adenohipofise yang lain yaitu LH, TSH (Supratikno 2008) dan ACTH (Nurhidayat et al. 2008). Selsel ir-FSH, mulai terdeteksi pada F100 dengan densitas sangat rendah. Keterlambatan terdeteksinya, sel-sel ir-FSH pada MEP ini mirip dengan sel-sel irFSH pada mencit, yang juga terdeteksi lebih akhir dibandingkan dengan sel-sel adenohipofise lainnya (Sheng 1999).
41
Pada F120, sel-sel ir-FSH terdistribusi di seluruh daerah pars distalis dan pars tuberalis dengan densitas rendah. Sedangkan pada F150, sel-sel ir-FSH terdistribusi merata di seluruh daerah pars distalis dan tuberalis. Pola distribusi pada F150 juga ditemukan pada A10 dan A105 tetapi terjadi peningkatan di daerah S. Pola distribusi sel FSH MEP ini, mirip dengan pada babi yaitu sel-sel gonadotropin awalnya terdeteksi di daerah S, dengan bertambahnya umur sel-sel FSH akan tersebar di seluruh daerah pars distalis dengan kecenderungan lebih banyak di daerah S (Sasaki et al. 1992). Berdasarkan lamanya kehamilan, sel-sel ir-FSH terdeteksi relatif lebih lambat (Taylor dan Martin 1997) dibandingkan dengan pada manusia, yaitu pada manusia sel-sel ir-FSH terdeteksi pada umur kehamilan 13 minggu (Asa et al. 1991). Hal ini diduga berhubungan dengan fungsi FSH yang cenderung lebih berperan pada periode pascalahir. Hal ini terbukti dengan masih meningkatnya densitas sel-sel ir-FSH pada A105.
42
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Secara imunohistokimia sel-sel ir-LH pada MEP terdeteksi lebih awal dibandingkan dengan sel ir-FSH.
Secara umum, distribusi kedua sel-sel
gonadotropin ini tersebar di seluruh daerah pars distalis dengan kecenderungan lebih padat di daerah sex zone dan pola ini mirip dengan pola distribusi sel gonadotropin pada manusia dan babi.
Saran 1. Perlu dilakukan pengukuran kadar LH dan FSH darah pada masingmasing umur untuk dapat menentukan waktu dari sel-sel tersebut menjadi fungsional. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai perkembangan hipotalamus terutama pada sel-sel penghasil gonadotrophin releasing hormone untuk dapat menduga aktivitas sel-sel gonadotropin adenohipofise. 3. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan sampel yang memiliki umur lebih muda dengan interval waktu yang lebih pendek.
43
DAFTAR PUSTAKA Aron DC, JW Findling and JB Tyrrell. 1997. Hypothalamus and pituitary. Di dalam: Greenspan FS and GJ Strewler, Editor. Basic and Clinical Endocrinology 5th Ed. Stamford: Appleton and Lange Connecticut. Asa SL, K Kovacs, FA Laszlo, I Domokos and C Ezrin. 1986. Human fetal adenohypophysis: histological and immunocytochemical analysis. Neuroendocrinology. 43(3): 308-316. [Abstrak]. Asa SL, K Kovacs, E Hovarth, NE Losinski, FA Laszlo, I Domokos and WC Halliday. 1988. Human fetal adenohypophysis: Electron microscopic and ultrastructural immunocytochemical analysis. Neuroendocrinology. 48(4): 423-431. [Abstrak]. Asa SL, K Kovacs and W Singer. 1991. Human fetal adenohypophysis: morphologic and functional analysis in vitro. Neuroendocrinology. 53(6): 562-572. [Abstrak]. Baker BL and RB Jaffe. 1975. The genesis of cell types in the adenohypophysis of the human fetus as observed with immunocytochemistry. Am J Anat. 143: 137-162. Baker BL and DS Gross. 1978. Cytology and distribution of secretory cell types in the mouse hypophysis as demonstrated with immunocytochemistry. Am J Anat. 143:132-162. [Abstrak]. Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. USA: Baltimore. Bonadio C. 2000a. Macaca fascicularis (Long Tailed Macaque). http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounnts/information/Macac a_fascicularis.html [19 Juli 2008]. Bonadio C. 2000b. Macaca fascicularis (Long Tailed Macaque). http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/resource/evahejda/javanerma mamitkind.jpg/view.html [19 Juli 2008]. Bowen
R. 2006. Histology of adenohypophysis. http://arbl.cvmbs.colostate.edu/hbooks/pathphys/endocrine/hypopit/histoadreno.html [19 Juli 2008].
Brown RE. 1994. An Introduction to Neuroendocrinology. Cambridge Univ Pr.
Cambridge:
Campbell KL. 2005. Mamalian toxicology session http://Kcampbell.bio.umb.edu/session%203.html [19 Juli 2008].
3.
44
Capen CC and SL Martin. 1989. The pituitary gland. Di dalam: McDonald and Pineda, Editor. Veterinary Endocrinology and Reproduction 4th Ed. London: Lea and Febiger. Conte FA and MM Grumbach. 1997. Abnormalities of sexual determination and differentiation. Di dalam: Greenspan FS and GJ Strewler, Editor. Basic and Clinical Endocrinology 5th Ed. Stamford: Appleton and Lange Connecticut. Fora MA. 2007. Endocrinology of fetus. http://www.just.edu.jo/~mafika/733 Reproductive%20Endocrinology/ Fetal%Endocrinology 2 733.htm [21 Februari 2007]. Ganong WF. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Brahm UP, Penterjemah; HM. Djauhari W, Editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology. Gulyas BJ, GD Hodgen, WW Tullner and GT Ross. 1977. Effects of fetal or maternal hypophysectomy on endocrine organs and body weight in infant rhesus monkeys (Macaca mulatta): with particular emphasis on oogenesis. Biol Reprod. 16:216-227. Guyton AC and Hall. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Kenariata T, Penterjemah; Harjanto E dan Melfiawaty S, Editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology. Hadj L, M Toumi, C Taragnat and P Durand. 1993. Heterogeneity in the storage of gonadotrophins in the ovine fetus and evidence for luteinizing hormone cells in the fetal pituitary. Biol Reprod. 48: 1239-1245. Hsu S, L Raine and H Fanger. 1981. Use of avidin-biotin-peroxidase complex (ABC) in immunoperoxidase techniques: a comparison between ABC and unlabelled antibody (PAP) procedures. J Histochem Cytochem. 29:577580. Humason GL. 1967. Animal Tissue Technique 2nd Ed. San Francisco: WH Freeman. Kaplan SL, MM Grumbach and ML Aubert. 1976. The ontogenesis of pituitary hormones and hypothalamic factors in the human fetus maturation of central nervous system regulation of anterior pituitary function. Rec Progr Horm Res. 32: 161-343. [Abstrak]. Kurosumi K and K Inoue. 1986. Ultrastructure of anterior pituitary cells. Neuroendocrinology. 7: 123-127. Napier JR and PH Napier. 1986. Cambridge: The MIT Press.
The Natural History of The Primates.
45
Nemeskéri Á, G Sétálό and B Halász. 1988. Ontogenesis of the three parts of the fetal rat adenohypophysis: a detailed immunohistochemical analysis. Neuroendocrinology. 48: 1161-1172. Nurhidayat, IK Syarifah, Supratikno, S Wahyuni, C Nisa’ dan S Novelina. 2008. Perkembangan aksis sel-sel hormon adrenokortikotropik (ACTH) adenohipofise–korteks adrenal monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) selama masa pre- dan postnatal. Jurnal Veteriner Vol. 2 No. 2 [In-press]. Phyllis D and F Agustin. 1999. The Nonhuman Primates. California: May Fieled Publishing Company. Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Philadelpia: Saunders Elsevier. Sasaki F, Y Ichikawa and S Yamauchi. 1992. Immunohistological analysis in the distribution of cells in the fetal porcine adenohypophysis. Anat Rec. 233: 135-141. Sasaki F and S Nishioka. 1998. Fetal development of the pituitary gland in the beagle. Anat Rec. 251: 143-151. Sétálό G and PK Nakane. 1972. Studies on the functional differentiation of cells in the fetal anterior pituitary glands of rats with peroxidase-labeled antibody method. Anat Rec. 172: 403-410. Sheng HZ. 1999. Early step in pituitary organogenesis. Trends Gen J. 15 (6):236-240. Siroris M. 2005. Laboratory Animal Medicine: Principles and Procedure. USA: Elsevier Mosby. Smith JB dan S Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Indonesia University Press. Styne D. 1997. Puberty. Di dalam: Greenspan FS and GJ Strewler, Editor. Basic and Clinical Endocrinology 5th. Ed. Stamford: Appleton and Lange Connecticut. Supratikno. 2008. Perkembangan Adenohipofise Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Dengan Tinjauan Khusus: Distribusi Sel-Sel TSH, GH dan Prolaktin pada Masa Pre- dan Postnatal. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supriatna J dan H Edy. 2000. Panduan Lapang Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
46
Taylor RN and MC Martin. 1997. The endocrinology of pregnancy. Di dalam: Greenspan FS and GJ Strewler, Editor. Basic and Clinical Endocrinology 5th Ed. Stamford: Appleton and Lange Connecticut. Toelihere MR. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Angkasa. Turner CD and JT Bagnara . 1976. General Endocrinology. Philadelphia: W.B Saunders Company. VandeBerg JL. 1995. Genetics of nonhuman primates. Di dalam: Bennett BT, CR Abee and R Hendricson, Editor. Nonhuman Primates in Biomedical Research Biology and Management. San Diego: Academic Press. Whitney RA. 1995. Taxonomy. Di dalam: Bennett BT, CR Abee and R Hendricson, Editor. Nonhuman Primates in Biomedical Research Biology and Management. San Diego: Academic Press.
47
LAMPIRAN
48
Lampiran 1 Prosedur pembuatan larutan phosphate buffered saline (PBS) 1. Timbang
NaH2PO4.2H2O
: 0.45 gram
Na2HPO4.12H2O
: 3.23 gram
NaCl
: 8.0 gram
2. Larutkan ketiga garam tersebut ke dalam 1000 ml destilated water (DW) dengan menggunakan magnetic stirrer. 3. Tetapkan larutan PBS pada pH 7,4 dengan menggunakan NaOH 0,1N sebanyak 1,5 ml.
49
Lampiran 2 Prosedur pembuatan larutan Diaminobenzidine (DAB) 1. Larutkan 2,5 gram 3,3-diaminobenzidine tetrahydrochloride dalam 100 ml tris buffered saline (TBS) pH 7,6. 2. Masukkan ke dalam tube 1 ml masing-masing dan simpan di dalam freezer. 3. Ambil 1 tube untuk setiap pemakaian dengan menambahkan peroksida (H2O2) sebanyak 30 ml dan PBS 900 ml.
50
Lampiran 3 Coating slide dengan silan (3-aminopropyltrietoxysilane/APES) 1. Cuci gelas objek dengan aseton teknis, digosok dan dikeringkan. 2. Larutan silan: pembuatan 2% APES (aminopropyltrietoxysilane) dalam aseton. 3. Gelas objek diletakkan dalam keranjang preparat dicelupkan kedalam larutan silan sehingga semua terendam. 4. Gelas objek dikeringkan di udara, sampai setengah kering tetapi sebaiknya sampai hampir kering (dengan menggunakan kipas angin). 5. Gelas objek dibilas menggunakan aquades selama beberapa menit. 6. Gelas objek dikeringkan (di depan kipas angin). 7. Setelah dikering gelas objek dimasukan ke dalam inkubator minimal satu malam. 8. Gelas objek kemudian dibungkus dengan menggunakan alumunium foil dimasukkan ke dalam refrigerator sehingga dapat digunakan bila diperlukan.
51
Lampiran 4 Prosedur pewarnaan imunohistokimia (IHK) metode ABC (Avidin-Biotin Complex method) (Hsu et al. 1981) Pewarnaan
imunohistokimia
merupakan
metode
pewarnaan
yang
dilakukan untuk mendeteksi bahan aktif pada jaringan dengan menggunakan prinsip ikatan antara antigen-antibodi yang berikatan dengan bahan penanda. Adapun prosedur pewarnaan IHK yang dilakukan adalah metode ABC yaitu sebagai berikut. 1. Proses deparafinisasi dilakukan dengan menggunkan xylol I, II dan III masing-masing selama 3-5 menit. 2. Proses rehidrasi dilakukan dengan menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat mulai dari alkohol 100 % (I, II dan III), 95%, 90%, 80% dan 70% masing-masing selama 3-5 menit. 3. Slide preparat selanjutnya, dibilas dengan menggunakan destilated water (DW) sebanyak 3 kali pengulangan masing-masing selama 5 menit. 4. Slide preparat kemudian, dikeringkan di sekitar sayatan dan kemudian sayatan dilingkari dengan menggunakan pena parafin. 5. Slide preparat selanjutnya, direndam dengan menggunakan 3% hidrogen peroksida (H2O2) dalam DW selama 15 menit dalam suhu ruang. 6. Slide preparat dibilas dengan menggunakan DW dengan 3 kali pengulangan masing-masing selama 5 menit. 7. Slide preparat dibilas dengan menggunakan phosphat buffered saline (PBS) dengan 3 kali pengulangan masing-masing selama 5 menit. 8. Slide preparat diinkubasi dengan menggunakan 10% normal goat serum selama 30 menit di dalam inkubator dengan suhu 37oC. 9. Slide preparat kemudian, dibilas dengan menggunakan PBS dengan 3 kali pengulangan masing-masing selama 5 menit. 10. Slide preparat diinkubasi dengan antibodi primer (AB I), yaitu anti human βLH rabbit serum dan anti human βFSH rabbit serum dengan pengenceran 1:500 semalam untuk LH dan empat malam untuk FSH di dalam refrigerator bersuhu 4oC. 11. Slide preparat kemudian, dibilas dengan menggunakan PBS dengan 3 kali pengulangan masing-masing selama 5 menit.
52
12. Slide preparat selanjutnya, diinkubasi dengan menggunakan antibodi sekunder dengan menggunakan 0,02% anti rabbit IgG goat serum selama 30 menit di dalam inkubator bersuhu 37oC. Pada waktu yang bersamaan dilakukan pencampuran 10µl Avidin dan 10µl Biotin dalam 1ml PBS. 13. Slide preparat selanjutnya, kembali dibilas dengan menggunakan PBS dengan 3 kali pengulangan masing-masing selama 5 menit. 14. Slide preparat diinkubasi dengan menggunakan campuran Avidin dan Biotin selama 30 menit pada inkubator dengan suhu 37oC. 15. Slide preparat kembali dibilas dengan menggunakan PBS dengan 3 kali pengulangan masing-masing selama 5 menit. 16. Slide
preparat
selanjutnya
diinkubasi
dengan
menggunakan
3,3
diaminobenzidine (DAB) sambil diamati dibawah mikroskop. 17. Tahapan
selanjutnya
adalah
pewarnaan
latar
belakang
dengan
menggunakan hematoksilin. 18. Slide preparat selanjutnya, didehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat mulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, 100% (I, II dan III) masing-masing selam 5 menit. 19. Slide preparat selanjutnya, dijernihkan dengan menggunakan carbo-xylol, xylol I, II dan III masing-masing selama 5 menit. 20. Slide selanjutnya, dimounting dengan menggunakan cover glass dan bahan perekat Entelan®. Hasil: Reaksi positif antara antigen dengan antibodi yang digunakan ditunjukkan dengan adanya warna coklat pada sitoplasma, sedangkan inti berwarna biru keungguan (menggambil warna hematoksilin).
53