PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Studi Terhadap Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama di Kelurahan Bugel Salatiga)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh SRI NIKMAH NIM 21106001 JURUSAN SYARI‟AH PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2011
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi Saudara: Nama
: Sri Nikmah
NIM
: 211 06 001
Jurusan
: Syari‟ah
Program Studi
: Ahwal Al Syakhsiyyah
Judul
: PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Studi Terhadap Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama Di Keluraha Bugel)
telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 28 Februari 2011 Pembimbing
Ilyya Muhsin, S.H.I., M.Si. NIP. 19790930 200312 1 001
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Sri Nikmah
NIM
: 211 06 001
Jurusan
: Syari‟ah
Program Studi : Ahwal Al Syakhsiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 26 Februari 2011 Yang menyatakan,
Sri Nikmah
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Hidup bermanfaat untuk orang lain….
PERSEMBAHAN
Untuk ayah-ibuku, Untuk suamiku, Untuk abi-umi, Untuk permata hatiku “RAJWA NAILAL AMNI”
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini berjudul “PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Lintas Agama Di Kelurahan Bugel Salatiga)”, yang merupakan hasil dari studi lapangan di Kelurahan Bugel. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Dr. Imam Sutomo, M. Ag selaku Ketua STAIN Salatiga
2.
Drs. Mubasirun, M. Ag selaku Ketua Jurusan Syari‟ah
3.
Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Sekretaris Jurusan Syari‟ah
4.
Ilyya Muhsin, S.H.I., M. Si, selaku Kaprogdi AS dan pembimbing dalam penulisan skripsi ini.
5.
Moh. Khusen, M. Ag., MA dan Evi Ariyani, SH, MH yang turut memberikan masukan-masukan.
6.
Teman-teman AS angkatan 2006 dan pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penulisan skripsi ini. Penelitian yang penulis lakukan ini tentu belum sempurna, masih banyak
kekurangan di dalamnya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak khususnya pembaca selalu penulis harapkan demi kemajuan bagi penulis dikemudian hari. Semoga skripsi ini bermanfaat. Salatiga, 28 Februari 2011
Penulis
vi
ABSTRAK
Nikmah, Sri. 2011. Perkawinan Lintas Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan Perundang-Undangan Di Indonesia (Studi Terhadap Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama Di Kelurahan Bugel Salatiga). Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah. Sekolah TinggiAgama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Ilyya Muhsin, S.H.I., M.Si. Kata Kunci: Perkawinan, Lintas Agama, Hukum Islam Penelitian ini dilakukan guna mengetahui kehidupan masyarakat pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel Salatiga. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) bagaimanakah praktek perkawinan lintas agama dilakukan di Kelurahan Bugel? (2) mengapa perkawinan lintas agama dapat terjadi di Kelurahan Bugel? (3) bagaimana cara pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan perkawinan mereka, sehingga mampu bertahan hingga saat ini? (4) bagaimanakah pandangan para tokoh agama yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel? (5) bagaimana tinjauan hukum Islam dan perundangundangan di Indonesia terhadap praktek perkawinan lintas agama? Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif sosiologis. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode triangulasi. Selama pengumpulan data, data sudah mulai dianalisis dengan cara mengklasifikasikan data sehingga dapat diketahui kekurangan data dan segera berusaha untuk melengkapinya. Setelah semua data terkumpul, dipaparkan berdasarkan klasifikasi sehingga tergambar pola atau struktur dari fokus masalah yang dikaji kemudian diinterpretasikan sehingga mendapatkan jawaban dari fokus penelitian tersebut. Dalam penelitian ini ada dua pola perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel, yaitu perkawinan yang dilakukan di KUA dan di KCS. Faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel meliputi, pandangan tertentu tentang agama dan keberagamaan, perempuan tidak memiliki kemandirian hidup, tradisi perkawinan lintas agama, kurangnya pengetahuan agama dan kristenisasi pihak luar. Kehidupan rumah tangga beda agama di Kelurahan Bugel ternyata harmonis dan ada toleransi yang tinggi antar keluarga. Meskipun menurut para tokoh agama di Kelurahan Bugel perkawinan lintas agama tidak sah karena hubungan mereka dianggap zina. Menurut hukum Islam, praktek perkawinan lintas gama yang terjadi di Kelurahan Bugel adalah tidak sah karena perkawinan yang dilakukan secara Islam kemudian salah satu pasangan murtad dianggap tidak sah. Begitu juga perkawinan yang dilakukan dengan cara Kristen yang kemudian pihak perempuan masuk Islam, dianggap tidak sah dan perkawinan tersebut dapat diputuskan.
vii
Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam menetapkan hukum. Selain itu dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu membuka paradigma baru tentang perkawinan lintas agama.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ .... i PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... .... ii PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... .... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... .... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... .... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... .... vi ABSTRAK ....................................................................................................... .... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... .... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................ .... xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... …xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... .... ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. .... 1 B. Fokus Penelitian .......................................................................... .... 5 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ .... 6 D. Kegunaan Penelitian.................................................................... .... 6 E. Penegasan Istilah ......................................................................... .... 7 F. Kajian Pustaka............................................................................. .... 9 G. Metode Penelitian........................................................................ .... 12 H. Sistematika Penulisan ................................................................. .... 18
ix
BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN LINTAS AGAMA A. Perkawinan Lintas Agama Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 .... .... 20 B. Perkawinan Lintas Agama Perspektif KHI ................................. .... 28 C. Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Islam .................. .... 33 BAB III PERKAWINAN LINTAS AGAMA DI KELURAHAN BUGEL A.
Letak Geografis dan Kondisi Lingkungan Kelurahan Bugel ... ... 42
B.
Struktur Sosial dan Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama Masyarakat Kelurahan Bugel ................................................... .... 44
C.
Profil Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama.... 47
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA TERHADAP PERKAWINAN LINTAS AGAMA DI KELURAHAN BUGEL A.
Praktek Perkawinan Lintas Agama .......................................... .... 74
B.
Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan Lintas Agama .............. .... 82
C.
Konflik dan Akomodasi Nilai Keluarga Pelaku Perkawinan Lintas Agama ...................................................................................... .... 89
D.
Pandangan Tokoh Masyarakat/ Tokoh Agama Terhadap Praktek Perkawinan Lintas Agama ....................................................... .... 97
E.
Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-Undangan Di Indonesia Terhadap Perkawinan Lintas Agama ....................................... 105
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan .............................................................................. 113
x
B.
Saran ......................................................................................... 115
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Bugel, Sidorejo Salatiga ................... .... 45 Tabel 3.2 Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Bugel ................................ .... 46 Table 3.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Bugel Sidorejo Salatiga Berdasarkan Agama ............................................................................................. .... 46 Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Lintas Agama ........................ .... 75 Tabel 4.2 Latar Belakang Keluarga Subjek Penelitian .................................... .... 82 Tabel 4.3 Anak-Anak Pasangan Perkawinan Lintas Agama yang Mengikuti Agama Ibu ..................................................................................... .... 90 Tabel 4.4 Anak-Anak Pasangan Perkawinan Lintas Agama yang Mengikuti Agama Ayah................................................................................... .... 90
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Kelurahan Bugel .......................................... .... 44 Gambar 3.2 Kartu Keluarga Untung-Mutiah ................................................... .... 50 Gambar 3.3 Kartu Keluarga Rusdi-Sugini ....................................................... .... 54 Gambar 3.4 Kartu Keluarga Kasbiyantoro-Siti................................................ .... 60 Gambar 3.5 Formulir Kartu Keluarga Masal-Supratini ................................... .... 65 Gambar 3.6 Kartu Keluarga Tri-Darwati ......................................................... .... 70 Gambar 4.1 Akta Nikah Untung Subiyanto dan Mutiah .................................. .... 76 Gambar 4.2 KTP Untung dan Muntiah Sekarang ............................................ .... 76 Gambar 4.3 Akta Perkawinan Kasbiyantoro dan Siti Suryati .......................... .... 77 Gambar 4.4 KTP Kasbiyantoro Sekarang ........................................................ .... 77 Gambar 4.5 Akta Perkawinan Tri Antara Ryadi dan Darwati ........................ .... 78 Gambar 4.6 KTP Darwati dan Tri Sekarang ................................................... .... 78 Gambar 4.7 Akta Perkawinan Rusdi dan Sugini .............................................. .... 80 Gambar 4.8 KTP Rusdi dan Sugini Sekarang .................................................. .... 80 Gambar 4.9 Akta Perkawinan Masal dan Supratini ......................................... .... 81 Gambar 4.10 KTP Masal dan Supratini Sekarang ........................................... .... 81
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Surat Tugas Pembimbing Lampiran 3 Lembar Konsultasi
xiv
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah salah satu tahap kehidupan yang ingin dilalui setiap manusia setelah lahir dan menjadi dewasa. Sudah menjadi kodrat bagi setiap makhluk untuk bisa mempertahankan diri dalam kehidupan. Perkawinan merupakan salah satu upaya untuk melanjutkan keturunan, bahkan ada ungkapan bahwa wujud cinta manusia yang paling beradab adalah perkawinan. Pada hakikatnya perkawinan dilakukan untuk menghalalkan hubungan seksual antara dua insan manusia, laki-laki dan perempuan. Walaupun demikian yang diharapkan dari sebuah perkawinan bukan hanya sekedar kehalalan
semata,
namun
juga
sebuah
kebahagiaan
seumur
hidup.
Membangun rumah tangga yang harmonis dan hidup di lingkungan masyarakat yang sehat merupakan dambaan setiap orang. Sebuah perkawinan merupakan satu peristiwa penting dalam masyarakat, selain menyangkut pribadi suami-istri juga menyangkut keluarga dan masyarakat (Asmin, 1986:11). Dalam kacamata agama perkawinan merupakan langkah awal untuk membentuk keluarga sebagai asas masyarakat (Nuruddin dan Tarigan, 2006:57).
1
Perkawinan menurut agama Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (KHI Pasal 2). Sedangkan perkawinan menurut agama Hindu adalah sakral dan hanya sah bila sudah dilakukan menurut agama tersebut. Perkawinan seorang Kristen diartikan sebagai suatu ikatan cinta kasih tetap dan taat yang menggambarkan, melahirkan dan mewujudkan cinta Kristus dan Gerejanya (Sosroatmodjo dan Aulawi, 1981:30-31). Dari beberapa pengertian di atas nampak bahwa perkawinan erat kaitannya dengan ibadah keagamaan, sehingga tata cara atau aturan pelaksanaannya sangat perlu diperhatikan untuk bisa dikatakan sah. Menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh Sosroatmodjo dan Aulawi, jika ada pengaruh suatu agama pada isi dan perkembangan suatu peraturan hukum, maka layak apabila pengaruh agama yang paling nampak terdapat pada hukum perkawinan dan kekeluargaan (1981:14). Karena perkawinan akan mengakibatkan hubungan hukum yang baru antara seseorang dengan negaranya maka aturan tentang perkawinan juga diatur oleh negara. Dengan demikian secara administratif kenegaraan, perkawinan memiliki status legal di mata hukum. Di Indonesia aturan tentang perkawinan muncul dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 1 undang-undang ini disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
2
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk menuju sebuah keluarga yang bahagia dan kekal tentu dibutuhkan persamaan pandangan hidup. Mengingat agama sebagai wahyu Tuhan mengandung kebenaran mutlak, yang diyakini paling benar oleh para pemeluknya, agama dijadikan sebagai landasan, pegangan dan pedoman baik dalam melakukan hubungan dengan Tuhan maupun hubungan antar sesama manusia, termasuk dalam masalah perkawinan (Asmin, 1986:8). Seperti yang kita ketahui bahwa Islam menghendaki perkawinan dilakukan oleh orang yang seagama, secara teoritis perbedaan agama akan berpotensi menimbulkan konflik (Pamungkas, 2008:44). Dalam Al Qur‟an surat Al Baqoroh:221 ditegaskan,
….
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga….
Pada umumnya setiap agama melarang umatnya melangsungkan perkawinan dengan umat dari agama lain, bila terjadi hal demikian, si pelaku
3
akan mendapat sanksi baik dari kalangan seagama maupun keluarganya. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi ringan yaitu celaan sampai sanksi berat berupa pengucilan dari keluarga (Asmin, 1986:8). KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang notabene merupakan hukum positif bagi umat Islam di Indonesia melarang adanya praktik perkawinan lintas agama. Pasal 40 KHI menyebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: (c) seorang wanita yang tidak beragama Islam. Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam (pasal 44 KHI). Begitu juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak megatur adanya perkawinan lintas agama, namun secara tersirat melarang adanya praktek perkawinan lintas agama yang tertuang dalam pasal 2 ayat 1 “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Walaupun sudah ada aturan tegas yang melarang adanya perkawinan lintas agama hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa praktek perkawinan lintas agama terjadi dalam masyarakat, bahkan mereka memiliki akta nikah sebagai bukti legalisasi dari negara. Teknologi komunikasi yang berkembang pesat memungkinkan tidak terbatasnya pergaulan manusia, baik antar ras, golongan, suku maupun agama. Begitu pula yang terjadi dalam pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel. Walaupun sudah ada aturan yang melarang terjadinya perkawinan lintas agama, ternyata dalam masyarakat Kelurahan
4
Bugel ada yang melakukan perkawinan lintas agama tersebut, bahkan dari mereka sudah menjalani kehidupan rumah tangganya bertahun-tahun dengan perbedaan agama yang ada dalam keluarga mereka. Kesenjangan yang muncul dalam masyarakat inilah yang menarik minat penulis untuk meneliti perkawinan lintas agama khususnya di Kelurahan Bugel. B. Fokus Penelitian Adanya peraturan yang melarang perkawinan lintas agama ternyata belum mampu mencegah praktek perkawinan lintas agama dalam masyarakat. Aturan dalam KHI dan UU Perkawinan yang merupakan hukum positif perkawinan di Indonesia seharusnya mampu menjadi pedoman bagi lembaga pencatat nikah untuk tidak mencatat perkawinan lintas agama, namun kenyataan dalam masyarakat berkata lain. Kesenjangan yang muncul antara peraturan hukum dengan praktek yang terjadi dalam masyarakat Kelurahan Bugel inilah yang menarik minat peneliti untuk meneliti perkawinan lintas agama. Bagaimanakah praktek perkawinan lintas agama dilakukan di Kelurahan Bugel. Mengapa perkawinan lintas agama dapat terjadi di Kelurahan Bugel? Bagaimana cara pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan perkawinan mereka, sehingga mampu bertahan hingga saat ini? Dengan adanya praktek perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel, bagaimanakah pandangan para tokoh agama yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel? Bagaimana tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia terhadap praktek
5
perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel? Berbagai pertanyaan di atas adalah hal-hal yang ingin peneliti cari jawabannya dari penelitian ini. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan guna mengetahui proses terjadinya praktek perkawinan lintas agama di kelurahan Bugel, faktor-faktor yang mendorong terjadinya perkawinan lintas agama, baik faktor eksternal maupun faktor internal. Cara pasangan suami istri mempertahankan perkawinan mereka, cara mereka menyelesaikan masalah, cara mereka mempraktekkan agama mereka masing-masing dalam kehidupan rumah tangga, cara mereka mendidik anak juga merupakan tujuan adanya penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga ingin mengetahui pandangan tokoh agama maupun tokoh masyarakat yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel tentang adanya praktek perkawinan lintas agama di wilayah mereka. Pandangan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia tentang perkawinan lintas agama pun menjadi penting untuk diketahui dalam rangka menganalisis praktek perkawinan lintas agama. Dengan adanya penelitian ini diharapkan ditemukan fakta-fakta baru yang mampu memberi pemahaman bagi peneliti pada khususnya dan pembaca pada umumnya untuk menyikapi praktek perkawinan lintas agama. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritik Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi peneliti pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya tentang bagaimana praktek perkawinan lintas agama terjadi, mengapa
6
perkawinan tersebut bisa terjadi, bagaimana cara pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan perkawinan mereka serta bagaimana pandangan tokoh agama di sekitar mereka. Selain itu juga diharapkan menemukan fakta-fakta baru yang sesuai dengan keadaan masyarakat pelaku perkawinan lintas agama, sehingga hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau usulan dalam membuat kebijakan-kebijakan hukum yang berkaitan dengan perkawinan. 2. Kegunaan Praktis a. Bagi KUA dan Catatan Sipil Hasil dari penelitian tentang perkawinan lintas agama ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi KUA dan Kantor Catatan Sipil sebagai lembaga pencatat perkawinan untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat ketika menghadapi calon mempelai yang akan mencatatkan perkawinannya yang dilakukan secara lintas agama. b. Bagi Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyyah Dengan adanya penelitian terhadap pelaku perkawinan lintas agama ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi Program Studi Ahwal
Al Syakhsiyyah sehingga dari Program
Studi
dapat
menjadikannya sebagai bahan diskusi dan memantau perkembangan produk hukum mengenai perkawinan lintas agama tersebut. E. Penegasan Istilah
7
Perkawinan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974). Perkawinan menurut KHI adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (KHI Pasal 2). Perkawinan yang dimaksud peneliti dalam penelitian ini adalah akad antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sah menurut agama baik dicatatkan di KUA/Kantor Catatan Sipil ataupun tidak. Lintas agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah antar agama yang berbeda. Jadi perkawinan lintas agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perkawinan yang dilakukan antara pria dan wanita yang berbeda agama sejak sebelum perkawinan dilangsungkan hingga penelitian ini dilakukan dan salah satunya beragama Islam. Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fiqh yang digunakan di Indonesia. Perundang-undangan di Indonesia yang dimaksud adalah aturan yang berlaku di Indonesia mengenai perkawinan, meliputi UU Perkawinan No. 1/1974 dan KHI.
8
Dengan demikian perkawinan lintas agama dalam tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia adalah perkawinan yang dilakukan antara pria dan wanita yang berbeda agama sejak sebelum perkawinan dilangsungkan hingga penelitian ini dilakukan dan salah satunya beragama Islam yang dipandang/dinilai menggunakan sudut pandang fiqh dan perundang-undangan di Indonesia. F. Kajian Pustaka Fenomena perkawinan lintas agama memang bukan hal yang baru, namun tetap menarik untuk dikaji. Tidak menutup kemungkinan tema penelitian ini sudah ada yang mengkaji, seperti halnya skripsi yang disusun oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang nikah beda agama. Menurut Fuadi, dalam beragama, Ulil Abshar Abdalla tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktek keislaman yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan formal, menurutnya yang pokok adalah nilai yang terkandung di dalamnya. Setiap agama menunjuk pada nilai keadilan, oleh karena itu setiap agama sama. Karena setiap agama sama maka dihalalkan nikah beda agama (Fuadi, 2006). Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua hal pokok pemikiran Imam Syafi‟i tentang perkawinan campuran. Pertama, perkawinan antara perempuan
9
muslim dan laki-laki bukan muslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki muslim diharamkan mengawini perempuan bukan muslim. Pendapat ini lebih didasarkan pada pertimbangan menolak mafsadat demi menjaga keutuhan umat dari akibat buruk yang ditimbulkan oleh perkawinan campuran (Fauzi, 2004). Kedua karya di atas merupakan kajian secara pustaka terhadap pendapat seorang tokoh tentang praktek perkawinan lintas agama, sehingga dapat dikatakan sebagai kajian teoritik. Dalam hal ini tentu hanya mempertimbangkan boleh atau tidaknya praktek kawin lintas agama dengan pertimbangan-pertimbangan secara teori dan tidak melihat fakta yang terjadi dalam masyarakat. Suhadi dalam bukunya Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam mencoba mengajak mengkaji kawin lintas agama dengan konsep kritik nalar Arkoun.
Menurut Suhadi ideologi dan kepentingan dari konstruksi
larangan kawin lintas agama di Indonesia adalah sebagai suatu upaya preventif mengurangi perpindahan agama (Suhadi, 2006:145). Hal ini dibangun dalam suasana perebutan jumlah pemeluk agama, khususnya antara Islam dan Kristen. Konstruksi larangan kawin lintas agama yang berawal dari diskursus sipil bergeser menjadi diskursus kekuasaan, setelah berlangsungnya kontestasi-kontestasi antara Islam politik dan Kristen politik untuk menjadikan Negara sebagai lokus kontestasi (Suhadi, 2006:145). Harapan Suhadi dalam bukunya ini (2006:152) adalah menunjukkan kritik nalar Islam terhadap suatu ketentuan hukum yang tak terkatakan dengan sendirinya oleh cara berpikir
10
nalar Islam yang linear. Dalam masalah kawin lintas agama, umat Islam telah lama terkungkung dalam „nalar politik-agama” dalam waktu yang panjang, sehingga sulit untuk menuju “nalar religi” yang lebih jernih. Tidak jauh berbeda dengan kedua karya di atas, buku ini hanya membahas sebatas cara memandang adanya aturan larangan kawin lintas agama di Indonesia. Dengan begitu diharapkan pembaca mampu menilai adanya praktek kawin lintas agama dari sisi yang lain, namun sayangnya dalam buku ini Suhadi belum menjelaskan makna dari “nalar religi” yang ditawarkan olehnya guna menganalisis praktek kawin lintas agama tersebut. Penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian lapangan. Peneliti terjun ke masyarakat untuk melihat dan mempelajari bagaimana perkawinan lintas agama dipraktekkan para pelakunya. Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui fenomena riil yang terjadi di masyarakat. Peneliti terinspirasi oleh penelitian yang dilakukan Wahyu Pamungkas dkk yang melakukan penelitian perkawinan lintas agama di Dukuh Banjaran Salatiga. Hanya saja penelitian yang akan dilakukan peneliti berada di Kelurahan Bugel Salatiga. Wahyu Pamungkas dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa praktek perkawinan lintas agama ini dilakukan karena adanya dorongan faktor eksternal seperti faktor ekonomi serta status sosial dan faktor internal seperti pandangan agama serta kebutuhan akan perlindungan (Pamungkas, 2008:59). Akad dalam perkawinan lintas agama yang terjadi di Banjaran dilakukan dengan cara hillah atau salah satu pihak berpindah agama menurut agama pasangannya, walaupun demikian dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap
11
mempraktekkan agama semula masing-masing dan mereka mengaku rumah tangga mereka tetap harmonis walaupun berada dalam perbedaan ini. Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas, peneliti mencoba untuk memfokuskan pada masalah yang telah peneliti jabarkan di latar belakang masalah di atas. Penelitian Pamungkas di atas hanya dilakukan selama satu bulan sehingga belum begitu mendalam penggalian fakta-faktanya dan penelitian tersebut hanya sebagai tugas mata kuliah, untuk itu peneliti berani mengambil tema yang sama. Peneliti berharap dalam penelitian ini nanti dapat menemukan fakta-fakta yang lebih mendalam, sehingga penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Pamungkas. Tidak menutup kemungkinan hasil yang didapat akan berbeda mengingat lokasi penelitian yang berbeda pula. G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian kualitatif, karena penelitian ini bertujuan untuk mengungkap semaksimal mungkin data dari kasus yang akan diteliti, menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis. Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui status hukum perkawinan lintas agama dan pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui bagaimana perkawinan lintas agama dipraktekkan di dalam masyarakat dan bagaimana kehidupan rumah tangga mereka. 2. Kehadiran Peneliti
12
Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama karena peneliti secara langsung mengumpulkan data di lapangan. Status peneliti dalam mengumpulkan data diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalahpahaman antara peneliti dan informan. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Bugel, Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Peneliti memilih lokasi ini karena di wilayah Kelurahan Bugel cukup banyak terjadi praktek perkawinan lintas agama, ada sekitar lima pasangan suami istri. Kelurahan Bugel merupakan wilayah yang cukup maju meskipun berada di tepian kota Salatiga. Hal ini ditandai dengan pola kehidupan yang modern, seperti halnya bangunan rumah yang sebagian besar sudah terbuat dari bata, mata pencaharian penduduk sudah beragam bahkan agama yang ada sudah mulai beragam. Di wilayah Keluraha Bugel ini agama Islam adalah agama mayoritas, agama selain Islam biasanya dianut oleh para pendatang baru. Praktek keberagamaan masih sangat kental sehingga menjadi menarik ketika di wilayah Kelurahan Bugel ini ternyata ada pelaku perkawinan lintas agama. 4. Sumber Data Subjek yang diteliti adalah pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel. Informasiinformasi yang berkaitan dengan praktek perkawinan lintas agama penulis gali dari beberapa informan terkait, yaitu pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama, orang tua atau keluarga pelaku perkawinan lintas
13
agama yang tinggal serumah serta tokoh masyarakat/ tokoh agama yang tinggal di wilayah kelurahan Bugel. Untuk mendukung penelitian ini, penulis juga mengumpulkan data berupa dokumen-dokumen penting yang terkait dengan praktek perkawinan lintas agama di kelurahan Bugel, yaitu kutipan akta nikah dll. Tabel 1.1 Informan sekaligus Subjek Penelitian Informan I II III IV V
Suami Kasbiyantoro Rusdi Untung Tri Masal G.S
Agama Katholik Kristen Kristen Islam Kristen
Istri Sri Suryati Sugini Mutiah Darwati Supratini
Agama Islam Islam Islam Kristen Islam
Tabel 1.2 Informan Lain
Informan
Agama Ket.
M. Sungaidi
Islam
Ketua NU Ranting Bugel
Nur Salim M.Toha M. Roji
Islam Islam Islam
Wawan
Islam
Widi Ernawati
Islam Islam
Tokoh Agama Tokoh Muhammadiyah Tokoh Agama Anak Kasbiyantoro & Siti Suryati Anak Rusdi & Sugini Menantu Untung & Tiah
5. Prosedur Pengumpulan Data a. Metode Observasi Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian. Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi subjek penelitian.
14
Teknik observasi ini merupakan upaya memperoleh data dengan melihat atau mengamati obyek yang diteliti serta melakukan pencatatan terhadap kejadian yang penulis ketahui pada masyarakat Kelurahan Bugel khususnya pasangan pelaku perkawinan lintas agama. b. Metode Wawancara Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto,1998:115). Di sini penulis melakukan wawancara terhadap pasangan pelaku perkawinan lintas agama dan anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan mereka untuk mendapatkan informasi sebanyakbanyaknya
sesuai
fokus
penelitian,
yang
sebelumnya
sudah
dipersiapkan daftar pertanyaan yang ingin ditanyakan. Wawancara juga dilakukan dengan tetangga dekat pasangan perkawinan lintas agama guna mendapatkan informasi tentang kehidupan pasangan perkawinan lintas agama tersebut menurut mereka. Tokoh masyarakat / tokoh agama yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel juga menjadi terwawancara guna mendapatkan informasi tentang pandangan/ pendapat mereka mengenai adanya pasangan pelaku perkawinan lintas agama di sekitar mereka.
15
c. Dokumentasi Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Metode ini sumber datanya masih tetap, dan belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati (Arikunto, 1998 : 236). Dokumen-dokumen yang dimaksudkan misalnya kutipan akta nikah, kartu keluarga, KTP, data demografi dari kelurahan dan dokumen-dokumen lain yang menunjang penelitian ini. 6. Analisis Data Selama pengumpulan data, data sudah mulai dianalis dengan cara mengklasifikasikan data sehingga dapat diketahui kekurangan data dan segera berusaha untuk melengkapinya. Setelah semua data terkumpul, dipaparkan berdasarkan klasifikasi secara lebih rinci sehingga tergambar pola
atau
struktur
dari
fokus
masalah
yang
dikaji
kemudian
diinterpretasikan sehingga mendapatkan jawaban dari fokus penelitian tersebut. 7. Pengecekan Keabsahan Data Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004 : 330). Pengecekan keabsahan data dilakukan
16
karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis. Pengecekan
dilakukan
dengan
cara
membandingkan
hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan
informan
satu
dengan
yang
informan
lain,
maupun
membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan. 8. Tahap-Tahap Penelitian Tahap-tahap penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut: a. Sebelum melakukan penelitian penulis menentukan ide atau tema yang akan diteliti yaitu perkawinan lintas agama. b. Penulis mencari informasi dari masyarakat dan kerabat yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel tentang ada atau tidaknya pelaku perkawinan lintas agama. c. Berdasar informasi yang didapatkan ada cukup banyak pelaku perkawinan lintas agama di wilayah Kelurahan Bugel, maka penulis menetapkan Kelurahan Bugel sebagai lokasi penelitian. d. Kemudian penulis menyusun proposal penelitian. e. Setelah proposal disetujui, maka penulis baru terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data dengan melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi. f. Analisis data dilakukan sejak pengumpulan data dimulai sampai seluruh data terkumpul.
17
g. Analisis data dilakukan dengan cara: pertama, membuat rekap data berdasar klasifikasi. Kedua, menyusun pola-pola perilaku masyarakat pelaku perkawinan lintas agama berdasar klasifikasi dan ketiga, menginterpretasikan hasil penelitian untuk mendapatkan kesimpulan hasil dari fokus penelitian. h. Penyusunan laporan penelitian. H. Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan umum perkawinan lintas agama, dalam bab ini memaparkan perkawinan lintas agama perspektif UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan lintas agama perspektif KHI dan perkawinan lintas agama perspektif Hukum Islam. BAB III Perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel memaparkan seluruh hasil penelitian yang peneliti lakukan yang meliputi letak geografis dan kondisi lingkungan Kelurahan Bugel, struktur sosial dan kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Kelurahan Bugel dan profil pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama. BAB IV Tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia terhadap perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel. Bab ini menganalisis praktek perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama, konflik dan akomodasi
18
nilai keluarga pelaku perkawinan lintas agama, pandangan tokoh masyarakat / tokoh agama terhadap praktek perkawinan lintas agama dan tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia terhadap perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel. BAB V Penutup berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang diberikan penulis kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini.
19
BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN LINTAS AGAMA
A. Perkawinan Lintas Agama Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 lahir sebagai jawaban atas kegelisahan terhadap keragaman hukum perkawinan yang ada di Indonesia. Sebelum diundangkannya undang-undang ini, di Indonesia berlaku bermacammacam hukum perkawinan menurut golongan masing-masing. Bagi orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Islam, bagi golongan penduduk Indonesia Asli beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia, bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku hukum adat dan bagi orang-orang Timur Asing Cina, Timur Asing lainnya, Eropa dan warga Negara Indonesia keturunan mereka berlaku undang-undang Hukum Perdata/BW (Asmin, 1986:11). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini merupakan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia sehingga sejak undangundang ini diundangkan (tanggal 2 Januari 1974) maka setiap warga negara Indonesia dalam melakukan perkawinan tunduk pada undang-undang ini. 1. Pengertian Perkawinan Pengertian perkawinan dalam undang-undang ini dapat kita lihat dalam anak kalimat pasal 1 yang berbunyi: perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan: pertama, ikatan lahir diartikan keterikatan antara kedua
20
belah pihak secara formal baik dalam hubungan antara satu sama lain maupun mereka dengan masyarakat luas. Ikatan batin diartikan adanya satu tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu dalam sebuah perkawinan tidak bisa dipisahkan antara ikatan lahir dan ikatan batin, karena memang keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Kedua, digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak adanya perkawinan sesama jenis yang telah dilegalkan oleh beberapa orang Barat. Ketiga, digunakan ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama” (Syarifuddin, 2006:40). 2. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan dalam undang-undang perkawinan ini tertuang dalam anak kalimat kedua pasal 1 yang berbunyi: dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan tujuan perkawinan di atas menunjukkan bahwa dalam setiap perkawinan mengandung harapan besar untuk mendapatkan kebahagiaan baik secara materiil maupun spiritual. Kebahagiaan yang diharapkan tentu kebahagiaan untuk selamanya dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil (Syarifuddin, 2006:40). Setiap
21
pasangan suami istri tentu berharap bahwa pasangan yang dipilih hari ini adalah pasangan untuk seumur hidup dan mereka hanya berharap berpisah karena kematian. Masih dalam rumusan tujuan perkawinan tersebut, kita dapat melihat bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal harus berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Pandangan ini sejalan dengan sifat religius dari bangsa Indonesia yang mendapatkan realisasinya di dalam kehidupan beragama dan bernegara (Asmin, 1986:20). 3. Sahnya Perkawinan Adanya undang-undang yang mengatur perkawinan memperjelas bahwa perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, sehingga sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh undang-undang yang mengaturnya yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini. Menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Penjelasan pasal 2 ayat (1) ini menyebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau ditentukan lain dalam undang-undang ini.
22
Sahnya
perkawinan
harus
sesuai
dengan
hukum
agama/kepercayaannya masing-masing, sehingga tidak ada kemungkinan untuk orang yang beragama Islam melakukan perkawinan dengan melanggar aturan agamanya, begitu pula orang-orang yang beragama Kristen, Hindu, Budha ataupun penganut kepercayaan. 4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga mengatur syarat-syarat sahnya suatu perkawinan yang meliputi syarat formil dan materiil. Syarat formil adalah syarat-syarat yang menyangkut formalitasformalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan. Syarat materiil adalah syarat mengenai diri pribadi calon mempelai. Syarat formil terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tantang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang meliputi: a. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan (pasal 3 ayat 1). b. Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 8). c. Pelaksanaan
perkawinan
menurut
hukum
agamanya
dan
kepercayaannya masing-masing (pasal 10 ayat 2). d. Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 11). Syarat materiil yang berlaku umum tertuang dalam UU No. 1/1974, meliputi:
23
a. Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat 1). b. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1). c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal diijinkan oleh pasal 3 (2) dan pasal 4 (pasal 9). d. Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena kematian (pasal 11 UU No. 1/1974 dan pasal 39 PP No. 9/1975). Syarat materiil yang berlaku khusus dalam UU No. 1/1974, meliputi: a. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 8,9 dan 10 UU No. 1/1974, yaitu larangan perkawinan antara dua orang yang: 1)
berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas;
2)
berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping;
24
3)
berhubungan semenda;
4)
berhubungan susuan;
5)
berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
6)
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin;
7)
masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 (pasal 9).
8)
telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain (pasal 10).
b. Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21 tahun. 5. Perkawinan Lintas Agama Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, aturan tentang perkawinan campuran dipersempit. Pasal 57 undang-undang ini memberikan pengertian perkawinan campuran sebagai berikut: Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undangundang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Jadi dapat kita lihat bahwa dalam undang-undang ini hanya membatasi perkawinan campuran pada perkawinan warga negara
25
Indonesia dan warga negara asing. Nampak bahwa perkawinan antar sesama warga negara Indonesia yang tunduk pada hukum yang berbeda, termasuk agama yang berbeda bukan termasuk dalam pengaturan perkawinan campuran dalam undang-undang ini. Pasal 58 UU No. 1/1974 selanjutnya mengatakan, bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Sedangkan dalam pasal 59 menyatakan, bahwa kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata (ayat 1), dan perkawinan campuran yang dilangsungkan
di
Indonesia
dilakukan
menurut
undang-undang
perkawinan ini (pasal 2). Dalam hal perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia ini berarti bahwa untuk perkawinan campuran juga berlaku syarat-syarat perkawinan pada umumnya menurut undang-undang ini, yaitu bahwa sahnya suatu perkawinan digantungkan kepada hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan masing-masing pemeluknya. Jika ia seorang Islam maka harus mengikuti aturan agama Islam, jika ia beragama Kristen maka harus mengikuti agama Kristen, begitu juga untuk agama-agama yang lainnya.
26
Jadi dalam undang-undang ini tidak ada aturan yang tegas mengenai perkawinan lintas agama, karena yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua
orang
yang
berbeda
kewarganegaraan
dan
salah
satunya
berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini menyatakan, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari ayat tersebut tersirat bahwa adanya larangan perkawinan lintas agama yang kemudian dikuatkan dengan pasal 40 poin c dan pasal 44 KHI. KHI secara tegas melarang adanya perkawinan lintas agama namun di sisi lain KHI juga membuka peluang untuk perkawinan lintas agama tersebut. Hal ini nampak pada bab xvi tentang putusnya perkawinan terutama pasan 116 dalam poin h menjelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan: peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Jadi ketika ada peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak menimbulkan “ketidakrukunan” maka secara tidak langsung KHI juga memperbolehkan adanya perkawinan lintas agama. Adanya pasal ini yang bertentangan dengan pasal 75 yang menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan karena salah satu dari suami atau istri murtad. Selain itu juga KHI secara tidak langsung mendukung adanya pemurtadan.
27
B. Perkawinan Lintas Agama Perspektif KHI 1. Pengertian Perkawinan Pasal 2 KHI menyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholiidhan merupakan penjelasan dari ungkapan lahir batin yang terdapat dalam rumusan UU No. 1/1974 yang mengandung arti bahwa akad perkawinan bukan semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah merupakan penjelasan dari ungkapan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UU Perkawinan. Dari ungkapan di atas menyatakan bahwa dalam Islam, perkawinan merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. 2. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan dalam KHI dijelaskan dalam pasal 3. Pasal tersebut menyatakan, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Dari rumusan tujuan di atas mengandung pengharapan bahwa setiap rumah tangga yang akan dibangun akan menjadi rumah tangga yang bahagia lahir batin dan kekal serta diridhai oleh Allah SWT.
28
3. Sahnya Perkawinan Pasal 4 menyatakan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi KHI juga menganggap sahnya perkawinan jika dilakukan menurut aturan agama masing-masing atau aturan kepercayaan yang dianut pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan. 4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Pada dasarnya syarat sah perkawinan dalam KHI sama dengan syarat sah yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan, hanya saja ada beberapa pasal yang dirinci dalam KHI. Selain mengatur syarat perkawinan, KHI juga mengatur masalah rukun perkawinan. Rukun adalah segala sesuatu yang harus ada dalam sebuah perkawinan. Untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi serta ijab dan kabul (pasal 14). Syarat bagi calon mempelai meliputi: a. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun sesuai ketetapan dalam pasal 7 UU No. 1/1974 (pasal 15 ayat 1). b. Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 16 ayat 1). c. Tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam BAB VI (pasal 18). BAB VI tentang larangan kawin menyebutkan:
29
Pasal 39, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan: 1) karena pertalian nasab; 2) karena pertalian kerabat semenda; 3) karena pertalian sesusuan. Pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: 1) karena wanita tersebut masih terikat satu perkawinan dengan orang lain; 2) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; 3) seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pasal 41, ayat (1) seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya. Pasal 42, seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah raj‟I ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah raj‟i. Pasal 43, ayat (1) dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria: a) dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali, b) dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili‟an.
30
Pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. d. Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena kematian (pasal 153). Syarat wali nikah tertuang dalam pasal 20, yaitu (1) yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh. Syarat saksi nikah tertuang dalam pasal 25, yaitu yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Syarat akad nikah terdapat dalam pasal 27, ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
31
5. Perkawinan Lintas Agama Perspektif KHI KHI mengatur secara tegas larangan perkawinan lintas agama, hal ini tertuang dalam pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena dalam keadaan tertentu: c. seorang wanita yang tidak beragama Islam. Juga tertuang dalam pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Sehingga jelas dengan adanya pasal di atas, seharusnya bagi pemeluk agama Islam di Indonesia tidak ada sedikitpun kemungkinan untuk dapat melakukan perkawinan dengan orang yang tidak beragama Islam. Dengan demikian di KUA hanya dapat menerima perkawinan antara orang Islam. Untuk orang selain Islam perkawinan harus dicatatkan di KCS. Perkawinan yang dilangsungkan secara Islam, namun setelah perkawinan salah satu pasangan keluar dari agama Islam atau murtad status perkawinannya menjadi batal. Hal ini ditegaskan dalam KHI pasal 75 poin a yaitu perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad. Sehingga tidak ada sedikit pun toleransi yang diberikan KHI untuk seseorang melakukan perkawinan lintas agama. Untuk orang-orang yang melakukan perkawinan secara non Islam dan dikemudian hari salah satu dari mereka masuk agama Islam, dalam KHI tidak ada aturan atau penjelasan tentang hal tersebut.
32
C. Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan atau pernikahan dalam bahasa arab sering disebut dengan kata nikah (
) atau zawaj (
). Dua kata tersebut yang banyak
terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadis Nabi. Secara arti kata nikah berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga akad (Syarifuddin, 2006:36). Secara terminologi pengertian perkawinan menurut Dr. Ahmad Ghandur yang dukitip oleh Syarifuddin (2006:39) sebagai berikut: Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Dari pengertian di atas, perkawinan dilakukan guna memenuhi naluri seks manusia secara legal, sepakat untuk mengarungi hidup bersama, sehingga dalam perkawinan tersebut muncul hak dan kewajiban antara suami dan istri yang harus dipenuhi. 2. Tujuan Perkawinan Ada beberapa tujuan perkawinan yang disyariatkan atas umat Islam, diantaranya: a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Dengan adanya perkawinan naluri seksual manusia dapat tersalurkan sesuai jalan yang diridhoi Allah, selain itu dapat menjaga nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan (Sabiq, 1980:19).
33
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang (Syarifuddin, 2006:47) 3. Sahnya Perkawinan Dalam Islam, rukun dan syarat menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum, begitu juga dalam perkawinan. Rukun adalah segala hal yang harus terwujud atau ada dalam suatu perkawinan. Rukun yang pokok dalam perkawinan adalah ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga (Sabiq, 1980:53). Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat terlihat dengan mata kepala, karena itu harus ada perlambangan yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami istri. Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak dengan adanya sebuah akad. Menurut ulama Syafi‟iyah, rukun perkawinan secara lengkap adalah sebagai berikut: a. calon mempelai laki-laki b. calon mempelai perempuan c. wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan d. dua orang saksi e. ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami. 4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Syarat perkawinan adalah segala hal yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan. Untuk sahnya suatu perkawinan, selain memenuhi rukun juga harus memenuhi syarat-syarat yang mendahuluinya.
34
Syarat suatu akad dalam perkawinan, meliputi: a. Akad harus dimulai dengan ijab yaitu penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki kemudian dilanjutkan dengan qabul yaitu penerimaan dari pihak laki-laki; b. Materi ijab dan qabul tidak boleh berbeda; c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat; d. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat
membatasi
masa
berlangsungnya
perkawinan,
karena
perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup; e. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Syarat bagi kedua calon mempelai, meliputi: a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lainnya; b. Keduanya sama-sama beragama Islam; c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan; d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya; e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan. Syarat bagi wali nikah, meliputi: a. Dewasa dan berakal sehat; b. Laki-laki;
35
c. Muslim; d. Merdeka; e. Tidak berada dalam pengampuan; f. Berpikiran baik; g. Adil; h. Tidak sedang melakukan ihram. Syarat bagi saksi, meliputi: a. Berjumlah minimal dua orang; b. Kedua saksi beragama Islam; c. Kedua saksi adalah orang merdeka; d. Kedua saksi adalah laki-laki; e. Kedua saksi bersifat adil; f. Kedua saksi dapat mendengar dan melihat. 5. Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Islam Dalam Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai perkawinan lintas agama. Para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq, perempuan keluar dari Islam, penyembah sapi, perempuan beragama politeisme (Sabiq, 1980:152). Pendapat-pendapat ulama tentang perkawinan lintas agama adalah sebagai berikut: a. Pendapat pertama, Islam tidak mengenal perkawinan antar pemeluk agama. Pendapat ini berdasar atas Q.S Al Baqarah:221
36
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayatayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Menurut pendapat ini, perkawinan lintas agama merupakan suatu proses yang bersifat laten, mendangkalkan keyakinan beragama masingmasing yang menyebabkan hilangnya arti nilai-nilai dan peranan hukum agama dalam hidup dan kehidupan rumah tangga (Ramulyo, 2006:62). Menurut beberapa ulama, perkawinan lintas agama diasumsikan akan menimbulkan banyak permasalahan yang sangat fundamental menyangkut
keselamatan
keimanan,
rentan
konflik,
mengancam
keharmonisan rumah tangga dan menjauhkan nilai-nilai sakral perkawinan (Syafi‟i dan Ulfiah, 2004:53). Larangan perkawinan lintas agama dalam ayat di atas juga mencakup perempuan muslim yang hendak mengawini laki-laki musyrik. Seorang wanita yang menikah dengan pria non muslim, kemungkinan terbesar adalah dia akan mengikuti suaminya. Karena suami adalah kepala keluarga yang memiliki otoritas dalam rumah tangga maka dia dapat membawa istri dan anak-anaknya untuk mengikuti agamanya. Begitu juga
37
apabila seorang laki-laki muslim yang menikahi perempuan non muslim, ancaman keteguhan tauhid dapat terjadi. Perempuan non muslim akan membawa
tradisi
dan
mengajarkan
tradisi-tradisi
hidup
kepada
keluarganya. Selain itu, seorang laki-laki apabila sudah mencintai istrinya, dia bisa melakukan apa pun yang diminta sang istri. Dalam Islam memelihara keselamatan keluarga adalah tanggung jawab besar yang harus dipikul dan tanggung jawab yang diberikan Allah ini tidak dapat dilaksanakan jika dalam satu keluarga terdapat dua agama berbeda. Adanya ayat Q.S Al Maidah:5 yang menerangkan bahwa dihalalkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita ahli kitab, tidak menyebabkan ulama yang melarang perkawinan lintas agama menarik pendapatnya. Berkaitan dengan perempuan ahli kitab yang halal untuk dinikahi, menurut ulama yang menganut pendapat tersebut, pada zaman sekarang sudah tidak ada, yang ada hanya keturunan ahli kitab yang sudah menjadi musyrik. Menurut Qaul Mu‟tamad yang disadur oleh Syafi‟i dan Ulfiah, (pendapat yang kuat) dalam madzhab Syafi‟i, golongan ahli kitab yang halal menikah dengan orang Islam adalah perempuan yang menganut agama Nasrani dan Yahudi sebagaimana agama yang ada semenjak masa sebelum Nabi Muhammad SAW (2004:69). Mereka yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani setelah Al Qur‟an diturunkan tidak dianggap sebagai ahli kitab. Hal ini karena terdapat perkataan miin qoblikum (di masa
38
sebelum kamu) dalam surat Al Maidah ayat 5, perkataan ini menjadi batasan bagi ahli kitab yang dimaksud. b. Pendapat kedua, dalam Islam dikenal adanya perkawinan lintas agama, yaitu laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab. Menurut pendapat ini ada pengecualian yang diatur dalam Q.S Al Maidah:5
5. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundikgundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Alasan para ulama yang membolehkan nikah beda agama karena nikah beda agama secara doktrinal tidak dilarang oleh Allah SWT. Karena sebenarnya persoalan krusial nikah beda agama adalah ganjalan yang lebih bersifat kultural dan struktural yang selama ini dianggap sebagai persoalan teologis. Persoalan yang bersifat kultural dan struktural adalah persoalan yang bisa dihindari. Semua ulama sepakat bahwa menikah dengan orang musyrik adalah dilarang, berarti tidak bisa ditujukan kepada semua orang di luar Islam, karena ternyata orang-orang yang berasal dari golongan ahli kitab diperbolehkan menikah dengan orang Islam. Keempat imam mazhab juga
39
sepakat bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini perempuan ahli kitab, yakni perempuan-perempuan Yahudi dan Nasrani dan tidak sebaliknya (Mughniyah, 1994:43). Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, keterangan dalam surat Al Baqarah 221 adalah pengharaman oleh Allah perihal menikah dengan orang musyrik, yaitu mereka yang menyekutukan Allah, menyembah kepada selain Allah seperti menyembah berhala, api, dll (Katsir, 2002:427). Yang dimaksud ahli kitab adalah orang yang beragama Nasrani dan Yahudi, asalkan mereka perempuan yang menjaga kehormatannya maka boleh dinikahi. Demikian pula yang disebutkan dalam tafsir Al Misbah karangan Quraish Shihab (2000:29), larangan menikah yang dijelaskan dalam surat Al Baqarah:221 adalah menikahi orang musyrik, bukan orang yang berbeda agama. Musyrik dan orang yang di luar Islam haruslah dipisahkan, karena golongan ahli kitab, meskipun secara institusi bukan orang Islam dibolehkan menikah. c. Pendapat ketiga, perkawinan yang dilakukan secara Islam dan dikemudian dari salah satu dari mereka keluar dari agama Islam/ murtad, maka perkawinannya dianggap fasakh atau batal (Sabiq, 1981:133). Yang disebut dengan memfasakh akad nikah berarti membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian antara suami-istri. Fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal-hal lain
40
datang kemudian yang membatalkan kelangsungan perkawinan. Dalam hal ini murtad termasuk dalam alasan fasakh yang kedua. Fasakh, baik karena hal-hal yang terjadi belakangan ataupun karena ada syarat-syarat yang tidak terpenuhi, ia mengakhiri ikatan perkawinan seketika itu (Sabiq, 1981:133) d. Pendapat keempat, perkawinan yang dilakukan dengan cara agama lain selain Islam, namun di kemudian hari, salah satu pasangan mereka masuk Islam, maka menurut Sabiq (1981:192), ada dua hukum yang diberlakukan. Pertama, jika yang masuk Islam perempuannya, perkawinan diputuskan dan ia wajib beriddah. Jika kemudian suami menyusul masuk Islam, selama perempuan dalam masa iddah maka suami masih bisa berkumpul dengan istrinya kembali. Kedua, jika yang masuk Islam suami, maka setelah masa iddah istri habis ataupun dalam waktu yang lama, maka mereka tetap berada dalam ikatan perkawinan semula jika mereka tetap memilih melangsungkan ikatannya itu dan istri belum kawin dengan orang lain.
41
BAB III PERKAWINAN LINTAS AGAMA DI KELURAHAN BUGEL
A. Letak Geografis dan Kondisi Lingkungan Kelurahan Bugel Kelurahan Bugel terletak di tepi Kota Salatiga bagian utara. Wilayahnya termasuk dalam wilayah Kecamatan Sidorejo, luas wilayahnya tidak terlalu luas dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lain di Kecamatan Sidorejo. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pabelan, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Salatiga, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sidorejo Lor dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Kauman Kidul. Wilayahnya terdiri dari 6 (enam) RW (Sawo, Bugel, Kebonsamas, Candiwesi, Nogosari dan Sembir) yang terbagi menjadi 20 (dua puluh) RT. Di antara wilayah-wilayah Kelurahan Bugel membentang cukup luas perkebunan karet milik PTP yang memisahkan wilayah RW II (Bugel) dengan wilayah RW VI (Sembir) dan wilayah RW V (Nogosari). Letak wilayah Kelurahan Bugel juga tidak jauh dari Universitas Kristen Satya Wacana yang merupakan satu-satunya universitas dan merupakan yang terbesar di Salatiga. Di wilayah Kelurahan Bugel ini juga ada sebuah yayasan Kristen yaitu Yayasan Bina Darma yang terletak di RW I (Sawo). Ada hal yang sering membuat orang tidak melupakan Kelurahan Bugel atau merasa familiar dengan Kelurahan Bugel, yaitu adanya tempat karaoke di dekat wilayah Kelurahan Bugel, yaitu “Sembir”. Tempat Karaoke tersebut sebenarnya termasuk dalam wilayah Kelurahan Sidorejo Lor dan
42
wilayahnya bernama Sarirejo bukan Sembir. Nama “Sembir” sebenarnya adalah nama salah satu wilayah Kelurahan Bugel (RW VI), hanya saja wilayah Sembir berbatasan langsung dengan wilayah Sarirejo. Entah mengapa orang-orang lebih suka menyebut tempat karaoke tersebut dengan nama “Sembir”. Masyarakat Kelurahan Bugel menunjukkan ciri pergaulan masyarakat desa yang masih dominan. Ada sebagian kecil wilayah di Kelurahan Bugel yang masyarakatnya nampak individualis, hal ini tampak pada sebagian masyarakat yang tinggal di wilayah RT 04 RW II dan RT 04 RW I. Hal ini dikarenakan di wilayah tersebut banyak pendatang dari kota, walaupun demikian masyarakat aslinya tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan seperti gotong royong. Permasalahan yang muncul dalam masyarakat, yang menyangkut kepentingan umum diselesaikan dengan jalan musyawarah, sedangkan masalah pribadi atau yang muncul dalam rumah tangga diselesaikan secara pribadi oleh yang bersangkutan dan tidak ada campur tangan pihak lain. Masalah-masalah pribadi yang dihadapi anggota masyarakat seolah-olah masyarakat secara luas tidak mempedulikannya. Pada saat ada peristiwa-peristiwa tertentu misalnya hajatan, kematian atau peristiwa lain yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum, masyarakat di wilayah Kelurahan Bugel senantiasa bergotong royong. Kegiatan lain seperti kerja bakti dan ronda malam (siskamling) masih terus berjalan di wilayah-wilayah Kelurahan Bugel.
43
B. Struktur Sosial dan Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama Masyarakat Kelurahan Bugel Sebelum tahun 2004 Bugel merupakan sebuah Desa yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang berasal dari penduduk asli Bugel dan Carik sebagai sekretaris desa. Pada masa ini di wilayah-wilayah yang sekarang disebut RW ada yang disebut Bayan yang bertugas sebagai penghubung antara Pemerintah Desa dengan RK (Rukun Kampung). Setelah tahun 2004, struktur tersebut diganti dengan struktur yang baru. Bugel yang dahulu sebuah Desa berubah status menjadi Kelurahan yang dipimpin oleh seorang Lurah dan Sekretaris. Tidak ada lagi yang namanya Bayan. Hierarki kepemimpinan dan alur pemerintahan dalam masyarakat hanya Lurah, Ketua RW kemudian Ketua RT. Lurah Herjuno Soedasmoro, SH
Sekretaris Bambang Indarto
Kelompok Jabatan Fungsional
Seksi Pemerintahan Sigit Sudomo, SE
Seksi Trantib Sardjono
Seksi Pembangunan Agus Ariyadi W, SE
Seksi Kesra Bambang Hartono, SE
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Kelurahan Bugel
Orang-orang yang menjabat di kantor kelurahan tidak lagi penduduk asli Bugel, akan tetapi para PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang penempatannya ditentukan oleh pemerintah kota.
44
Table 3.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Bugel, Sidorejo Salatiga
No. Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Jumlah Total
Jumlah Penduduk 1.361 1.399 2.760
Sumber: Monografi Data Dinamis Bulan November 2010 Kelurahan Bugel
Penduduk Kelurahan Bugel seluruhnya merupakan WNI yang sebagian besar bersuku Jawa. Orang yang bersuku selain Jawa pada umumnya merupakan pendatang yang menetap di Kelurahan Bugel. Bahasa pergaulan yang digunakan dalam masyarakat adalah Bahasa Jawa. Upaya pelestarian budaya Jawa masih dilakukan di Kelurahan Bugel. Contohnya adalah kesenian Karawitan, Reog dan ada yang oleh masyarakat disebut Lera-lere. Mata pencaharian penduduk Kelurahan Bugel cukup beragam, mulai dari petani, buruh tani, pengusaha, buruh industri, pedagang, buruh bangunan, pengangkutan, pegawai negeri (sipil/ABRI) maupun pegawai swasta. Walaupun berbeda profesi masyarakat Kelurahan Bugel bisa berinteraksi dan bekerja sama dengan baik. Sebagian besar di wilayah Kelurahan Bugel, kondisi rumah cukup baik dan layak huni. Bangunan rumah sudah permanen yang terbuat dari batu bata maupun batako. Hal ini mencerminkan bahwa sebagian besar masyarakat kelurahan Bugel berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan pokok yang berupa sandang, pangan dan papan.
45
Tabel 3.2 Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Bugel
No. Mata Pencaharian 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Petani Buruh Tani Pengusaha Buruh Industri Pedagang Buruh Bangunan Pengangkutan Pegawai Negeri (Sipil/ABRI) Pensiunan Lain-lain
Jumlah Penduduk 24 orang 65 orang 3 orang 15 orang 196 orang 59 orang 18 orang 95 orang 21 orang 1.795 orang
Sumber: Monografi Data Dinamis Bulan November 2010 Kelurahan Bugel
Pendidikan masyarakat Kelurahan Bugel tergolong cukup baik, 8,25% penduduk di Kelurahan Bugel tamat Akademi/Perguruan Tinggi, 24.5% tamat SLTA, 15% tamat SLTP dan 34% tamat SD. Agama yang dianut penduduk Kelurahan Bugel cukup beragam yaitu Islam, Kristen Katholik dan Kristen Protestan. Agama Islam masih menjadi agama mayoritas di Kelurahan Bugel. Table 3.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Bugel Sidorejo Salatiga Berdasarkan Agama
No. 1 2 3
Agama Islam Kristen Katholik Kristen Protestan Jumlah Total
Jumlah Penduduk 2.455 50 218 2.723
Sumber: Monografi Data Dinamis Bulan November 2010 Kelurahan Bugel
46
Agama Islam menjadi dominan di Kelurahan Bugel karena merupakan agama yang turun temurun. Kegiatan keagamaan masih aktif dilakukan baik di Masjid, Mushola ataupun Rumah warga. Di wilayah Kelurahan Bugel terdapat 5 masjid yang terletak di 5 RW yaitu Masjid Al Ikhlas (RW I), Masjid Baitul A‟la (RW II), Masjid Al Huda (RW IV), Masjid Al Mutazam (RW V) dan Masjid Al Amin (RW VI). Contoh kegiatan keagamaan yaitu Istighosah NU dilakukan setiap malam selasa kliwon, pengajian rutin remaja dilakukan secara rolling antar RW setiap malam jum‟at kliwon. Masih ada juga jama‟ah dzikir yang dilaksanakan pada malam jum‟at legi. Kegiatan di TPA/TPQ juga masih aktif di seluruh wilayah kelurahan Bugel, Yasinan, Al Berjanji dan pengajian rutin ibu-ibu juga masih dilaksanakan secara rutin oleh warga Kelurahan Bugel. Untuk kegiatan keagamaan bagi umat Kristen/Katholik berpusat di gereja-gereja yang ada di wilayah Bugel maupun gereja di wilayah yang dekat dengan Kelurahan Bugel, karena di Bugel hanya ada 2 gereja yang terletak di wilayah RW I di dekat yayasan Bina Darma. C. Profil Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama 1. Pasangan Untung Subiyanto dan Mutiah Tempat kerja yang berhadapan mengawali perkenalan antara Untung dan Mutiah, waktu itu mereka sama-sama bekerja sebagai pelayan toko di Jl. Taman Makam Pahlawan Salatiga. Butuh waktu kurang lebih satu tahun setelah perkenalan mereka untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang perkawinan.
47
Pada waktu itu tidak ada halangan yang mendalam untuk melangsungkan perkawinan walaupun mereka berasal dari latar belakang agama yang berbeda, Untung berasal dari keluarga Kristen sedangkan Mutiah berasal dari keluarga Muslim. Menurut pengakuan Mutiah, sebelum berkenalan dengannya, Untung sudah beragama Islam sesuai dengan KTP yang dimiliki. Ketika Mutiah memperkenalkan Untung kepada keluarganya sebagai calon suami, tidak ada seorang pun dari keluarga Mutiah menentang hubungan mereka. Pihak keluarga Mutiah juga sudah mengetahui bahwa orang tua Untung beragama Kristen. Bagi orang tua Mutiah, selama anaknya sudah merasa cocok dan mantap untuk membina rumah tangga dengan Untung maka restu senantiasa diberikan. Hubungan yang didasari rasa cinta dan masing-masing pihak sudah merasa pasangan mereka adalah jodoh yang diberikan Tuhan, akhirnya Untung dan Mutiah memutuskan menikah secara resmi pada tahun 1986. Prosesi akad perkawinan mereka dilakukan secara Islam di KUA Kecamatan Pabelan oleh wali hakim. Menurut pengakuan Mutiah, akad nikah berjalan dengan lancar, bahkan ketika Untung diminta membaca syahadat juga dilakukan dengan baik. Setelah resmi menjadi suami istri mereka tinggal di Karang Kepoh, Argmulyo, bersama orang tua Untung. Selama Mutiah tinggal di sana, orang tua Untung menerima Mutiah dengan baik, tidak pernah ada larangan bagi Mutiah untuk tetap menjalankan agamanya. Entah sejak kapan tepatnya setelah perkawinan mereka, Untung memutuskan kembali
48
memeluk agamanya yang lama yaitu Kristen. Untung memang lahir dan besar dengan didikan agama Kristen. Di wilayah Untung tinggal yaitu Karang Kepoh penduduknya heterogen, panganut agama Islam dan Kristen jumlahnya hampir sama banyak dan mereka hidup berdampingan. Sehingga ketika Untung dan Mutiah hidup dalam keadaan berbeda agama dalam satu rumah tangga, masyarakat di sekitar mereka bisa menerima mereka dengan baik. Setelah beberapa waktu tinggal bersama orang tua Untung, akhirnya keluarga Untung dan Mutiah mampu membangun rumah sendiri yang berada tidak jauh dari rumah orang tua Untung di tanah yang mereka sewa. Pekerjaan Untung yang hanya seorang buruh serabutan tidak mengurangi kebahagiaan keluarga mereka sehingga membuahkan empat orang anak. Anak pertama bernama Robi (1986), anak kedua Cantika (1989), anak ketiga Deni (1997) dan anak keempat bernama Novia (2000). Pengaruh lingkungan tempat mereka tinggal cukup besar terhadap perkembangan keberagamaan anak-anak Untung dan Mutiah. Di masa kecilnya, Robi dan Cantika ternyata lebih sering pergi ke Gereja bersama orang tua Untung, sedangkan Deni dan Novia lebih cenderung mengikuti agama ibunya. Kebebasan yang diberikan oleh Untung dan Mutiah membuat anak-anak mereka menentukan pilihan mereka sendiri.
49
Gambar 3.2 Kartu Keluarga Untung-Mutiah
Sejak awal perkawinan mereka memang agama tidak menjadi sekat di antara hubungan mereka. Kebebasan beragama pun ditanamkan kepada anak-anak mereka. Walaupun dalam hati kecil Mutiah tersimpan harapan agar suami dan anak-anak mereka memiliki agama yang sama dengannya. Pada tahun 2008 keluarga Untung dan Mutiah memutuskan pindah ke kelurahan Bugel untuk menempati rumah orang tua Mutiah. Di tahun itu juga anak pertama Untung dan Mutiah yaitu Robi akan melangsungkan perkawinan dengan seorang gadis bernama Ernawati. Pernikahan anaknya tersebut dilakukan secara Islam karena calon mempelai wanita beragama Islam sehingga Robi memutuskan untuk menjadi mualaf. Menurut pengakuan Erna (istri Robi) walaupun menjadi mualaf namun sampai saat
50
ini Robi masih belum menjalankan agama Islam. Setelah perkawinan anaknya tersebut mereka tinggal satu atap di Kelurahan Bugel. Keberadaan keluarga mereka yang berbeda agama dalam satu keluarga di wilayah Kelurahan Bugel tidak menimbulkan masalah yang serius. Masyarakat di sekitar mereka tinggal menerima keluarga mereka dengan baik. Bagi keluarga Mutiah, yang penting mereka tidak mengusik orang lain. Mutiah dan Untung termasuk orang yang aktif mengikuti kegiatan sosial yang ada di wilayah mereka tinggal seperti kumpulan RT, kerja bakti maupun kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. Sebagai umat beragama Mutiah juga aktif mengikuti kegiatan pengajian ibu-ibu yang diadakan setiap malam minggu. Berbeda dengan Untung yang sejak menikah dan kembali memeluk Kristen, dia sudah tidak lagi aktif ke Gereja. Deni dan Novia juga belajar mengaji di rumah Ustadz di dekat rumah mereka. Meski hidup dalam perbedaan agama, keluarga Mutiah tetap rukun dan tidak pernah mengungkit-ungkit masalah agama jika ada masalah. Wujud saling menghormati di antara mereka tampak ketika menghadapi perayaan keagamaan, khususnya di bulan Ramadhan. Ketika menghadapi Ramadhan Mutiah dan anak-anaknya melaksanakan ibadah puasa, anakanak Mutiah yang beragama Kristen pun ikut berpuasa untuk menghormati ibu mereka. Untung juga sering mengingatkan Mutiah untuk makan sahur, pergi tarawih maupun pergi ke pengajian.
51
Dalam pengambilan keputusan didominasi oleh Untung sebagai kepala keluarga, sebagai contoh dalam penamaan anak, semua dilakukan oleh Untung. Walaupun tidak menutup kemungkinan dilakukan diskusi antara anggota keluarga dalam masalah-masalah tertentu. Dominasi di dalam rumah tidak nampak begitu jelas karena melihat keadaan rumah tidak ada simbol-simbol tertentu yang menunjukkan adanya sebuah dominasi. 2. Pasangan Rusdi dan Sugini Rusdi dan Sugini adalah contoh lain pasangan pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel. Pertemuan mereka diawali dengan hubungan pekerjaan juga. Pada tahun 1979 di usianya yang masih muda (16 Th), Sugini sudah merantau ke Salatiga meninggalkan kampungnya yaitu Simowalen Boyolali. Sugini bekerja pada pemilik kantin di SMP Kristen 4 Salatiga. Sedangkan Rusdi bekerja sebagai penjaga sekolah di SMEA Kristen Salatiga yang letaknya berdampingan dengan SMP Kristen 4 Salatiga. Karena pekerjaannya, Sugini sering mengantarkan makanan kecil ke kantin SMEA Kristen Salatiga. Dari seringnya Sugini mengantarkan makanan kecil tersebut, akhirnya Sugini bertemu dengan Rusdi dan akhirnya berkenalan dan menjadi dekat. Hanya dalam waktu tiga bulan setelah kedekatan mereka, mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka ke jenjang perkawinan.
52
Sebelum bekerja di Salatiga, sebenarnya Sugini sudah dijodohkan oleh orang tuanya dengan orang kampungnya. Namun Sugini menolak perjodohan itu karena orang yang dijodohkan masih saudara dengannya. Oleh karena itu ketika Sugini membawa Rusdi untuk dikenalkan kepada orang tuanya sebagai calon suaminya, orang tua Sugini pasrah dengan keputusan anaknya. Setelah Rusdi menjelaskan bahwa Rusdi berbeda keyakinan dengan Sugini, namun serius ingin hidup bersama Sugini maka tidak ada alasan lagi menghalangi perkawinan mereka. Bagi orang tua Sugini pada waktu itu yang penting anaknya yang menjalani tidak keberatan dan jika perkawinannya dapat berlangsung dengan mudah maka silahkan saja. Orang tua Sugini tidak ingin lagi memaksakan kehendaknya kepada anaknya karena berdasarkan pengalaman yang telah terjadi ternyata hal tersebut tidak membuat anaknya bahagia. Perkawinan dilakukan pada Juli 1983 di Kantor Catatan Sipil (KCS). Berdasarkan akta perkawinan mereka Sugini tercantum beragama Kristen, jadi dalam proses perkawinan tersebut Sugini yang mengikuti agama suami. Yang menikahkan mereka adalah Pendeta, sebelum adanya akad perkawinan Sugini dan Rusdi juga mengucapkan janji-janji sesuai yang diajarkan dalam Kristen. Hal terberat yang diperjanjikan sebelum perkawinan terjadi adalah apapun masalah yang dihadapi, sebesar apapun masalah tersebut tidak ada kata perceraian bagi keduanya. Setelah menikah, Sugini berterus terang kepada Rusdi bahwa ia tidak bisa mengikuti agama Rusdi dan ingin menjalankan agama yang
53
sebelumnya dipeluk. Bagi Rusdi hal tersebut tidak masalah baginya, yang penting ketika seseorang sudah memilih satu agama maka dia harus bersungguh-sungguh menjalaninya. Rusdi memang terlahir dari pasangan lintas agama (ayahnya Islam dan ibunya Kristen) sehingga ia sudah terbiasa dengan sikap-sikap terbuka dan kebebasan dalam beragama. Setelah perkawinan, mereka tinggal bersama orang tua Rusdi di Kemiri hingga kelahiran anak pertamanya Adi Rusgiyono (1983). Selama tinggal bersama orang tua, tidak ada tekanan dari pihak keluarga Rusdi kepada Sugini untuk mengikuti agamanya maupun menghalangi Sugini beribadah. Setelah kelahiran anak pertama mereka memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah untuk keluarga kecil mereka. Dengan penghasilan yang jauh dari cukup keluarga kecil ini mencoba bertahan hidup meski harus berpindah rumah kontrakan. Rusdi dan Sugini pun dikarunia dua orang putri Agustin Rusgiyani (1985) dan Widi Setioningsih(1989).
Gambar 3.3 Kartu Keluarga Rusdi-Sugini
54
Masalah
agama
bagi
anak-anaknya,
Rusdi
dan
Sugini
membebaskan mereka untuk menentukan pilihannya sendiri. Pendidikan keagamaan sudah diberikan kepada anak-anak mereka sejak kecil. Pada waktu itu, ketika anak ingin ikut ayahnya pergi ke Gereja dipersilahkan dan jika ingin ikut ibunya mengaji juga dipersilahkan. Jujur dari pengakuan Rusdi anak-anaknya pernah pergi ke Gereja semua, hanya saja ketika sudah paham untuk memilih, mereka lebih memilih agama ibunya, kecuali Agustin yang lebih memilih agama ayahnya karena suaminya juga seorang Kristen. Bagi Rusdi Islam atau pun Kristen tidak ada bedanya, yang penting kita mau menjalaninya dengan baik. Meskipun dalam hati kecil Rusdi tetap menginginkan suatu saat nanti istri dan anak-anaknya berada dalam satu keyakinan yang sama dengannya. Keluarga Rusdi mulai pindah dan menetap di Kelurahan Bugel sejak tahun 1996/1997. Penerimaan masyarakat Bugel cukup baik, hal ini karena Rusdi merasa selama saya tidak mengganggu orang lain, orang lain tidak akan mengganggu saya. Selain itu Rusdi juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan sosial maupun keagamaan yang diadakan di wilayah dia tinggal. Meski beragama Kristen, jika mendapatkan undangn acara keagamaan di lingkungan ia tinggal sebisa mungkin Rusdi tetap hadir. Sugini juga termasuk aktif dalam mengikuti kegiatan sosial maupun keagamaan seperti pengajian rutin ibu-ibu setiap malam minggu. Selain itu Sugini juga aktif mengikuti pengajian di Masjid Kauman setiap
55
hari minggu. Praktek keberagamaan dalam keluarga ini cukup baik, walaupun pasca menikah Rusdi tidak lagi aktif mengikuti kegiatan Gereja, karena hingga saat ini Rusdi adalah salah satu pegawai di Gereja Baptis Indonesia. Menurutnya sama saja, toh saya juga ada di Gereja setiap harinya. Sedangkan Sugini dalam menjalani sholat lima waktu jarang ikut jama‟ah di Masjid, hal ini lebih disebabkan karena medan rumah Sugini dan Rusdi tidak bagus. Sehingga Sugini hanya mengikuti sholat jama‟ah ketika sholat tarawih atau sholat idul fitri/kurban. Antara Rusdi dan Sugini tidak pernah ada pihak yang melarang satu sama lain untuk menjalankan ibadah, bahkan mereka saling mendukung dan saling mengingatkan ketika lupa. Rusdi misalnya sering mengingatkan Sugini untuk sholat atau pergi mengaji. Begitu juga di masa-masa Ramadhan, sebisa mungkin Rusdi tidak makan dan minum di dalam rumah ketika anak dan istrinya menjalankan ibadah puasa. Begitu juga sebaliknya ketika Rusdi ingin merayakan natal hanya akan dirayakan di Gereja saja. Pada saat Rusdi ingin menyantap makanan yang diharamkah oleh Al Qur‟an, daging anjing misalnya, maka rusdi akan memasaknya sendiri dan memakannya sendiri. Ketika di rumah mereka digunakan sebagai tempat pengajian sikap Rusdi terbuka bahkan mau menemani nghobrol para tamu. Rusdi selalu mendukung kegiatan yang dijalani istrinya, tetapi Rusdi tidak pernah mengadakan kegiatan keagamaannya di rumahnya. Setiap ada acara kumpulan pengurus gereja, Rusdi selalu mengajak Sugini dengan
56
penampilannya berjilbab. Teman-teman Rusdi pun sudah paham dan tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Pengertian akan kekurangan atau kelebihan yang dimiliki pasangan adalah kunci kelanggengan keluarga Rusdi dan Sugini. Selain itu bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan kepadanya dan tidak menyalahkan takdir. Dalam kehidupan berrumah tangga, dominasi Rusdi dalam setiap mengambil keputusan nampak dalam proses wawancara yang peneliti lakukan. Rusdi lebih banyak mendominasi percakapan. Dilihat dari simbol-simbol yang ada di rumah mereka nuansa Kristen lebih dominan, Hal itu nampak pada pemasangan kalender dari gereja di ruang tamu mereka. Fakta dalam praktek Rusdi memeluk agama Kristen namun dalam administrasi (dalam KK/KTP) Rusdi ditulis sebagai pemeluk Islam. Rusdi tidak ingin mengubahnya karena terlalu repot dalam pengisian blangkonya. Menurutnya itu hanya formalitas di atas kertas saja tidak begitu penting baginya. 3. Pasangan Kasbiyantoro dan Siti Suryati Kasbin dan Siti sudah saling kenal sejak di sekolah dasar, yang kemudian bertemu kembali di masa remaja. Awal pertemuan mereka kembali disebabkan oleh kakak Siti adalah teman Kasbin sejak SD hingga ST (setingkat SMP), sehingga ketika Kasbin bermain ke rumah Muslim (kakak Siti) mereka bertemu kembali. Sebelumnya Kasbin sudah sering melihat Siti lewat di depan rumah kakaknya pada saat Siti berjualan. Waktu itu Kasbin tinggal bersama kakaknya di Plumpungan.
57
Kasbin juga sudah pernah mengutarakan keinginannya kepada kakaknya untuk menikahi Siti, kakak Kasbin pun belum begitu mendukung mengingat Siti berasal dari keluarga santri sedang Kasbin adalah orang Katholik yang tidak bisa sholat dan mengaji. Namun keinginan Kasbin cukup kuat, ia meyakinkan kakaknya bahwa ia akan mencoba, karena dia yakin kalau sudah jodoh tidak akan ke mana. Keyakinannya dikuatkan oleh pengalaman teman-teman Kasbin yang juga melakukan perkawinan lintas agama. Orang tua Kasbin sebenarnya pemeluk agama Islam, hanya saja Kasbin memilih Katholik. Hal ini disebabkan karena Kasbin sejak kecil dirawat oleh orang Katholik yaitu Romo Sadiwan. Masa kecil Kasbin terkenal sebagai anak yang nakal dan susah diatur, hal ini mendorong Romo Sadiwan untuk mendekati Kasbin dan mengajarinya banyak hal tentang kebaikan. Dari situlah Kasbin merasa dirinya menjadi lebih baik dan
berminat
untuk
memeluk
Katholik.
Kasbin
mengutarakan
keinginannya untuk memeluk Katholik kepada Romo Sadiwan, tidak ada unsur paksaan sedikitpun dari Romo. Kasbin mengikuti pendidikan agama Katholik sebelum akhirnya dibaptis sebagai seorang Katholik pada tahun 1963. Kasbin terpisah dengan ayahnya sejak ia kecil, sehingga ia tidak pernah mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya. Ibu Kasbin hanya mendukung pilihan anaknya, bahkan ia sering mengingatkan Kasbin untuk pergi ke Gereja. Karena memang di wilayah Kauman Kidul pemeluk Islam
58
dan Katholik hampir sama besar. Tidak ada keanehan lagi bahwa banyak keluarga campuran di wilayah Kauman Kidul, orang tua muslim tetapi anak-anaknya Katholik ataupun orang tua Katholik anak-anak mereka memeluk Islam. Pada saat Kasbin mengutarakan niatnya untuk mengawini Siti, pihak keluarga Siti agak keberatan dengan perbedaan agama tersebut. Kakek Siti dahulu adalah seorang Bayan, sedangkan ayahnya adalah seorang RK (rukun kampung). Pihak keluarga Siti hanya mengijinkan perkawinan dapat dilangsungkan asal Kasbin mau memeluk Islam. Ternyata syarat tersebut diterima oleh Kasbin hingga akhirnya setelah melalui proses selama dua bulan mereka melangsungkan akad secara Islam pada 6 Juli 1977 di KUA Kecamatan Pabelan. Bagi Kasbin perpindahan agama itu dilakukan demi mempermudah proses perkawinan. Akad nikah dilakukan dengan bahasa Indonesia. Ketika akad nikah tersebut Kasbin tampak lancar, bahkan ketika harus membaca surat fatihah. Hal ini disebabkan karena Kasbin pernah mempelajarinya ketika merantau di Jakarta. Teman-teman Kasbin kebanyakan adalah orang Islam, dari mereka Kasbin sering tukar pengalaman dan tukar pikiran. Sempat juga teman-teman Kasbin mengajak Kasbin masuk Islam, namun Kasbin menolak karena ketaatannya sebagai seorang Katholik yang sudah dibaptis. Sejak saat itu Kasbin tinggal di rumah Siti. Kasbin berusaha aktif mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada seperti pengajian, sholat
59
jum‟ah maupun Yasinan. Cukup lama Kasbin belajar menjalankan agama Islam, hingga lahir kedua buah hatinya Hesti Mahayani (1978) dan Adi Kuriawan (1984).
Gambar 3.4 Kartu Keluarga Kasbiyantoro-Siti Pergolakan batin Kasbin mulai memuncak pada tahun 1986, hal itu ditandai dengan kembalinya Kasbin memeluk Katholik. Sebagai seorang Katholik yang sudah dibaptis Kasbin merasa harus kembali ke agamanya semula. Dalam ajaran Katholik sebenarnya menikah dengan orang yang berbeda agama, namun dalam keadaan terpaksa hal tersebut dapat dilakukan. Namun menurut Kasbin, meninggalkan Katholik tidak boleh dilakukan selamanya, bahkan kalau bisa si Katholik mengajak seluruh anggota keluarganya untuk memeluk Katholik juga. Menurut pengakuan Kasbin tidak pernah sedikitpun terselip harapan agar istri dan anaknya mengikuti agamanya yaitu Katholik. Bagi Kasbin, agamanya adalah agama yang benar, selain itu Kasbin merasa tidak bisa mengikuti ajaran Islam dengan baik seperti mengaji atau sholat. Sejak saat itu Kasbin jarang terlihat pergi ke Masjid.
60
Siti sempat merasa kecewa atas perubahan tersebut. Ketika Siti berusaha mencari penjelasan akan perubahan tersebut, Kasbin hanya menjawab “wis kowe ki menengo wae, nak sing Kuasa urung ngersakke ki ya ngene ki”. Siti hanya berharap dalam hati agar suatu saat nanti Kasbin mau menjalankan agama Islam. Sepengetahuan Siti dan orang-orang di sekitar mereka, Kasbin hanya berpindah kembali ke Katholik namun tidak pernah pergi ke Gereja, tetapi pada kenyataannya Kasbin masih aktif mengikuti kegiatan di Gereja minimal 1 bulan sekali. Kasbin tidak pernah memberi tahu Siti ketika Kasbin hendak pergi ke Gereja. Siti tetap rajin mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada seperti Al Berjanji atau Yasinan. Bahkan Kasbin sering mengingatkan Siti untuk pergi mengikuti acara tersebut. Saat bulan Ramadhan hanya Kasbin yang tidak berpuasa, namun demikian dia selalu mengingatkan istri dan anak-anaknya untuk makan sahur atau berbuka. Saat ingin tidak berpuasa Kasbin berharap mereka mau jujur dari awal, sehingga tidak muncul kebohongan di antara mereka. Sejak kecil Kasbin selalu menganjurkan anak-anak mereka untuk berpuasa. Walau sudah kembali ke agamanya semula, Kasbin masih tetap aktif mengikuti kegiatan sosial di lingkungan ia tinggal. Ketika dia mendapatkan undangan untuk menghadiri acara tahlilan, sebisa mungkin ia menghadiri. Baginya perbedaan agama tidak harus memecah kerukunan dalam masyarakat. Kasbin juga mersa sikap masyarakat sekitar tidak
61
berubah kepadanya meski mereka tahu ia sudah kembali memeluk Katholik. Pendidikan keagamaan sudah ditanamkan Kasbin dan Siti sejak anaknya masih kecil, hal itu dilakukan dengan cara menyuruh anak-anak mereka pergi TPA. Kasbin maupun Siti tidak pernah memberitahu secara langsung bahwa mereka berada dalam agama yang berbeda. Mereka membiarkan anak-anak mereka mengetahui dengan sendirinya, baru ketika anak mereka menanyakan hal tersebut mereka menjelaskan alasannya. Kasbin merasa anak-anaknya nanti mampu memilih apa yang terbaik untuk mereka, untuk itulah Kasbin tidak pernah memaksakan agamanya kepada anak-anak mereka. Dalam keluarga mereka, peran Kasbin memang cukup dominan daripada Siti. Nampak ketika kelahiran anak-anak mereka, Kasbin lebih berperan
memberikan
nama
kepada
mereka.
Bahkan
Kasbin
mencantumkan nama Theresia kepada nama anak pertamanya. Hanya saja nama tersebut diminta dihapus oleh pembantu pegawai pencatat nikah saat anak pertama mereka hendak melakukan akad nikah. Kasbin hanya menuruti hal tersebut tanpa berpikir panjang apa alasannya, baginya yang penting urusan anaknya cepat selesai. Selain itu Kasbinlah yang menentukan di mana anak-anaknya akan bersekolah. Bahkan ketika Kasbin
memutuskan
untuk
kembali
ke
Katholik
ia
tidak
memberitahukannya kepada Siti ataupun anak-anak mereka. Siti pun tidak
62
mampu berbuat apa-apa ketika mengetahui Kasbin kembali ke Katholik, hanya diam dan diam. 4. Pasangan Masal Guru Singa dan Supratini Ada hal yang membedakan pasangan ini dengan pasangan yang lain. Pasangan Masal dan Supratini ini merupakan pasangan lintas agama dan lintas suku karena Masal berasal dari Medan beragama Kristen sedangkan Supratini asli Jawa beragama Islam. Awal perkenalan mereka melalui hubungan pekerjaan juga. Pada waktu itu Supratini bekerja di Wartel Batas Kota sedangkan Masal baru saja ditempatkan di Salatiga pada awal tahun 1997. Pada waktu itu di Salatiga belum ada internet sehingga Masal harus mengirimkan laporan pekerjaannya ke kantor melalui fax, sehingga Masal menggunakan jasa fax di Wartel tempat Supratini bekerja. Karena seringnya Masal mengirimkan fax di Wartel tersebut akhirnya mereka pun berkenalan dan menjadi dekat. Butuh waktu kurang lebih 6 bulan bagi mereka untuk saling mengenal keluarga masing-masing dan akhirnya memutuskan menikah. Keputusan itu diambil setelah kedua pihak merasa cocok, saling mencintai dan merasa sudah jodoh. Dari pihak keluarga Masal tidak ada masalah dengan hubungan yang dijalani, karena orang tua Masal berada di Medan maka yang bertindak mewakili orang tuanya melamar Supratini adalah saudaranya yang tinggal di Salatiga. Ada dua orang yang satu beragama Islam dan yang satu beragama Kristen. Dari pihak Supratini sempat ayahnya
63
meragukan Masal karena keluarga Masal berada di Medan. Yang ditakutkan oleh orang tua Supratini adalah ketakuan apakah anaknya dibohongi atau tidak. Namun setelah Supratini berhasil meyakinkan orang tuanya akhirnya orang tua Supratini merestui hubungan mereka. Agama Masal yang berbeda dengan Supratini itu tidak menjadi masalah. Latar belakang orang tua Masal maupun Supratini adalah Pejuang/Tentara sehingga mereka memiliki pemahaman yang nasionalis. Ibu Masal yang merupakan pengurus gereja dan ada saudaranya yang menjadi Pendeta tidak menjadikan mereka melarang hubungan Masal dan Supratini. Pernah juga kakak Supratini menanyakan apakah sudah siap Supratini membina rumah tangga dengan orang yang berbeda agama. Bagi Supratini agamaku ya agamaku dan agamamu ya agamamu, hal itu tidak akan mempengaruhi kebahagian dalam berumah tangga. Akad nikah dilakukan di Gereja di Yogyakarta pada tahun 1998, dihadiri keluarga besar Masal maupun Supratini. Meskipun mereka menikah secara Kristen namun setelah perkawinan tersebut dilangsungkan Masal tidak bisa memaksa Supratini untuk beribadah menurut agamanya, jadi jika Supratini ingin kembali ke kepercayaannya semula Masal membebaskan. Setelah 12 tahun lamanya mereka membina rumah tangga dengan perbedaan, kebahagiaan mereka bertambah dengan hadirnya dua orang putra, Dimas (1998) dan Aditya (2005). Setelah perkawinan mereka, mereka tinggal di rumah orang tua Supratini di wilayah kelurahan Bugel.
64
Hubungan Masal dengan ayah Supratini cukup baik, walaupun Masal tidak sempat mengenal ibu mertuanya karena sudah meninggal sebelum mereka melakukan perkawinan.. Bahkan menurut Masal, meskipun muslim mertuanya sering juga mendengarkan lagu-lagu rohani. Orang tua Masal pun merasa senang dan tidak membatasi diri dengan Supratuni. Setiap tahun Masal mengajak seluruh keluarganya pergi ke Medan untuk menjenguk orang tuanya.
Gambar 3.5 Formulir Kartu Keluarga Masal-Supratini
Masyarakat setempat juga menerima keberadaan Masal dengan baik. Masal beranggapan bahwa semua adalah saudara tanpa melihat latar belakang suku, status sosial maupun agama. Apalagi Masal adalah seorang perantau, untuk itu ia berprinsip mencari saudara sebanyak-banyaknya. Apalagi keberadaan Masal di masyarakat cukup dibutuhkan, pekerjaan Masal sebagai wartawan yang memiliki akses ke beberapa instansi
65
membuatnya menjadi orang yang dicari masyarakat yang membutuhkan bantuannya. Masal dan Supratini juga memberikan kebebasan kepada anakanaknya untuk memilih agama yang dianggap cocok bagi mereka. Dari kebebasan yang diberikan dan karena intensitas pertemuan ibu dengan anak lebih besar mendorong anak-anak mereka mengikuti kepercayaan ibunya yaitu Islam. Supratini termasuk orang yang aktif mengikuti kegiatan sosial maupun keagamaan di wilayah ia tinggal. Acara keagamaan yang rutin diikuti adalah Yasinan yang diadakan setiap malam Jum‟at secara bergilir dari rumah ke rumah. Ketika rumah Supratini mendapat giliran sebagai tempat Yasinan, Masal juga tidak keberatan. Begitu juga Supratini tidak keberatan ketika Mahasiswa UKSW sering main ke rumah mereka dan merayakan Paskah di rumah mereka. Wujud toleransi antara mereka tidak hanya sebatas itu saja, ketika Ramadhan Masal sering mengingatkan saat sahur maupun buka, mencarikan makanan untuk buka, mengingatkan Supratini dan anakanaknya untuk pergi ke Masjid dsb. Masal mengakui bahwa sejak tinggal di Kelurahan Bugel dia jarang pergi ke Gereja. Hal ini disebabkan karena Gereja yang dekat dengan rumahnya pada minggu ke-1 sampai ke-3 menggunakan bahasa Jawa, sehingga Masal tidak bisa mengikuti. Sedang pada minggu ke-4 barulah menggunakan bahasa Indonesia. Sikap Masal yang seperti itu mampu memancing pendapat anak pertamanya yang mengatakan, “Papa itu agamanya apa? Kalau Islam kok tidak pernah pergi
66
ke Masjid, tapi kalau Kristen kok ya gak pernah pergi ke Gereja”. Masal masih aktif menghadiri acara-acara besar seperti Natal di Pancasila, bahkan ketika anak dan istrinya masih tertidur Masal berangkat merayakannya sendirian. Bagi Masal tidak ingin memperuncing perbedaan menjadi sebuah pembatas hubungan. Menurutnya semua agama adalah sama dan tergantung dari para pemeluknya. 5. Pasangan Tri Antara Riyadi dan Darwati Pasangan ini pertama kali bertemu di Tangerang, mereka samasama perantau yang bekerja di sana. Tri yang bersal dari Bantul merantau ke Tangerang bekerja sebagai buruh di pabrik keramik. Darwati yang berasal dari Bedono bekerja sebagai buruh di pabrik sepatu. Tempat kost yang dekat membuat Tri dan Darwati sering bertemu hingga akhirnya berkenalan dan berpacaran. Dua tahun lamanya mereka saling mengenal hingga akhirnya memutuskan untuk hidup bersama dan mengikatkan diri dalam suatu perkawinan. Dari awal perkenalan mereka, Darwati sudah bersikap terbuka terhadap pasangannya. Memang sempat ada sedikit kesalahpahaman antara Tri dan Darwati. Pada awalnya Tri mengira Darwati adalah seorang muslim karena di waktu sahur dan buka, Darwati ikut makan sahur/buka bersama teman-temannya. Namun pada suatu hari minggu Tri bertemu Darwati pergi ke Gereja, baru di saat itulah Tri mengetahui bahwa Darwati
67
ternyata seorang Kristen. Di lubuk hati Darwati sempat ada ketakutan akankah keluarga Tri bisa menerima dirinya yang seorang Kristen. Pada tanggal 15 Maret 1996 Tri dan Darwati melaksanakan akad perkawinan di rumah kontrakan keluarga Darwati di Pringsari, Kemiri. Akad dilakukan secara Islam dihadiri keluarga besar Tri dan keluarga besar Daryati. Pak Giyono adalah kakak ipar Darwati yang menikahkan mereka. Setelah akad selesai dilanjutkan dengan resepsi dan hari itu juga (sore) langsung diboyong ke Bantul. Pihak keluarga Darwati menerima Tri apa adanya, bahkan hingga saat ini Tri merupakan menantu yang paling disayang oleh orang tua Darwati. Pada saat Darwati menyatakan kehendaknya untuk menikah dengan Tri yang notabene seorang Muslim, orang tua Darwati menerima secara ikhlas. Karena orang tua Darwati juga menyadari bahwa agamanya dan agama anaknya juga berbeda. Kedua orang tua Darwati beragama Budha sedang Darwati memilih untuk menjadi seorang Kristen. Di masa kecilnya, orang tua Darwati tidak terlalu keras menanamkan agama Budha kepadanya. Sejak kecil hingga kelas 6 SD, Darwati sering diajak pergi do‟a oleh kedua orang tuanya, namun pada saat itu Darwati tidak mengerti apa itu Budha. Darwati hanya paham kalau agama itu hanya ada dua, Islam dan Kristen. Menginjak usia SMP, Darwati sekolah di SMP Kristen. Dari pelajaran yang diterima di sekolah tersebut keimanan Darwati sebagai seorang Kristen mulai tumbuh, hal itu dikuatkan ketika Darwati masuk ke SMEA Kristen. Bagi orang tua
68
Darwati, yang penting anaknya menjalani agamanya dengan baik. Jadi ketika Darwati memperkenalkan Tri yang seorang Muslim, tidak ada masalah, yang penting mereka bisa saling memahami, saling terbuka dan hidup berdampingan. Begitu juga ketika Tri mengutarakan kehendaknya untuk menikah kepada orang tuanya dan mengatakan bahwa calon istrinya adalah seorang Kristen. Ayah Tri pernah menyarankan untuk mencari istri yang Islam, namun Tri meyakinkan bahwa Darwati adalah jodoh yang diberikan Tuhan untuknya. Karena Tri sudah merasa cocok dan mantap dengan pilihannya, maka ayah Tri hanya menyarankan akad nikah dilakukan secara Islam. Tri juga meyakinkan ayahnya bahwa akad nikah akan dilakukan secara Islam karena Darwati bersedia mengikuti agama Tri. Sebenarnya Tri juga berasal dari keluarga Katholik. Kakek dan Nenek Tri adalah seorang Katholik, ayah dan saudara-saudaranya juga terlahir dan dididik secara Katholik. Namun ketika bertemu dengan bu Asih (ibu Tri) dan memutuskan menikah dengannya, ayah Tri pindah ke agama Islam hingga saat ini. Setelah perkawinannya Tri dan Darwati tinggal bersama orang tua Darwati di Kemiri. Pasca kelahiran anaknya yang pertama (18 Agustus 1996), Tri dan Darwati kembali ke Tangerang untuk bekerja, sedangkan anaknya tetap tiggal bersama orang tua Darwati.
69
Gambar 3.6 Kartu Keluarga Tri-Darwati
Kerusuhan pada tahun 1998 membuat keadaan perekonomian di Tangerang tidak stabil, hal tersebut membuat Darwati memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan pulang ke Salatiga. Selang beberapa waktu Tri juga diminta kembali ke Salatiga oleh keluarganya. Setelah kepulangannya, Tri bekerja serabutan. Hingga suatu hari Tri ditawari pekerjaan oleh salah satu pegawai UKSW sebagai penjaga caffe. Setelah empat tahun lamanya, Tri dipindah ke Posnet yaitu warnet di wilayah kampus UKSW. Pada tahun 2001 Darwati ditawari bekerja sebagai cleaning service di UKSW. Lama kelamaan karir Darwati semakin meningkat, dari cleaning service menjadi pegawai kontrak. Pada tahun 2004 Daryati diusulkan menjadi pegawai tetap, namun dengan syarat Darwati masuk
70
agama Kristen. Kebingungan dan kebimbangan melanda Darwati yang hingga saat itu masih memeluk Islam. Darwati pun meminta pertimbangan Tri sebagai suaminya. Setelah mempertimbangkan banyak hal, termasuk demi masa depan anak-anak mereka, Tri merelakan istrinya untuk kembali memeluk Kristen. Tri hanya berharap jika Darwati ingin kembali ke Kristen Darwati mampu menjadi orang Kristen yang baik. Dan akhirnya Darwati kembali memeluk Kristen demi pekerjaannya tersebut. Darwati dibaptis kembali di GKJ depan UKSW. Pada tahun itu juga (2004), Tri mendaftar menjadi satpam di UKSW dan diterima. Pernah selama dua kali bekerja di lingkungan UKSW, Tri ditawari untuk masuk Kristen agar mendapatkan pekerjaan di sana. Namun Tri masih bisa mempertahankan keimanannya sehingga tidak sampai meninggalkan agamanya. Perkawinan Tri dan Darwati dikaruniai dua orang putra, anak I bernama Danang Guswantoro (18 Agustus 1996) dan anak II bernama Enggal Junian Bagas Catur (24 Juni 2000). Kedua anaknya lahir di Kemiri. Setelah kontrakan di Kemiri habis, mereka pindah kontrakan ke Soka hingga akhirnya pada 18 Oktober 2009 pindah ke rumahnya sendiri yang baru selesai dibangun yang berada di wilayah Kelurahan Bugel. Selama tinggal di Kemiri, penerimaan masyarakat cukup baik. Karena mereka menikah di sana secara Islam sehingga dalam menjalankan agama tidak ada masalah. Setelah pindah ke Soka, masyarakat yang mayoritas beragama Kristen juga menerima mereka dengan baik. Pak Tri
71
cukup aktif mengikuti kegiatan keagamaan di wilayah Soka seperti Yasinan. Bahkan pernah sekali rumah mereka mendapat jatah ditempati untuk kegiatan Yasinan tersebut. Pada waktu itu Darwati masih seiman dengan Tri sehingga tidak ada masalah. Tri juga sudah mulai mengajari anak pertamanya yang masih duduk di TK untuk pergi ke Masjid untuk sholat Jum‟at dan mengarahkan anaknya pergi TPA. Namun sejak tahun 2004 yaitu setelah Darwati kembali memeluk Kristen, anaknya mulai tertarik mengikuti agama ibunya. Menurut pengakuan Darwati anaknya terlalu sulit belajar membaca al qur‟an dan ingin pergi ke Gereja saja seperti ibunya. Memang sejak anak-anaknya masih kecil, Tri dan Darwati berusaha semaksimal mungkin untuk memperkenalkan anak-anak mereka dengan Tuhan. Tri dan Darwati hanya mengarahkan anak-anaknya untuk menemukan yang terbaik. Walaupun Tri dan Darwati hidup dalam perbedaan agama namun mereka menjalaninya dengan baik. Ketika Tri melaksanakan ibadah puasa, Darwati tetap memenuhi kebutuhan suaminya di saat sahur maupun buka. Meski agama mereka berbeda Darwati tetap harus bertanggung jawab terhadap suaminya. Darwati berharap suaminya menjalankan agamanya 100%, menjadi penganut Islam yang taat. Untuk itulah Darwati sering mengingatkan waktu sholat, sholat jum‟at maupun pada saat pengajian. Begitu juga Tri yang setia mengantarkan istri dan anak-anak mereka ke
72
Gereja. Ketika kedua anak mereka dibaptis pun dengan suka rela Tri mengantarkan mereka ke Gereja. Terselip harapan di dalam hati kecil mereka suatu saat nanti keluarga mereka berada dalam satu keimanan. Bagi Tri keinginan tersebut sangat besar karena Tri adalah kepala keluarga yang harus bertanggung jawab akan keluarganya dunia dan akhirat. Begitu juga Darwati yang mengharapkan suaminya mengikuti keimanannya. Namun karena keadaan yang tidak memungkinkan dan dari mereka tidak ingin memaksakan kehendak maka mereka hidup dalam perbedaan yang ada. Agama merupakan hak asasi manusia, selain itu jika tidak ada yang mengalah tentu rumah tangga yang dibangun tidak akan mampu bertahan lama. Dalam hidup berumah tangga dengan adanya perbedaan yang ada, yang penting mereka saling menghormati, saling menghargai, saling memahami dan jujur kepada pasangan masing-masing. Itulah kunci yang selalu dipegang kuat oleh keluarga Darwati danTri.
73
BAB IV PERKAWINAN LINTAS AGAMA TINJAUAN HUKUM ISLAM
A. Praktek Perkawinan Lintas Agama Perkawinan lintas agama memang tidak mudah ketika masing-masing pihak mempertahankan keyakinan mereka. Hal ini terbukti dari penelitian yang peneliti lakukan di wilayah Kelurahan Bugel. Pasangan yang berbeda keyakinan tidak bisa melangsungkan perkawinan mereka tanpa didahului dengan menyamakan keyakinan mereka. Ironis memang, ketika melihat seseorang yang ingin bersatu membina bahtera rumah tangga tetapi terhalangi oleh tembok agama. Adanya aturan dari masing-masing agama dan dikuatkan oleh aturan pemerintah yang mengharuskan perkawinan dilakukan dalam keadaan satu keyakinan membuat para pelaku perkawinan lintas agama harus “berpura-pura” demi menyatukan cinta mereka. Demi mendapatkan pengakuan dari pemerintah (memperoleh akta perkawinan) salah satu pihak harus rela mengikuti agama pasangannya, meskipun terasa berat, sehingga setelah perkawinan berlangsung mereka memutuskan untuk kembali ke agamanya semula.
74
Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Lintas Agama
No 1
Nama Pasangan Untung-Mutiah
Proses Perkawinan Islam di KUA
2
Rusdi-Sugini
Kristen di KCS
3
Kasbiyantoro-Siti Islam di KUA Suryati Masal Guru S- Kristen di Gereja/KCS Supratini
4
5
Tri Antara Darwati
R- Islam di KUA
Tahun Keterangan 1986 Untung pindah Islam 1983 Sugini pindah Kristen 1977 Kasbiyantoro pindah Islam 1998 Supratini pindah Kristen 1996 Darwati pindah Islam
Dari hasil penelitian, peneliti menemukan dua pola praktek perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel. Pertama, mereka yang meresmikan perkawinan mereka di Kantor Urusan Agama (KUA). Dengan begitu mereka melakukan akad secara Islam sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam agama Islam. Pasangan Untung dan Mutiah melangsungkan akad perkawinannya di KUA Kecamatan Pabelan. Hal ini disebabkan karena sebelum akad dilangsungkan atau tepatnya sebelum mengenal Mutiah, Untung sudah beragama Islam, sehingga akad perkawinan mereka dilakukan di KUA. Untung berasal dari keluarga/ orang tua yang memeluk agama Kristen, dan Untung kembali memeluk Kristen setelah berumah tangga cukup lama dengan Mutiah.
75
Gambar 4.1 Akta Nikah Untung Subiyanto dan Mutiah
Gambar 4.2 KTP Untung dan Muntiah Sekarang
Hal yang sama juga terjadi pada pasangan Kasbiyantoro-Siti dan TriDarwati. Perkawinan Kasbiyantoro dan Siti juga dilakukan di KUA Kecamatan Pabelan. Dalam hal ini Kasbiyantoro yang merelakan diri untuk pindah agama menjadi Islam demi kelancaran perkawinannya. Perpindahan agama Kasbiyantoro ini memang menjadi syarat yang ditetapkan oleh kedua orang tua Siti dan keluarganya yang harus ditepati oleh Kasbiyantoro. Jika Kasbiyantoro tidak mau berpindah agama maka perkawinan tidak akan mendapat restu orang tua Siti dan tidak akan dapat dilaksanakan perkawinan tersebut. Selain itu aturan pemerintah yang ada juga tidak memungkinkan untuk melakukan akad dengan mempertahankan agama masing-masing di
76
KUA. Karena KUA mutlak hanya akan menikahkan orang yang sama-sama beragama Islam.
Gambar 4.3 Akta Perkawinan Kasbiyantoro dan Siti Suryati
Gambar 4.4 KTP Kasbiyantoro Sekarang
Kasus pasangan Tri dan Darwati tidak jauh berbeda dengan kasus perkawinan Kasbiyantoro-Siti. Namun di sini yang berpindah agama adalah Darwati, ia mau mengikuti agama calon suaminya. Karena memang sebelumnya ayah Tri sudah bepesan, meskipun calon istri Tri adalah seorang Kristen, sebisa mungkin akad harus dilakukan dengan cara Islam dan dicatatkan di KUA. Karena keadaan yang mendesak akhirnya Darwati rela pindah agama mengikuti agama suaminya. Darwati tidak mempertahankan
77
agamanya pada waktu akad nikah karena pada saat itu Darwati tidak tahu di mana tempat yang bisa mengawinkan orang yang berbeda agama namun bersikeras dengan agamanya masing-masing. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk dapat melakukan perkawinan dengan akad mempertahankan agama masing-masing di KUA.
Gambar 4.5 Akta Perkawinan Tri Antara Ryadi dan Darwati
Gambar 4.6 KTP Darwati dan Tri Sekarang
Kedua, yaitu pola praktek perkawinan lintas agama yang dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil (KCS) atau yang dilaksanakan di Gereja namun tetap
78
dicatatkan di KCS. Praktek perkawinan ini dilakukan oleh pasangan RusdiSugini dan Masal-Supratini. Perkawinan Rusdi dan Sugini dilakukan di KCS Kota Salatiga. Akad perkawinannya tersebut dihadiri oleh orang tua Rusdi, orang tua Sugini, Kepala SMEA Kristen tempat Rusdi bekerja, majikan Sugini dan juga seorang pendeta. Sebelum akad dimulai Sugini diminta untuk mengakui agama Kristen, walaupun Sugini tidak menjalankan agama tersebut. Setelah itu mereka disumpah untuk sehidup hingga mati. Jadi tidak boleh ada kata perceraian di antara mereka meski berada dalam masalah yang besar. Dengan adanya pengakuan yang dilakukan oleh Sugini tersebut maka dalam akta perkawinan mereka agama Sugini yang tercantum adalah Kristen. Mereka memutuskan untuk menikah di KCS karena Rusdi tidak mau menikah di KUA. Pertimbangan Rusdi tersebut diambil setelah berkonsultasi pada Ketua Majelisnya. Karena pada saat itu Sugini sudah berbadan dua maka perkawinan harus segera dilangsungkan, menurut Ketua Majelis perkawinan dengan orang yang tidak seagama tidak dapat dilakukan di Gereja, maka Ketua Majelis menyarankan perkawinan dilangsungkan di KCS. Perkawinan mereka dihadiri oleh Kepala majelis, Kepala Sekolah SMEA Kristen tempat dimana Rusdi bekerja, Pendeta dari Gereja Rusdi dan orang tua masingmasing pihak.
79
Gambar 4.7 Akta Perkawinan Rusdi dan Sugini
Gambar 4.8 KTP Rusdi dan Sugini Sekarang1
Setelah perkawinannya tersebut Rusdi tetap
menjalankan agama
Kristen dan Sugini tetap menjalankan agama Islam, namun sejak pindah ke Kelurahan Bugel, dalam KK maupun KTP status agama Rusdi ditulis Islam. Pada prakteknya Rusdi tetap seorang Kristen. Begitu juga dengan Masal dan Supratini yang melangsungkan perkawinan mereka di Gereja. Sebenarnya Supratini sudah sempat menanyakan syarat-syarat perkawinan melalui KUA, Masal juga siap jika
1
Rusdi dan Sugini menikah di KCS secara Kristen, sejak pindah ke Kelurahan Bugel dalam KK dan KTP agama Rusdi tertulis Islam walaupun pada kenyataannya ia menjalankan agama Kristen.
80
hendak melakukan akad perkawinan secara Islam. Namun dari pihak keluarga Masal meminta agar akad perkawinan dilakukan di Gereja Batak yang ada di Yogyakarta. Mengingat ibu Masal adalah Ketua Majelis dalam agama Kristen dan salah satu kakaknya ada yang menjadi Pendeta maka demi menjaga nama baik keluarga Masal, Supratini diminta untuk mengalah dan melakukan perkawinan di Gereja secara Kristen.
Gambar 4.9 Akta Perkawinan Masal dan Supratini
Gambar 4.10 KTP Masal dan Supratini Sekarang
81
B. Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan Lintas Agama Table 4.2 Latar Belakang Keluarga Subjek Penelitian Agama Subjek
Pend.
Ket. Subjek Ayah
Untung Mutiah Rusdi Sugini Kasbin Siti S Masal Suprat Tri Darwati
Pekerjaan
SD SD SD BA ST SD S1 SMA STM SMEA
K I I I I I K I I B
Ibu K I K I I I K I I B
Ayah
Ibu
Buruh Ternak Buruh Buruh Buruh Buruh TNI TNI Karyawan Tk. Kayu
Tukang Pijit Buruh Buruh PNS Karyawan -
K sejak kecil I sejak kecil K sejak kecil I sejak kecil Kt sejak SD I sejak kecil K sejak kecil I sejak kecil I sejak kecil K sejak SMP
Keterangan: Pend. = Pendidikan Terakhir K = Kristen I = Islam Kt = Katholik B = Budha
Secara khusus memang tidak nampak faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perkawinan lintas agama. Faktor umum yang diungkapkan semua pasangan pelaku perkawinan lintas agama adalah “jodoh” dan “cinta”. Dari penelitian lapangan tersirat berbagai faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk melakukan perkawinan lintas agama. Beberapa faktor tersebut adalah: 1. Pandangan tertentu tentang agama dan keberagamaan Pandangan keagamaan merupakan faktor pertama yang mendorong perkawinan lintas agama. Ada dua macam pandangan keagamaan yang
82
dijadikan sebagai pembenar dan alasan seseorang melakukan perkawinan lintas agama. Pertama, mereka yang berpandangan bahwa pada dasarnya, semua agama adalah benar dan baik, tergantung dari yang menjalaninya. Dengan demikian, melakukan perkawinan lintas agama bukan menjadi soal, yang penting saling mencintai dan bisa saling memahami satu sama lain. Seperti yang diungkapkan oleh Masal dan Rusdi, ia tidak mau menjadikan perbedaan agama untuk memperuncing hubungan antar sesama. Bagaimana caranya membuat perbedaan tersebut menjadi sesuatu yang indah. Kedua, pelaku perkawinan lintas agama berpendapat bahwa agama yang dipeluknyalah agama yang benar. Sehingga dari mereka melakukan perkawinan lintas agama mempunyai misi keagamaan. Seperti halnya Kasbiyantoro yang memiliki keyakinan bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling benar, sehingga ketika ia mengalah untuk berpindah agama ketika melakukan akad nikah, baginya mengalah itu tidak untuk selamanya. Dalam ajaran agamanya, kalau bisa setelah melakukan perkawinan tersebut istri dan anak-anaknya bisa diajak masuk agamanya. Namun Kasbiyantoro tidak berani mengajak istri dan anakanaknya untuk mengikuti agamanya, sehingga setelah sekian lama menjalani perkawinannya, dalam suatu titik jenuh ia memutuskan untuk kembali memeluk agamanya tanpa mengajak anak ataupun istrinya. Hal ini disebabkan Kasbiyantoro tinggal di rumah istri dan lingkungan tempat
83
ia tinggal beragama mayoritas Islam, selain itu keluarga Siti termasuk keluarga terpandang dalam masyarakat. 2. Perempuan tidak memiliki kemandirian hidup Kemajuan zaman memang berimbas pada semua aspek. Para perempuan sudah banyak yang menjadi wanita karir, bahkan mereka menjadi tulang punggung bagi keluarga. Keadaan ekonomi global membuat persaingan semakin ketat dalam memperoleh pekerjaan. Untuk mendapatkan sebuah pekerjaan para perempuan pun rela merantau ke negeri orang. Kehidupan di perantauan tanpa adanya sanak saudara membuat seorang perempuan merasakan kesepian. Hal tersebut menimbulkan pengharapan adanya seorang pendamping yang mampu menjadi tempat berbagi dalam senang maupun susah. Fenomena ini nampak pada Darwati yang bekerja di Tangerang. Tri adalah orang pertama yang dekat dengan Darwati selama di perantauan yang akhirnya menjadi suaminya sekarang. Sugini juga termasuk dalam kategori ini, keputusasaannya setelah gagal dijodohkan oleh orang tuanya membuat Sugini pergi merantau ke Salatiga untuk bekerja. Dari sini lah Sugini bertemu dengan Rusdi yang menurutnya pantas dijadikan sosok yang mampu melindunginya. 3. Tradisi perkawinan lintas agama Faktor lain yang mendukung terjadinya praktek perkawinan lintas agama adalah tradisi perkawinan lintas agama dalam keluarga. Dengan adanya praktek perkawinan lintas agama yang sudah menjadi tradisi maka
84
bagi mereka perkawinan lintas agama dianggap tidak ada masalah yang serius. Seperti halnya yang terjadi pada Rusdi, kedua orang tuanya termasuk pelaku perkawinan lintas agama, sejak kecil ia mendapatkan pelajaran bahwa perkawinan lintas agama boleh dan bisa dilakukan. Untuk itulah ketika Rusdi hendak mengawini Sugini yang seorang Muslim, tidak ada tentangan dari pihak keluarga. Perkawinan lintas agama juga menurun kepada anak kedua Rusdi, yaitu Agustin Rusgiyani. Di masa kecilnya Agustin Rusgiyani mengikuti agama ibunya yaitu Islam, karena calon suami Agustin adalah seorang Kristen maka Agustin memutuskan untuk memeluk agama Kristen. Sebenarnya tradisi seperti ini juga terjadi dalam keluarga Kasbiyantoro dan Tri. Perbedaannya adalah dari keluarga mereka perbedaan agama hanya sampai pada saat sebelum perkawinan. Setelah perkawinan berlangsung, pasangan mereka memutuskan untuk mengikuti agamanya ataupun sebaliknya. Dalam keluarga Kasbiyantoro yang melakukan perkawinan lintas agama adalah kakak dan dua adiknya. Kakak Kasbin yang dahulu seorang Katholik menikah dengan perempuan muslim sehingga akhirnya ia mengikuti agama istrinya. Adik Kasbin yang pertama beragama Katholik dan memiliki suami seorang Islam, namun akhirnya suaminya yang mengikuti agamanya. Adik Kasbin kedua juga beragama Katholik menikah wanita Islam dan ia memutuskan untuk mengikuti agama istrinya yaitu Islam.
85
Sejarah perkawinan lintas agama keluarga Tri dimulai dari ayahnya yang awalnya beragama Katholik kemudian bertemu ibunya Tri yang beragama Islam. Meski berbeda usia dan keyakinan mereka memutuskan untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan. Ayah Tri yang kemudian mengalah mengikuti agama Islam hingga sekarang. 4. Kurangnya pengetahuan agama Sebagian besar dari pasangan pelaku perkawinan lintas agama tidak mengetahui adanya larangan melakukan perkawinan lintas agama. Hal ini disebabkan sebagian besar dari mereka berpendidikan rendah, selain itu dari pihak muslim kurang mendalami ilmu fikih munakahat. Ironis ketika mendengar jawaban dari Mutiah, Siti, Sugini dan Supratini bahwa mereka tidak pernah mendengar adanya aturan agama Islam yang melarang praktek perkawinan lintas agama tersebut. Hal itu disebabkan kerena orang tua mereka tidak mendidik mereka secara ketat, atau bahkan orang tua mereka juga tidak memahami secara mendalam aturan tersebut. Sehingga ketika anak-anak mereka hendak melakukan perkawinan dengan orang yang berbeda agama, mereka memberi ijin dengan syarat proses akad perkawinan dilakukan secara Islam. Sama halnya denga Darwati yang tidak memahami betul aturan boleh atau tidaknya melakukan perkawinan lintas gama. Bahkan Darwati sempat merasa hanya dirinya yang melakukan perkawinan lintas agama. Sempat terlintas pula rasa ingin tahunya tentang perkawian lintas agama yang dilakukan dengan mempertahankan agama masing-masing pihak.
86
5. Kristenisasi pihak luar Upaya kristenisasi juga mewarnai rumah tangga Tri dan Darwati. Tri dan Darwati bekerja di UKSW yang notabene berada dalam wilayah yayasan Kristen. Kasus ini dimulai ketika Tri memutuskan untuk meraup rejeki di Salatiga setelah sekian lama bekerja di Tangerang. Selama menetap di Salatiga, Tri tinggal bersama mertuanya di Kemiri Raya dan bekerja serabutan. Suatu ketika Tri ditawari oleh tetangganya yang bekerja di UKSW, untuk bekerja di UKSW sebagai penjaga café. Tanpa pikir panjang Tri menerima tawaran tersebut. Setelah kurang lebih empat tahun Tri bekerja sebagai penjaga café, akhirnya Tri pndah kerja di Posnet, yaitu warnet di wilayah UKSW. Selama bekerja di Posnet tersebut Tri ditawari oleh salah satu karyawati UKSW yang juga tetangganya untuk mengajak istrinya bekerja di UKSW sebagai cleaning service. Setelah mengkonfirmasi pada istrinya dan istrinya setuju maka pada tahun 2001 Darwati mulai bekerja di UKSW. Pada tahun itu juga ada lowongan sebagai satpam UKSW, menurut informasi yang di dengar Tri salah satu syarat untuk mendaftar adalah masuk agama Kristen dahulu, jika tidak mau maka tidak bisa ikut mendaftar. Akhirnya Tri tidak jadi mendaftar sebagai satpam dan tetap bekerja di Posnet. Lama kelamaan karir Darwati, istri Tri meningkat, dari seorang cleaning service naik menjadi pegawai kontrak dari pegawai kontrak Darwati ditawari akan diangkat menjadi pegawai tetap di yayasan UKSW
87
asalkan mau masuk Kristen. Dari sini mulai muncul kegundahan dalam hati Darwati, akankah ia harus pindah lagi ke Kristen atau tetap memeluk agama suaminya yaitu Islam. Di sisi lain diangkat menjadi pegawai tetap adalah masa depan yang menjanjikan bagi kehidupan anak-anak mereka. cukup lama Darwati bergulat dengan suara hatinya, akhirnya Darwati meminta saran dari Tri, suaminya. Tri sempat bingung, antara tanggung jawabnya sebagai seorang Islam dengan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Tri paham bahwa pegawai tetap adalah masa depan yang menjanjikan bagi keluarganya. Akhirnya Tri memutuskan memberi ijin Darwati untuk pidah Kristen lagi dengan alasan demi masa depan anakanak mereka. Setelah Darwati mendapat persetujuan suaminya, ia menemui pimpinan yayasan dan menyatakan kesediaannya. Setelah itu ia pergi ke Gereja untuk mengikuti pendalaman agama Kristen selama tiga bulan kemudian Darwati dibaptis di GKJ depan UKSW. Pada tahun 2004 Darwati resmi diangkat menjadi pegawai tetap di UKSW. Di tahun 2004 ini juga ada lowongan sebagai satpam UKSW, oleh Kepala Bagian juga menerapkan bahwa yang boleh mendaftar harus beragama Kristen atau mau memasuki agama Kristen. Tri sempat kecewa, karena ia masih ingin mempertahankan agamanya. Kemudian ia mendapat info dari seniornya dan diberi saran jika mau mendaftar satpam dan diharuskan masuk Kristen, Tri disuruh menjawab “ya Pak, saya akan coba”. Karena jika tidak dengan cara tersebut sulit untuk mendapatkan
88
pekerjaan di UKSW. Setelah mendaftar dan diterima sebagai satpam, Tri tetap mempertahankan agamanya, ketika ditanya oleh Kepala Bagiannya Tri hanya menjawab “saya sudah mencoba Pak, tetapi tetap tidak bisa.” Ternyata tidak ada tindakan atau sanksi apapun dari Kepala Bagian tersebut, sehingga Tri masih memeluk Islam hingga saat ini. Pihak
luar
tersebut
membidik
tepat
sasaran
pada
titik
kelemahannya yaitu ekonomi. Jika tidak didasari iman yang kuat, seseorang akan mudah menukar agamanya dengan alasan kebutuhan ekonomi. Di masa kecil Darwati pun demikian. Darwati berasal dari keluarga Budha, namun karena orang tuanya tidak menanamkan agama Budha secara ketat dan ia sekolah di sekolah Kristen dan mengikuti pelajaran agama Kristen, maka hal tersebut mampu menyeret Darwati ke dalam agama Kristen itu sendiri. C. Konflik dan Akomodasi Nilai Keluarga Pelaku Perkawinan Lintas Agama Keluarga
pelaku
perkawinan
lintas
agama
pada
umumnya
membebaskan anak-anak mereka untuk memilih agama yang diminatinya. Agama ayah atau agama ibu tidak ada masalah yang penting mereka mau menjalaninya dengan baik dan sungguh-sungguh. Adanya kebebasan tersebut diharapkan suatu saat nanti anak-anak mereka mengetahui apa yang terbaik bagi mereka sehingga dapat memutuskan dan memilih agama yang tepat dengan hati nuraninya.
89
Peran ibu sebagai sosok yang mengatur dalam rumah tangga memang sangat besar terhadap perkembangan anak-anak mereka. Hal ini disebabkan karena intensitas pertemuan ibu dan anak lebih besar daripada dengan sang ayah. Namun tetap saja sosok ayah yang merupakan penaggung jawab dalam rumah tangga tidak bisa dipungkiri pengaruhnya. Table 4.3 Anak-Anak Pasangan Perkawinan Lintas Agama yang Mengikuti Agama Ibu
Nama Denni Novia Adi Widi Hesti Adi K Dimas Aditya Danang Enggal
Umur (Th) 14 10 27 21 32 26 12 5 14 10
Agama I I I I I I I I K K
Agama Ortu Ayah Ibu K I K I K I K I Kt I Kt I K I K I I K I K
Orang Tua Ayah Ibu Untung Tiah Rusdi
Sugini
Kasbin
Siti
Masal
Suprat
Tri
Darwati
Keterangan: I = Islam K = Kristen Kt = Katholik
Table 4.4 Anak-Anak Pasangan Perkawinan Lintas Agama yang Mengikuti Agama Ayah
Nama Robi Cantik Agustin
Umur (Th) 24 21 25
Agama K K K
Agama Ortu Ayah Ibu K I K I K I
Orang Tua Ayah Ibu Untung Tiah Rusdi
Sugini
90
Dalam menentukan agama anak, peran orang tua sangat penting untuk mengarahkan. Meskipun demikian tetap ada kebebasan yang diberikan kepada anak-anaknya untuk memilih agama yang sesuai dengan hati nurani mereka karena tanpa bimbingan orang tua anak-anak akan mengalami kesulitan Seperti yang tampak pada hasil penelitian ternyata arahan seorang ibu lebih menentukan pilihan anaknya. Sugini, Mutiah, Siti, Supratini maupun Darwati mengaku memberikan pelajaran keagamaan kepada anak-anak mereka sejak kecil. Salah satu cara sederhana dengan mengajari anak-anak mereka berdo‟a sebelum melakukan sesuatu, mengantarkan mereka pergi TPA atau dengan mengajak mereka pergi ke Masjid untuk sholat berjama‟ah. Supratini dan Sugini mulai mengajarkan anak-anak mereka untuk sholat sejak anak mereka TK dan mulai membiasakan anaknya untuk berpuasa sejak SD. Pernah juga anak-anak mereka diajak pergi ke gereja oleh ayah mereka. Menurut pengakuan Supratini, sejak SD anak pertamanya sudah merasa memiliki Islam, hal ini tampak pada penolakannya ketika diajak ayahnya pergi ke gereja, bahkan ia sudah berpendapat tidak ingin menjadi murtad, karena ia seorang muslim. Sedangkan anak-anak Sugini ketika diajak ke gereja tidak ada penolakan. Darwati juga sejak kecil sudah mengarahkan anaknya untuk mengenal Tuhannya. Dimulai dari mengikutkan anak pertamanya TPA, Tri juga sering mengajak anaknya pergi sholat jum‟ah namun setelah Darwati kembali memeluk agama Kristen, anak mereka lebih tertarik untuk pergi ke gereja
91
bersama ibunya. Setelah anak kedua mereka mulai mengerti, anak kedua mereka juga mengikuti kakaknya pergi ke Gereja bersama Ibunya. Dua dari anak Sugini akhirnya memutuskan untuk mengakui Islam sebagai agamanya. Sebenarnya anak kedua mereka pernah ikut TPA di masa kecilnya, namun setelah dewasa dan atas peran ayahnya yang sering mengajaknya ke gereja membuat anak kedua Sugini tersebut memutuskan memeluk Kristen. Sejak kecil anak-anak Rusdi-Sugini sudah diberikan pemahaman bahwa agama ayah dan ibu mereka berbeda. Tidak ada paksaan mereka mau mengikuti agama ibu atau agama ayah, yang penting dijalani dengan sungguhsungguh. Pernah suatu ketika anak mereka menanyakan kepada ayahnya kenapa bisa terjadi perbedaan agama tersebut dan Rusdi menjawab karena ia bekerja di yayasan Kristen. Dengan alasan tersebut anak-anak mereka sudah bisa menerima keadaan keluarga mereka. Tri-Darwati dan Masal-Supratini pun melakukan hal yang sama seperti Rusdi-Sugini. Mereka sudah memberikan pengertian perbedaan agama antara ayah dan ibu mereka sejak mereka kecil. Dengan demikian mereka berharap anak-anak mereka dapat mempersiapkan diri untuk mempelajari agama yang sekiranya sesua dengan dirinya. Anak pertama Masal-Supratini sudah kritis sejak kecil. Di usianya SD ia sudah mengharapkan ayahnya untuk mengikuti agama ibunya. Bahkan ketika diajak pergi ke Gereja oleh ayahnya, ia sudah mampu menjawab bahwa ia adalah seorang Islam dan tidak ingin menjadi orang yang murtad.
92
Berbeda dengan keluarga pasangan Kasbiyantoro-Siti dan UntungMutiah, mereka tidak pernah memberikan pemahaman kepada anak-anaknya bahwa agama orang tua mereka berbeda. Dengan harapan suatu saat nanti anak-anak mereka akan mengerti dengan sendirinya. Pada keluarga ini, pendidikan agama diserahkan sepenuhnya kepada sang ibu, dan sang ayah hanya bersifat mendukung dan mengarahkan saja. Praktek keberagamaan di dalam keluarga perkawinan lintas agama sangat variatif, sebagai contoh. pasangan Rusdi-Sugini, sebelum perkawinan dilangsungka Rusdi termasuk orang yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Gereja. Setelah kawin dengan Sugini dan bekerja di Gereja sebagai petugas kebersihan, Rusdi tidak seaktif dulu lagi. Hal ini dikarenakan sekarang Rusdi bekerja di Gereja sehingga setiap ada kegiatan di Gereja Rusdi merasa secara tidak langsung ia sudah mengikuti kegiatan di Gereja. Sedangkan Sugini termasuk seorang yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan pengajian, tidak ada perubahan sebelum ataupun setelah melakukan perkawinan dengan Rusdi. Hanya saja Sugini jarang mengikuti sholat berjama‟ah di Mushola, hal ini disebabkan dari pagi hingga sore Sugini bekerja, sedangkan ketika menjelang Maghrib/ Isya medan rumah Sugini yang tidak memungkinkan Sugini untuk sering-sering pergi berjama‟ah di Mushola. Seperti halnya dengan Untung, di masa kecilnya ia aktif mengikuti kegiatan di Gereja, namun setelah melakukan perkawinan dengan Mutiah ia tidak lagi pergi ke gereja. Di lingkungan Mutiah tinggal, ia termasuk orang yang aktif mengikuti pengajian ibu-ibu yang dilaksanakan setiap malam
93
minggu. Untuk masalah sholat berjama‟ah di Mushola, Mutiah juga jarang melakukannya. Kasbiyantoro termasuk orang yang taat agama Katholik. Sejak ia menyatakan untuk masuk agama Katholik dan dibabtis, Kasbiyantoro rajin pergi ke gereja. Setelah perkawinannya dengan Siti ia sempat belajar agama Islam, namun akhirnya hati Kasbiyantoro tetap mantap menjadi seorang Katholik. Ia pergi ke Gereja di Kauman Kidul paling tidak satu bulan sekali tanpa sepengetahan istri dan anak-anaknya. Siti juga termasuk orang yang aktif mengikuti pengajian seperti Yasinan, Al Berjanji dan pengajianpengajian lain yang dilaksanakan di wilayah ia tinggal. Pergi ke Gereja menjadi aktifitas yang jarang dilakukan Masal sejak melakukan perkawinan dengan Supratini dan tinggal di rumah Supratini. Hal ini disebabkan karena Masal kesulitan mencari gereja yang menggunakan bahasa Indonesia di sekitar wilayah ia tinggal. Kebanyakan Gereja yang ada adalah GKJ, jadi masal sulit untuk mengikutinya. Supratini juga termasuk aktif pergi sholat berjama‟ah ke Masjid walaupun di waktu Maghrib/Isya saja. Kegiatan Yasinan yang dilakukan di wilayah ia tinggal juga rutin diikuti olehnya. Akhir-akhir ini Supratini juga pergi mengaji ke Kyai Semowo untuk mendalami agama Islam. Sejak kecil hingga sekarang berumah tangga, Tri aktif mengamalkan ajaran Islam. Termasuk di dalamnya mengikuti kegiatan keagamaan seperti pengajian. Namun sekarang setelah bekerja sebagai satpam di UKSW, Tri lebih sering diberi tugas jaga malam, sehingga selama tinggal di wilayah
94
Kelurahan Bugel belum ada kesempatan mengikuti pengajian. Sejak diangkat menjadi pegawai tetap di UKSW dan berpindah agama menjadi Kristen lagi, Darwati aktif pergi ke Gereja setiap hari minggu. Meski hidup dalam perbedaan agama, toleransi terhadap pasangan masing-masing cukup besar. Mereka memberikan kesempatan dan kebebasan kepada pasangan dan anak-anak mereka untuk beribadah sesuai kepercayaan yang dianut. Tidak pernah di antara mereka ada yang melarang pasangan atau anak-anaknya
untuk
beribadah.
Bahkan
setiap
dari
mereka
saling
mengingatkan pasangan atau anak-anaknya untuk beribadah. Rusdi, Kasbiyantoro, Masal atau pun Untung sering mengingatkan istrinya untuk pergi sholat atau mengaji ketika sudah tiba waktunya. Merka juga mendukung anaknya yang ingin pergi mengaji atau pergi sholat berjama‟ah di Masjid. Bahkan sebagai ayah yang baik, mereka mengharuskan anaknya untuk beribadah dengan tekun dan sungguh-sungguh meskipun agama yang dianut anaknya tidak sama dengan agama yang dianutnya. Begitu juga yang dilakukan Darwati terhadap suaminya. Darwati juga merasa bertanggung jawab terhadap keberagamaan suaminya. Meskipun berbeda agama Darwati mengharapkan suaminya bisa menjalani agamanya dengan tekun dan menjadi orang yang taat. Pada saat bulan Ramadhan misalnya, Darwati tetap menyiapkan kebutuhan bagi suaminya untuk makan sahur atau buka. Masal juga sering membantu menyiapkan kebutuhan buka untuk anak dan istrinya. Sedangkan sikap toleransi Rusdi diwujudkan dengan tidak makan atau minum di rumah
95
ketika anak dan istrinya menjalankan ibadah puasa. Dalam keluarga Mutiah anak-anaknya yang beragama non Islam pun ikut berpuasa menemani ibunya. Tidak dipungkiri bahwa tetap ada keinginan terpendam bagi setiap orang untuk memiliki pasangan hidup dan keluarga yang seiman dengannya. Begitu juga yang diungkapkan oleh pasangan Rusdi-Sugini, Masal-Supratini, Untung-Tiah, Tri-Darwati maupun Kasbiyantoro-Siti. Namun mereka tidak ingin memaksakan kehendaknya, karena mereka menyadari betul agama adalah hak bagi setiap orang. Mereka juga menyadari jika tidak ada yang mengalah maka mereka tidak akan bisa hidup bersama. Pemegang dominasi dalam keluarga lebih ke ayah, hal ini ditunjukkan dalam memutuskan hal-hal yang penting, suami lebih berperan banyak. Misalnya dalam memberikan nama anak-anak mereka lebih banyak dilakukan oleh sang suami. Dalam menentukan pendidikan sang anak suami juga lebih berperan walaupun tetap ada komunikasi dengan istri dan anak-anaknya. Ada juga kebijakan kebijakan suami yang diterapkan tanpa harus didiskusikan dengan keluarga yang lain. Walaupun demikian, dominasi dalam mengurus rumah tangga tetap berada di tangan ibu. Hal ini tampak sekali pada proses pendidikan dasar terhadap anak, baik berupa pendidikan budi pekerti ataupun keagamaan. Dapat kita lihat dari hasil penelitan ini anak-anak lebih banyak yang mengikuti agama ibunya daripada agama anaknya. Dalam menjalani kehidupan, setiap manusia pasti tidak pernah luput dari masalah. Dalam menghadapi masalah yang menimpa keluarga rumah tangga lintas agama mereka mengaku tidak pernah mengungkit-ungkit
96
masalah agama. Yang menjadi pokok permasalahan biasanya adalah masalah ekonomi, karena dari hasil penelitian ini penulis menemukan bahwa perkawinan lintas agama yang dilakukan di kelurahan Bugel ternyata dilakukan oleh orang dari kelas menengah ke bawah. Untuk mampu bertahan hingga saat ini mereka mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan dalam membina rumah tangga lintas agama adalah saling pengertian, saling menghargai dan kejujuran. Bagi Sugini, manusia tidak ada yang sempurna, pasti mempunyai kekurangan. Menurutnya dalam membina rumah tangga masing-masing pasangan harus bisa memahami dan menerima dengan ikhlas kekurangan yang ada pada pasangannya. Hal itu juga yang disampaikan oleh Darwati, baginya denga adanya saling menghormati dan jujur satu sama lain segala masalah akan bisa dihadapi dengan baik. D. Pandangan Tokoh Masyarakat/ Tokoh Agama Terhadap Praktek Perkawinan Lintas Agama Adanya praktek perkawinan lintas agama yang terjadi di kelurahan Bugel tentu menimbulkan wacana baru bagi masyarakat dan para tokoh agama yang tinggal di wilayah tersebut. Pembahasan perkawinan lintas agama menimbulkan pro-kontra pada masyarakat. Menurut para tokoh agama yang tinggal di wilayah kelurahan Bugel, perkawinan lintas agama tidak boleh dilakukan, bahkan haram hukumnya. Menurut M. Sungaidi (55), Rois Suriah NU Ranting Bugel sekaligus Ta‟mir Masjid Baitul A‟la Bugel, mengatakan bahwa menurut agama Islam,
97
perkawinan lintas agama haram hukumnya. Hal ini didasari oleh ketentuan al qur‟an surat al baqarah ayat 221, dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik….Begitu juga sebaliknya, wanita muslim juga diharamkan menikah dengan laki-laki musyrik. Dengan pengecualian diperbolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Yang dimaksud dengan ahli kitab adalah orang yang murni atau keturunan asli (orang tua)nya masuk ke dalam agama tersebut sebelum dinasakh (ubah) dengan kerasulan Nabi Muhammad Saw. Dengan adanya perkawinan lintas agama dikhawatirkan akan membawa pasangannya melakukan kemusyrikan yang akan membawa seorang muslim tersebut masuk neraka. Menurut Sungaidi, perkawinan yang ideal dalam Islam tentu perkawinan yang dilakukan antar pemeluk agama Islam. Seperti hadis Rasulullah bahwa seorang perempuan dipilih karena 4 hal, rupa, harta, nasab dan agama. Namun dari keempat hal tersebut yang paling utama adalah agamanya. Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, sebagai tokoh agama M. Sungaidi merasa tidak punya kekuasaan untuk mengusik mereka karena beliau menyadari bahwa agama adalah hak seseorang, selain itu ketika pelaku perkawinan merasa bahagia, kita tidak punya hak untuk memisahkan mereka. Hanya upaya pencegahan yang bisa dilakukan, dengan cara
98
menanamkan nilai-nilai keagamaan dan pemahaman kepada para pemuda yang belum kawin. Pendapat di atas juga dibenarkan oleh Nur Salim (43), beliau yang seorang Wakil Tanfidziah NU dan sekaligus Ta‟mir masjid Ar Ridlo. Dia menyatakan ketidaksetujuannya dengan adanya perkawinan lintas agama. Perkawinan lintas agama mampu merusak tatanan dan keturunan pelakunya. Bagaimana tidak, ketika anak mendapati orang tua yang berbeda agamanya akan menimbulkan suatu kebingungan pada anak untuk memilih agama mana yang hendak dipeluknya. Selain itu hubungan suami istri antara seorang muslim dan seorang yang non muslim dianggap zina, sedangkan zina termasuk salah satu dosa besar. Dalam kitab Safinah dijelaskan bahwa sebagai seorang muslim tidak diperbolehkan
memberi
makan/minum
kepada
anjing
yang
galak.
Sesungguhnya anjing yang seperti itu dianggap najis dan tidak perlu dikasihani. Di dalam kitab tersebut, orang kafir diibaratkan lebih hina dari anjing yang galak tersebut. Meskipun dalam Al Qur‟an ada pengecualian untuk laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab, menurut Nur Salim zaman sekarang ini sudah tidak ada yang disebut ahli kitab. Karena pedoman/kitab suci yang mereka pegang saat sudah tidak murni lagi seperti saat diturunkan kepada nabi Isa, dalam kitab tersebut sudah ada perubahan-perubahan yang dilakukan manusia. Melihat kenyataan dalam masyarakat yang ternyata ada pelaku perkawinan lintas agama, tidak banyak upaya yang bisa dilakukan untuk
99
mencegahnya. Karena hal tersebut sudah menjadi urusan rumah tangga masing-masing dan menjadi pilihan hidup orang tersebut. Solusi yang ditawarkan mungkin bisa dilakukan pendekatan kepada pasangan pelaku perkawinan lintas agama tersebut, diberikan pemahaman secara pelan-pelan tentang hakikat sebuah perkawinan. Dengan demikian diharapkan bisa menggerakkan hati pasangan pelaku perkawinan lintas agama terutama yang beragama Islam untuk kembali semangat mempertahankan agamanya dan bisa mengajak pasangannya untuk masuk Islam. Sehingga dapat tercapai tujuan perkawinan seperti yang diharapkan dalam Islam, yaitu sakinah, mawadah wa rohmah. Jika hal seperti di atas tidak bisa dilakukan, dapat dilakukan upaya pencegahan dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat terutama para pemuda yang belum melakukan perkawinan. Upaya tersebut dilakukan melalui forum-forum kecil dan fokus membahas hal tersebut. Seirama dengan kedua pendapat di atas, M. Roji (47) juga menyatakan bahwa perkawinan lintas agama tidak boleh dilakukan. Ketika seseorang yang beragama Islam hendak mengawini orang yang beragama non Islam maka sebelum akad terjadi harus ada pembicaraan serius diantara keduanya dan keluarganya. Perlu diingat bahwa seorang laki-laki Muslim boleh menikahi perempuan non Islam dengan syarat perempuan tersebut mau masuk Islam terlebih dahulu, begitu juga sebaliknya. Jika tidak ada kesepakatan seorang non Islam tersebut untuk masuk Islam, maka menurut Penasihat Al Hikmah Salatiga ini, mau tidak mau perkawinan harus digagalkan. Sesuai syari‟at
100
Islam, perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan koridor agama Islam disebut zina, dan hal tersebut merusak aqidah. Perkawinan lintas agama dilarang dalam Islam karena Islam ingin menjaga aqidah. Adanya perbedaan agama dalam satu rumah tangga dikhawatirkan akan menimbulkan perang batin dalam keluarga. Bagaimana tidak, sadar atau tanpa disadari akan terjadi saling mempengaruhi antara keduanya, bahkan ketika sudah memiliki anak, akan menimbulkan kebingungan pada sang anak dalam menentukan agama. Pada hakikatnya, nikah dalam Islam merupakan ibadah, jadi tidak hanya sekedar memburu nafsu belaka. Jadi ketika ada dua orang berbeda agama hendak melakukan perkawinan dengan asumsi salah satu dari mereka mengalah demi keabsahan akad perkawinan dan setelah itu mereka kembali ke agamanya semula, perkawinan tersebut dianggap hanya sebagai pemburu nafsu belaka. Dalam Islam, jika salah satu pasangan murtad maka hubungan yang dilakukan termasuh zina, dan perkawinan yang telah dilakukan sebelumnya menjadi batal. Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan pertolongan dari Allah ketika di Padang Mahsyar, salah satunya adalah orang yang berkumpul dengan seorang wanita karena ridlo Allah. Berkumpul yang dimaksud adalah bertemu, menikah maupun berpisah hanya karena Allah. Melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat bahwa para pelaku perkawinan lintas agama mengatasnamakan jodoh dan takdir sebagai alasan mereka. Menurut Roji, yang dinamakan takdir dan jodoh adalah ketika kita
101
sudah berusaha semaksimal mungkin dan tidak dapat menemukan lagi / mentok maka itulah yang disebut dengan takdir. Ketika kita masih mampu untuk mengusahakan sesuatu, hal tersebut belum disebut sebagai takdir yang ditetapkan Allah. Seperti firman Allah yang menyatakan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut mengubahnya sendiri. Kebersamaan di dunia belum tentu disebut jodoh, karena menurut mantan pengurus NU ini, jodoh adalah ketika di dunia bersama hingga akhir hayat dan bertemu kembali saat di akhirat. Selain berpengaruh terhadap kritisnya keimanan pelaku perkawinan lintas agama, perkawinan lintas agama dilarang untuk menjaga aqidah manusia. Kebebasan memilih agama bagi anak-anak hasil perkawinan lintas agama merupakan pikiran orang yang tidak berilmu. Dalam fikih, orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik agama anak-anaknya baik secara langsung ataupun tidak langsung. Jika berbicara Pancasila mungkin bebas ketika ada fenomena perbedaan agama dalam sebuah keluarga, dan itu sah-sah saja. Karena sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, selama agama yang dianut masih mengesakan Tuhan tidak ada masalah. Akan tetapi ketika yang dibicarakan adalah fikih maka orang tua wajib mendidik agama anaknya. Sebagai
tokoh
agama,
Roji
mengaku
tidak
berani
untuk
menyampaikan hal seperti di atas di muka umum. Karena masalah perbedaan agama adalah masalah yang sensitive dan menyinggung SARA. Kita juga tidak tahu apakah Allah akan menerima perkawinan yang seperti itu atau
102
tidak, yang jelas Allah sudah memberikan rambu-rambu melalui Al Qur‟an dan Hadis. Berbicara masalah hukum, menurutnya hukum Islam sudah jelas, perkawinan lintas agama dilarang dalam Al Qur‟an. Satu-satunya jalan untuk menindaklanjuti kasus-kasus seperti ini mungkin melalui PA yang memiliki kewenangan. Bahkan seorang Kyai pun jika ia bukan Kyai yang keras tidak akan berani menyampaikan masalah perbedaan agama tersebut di muka umum, karena agama merupakan hal yang sangat sensitive. Hukum merupakan kewenangan dari pemerintah. Aturan dalam undang-undang maupun KHI cukup jelas bahwa perkawinan lintas agama dilarang. Namun pada kenyataannya implementasi hukum tersebut dalam masyarakat tidak ada. Sehingga hal ini membuat kasus seperti ini bahkan kasus-kasus pidana yang terjadi di Indonesia tidak pernah selesai, dan hukum masih nampak sangat lemah. Solusi yang ditawarkan berupa tindakan pra nikah yaitu dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman kaidah-kaidah perkawinan melalui pengajian/ majelis taklim dalam lingkup kecil. Sebenarnya ada toleransi dalam ayat yang menjelaskan “…jangan dinikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman…” Jika perempuan tersebut mau masuk Islam maka silahkan dinikah namun jika tidak mau masuk Islam lebih baik tidak usah. Kata „silahkan‟ merupakan kata yang tidak kuat, jadi di dalam kata tersebut mengandung konsekuensi/tanggung jawabnya.
103
Jika pada awalnya perempuan musyrik, kemudian menjadi muslim karena dinikahi maka ada tanggung jawab bagi laki-laki setelah perkawinan tersebut terjadi. Tanggung jawab yang berupa upaya untuk mendidik istrinya agar tetap berjalan dalam koridor Islam. Jadi ada tanggung jawab bagi seorang laki-laki muslim yang menikahi perempuan musyrik untuk mempertahankan perkawinannya agar tetap sah menurut Islam. Demikian juga menurut M. Toha (62) yang aktif sebagai sie pelayanan masyarakat di Muhammadyah cabang Salatiga, dia menyatakan bahwa perkawinan lintas agama itu haram hukumnya dan bisa disebut dengan zina. Menurutnya orang yang beragama selain Islam berarti kafir, sedangkan perkawinan yang dilakukan dengan orang kafir tidak sah dan hubungannya dianggap zina. Hal ini berdasarkan ayat dalam surat Al Baqarah:221 yang menyatakan bahwa dilarang menikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Menurutya aturan yang ada dalam Q.S Al Maidah:5 tersebut menjelaskan bahwa ahli kitab yang dilaksud adalah ahli kitab zaman dahulu, sebelum adanyan ajaran Nabi Muhammad SAW. Nasrani dan Yahudi saat ini sudah dianggap musyrik, karena dalam agama Nasrani dianggap sudah mentuhankan Isa. Upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya perkawinan lintas agama adalah dengan penanaman aqidah untuk anak-anak sejak kecil. Jika sudah terjadi praktek perkawinan lintas agama tersebut maka perlu dilakukan pembinaan oleh lingkungan terutama tokoh agama.
104
Perkawinan dua orang yang berbeda agama dengan cara pasangnnya pidah agama Islam, secara hukum Negara memang sah. Namun secara Islam hal tersebut tidak sah. Menurut pendapatnya, seseorang yang ingin menikah dengan cara masuk Islam dahulu maka harus belajar menjalani agama Islam selana 3 bulan atau lebih baru bisa melangsungkan perkawinan. Jadi perkawinan tersebut dilakukan dengan kemauan orang tersebut untuk masuk Islam secara serius bukan hanya sekedar mempercepat proses akad perkawinan supaya dianggap sah oleh Negara. Jika dari awal perkawinan mereka sudah didasari niat yang salah maka ke depannya tidak akan berjalan dengan baik. E. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Lintas Agama di Kelurahan Bugel Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga Pada dasarnya ada dua peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai acuan dalam melangsungkan perkawinan, yaitu UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang berlaku khusus untuk orang-orang Islam di Indonesia. Di dalam KHI terdapat aturan yang tegas tentang larangan perkawinan lintas agama, namun tidak menutup kemungkinan masih ada praktek perkawinan lintas agama yang dilakukan. Lalu bagaimana hukumnya? Apakah perkawinan mereka sah? Perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel pada umumnya diawali dengan adanya perbedaan agama sebelum perkawinan dilangsungkan. Dari hasil penelitian peneliti, ada dua pola perkawinan yang terjadi di Kelurahan
105
Bugel, mereka yang melakukan perkawinan secara Islam di KUA dan mereka yang melakukan perkawinan secara Kristen di KCS. Pertama, perkawinan yang dilakukan secara Islam di KUA dilakukan oleh pasangan: 1. Untung dan Muntiah, mendapatkan keabsahan perkawinan dengan cara Untung pindah agama Islam. 2. Kasbiyantoro dan Siti Suryati, mendapatkan keabsahan perkawinan dengan cara Kasbiyantoro pindah agama Islam 3. Tri Antara Riyadi dan Darwati, mendapatkan keabsahan perkawinan dengan cara Darwati pindah agama Islam. Secara agama Islam, akad perkawinan yang mereka lakuakan adalah sah karena sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang ditentukan dalam agama Islam terutama melakukan akad dengan sesama muslim. Pada kenyataannya, setelah menjalani kehidupan berumah tangga cukup lama, pasangan mereka memutuskan untuk kembali memeluk agama mereka yang lama. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan tersendiri terkait status perkawinan yang mereka jalani setelah salah satu pasangan mereka murtad atau kembali ke agama semula. Berdasarkan aturan yang ada dalam KHI dan hukum Islam, jika salah satu pasangan murtad, maka status perkawinan mereka menjadi fasakh (batal) seketika itu juga. Kedua, perkawinan yang dilakukan secara Kristen di KCS dilakukan oleh pasangan:
106
1. Rusdi dan Sugini, mendapatkan keabsahan perkawinan dengan cara Sugini pindah Kristen. 2. Masal Guru Singa dan Supratini, mendapatkan keabsahan perkawinan dengan cara Supratini pindah Kristen. Secara agama Kristen, perkawinan yang mereka lakukan adalah sah. Secara Islam, seluruh Mazhab kecuali Maliki menyatakan bahwa perkawinan yang diselenggarakan oleh orang-orang non muslim adalah sah seluruhnya, sepanjang perkawinan itu dilaksanakan sesuai dengan ajaran yang mereka yakini. Sedangkan menurut Maliki, perkawinan yang diselenggarakan oleh orang-orang non muslim tidak sah, karena kalau perkawinan mereka itu diterapkan bagi orang-orang muslim pasti tidak sah hukumnya (Mughniyah, 1994:44-45). Karena dari awal sebelum perkawinan mereka memiliki agama yang berbeda maka akhirnya setelah perkawinan berlangsung mereka kembali pada agamanya semula yaitu Islam. Menurut Sabiq dalam Fikih Sunnah (1981:192), menjelaskan bahwa perkawinan yang demikian, pertama, jika yang masuk Islam perempuannya, perkawinan diputuskan dan ia wajib beriddah. Jika kemudian suami menyusul masuk Islam, selama perempuan dalam masa iddah maka suami masih bisa berkumpul dengan istrinya kembali. Kedua, jika yang masuk Islam suami, maka setelah masa iddah istri habis ataupun dalam waktu yang lama, mereka tetap berada dalam ikatan perkawinan semula jika mereka tetap memilih melangsungkan ikatannya itu dan istri belum kawin dengan orang lain.
107
KHI tidak menjelaskan secara rinci mengenai perkawinan yang dilakukan secara non Islam yang kemudian salah satu pasangannya masuk Islam. Sedangkan dalam UUP No. 1/1974 perkawinan yang dilakukan secara non Islam dianggap sah selama sesuai peraturan agama tersebut, sesuai dengan pasal 2 UU No. 1/1974, namun setelah perkawinan salah satu pindah agama tidak ada aturan yang menerangkan hal tersebut. Dengan demikian praktek perkawinan yang dilakukan oleh RusdiSugini dan Masal-Supratini, sah di mata hukum, namun menurut hukum Islam perkawinannya dapat diputuskan. Karena dari perkawinan mereka yang memutuskan untuk masuk Islam hanyalah si perempuan saja. Banyak cara yang diupayakan untuk dapat menyatukan cinta yang dilandasi perbedaan agama dalam suatu perkawinan yang sah menurut hukum agama dan Negara. Perpindahan agama yang dilakukan oleh Sugini dan Supratini hanya untuk mendapatkan keabsahan perkawinan mereka. Bahkan sebelum adanya perkawinan sudah ada perjanjian di antara mereka, bahwa Sugini dan Supratini boleh memeluk Islam lagi setelah perkawinan, asal pada waktu akad mau mengalah dengan cara mengikuti agama Kristen. Memang sudah ada semacam kepura-puraan yang disengaja oleh para pelaku perkawinann lintas agama hanya untuk mendapatkan keabsahan belaka. Dalam KHI praktek perkawinan lintas agama seperti di atas merupakan praktek perkawinan yang salah dan perkawinan mereka menjadi fasakh (batal) ketika salah satu dari mereka keluar dari Islam dan kembali ke agamanya semula. Namun kenyataan dalam lapangan berkata lain, meskipun
108
salah satu pasangan mereka kembali pada agamanya yang semula, tidak mendapatkan perhatian yang serius bagi mereka. Seolah-olah tidak ada beban yang perlu dipertanggungjawabkan di muka agama. Hal ini didukung dalam KHI pasal 116 yang secara tersirat menyatakan bahwa jika salah satu pasangan
kembali
ke
agamanya
namun
tidak
menyebabkan
ketidakharmonisan, maka bukan menjadi alasan perceraian. Jadi dapat dikatakan KHI melarang dengan tegas adanya praktek perkawinan lintas agama namun secara tersirat mendukung terjadinya murtad selama hal tersebut tidak menjadi pemicu ketidakharmonisan. Mereka menjalani kehidupan perkawinan lintas agama dengan alasan kebebasan individu dalam memeluk agama, maka tidak ada hak untuk memaksakan agama kepada pasangannya. Selain itu tidak ada tindakan apapun yang dapat dilakukan oleh masyarakat maupun penegak hukum. Karena perkawinan merupakan masalah perdata dan penyelesaian jika terjadi sengketa hanya dapat dilakukan jika ada pihak yang mengajukan masalah tersebut ke pihak yang berwenang (Pengadilan Agama). Hal ini menimbulkan suatu kekhawatiran baru, yakni aturan yang melarang perkawinan lintas agama di Indonesia ini hanya akan membuka dosa-dosa besar lain bagi para pemeluk agama Islam pada khususnya dan agama lain pada umumnya. Bagaimana tidak, ketika tetap dipaksakan perkawinan berada dalam satu agama maka suatu saat, mereka yang berlatar belakang agama berbeda akan memaksakan diri untuk mendapatkan pengesahan dari agama dengan cara berpura-pura mengikuti agama
109
pasangannya. Namun setelah pengesahan tersebut didapatkan maka mereka akan kembali ke agamanya semula/murtad bahkan bagi kalangan tertentu mereka akan berusaha mengajak keluarganya untuk memasuki agamanya tersebut. Melihat fenomena dalam masyarakat ini mungkin bisa menjadi wacana dan pertimbangan bahwa perkawinan lintas agama perlu ditinjau kembali status hukumnya. Jika memang perkawinan lintas agama hendak dilarang, maka aturan-aturan tentang pelarangan tersebut harus jelas. Karena ketika muncul aturan yang melarang namun di pasal yang lain secara tersirat menunjukkan
kebolehannya
maka
akan
menimbulkan
celah
yang
menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan hukum yang mereka anggap benar (lihat KHI pasal 40 poin c, 44, 75 dan 116). Solusi lain yang mungkin bisa dikaji adalah dengan mereka yang berbeda agama bisa melakukan akad dengan memeluk agama mereka masingmasing, tanpa ada kepura-puraan dari salah satu pihak untuk mengikuti pihak lain, maka tidak akan pernah muncul kata kemurtadan sebagai hasil dari perkawinan lintas agama. Seperti halnya yang dijelaskan dalam ayat QS. Al Maidah:5, yaitu
…
110
... Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orangorang merugi. Dari ayat di atas nampak adanya kebolehan laki-laki muslim mengawini perempuan ahli kitab yang jelas berbeda agama. Dalam ayat ini perkawinan antar pemeluk agama dianggap sah menurut Islam. Melihat praktek yang terjadi di Kelurahan Bugel maka dapat dikatakan bahwa perkawinan antara Tri dan Darwati lah yang termasuk dalam kategori ini. Namun sayangnya perkawinan Tri dan Darwati dilakukan secara Islam dan setelah itu Darwati murtad, sehingga perkawinan mereka dianggap fasakh. Meninjau dari kenyataan dalam lapangan, jalan keluar yang mungkin bisa ditempuh untuk memperoleh keabsahan perkawinan mereka, perlu dilakukan akad yang baru dengan menggunakan agama masing-masing, sehingga nanti tidak ada kemurtadan pada salah satunya. Adanya akad kedua ini hanya digunakan untuk mencari keabsahan di mata agama (terutama Islam dengan dasar ayat di atas), karena keabsahan menurut Negara sudah dilakukan melalui akad yang pertama. Lalu bagaimanakah perkawinan yang dilakukan keempat pasangan lainnya menurut Islam? Dalam masalah ini tidak ada teks Al Qur‟an maupun Hadis yang membolehkan perkawinan antara perempuan muslim dengan lakilaki non muslim. Tetapi juga tidak ada larangan yang secara tegas terhadapnya. Larangan wanita muslim menikahi laki-laki non muslim
111
dilakukan dengan alasan yang berkaitan dengan penjagaan iman. Dilihat aspek psikologi wanita mudah terpengaruh daripada psikologi laki-laki, jadi ketika dibolehkan seorang wanita muslim menikah dengan laki-laki non muslim dikhawatirkan keimanan si wanita luntur dan berbalik mengikuti keimanan suami. Kenyataan yang terjadi di masyarakat Kelurahan Bugel menunjukkan bahwa kehidupan perkawinan lintas agama dapat berjalan dengan harmonis dan saling menghargai satu sama lain. Tidak pernah ada larangan bagi pasangan atau anak-anak mereka untuk beribadah sesuai agama yang diyakini. Mereka juga tidak pernah memaksakan agama orang tua terhadap anak. Bahkan kekhawatiran akan seorang perempuan yang mengikuti agama suami tidak terbukti di sini. Memang ada dua orang perempuan yang ketika melakukan akad perkawinan mengikuti agama suami yaitu Kristen, hanya saja setelah itu mereka tetap menjalankan agama Islam dengan baik dan tekun. Bahkan peran mereka sangat besar dalam hal mendidik anak. Dapat dilihat bahwa sebagian besar anak-anak dari perkawinan lintas agama yang terjadi di kelurahan Bugel mengikuti agama Islam seperti agama ibunya. Ada 10 anak dari pasangan pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel yang mengikuti agama ibunya, 8 di antara mereka beragama Islam. Sedangkan jumlah anak yang mengikuti agama ayahnya hanya ada 3 orang yang semuanya beragama Kristen.2
2
Lihat table 4.3 dan 4.4 halaman 90
112
Untuk itu melihat kenyataan yang ada harus ada pemaknaan hukum yang lebih sesuai dengan keadaan masyarakat saat ini. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslim boleh menikah dengan lakilaki non muslim, atau perkawinan lintas agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya (Madjid dkk, 2004:164).
113
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan mengenai perkawinan lintas agama yang dilakukan oleh pelaku perkawinan lintas agama di kelurahan Bugel Salatiga. Meliputi: 1.
Ada dua pola proses perkawinan lintas agama yang terjadi di kelurahan Bugel Salatiga. Pertama, perkawinan dilakukan secara Islam dan dicatatkan di KUA. Kedua, perkawinan dilakukan secara Kristen di Gereja/KCS.
2.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel Salatiga, yaitu pandangan tertentu tentang agama dan keberagamaan, perempuan tidak memiliki kemandirian hidup, tradisi perkawinan lintas agama, kurangnya pengetahuan agama dan kristenisasi pihak luar.
3.
Dalam rumah tangga keluarga pelaku perkawinan lintas agama, nilainilai keagamaan sudah diterapkan sejak anak-anak mereka kecil sehingga mereka mampu hidup harmonis dan penuh toleransi sesama anggota keluarga. Tidak pernah ada paksaan terhadap anggota keluarga dalam hal memilih agama yang tepat untuk diri mereka.
4.
Sebagian besar tokoh agama di wilayah kelurahan Bugel menyatakan bahwa perkawinan lintas agama haram hukumnya karena jelas
114
hukumnya dalam Q.S Al Baqarah:221 selain itu perkawinan lintas agama bisa menjadikan erosi keimanan bagi pelakunya. 5.
Ada empat pendapat menurut hukum Islam mengenai perkawinan lintas agama, yaitu: a. Pendapat yang menyatakan keharaman secara mutlak perkawinan lintas agama. Baik laki-laki muslim yang mengawini perempuan musyrik/ahli kitab maupun perempuan muslim yang mengawini lakilaki non muslim. Mereka menggunakan dasar Q.S Al Baqarah:221. Ditinjau dari hukum ini maka seluruh praktek perkawinan lintas agama yang terjadi di Kelurahan Bugel adalah tidak sah. b. Pendapat yang menyatakan bahwa ada pengecualian terhadap lakilaki
muslim
boleh
mengawini
perempuan
ahli
kitab
(Yahudi&Nasrani) yang menjaga kehormatannya. Dari sini pasangan Tri-Darwati sajalah yang dapat dianggap sah perkawinannya menurut pendapat ini. Sedangkan keempat pasangan lainnya perkawinannya dianggap tidak sah. c. Pendapat yang menyatakan bahwa ketika akad dilakukan dengan cara Islam namun di kemudian hari salah satu murtad maka perkawinan dianggap fasakh atau batal seketika itu juga. Ini berarti seluruh praktek perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel dapat disebut fasakh. d. Pendapat yang menyatakan bahwa ketika akad dilakukan secara non Islam namun dikemudian hari suami masuk Islam maka perkawinan
115
tetap dianggap sah selama kedua pasangan tersebut menghendaki. Namun jika yang masuk Islam adalah istri, maka perkawinan mereka dapat diputuskan selama suami tidak segera mengikuti istri untuk masuk Islam. Berdasar teori ini juga menganggap perkawinan RusdiSugini dan Masal-Supratini dapat diputuskan karena pihak istri sajalah yang pindah masuk Islam. Menurut UUP No. 1 Tahun 1974 tidak ada larangan yang tegas mengenai perkawinan lintas agama, yang diatur dalam undang-undang tersebut hanya mengenai perkawinan campuran. Larangan perkawinan lintas agama tersirat dalam pasal 2 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut aturan agama dan kepercayaannya masing-masing. KHI secara tegas melarang adanya perkawinan lintas agama yang tertuang dalam pasal 40 poin c yang menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam
dan pasal 44, seorang wanita dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. B. Saran Melihat dalam kenyataan bahwa perkawinan lintas agama semakin marak dilakukan, maka pihak pemerintah perlu meninjau ulang kajian hukum terhadap perkawinan lintas agama agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Terutama KHI yang melarang sekaligus membuka peluang
116
adanya perkawinan lintas agama malah menjadi pemicu terjadinya dosadosa besar bagi umat Islam. Nampak ketika seseorang harus berpura-pura menjadi Islam untuk mengesahkan perkawian mereka. Kemudian setelah itu muncul kemurtadan-kemurtadan dalam agama Islam. Seperti yang telah diketahui, murtad adalah salah satu dosa dan jelas dilarang dalam agama Islam, namun KHI membuka peluang bahwa kemurtadan yang dilakuakn tidak menjadi alasan untuk dapat bercerai/ putusnya sebuah perkawinan selama kemurtadan tersebut tidak menimbulkan ketidakharmonisan. Semoga kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam menetapkan dan menerapkan sebuah hukum. Bagi orang yang hendak membangun bahtera rumah tangga diharapkan tidak terburu-buru dalam memilih pasangan hidup. Karena tujuan perkawinan adalah membangun keluarga bahagia untuk selamalamanya. Selain itu diharapkan memulai perkawinan dengan niat mencari ridlo Allah semata bukan karena hawa nafsu belaka. Pendidikan dalam keluarga maupun lewat instansi pendidikan adalah modal penting bagi anak untuk melanjutkan kehidupan di luar rumah. Dengan pendidikan agama yang kuat maka diharapkan mampu membekali anak dalam menghadapi masalah yang akan ditemuinya kelak. Untuk itulah peran orang tua sangat penting dalam perkembangan pendidikan anaknya terutama pendidikan agama.
117
Selain itu masyarakat tempat kita tinggal juga berpengaruh besar terhadap perkembangan anak, untuk itu sebagai orang tua harus berhatihati dalam memilih lingkungan sebagai tempat tinggal dan tempat pendidikan anak.
118
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta
Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974. Jakarta: PT Dian RAkyat
Bahreisj, Husein. 1992. Himpunan Fatwa. Surabaya: Al Ikhlas Departemen Agama RI. 1995. Al-‘Aliyyi Al-Quran Dan Terjemahan. Bandung: CV Penerbit Diponegoro
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1995. Pedoman Penyuluhan Hukum: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam. Departemen Agama
Fauzi, Auwenda. 2004. Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’I Tentang Perkawinan Campuran). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga
Fuadi, Maftuhul. 2006. Nikah Beda Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga
Katsir, Ismai Ibn. 2002. Tafsir Ibnu Katsir. Terjemahan oleh Dr. Abdullah bin Muhammad dan Abdurrahman bin Ishhaq. Pustaka Imam Syafi‟I
Madjid, Nurcholish dkk. 2004. Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina
Moloeng, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda
119
Mughniyah, Muhammad Jawad. 1994. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta:Basrie Press Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan UU No 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana
Pamungkas, Muhammad Wahyuning. 2008. Pernikahan Beda Agama: Studi terhadap Pasangan Suami Istri Beda Agama di Banjaran Salatiga. Inferensi, 2(1):43
Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al Misbah. Ciputat: Lentera Hati
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Yogyakarta: UII Press
Subekti dan Tjitrosidibio. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita
Suhadi. 2006. Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam. Yogyakarta: LKiS Syafi‟I, Nasrul Umam dan Ufi Ulfiah. 2004. Ada Apa Dengan Nikah Beda Agama. Depok: Qultum Media
120
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Sri Nikmah
TTL
: Kab. Semarang, 14 Oktober 1988
Riwayat Pendidikan
: 1. TK Tunas Bhakti Bugel lulus tahun 1994 2. SD N Bugel 01 Salatiga lulus tahun 2000 3. SMP N 2 Salatiga lulus tahun 2003 4. SMA N 1 Salatiga lulus tahun 2006
Pengalaman Organisasi
: 1. MENWA MAHADIPA Sat. 953 KALIMOSODO STAIN Salatiga 2. HMI Cabang Salatiga 3. Karang Taruna “Sandi Candra Taruna” Kelurahan Bugel
Nama Suami
: Faisal Asif
Nama Anak
: Rajwa Nailal Amni
(Sri Nikmah)
121
122
123