Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Bab 5 Perkembangan Pariwisata di Bunaken Pendahuluan Sebagai salah satu ikon pariwisata Provinsi Sulawesi Utara, Bunaken mempunyai daya tarik spesifik yaitu Taman Lautnya yang menjadi salah satu tujuan tempat menyelam (diving) yang indah di dunia bagi para wisatawan yang datang dari dalam maupun luar negeri. Taman Nasional (1991) yang juga merupakan kawasan Konservasi Laut Bunaken mempunyai luas hampir 89.000 Ha. Taman Nasional Bunaken diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 24 Desember 1992. Wilayah ini meliputi lima pulau, yaitu: Bunaken, Siladen, Manado Tua, Mantehage dan Nain, dan pesisir Utara semenanjung Sulawesi, yaitu: Molas, Meras, Tongkaina, dan Tiwoho, serta pesisir Selatan, yaitu: Arakan, Wawontulap, Poopoh sampai Popareng. Pada tahun 1997 oleh WWF (World Wild Fund) kawasan ini diusulkan sebagai salah satu World Heritage, dan baru tahun 2000 ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia. Dari kelima pulau tersebut Bunaken yang paling terkenal dibanding yang lainnya sebagai lokasi penyelaman. Oleh karena itu dalam penelitian ini, kawasan Bunaken dipilih sebagai salah satu lokasi penelitian karena intensitas kegiatan wisata di sini paling menonjol dibandingkan pulau-pulau lainnya. Bunaken bisa ditempuh dari kota Manado atau desa Kimabajo. Para wisatawan dapat berlayar ke pulau Bunaken dengan speedboat sekitar 60 menit dari Manado. Selain dari Manado para wisatawan juga dapat mencapai Bunaken melalui desa Kimabajo di kabupaten Minahasa Utara dalam waktu 30 menit. Pulau Bunaken, merupakan gugus 83
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
kepulauan bersama dengan pulau Siladen, Mantehage, dan Manado Tua. Di pulau ini terdapat dua Kelurahan, yakni kelurahan Liang dan Alungbanua yang mempunyai penduduk sejumlah 3.200 jiwa (2011). Dahulu tercatat dalam sejarah lahirnya Kabupaten Sangihe Talaud, penduduk asli Bunaken adalah bagian dari migrasi Wawontehu yaitu berpindahnya sebagian penduduk, karena meletusnya gunung berapi Pinatubo di Cotabato Philippina Selatan, dalam lima kelompok yang salah satunya mendarat di Manado Tua dan sekitarnya termasuk Bunaken tahun 1398 (John Rahasia, 1986). Penduduk pendatang kemudian berinteraksi dengan keturunan Portugis yang ada di Singkil, Sindulang, dan Bitung Karangria di kota Manado, yang menjadikan pulau ini tempat persinggahan kala badai, namun tidak mau menetap disini karena tidak tersedianya air bersih. Belakangan para nelayan dari suku Bajo Sulawesi Selatan juga singgah mencari teripang yang banyak tersebar di perairan pulau ini sampai ke Likupang. Teripang adalah komoditi mahal yang diperdagangkan sampai Singapura. Peta 5.1. Penyebaran Resort dan Spot Diving di Bunaken
Taman laut Bunaken menarik bagi para penyelam karena memiliki 20 titik penyelaman (diving spot) dengan kedalaman 84
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
bervariasi antara 10 meter hingga 1.344 meter. Dari 20 titik penyelaman ada 12 titik selam yang paling kerap dikunjungi penyelam dan pecinta keindahan pemandangan bawah laut, karena mempunyai beragam ikan hias dan terumbu karang yang khas. Di sini terdapat dinding karang raksasa yang berjejer cukup panjang (underwater great walls), yang disebut juga hanging walls, atau dinding-dinding karang raksasa yang berdiri vertikal serta melengkung ke atas. Dinding karang ini juga menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan dan tempat ikan berkembang-biak. Di samping keindahan terumbu karang, di perairan Bunaken juga terdapat 91 jenis ikan seperti kerapu, bobara (ikan kue), baronang, kakap, ikan sebelah, gaca, barakuda, dan ikan raja laut (coelacanth) serta puluhan jenis ikan hias dan biota lainnya. Keindahan inilah yang dapat menahan para penyelam untuk menikmatinya berjam-jam. Kekayaan laut yang luar biasa ini mulai menarik perhatian pemerintah setelah upaya pengembangannya diawali oleh alamarhum Bapak Locky Herlambang, seorang pengusaha yang mempunyai kegemaran menyelam seperti akan dipaparkan lebih mendetil pada bagian berikut. Melihat potensi ini, pemerintah mulai menerapkan berbagai peraturan konservasi untuk menjaga kelestariannya. Disamping itu pemerintah juga mengupayakan pengembangan pariwisata karena besarnya potensi wilayah ini untuk menarik wisatawan. Namun demikian perubahan status wilayah Bunaken dari pulau terpencil menjadi daerah tujuan wisata dan sekaligus daerah konservasi menimbulkan berbagai konflik di antara para stake holders antara lain masyarakat lokal, pengusaha pariwisata dan pemerintah. Dalam bab ini akan dipaparkan secara mendetil sejarah perkembangan pariwisata di Bunaken serta berbagai persoalan yang muncul sebagai akibat dari pengembangan pariwisata di Bunaken. Secara umum persoalan yang muncul adalah konflik yang mungkin terjadi di antara para stakeholders dan persoalan dengan lingkungan. 85
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Awal Mula Pariwisata Bunaken Sampai tahun 1970-an, Bunaken hanyalah sebuah pulau kecil dalam gugusan pulau-pulau di sekitar wilayah Sulawesi Utara yang tidak banyak dikenal orang luar Sulawesi Utara. Saat itu juga tidak banyak orang yang berminat tinggal di pulau ini karena kesulitan memperoleh sumber air tawar. Kalaupun ada yang menghuni, mereka adalah para nelayan yang mencari ikan di perairan teluk Manado dan sekitarnya. Para nelayan tersebut berasal dari suku Borgo Manado dan Sanger. Pada saat itu, pulau ini lebih banyak dimanfaatkan para nelayan dari daratan Manado Utara sebagai lokasi persinggahan. Namun demikian kehadiran Bapak Locky Herlambang (almarhum) seorang pemuda pengusaha asal Surabaya, ahli biologi dari ITB yang mempunyai kegemaran menyelam, telah mengubah posisi Pulau Bunaken dari wilayah yang terpencil dan tidak menarik menjadi daerah tujuan wisata utama di Sulawesi Utara. Melalui kegemarannya menyelam, Bapak Locky Herlambang pertama kali menemukan keindahan alam bawah laut Bunaken dan sudah memperkenalkannya kepada dunia. Dia mengawali petualangannya di Manado sebagai pengusaha ikan hias. Bapak Herlambang mempekerjakan nelayan lokal menangkap ikan hias yang banyak hidup di terumbu karang pulau Bunaken dan mengirimkannya ke berbagai kota besar di Indonesia. Namun keindahan alam bawah laut Bunaken membuatnya mengalihkan usaha berdagang ikan hias menjadi usaha pariwisata. Bapak Herlambang memulai usahanya di bidang pariwisata dengan membangun diving centre bernama Nusantara Diving Center di desa Kalasey Kecamatan Malalayang Kabupaten Minahasa (selatan Kota Manado) dan setelah usahanya berkembang ia mampu membangun resort, kemudian pindah ke Kelurahan Molas kecamatan Bunaken Kota Manado (utara kota Manado). Melalui jaringan para penyelam dunia dimana dia adalah 86
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
salah satu anggotanya, Bapak Locky mempromosikan keindahan alam bawah laut Bunaken. Bersama dengan pioneer lainnya Ricky Lasut dan Hanny Batuna, Locky Herlambang tidak hanya mempromosikan Bunaken sebagai daerah tujuan wisata Bahari namun juga mengupayakan perlindungan terhadap lingkungan di kawasan ini yang beberapa waktu kemudian membuahkan hasil dengan ditetapkannya kawasan tersebut menjadi Daerah Wisata Laut oleh pemerintah daerah provinsi Sulawesi Utara pada tahun 1980, sehingga layak mendapatkan alokasi anggaran APBD. Selanjutnya karena pelestarian kawasan ini memerlukan biaya besar maka atas saran berbagai pihak pulau Bunaken diusulkan untuk ditangani pemerintah pusat. Usul ini disetujui sehingga oleh Menteri Kehutanan dijadikan Cagar Alam Laut pada tahun 1986 dan akhirnya menjadi Taman Nasional Kawasan Konservasi pada tahun 1991 dan bapak Locky menerima Kalpatar dari Presiden sebagai penghargaan atas usaha beliau melestarikan Taman Laut Bunaken. Dengan ditetapkan kawasan ini sebagai sebagai Taman Laut Nasional Bunaken oleh pemerintah, maka untuk menjaga kelestariannya diperlukan usaha-usaha konservasi laut dengan membagi kawasan pesisir pulau Bunaken menjadi zone inti, dan zone pemanfaatan berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat setempat (Lihat Peta 5.2).
Pengembangan Pariwisata Bunaken dan Peluang Ekonomi Pada masa-masa awal perkembangan aktivitas pariwisata di Bunaken, kebanyakan wisatawan yang datang untuk menyelam tinggal di Manado. Mereka kemudian menggunakan perahu motor menyeberang ke Pulau Bunaken dan setelah menyelam mereka kembali dan menginap di Manado lagi. Semakin lama semakin banyak wisatawan yang datang menyelam di pulau Bunaken dan berharap dapat tinggal beberapa hari disana. Harapan mereka direspons oleh masyarakat Bunaken dengan merubah tempat 87
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
tinggalnya menjadi homestay yang disewakan pada para turis baik harian ataupun secara mingguan. Di samping usaha penginapan sederhana, usaha lain yang berkembang adalah usaha penyewaan Peta 5.2. Zonasi Konservasi Taman Nasional Bunaken di Pesisir Selatan pulau Bunaken
peralatan selam oleh para pemuda lokal. Untuk beberapa waktu, usaha rakyat ini bisa bertahan tanpa persaingan dari investor luar, namun situasi berubah setelah adanya perubahan peraturan daerah sebagai konsekuensi diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Dengan adanya revisi masterplan kota Manado yang baru yang disusun pemerintah kota, peluang pembukaan resort di buka lebar. Sebelumnya karena alasan tidak tersedianya fasilitas air bersih dan pelabuhan yang layak, pembangunan resort di pulau Bunaken dilarang. Menyadari besarnya prospek pariwisata di Bunaken, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara pada saat itu bapak Drs. Jack Parera berinisiatif mengadakan sosialisasi ke 88
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
masyarakat dan sekaligus mengajak masyarakat dan dunia usaha berinvestasi ke Bunaken dan sekitarnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar Bunaken berubah ekonominya dan tidak hanya tergantung pada hasil laut. Sejak itu investor lokal maupun asing mulai masuk dan membangun resort mewah di Bunaken dan sekitarnya. Saat ini di Bunaken sudah ada sekitar 20 resort dengan kapasitas kamar mencapai hampir 500 buah di Bunaken yang dibangun swasta, antara lain Bunaken Cha-cha Resort,
Mimpi Indah Resort, The Village Bunaken, Bunaken Beach Resort, Bunaken Sea Garden Resort, Two Fish Resort, Froggies Resort, Daniel’s Resort, Cicak Senang Resort Bunaken, Bunaken Kuskus Resort, Lorenzo Cottage Bunaken, Bunaken Island Resort, Sea Breeze Dive Resort, Bastianos Bunaken Diving Resort, Bunaken Ocean Star Cottages and Dive Resort, Living Colours Dive Resort, Raja Laut Dive Resort Bunaken, Hotel Bunaken Village Resort and Diving, Bunaken Beach Dive Resort dan Daniel’s Homestay. Selain itu ada dua restoran yaitu : City Extra dan Bunaken Seafood Restoran. Resort-resort tersebut juga dilengkapi dengan diving centre sendiri. Resort milik orang asing atau investor besar tersebut pada umumnya melayani tamu-tamu khusus yang datang melalui kerjasama dengan biro perjalanan. Harga kamar yang ditawarkan dalam mata uang asing dan berkisar antara 1,000 – 5,000 US$. Karena mahal, hanya sedikit tamu domestik yang menginap di resort mereka. Resort-resort mewah di Bunaken pada awalnya berkembang di bagian Timur pulau Bunaken, namun kemudian berkembang ke bagian Selatan yang tadinya hanya pemukiman penduduk. Penduduk Bunaken lalu membuka penginapan sederhana melayani tamu domestik dan asing dengan harga kamar yang lebih murah. Harga kamar penginapan penduduk berkisar antara Rp. 200.000 hingga Rp 300.000 per malam. Tamu asing yang menginap di penginapan penduduk lokal adalah para backpackers 89
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
yang sangat hemat dengan pengeluaran/belanja. Penduduk lokal membangun penginapan untuk mereka di dalam perkampungan sehingga wisatawan yang tinggal di sana dapat berbaur dengan warga masyarakat setempat. Ada juga penduduk yang sengaja membangun penginapan namun ada juga yang merenovasi rumah tinggal menjadi penginapan. Misalnya ada penginapan Daniel Homestay (12 kamar) adalah bangunan yang berdiri sendiri dan lepas dari rumah induknya, namun ada juga Auberge yang merupakan bagian dari rumah tinggal yang direnovasi menjadi penginapan. Letak antar satu rumah dengan yang lain saling berdempetan. Di tempat inilah para wisatawan berbaur langsung dan memperoleh pengalaman kultural dengan penduduk lokal. Mereka tinggal bersama penduduk dan makan makanan lokal, berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari bersama masyarakat lokal. Masyarakat lokal dan wisatawan dapat menikmati proses interaksi ini dengan nyaman. Gambar 5.1
Bastianos Diving Resort
90
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Semakin hari kunjungan wisatawan ke Bunaken semakin meningkat baik wisata nusantara maupun mancanegara. Dari hasil wawancara dengan masyarakat lokal diperoleh informasi bahwa saat ini kedatangan wisatawan bisa lebih dari 100 orang per hari pada hari-hari libur. Namun pada pada hari-hari biasa kedatangan turis rata-rata hanya berkisar 30 orang per hari. Menurut data yang dikeluarkan DPTNB pun jumlah wisatawan mancanegara terus meningkat. Dalam perkembangan wisatawan mancanegara masih konsisten berkunjung ke Bunaken, namun wisatawan domestik cenderung menurun. Antara tahun 2006-2010 rata-rata kedatangan wisatawan mancanegara terus meningkat, sedangkan dalam periode yang sama wisatawan nusantara turun cukup berarti (Lihat Tabel 5.1). Penurunan wisatawan domestik ini, mungkin karena kondisi lingkungan Bunaken yang ditenggarai semakin kotor. Dengan menurunnya wisatawan domestik maka pasar potensil penduduk Bunaken berkurang. Pada masa lalu ketika masih banyak wistawan domestik, masyarakat bisa menabung di musim-musim panen turis, dan berhemat sampai musim panen berikutnya. Di samping itu masyarakat juga mendirikan usaha pendukung kegiatan pariwisata lain. Usaha-usaha tersebut selain usaha homestay menabung di musim-musim panen turis, dan berhemat sampai musim panen turis berikutnya. Di samping itu masyarakat juga telah berupaya mendirikan usaha pendukung kegiatan pariwisata lain. Usaha-usaha tersebut selain usaha penginapan antara lain adalah usaha penjualan kaos bernuasa etnik, souvernir, usaha warung yang terkait dengan kebutuhan wisatawan seperti cream anti matahari, shampoo, sandal jepit, kacamata hitam, dan topi. Selain itu penduduk juga terlibat dalam kegiatan pemandu wisata, jasa transportasi laut, pelatih dan pemandu penyelam (divers), jasa foto-foto dalam dan di atas air, serta usaha layanan internet. 91
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Kehadiran Investor Luar dan Permasalahan Pengembangan Pariwisata di Bunaken Potensi Bunaken sebagai daerah tujuan wisata cukup menarik bagi para investor untuk masuk dan membuka usaha di sana. Usaha-usaha yang berkembang di Bunaken oleh para pengusaha luar tidak terlalu bervariasi namun skala besar. Pada umumnya selain mereka memasuki investasi di sektor akomodasi, investor luar juga mulai mendominasi bisnis transportasi laut bagi wisatawan. Terbukanya peluang bagi investor luar untuk masuk ke Bunaken sebagai pengusaha fasilitas layanan bagi wisatawan menimbulkan konflik antara mereka dengan masyarakat lokal. Tabel 5.1 Perkembangan Turis ke Taman Laut Nasional Bunaken, 2006-2011
No
Jenis Turis/ Tahun
2007
2008
2009
2010
2011*
1.
Mancanegara
10.373
11.506
14.337
11.083
5.754
2.
Nusantara
16.082
23.047
27.246
17.148
8.063
Total wisatawan
26.455
34.594
28.231
13.817
34.553
Sumber : DPTNB, Sulawesi Utara 2011. * Data baru sampai bulan Agustus 2011
Secara umum, persoalan antara pengusaha dan penduduk lokal dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama, masyarakat lokal melihat para investor pendatang sebagai pesaing yang tidak seimbang dalam hal modal baik modal finansial 92
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
maupun kemampuan kerja dan jaringan sehingga mengakibatkan masyarakat lokal tersingkir atau terdesak. Kedua, penduduk lokal merasa semakin terancam dengan perekrutan tenaga kerja dari luar wilayah Bunaken oleh para investor tersebut. Dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan masyarakat terungkap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat yang mengakibatkan mereka tersingkir dalam persaingan dengan para pendatang. Pertama, masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tentang Tata Ruang di wilayah mereka. Salah satu contohnya adalah tentang pembangunan sebuah resort dimana pembangunannya itu mengambil jalan-jalan desa yang sebenarnya merupakan akses penting bagi masyarakat lokal. Sementara pemilik resort tidak pernah mengadakan pendekatan kepada masyarakat untuk membicarakan masalah ini namun langsung mengajukan ijin kepada Dinas Tata Kota Manado seperti diungkapkan oleh Bapak Nicolaas Pontoh sebagai berikut: “….Ada masalah karena ada resort yang bangun kong ambe itu jalan. Dia pe suami orang bule Belanda, depe istri orang Jawa. Ternyata dorang kote so ada ijin dari Dinas Tata Kota. Nyanda heran dia so nyanda menunggu dari masyarakat”.
Selain persoalan dengan Tata Ruang lahan, contoh yang lain yang membuat para penduduk lokal merasa tersingkir karena para pengusaha luar memonopoli jalur kapal di laut maupun area perairan laut di Bunaken. Investor dengan permodalan besar menentukan jalur-jalur yang hanya boleh dilalui oleh kapal milik mereka sendiri sedangkan masyarakat dilarang melalui jalur yang sama. Hal ini disampaikan Caroles, seorang anggota masyarakat yang menyatakan : “…..perahu-perahu dari Santika dorang larang maso disini.
Alasannya bagini. pernah perahu-perahu dari masyarakat dorang larang nembole maso di Santika. sampe skarang. ”
93
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Selain oleh investor nasional, pelarangan juga dilakukan pengusaha-pengusaha pendatang/orang-orang asing yang sempat menimbulkan situasi yang tidak kondusif untuk perkembangan pariwisata di wilayah tersebut. Hal ini nampak dalam pernyataan Elthon Antony yang menyatakan bahwa: “kalau kita mau menangkap ikan di pesisir namun bule yang memiliki
resort di depan situ melarang masyarakat untuk menangkap ikan, sehingga terjadi konflik dengan ‘bule’ itu. Kami sempat mengatakan bahwa kami akan membakar cottage milik ‘bule’ tersebut, ada yang lain juga sempat mau menghajarnya”.
Selanjutnya persoalan juga terjadi antara masyarakat lokal dengan investor luar penyedia jasa transportasi laut. Kehadiran investor ini menjadi pesaing berat usaha perahu rakyat. Pada umumnya para pengusaha memiliki lebih banyak perahu dengan kondisi perahu yang lebih representatif. Hal ini tidak hanya menimbulkan monopoli jalur antrian penumpang namun juga kecenderungan calon penumpang lebih memilih kapal-kapal yang bagus milik para investor luar daripada kapal milik masyarakat yang kondisinya sudah kurang layak. Dari hasil FGD juga terungkap persoalan mengenai rekrutmen tenaga kerja oleh para pemilik resort. Dalam diskusi muncul informasi bahwa resort-resort besar dan mewah di kawasan ini cenderung mempekerjakan orang dari luar Bunaken. Hal ini karena kapasitas dan kemampuan kerja penduduk lokal rendah. Jabelina Frans salah seorang informan dalam FGD dengan masyarakat menyampaikan: “Kalau mau dipikir disini yang banyak masyarakatnya, dan yang kerja-kerja di cottage disini sudah campur ada orang Manado, Bunaken, masyarakat mau sama dengan di Siladen yang hanya mempekerjakan orang lokal.” Kalaupun ada peluang kerja bagi masyarakat lokal, pekerjaanpekerjaan tersebut terbatas pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan ketrampilan yang tinggi dengan upah yang rendah. Dalam FGD dengan masyarakat terungkap juga bahwa mereka merasa dieksploitasi oleh para pengusaha. Dalam perbincangan 94
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
tersebut mereka memberikan contoh mengenai perlakuan para pengusaha resort terhadap mereka dimana para pengusaha tersebut cenderung memberikan upah dibawah Upah Minimum Regional. Para pekerja lokal sebagai pekerja-pekerja cottage memperoleh gaji antara Rp. 400.000.- sampai dengan Rp. 500.000.- per bulan. Di samping itu, maka jaminan-jaminan kesejahteraan seperti jaminan kesehatan juga tidak diberikan oleh para pengusaha. Dalam sebuah FGD dengan anggota masyarakat, salah satu dari mereka, Bapak Royke Nongka menyatakan bahwa: “masyarakat dipekerjakan oleh pengusaha-pengusaha dari luar,
namun masalahnya para pekerja dibayar dibawah standart UMP. Padahal so kerja sampe tenga malam, jaminan kesehatan juga ndak ada”.
Kecenderungan mempekerjakan pekerja dari luar juga dilakukan oleh para kontraktor dari luar pulau Bunaken ketika memperoleh proyek pembangunan fasilitas di Bunaken. Dalam hal ini pemerintah juga tidak mensyaratkan keharusan kontraktor menggunakan pekerja lokal, sehingga untuk melaksanakan pekerjaan tertentu, tenaga diambil dari kota Manado. Hal ini seperti yang dilaporkan Frangki Tawaris, yang menyatakan bahwa: “mereka ada proyek pembersihan pantai tapi terkadang mereka
tidak memakai orang yang ada disini, dan kalau DPTNB yang mengaturnya bukan orang asli Bunaken yang mengaturnya tapi orang dari Manado, dan pariwisata kan bukan hanya di Liang tetapi juga disini ada taman lautnya“.
Karena adanya persoalan-persoalan tersebut, masyarakat cenderung merasa bahwa walaupun ada pembangunan pariwisata yang berlangsung di wilayah mereka, mereka tidak merasakan manfaatnya. Hal ini dikemukakan Frangki Tawaris yang menyatakan bahwa: “Kami menganggap pariwisata disini berkembang namun tidak ada
keuntungan bagi masyarakat desa disini. Karena yang paling banyak disini nelayan, jadi kalau tidak ada yang melaut maka nelayan disini tidak mendapat uang,”
95
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Secara umum masyarakat juga tidak merasakan dampak pengembangan pariwisata secara signifikan karena tidak ada upaya peningkatan kapasitas kerja oleh para investor luar dan juga pemerintah bagi mereka. Pada masa lampau, berbagai pelatihan pernah diberikan kepada pekerja oleh Program Pengembangan Wilayah Pesisir National Resources Management II. Pelatihan meliputi, ketrampilan menyelam, bahasa Inggris, Integrated Coastal Zoning, Planning and Management (ICZPM), dan program peningkatan livelihood pemanfaatan sirip ikan untuk souvenir. Namun pada saat ini, berbagai pelatihan tersebut semakin jarang, malahan tidak pernah lagi diselenggarakan. Dalam FGD dengan para pekerja terungkap bahwa pelatihan yang mereka pernah ikuti hanyalah pelatihan pramusaji di cottage, selebihnya tidak ada. Walau para pekerja ingin meningkatkan kemampuan mereka, namun pelatihan-pelatihan pada umumnya dilakukan di luar desa mereka, dan mereka tidak diajak ikut berpartisipasi dalam pelatihan tersebut. Hal ini nampak dari informasi yang diberikan Frangki Tawaris, yang menyatakan : “segala penyuluhan proyek-proyek yang ada tidak pernah desa disini
dapat, karena kebanyakan proyek-proyek yang ada hanya ke pantai Liang bukan kesini kalau disini daerahnya namanya Panggalisang/ Tanjung pasir,....’
Pada umumnya masyarakat masih berharap akan adanya pelatihan komunikasi dalam bahasa asing. Karena rendahnya kemampuan berbahasa asing, mereka pada umumnya kesulitan berkomunikasi dengan para wisatawan. Hal ini dialami para pemilik penginapan dan para pekerja. Akibatnya sulit terjadi dialog antara para pengusaha lokal dengan wisatawan yang menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses transaksi bisnis di antara mereka. Kesulitan dalam berkomunikasi juga sering menimbulkan kesalahpahaman di antara wisatawan dengan pemilik penginapan. Berdasarkan penuturan Royke Nongka, terlihat bahwa masalah bahasa menjadi kendala utama bagi masyarakat lokal dalam mempersiapkan diri terlibat dalam bisnis 96
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
pariwisata. Bagi para pekerja resort, kesulitan berbahasa asing menyebabkan mereka hanya dapat mengisi pos-pos yang tidak bersinggungan langsung dengan wisatawan seperti tenaga security, penata taman, dll. Sebagai akibat dari rasa tersingkir timbul resistensi di kalangan masyarakat local terhadap pendatang. Sejauh ini konflik belum berlangsung terbuka. Dari proses FGD diperoleh informasi bahwa penanganan konflik dilakukan kepala desa. Kepala desa mengambil inisiatif mengadakan pertemuan antara pihak yang bermasalah dengan masyarakat lokal dan selalu dicarikan jalan keluarnya agar resistensi ini berkurang.
Kehadiran Pemerintah dan Permasalahan Pengembangan Pariwisata di Bunaken Setelah wilayah pulau Bunaken ditetapkan sebagai daerah konservasi, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menghadirkan Dewan Pengelola Taman Nasional Bunaken (DPTNB) pada tahun 2000. Kehadiran Dewan ini dimaksudkan mengawasi dan menjaga agar proses konservasi di wilayah Bunaken berjalan dengan baik. Namun demikian, DPTNB justru sering bermasalah dengan masyarakat lokal karena para petugas lebih berperan sebagai ‘polisi penjaga lingkungan’ daripada melibatkan masyarakat untuk bersama-sama menjalankan program pelestarian lingkungan di Bunaken. Upaya melindungi lingkungan ditetapkan Balai Taman Nasional Bunaken dan diawasi bersama DPTNB dengan berpedoman kepada ketetapan tentang Zone Inti dan Zona Pemanfaatan wilayah laut Bunaken. Zone inti mengatur pelarangan memancing dan mengambil karang, pasir untuk kepentingan apapun, karena kawasan dikonservasi untuk kepentingan pelestarian lingkungan maupun sebagai obyek penelitian (Lihat Peta 5.2). Zona pemanfaatan yang sudah disepakati bersama dengan masyarakat. Zona pemanfaatan ini yang mengatur wilayah di kawasan pesisir Bunaken yang dapat 97
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata maupun penangkapan ikan. Namun demikian sejauh ini ketergantungan masyarakat terhadap pemanfaatan hasil laut masih tetap tinggi baik itu untuk kepentingan makan mereka sehari-hari maupun untuk dipasar, sehingga mereka juga masih sering melanggar aturan yang sudah disepakati sebelumnya. Kecenderungan ini terkait dengan ketersediaan peluang kerja di bidang lain yang relatif rendah. Seperti telah disinggung di sub bab sebelumnya, walaupun ada tenaga kerja yang terserap di sektor pariwisata yang dominan di Bunaken saat ini, namun upah yang mereka peroleh juga masih rendah. Dengan demikian, sumber daya laut masih menjadi andalan pemasukan sebagian penduduk di Bunaken. Persoalan dengan konservasi timbul ketika ditemukan banyak terumbu karang yang dilindungi di wilayah Bunaken menjadi rusak. Masyarakat tidak mau dipersalahkan sebagai penyebab rusaknya terumbu karang di wilayah perairan Bunaken. Sebaliknya karena mereka merasa bukan satu-satunya kelompok yang memanfaatkan wilayah perairan Bunaken, mereka menyalahkan para investor yang membuka jasa penyelaman di sana. Salah satu informan dari kalangan masyarakat lokal, Nicolaas Pontoh, dalam FGD menyatakan: “Sejak ada zonasi pemanfaatan yang disepakati, nah dorang menuduh masyarakat Bunaken yang merusak karang, padahal yang merusak karang pemilik perahu-perahu menyelam. Waktu itu ada salah satu dari mereka yaitu dokter Batuna. Dia punya beberapa perahu yang dipakai untuk penyelam. Perahu pada saat buang sahu dan angkat sahu, tagate di karang dan merusak karang, jadi tuduhan itu tidak benar. Lalu sampe pada zonasi,dorang tuduh orang Bunaken waktu menangkap ikan, itu jaring (torang bilang tagao) beking rusak karang. Padahal torang nembole pasang jaring di karang, sebab jaringnya akan rusak”.
Lebih dari itu saya akan memaparkan kasus lain yang juga menimbulkan konflik adalah proses penanganan pelanggaran ketentuan konservasi oleh masyarakat. Dalam FGD dengan anggota masyarakat, Bapak Elthon Antony, salah seorang anggota masyarakat mengatakan: 98
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal Kemarin juga ada tiga orang Bunaken yang mau “ba panah, ba jubi ikang” (mencari ikan menggunakan panah), dan mereka ditangkap oleh POLAIR dan dibawa ke Manado dimasukkan ke dalam sel polisi air dan terjadi konflik. Masyarakat Bunaken marah, semua kantor DPTNB dihancurkan oleh masyarakat, dan di zona-zona pariwisata yang dilarang untuk memancing sesuai kesepakatan awal dilanggar dan masyarakat pergi memancing disitu”.
Rendahnya kapasitas ekonomi dari masyarakat lokal membuat ketergantungan mereka terhadap sumber daya alam yang ada menjadi tinggi. Untuk pemenuhan kebutuhan hidup, mereka memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka walaupun hal ini tidak selaras dengan kepentingan konservasi. Sementara itu peluang partisipasi dalam pengembangan pariwisata terbatas karena kapasitas kemampuan kerja mereka yang rendah sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan. Ungkapan dari Bapak Nicolas Pontoh dalam FGD menggambarkan situasi sulit masyarakat di Bunaken: ”……. torang sangat rugi, misalnya suru bekeng WC, maar torang mo ambe paser di laut dilarang, torang mo ambe batu di laut dilarang. Nah, skarang yang punya usaha penginapan disini orang-orang luar yang punya banya doi. Para guide juga orang luar.”
Lebih jauh, peluang masyarakat untuk memperoleh pendapatan tambahan melalui program kerja pemerintah juga tertutup. Seperti diungkapkan Bapak Frangki Tawaris dalam FGD dengan masyarakat: “kadang-kadang kami mengusulkan sesuatu kepada pemerintah agar supaya orang-orang disini mendapat “doi” (uang), agar diikutkan pada proyek-proyek yang dilaksanakan disini, seperti ada pernah proyek untuk pembersihan pantai, tapi orang yang dipanggil hanya orang mereka saja bukan kami, kami juga berusaha untuk menjaga kelestarian karang tetapi tidak ada kontribusi untuk kami s
Oleh karena itu dengan kondisi sosial ekonomi yang terbatas sangat sulit bagi masyarakat dapat sepenuhnya mendukung program-program konservasi yang diterapkan oleh pemerintah. Disamping menjaga agar rancangan konservasi bisa berjalan dengan baik, peran pemerintah dalam pengembangan wilayah di Bunaken lebih banyak ditekankan pada aspek pengembangan fisik 99
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
yang mendukung pariwisata. Pembangunan fasilitas publik dan infrastruktur banyak mengalami kemajuan setelah hadirnya pariwisata di wilayah ini. Pembangunan fasilitas publik dan infrastruktur di Taman Nasional Bunaken dilakukan pemerintah melalui berbagai program antara lain seperti PNPM pedesaan dan perkotaan. Ada beberapa fasilitas publik dan infrastruktur yang dibangun pemerintah, seperti: fasilitas air bersih, pembangkit listrik tenaga surya, dan pembangunan jalan namun sifatnya tidak besar-besaran karena memang ada kebijakan pemerintah sebelumnya tidak mengembangkan Bunaken sebagai Kawasan Pemukiman. Walaupun berbagai fasilitas telah dibangun, manajemen pengelolaan fasilitas publik dan infrastruktur cenderung lemah dan tidak teratur sehingga fasilitas dan infrastruktur yang dibangun tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat. Sebagai contoh upaya pembangunan fasilitas air bersih sudah pernah dilakukan pada tahun 2005 yang lalu, namun karena terbentur pada masalah pembayaran tanah untuk lokasi pembangunannya yang belum selesai, maka fasilitas itu akhirnya dikuasai pemilik tanah. Hal ini nampak dalam pernyataan Nicolaas Pontoh, sebagai berikut: “Kalu bicara air bersih, ini somo jadi sumber penyakit. Ada air bersih yang so bekeng dengan dana APBN Rp. 402 juta, entah bagimana so selesai menjadi milik pribadi. Ternyata kote itu tanah blum bayar. Nyanda mungkin proyek so klaar kong depe tanah blum bayar.”
Selanjutnya pada tahun 2011 pemerintah pusat melalui kegiatan latihan bencana alam Asean Regional Comitte for Disaster Relief Excercise and Evaluation (ARC-DIREV) memberikan bantuan berupa alat penyulingan air payau di sumur-sumur penduduk Bunaken agar bisa dipergunakan masyarakat dengan kapasitas 1 m3/jam. Di sisi lain, disamping mengupayakan pembangunan infrastruktur, pemerintah dari berbagai lapisan di Sulawesi Utara
100
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
menerapkan berbagai retribusi dan pungutan bagi para pengusaha di wilayah Bunaken. Berdasarkan hasil penelusuran di lapangan, terdapat beberapa pungutan baik dalam bentuk retribusi, maupun pajak yang dikenakan kepada para pengusaha. Pajak-pajak itu antara lain diperoleh dari para pengusaha kapal ketika mereka melakukan pengurusan surat-surat kapal di Manado. Disamping itu, pihak kelurahan juga menarik pajak dari cottage sebagai salah satu sumber kas kelurahan. Dalam FGD dengan masyarakat, salah satu informan Bapak Royke Nongka mengatakan bahwa, besarnya setoran dari pengusaha untuk kelurahan sebesar Rp 250.000, per cottage per tahun. Karena masyarakat merasa tidak terlalu mendapat manfaat dari pengembangan pariwisata yang berlangsung di wilayah mereka, maka mereka cenderung mencurigai penggunaan danadana yang ditarik dari pengusaha tersebut.Hal ini disuarakan oleh Alex Tawaris, salah seorang anggota masyarakat yang menyatakan bahwa : ”Kita kira ada 1 hal juga yang jadi penyesalan voor masyarakat
Bunaken, kita kira tidak seluruhnya dikecap oleh orang Bunaken, maka dari itu apa yang didapat Dewan Pengelola Taman Laut Bunaken bisa diberikan sebagian atau sebagian kecil bagi masyarakat Bunaken untuk pembangunan yang ada di desa ini. Tapi sejak mulai ato terbentuk Dewan Pengelola Taman Laut Nasional Bunaken se sen pun tidak pernah diberikan.”
Lebih jauh Alex Tawaris menyatakan bahwa: “saya waktu masih aktif, masih tugas sebagai pimpinan forum
masyarakat peduli taman laut Bunaken, sekitar taon 2004. Uang yang masuk di kas taman pengelola taman laut Bunaken, 1 taon sekitar 3 milyar. Bayangkan kurang lebih 3 M, itu kalu sebagian kalu so kase untuk kantor, untuk gereja, untuk mesjid, itu masyarakat sudah merasakan”.
Kasus seperti ini mungkin juga muncul sebagai akibat kurangnya komunikasi antara pihak Dewan Pengelola Taman Nasional Bunaken bersama dengan masyarakat lokal. Seharusnya pihak DPTNB selalu mengkomunikasikan dengan masyarakat 101
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
bahwa dana hasil penjualan PIN yang mereka kumpulkan memberikan keuntungan tidak langsung bagi pariwisata Bunaken karena lingkungan tetap terjaga sehingga turis tetap ingin datang. Masyarakat sebenarnya sudah tahu keberadaan dana itu, namun mereka nampaknya menginginkan keterbukaan penggunaannya, sehingga mereka minta agar manfaat langsung bagi mereka dapat segera dirasakan.
Konflik di antara Masyarakat Lokal Persoalan di Bunaken menjadi semakin rumit karena masyarakat lokal terdesak oleh investor dari luar yang juga ingin memperoleh porsi keuntungan dari kehadiran pariwisata. Sebagai akibatnya persaingan usaha di antara pengusaha lokal juga tidak terhindarkan lagi. Di antara para pengusaha losmen lokal atau pemilik perahu juga terjadi perebutan tamu yang mengarah pada “pembajakan” tamu dan persaingan dalam penetapan harga tranportasi laut. Masyarakat juga mengharapkan Pemerintah mengatur antrian perahu agar semua mendapat kesempatan yang sama dalam melayani tamu. Selain itu mereka mengharapkan Pemerintah membuat aturan untuk tidak mengijinkan katamarang memuat penumpang yang ke Bunaken dari arah darat. Perahu katamarang dianggap tidak layak untuk membawa penumpang mengarungi lautan karena sering pecah dihantam gelombang. Perahu tersebut hanya cocok berlayar di kawasan pesisir. Untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini seharusnya masyarakat, pekerja maupun pengusaha setempat mempunyai Paguyuban yang mewakili masing-masing kepentingan mencari jalan keluarnya. Pada masa yang lalu memang sudah ada “Yayasan Lestari”, namun karena kurangnya biaya operasional, Yayasan ini tidak mampu lagi menyewa rumah untuk kantornya di Bunaken.
Masalah Lingkungan di Bunaken Disamping berbagai macam konflik yang telah dipaparkan 102
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
di atas, masalah yang serius dan dapat mencoreng citra daerah wisata Bunaken sebagai taman laut nasional adalah lingkungan yang tidak bersih, dan rendahnya kepedulian para divers terhadap kelestarian lingkungan. Seringkali mooring juga ikut merusak terumbu karang. Di samping ada masalah citra wilayah, Bunaken juga menghadapi persoalan aberasi yang mengancam keberlangsungan wilayah ini. Dalam pengembangan kegiatan pariwisata di pulau Bunaken, tidak selamanya masyarakat lokal menunjang dan sekaligus menarik keuntungan positif dari hadirnya kawasan wisata tersebut. Ditemukan juga berbagai masalah yang melibatkan masyarakat lokal seperti sampah yang berasal dari luar wilayah Bunaken yang terbawa arus air. Masalah sampah kiriman ini hanya bisa diatasi di tempat pengiriman, dalam hal ini di muara sungai Tondano yang perlu dipasang jaring sampah bekerjasama dengan pihak Kota Manado. Berdasarkan pendapat tersebut, para pengusaha lokal menyadari adanya persoalan sampah kiriman ternyata dapat mengganggu aktivitas pariwisata di Bunaken. Selaras dengan ibu Rita Domit, maka Royke Nongka mengeluhkan masalah sampah kiriman, namun lebih jauh Royke juga memberikan perhatian terhadap kerusakan terumbu karang.
“ dan terumbu karang, karena banyak yang diving sembarangan, buang jangkar sembarangan, sebenarnya so ada zona-zona yang dilarang untuk diving”. “Masyarakat sudah ikuti perintah untuk bersih, jaga kebersihan.
Kalu berbicara kotor itu pante, kalu bapak bajalang lia kotor, itu bukan kotor dari orang Bunaken, itu kotor dari orang Manado. So depe botol plastik, botol hipo. Jadi orang Bunaken samua yang trima depe salah. So itu pak, saya usul untuk beking tanggul pemecah ombak. 4 taong datang, so mo abis itu pante.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat ada wisatawan yang tidak mempedulikan keselamatan terumbu karang sebagai akibat perilaku diving yang tidak memperhatikan kawasan konservasi, yang merusak terumbu karang. Perilaku tersebut 103
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
semakin diperparah dengan tidak diindahkannya peraturan pemerintah. Sebagai contoh, adalah perilaku para penyelam mengambil ikan ditempat yang telah dilarang oleh pemerintah, pada kawasan yang dilindungi. Tampak bahwa masyarakat lokal sangat kesal terhadap sampah kiriman dan mereka juga sangat menyesal karena harus menanggung sesuatu yang bukan kesalahan mereka. Jika ditelusuri lebih jauh, maka persoalan sampah kiriman dari Kota Manado Gambar 5.2 Tali Tambang (mooring), yang merusak Terumbu Karang
akan memberikan dampak negatif terhadap citra Taman Nasional Bunaken. Masalah lingkungan sehari-hari di Bunaken. berkisar pada sampah dan kerusakan terumbu karang, sedangkan erosi dan abrasi pantai adalah masalah-masalah strategis jangka panjang yang harus dicarikan juga jalan keluarnya secara terpadu. Dewan Pengelola Taman Nasional Bunaken diharapkan untuk dapat merumuskan secara detail duduk permasalahannya, sehingga dapat diusulkan dalam forum Musrenbang untuk mendapatkan alokasi pembiayaan bagi tindakan yang terkoordinasi dalam 104
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
rangka turut menyelamatkan Taman Laut Bunaken melalui kegiatan konservasi dengan melibatkan masyarakat setempat. Hanya berdasarkan kajian yang mendalam serta diskusi antar Gambar 5.3. Sebaran sampah di muara sungai Tondano Manado
berbagai pihak saya yakin akan ditemukan bagaimana cara terbaik melakukan konservasi yang berjalan bersama usaha MICE di Sulawesi Utara pada umumnya. Berkaitan dengan kebersihan pantai, masyarakat Bunaken menghadapi masalah sampah kiriman di laut yang berasal dari luar Bunaken. Dalam FGD ini maka salah seorang informan, Rita Domits, menyatakan: “Masalah sampah juga perlu diperhatikan karena banyak sekali sampah yang ada di Bunaken berasal atau kiriman dari Manado”.
Polusi ini sangat mengganggu kenikmatan para penyelam ketika berwisata di Taman Laut Bunaken karena saat ini jarak pandang di dalam laut sekitar Bunaken tidak lebih dari 30 meter. Kalau cuaca siang terang jarak pandang antara 25-30 meter, sedangkan kalau hujan tinggal 5-10 meter. Di samping itu, para penyelam sering terganggu pandangannya oleh berbagai jenis 105
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
sampah plastik dari pembungkus produk makanan atau produkproduk lainnya yang bertebaran di dalam laut. Dalam pengalaman selama penelitian, ketika mengitari daerah penyelaman dengan kapal selam mini yang ada kacanya, peneliti sering melihat potongan sampah plastik yang terombang-ambing di antara para Gambar 5.4. Sampah yang dibawah arus ke pulau Bunaken
penyelam. Kondisi ini mengancam keindahan Bunaken pada masa yang akan datang bila tidak dicarikan jalan keluarnya dari sekarang. Pada kesempatan yang sama juga, Royke Nongka mengeluhkan masalah sampah kiriman, namun lebih jauh Royke memberikan perhatian terhadap kerusakan terumbu karang karena ulah para divers. Hal ini nampak dalam pernyataannya sebagai berikut: “……dan terumbu karang, karena banyak yang diving sembarangan, buang jangkar sembarangan, sebenarnya so ada zona-zona yang dilarang untuk diving”.
Sampah Kiriman ke Bunaken Polusi air laut lainnya juga mengganggu kenyamanan para 106
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
divers adalah limbah buangan dari rumah tangga-rumah tangga dan resort-resort yang ada di sana. Ancaman yang terutama adalah berkembangbiaknya bakteri coli yang masuk ke air laut bersama dengan limbah rumah tangga dan resort di Bunaken. Adapun masalah lingkungan lainnya yang serius dan dapat mengancam keberlangsungan wilayah Bunaken adalah aberasi. Sejauh ini persoalan aberasi pantai sudah cukup mengganggu kualitas hidup masyarakat di Bunaken seperti diungkapkan oleh Royke Nongka dalam FGD: “Masalah mengenai lingkungan juga, yang kita amati, tidak ada
perhatian dari pengusaha dari luar. Juga masalah abrasi yang ada disini sangat memprihatinkan saat ini air pasang so sampe blakang dapur, kalu ombak keras so ja sampe di muka rumah, torang tako ini Bunaken somo tenggelam.”
Menurut masyarakat, sejauh ini perhatian pemerintah terhadap masalah abrasi tidak nampak. Tindakan mereka lebih pada respons jangka pendek. Sebagai contoh ketika terjadi bencana akibat dari hantaman ombak ke rumah penduduk, Pemerintah mengirimkan bantuan pangan. Untuk ini, masyarakat merasa bantuan ini tidak tepat karena mereka mengharapkan penyelesaian strategis seperti dinyatakan oleh beberapa informan dibawah ini. Royke Nongka yang menyatakan bahwa : “Masalah Dewan Pengembangan Taman Nasional Bunaken juga
yang tidak melakukan tugas dan tanggung jawab dengan baik serta tidak memperhatikan kondisi lingkungan yang ada di Bunaken”. Akibatnya hal tersebut, menimbulkan pandangan bahwa pemerintah dalam hal ini Dewan Taman Nasional lebih beroientasi untuk melakukan eksploitasi kekayaan Taman Nasional Bukanen tanpa memperhatikan aspek lingkungannya.”
Frangki Tawaris kemudian menambahkan: “ada juga masalah lalu waktu terjadi erosi disini rumah sudah
hancur tapi pemerintah hanya mengirim bantuan berupa supermie, rumah sudah rubuh tapi bantuannya supermie dan baju-baju, tetapi yang masyarakat butuh disini yaitu tanggul,....”.
Dari pemaparan di atas jelas nampak bahwa persoalan-persoalan lingkungan di Bunaken cukup serius dan perlu segera diantisipasi 107
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
penyelesaiannya dalam jangka panjang untuk mempertahankan kelestariannya.
Penerimaan Masyarakat Terhadap Wisatawan Terlepas dari hadirnya persoalan-persoalan yang ada dan berkembang sesuai dengan penyampaian mereka dalam FGD, maka berkaitan dengan pengembangan wilayah Bunaken sebagai daerah tujuan wisata, masyarakat lokal Bunaken pada prinsipnya terbuka menerima wisatawan asing yang datang ke lokasi mereka. Wilayah Bunaken yang terkenal di seluruh dunia sebagai taman laut yang indah membuat mereka merasa bangga. Didorong oleh rasa bangga tersebut, salah satu upaya yang dilakukan masyarakat adalah dengan melestarikan seni tradisional di wilayah tersebut untuk disajikan kepada para wisatawan. Kesenian-kesenian tradisional yang hampir punah mulai digali kembali sebagai atraksi kesenian yang layak untuk menarik minat wisatawan. Contohnya antara lain adalah musik bambu, tarian-tarian cakalele, katrili, masamper, dan ampa wayer. Hal ini sesuai pendapat Nicolaas Pontoh yang menyatakan : “Takira pak, perkembangan kesenian disini sangat dibutuhkan pak.
Takira musik bambu perlu pelatih. Berikut tarian cakalele, soalnya nyanda ada pelatih. Soal berikutnya itu tarian katrili yang sangat populer di masyarakat lokal membutuhkan pakaian yang lengkap dan pelatih voor anak-anak. Ada satu ley pak.disini banya orang Sanger, tarian masamper. Turis suka sekali ini masamper”.
Persoalan yang muncul sebagai akibat kehadiran wisatawan pada umumnya berkaitan dengan persoalan-persoalan benturan budaya terutama dengan kalangan para generasi tua. Namun demikian, persoalan-persoalan ini biasanya bisa diselesaikan melalui dialog dengan tokoh masyarakat. Kesalahpahaman karena perbedaan budaya dan bahasa kadang muncul terutama di kalangan generasi tua. Persoalan benturan kebudayaan pada awalnya terjadi ketika para turis yang mau ke pantai memakai baju renang yang minim kemudian diprotes oleh para ibu. Demikian pula pertengkaran 108
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
antar suami istri sering terjadi dikala suaminya bekerja sebagai guide yang menemani turis itu sehari-hari. Sejauh ini persoalanpersoalan demikian masih bisa diselesaikan dengan pemberian pemahaman oleh anggota LSM dan tokoh-tokoh agama serta masyarakat setempat kepada para wisatawan yang datang. Persoalan benturan budaya ini tidak terjadi dengan generasi muda lokal. Pada umumnya dengan cepat mereka mengadopsi berbagai hal melalui proses interaksi mereka dengan wisatawan asing. Anak-anak muda yang sehari-hari bergaul dengan turis cepat sekali mengadopsi ucapan, cara berpakaian, maupun kemampuan menggunakan internet. Para generasi muda sekarang merasa lebih nyaman ketika meniru perilaku turis untuk memakai t-shirt yang you can see daripada blus tertutup yang panas misalnya, atau memakai hot pants ketimbang celana jeans panjang yang berat. Melalui para divers asing, mereka belajar menyelam yang selanjutnya bisa mereka manfaatkan untuk mencari uang dengan bekerja sebagai guide diving bagi para wisatawan.
Kesimpulan Kehadiran kawasan wisata Bunaken, pada hakekatnya telah menjadi salah satu icon promosi pariwisata Provinsi Sulawesi Utara. Pengembangan pariwisata di Bunaken telah memberikan dampak bagi masyarakat lokal, sehingga mereka tidak menolak kehadiran kawasan wisata tersebut, terutama karena kehadiran kawasan wisata Bunaken berdampak pada timbulnya kesempatan berusaha dan pendapatan tambahan bagi masyarakat lokal, baik pada sektor yang terkait langsung maupun yang tidak langsung, serta menciptakan peluang dalam pembukaan dan penyerapan lapangan kerja. Masyarakat lokal juga memiliki kebanggaan terhadap budaya yang dimiliki, apalagi jika wisatawan mau mempelajari perilaku budaya tersebut.
109
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Gambar 5.5 Rumah di atas air Kimabajo
Gambar 6.2
Resort di Kimabajo I
Gambar 5.6 Resort di Kimabajo I
110