BioSMART Volume 5, Nomor 2 Halaman: 111-114
ISSN: 1411-321X Oktober 2003
Perkecambahan Spora Paku Pohon (Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.) Copel) pada Berbagai Media Tumbuh Spore germination of tree fern (Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.) Copel) on the various growing media. TRI HANDAYANI, SRI HARTINI Pusat Konservasi Tumbuhan - Kebun Raya Bogor, LIPI, Bogor 16122 Diterima: 17 Mei 2003. Disetujui: 23 Juli 2003
ABSTRACT Tree fern Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.) Copel belongs to Cyatheaceae. This plant has been used as ornamental plant, handy craft, traditional medicine and growing medium for orchids and aroids. Unfortunately, people tended to exploit it in its natural habitat and neglect its sustainable while knowledge of cultivation and conservation is very limited. As a result they are now endangered in the wild and their population decreased gradually. An experiment in spore germination of the tree fern has been carried out at the Bogor Botanic Gardens using five growing media viz. chopping of root of the tree fern (C. contaminans), composting of calliandra (Calliandra macrophylla), chopping of root of the bird’s net fern (Asplenium nidus), composting of bamboo leaf (Dendrocalamus giganteus) and sandy-mud. Parameters used are the best medium for spore germination and sporelings growth, life cycle of spore until young sporophyte are obtained. The result showed that sandy-mud medium is the best whereas chopping of root of the bird’s net fern medium is the worse. It took 12-18 weeks to form young sporophyte which consists of four phases, i.e cell differentiated, young prothallus, mature prothallus and young sporophyte. Key words: germination, media, spore, sporelings, tree fern, Bogor Botanic Garden.
PENDAHULUAN Paku pohon (Cyathea contaminans) merupakan salah satu jenis dari suku Cyatheaceae. Jenis ini merupakan tumbuhan paku berbentuk pohon, berperawakan ramping yang tingginya dapat mencapai 10 m atau lebih. Batang bagian bawah tumbuhan ini berwarna hitam karena ditutupi oleh akar-akar serabut hitam, kasar, rapat, dan tebal. Pada batang yang sudah tua terdapat lekukan-lekukan dangkal yang merupakan bekas tangkai daun yang sudah lepas. Jenis ini memiliki penampilan khusus yang mudah dibedakan dengan jenis paku lainnya yaitu pangkal stipenya berwarna pucat, keunguan dan berduri, selain itu pada ujung batang dan pangkal tangkai terdapat bulu-bulu halus berwarna coklat pucat (Holtum, 1963; Sastrapradja et al., 1978). Paku pohon memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Batangnya banyak dimanfaatkan untuk bahan patung, tiang-tiang dekorasi rumah mewah atau hotel-hotel, vas bunga, maupun sebagai media tanam anggrek. Daun yang masih menggulung digunakan sebagai bahan sayur. Bulubulu halus digunakan untuk ramuan obat rebus (Sastrapradja et al., 1978). Berdasarkan hasil diskusi secara langsung dengan pemilik nursery tanaman hias di daerah Ciapus (Bogor), akar serabut paku pohon ini dapat dimanfaatkan sebagai media tanam jenis-jenis Anthurium spp., Piper spp., Platycerium spp., Adiantum spp., dan jenis-jenis tumbuhan paku lain.
Pemanfaatan C. contaminans cukup besar. Berdasarkan data statistik PHPA (Perlindungan Hutan dan Pengawetan Alam) tahun 2000, pemanfaatan jenis paku ini untuk Sumatra, Sulawesi dan Jawa Barat sebesar 31.294 kg. Pada periode 1 Januari-31 Desember 2000 jatah kuota untuk Pulau Jawa adalah 16.000 batang dan terekspor sebanyak 14.400 batang. Untuk luar Jawa, kuota sebanyak 50.000 batang dan terekspor sebanyak 45.000 batang (Anonim, 2000). Tingginya nilai ekonomi jenis ini sayangnya tidak diimbangi oleh upaya budidaya yang memadai. Masyarakat masih mengandalkan alam sebagai sumber paku pohon baik untuk diambil batang maupun daun mudanya. Banyaknya pengambilan C. contaminans yang tidak tercatat secara resmi juga tidak dapat diprediksi. Meskipun telah masuk dalam daftar appendix II CITES, tetapi jenis ini belum termasuk dalam daftar tumbuhan yang dilindungi oleh undang-undang. Adanya eksploitasi secara terus menerus akan mengakibatkan jumlah populasi yang ada di alam semakin menurun. Kecepatan menurunnya jumlah populasi ini juga didukung oleh adanya kenyataan bahwa pertumbuhan C. contaminans sangat lambat serta tingkat keberhasilan spora yang tumbuh menjadi tanaman dewasa di alam tergolong rendah (Anonim, 1998). Spora merupakan bahan utama dalam perbanyakan paku pohon. Perbanyakan dengan spora merupakan cara yang paling efisien dan ekonomis dalam mendapatkan tanaman baru dalam jumlah besar. Sayangnya, hasil © 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
112
B i o S M A R T Vol. 5, No. 2, Oktober 2003, hal. 111-114
perbanyakan dengan spora seringkali tidak sesuai dengan yang diharapkan. Keberhasilan perkecambahan spora dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain media tumbuh, kemasakan spora, air, kelembaban, aerasi, dan derajat keasaman (pH). Media tumbuh yang baik akan menyediakan lingkungan yang baik pula bagi perkecambahan spora serta pertumbuhan bibit (Jones, 1987). Informasi mengenai perkecambahan spora paku pohon masih sangat kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji siklus hidup dan mendapatkan media yang baik untuk perkecambahan spora dan pertumbuhan semai paku pohon. Hasilnya diharapkan dapat digunakan dalam perbanyakan bibit paku pohon sebagai bahan untuk reintroduksi. Selain itu dapat dimanfaatkan dalam pengembangan dan pelestarian paku pohon. BAHAN DAN METODE Bahan dan alat Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah spora pakis (Cyathea contaminans), cacahan batang pakis, kompos kaliandra (Calliandra macrophylla), cacahan akar kadaka (Asplenium nidus), lumpur berpasir, dan kompos bambu (Dendrocalamus giganteus). Sedangkan alat yang dipakai adalah kertas sampul samson, kertas koran, golok, baskom plastik berlubang, kantong plastik berwarna putih, timbangan analitik, pH meter, mikroskop, kompor, dandang, dan pengaduk kayu. Cara kerja Percobaan dilakukan di Kebun Raya Bogor pada bulan Juni – Desember 2002. Spora yang digunakan berasal dari paku pohon yang tumbuh secara alami di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Pengambilan spora dilakukan pada bulan Juni 2002. Spora diambil dari pohon induk yang subur dan sehat. Spora yang diambil merupakan spora yang sudah masak. Hal ini ditandai dengan kotak spora sudah berwarna coklat namun belum membuka. Untuk menghindari terjadinya kontaminasi dengan spora dari jenis paku lain, anak-anak daun tempat menempelnya spora dicuci dalam air mengalir, kemudian dikeringanginkan di tempat yang teduh. Daun-daun yang telah dikeringanginkan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kertas samson sampai spora kering dan terbuka. Spora ditimbang sebanyak 1 gram, jumlah spora sekitar 230.833-230.850 butir, untuk dikecambahkan pada setiap perlakuan. Percobaan ini menggunakan lima macam media tumbuh yaitu cacahan batang paku pohon, kompos kaliandra, cacahan akar kadaka, lumpur berpasir, dan kompos bambu. Sebelum digunakan untuk menyemai, media-media tersebut disterilkan terlebih dahulu dengan cara dikukus atau direbus selama 2-3 jam. Media yang telah dikukus dan direbus dimasukkan ke dalam baskom plastik berlubang. Baskom-baskom yang telah diisi media tumbuh dibungkus rapat dengan kantong plastik berwarna putih dan didiamkan selama 2 hari supaya media dingin. Spora seberat 1 gram ditaburkan secara merata di atas media yang telah dingin tersebut, lalu baskom secepatnya ditutup rapat.
Percobaan disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri atas lima perlakuan, masing-masing dengan empat ulangan, yaitu: A. Spora disemai dalam media cacahan batang pakis. B. Spora disemai dalam media kompos kaliandra. C. Spora disemai dalam media cacahan akar kadaka. D. Spora disemai dalam media lumpur berpasir. E. Spora disemai dalam media kompos daun bambu. Pengamatan dilakukan dua minggu sekali. Parameter yang diamati meliputi siklus hidup, perkecambahan spora, dan pertumbuhan semai. Pengamatan siklus hidup dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan mata telanjang, dimulai dari spora sampai dengan terbentuk sporofit muda. Masa siklus hidup pada setiap fase dicatat sejak munculnya suatu fase sampai fase tersebut tidak tampak lagi, kecuali pada fase sporofit muda hanya dicatat awal munculnya fase tersebut. Pengamatan perkecambahan spora dan pertumbuhan semai dilakukan dengan mata telanjang, dimulai sejak spora berkecambah, yakni ditandai oleh munculnya warna coklat kehijauan di permukaan media, sampai dengan berakhirnya masa penelitian. Pencatatan data dilakukan berdasarkan persentase penutupan permukaan media tumbuh. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus hidup Hasil pengamatan siklus hidup mulai dari spora berkecambah sampai dengan terbentuknya sporofit muda disajikan dalam gambar 1, yang dibedakan menjadi 4 (empat) fase yaitu fase pembelahan sel, fase prothalus muda, fase prothalus dewasa, dan fase sporofit muda. Setiap fase ditandai dengan adanya perubahan, berupa perubahan bentuk atau perubahan suatu organ. Adapun fase-fase siklus hidup tersebut meliputi: fase pembelahan sel, fase prothalus muda, fase prothalus dewasa, dan fase sporofit muda. Fase pembelahan sel Perkecambahan spora diawali dengan terjadinya pembelahan sel menjadi beberapa sel yang disertai munculnya rhizoid. Pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan bahwa sel-sel tersebut berwarna hijau, sedangkan rhizoid berwarna coklat. Warna hijau pada selsel tersebut diduga disebabkan oleh adanya klorofil. Rhizoid cenderung tumbuh ke arah bawah. Rhizoid ini sebenarnya merupakan akar semu yang berfungsi untuk menghisap air dan nutrisi dari dalam media tumbuh. Pada fase ini spora yang berkecambah diduga sudah mampu memenuhi kebutuhan makanan tubuhnya sendiri melalui proses fotosintesa yang dilakukan oleh sel-sel yang berklorofil tersebut. Fase prothalus muda Sel-sel yang berwarna hijau terus membelah dan bercabang-cabang sehingga terbentuklah suatu prothalus muda. Pada fase ini rhizoid yang terbentuk juga semakin banyak.
HANDAYANI dan HARTINI – Perkecambahan spora paku pohon
113
Fase sporofit muda baru muncul pada minggu ke-12 setelah spora disemai, tetapi ada yang baru muncul pada minggu ke-16 atau ke-18 setelah spora disemai. Pemunculan setiap fase pada media lumpur berpasir rata-rata berlangsung lebih cepat bila dibandingkan dengan media lain. Sedangkan media kompos Gambar 1. Siklus hidup C. contaminans dari spora sampai sporofit muda. Keterangan: 1. spora, 2. bambu menunjukkan fase pembelahan sel, 3. fase prothalus muda, 4. fase prothalus dewasa: a. anteridium, b arkegonium, c. pemunculan setiap fase rhizoid, 5. fase sporofit muda. tumbuh berlangsung paling lambat. Perbedaan waktu Fase prothalus dewasa pemunculan ini karena adanya perbedaan lingkungan Prothalus muda terus tumbuh dan berkembang menjadi tumbuh dalam media tersebut. Keseimbangan antara prothalus dewasa. Fase ini ditandai oleh suatu bentukan faktor-faktor tumbuh yang ada dalam media lumpur berupa sepasang lembaran yang menyerupai sayap kupu- berpasir tampak lebih baik daripada media lainnya. kupu. Pertumbuhan selanjutnya adalah terbentuknya arkegonium dan anteridium pada organ yang menyerupai Tabel 1. Masa siklus hidup dari spora sampai dengan sporofit lembaran tersebut. Arkegonium tumbuh di dekat lekukan muda pada tiap-tiap media tumbuh. bagian atas sedangkan anteridium tumbuh di bagian bawah Fase Fase Fase Fase di dekat rhizoid. Arkegonium akan menghasilkan sel-sel sporofit Jenis media pembelahan prothalus prothalus betina, sedangkan anteridium akan menghasilkan sel-sel sel muda dewasa muda jantan. Menurut Jones (1987) sel-sel jantan mendekati Cacahan M2-M4 M4-M6 M8-M18 M16 arkegonium ditunjang oleh adanya air pada permukaan batang pakis prothalus dan adanya zat-zat kimia yang dikeluarkan oleh Kompos M2-M4 M2-M4 M4-M18 M18 sel-sel dinding arkegonium. Selanjutnya sel jantan dan sel kaliandra Cacahan M4-M6 M4-M6 mati mati betina bertemu disusul dengan terjadinya pembuahan. Fase sporofit muda Sel telur yang telah dibuahi akan tumbuh menjadi tumbuhan paku muda (sporofit) yang masih hidup pada prothalus. Sporofit ini pada umumnya tumbuh di sekitar lekukan bagian atas (cushion). Bila dibandingkan dengan sel-sel sekitarnya, sel-sel penyusun bagian ini berukuran lebih kecil tetapi letaknya lebih rapat. Sporofit muda ini terdiri atas akar (rhizoid) dan daun. Organ daun yang terbentuk merupakan daun yang sejati artinya bagianbagian daun majemuk sudah dapat dibedakan dengan jelas yaitu tangkai daun (stipe), rakhis dan anak-anak daun. Sporofit muda selanjutnya akan tumbuh menjadi sporofit dewasa, yang ditandai oleh menghilangnya prothalus dan kemudian akan menjadi tumbuhan paku dewasa yang dapat menghasilkan spora. Awal munculnya fase pembelahan sel dan fase prothalus muda pada tiap-tiap media tumbuh ternyata tidak sama, tetapi lamanya fase tersebut berlangsung cenderung sama (Tabel 1.). Fase pembelahan sel paling cepat terjadi pada minggu ke-2 setelah spora disemai, sedangkan paling lambat muncul pada minggu ke-4 setelah spora disemai. Fase tersebut berlangsung selama 2 minggu. Fase prothalus muda paling cepat terjadi pada minggu ke-2 setelah spora disemai, sedangkan paling lambat muncul pada minggu ke6 setelah spora disemai. Fase tersebut berlangsung selama 2-4 minggu. Mulainya fase prothalus dewasa paling cepat tampak pada minggu ke-4 setelah spora disemai, sedangkan paling lambat baru muncul pada minggu ke-8 setelah spora disemai. Fase tersebut berlangsung selama 6-10 minggu.
akar kadaka Lumpur M2-M4 berpasir Kompos M4-M6 bambu Keterangan: M=minggu ke-
M2-M4
M6-M12
M12
M6-M10
M8-M18
M18
Perkecambahan spora dan pertumbuhan semai Jenis media ternyata berpengaruh terhadap perkecambahan spora dan pertumbuhan bibit, seperti disajikan pada Tabel 2. dan Gambar 1. Perkecambahan spora dan pertumbuhan bibit yang paling baik ditunjukkan oleh spora yang disemai dalam media lumpur berpasir, sedangkan yang paling jelek ditunjukkan oleh spora yang disemai dalam media cacahan akar kadaka. Tabel 2. Persentase kumulatif penutupan permukaan media tumbuh. PerlaM2 M4 M6 M8 M10 M12 M14 M16 M18 kuan A 40 d 45 d 55 c 60 c 65 c 75 b 80 d 85 d 90 d B 30 c 50 e 55 c 60 c 65 c 65 c 75 c 75 c 80 c C 3 a 10 b 20 b 0 a 0 a 0a 0a 0a 0a D 10 b 30 c 60 d 95 d 100 d 100 e 100 e 100 e 100 e E 1 a 2,5 a 5 a 10 b 10 b 15 b 20 b 25 b 30 b Keterangan: Angka rerata yang diikuti huruf sama pada kolom sama, tidak berbeda nyata pada jarak uji jarak berganda Duncan taraf 0,5%. M= minggu ke-; A. Spora disemai dalam media cacahan batang pakis. B. Spora disemai dalam media kompos kaliandra. C. Spora disemai dalam media cacahan akar kadaka. D. Spora disemai dalam media lumpur berpasir. E. Spora disemai dalam media kompos daun bambu.
B i o S M A R T Vol. 5, No. 2, Oktober 2003, hal. 111-114
114
Persentase penutupan permukaan (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
M2
M4
M6
M8
M10
M12
M14
Waktu
pakis
kaliandra
kadaka
lumpur
Gambar 1. Perkecambahan spora dan pertumbuhan semai.
Spora yang dikecambahkan pada media lumpur berpasir ternyata paling cepat berkecambah dan pertumbuhan semai selanjutnya juga paling cepat. Pada minggu ke-4 dan ke-6 perkecambahan spora dan pertumbuhan bibit berlangsung dua kali lebih cepat. Pada pengamatan minggu ke-10 seluruh permukaan media telah tertutup oleh semai. Pertumbuhan yang cepat ini diduga karena media lumpur berpasir memiliki lingkungan tumbuh yang baik dibandingkan media tumbuh lain yang dicobakan. Di dalam media ini terdapat keseimbangan antara pori-pori mikro dan pori-pori makro. Keberadaan lumpur akan memungkinkan tersedianya kapiler-kapiler tanah yang terisi oleh air lebih banyak. Sedangkan adanya pasir dalam media memungkinkan jumlah pori-pori makro juga lebih banyak. Akibatnya terjadi keseimbangan dalam sirkulasi air dan udara dalam media. Keseimbangan tersebut akan menunjang terjadinya kestabilan kelembaban udara, kelembaban tanah dan suhu yang sangat dibutuhkan untuk perkecambahan spora dan pertumbuhan semainyanya. Pengamatan setelah minggu ke-10 menunjukkan pertumbuhan semai sedikit menurun. Penurunan tersebut teramati dari lambatnya penambahan ukuran (besar) prothalus dewasa. Tertutupnya seluruh permukaan media tumbuh menyebabkan individu-individu tumbuh saling berdesakan. Akibatnya terjadi persaingan antar individu dalam memperebutkan ruangan, cahaya, udara, air, dan nutrisi pada daerah tajuk maupun perakaran. Akibatnya pertumbuhan dan perkembangan individu cenderung menurun. Spora yang ditumbuhkan pada media cacahan akar kadaka rata-rata hanya mampu berkecambah sekitar 20%, yang selanjutnya diikuti oleh terjadinya kematian. Kematian yang ada disebabkan karena media menjadi kering. Kemampuan akar kadaka untuk menyimpan air sangat rendah, sebaliknya kemampuan dalam meloloskan air sangat besar. Akibatnya kelembaban dalam media menjadi lebih rendah dan suhu menjadi tinggi. Hal ini menyebabkan media menjadi kering sehingga sebagian besar spora kering dan tidak mampu berkecambah. Selain itu semai yang tumbuh akhirnya mengalami kematian.
Perkecambahan spora dan pertumbuhan semai dalam media cacahan batang pakis dan kompos kaliandra menunjukkan hasil yang hampir sama. Kedua jenis media ini juga merupakan media yang cocok untuk perkecambahan spora dan pertumbuhan semai. Sifatnya yang remah memungkinkan adanya sirkulasi udara yang baik dalam media. Selain itu kedua media tersebut memiliki kemampuan untuk menahan air dan meloloskan air dengan baik. Fluktuasi suhu dan kelembaban yang terjadi sangat rendah sehingga tidak menggangu bagi perkecambahan M16 M18 spora. Perkecambahan spora dan pertumbuhan semai pada media kompos daun bambu bambu berjalan lambat, sampai dengan akhir pengamatan hanya mencapai 30%. Derajat keasaman media kompos bambu sangat asam, dengan pH 4-4,5 ternyata kurang cocok untuk perkecambahan spora. Menurut Jones (1987) kebanyakan jenis spora tumbuh baik pada kisaran pH 6-6,5. Rendahnya derajat keasaman ini diduga karena masih terjadinya proses dekomposisi pada media ini. Masih adanya sisa-sisa daun dan ranting bambu menjadi faktor pemicu berlangsungnya proses dekomposisi. Akibatnya terjadi pengurangan oksigen yang sangat dibutuhkan untuk proses perkecambahan. Di samping itu terjadi pula kenaik-an suhu dan penurunan kelembaban dalam media tumbuh. Kondisi lingkungan tumbuh tersebut kurang menguntung-kan bagi perkecambahan spora dan pertumbuhan semai. Namun demikian media kompos bambu masih lebih baik bila dibandingkan dengan media akar kadaka. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah: (i) Media lumpur berpasir merupakan media terbaik untuk perkecambahan spora dan pertumbuhan semai C. contaminans, sedangkan media yang paling jelek adalah cacahan akar kadaka. (ii) Siklus hidup paku pohon C. contaminans mulai dari spora sampai dengan sporofit muda terdiri atas 4 fase yaitu fase pembelahan sel, fase protalus muda, fase protalus dewasa, dan fase sporofit muda. (iii) Waktu yang diperlukan mulai dari spora berkecambah sampai dengan terbentuknya sporofit muda berkisar antara 12-18 minggu. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2000. Statistik PHPA 2000. Jakarta: Departemen Kehutanan. Anonim. 1998. Statistik PHPA 1997/1998. Jakarta: Departemen Kehutanan. Holttum, R.E., 1972. Cyatheaceae in Flora Malesiana. Vol .6 Serie II. Groningen: Wolters-Noordhoff Publishing. Sastrapradja, S., J.J. Afriastini, D. Darnaedi, dan E.A. Widjaja. 1978. Jenis Paku Indonesia. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Jones, D.L., 1987. Encyclopaedia of Ferns. London: British Museum of Natural History, Cromwell Road.
BioSMART Volume 5, Nomor 2 Halaman: 115-118
ISSN: 1411-321X Oktober 2003
© 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta