PERKEMBANGAN PESAWAT HELIKOPTER Oleh : Marsma TNI (Pur n)Ir. Suyitmadi, M.T.
“Cita-cita untuk menciptakan wahana terbang secara vertikal dan mengambang tanpa bergerak di udara (hover), mungkin telah ada sejak manusia bermimpi untuk terbang” Igor Ivanovits Sikorsky Perkembangan pesawat terbang bersayap tetap, dapat dengan mudah dirunut atau diikuti fase kemajuannya. Sejarah penerbangan Amerika yang mulai dirintis oleh Otto Lilienthal, Samuel Langley, Chanute, sampai kesuksesan penerbangan pertama menggunakan pesawat bermotor dengan kendali penuh oleh Orville dan Wilbur Wright pada tahun 1903, membuktikan bahwa perkembangan penerbangan pesawat sayap tetap lebih bisa dikenali secara jelas. Perkembangan terbang pesawat helikopter tidak begitu mudah untuk diikuti, termasuk keberhasilan penerbangan pertama helikopter. Obsesi manusia untuk bisa terbang dengan wahana terbang vertikal, yang paling kuno diawali adanya “mainan” China yang disebut “Chinese tops” sekitar 400 Sebelum Masehi. Mainan tersebut terbuat dari bulu yang diikat pada ujung tongkat. Jika tongkat diputar dengan kedua telapak tangan pada posisi ke atas, maka akan menghasilkan gaya angkat, sehingga jika tongkat berbulu tersebut dilepas akan terbang secara vertikal. Lebih dari 2000 tahun kemudian yaitu sekitar tahun 1483, seorang warga negara Rusia bernama Mikhail Lomonosov mengembangkan mainan model Chinese tops dengan sumbu rotor ganda. Perbedaannya terletak pada tenaga pemutarnya, yaitu tenaga telapak tangan digantikan dengan gulungan pegas yang ditegangkan. Karena energi yang dilepaskan dari gulungan pegas yang tertegang cukup besar, maka mainan ini dapat terbang mencapai ketinggian lumayan. Seorang peneliti ilmu alam berkewarganeraan Perancis bernama Launoy dengan asistennya seorang mekanik bernama Bienvenu, menggunakan poros ganda untuk memutar poros yang ujungnya diikat dua set bulu kalkun yang berputar saling berlawanan arah. Percobaan model-model tersebut semakin menggairahkan kegiatan penelitian penciptaan wahana terba ng vertikal. Leonardo da Vinci yang lahir 15 April 1452, ternyata selain sebagai pelukis brilian juga seorang penggagas penciptaan wahana terbang vertikal yang mengagumkan. Meskipun gagasannya baru dituangkan dalam bentuk sketsa di kanvas, namun idenya sangat mengihami bagi pengembangan penciptaan wahana
2 terbang vertikal. Dalam sketsa yang dibuat Leonardo da Vinci menggambarkan sebuah wahana pengangkut manusia terbang vertikal, yang disebut “aerial screw” (sekrup udara) atau “air gyroscope” yang dibuat pa da tahun 1483. Wahana tersebut digambarkan sebagai permukaan dengan alur miring seperti permukaan geratan pada sekrup, dan agar menghasilkan permukaan yang halus, rata dan kedap udara, maka permukaan dilapis kain. "I think, if this screw instrument is well made, that means from linen starched (to block its pores) and is turned rapidly, then this said screw will find its female in the air and climb upwards." Leonardo da Vinci Pernyataan singkat Leonardo da Vinci menggambarkan bahwa dia seorang visioner yang sangat mengilhami penerusnya dalam pengembangan wahana terbang vertikal.
Sketsa Sekrup Udara Leonardo da Vinci Sir George Cayley terkenal dengan perkerjaannya menekuni prinsip-prinsip dasar terbang pada tahun 1790–an. Sebagai anak muda, Cayley telah berhasil menciptakan beberapa model wahana terbang vertikal pada akhir abad 18. Modelmodel wahana yang dibuat dilengkapi rotor yang terbuat dari lembaran timah yang diputar dengan gulungan pegas yang tertegang. Karena kecintaannya pada penerbangan, membuat Cayley begitu rajin merancang antara lain berupa lengan berputar (whirling-arm) pada tahun1804, sehingga menjadikannya sebagai ilmiawan pertama yang mencoba belajar gaya aerodinamika yang dihasilkan oleh sayap. Kertas ilmiah yang dipublikasikan pada tahun 1843, Cayley menjelaskan secara rinci rancangan wahana terbang vertikal dengan skala relatif besar yang disebut “Aerial Carriage”. Namun apa daya rancangan model Cayley hanya sebagai angan-angan, karena kesulitan mesin pembangkit tenaga (powerplant). Pada zaman tersebut, tenaga pengge rak yang tersedia adalah mesin uap. Mesin uap merupakan mesin konversi energi jenis mesin pembakaran luar (external combustion engine), sehingga rasio antara tenaga yang dihasilkan dengan beratnya (power to weight ratio) sangat rendah. Meskipun pengembangan wahana terbang vertikal saat itu mengalami kendala tenaga penggerak, namun pembuatan model wahana terbang vertikal ringan berukuran mini dengan tenaga penggerak mesin uap banyak berhasil secara terbatas. Pada tahun 1840 Horatio Philips berkewarganegaraan Inggris, menciptakan wahana
3 terbang vertikal dengan tenaga uap yang disemburkan dari boiler mini ke ujung blade (bilah rotor). Memang model tersebut tidak mungkin dibuat dengan skala penuh, namun wahana buatan Philips merupakan wahana terbang vertikal pertama yang digerakkan mesin sebagai pengganti tenaga gulungan pegas yang banyak digunakan sebelumnya. Pada tahun 1860-an Ponton d’Amecourt berkewarganegaraan Perancis, menerbangkan beberapa model wahana terbang vertikal mini bertenaga uap. Sejak saat itu wahana terbang vertikal lebih dikenal dengan nama “helikopter”. Helikopter berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dari kata sifat “elikoeioas” yang berarti “spiral” atau “winding” (berputar) dan kata benda “pteron” yang berarti “feather” (bulu) atau “wing” (sayap). Sekitar tahun 1878 Enrico warga Italia juga membuat model helikopter yang terbang dengan tenaga uap. Model ini dilengkapi dengan dua rotor yang saling berputar berlawanan, dan tercatat mampu terbang pada ketinggian lebih dari 40 kaki selama 20 detik. Pada awal abad 20 hampir semua percobaan terbang vertikal dapat dianggap sebagai karya cipta yang menantang, mengingat betapa tinggi kompleksitas aspek aerodimanika maupun mekanika struktur wahana terbang vertikal tersebut. Disamping itu hasil penelitian aerodinamika oleh para ilmiawan saat itu, masih sangat sedikit untuk digunakan sebagai acuan. Berdasarkan dokumen sejarah penerbangan terungkap bahwa kegagalan ratusan percobaan helikopter disebabkan masalah tenaga penggerak, keterbatasan kendali terbang, dan getaran mesin yang merusak struktur. Pada tanggal 13 Nopember 1907 seorang pembuat sepeda berwarganegara Perancis bernama Paul Cornu, menciptakan helikopter dan tercatat sebagai keberhasilan terbang helikopter berawak pertama kali. Peristiwa ini terjadi setelah 4 tahun keberhasilan penerbangan pesawat sayap tetap legendaris pertama di dunia, yang dilakukan oleh Wright bersaudara di Kitty Hawk Amerika Serikat. Struktur helikopter Paul Cornu dibuat sangat sederhana, dengan dilengkapi dua rotor yang terpasang pada keliling roda sepeda yang terletak pada ujung-ujung badan helikopter.
Helikopter Paul Cornu dengan dua rotor yang ditambatkan pada roda sepeda dan dipasang pada ujung-ujung badan helikopter Kedua rotor diputar oleh motor bensin bertenaga 22 HP dengan menggunakan transmisi ban (belt transmission). Masing-masing rotor mempunyai 2 bilah (blade) dengan aspect ratio (perbandingan antara panjang terhadap lebar bilah) kecil. Kedua rotor tersebut berputar dengan arah saling berlawanan, dengan tujuan untuk
4 menghilangkan reaksi torsi. Helikopter Paul Cornu mampu terbang setinggi 1 kaki di atas tanah dalam waktu 20 detik. Keberhasilan Paul Cornu dalam menerbangkan helikopter berpenumpang, menambah semangat para pemerhati dan perancang wahana terbang vertikal. Pada tahun 1909 dengan diilhami keberhasilan Paul Cornu, Igor Ivanovitch Sikorsky dan Boris Yur’ev secara terpisah membangun prototype dengan rotor ganda tanpa awak. Namun mesin terbang yang diciptakan tidak bisa diterbangkan, karena masalah getaran dan belum tersedianya mesin penghasil tenaga penggerak yang cukup. Dalam otobiografinya, Sikorsky menyatakan bahwa dia harus menunggu sampai ditemukannya mesin penghasil gaya penggerak yang lebih baik, ditemukannya bahan pembuat pesawat yang ringan serta pengalaman mekanik yang cukup. Mesin terbang vertikal ciptaannya yang pertama yaitu S-1 bahkan tidak mampu terbang untuk mengangkat beratnya sendiri, sedangkan mesin ciptaan kedua yaitu S2 tanpa awak hanya bisa mengudara sebentar meski sudah dilengkapi tenaga penggerak yang cukup. Kekecewaan Sikorsky terhadap kegagalannya menciptakan mesin terbang vertikal, membuat dia menghentikan usahanya dalam menciptakan helikopter. Selanjutnya dia beralih untuk mencurahkan kepiawaiannya dalam penciptaan pesawat sayap tetap (pesawat konvensional), yang ternyata lebih berhasil. Meskipun Sikorsky kurang perhatian terhadap penciptaan helikopter, namun setelah berimigrasi ke Amerika Serika, ia kembali melanjutkan cita -citanya dalam penciptaan mesin terbang vertikal. Boris Yur’ev dari Rusia, menciptakan helikopter dengan konfigurasi tail rotor yang pertama kali sebagai alat untuk menghilangkan reaksi torsi rotor utama (main rotor) pada tahun 1912. Selain memperkenalkan rancangan penggunaaan tail rotor, Boris Yur’ev juga memperkenalkan konsep “cyclic pitch control” yang pertama kali. Dari Rusia juga dikenal nama Profesor Zhukovski (Joukowski) dengan ketekunannya meneliti teori aerodinamika, serta banyak mempublikasikan hasil penelitiannya tentang pesawat sayap putar (helikopter). De la Cierva berhasil membuat model helikopter yang dilengkapi mekanisme “flapping” guna mengatasi tidak simetrisnya gaya angkat pada saat gerakan rotor blade berputar maju dan ke belakang. Kemudian Rauf Hafner pada tahun 1935, memperkenalkan sistem kendali “collective-control” dan “cyclic -pitch control” Semangat pengembangan dan penyempurnaan penciptaan helikopter semakin meningkat, tercatat nama -nama seperti Stephan Petroczy dari Austria, Bapak dan anak yaitu Emile dan Henry Berliner dari Amerika Serikat, Louis Breman dari Inggris, Raul Pescara dari Argentina, dan para inventor lainnya. Jika dirunut sejak usaha penciptaan wahana terbang vertikal dimulai, ada beberapa kendala yang memperlambat laju keberhasilan penciptaan helikopter tersebut. Kendala tersebut adalah : Pertama adalah minimnya pengetahuan dasar tentang aerodinamika khususnya untuk terbang vertikal. Pada saat awal penciptaan model helikopter, besarnya daya penggerak hanya dihitung berdasarkan perkiraan saja. Baru setelah berakhirnya abad 19, teori tentang gaya rotor diperkenalkan oleh William Rankine dan W. Proude, sedangkan teori aerodinamika helikopter baru diperkenalkan secara intensif pada awal tahun 1920-an. Kedua karena belum tersedianya mesin penghasil daya penggerak secara memadai. Pada awal eksperimen wahana terbang vertikal, mesin konversi energi yang dikenal baru mesin uap. Mesin uap merupakan external combustion engine, yang sistemnya cukup komplek dan relatif berat sehingga tidak cocok sebagai mesin
5 penghasil daya penggerak wahana terbang. Baru setelah mesin bensin (gasoline engine) ditemukan pada tahun 1920-an, maka permasalahan mesin penghasil daya penggerak bisa diatasi. Motor bensin merupakan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine), selain konstruksinya lebih sederhana juga mempunyai power to weight ratio yang tinggi. Bahkan setelah mesin turbin gas (gas turbine engine) ditemukan pada tahun 1940-an, dan dipergunakan sebagai daya penggerak pesawat pertama kali pada tanggal 15 Mei 1941 oleh Sir Frank Whittle, maka teknologi pengembangan pesawat terbang termasuk helikopter meningkat pesat. Helikopter pertama kali uji terbang dengan menggunakan mesin gas turbin terjadi pada tanggal 15 Mei 1951. Ketiga karena struktur dan mesin penggerak yang cukup berat. Pada awal penciptaan wahana terbang, bahan pembuat mesin ataupun struktur yang dikenal adalah besi tempa (cast iron) yang relatif berat. Persoalan berat tersebut baru teratasi pada awal tahun 1920-an, setelah alumunium beserta paduannya digunakan secara luas. Keempat karena adanya pengaruh anti torsi. Perputaran main rotor akan berakibat berputarnya badan helikopter ke arah kebalikan putaran main rotor. Pada saat awal penciptaan wahana terbang vertikal, pengaruh ini diatasi dengan pembuatan rotor ganda yang titik pusat putarannya sama (coaxial rotor). Rotor ganda dibuat berputar berlawanan, atau menggunakan konfigurasi 2 rotor yang saling berdampinga n dengan posisi lateral. Namun pembuatan konstruksi tersebut cukup komplek dibanding dengan hanya menggunakan sebuah rotor. Igor Sikorsky adalah orang pertama yang berhasil menggunakan tail rotor, untuk menghasilkan anti torsi guna mengatasi pengaruh torsi putaran main rotor. Kelima karena kesulitan dalam sistem kendali. Kesulitan kendali tersebut antara lain adanya gaya angkat yang tidak simetris antara bilah rotor saat berputar ke depan dan saat berputar ke belakang. Kesulitan tersebut mulai dapa t diatasi setelah De la Cierva merancang system “flapping” pada engsel pangkal rotor pada tahun 1923. Rancangan “flapping” tersebut menyebabkan bilah rotor pada saat berputar ke depan (kecepatan udara relatif membesar), akan menghasilkan sudut serang (angle of attack) mengecil yang berarti mengurangi gaya angkat. Sebaliknya pada saat berputar ke belakang (kecepatan udara relatif mengecil), sudut serang membesar yang berarti meningkatkan gaya angkat. Keenam karena masalah getaran. Getaran yang berlebiha n sebagai sumber kerusakan struktur. Permasalahan tersebut dapat diatasi setelah pengetahuan tentang sifat vibrasi dan aerodinamika helikopter diketahui dan ditrapkan. Usaha para pioner penemu helikopter sampai saat ini telah menghasilkan teknologi wahana terbang vertikal demikian canggih, yaitu pesawat helikopter yang berguna sebagai wahana tranportasi, bahkan sebagai mesin tempur. Helikopter Tempur Helikopter digunakan sebagai mesin perang mulai Perang Dunia II. Namun untuk beberapa tahun masih terbatas sebagai misi pencari dan penyelamat (search and rescue), evakuasi medis, observasi dan penghubung atau komunikasi antar dua lokasi yang berjauhan. Baru pada pertengahan tahun 1950-an, helikopter betul-betul digunakan sebagai wahana yang dipersenjatai untuk misi perang. Kolonel Jay Vanderpool sebagai penerbang helikopter U.S. Army, melengkapi persenjataan pada sejumlah helikopter sehingga mampu digunakan untuk operasi penyerangan. Helikopter yang dipersenjatai antara lain jenis H-34, H-19 dan Piasecki H-21 “si
6 pisang terbang”, dengan senjata mesin dan roket-roket kecil yang dicoba dalam penyerangan berbagai jenis sasaran. Namun kendala pada saat itu adalah kecepatan terbang helikopter yang terlalu lambat, sehingga rentan terhadap serangan darat. Helikopter pertama yang terlibat pertempuran adalah Bell UH-1A Hueys yang dipersenjatai 2 buah senapan mesin kaliber 0,30 dan 16 peluncur roket kaliber 2,75. Helikopter tersebut dikirim ke Vietnam pada tahun 1962, guna mengawal helikopter pengangkut pasukan. Namun beberapa helikopter jatuh tertembak, karena memang dengan kecepatan yang rendah sangat rentan terhadap serangan darat. Selanjutnya industri helikopter Bell melanjutkan pengembangan helikopter tempur, guna memenuhi tuntutan kebutuhan U.S. Army. Helikopter tempur yang dibangun, dipersenjatai senapan mesin, peluncur granat, roket, dan peluru anti tank. Helikopter tersebut adalah AH-1G HueyCobra, yang kemudian digunakan sebagai helikopter tempur yang sangat efektif oleh U.S. Army dan Marine Corps.
Piasecki H-21 si “pisang” terbang sebagai helikopter pertama yang dipersenjatai Menyadari kelemahan helikopter saat Perang Vietnam yang rawan terhadap tembakan darat, maka pimpinan U.S. Army meminta pengembangan helikopter tempur yang mampu terbang cepat dan dilengkapi persenjataan berat guna meningkatkan kehandalannya. Pada tahun 1966, U.S. Army membuat kontrak dengan Lockheed dalam pengadaan 10 prototipe AH-56 Cheyenne. Cheyenne merupakan helikopter tempur dengan persenjataan lengkap dan kecepatan 253 mil perjam atau 407 km perjam (dua kali lebih cepat dari helikopter tercepat yang ada pada saat tersebut). Pada Januari 1968, U.S. Army menandatangani kontrak pengadaan 375 Cheyenne. Namun demikian proyek Cheyenne mengalami masalah teknis, bahkan merangsang Uni Sovyet untuk mengembangkan senjata anti pesawat terbang. Terbukti bahwa peluru pencari panas (heat-seeking missile) buatan Sovyet, membuat helikopter Cheyenne menjadi sasaran empuk yang sekaligus menandai berhentinya proyek Cheyenne. Pada tahun 1972, U.S. Army kembali mengajukan proposal kebutuhan helikopter tempur dengan persenjataan berat dan berkemampuan manuver tinggi. Kebutuhan ini akibat ancaman tank Sovyet di Eropa maupun di Vietnam. Helikopter
7 yang dibutuhkan harus mampu beroperasi di malam hari, mobilitas tinggi, dilengkapi alat sensor serta alat navigasi canggih. Pada saat itu dua perusahaan helikopter ternama yaitu Hughes Aircraft dan Bell, masing-masing mengajukan prototipe. Baru pada tahun 1981, U.S. Army mengadakan kontrak pengadaan helikopter generasi baru AH-64 Apache. Produksi pertama Apache diterima U.S. Army pada tahun 1984. Helikopter AH-64 Apache dilengkapi Hellfire missile sebagai penghancur tank, kendaraan militer dan sasaran-sasaran keras lainnya. Persenjataan lain yang dipunyai Apache adalah senapan mesin kaliber 30 mm dan roket Hydra 70 kaliber 2,75 inci. AH-64 Apache mampu terbang “hover” di balik-balik pepohonan atau bangunan lain, sehingga mampu menghindari ancaman tembakan kendali laser. AH-64 Apache terlibat operasi tempur pertama kali pada saat Perang Teluk I tahun 1991. Dengan Hellfireh, Apache berhasil melumpuhkan radar lawan sehingga pesawat-pesawat multinasional dapat menembus pusat-pusat pertahanan Irak. Pada Perang Teluk, Apache sangat berhasil dengan perannya sebagai penghancur tank dan kendaraan pengangkut personel. Pada kesempatan berpatroli di lembah Euphrata, beberapa Apache memergoki beberapa elemen pengawal Republik Irak, dan berhail menghancurkan sekitar 32 tank dan 100 kendaraan militer. Mulai saat itu seakan terjadi pergeseran teknologi perang, yaitu bahwa helikopter diperhitungkan sebagai mesin perang handal yang antara lain sebagai penghancur tank. Karena terbukti kesuksesannya dalam perang, Apache menjadi dagangan yang laris ibarat pisang goreng.
AH-64 Apache kehandalannya sebagai mesin perang terbukti saat Perang Teluk I Pada pasca Perang Teluk, banyak negara membeli Apache yang terkenal mahal namun handal. Negara-negara tersebut antara lain Inggris, Israel, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Mesir, Swiss dan Belanda. Versi terakhir Apache yaitu Longbow Apache, yang dilengkapi radar pada posisi di atas rotor, sehingga sambil menyelinap di balik-balik pepohonan, Apache dapat mengamati medan perang dengan menggunakan sensornya.
8
AH-1Z Cobra meski tidak sehandal Apache, namun cukup populer karena harga lebih murah, teknologi tidak terlalu komplek, mudah dirawat dan dioperasikan AH-1 HueyCobra atau lebih dikenal dengan sebutan Cobra, terus mengembangkan produksinya. Versi terakhir adalah AH-1Z yang dilengkapi 4 bilah rotor (versi sebelumnya 2 bilah rotor) dan mampu membawa berbagai jenis senjata termasuk Hellfire missile seperti Apache. Meskipun kehandalannya tidak sama dengan Apache, namun banyak negara berminat membeli AH-1Z karena berbagai alasan. Misalnya harga jauh lebih murah, teknologi yang digunakan tidak terlalu komplek serta gampang dirawat dan dioperasikan. Perkembangan helikopter tempur buatan AS juga diimbangi Eropa. Uni Sovyet mengembangkan helikopter tempur Mi- 24 Hind. Hind tidak semata-mata sebagai mesin tempur, namun juga pengangkut pasukan. Helikopter Hind dioperasikan secara intensif pada Perang Afganistan tahun 1980-an, namun banyak yang jatuh tertembak peluru kendali permukaan ke udara Stringer buatan AS, yang dioperasikan dari atas panggul para pejuang Mujahidin Afganistan.
Helikopter Mi-35P yang memperkuat sistem senjata TNI AD merupakan versi eksport dari Mi-24 Hind seri F Sebagai catatan bahwa Helikopter Hind terus mengalami perkembangan baik struktur, persenjataan maupun sistemnya. Untuk versi eksport digunakan kode lain, misalnya MI-25 sebagai versi eksport dari MI-24 Hind seri D, sedangkan Mi-35 versi
9 eksport dari Mi-24 Hind E. Helikopter Mi-35P yang baru saja masuk kekuatan tempur TNI AD, merupakan versi eksport dari Mi-24 Hind seri F. Beberapa helikoper Sovyet dikembangkan dengan meniru Apache, misalnya Mi-28 Havoc dan Ka-50 Werewolf. Pabrik pesawat Italia yaitu Agusta mengembangkan A-109 Mangusta sebagai helikopter tempur anti tank. Eurocopter, sebagai konsorsium pabrik-pabrik pesawat Eropa, mengembangkan helikopter tempur untuk keperluan mereka sendiri yang disebut Tiger pada tahun 1988. Perkembangan teknologi helikopter saat ini telah menjadikan helikopter sebagai wahana yang multi guna, baik untuk kepentingan militer maupun sipil, misalnya sebagai mesin perang, alat angkut personel/barang, SAR, evakuasi medis dan lain-lain.
Mi-28 Havoc dan Ka-50 Werewolf dikembangkan Sovyet dengan meniru Apache Helikopter angkut yang tercatat sebagai yang terbesar saa t ini adalah Mi-26 “Halo” buatan Rusia, yang berkapasitas 4 awak pesawat dan 70 pasukan. Bandingkan dengan helikopter angkut militer AS yaitu CH-47 Chinook, yang berdaya angkut lebih kecil yaitu 4 awak pesawat dan 33 pasukan.
Helikopter Mi- 26 “Halo” tercatat sebagai helikopter angkut terbesar dengan 4 crew dan 70 troops.
10 Mengikuti perkembangan pesawat helikopter yang dimulai dari awal pemikiran penciptaan wahana terbang vertikal sampai dengan helikopter dan teknologinya saat ini, disim pulkan bahwa penciptaan karya besar selalu melalui proses panjang. Dalam proses tersebut selalu diwarnai keberhasilan, namun juga kegagalan dan pengorbanan yang sering membuat putus asa. Demikianlah bagian kecil dari sejarah helikopter. Barangkali jika para pioner helikopter seperti Leonardo da Vinci, Boris Yu’rev, dan Paul Cornu berkesempatan hidup lagi dan menyaksikan bagaimana kecanggihan wahana terbang vertikal saat ini, maka kita semua yakin bahwa mereka akan tercengang dan kagum. Mereka mungkin tanpa sadar bahwa yang mereka kagumi sebenarnya adalah buah impian dan usaha yang pernah dirintisnya sendiri.
Marsma TNI (Purn) Ir. Suyitmadi, M.T. Ketua Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto Yogyakarta E-mail :
[email protected]