KANDUNGAN ASAM INDOL ASETAT CACING TANAH (Pheretima hupiensis) PADA BERBAGAI MEDIA TUMBUH
THOMAS DWI YANUAR
PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kandungan Asam Indol Asetat Cacing Tanah (Pheretima hupiensis) Pada Berbagai Media Tumbuh adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada pergur uan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2006 Tho mas Dwi Yanuar NIM G44101042
ABSTRAK THOMAS DWI YANUAR. Kandungan Asam Indol Asetat Cacing Tanah (Pheretima hupiensis) Pada Berbagai Media Tumbuh. Dibimbing oleh EDY DJAUHARI PK dan EA KOSMAN ANWAR. Asam indol asetat (indole acetic acid/AIA) merupakan salah satu hormon tumbuh yang merupakan bagian dari kelompok hormon auksin. AIA disintesis pada ujung tumbuhan yang mengalami pertumbuhan dan dalam konsentrasi yang sedikit mampu memberikan perubahan secara fisik terthadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Cacing tanah sebagai salah satu organisme tanah memiliki potensi sebagai penghasil AIA. Cacing tanah usia dewasa ditumbuhkan dalam pot yang diberi perlakuan dan diletakkan dalam rumah kaca. Setelah dua bulan cacing dipanen dan diukur kandungan AIA pada tubuh dan kastingnya. Sebagai data tambahan juga diukur kandungan AIA pada akar tanaman kedelai. Hasil yang didapat dari pengukuran menunjukkan bahwa pemberian asupan baik dari sampah organik maupun pupuk kandang meningkatkan konsentrasi AIA pada aka r tanaman kedelai, serta tubuh dan kasting cacing tanah. Perbedaan makin terlihat pada tanah utisol yang miskin hara. Konsentrasi AIA tertinggi pada akar kedelai terdapat pada perlakuan U SO 10 sebesar 3,901 ppm. Cacing tanah lebih respon terhadap bahan or ganik di tanah ultisol, ditunjukkan dari tingginya kandungan AIA pada tubuh cacing tanah yang ditumbuhkan pada perlakuan U PK 10 sebesar 1.317 ppm. Sedangkan konsentrasi AIA tertinggi dalam kasting diperoleh pada perlakuan U SO 10 sebesar 0,982 ppm.
ABSTRACT THOMAS DWI YANUAR. The Indole Acetic Acid Concentration of Earthworms (Pheretima hupiensis) at Various of Growth Media. Under the direction of EDY DJAUHARI PK and EA KOSMAN ANWAR. Indole Acetic Acid (IAA) is one of growth hormone , classified in auxin group. It synthesised in peak of active plant, which in low concentration can make a physiologic response to growth and development. Earthworms as one of soil organism was potential to produce IAA. Mature earthworms were grown in cement pot which given a treatment and placed in a green house. After two month earthworms were cropped and concentration of IAA in body and casting were mentioned. In addition concentration of IAA in soybeans root were mentioned. Results show that addition of organic material either organic compos or rumen increases IAA concentration in soybeans root, body and casting of earthworms. The concentration levels were significantly different in soil with less of nutrient. The highest concentration of IAA in soybeans root was obta ined in U SO 10 at 3,901 ppm. Response of earthworms to organic material was higher in ultisol soil, shown in U PK 10, with the earthworm’s body IAA concentration 1.317 ppm. While the highest concentration of IAA in casting was shown in U SO 10 at 0.982 ppm.
KANDUNGAN ASAM INDOL ASETAT CACING TANAH (Pheretima hupiensis) PADA BERBAGAI MEDIA TUMBUH
THOMAS DWI YANUAR
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biokimia
PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Skripsi Nama NIM
: Kandungan Asam Indol Asetat Cacing Tanah (Pheretime hupiensis) Pada Berbagai Media Tumbuh : Thomas Dwi Yanuar : G44101042
Disetujui Komisi Pembimbing
Drs. Edy Djauhari P.K., M.Si. Ketua
Drs. Ea Kosman Anwar Anggota
Diketahui Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M. S NIP 131 473 999
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 28 Januari 1983 dari Ayah Petrus Lengari dan Ibu Frederika Sumaryati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2001 penulis lulus dari SMU ST Maria I Bandung. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada program Studi Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam melalui jalur USMI. Selama mengikuti kegiatan perkuliahan penulis pernah aktif dalam kegiatan Imasika dan kepengurusan DPM, lalu menjadi asisten praktikum Enzimologi dan Biokimia Umum selama 1 semester. Penulis juga pernah mengikuti Praktik Lapangan di Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT Puspiptek Serpong dan menulis laporan ilmiah berjudul Kandungan Nitrogen Pada Tempe Sebagai Pengganti Yeast Extract.
PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena hanya berkat rahmat-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dilakukan dari bulan Juni hingga Desember 2005 di Laboratorium Fauna Kelti Biologi Tanah Balittanah Bogor . Tema yang dipilih adala h mengukur kandungan asam indol asetat pada tubuh dan kasting cacing tanah. Selama melaksanakan kegiatan penelitian dan menyusun karya ilmiah, penulis mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Edy Djauhari PK. M.Si selaku pembimbing utama dan Bapak Drs. Ea Kosman Anwar selaku pembimbing lapangan atas segala kritik dan saran serta arahannya sehingga laporan skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya. Kepada Ibu Rasti selaku kepala Laboratorium Mikrobiologi, Erni Yuniarty, serta Pak Edi penulis sampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas bimbingan selama penelitian berlangsung. .Buat temantemanku terutama Aris, Agung H, Reggy, Heru, Luqman, dan Pingkan, tak ada kata yang lebih indah untuk mengungkapkan rasa terima kasih atas dukungan dan dorongan semangatnya selama ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar -besarnya karena terselesaikannya karya ilmiah ini tidak lepas dari doa yang selalu dipanjatkan oleh kedua orang tua (Petrus L dan F. Sumaryati) serta dukungan dari Donny danYesse yang tiada hentinya. Penulis sadar bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis sangat mengharapkan segala kritik dan saran yang sifatnya membangun. Akhir kata, semoga tulisan ini memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pihak pembaca.
Bogor, Februari 2006 Thomas Dwi Yanuar
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xi
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Cacing Tanah .......................................................................................... Media Pemeliharaan Cacing Tanah ........................................................ Asam Indol Asetat .................................................................................. Mekanisme Kerja Asam Indol Asetat .................................................... AIA Pada Cacing Tanah .........................................................................
1 3 4 5 5
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan ....................................................................................... Metode ....................................................................................................
7 7
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan AIA Pada Akar Tanaman Kedelai ...................................... 8 Kandungan AIA Pada Cacing Tanah ..................................................... 8 Kandungan AIA Pada Kasting Cacing Tanah ........................................ 9 Perbandingan AIA Pada Akar, Cacing, dan Kasting ............................. 10 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................................. 10 Saran ....................................................................................................... 10 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 10 LAMPIRAN .................................................................................................... 13
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kandungan hara tanah ...............................................................................
3
2
Kandungan asam amino pada cacing tanah ...............................................
5
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Siklus hidup cacing tanah ..........................................................................
2
2
Struktur asam indol asetat .........................................................................
4
3
Mekanisme kerja AIA secara umum .........................................................
5
4
Biosintesis AIA .........................................................................................
6
5
Konsentrasi AIA pada akar .......................................................................
8
6
Konsentrasi AIA pada cacing tanah ..........................................................
9
7
Kandungan AIA pada kasting cacing tanah ..............................................
9
8
Perbandingan AIA pada akar, cacing, dan kasting..................................... 10
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Diagram alir penelitian .............................................................................. 13
2
Kurva standar AIA akar ............................................................................. 14
3
Pengukuran konsentrasi AIA akar ............................................................. 14
4
Kurva standar AIA cacing ulangan 1 ........................................................ 15
5
Pengukuran konsentrasi AIA cacing ulangan 1 ........................................ 15
6
Kurva standar AIA cacing ulangan 2 ........................................................ 16
7
Pengukuran konsentrasi AIA cacing ulangan 2 ........................................ 16
8
Kurva standar AIA ulangan 3..................................................................... 17
9
Pengukuran Konsentrasi AIA cacing ulangan 3 ....................................... 17
10 Analisis statistik data AIA cacing ............................................................. 18 11 Kurva standar AIA kasting ulangan 1........................................................ 19 12 Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 1 ....................................... 19 13 Kurva standar AIA kasting ulangan 2........................................................ 20 14 Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 2 ....................................... 10 15 Kurva standar AIA kasting ulangan 3........................................................ 21 16 Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 3 ....................................... 21 17 Analisis statistik data AIA kasting............................................................. 22
1
PENDAHULUAN Pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak lepas dari pengaruh hormon tumbuhan. Kata hormon berasal dari bahasa Yunani “hormoein” yang berarti menggiatkan. Senyawa ini disintesis pada salah satu bagian tanaman dan dipindahkan ke bagian lain, yang pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis (Salisburry 1995). Dalam batasan tumbuhan, hormon ini dikenal dengan sebutan fitohormon. Secara keseluruhan ada lima jenis hormon yang dikenal secara luas, yaitu auksin, sitokinin, giberelin, etilen, dan asam jasmonik. Sistem kerja suatu hormon dapat mempengaruhi kerja hormon lainnya atau saling bekerja sama dalam menyelesaikan suatu proses dalam pertumbuhan tanaman. Pada perkembangan jaman ini telah banyak diteliti mengenai fungsi dan peranan hormon sebagai zat pengatur tumbuh dalam meregulasi pertumbuhan tanaman. Zat pengatur tumbuh bila digunakan dalam konsentrasi yang berlebih akan berubah fungsi menjadi racun dan banyak hasil penelitian telah menunjukkan penggunaan zat pengatur tumbuh sebagai herbisida untuk mematikan tanaman pengganggu atau gulma. Zat pengatur tumbuh yang telah banyak digunakan sebagai herbisida antara lain 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D), 2,4,5 triklorofenoksiasetat (2,4,5 -T),dan 2-metil 4klorofenoksiasetat (MCPA). Asam indol asetat (AIA) merupakan salah satu senyawa organik yang termasuk ke dalam kelompok hormon auksin. Senyawa ini pertama kali ditemukan oleh Charles Darwin dan anaknya Francis saat meneliti perkembangan benih gandum. Beberapa senyawa organik yang termasuk ke dalam hormon auksin bekerja terutama pada pembelahan dan perkembangan sel, serta pembentukan akar lateral. Selain tanaman, AIA sendiri diproduksi oleh beberapa mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Bahkan pengisolasian AIA pertama kali dilakukan terhadap urine pasien yang menderita fenil ketourea. Di alam, cacing tanah Pheretima hupiensis yang sering berinteraksi dengan tanaman juga berpotensi sebaga i penghasil AIA. Banyak ahli pun berpendapat bahwa dalam kasting (feses) cacing tanah terkandung hormon-hormon tertentu yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Cacing tanah jenis
ini sudah diketahui berguna sebagai hewan pengurai. Cacing tanah mampu menguraikan bahan organik 3-5 kali lebih cepat daripada mikroba (Palungkun 1999). Media pertumbuhan cacing tanah sangat berpengaruh terhadap kandungan tubuhnya terutama dalam perannya sebagai penukar kation antara tanah dan tanaman. P. hupiensis bersifat geofagus endogaesis yang berarti selain hidup di dalam tanah juga menggunakan tanah sebagai salah satu nutrisinya (Florkin 1969). Selain tanah, bahan organik yang berasal dari kotoran ternak ataupun rumen sangat disukai oleh cacing tanah. Di alam bebas cacing tanah hidup dalam tanah yang banyak mengandung bahan organik yang telah mengalami pelapukan. Untuk itu media tanah yang baik harus memenuhi persyaratan yang diperlukan bagi cacing tanah untuk tumbuh. Hipotesis pada penelitian ini adalah, komposisi media tumbuh cacing tanah P. hupiensis yang terdiri atas tanah, nutrisi tambahan baik sampah organik ataupun pupuk kandang dapat berpengaruh terhadap pembentukan AIA baik pada tubuh maupun kasting cacing tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kandungan AIA yang terdapat dalam tubuh dan kasting cacing tanah P. hupiensis yang ditumbuhkan pada media tumbuh dengan nutrisi berbeda. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan lebih lanjut dalam penggunaan cacing tanah sebagai pupuk hayati tanaman. Pen elitian dilaksanakan di Laboratorium Fauna Kelti Biologi Tanah Balittanah Bogor mulai dari bulan Juni 2005 hingga Desember 2005.
TINJAUAN PUSTAKA Cacing Tanah (Pheretima hupiensis) Menurut Edwards dan Lofty (1972) P. Hupiensis diklasifikasikan ke dalam Kingdom Animalia, Filum Annelida, Kelas Oligochaeta, Ordo Opistophora, Famili Lumbricidae, Genus Pheretima, Dan Spesies Pheretima Hupiensis . Sejauh ini telah lebih dari 1800 spesies cacing tanah yang telah dipelajari. Jenis-jenis cacing tanah yang telah banyak dipelajari berasal dari Famili Megascolidae dan Lumbricidae dengan Genus Lumbricus, Eiscenia, Pheretima, Perionyx, Diplocardi, dan Lidrillus. Meskipun banyak jenisnya, kebanyakan cacing tanah memiliki kesamaan tingkah laku, antara lain hidup pada berbagai
2
lapisan tanah, dekomposer tanaman dan organisme lain, penggali tanah, serta menggunakan tanah sebagai salah satu nutrisinya (Florkin 1969). Campuran partikel tanah dan bahan organik tanah sebagai makanan cacing tanah yang dikeluarkan dalam bentuk kasting sangat membantu dalam mempertahankan kesuburan tanah. Dua jenis jenis cacing tanah yang kini banyak diternakkan antara lain Pheretima dan Lumbricus. Masyarakat Indonesia sendiri lebih banyak mengenal cacing tanah jenis L. rubellus dibanding P. hupiensis . Cacing tanah jenis ini sudah banyak diternakkan terutama untuk pengomposan bahan organik. Secara fisik L. rubellus lebih besar dibanding P. hupiensis . Selain itu aktivitasnya sangat sedikit di dalam tanah dan lebih banyak di permukaan tanah (epigaesis ). Daya jelajahnya pun lebih kecil dibanding P.hupiensis yang bersifat sebagai “penggali tanah”. Beberapa kegunaan cacing tanah yang telah dicatat antara lain sebagai pengurai limbah dan sampah kota, pengatur airasi dan drainase pada tanah, serta penghasil pupuk organik dalam bentuk kasting maupun kascing (Palungkun 1999). Pupuk kasting merupakan pupuk yang berasal dari kotoran cacing sedangkan kascing selain mengandung kotoran cacing juga mengandung ekstrak cacing itu sendiri. Menurut Minnich (1977) P. hupiensis berasal dari Asia tenggara. Cacing ini memiliki daya adaptasi yang mengagumkan, mampu hidup dengan baik pada suhu tropis di India dan sebagian lagi di lintang utara Amerika. Menurut Palungkun (1999), siklus hidup P. hupiensis dimulai dari kokon (telur), cacing muda (juvenil), cacing dewasa, dan cacing tua. Siklus hidup P.hupiensis dapat dilihat pada Gambar 1. Cacing dewasa merupakan cacing yang telah mengalami pematangan klitelum (alat kelamin). Pada cacing tanah P. hupiensis klitelum dapat terlihat pada daerah sekitar segmen ke-14 di daerah sekitar kepala. Dalam sekali masa bertelur, satu ekor cacing tanah mampu menghasilkan sekitar 8-9 kokon. Karena kemampuan adaptasinya yang cukup baik cacing tanah mampu bertahan hidup sampai usia 5 tahun (Palungkun 1999). Tubuh cacing tanah terdiri atas segmensegmen atau somit baik di luar atau di dalam tubuh. Segmen-segmen ini meliputi otot, syaraf, alat sirkulasi, alat ekskresi, dan alat reproduksi (Edwards & Lofty 1972). Bagian
Produksi kokon
6-10 hari (setelah kopulasi)
2-3 minggu
Kokon menetas
Cacing dewasa 2.5-3 bulan 4-11 bulan (masa produktif)
Mati 1-5 tahun (masa hidup)
Gambar
1
Siklus hidup cacing (Palungkun 1999)
tanah
pertama dari segmen ini adalah anterior atau kepala, terdiri dari mulut dan prostomium, suatu cuping yang menutupi mulut dan sebagai alat untuk membuka tanah. Struktur seperti rambut rambut kecil (disebut setae) yang dapat menarik atau mengulur terdapat di setiap segmen, dan difungsikan sebagai alat gerak. Sebagai tambahan terdapat juga kelenjar kulit yang akan mengeluarkan lendir yang membantu pergerakan cacing ke dalam tanah dan menstabilkan lubang yang telah digali. Di alam cacing tanah berperan sebagai hewan pengurai bahan organik dan melepaskannya sebagai nutrisi dalam bentuk kas ting. Kemampuan penguraian cacing tanah 3-5 kali lebih cepat dibandingkan dengan mikroba. Bahan organik berupa rumen termasuk salah satu makanan cacing tanah, bahkan pembuatan kompos dari rumen banyak menggunakan cacing tanah. Rumen yang masih segar banyak mengandung gas metan yang tidak disukai oleh cacing tanah. Untuk dapat digunakan sebagai makanan bagi cacing tanah biasanya bahan organik tersebut harus sudah mengalami pelapukan antara 50-65% dan sudah tidak mengeluarkan gas yang tidak diinginkan. Lamanya pelapukan berkisar antara 7-35 hari. Protein yang terkandung dalam bahan organik harus dapat dicerna oleh cacing tanah. Kandungan protein dalam makanan sebaiknya lebih rendah dari 15% untuk menghindari keracunan makanan. Menurut Palungkun (1999), kandungan protein dalam bahan organik yang baik bagi cacing tanah berkisar antara 915% Cacing tanah akan memakan tanah (termasuk sisa dekomposisi bahan organik di
3
dalam tanah) atau sisa-sisa tanaman pada permukaan tanah. Cacing tanah mempunyai otot yang kuat untuk mencampur material material tersebut dan melewatkannya ke saluran pencernaan sebagai cairan untuk dicampur dengan enzim. Zat cerna tersebut akan melepaskan asam-asam amino, gula, dan molekul organik kecil lainnya dari residu bahan organik (termasuk protozoa, nematoda, bakteri, fungi, dan mikroorganisme lain sebagai bagian dari dekomposisi hewan). Hasil penguraian bahan organik tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kasting (feses cacing tanah). Bentuk kasting menyerupai partikel-partikel tanah berwarna kehitaman yang ukurannya lebih kecil dari partikel tanah biasa sehingga lebih cocok untuk tanaman. Kasting mengandung berbagai bahan atau komponen yang bersifat biologis maupun kimiawi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Komponen biologis yang terkandung di dalamnya salah satunya adalah auksin (Palungkun 1999). Media Pemeliharaan Cacing Tanah Media tanah yang baik harus disesuaikan dengan kehidupan cacing tanah. Pada umumnya kondisi lingkungan di sekitar cacing tanah mempunyai pH sekitar 6.0-7.2 dan kelembaban sekitar 70-80%. Kondisi tanah yang lembab akan mendukung terhadap proses ekskresi cacing tanah. Sedangkan kondisi tanah yang kering akan membuat cacing tanah mengalami diaposa sehingga lama-kelamaan akan mematikan hcacing itu sendiri. Kesesuaian media tanah dengan kehidupan cacing tanah dikarenakan sifat cacing tanah yang memakan tanah. Ada dua jenis media tanah yang bisa dibandingkan baik dari segi kandungan maupun sifatnya, yaitu ultisol dan latosol. Ultisol merupakan tanah masam yang berkembang akibat pengaruh presipitasi yang tinggi dimana air hujan mencuci basabasa dalam tanah secara kuat (Marwoto et al. 2003). Hasil penelitian Balai Penelitian Tanah seperti tertulis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan kation pada tanah ultisol lebih sedikit daripada pada tanah latosol. Secara umum tanah ultisol memiliki sifat fisik tanah yang kurang baik. Permasalahan pada tanah tersebut antara lain terletak pada tata air dan udara yang kurang baik, penetrabilitas tinggi, serta infiltrasi yang rendah (Sudjadi & Satari 1986). Sifat tanah ultisol juga kurang baik untuk
pertumbuhan tanaman. Adanya cacing tanah pada tanah ultisol diharapkan mampu memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik. Dibandingkan dengan ultisol, tanah latosol pada umumnya memiliki sifat tanah yang lebih baik. Dillihat dari teksturnya (Tabel 1) tanah latosol lebih berpasir dibandingkan tanah ultisol sehingga lebih mudah ditembus oleh perakaran tanaman. Strukturnya remah hingga gumpal dan stabil hingga ke lapisan bawah, konsistensi gembur, dan penetrabilitas rendah. Tanah latosol dibentuk pada curah hujan 2000 -7000 mm/tahun, dan sebagian besar merupakan pembentuk hutan tropika. Kemungkinan terjadinya erosi pada tanah latosol sangat kecil, dan sangat baik untuk aktivitas biologi. Penggunaan bahan organik sebagai nutrisi bagi tanaman maupun cacing tanah dapat memperbaiki atau menambah kandungan hara pada tanah. Menurut Basroch (1982), adanya bahan organik mampu meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah dengan pemantapan agregat tanah, aerasi, dan daya menahan air, serta meningkatkan kapasitas tukar kation. Bahan organik dalam bentuk pupuk kandang maupun sampah organik disamping sebagai nutrisi bagi tanaman juga digunakan oleh cacing tanah seba gai makanannya. Mobilitas cacing tanah dalam media tanah sangat bergantung pada sebaran hara. Telah diketahui bahwa populasi terbanyak cacing tanah dalam media tanah akan berada di sekitar perakaran tanaman (sekitar 20 cm dari permukaan tanah). Secara khusus pada akar tanaman Leguminoceae terdapat bintil akar yang merupakan tempat terakumulasinya bakteri Rhizobium yang telah dikenal sebagai Tabel 1 Kandungan hara tanah Jenis analisis Ultisol Tekstur (%) Liat 67 Debu 29 Pasir 4 pH H2 O 4.5 KCl 3.8 BO (%) C 1.86 N 0.13 C/N 14 Kation Ca 2.07 Mg 0.67 K 0.16 Na 0.14 Sumber: Balai Penelitian tanah
Latosol 57 29 14 5.9 5.0 1.73 0.12 14 11.1 1.8 0.3 0.15
4
mikrob penghasil AIA. Selain itu daerah sekitar perakaran tanaman memungkinkan hidupnya mikroorganisme pengikat nitrogen non-simbiotik seperti Azotobacter dan Aspergillus. Pertumbuhan dan perkembangan cacing tanah akan lebih baik apabila berada pada media tanah yang memiliki keragaman mikroorganisme yang tinggi. Interaksi simbiosis antara cacing tanah dan mikroorganisme dalam pemecahan bahan organik tidak hanya menghasilkan nutrisi bagi tanaman tapi juga menstimulasi pertumbuhan tanaman secara tidak langsung melalui mekanisme tertentu (Edwards & Fletcher 1988). Selama proses mencerna dalam tubuh cacing tanah terjadi peningkatan jumlah mikroorganisme secara luar biasa hingga lebih dari 1000 kali lipat. Ditemukan pula bahwa dalam usus cacing tanah terdapat mikroorganisme yang sama dengan mikroorganisme yang ada di tanah. Ini menguatkan bukti bahwa mikroorganisme tanah digunakan oleh cacing tanah sebagai makanan. Beberapa jenis bakteri, jamur, dan protozoa merupakan nutrisi utama bagi cacing tanah. Asam Indol Asetat (AIA) Pada tahun 1880 Darwin dan anaknya Francis telah mencatat bahwa pertumbuhan benih tanaman dipengaruhi oleh cahaya. Mereka menemukan bahwa pencahayaan pada ujung benih akan menyebabkan terjadinya pelekukan pada semaian. Karena pertumbuhan terjadi beberapa milimeter dari ujung semaian, maka mereka menyimpulkan bahwa ada sinyal yang ditransmisi dari dari ujung ke zona pertumbuhan. Pada tahun 1926 peneliti Belanda Frits Went berhasil mengisolasi sebuah substansi pemacu pertumbuhan dari benih gandum yang kemudian dikenal dengan auksin. Karena hormon ini dapat menimbulkan begitu banyak respon, maka oleh banyak orang senyawa itu dianggap sebagai satu-satunya hormon tumbuh pada saat itu. Namun anggapan ini terbantah saat ditemukannya giberelin pada awal tahun 1950 (Salisbury 1995). Melalui pemurnian lebih lanjut para peneliti kemudian meyakini bahwa senyawa organik yang berada dibalik hormon tersebut adalah asam indol asetat (AIA). Rumus bangun AIA dapat dilihat pada Gambar 2. Dilihat dari strukturnya, AIA terdiri atas cincin indol yang berikatan dengan asam asetat. Perlu dicatat bahwa dalam tiap reaksi yang melibatkan AIA, gugus asetatlah yang
Gambar 2 Struktur Asam Indol Asetat lebih berperan, bukan cincin indolnya. Senyawa ini termasuk ke dalam golongan hormon tumbuh auksin. Sebagai bagian dari hormon auksin, AIA merupak an senyawa yang paling sering berperan dalam berbagai proses pertumbuhan tanaman. Itulah sebabnya banyak ahli fisiologi menyamakan AIA dengan auksin. Sintesis AIA dapat terjadi pada setiap sel tumbuhan, namun dengan konsentrasi berbeda pada tiap bagian t umbuhan. Secara spesifik AIA berfungsi terutama pada pembelahan dan perpanjangan sel. Untuk itu AIA banyak ditemukan pada ujung akar, ujung batang, dan daun muda. Adapun keberadaan AIA pada buah dikarenakan kerjasamanya dengan hormon giberelin. Secara luas adanya AIA sangat menunjang terhadap perkecambahan biji, pembentukan akar yang lebih baik, dan mematahkan dominasi apikal. Dominasi apikal adalah kondisi pada saat pucuk tanaman atau akar tanaman terhambat pertumbuhannya. Aktivitas AIA terjadi pada konsentrasi yang tendah. Pada tanaman yang berusia tua konsentrasi AIA meningkat drastis. Tingginya konsentrasi AIA akan memicu terbentuknya gas etilen yang berperan dalam proses pematangan buah.. Dengan demikian respon tanaman terhadap AIA akan berkurang sehingga menurunkan tingkat pertumbuhan. Mekanisme transport AIA tidak melalui pembuluh xilem maupun floem seperti pada kebanyakan unsur hara yang diserap oleh tanaman. Perpindahan AIA antar sel terjadi melalui proses difusi yang melibatkan protein reseptor yang disebut PIN-protein. Selain AIA tumbuhan mengandung tiga senyawa lain yang strukturnya mirip dengan AIA dan menyebabkan banyak respon yang sama dengan AIA. Salah satunya adalah asam 4-kloroindolasetat yang ditemukan pada biji muda berbagai jenis kacang-kacangan (Engvild 1986). Dua lainnya adalah asam fenilasetat (PAA) dan asam indolbutirat (IBA). Karena ketiga senyawa ini dapat disintesis sendiri oleh tumbuhan maka masih digolongkan ke dalam kelompok hormon auksin. Beberapa senyawa lain juga mampu memberikan respon fisiologis yang hampir sama dengan AIA diantaranya adalah 2.4 -diklorofenoksiasetat (2.4-D), α-
5
naftalenasetat (NAA), dan asam 2-metil-4klorofenoksiasetat (MCPA). Karena ketiga senyawa terakhir tidak disintesis oleh tumbuhan maka disebut hormon sintetik dan digolongkan ke dalam zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang memiliki respon yang sama dengan hormon aslinya, namun apabila digunakan dalam konsentrasi berlebih akan bersifat toksik sehingga mematikan tanaman itu sendiri. Dalam dunia pertanian, penggunaan senyawa sintesik tersebut banyak diaplikasikan sebagai herbisida.
Gambar 3 Mekanisme kerja AIA pada sel secara umum
Mekanisme Kerja Asam Indol Asetat Kontribusi AIA secara keseluruhan berpengaruh mulai dari tingkat seluler, tingkat organ hingga ke seluruh tub uh tanaman. Pada tingkat sel, aktivitas AIA terjadi pada daerah sitoplasma, terutama pada membran plasmanya. Secara umum, aktivitas hormon auksin banyak berpengaruh terhadap dinding sel tanaman, terutama terhadap elastisitas sel. Dinding sel pada jaringan tanaman mengandung selulosa dan protein, sebagian lagi terdiri dari lignin. Adanya dinding sel akan memberikan perlindungan bagi isi sel terhadap berbagai macam gangguan. Disinilah auksin berpengaruh terhadap perkembangan sel pada jaringan tanaman. Mekanisme kerja AIA pada sel dapat dilihat pada Gambar 3. Adanya asam indol asetat (kiri atas kotak) di daerah sekitar membran plasma akan memicu terjadinya pergerakan ion H+ menuju dinding sel. Terjadinya “pengasaman” pada daerah sekitar dinding sel ini akan mengaktifkan enzim yang dikenal sebagai “ekspansin” (Anonim 2005) yang akan memecah ikatan hidrogen pada dinding sel sehingga dinding sel akan kehilangan kekakuannya. Pelunakan dinding sel akan meningkatkan tekanan osmotik sel sehingga air akan lebih banyak masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya pemanjangan sel. Pada akar, pelunakan sel akan menyebabkan masuknya hara dari tanah yang bercampur dengan air lebih cepat. Terjadinya pelunakan dinding sel inilah yang menyebabkan sel akan lebih mudah mengembang dan pada beberapa bagian tanaman seperti ujung akar dan pucuk daun akan berespon terhadap pertumbuhan.
AIA Pada Cacing Tanah Sebagian besar tubuh cacing tanah terdiri dari protein, yakni 64-76% (Palungkun 1999). Sedangkan sisanya adalah lemak (7-10%), kalsium (0.55%), fosfor (1%), dan serat kasar (1.08%). Selain itu cacing tanah juga mengandung auksin yang merupakan zat pengatur tumbuh untuk tanaman. Beberapa asam amino yang terdapat dalam tubuh cacing tanah dapat dilihat pada Tabel 2. Pada hewan, kemampuan untuk melakukan biosintesis asam amino berkurang hingga setengah dari 20 jenis asam amino proteinogenik, karena itu asam amino esensial harus diambil dari bahan makan an. Jadi metabolisme pada hewan tidak lagi mampu mensintesis baru asam amino aromatik (triptofan) dan asam amino bercabang (valin, leusin). Pembentukan asam amino tidak lepas dari bantuan mikroorganisme tanah terutama yang mampu mengikat nitrogen bebas. Interaksi antara cacing tanah dengan mikroorganisme tanah sangat berpengaruh terhadap fiksasi nitrogen dalam biosintesis asam amino. Beberapa jenis mikroorganisme tanah memiliki enzim nitrogenase yang berfungsi memfiksasi nitrogen. Enzim ini terdiri atas dua komponen: protein Fe dan protein Fe-Mo. Protein yang mengandung molibden ini akan memindahkan elektron ke N2 sehingga terbentuk amoniak (NH3) yang akan disintesis lebih lanjut menghasilkan asam amino. Tabel 2 Komposisi kandungan asam amino pada cacing tanah Asam amino Leusin Triptofan Lisin Arginin Valin
Komposisi (%) 4.84 4.40 4.33 4.13 3.01
6
Secara luas AIA dihasilkan oleh berbagai jenis organisme hidup. Belum ada penjelasan pasti mengenai biosintesis AIA pada cacing tanah secara khusus, namun pada hewan, fungi, dan bakteri seperti halnya tanaman AIA dibentuk sebagai produk minor dari penguraian triptofan (Weissbach 1958). Gambar 4 menunjukkan bahwa bahwa ada dua jalur yang dapat ditempuh dalam sintesis AIA dari asam amino triptofan. Jalur pertama melalui dekarboksilasi L-triptofan menghasilkan triptamin yang diikuti dengan deaminasi oksidatif. Cara yang lain adalah melalui deaminasi triptofan menghasilkan asam
indol piruvat (IPA) yang dikatalisis oleh triptofan aminotransferase. Dari kedua jalur tersebut masing-masing jalurnya akan membentuk indol asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menghasilkan AIA. Keberadaan AIA dalam jaringan tanaman terdapat dalam bentuk terikat sebagai ester (dengan karbohidrat seperti sorbitol) ataupun amida (d engan asam amino). Ikatan ester ataupun amida ini akan dilepas oleh enzim AIA-oksigenase (Galston 1954). AIA yang terbentuk sangatlah mudah teroksidasi. Salah satu enzim yang berperan adalah untuk mengoksidasi gugus karboksil pada AIA adalah AIA-oksidase.
Amino transferase
Asam amino Asam α-keto CO2 CO2
Triptofan dekarboksilase
IPA dekarboksilase
½ O2
CO2
NH3
Amin oksidase NAD+ IaId dehidrogenase NADH+H+
Gambar 4 Biosintesis AIA
BAHAN DAN METODE Bahan dan alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain akar, etil asetat, FeCl 3 0.05 M, Na2 CO3 2%, HClO4 10%, bufer fosfat, dan isoamil alkohol.
7
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain gelas piala, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, labu takar, corong pisah, arang aktif, pipet Mohr, pipet volumetrik, dan spektrofotometer. Metode Penyiapan Cacing dan Tanah Cacing Pheretime hupiensis yang ada diperoleh dari indukan cacing P. hupiensis yang ada di Laboratorium Fauna Kelti Biologi Tanah Balittanah Bogor. Cacing yang digunakan adalah cacing dewasa, terlihat dari terbentuknya klitelum pada daerah kepala cacing. Bobot cacing yang dipakai berkisar antara 0.7-1 gram. Tanah ultisol diambil dari Desa Kentrong, Kecamatan Cipanas Banten, lapisan atas lolos ayakan 1 mm. Tanah disterilkan dengan cara dijemur selama satu hari dan dicampur dengan kapur (CaCO3 ) sebanyak 1 g/kg tanah. Bahan organik yang digunakan adalah rumen (PK) dan sampah organik (SO) yang berasal dari Koperasi Karang Tumaritis TPA Galuga Bogor. Pengaruh Pemberian Pakan Terhadap Cacing Tanah P. hupiensis Penelitian dilakukan di rumah kaca menggunakan paralon plastik sebagai pot dengan diameter dalam 16,2 cm dan kedalaman 40 cm dengan indikator tanaman kedelai Varietas Willis. Perlakuan dibedakan menjadi dua kelompok, pot dengan media tanah ultisol dan pot dengan tanah latosol. Masing-masing jenis tanah dibedakan lagi berdasarkan jenis asupannya, yaitu sampah organik (SO) dan pupuk kandang (PK), masing-masing dengan dosis yang berbeda yaitu 5 ton/ha dan 10 ton/ha. Sebagai kontrol digunakan pot dengan media tanah tanpa pemberian sampah organik maupun pupuk kandang. Jumlah cacing yang dimasukkan untuk tiap pot sebanyak 10 ekor. Cacing yang diberikan diseleksi beratnya antara 0.7-1.0 g. Jenis tanaman yang digunakan adalah tanaman kedelai. Percobaan dilakukan triplo. Tanah dari lapangan diayak pada ayakan 1 mesh lalu ditimbang sebanyak 10 kg dan dimasukkan ke dalam pot paralon dengan diameter dalam 16.2 dan tinggi 40.0 cm. Tanah dalam pot disterilisasi dari cacing lain yang tidak diharapkan dengan perendaman selama 24 jam. Setelah inkubasi selama 24 jam bahan organik dimasukkan ke dalam pot dan diaduk rata sampai kedalaman 20 cm. Pupuk dasar (N, P, dan K) sebanyak masingmasing 1.4 g, 0.55 g, dan 1.1 g ditaburkan
pada permukaan tanah dan diaduk pada kedalaman 5 cm. Biji kedelai ditanam sebanyak 2 butir per pot. Pada umur 2 minggu pupuk dasar kembali ditambahkan sebagai pupuk susulan. Pada umur 3 minggu setelah tanam diinokulasikan cacing sebanyak 10 ekor per pot. Pemilihan cacing didasarkan pada keseragaman berat . Percobaan disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (Randomized Complete Blok Design) dengan tiga kali ulangan, dan 10 perlakuan kombinasi antara dua jenis tanah, dua jenis bahan organik, dan kontrol. Rancangan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 1. Penentuan Kadar AIA Kedelai Pengukuran kandungan AIA dari akar kedelai dilakukan berdasarkan metode yang dipaparkan oleh Gordon dan Webber (1950). Satu gram sampel akar digerus (diblender) dalam etil asetat sebanyak 25 ml dan dimaserasikan selama dua hari. Campuran larutan didekantasi, fraksi endapannya dicuci tiga kali dengan 15 ml etil asetat. Fraksi etil asetat tersebut kemudian diekstrak dengan 15 ml Na2CO3 2%. Sebanyak 7 ml larutan hasil ekstrak dituang ke dalam labu takar 25 ml dan ditambah 3 ml larutan AIA standar 10 ppm. Larutan direaksikan dengan 5 ml FeCl3 0.05 M dalam HClO4 10% kemudian ditera dengan HClO4 10%. Setelah dibiarkan selama 45 menit, sebanyak 10 ml larutan berwarna merah tersebut diekstrak dengan 10 ml isoamil alkohol dan diukur pada panjang gelombang 530 nm. Penentuan Kadar AIA Cacing dan Kastingnya Untuk pengukuran kandungan AIA yang terdapat dalam tubuh dan kasting cacing tanah digunakan metode yang dipaparkan oleh Herbert Weissbach (1958). Ekstrak cacing dengan air dengan perbandingan 1:4 sebanyak 3.5 ml ditambahkan ke dalam tabung sentrifuse yang berisi 1 ml ZnSO4 10%, dan 0.5 ml NaOH 1 N lalu disentrifuse (8000 g). Satu ml filtrat yang diperoleh kemudian dipindahkan ke tabung lain dan ditambahkan dengan 0.36 ml HCl lalu didihkan selama 15 menit. Larutan yang terbentuk dicampur dengan 10 ml CHCl3. Setelah pengocokan selama 5 menit sebanyak 9 ml fase CHCl3 dipipet ke dalam tabung lain dan ditambah dengan 0.6 ml buffer fosfat pH 7. Larutan dikocok selama 5 menit dan ekstrak buff er yang diperoleh (0.4 ml) ditambahkan dengan 0.4 ml HCl 12 N dan reagen xanhidrol diikuti
8
dengan reagen bisulfit 5 menit kemudian. Larutan dikocok dan warna merah muda yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm.
kandungan hara pada tanah latosol relatif tinggi sehingga penambahan dosis sangat sedikit atau tidak berpengaruh terhadap konsentrasi AIA.
Kandungan AIA Pada Akar Tanaman Kedelai Analisis statistik terhadap kandungan AIA pada akar tanaman kedelai untuk tiap perlakuan tidak dapat dilakukan karena pada saat pengambilan sampel kering bobot akar untuk tiap ulangan tidak cukup untuk maserasi (kurang dari 1.0 g) sehingga konsentrasi AIA yang diperoleh merupakan gabungan dari tiga ulangan. Pada Gambar 5 terlihat kecenderungan bahwa pemberian bahan organik baik sampah organik (SO) maupun pupuk kandang (PK) meningkatkan kandungan AIA pada akar tanaman kedelai. Adanya pengaruh bahan organik makin jelas terlihat pada tanah ultsol yang minim hara. Makin besar dosis nutrisi tambahan yang diberikan makin besar juga juga konsentrasi AIA. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada tanah yang min im hara bahan organik sangat berperan sebagai nutrisi bagi tanaman, salah satunya adalah untuk meningkatkan pembentukan AIA. Hal ini sesuai dengan pernyataan Isroi (2003) yang menyebutkan bahwa pemberian bahan organik sangat berpengaruh untuk menstabilkan kondisi tanah yang kekurangan unsur hara. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa dengan pemberian bahan organik dapat memicu terbentuknya AIA pada akar tanaman. Pemberian sampah organik ternyata lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan pupuk kandang. Konsentrasi AIA tertinggi terlihat pada perlakuan U SO 10 (tanah ultisol dengan pemberian sampah organik dosis 10 t/ha) yaitu sebesar 3.901 ppm (Lampiran 3). Pada tanah latosol, konsentrasi AIA tertinggi terjadi pada perlakuan L SO 5. Pemberian sampah organik dengan dosis yang lebih tinggi justru menurunkan konsentrasi AIA. Jika dibandingkan antara L PK 5 dan L PK 10, peningkatan konsentrasi AIA hanya sebesar 0.0441 ppm, sangat kecil jika dibandingkan dengan kenaikan kandungan AIA antara perlakuan U PK 5 dan U PK 10 (0.662). Terjadinya penurunan atau sedikitnya peningkatan konsentrasi AIA pada dosis yang berbeda untuk tiap bahan organik yang diberikan kemungkinan besar dikarenakan
4,0000 kontrol
3,0000
SO 5 2,0000
SO 10
1,0000
PK 5 PK 10
0,0000 Ultisol
Latosol
Tanah
Gambar 5 Konsentrasi AIA pada akar tanaman kedelai Kandungan AIA Pada Cacing Tanah Pheretima hupiensis Cacing tanah yang digunakan untuk pengukuran adalah cacing dewasa yang telah mengalami “pematangan” klitelum. Rata-rata bobot cacing yang dipakai untuk berkisar antara 0.7-1.0 g. Seperti terlihat pada Gambar 6, pemberian bahan organik baik SO maupun PK dengan dosis yang berbeda pada tanah ultisol menghasilkan konsentrasi AIA yang berbeda pula. Makin tinggi dosis bahan organik yang diberikan, kandungan AIA pada tubuh cacing tanah makin meningkat. Berdasarkan hasil uji statistik yang diikuti dengan uji beda nyata
Konsentrasi (ppm)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsentrasi (ppm)
5,0000
1,6000 1,4000 1,2000 1,0000 0,8000 0,6000 0,4000 0,2000 0,0000
kontrol SO 5 SO 10 PK 5 PK 10 Ultisol
Latosol
Tanah
Gambar 6 Konsentrasi AIA pada cacing tanah P. hupiensis terkecil menyatakan adanya perlakuan yang berbeda memberikan pengaruh terhadap kandungan AIA pada tubuh cacing tanah yang ditumbuhkan pada tanah ultisol. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pada tanah ultisol yang miskin hara, ketergantungan cacing tanah akan bahan organik sangat tinggi. Dengan demikian respon cacing tanah pada
9
Kandungan AIA Pada Kasting Cacing Tanah Kasting cacing tanah yang diukur dikumpulkan pada masing-masing pot. Ekskresi cacing tanah dalam bentuk kasting sangat bergantung pada kelembaban tanah. Karena pada perlakuan sebelumnya penyiraman disesuaikan dengan keperluan tanaman kedelai, kondisi tanah tidak terlalu lembab. Hal ini menyebabkan selama pengumpulan kasting kebih banyak berada pada bagian bawah pot. Dari Gambar 7 terlihat bahwa pada kasting cacing tanah yang terdapat baik pada tanah ultisol maupun latosol memperlihatkan perbedaan konsentrasi AIA untuk tiap perlakuannya. Makin besar dosis bahan organik yang ditambahkan, makin besar juga konsentrasi AIA yang terukur. Pernyataan ini dibuktikan dengan uji statistik (Lampiran 19). Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil terlihat bahwa tiap -tiap perlakuan memberikan perbedaan yang sangat nyata jika dibandingkan dengan kontrolnya. Perbedaan yang paling nyata terlihat pada perlakuan U SO 10 dengan konsentrasi sebesar 0.982 ppm. Terjadinya perbedaan pada tiap perlakuan kemungkinan dikarenakan pengaruh lingkungan selama terjadi penumpukan kasting dalam tanah. Terbentuknya AIA pada kasting pun mungkin dikarenakan proses sekunder yang melibatkan mikroorganisme tanah, dalam hal ini mikroorganisme yang ada
dalam tiap bahan organik. Namun dibutuhkan pembuktian lebih lanjut untuk meneliti pengaruh mikroorganisme terhadap kasting. 1,2000 Konsentrasi (ppm)
bahan organik akan sangat terlihat, ditandai dengan meningkatnya konsentrasi AIA untuk tiap dosis yang diberikan. Dari grafik terlihat konsentrasi AIA tertinggi terjadi pada perlakuan U PK 10 (tanah ultisol dengan pupuk kandang dosis 10 t/ha) yaitu sebesar 1.317 ppm (Lampiran 10). Hal ini memperlihatkan bahwa pupuk kandang lebih efisien untuk dijadikan nutrisi bagi cacing tanah. Menurut Farida (2 000) penggunaan rumen sebagai media tumbuh bagi cacing tanah menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan dengan bahan organik lain. Kejadian sebaliknya terjadi pada perlakuan dengan tanah latosol. Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil terlihat bahwa perbedaan perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi AIA pada cacing tanah. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat kandungan hara pada tanah latosol sangat tinggi sehingga pemberian bahan organik baik SO maupun PK pada tanah latosol sangat sedikit atau tidak direspon oleh cacing tanah.
1,0000 0,8000
Kontrol
0,6000
SO 5
0,4000
SO 10
0,2000
PK 5 PK 10
0,0000 ultisol
latosol
Tanah
Gambar 7 Konsentrasi AIA pada kasting cacing tanah P. hupiensis
Perbandingan AIA Pada Akar, Cacing, dan Kasting Dari Gambar 8 terlihat bahwa kandungan AIA pada akar tanaman kedelai lebih besar dibanding dengan AIA pada cacing tanah maupun kasting. Tingginya kandungan AIA pada akar dalam tiap perlakuan bukan berarti bahwa tanaman lebih banyak mengkonsumsi nutrisi (terutama nitrogen) dari media ataupun bahan organik yang diberikan. Tingginya kandungan AIA dibandingkan dengan cacing dapat disebabkan karena 2 hal. Yang pertama, tanaman dapat mensintesis AIA sendiri untuk kebutuhannya sedangkan kandungan AIA pada cacing tanah tergantung dari nutrisi yang terdapat pada media. Selain itu, pengukuran AIA pada akar dilakukan pada tanaman kedelai yang telah mengalami pembuahan. Menurut Galston (1954) pada usia tanaman tua kons entrasi AIA akan lebih tinggi untuk memicu terbentuknya gas etilen yang berperan dalam proses pematangan buah. Dengan demikian respon tanaman pada AIA akan berkurang, biasanya ditandai dengan menurunnya tingkat pertumbuhan. Konsentrasi minimum AIA yang terdapat pada tanaman adalah sekitar 10-4 ppm sedangkan konsentrasi diatas 1 ppm akan menurunkan laju pertumbuhan (Anonim 2005).
10
Anonim 2005. Memanfaatkan cacing tanah untuk ransum. http://www .Poultryindonesia.com [29 April 2005].
4,000 3,500
absorban
3,000 2,500
Anonim 2005. Investigating the effect of IAA in root growth in mustrard seedling. http://www-saps.Plantsci.cam.ac.uk/ worksheets/scotland/iaa .htm [11 Januari 2006].
2,000 1,500 1,000 0,500
Kasting Cacing Akar
L PK 5
L PK 10
L SO 10
L
L SO 5
U PK 5
U PK 10
U SO 10
U
U SO 5
0,000
perlakuan
Gambar 8 Perbandingan konsentrasi AIA pada akar ( ), cacing ( ), dan kasting ( )
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penambahan sampah organik ataupun pupuk kandang meningkatkan konsentrasi AIA yang dihasilkan oleh cacing tanah. Respon cacing tanah terhadap sampah organik ataupun pupuk kandang pada tanah ultisol lebih tinggi daripada tanah latosol. Konsentrasi AIA tertinggi pada tubuh cacing tanah terlihat pada perlakuan U PK 10 sebesar 1.317 ppm. Pada kasting cacing tanah, perbedaan perlakuan memberikan pengaruh terhadap konsentrasi AIA. Konsentrasi AIA tertinggi pada kasting cacing tanah terdapat pada perlakuan U SO 10 sebesar 0.982 ppm. Saran Perlu dilakukan pengujian terhadap tanaman dengan memperhatikan parameter parameter yang ada agar dapat dicari korelasi yang tepat antara kandungan AIA pada tanaman dengan cacing. Dengan demikian perlu dilakukan pengujian ulang dengan penambahan perlakuan yaitu kontrol pot tanpa tanaman kedelai.
DAFTAR PUSTAKA Abbott I. 1989. The influence of fauna on soil structure. Di dalam Animals in Primary Succesion: The Role of Fauna in Reclaimed Lands. Pp. 39-50. Cambridge: University Press. Anonim 2005. Hauxins. http://www2. mcdaniel.edu/Biology/hormweb/hauxin. htm [24 Agustus 2005].
Budiarti A. 1990. Aneka Cara Budidaya, Penanganan Lepas Panen, Peluang campuran Ransum ternak dan Ikan . Jakarta: Penebar Swadaya. Dickman R. 1954. Reaction of Xanthydrol. Utah: College of Medicine. Edwards CA, Fletcher. 1988. Interaction between earthworm and microorganism in organic-matter breakdown. Agri Eco and Env . 24:235-247. Edwards CA, Lofty JR. 1972. Biologi Of Earthworm. USA: Agriculture Research Centre. Engvild KC. 1986. Chlorine-containing natural compounds in higher plants. Phytochemistry. 25:781-791. Farida E. 2000. Pengaruh penggunaan feses sapi dan campuran limbah organik lain sebagai pakan atau media produksi kokon dan biomassa cacing tanah. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan Hewan. Institut Pertanian Bogor. Florkin M. 1969. Chemical Zoology. New York: Academic Press. Galston AW. The adaptive formation and physicological sgnificance of idole Acetic acid. http://www. botany.org [11 Januari 2006]. Hidayat A, Mulyani A. 2002. Teknologi pengelolaan lahan kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Prosiding Lahan Kering Untuk Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm 1-34. Joschko M, Diestel HO, Larink. 1989. Assesment of earthworm burrowing effiency in csoil with a combination of morphological and soil phsycal measurements. Biol. Fertil. Soils. 8:191196
11
Isroi. 2003. Bioteknologi mikroba untuk pertanian organik. http://www. kompas. com/kompas -cetak/0412 /17/ilpeng/1442850.htm [4 Januari 2006]. Koolman J, Klaus HR. 2001. Atlas Berwarna dan Teks Biokimia. Jakarta: UI Press.. Maranto S, Sunarminto BH, Anshori H. 2003. Tanggapan Acacia mangium terhadap pemupukan N dan P pada kanhapludults di Muara Enim. Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam. Bandar Lampung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat .hlm 157-167. Minnich J. 1977. How to Raise and UseEarthworm for Your Farm and Garden. USA: Agriculture Research Centre. Palungkun R. 1999. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Jakarta: Penebar Swadaya. Rekolacskaya NI. 1999. D-Tryptophan as IAA source during wheat germination. J. Plant Physiol. 25:39 -49 Salisbury, Frank B, Cleon WR. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung: ITB Press.. Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan . Bogor: IPB Press
12
LAMPIRAN
13
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Hewan coba
Adaptasi Utisol
Latosol
Sampah orga nik
Dosis I
Dosis II
Rumen
Dosis I
Sampah organik
Dosis II
Dosis I
Kontrol I: utisol
Dosis II
Rumen
Dosis I
Kontrol II: latosol
Panen
Ukur kadar IAA Total perlakuan: U U BO 5 U BO 10 U PK 5 U PK 10 Keterangan U= kontrol tanah ultisol L= kontrol tanah latosol SO= sampah organik PK = rumen
L L BO 5 L BO 10 L PK 5 L PK 10
Dosis II
14
Lampiran 2 Kurva standar AIA akar Konsentrasi (ppm) 2.5 3 3.5 4 4.5 5 10
Absorban 0.006 0.006 0.013 0.018 0.033 0.041 0.087
Kurva Standar AIA 0,1
Absorban
0,08
y = 0,0112x - 0,0241 R2 = 0,9846
0,06 0,04 0,02 0 0
2
4
6
8
10
12
Konsentrasi (ppm)
Lampiran 3 Pengukuran konsentrasi AIA akar Perlakuan
Absorban
Absorban terkoreksi
Konsentrasi (ppm)
akar U akar U SO 5
0.017 0.021
0.011 0.015
3.018 3.371
akar U SO 10 akar U PK 5 akar U PK 10
0.027 0.0165 0.024
0.021 0.0105 0.018
3.901 2.974 3.636
akar L akar L SO 5
0.013 0.027
0.007 0.021
2.665 3.901
akar L SO 10 akar L PK 5
0.0245 0.021
0.0185 0.015
3.680 3.371
akar L PK 10
0.0215
0.0155
3.415
Keterangan: Absorban terukur = absorban – absorban standar 3 ppm
15
Lampiran 4 Kurva standar AIA cacing ulangan 1 Konsentrasi (ppm)
Absorban
1
0.001
2
0.011
3
0.03
4
0.038
5
0.06
Kurva Standar AIA 0,07 0,06 Absorban
0,05 0,04
y = 0,0145x - 0,0155 R2 = 0,9797
0,03 0,02 0,01 0 -0,01 0
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi (ppm)
Lampiran 5 Pengukuran konsentrasi AIA cacing ulangan 1 Perlakuan (cacing)
Absorban 0.019 0.018
Konsentrasi (ppm) 2.379 2.310
1 U SO 10
0.019
2.379
1 U PK 5 1 U PK 10
0.005 0.017
1.413 2.241
1L
0.015
2.103
1 L SO 5 1 L SO 10
0.005 0.004
1.413 1.344
1 L PK 5 1 L PK 10
0.007 0.009
1.551 1.689
1U 1 U SO 5
16
Lampiran 6 Kurva standar AIA cacing ulangan 2 Konsentrasi (ppm) 1 2 3 4 5
Absorban 0.001 0.006 0.015 0.028 0.034
Absorban
Kurva Standar AIA 0,04 0,035 0,03 0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0 -0,005 0
y = 0,0088x - 0,0096 R2 = 0,9793
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi (ppm)
Lampiran 7 Pengukuran konsentrasi AIA cacing ulangan 2 Perlakuan (cacing)
Absorban
Konsentrasi (ppm)
2U 2 U SO 5
0.009 -0.001
2.113 0.977
2 U SO 10 2 U PK 5 2 U PK 10 2L 2 L SO 5 2 L SO 10 2 L PK 5 2 L PK 10
0.005 0.007 0.013 0.008 0.008 0.009 0.007 0.009
1.659 1.886 2.568 2.000 2.000 2.113 1.886 2.113
17
Lampiran 8 Kurva standar AIA ulangan 3 Konsentrasi (ppm) 1 2 3 4 5
Absorban 0.001 0.012 0.03 0.05 0.057
Kurva standar AIA 0,07 0,06 Absorban
0,05
y = 0,015x - 0,015 R2 = 0,9808
0,04 0,03 0,02 0,01 0 -0,01 0
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi (ppm)
Lampiran 9 Pengukuran AIA cacing ulangan 3
3U 3U SO 5 3 U SO 10
Perlakuan (cacing)
Absorban 0.003 0.003 0.011
Konsentrasi (ppm) 1.200 1.200 1.733
3 U PK 5 3 U PK 10 3L 3 L SO 5
0.005 0.021 0.002 0.006
1.333 2.400 1.000 1.400
3 L SO 10 3 L PK 5 3 L PK 10
0.006 0.005 0.004
1.400 1.333 1.266
18
Lampiran 10 Analisis statistik data AIA cacing Perlakuan (cacing)
1 1.358 1.318 1.358 0.807 1.279 1.200 0.807 0.767 0.885 0.964 10.747 1.0748
U U SO 5 U SO 10 U PK 5 U PK 10 L L SO 5 L SO 10 L PK 5 L PK 10 jumlah rata-rata total
Ulangan 2 1.206 0.557 0.947 1.076 1.466 1.141 1.141 1.206 1.076 1.206 11.027 1.1028
3 0.685 0.685 0.989 0.761 1.370 0.570 0.799 0.799 0.761 0.723 8.144 0.814
jumlah= Yi
rata-rata Yi
3.249 2.561 3.294 2.645 4.115 2.913 2.747 2.773 2.723 2.894
1.083 0.853 1.098 0.881 1.371 0.971 0.916 0.924 0.907 0.964
29.9192
Sidik ragam SK Ulangan Perlakuan Galat Total
db 2 9 18 29
FK KK
29.838 0.7304
Uji Beda Nyata Terkecil Perlakuan U U SO 5 U SO 10 U PK 5 U PK 10 L L SO 5 L SO 10 L PK 5 L PK 10
JK 0.505 0.640 0.859 2.005
KT 0.252 0.071 0.047
LSD 5% LSD 1%
F hit 5.294 1.489
F table (5%) 3.35 2.46
Perlakuan 0.306 0.419
Ulangan 0.091 0.125
AIA rerata 1.083a 0.853b 1.098a 0.881b 1.371a 0.971b 0.916b 0.924b 0.907b 0.964b
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
19
Lampiran 11 Kurva standar AIA kasting ulangan 1 Konsentrasi (ppm) 1 2 3 4 5
Absorban 0.016 0.025 0.032 0.046 0.062
Kurva Standar AIA 0,07
Absorban
0,06
y = 0,0113x + 0,0023 R2 = 0,9727
0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 0
1
2
3
4
5
Konsentrasi (ppm)
Lampiran 12 Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 1 Perlakuan 1U 1 U SO 5 1 U SO 10 1 U PK 5 1 U PK 10 1L 1 L SO 5 1 L SO 10 1 L PK 5 1 L PK 10
Absorban 0.003 0.004 0.006 0.004 0.005 0.005 0.006 0.007 0.007 0.008
Konsentrasi (ppm) 0.061 0.150 0.327 0.150 0.238 0.238 0.327 0.415 0.415 0.504
6
20
Lampiran 13 Kurva standar AIA kasting ulangan 2 Konsentrasi (ppm) 1 2 3 4 5
Absorban 0.011 0.017 0.022 0.027 0.039
Absorban
Kurva standar AIA 0,045 0,04 0,035 0,03 0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0
y = 0,0066x + 0,0034 R2 = 0,962
0
1
2
3
4
5
Konsentrasi (ppm)
Lampiran 14 Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 2 Perlakuan 2U 2 U SO 5 2 U SO 10 2 U PK 5 2 U PK 10 2L 2 L SO 5 2 L SO 10 2 L PK 5 2L PK 10
Absorban
Konsentrasi (ppm)
0.006 0.007 0.013 0.007 0.01 0.006 0.008 0.009 0.011 0.011
0.393 0.545 1.454 0.545 1.000 0.393 0.697 0.848 1.151 1.151
6
21
Lampiran 15 Kurva standar AIA Konsentrasi (ppm)
Absorban
1 2 3 4 5
0.008 0.018 0.032 0.042 0.063
Kurva Standar AIA 0,07
Absorban
0,06 0,05
y = 0,0134x - 0,0076 R2 = 0,9806
0,04 0,03 0,02 0,01 0 0
1
2
3
4
5
6
Konsentrasi (ppm)
Lampiran 16 Pengukuran konsentrasi AIA kasting ulangan 3 Perlakuan 3U 3 U SO 5 3 U SO 10 3 U PK 5 3 U PK 10 3L 3 L SO 5 3 L SO 10 3 L PK 5 3 L PK 10
Absorban 0.001 0.003 0.008 0.004 0.005 0.001 0.002 0.007 0.004 0.005
Konsentrasi (ppm) 0.641 0.791 1.164 0.865 0.940 0.641 0.716 1.089 0.865 0.940
22
La mpiran 17 Analisis statistik data AIA kasting Perlakuan (kasting)
Ulangan 2 0.641 0.791 1.164 0.865 0.940 0.641 0.716 1.089 0.865 0.940 8.656 0.865
1 0.061 0.150 0.327 0.150 0.238 0.238 0.327 0.415 0.415 0.504 2.831 0.283
U U SO 5 U SO 10 U PK 5 U PK 10 L L SO 5 L SO 10 L PK 5 L PK 10 jumlah rata-rata total Sidik ragam SK Ulangan Perlakuan Galat Total
Db 2 9 18 29
FK KK
12.897 0.8387
JK 2.092 1.149 0.489 3.732
3 0.393 0.545 1.454 0.545 1.000 0.393 0.697 0.848 1.151 1.151 8.181 0.818
KT 1.046 0.127 0.027
LSD 5% LSD 1%
jumlah Yi
Rata-rata Yi
1.097 1.486 2.946 1.561 2.179 1.274 1.740 2.354 2.433 2.596 19.670 1.967 19.670
0.365 0.495 0.982 0.520 0.726 0.424 0.580 0.784 0.811 0.865
F hit 38.444 4.691
F tabel5%) 3.35 2.46
Perlakuan 0.231 0.316
Ulangan 0.069 0.095
Uji Beda Nyata Terkecil Perlakuan AIA Rerata U 0.365c U SO 5 0.495c U SO 10 0.982a U PK 5 0.520b U PK 10 0.726b L 0.424c L SO 5 0.580b L SO 10 0.784a L PK 5 0.811a L PK 10 0.865a Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata