1 PERJUANGAN ISLAM POLITIK DI INDONESIA
Oleh Oleh: Ahmad Zubaidi1 Abstrak Di Indonesia, polemik penerapan syariat Islam setidaknya tersibak dalam dua kelompok; satu kelompok mengharapkan syariat Islam dapat diadopsi menjadi sumber hukum negara dan diberlakukan bagi para pemeluk Islam, dan kelompok kedua tidak menghendaki syariat Islam diformalkan dalam konteks negara. Kelompok kedua ini menghendaki negara tidak perlu banyak campur tangan terhadap agama, karena agama sifatnya individual. Adanya dua kelompok ini secara tegas muncul ketika terjadi perdebatan antara Natsir dan Soekarno tentang konsep Islam dan negara pada era awal 40-an. Makalah ini akan mengambarkan bagaimana gerakan Islam politik di Indonesia menjelang dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Tulisan ini juga mendeskripsikann tarik-menarik kekuatan yang menginginkan diberlakukannya syariat Islam dan yang tidak menginginkannya terus terjadi sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Tetapi ternyata kekuatan yang mendukung diberlakukannya syariat Islam selalu kalah secara politik oleh kekuatan yang tidak mendukung diberlakukannya syariat Islam oleh negara. Keyword
: Syariat Islam, Piagam Jakarta, Islam Politik, Politik Islam
A. PENDAHULUAN Di Indonesia, polemik penerapan syariat Islam setidaknya tersibak dalam dua kelompok; satu kelompok mengharapkan syariat Islam dapat diadopsi menjadi sumber hukum negara dan diberlakukan bagi para pemeluk Islam, dan kelompok kedua tidak menghendaki syariat Islam diformalkan dalam konteks negara. Kelompok kedua ini menghendaki negara tidak perlu banyak campur tangan terhadap agama, karena agama sifatnya individual.2 1Adalah Dosen Program studi Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam Universitas AsSyafiiyah Jakarta 2 Paparan lebih jauh dalam dilihat dalam Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta:Paramadina, 1998), cet I. h. 84-92. Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Bandung:
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
2 Menurut Abdurrahman wahid, kelompok pertama memiliki pradigma berfikir “berangkat dengan agama untuk memecahkan masalah bangsa”, sedang kelompok kedua paradigmanya “berangkat dari agama untuk memecahkan masalah-masalah bangsa”.3 Adanya dua kelompok ini secara tegas muncul ketika terjadi perdebatan antara Natsir dan Soekarno tentang konsep Islam dan negara pada era awal 40-an. Bahkan menurut Bahtiar Effendi, polemik dalam masalah ini melampaui batas nasionalisme.4 Soekarno secara lantang menggulirkan pemikirannya bahwa pemisahan antara Islam dan Negara adalah suatu keniscayaan. Ia dengan tegas menentang pandangan mengenai hubungan legal-formal antara Islam dan negara.5 Dalam alibinya, Soekarno mengatakan bahwa keterlibatan negara dalam pengurusan agama justru akan memperlemah agama. Dalam pandangannya, kalau negara banyak turut campur tangan dalam hal agama, justru menjadikan agama itu tidak merdeka dan akan menghambat kemajuannya.6 Di lain pihak, Mohammad Natsir sebagai representasi kelompok Islam menolak pendapat Soekarno. Natsir percaya akan watak holistik Islam.7 Sebagai seorang ideolog muslim kontemporer Natsir sangat meyakini Islam sebagai suatu ideologi keagamaan. Sebagai suatu ideologi, Islam dalam pandangan Natsir mempunyai cakupan pengertian yang sangat luas, seluas dimensi kehidupan manusia itu sendiri. Cakupan kehidupan ini tidak hanya meliputi kehidupan dunia tetapi juga kehidupan akhirat.8Berdasarkan pemikiran idiologinya itu, Natsir menolak segala bentuk pemikiran sekuler, sebab pemikiran tersebut mengabaikan nilai-nilai transendental Islam. Makalah ini akan mengambarkan bagaimana gerakan Islam politik di Indonesia menjelang dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Tulisan ini juga mendeskripsikann tarik-menarik kekuatan yang menginginkan diberlakukannya syariat Islam dan yang tidak menginginkannya terus terjadi sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Tetapi ternyata kekuatan yang mendukung diberlakukannya syariat Islam selalu kalah secara politik oleh kekuatan yang tidak mendukung diberlakukannya syariat Islam oleh negara. Gerakan umat Islam di Indonesia untuk menegakkan syariat Islam melalui negara dapat diklasifikasikan dalam empat periode; 1) periode pra Penerbit Pustaka, 1983), cet. I, h. 3. Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori belah bambu masa demokrasi terpimpin 1959-1965, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet. I, h. 23-31. 3 Abdurrahman Wahid, Islam, Pluralisme dan Demokrasi, dalam Arief Afandi (ed), Islam Demokrasi Atas Bawah, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet ke-1, hlm. 110. 4 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara..., h. 75. 5 Soekarno,"Saya Kurang Dinamis”, Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Panitia Di Bawah Bendera Revolusi, 1964), h. 452. 6 Ibid., hal.404. 7 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara..., h. 81. 8 Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir, (Jakarta: Dar Al-Falah, 1999) cet. I, h. 74.
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
3 kemerdekaan, 2) Periode revolusi, 3) periode rezim orde baru, dan 5) pasca reformasi. B. PEMBAHASAN 1. Periode Pra-kemerdekaan Setelah terjadinya perpecahan di tubuh Sarekat Islam (SI) yang berakibat tenggelamnya SI dari perpolitikan Indonesia, praktis umat Islam tidak memiliki organisasi politik yang dapat dijadikan alat untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingannya. Umat Islam hanya memiliki figur-figur yang tetap cometted terhadap aspirasi Islam, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan Muhammad Natsir. Seiring dengan itu, ternyata banyak orang terpelajar Indonesia yang beragama Islam justru memilih paham nasionalisme sekular. Tokoh yang sangat menonjol saat itu adalah Soekarno. Kalangan ini memahami nasionalisme sebagai “cinta kepada tanah air, kesediaan yang tulus untuk membaktikan diri dan mengabdi kepada tanah air, serta kesediaan untuk mengesampingkan kepentingan golongan yang sempit”.9 Bagi tokoh-tokoh Islam, paham yang dikembangkan kalangan nasionalis sekular telah melampaui batas-batas kewenangan agama. Karena itu, mereka langsung memberikan respon terhadap pemikiran kalangan nasionalis sekular yang dianggap membahayakan aqidah kaum muslim. Maka Tjokroaminoto pun mengatakan bahwa nasionalisme yang dipahami oleh kalangan sekular adalah nasionalisme sempit, sedangkan Islam menghendaki nasionalisme luas, yaitu yang di dalamnya mengajarkan sosialisme berdasarkan Islam, yaitu sosialisme yang menghendaki mono-Humanisme (persatuan manusia) dikuasai Satu Yang Kuasa, Allah SWT, dengan melalui hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW.10 Menurutnya, jika paham seperti itu diikuti akan “memperbudak manusia menjadi penyembah tanah air”. Jika demikian adanya, maka akibatakibatnya akan sangat jauh. Pandangan itu akan dapat, tulisnya, “mencairkan keyakinan tawhid seseorang dan mengurangi bakti seseorang kepada Tuhan.” Karena alasan itu, Agus Salim dengan tegas menyatakan bahwa nasionalisme harus diletakkan dalam kerangka “pengabdian kita kepada Allah”. Dan sejalan dengan itu, menurutnya, maka prinsip yang harus dinomorsatukan adalah Islam.11 Selain kedua tokoh tersebut, Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir (persatuan Islam) juga menanggapi gerakan Soekarno dan rekan-rekannya. Hassan dalam menanggapi seruan Nasionalisme Soekarno, seringkali menyamakan paham kebangsaan (nasionalisme) dengan ashabiyah, yaitu 9
Dikutip dari Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement ini Indonesia 19001942, (Oxford: Oxford University Press, 1978), h. 253. 10 Ibid., h. 268. 11 Ibid., h. 253-257.
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
4 semangat kesukuan (spirit of the clan) yang menuntut anggota suku setia kepada rasa kesukuannya.12 Dengan mengutip dua hadis tentang ashabiyyah dari Abu Daud dan Muslim, Hassan mengemukakan bahwa “mendirikan vereniging (perkumpulan kebangsaan), mengajak orang kepada kebangsaan, menolong parti kebangsaan itu, dilarang agama Islam.”13 Masuk parti Nasional berarti meninggalkan Islam, sebab jelas dasar-dasar nasionalismenya bertentangan dengan agama Islam dan merupakan suatu dosa, karena sekurang-kurangnya pergerakan itu menuju kepada membuang undang-undang Allah dan RasulNya dan menggantikan dengan hukum-hukum bikinan manusia, sebagaimana telah nyata dalam theori dan praktik mereka.14 Dalam pandangan Hassan, paham nasionalisme cenderung kepada chauvinistik. Hal ini dilarang oleh Islam, karena praktik itu akan menjadi dinding pemisah antara sesama umat Islam (yakni antara umat Islam di Indonesia dan umat Islam di belahan dunia lainnya). Akhirnya ia juga memandang bahwa kelompok nasionalis “sudah tentu, tidak akan menjalankan hukum-hukum Islam, karena kelompok itu perlu netral pada agama, yaitu tidak boleh mengambil satu agama yang tertentu buat dijadikan asas kumpulannya atau asas pemerintahannya kelak.”15 Respon kelompok Islam terhadap kaum nasionalis ini merupakan awal munculnya gerakan Islam untuk mengusung Syariat Islam ke dalam negara. Pemikiran ini semakin mengguat setelah munculnya Muhammad Natsir, murid Ahmad Hassan yang berpendidikan Barat, di pentas politik ketika itu. Pada saat itu perdebatannya tidak sebatas religio-idiologis mengenai watak nasionalisme Indonesia, melainkan mengembang ke dalam tema yang lebih besar lagi, yaitu mengenai apa yang disebut negara Indonesia merdeka dan modern yang dicitacitakan. Seperti gurunya, Natsir juga menghawatirkan bergulirnya faham nasionalisme Soekarno menjadi bentuk ashabiyah baru. Faham itu, dalam pandangannya, dapat berujutng kepada fanatisme yang dapat memutuskan tali ukhuwah yang mengikat seluruh umat Islam di pelbagai bangsa.16 Dalam pandangan Natsir, nasionalisme harus memiliki landasan teologis, yaitu harus didasarkan kepada niat yang suci, ilahiah dan melampaui hal-hal yang bersifat material. Karena itu sebagaimana Agus Salim, ia menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia harus diarahkan dan diniatkan sebagai bagian dari pengabdian yang tinggi kepada Allah. Dalam salah satutulisannya di Pembela Islam, sebuah jurnal keagamaan yang diterbitkan oleh Persis, ia menulis: 12
Philiph K. Hitti, History of the Arabs, (London: Macmilan and Co. Ltd., 1960), h.
27. 13
Dikutip dari Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement ini Indonesia…, h. 280. Ahmad Hassan, Islam dan Kebangsaan, (Bangil: Lajnah Penerbitan Pesantren Persis, 1984), h. 24. 15 Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement ini Indonesia..., h. 259. 16 Ibid., h. 276 14
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
5 “Kalau begitu, baik dari sekarang, kita berpahit-pahit. Sebab tak sama arah dan tujuan kita! Tuan mencari kemerdekaan Indonesia untuk bangsa Indonesia, karena Ibu Indonesia. Kami mencari kemerdekaan karena Allah untuk keselamatan segenap penduduk kepulauan Indonesia ini.”17 Dalam pandangan Natsir kaum nasionalis sekular tidak memiliki kepedualian terhadap Islam. Mereka hanya menghendaki kemerdekaan bangsa. Bagi umat Islam itu belum cukup, sebab “umat Islam harus terus berjuang tanpa henti selama (negeri) belum berdasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam.”18 Natsir sangat mempercayai watak holistik Islam. Ia berpandangan bahwa “Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia itu adalah suatu kebudayaan yang lengkap.”19 Perjuangan kalangan nasionalis Islam ini merupakan embrio perjuangan kalangan Islam dalam upayanya menarik Islam ke dalam negara. Bahkan pada tahun pada tahun 1937, perjuangan kalangan Islam kembali melalui jalur formal, yaitu dengan dibentuknya MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) yang dimotori oleh KH. Mas Mansur (Muhammadiyah), K.H. Abdulwahab Chasbullah (NU), dan KH. Ahmad Dachlan (non-partai). Kemunculan MIAI, menurut Ahmad Syafi’I Ma’arif dilatari oleh dua hal: Pertama, usaha-usaha politik Islam pada waktu itu masih belum mantap seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu, persatuan umat amat diperlukan dalam menghadapi kaum kolonial, atau dalam ungkapan Soekiman Wirjosandjojo, sebagaimana dikutip Syafii Ma’arif, “Maksud pertama dengan mengadakan persatuan di kalangan Islam ialah mengikhtiarkan agar kedudukan (posisi) Islamdi Indonesia sedemikian hingga boleh disebut sepadan dengan pentingnya agama dan besarnya jumlah umat Islam di sini. Kedua, adalah landasan spiritual dari seluruh bentuk persatuan umat, panggilan Al-Qur’an dalam Ali Imran: 103 yang mendesak agar umat Islam jangan bertikai.20 Namun demikian, MIAI tidak terlalu lama berdiri, karena ketika Jepang masuk menjajah Indonesia, sungguh pun pada awanya MIAI dibiarkan, kemudian MIAI dicurigai sebagai partai yang akan melawan pendudukan Jepang, sehingga akhirnya MIAI dibubarkan pada tahun 1943. Sebagai gantinya, Jepang membentuk badan baru yang dinamakan Majelis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI). Sebagaimana MIAI, Masyumi juga disokong Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Tetapi bagaimana peran Masyumi dalam memperjuangkan Islam pada masa pendudukan Jepang, menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif kurang jelas, sebab 17
Pembela Islam, No. 41, Januari 1932. Dikutip dari Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement ini Indonesia..., h. 263. 18 Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement ini Indonesia..., h. 281. 19 Mohammad Natsir, Islam dan Kebudayaan, Capita Selecta, h. 15, seperti dikutip Bahtiar Effendi dalam Islam dan Negara..., h. 80. 20 Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik..., h. 16-17.
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
6 menurutnya, “posisi umat Islam pada waktu itu tidak terlalu pasti dan sulit.”21 Bahkan polemik antara Natsir dan Soekarno mengenai Islam dan negara pun terhenti sementara. Hal ini barangkali disebabkan pemerintah kolonial Jepang banyak mengakomodasi kepentingan Islam, seperti dibentuknya Kantor Urusan Agama (Shumubu)22, pembentukkan Masyumi, dan pembentukkan Hizbullah, organisasi militer untuk para pemuda muslim.23 Baru setelah Jepang memberikan sinyal bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan, bahkan untuk itu Jepang mendorong berdirinya lembaga Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepangnya “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai”, kelompok Islam kembali menguatkan perjuangannya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Apalagi saat itu, dukungan pemerintah kolonial Jepang terhadap kelompok Islam sudah mengendur dan beralih mendukung kelompok nasionalis sekular. Terbukti perimbangan anggota yang duduk dalam BPUPKI lebih banyak kaum nasionalis daripada kelompok Islam. Perimbangannya kelompok Islam 15 orang sedang kelompok nasionalis berjumlah 47 orang. Kelompok Islam yang saat itu di antaranya diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Nuzakir, Abi Kusno Tjokrosujoso dan Wahid Hasyim, pada intinya berpandangan bahwa karena posisi Islam di Indonesia begitu mengakar, maka negara harus di dasarkan kepada Islam.24 Perjuangan kalangan Islam dalam menolak gagasan kaum nasionalis semakin gencar dalam pertemuan-pertemuan yang berlangsung antara akhir Mei hingga pertengahan Agustus 1945. Bahkan karena kuatnya perjuangan kalangan Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, dibentuklah panitia kecil untuk menjembatani dua pendapat yang berkembang itu. Mereka adalah Soekarno, Hatta, Achmad Sobardjo, Muhammad yamin, Abikusno Tjokrosurojo, A. Kahar Muzaakir, Agus Salim, A. Wahid hasyim dan A.A. Maramis. Perimbangan kekuatan kalangan Islam dan nasionalis adalah 4: 5. Perimbangan ini lebih representatip daripada yang terjadi di BPUPKI. Sehingga kekuatan politik Islam saat itu cukup memiliki daya tawar. Sebagai buktinya adalah, panitia kecil ini pada tanggal 22 Juni 1945 menyusun sebuah kesepakatan bersama yang di kenal dengan Piagam Jakarta. Pada intinya piagam ini mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan sila ketuhanan dilengkapi hingga menjadi “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Piagam Jakarta ini merupakan keberhasilan umat Islam terbesar dalam memperjuangkan agar Islam dapat masuk ke dalam negara pada saat itu. 21
Ibid., h. 23. Kantor Urusan Agama merupakan cikal bakal berdirinya Departemen Agama. (B.J. Bolland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff), 1971, h. 106. 23 Ibid., h. 9. 24 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara..., h. 85. 22
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
7
2. Masa Pasca Kemerdekaan a. Periode 1945-1966 Kegembiraan umat Islam atas diterimanya aspirasi umat Islam dalam sidang panitia kecil yang diketuai oleh Soekarno, ternyata tidak berlangsung lama. Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta hanya bertahan selama 57 hari. Anak pengiring yang terdiri dari tujuh kata atau delapan perkataan di atas dirasakan oleh sebagian oleh sebagian bangsa kita di belahan Timur sebagai diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi persatuan bangsa, akhirnya anak kalimat itu pada tanggal 18 Agustus 1945 dibuang dari pembukaan UUD 1945.25 Dikisahkan bahwa seorang pejabat angkatan laut Jepang datang ke Hatta dan melaporkan bahwa orang-orang Kristen (yang sebagian besarnya berdomisili di wilayah timur Nusantara) tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia kecuali jika beberapa unsur dari Piagam Jakarta (yakni kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya, Islam sebagai agama negara, dan persyaratan bahwa Presiden harus seorang Muslim) dihapuskan. Mereka meyadari bahwa penerapan Piagam Jakarta tidak akan mengancam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan politik mereka. Meskipun demikian, dalam pandangan mereka, kerangka konstitusional semacam itu akan mengundang diambilnya langkah-langkah yang diskriminatif.26 Atas pertimbangan itu, para pendiri republik ini dipaksa untuk kembali melakukan tugas melelahkan dalam rangka memodifikasi dasar ideologi dan konstitusi negara. Dalam upaya ini, Hatta menyarankan agar dibuat penyesuaian-penyesuaian tertentu untuk menjamin kesatuan negara nasional Indonesia. Dan karena didorong oleh desakan Hatta, kelompok Islam (diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Muhammad Hassan), bersepakat untuk menghapus unsur-unsur legalistik/formalistik Islam, terutama pencabutan “butir-butir mengenai Islam sebagai agama resmi negara, persyaratan bahwa preseden harus seorang Muslim dan ‘kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’….27 Sementara itu, sebagai gantinya, unsur teologi monoteistik dimasukkan ke dalam sila 25
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik..., h. 29 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta; Pustaka Utama Gratifi, 1987), h.40. Lihat juga, Muhammad Hatta, Sekitar Proklamasi, (Jakarta; Tintamas, 1969), hh. 57-59. 27 B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, h. 36. Lihat juga Endang Saifuddin Anshari, The Jakarta Charter 1945,h. 30; Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, h. 40-41. 26
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
8 pertama dalam Pancasila. Dengan demikian, sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Namun demikian pendeknya umur Piagam Jakarta tidak mengendorkan semangat kalangan Islam dalam memperjuangkan aspirasi umat. Malah justru kejadian ini berimbas kepada tumbuhnya kesadaran di kalangan Islam untuk bersatu memperjuangkan politik Islam. Persatuan ini ditandai dengan didirikannya partai Masyumi, tetapi bukan Masyumi bentukan Jepang pada tahun 1943. Masyumi yang berdiri pada tahun 7-8 Nopember 1945 sepenuhnya meruapakan hasil karya pemimpin umat Islam dalam sebuah kongres bertempat di gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Pada saat itu seluruh oraganisasi keislaman mendukung Masyumi, seperti NU dan Muhammadiyah. Masyumi baru ini memiliki tujuan yang lebih jelas, dibandingkan Masyumi yang di bentuk Jepang, yaitu menginginkan terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang perorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia.28 Perjuangan penegakkan ajaran Islam yang ditempuh Masumi melalui perjuangan formal di dalam parlemen. Namun demikian, perjuangan Masyumi ini masih mempertimbangkan aspek pluralisme bangsa. Dalam perjalanan sejarahnya, orang memang tidak meragukan kejujuran Masyumi dalam membela dan memepertahankan prinsip-prinsip demokrasi dalam suatu pluralisme idiologi, sekalipun umat Islam secara kuantitatif merupakan mayoritas mutlak dari penduduk Indonesia.29 Sementara itu, menyusul diserahkannya kekuasaan oleh pihak Belanda kepada Republik Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai memperlihatkan kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional. Hal ini nampak dari besarnya dukungan umat Islam di Indonesia terfadap Masyumi. Dalam hal ini, Herbert Feith memberi kesaksian, bahwa “dalam pemilihan umum tingkat regional yang diselenggarakan di beberapa wilayah di Jawa pada 1946, dan dalam pemilihan umum yang diamati secara teliti di wilayah tertentu di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1951, Masyumi memperoleh mayoritas mutlak suara atau paling tidak lebih banyak dibanding kontestan lain manapun”. Karenanya,”Masyumi pada umumnya diharapkan tampil sebagai partai terkuat dalam pemilihan umum tingkat nasional…..”30 Untuk memberi gambaran lebih jauh mengenai posisi politik kelompok Islam yang semakin kuat pada masa pasca revolusi ini, beberapa catatan historis berikut tampaknya relevan dikemukakan di 28
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik..., h. 33. Ibid., h. 35. 30 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1962), h. 274-275. 29
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
9 sini. Pertama, pada Agustus 1950, partai-partai politik di Indonesia telah mengalami penyegaran kembali dan “pulih dari kelesuan pada 1949”. Dalam parlemen yang baru dibentuk dengan jumlah keseluruhan anggota 236 orang, Masyumi tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki 49 kursi. Namun demikian, karena banyaknya partai, organisasi dan asosiasi yang diwakili dalam parlemen (tidak kurang dari 22), bersama PSII, kelompok Islam hanya memperoleh 54 kursi (23%). Kedua, dalam beberapa kesempatan, Masyumi diminta untuk membentuk dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di bawah sistem demokrasi konstitusional (1950-1957), tiga kabinet dipercayakan kepemimpinannya kepada Masyumi (Kabinet Natsir pada 1950-1951; Kabinet Sukiman pada 1951-1952; dan Kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956). Selain itu, ketika Partai Nasionalis Indonesia (PNI) diberi mandat untuk membentuk pemerintahan, baik Masyumi maupun NU (yang memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi organisasi politik tersendiri pada 1952), berperan sebagai pasangan koalisi yang utama. Tarakhir, hasil pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada September 1955 menunjukkan, kelompok Islam (kali ini terdiri dari Masyumi, NU, PSII dan Perti) menguasai 114 dari 257 kursi (43,5% suara) dalam parlemen.31 Bahkan mulai tahun 1953, setelah terhentinya perdebatan ideologis sejak tahun 1946, Masyumi tampil kembali membentengi idealisme kaum nasionalis yang berusaha membakukan “Pancasila” sebagai “dasar negara” dengan alasan demi persatuan dan kesatuan bangsa.32 Mulai saat itu, perjuangan untuk menegakkan Islam sebagai dasar negara muncul kembali selama masa kampanye pemilihan umum 1955. Masyumi secara konsisten tetap mengajukan gagasan mengenai Islam sebagai idiologi negara. Hal ini bahkan menjadi ajang perdebatan selama sidang-sidang konstituante antara tahun 1956-1959.33 Perdebatan mengenai Islam dan Negara dalam kurun waktu itu lebih bervariatif, karena kelompok Islam sendiri tidak hanya diwakili oleh Masyumi, melainkan juga oleh partai-partai yang sudah keluar dari Masyumi, seperti NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Kelompok Islam ini secara gigih 31
Ibid., h. 122-128,145-155, dan 434-435. Pada tanggal 27 Januari 1953, Soekarno berpidato di Amuntai (terletak di sebelah selatan Kalimantan yang komunitas Muslimnya sangat kuat) mentakan, “Jika kita mendirikan negara yang didasarkan atas Islam, beberapa wilayah yang penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kai, dan Sulawesi akan melepaskan diri. Dan Irian Barat yang belum menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia, tidak akan mau menjadi bagian dari Republik.” (Bahtiar Effendi, Islam dan Negara., h. 103). 33 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), h. 25-97. 32
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
10 melawan kelompok nasionalis sekular yang sangat berhasrat negeri ini berdasarkan Pancasila, bukan Islam. Keberatan tokoh-tokoh Islam ketika itu ialah pada sila pertama, “Ketuhanan Yang Mahaesa.” Sila pertama ini sungguhpun ada nilai-nilai religinya, namun masih dipandang oleh kelompok Islam sebagai sesuatu yang “kosong”, sebagaimana kata KH. Masjkur, sebagai berikut: “Pancasila adalah rumusan yang kosong, masih membutuhkan isi. Pancasila akan menjadi perwujudan menurut orang yang mengisinya. Kalau andaikata “Ketuhanan Yang Mahaesa” yang tercantum pada sila pertama di dalam Pancasila itu diisi orang atau golongan yang mengakui bahwa Tuhan itu adalah batu, maka Ketuhanan Yang Mahaesa itu akan berisi batu. Kalau diisi oleh orang yang mempertuhankan pohoh, Ketuhanan dalam Pancasila itu akan berisi “ketuahanan” pohon.” 34 Bagi tokoh-tokoh Islam, Pancasila bukanlah idiologi yang baik, karena dapat ditafsirkan menurut selera masing-masing orang. Maka hal itu dipandang tidak cocok bila diberlakukan bagi umat Islam, karena umat Islam sudah memiliki pandangan hidup yang tegas, terang dan lengkap.35 Sesungguhnya pada akhirnya kelompok-kelompok Islam dapat menerima Pancasila, tetapi Pancasila ala Piagam Jakarta.36 Namun demikian kelompok nasionalis sekuler berusaha sekuat tenaga agar kemauan kelompokkelompok Islam itu tidak terujud. Suasana seperti ini, tentu saja, menjadikan sidang-sidang konstituante buntu. Hal ini mendorong Soekarno yang didukung tentara untuk mengeluarkan dekrit yang menyatakan kembali ke UUD 1945. Akhirnya Soekarno pun mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, yang isinya seruan pemerintah untuk kembali kepada “Undang-undang Dasar 1945”. Dengan adanya dekrit tersebut, maka keinginan kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara atau paling tidak mengangkat kembali Piagam Jakarta kandas. Bahkan menurut Bahtiar Effendi, secara simbolik umat Islam terkalahkan.37 Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini, kekuatan Islam tersibak menjadi dua kekuatan. Kekuatan Islam yang tergabung dalam Liga Muslimin, yang terdiri dari NU, PSII, dan Perti) mulai mengendorkan sikapnya terhadap politik Soekarno. Namun Masyumi memilih jalam martir ketimbang menyerah. Partai ini tetap menjadi partai yang terus mengkritisi kebijakan Soekarno serta terus konsisten untuk memperjuangkan aspirasi-aspirasi umat Islam. Bahkan dalam pandangan Masyumi, keikutsertaan dalam sistem politik otoriter sebagai 34
Ibid., h. 74 Ibid., h. 75 36 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik…., h. 51. 37 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara..., h. 110. 35
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
11 penyimpangan dari Islam.38 Atas sikap kerasnya Masyumi, Soekarno mengatakan bahwa Masyumi adalah kelompok “kepala batu”. 39 Dan Akhirnya, dengan alasan bahwa beberapa pemimpin utamanya (seperti Muhammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara) ikut pemberontakan PRRI, Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960. Dengan dibubarkannya, Masyumi maka seakan-akan kekuatan politik Islam telah hilang sama sekali. Bahkan umat Islam harus menerima kenyataan pahit, karena justru setelah Masyumi dibubarkan, banyak tokoh-tokoh Masyumi, yang nota bene juga pemimpin umat ketika itu, dipenjarakan oleh rezim Soekarno. b. Masa Orde Baru (1966-1998) Tumbangnya rezim Soekarno disambut dengan penuh harapan oleh kalangan Islam yang mencita-citakan tegaknya Syariat Islam di Indonesia, setelah pada masa akhir Orde Lama kekuatan ini sangat tertekan. Kesempatan itu digunakan para pemimpin Masyumi untuk merehabilitasi partai Masyumi. Namun harapan itupun hanya impian, karena ternyata rezim Orde baru tidak memberikan tempat untuk bangkitnya kekuatan Islam. Sungguhpun dukungan terhadap rehabilitasi Masyumi ketika itu sangat kuat, tetapi ternyata ABRI dan pemerintah takut dengan kebangkitan politik Islam baru.40 Maka dengan dalih untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, militer justru mengeluarkan ultimatum akan menindak dengan tegas siapa saja, dari kelompok mana saja, dan dari aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.41 Pernyataan yang keluar dari kalangan militer tersebut menutup harapan kalangan modernis Islam yang ingin membangkitkan kembali Masyumi. Namun perlu dicatat, bahwa tanggapan negatif pemerintah terhadap Masyumi saat itu, bukan sikap general pemerintah dalam menyikapi partai politik Islam. Pemerintah saat itu juga memiliki pemikiran, bahwa membiarkan kekuatan politik Islam tanpa wadah juga berbahaya, karena dapat menimbulkan ektrimisme politik yang membahayakan. Maka pemerintah pun mengizinkan didirikannya partai baru sebagai wadah para konstituen Masyumi. Sebab, sungguhpun saat itu sudah ada Partai Islam, yaitu NU, Perti, dan SI, dua yang pertama berorientasi tradisional, sedang yang terakhir kurang dikenal masyarakat. Dengan demikian pertimbangan politisnya adalah; (1) menjadi wadah politik resmi bagi muslim modernis. Wadah ini diperlukan supaya aspirasi mereka tidak disalurkan secara
38
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik.., h. 53. Ibid., h. 54. 40 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), cet. I, h. 33. 41 Allan Samson, “Islam in Indonesia Politik”, Asian Survey, No. 12 Vol. VII, Desember 1968, h. 1005, seperti dikutip Bahtiar Effendi, Islam dan Politik..., h. 112. 39
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
12 inkonstitusional; dan (2) menyeimbangkan komposisi kekuatan partai politik. Utamanya PNI, NU, PSI dan Perti bukanlah lawan yang seimbang.42 Kemudian didirikanlah Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada tanggal 30 Februari 1968 oleh Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua aktivis Muhammadiyah. Sungguhpun sebuah partai Islam telah terbentuk, namun para pemimpin Islam masih belum lega hati, karena ternyata pemerintahan orde baru tidak memberikan kebebasan mutlak kepada partai Islam ini. Terbukti dengan adanya pelarangan keterlibatan senior partai Masyumi dalam kepengurusan Parmusi. Tetapi sungguhpun Parmusi sudah terbentuk sebagai partai yang mewadahi sebagian besar aspirasi umat Islam, perjuangan Parmusi untuk kembali mengusung Syariat Islam ke dalam negara menemui kendala yang cukup besar. Karena sikap Orde Baru yang tegas akan mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini semakin jelas ketika pemerintahan Orde Baru menolak tuntutan kelompok Islam; 1) agar Piagam Jakarta dilegislasikan kembali pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1968, 2) dilangsungkannya kongres umat Islam pada tahun yang sama.43 Ketika itu, Umat Islam pun masih menaruh harapan terhadap pelaksanaan pemilu 1971. Karena bila dalam pemilu tersebut umat Islam meraih suara mayoritas, maka tentu saja semua agenda umat Islam akan mudah diakomodasi oleh negara. Namun ternyata, pemilu 1971 menghasilkan suara yang tidak menggembirakan, terutama bagi kalangan modernis. Parmusi, yang muncul sebagai pengganti Masyumi hanya mengantongi 5,36%, sementara PSII dan Perti kehilangan dukungan. Hanya NU yang memperoleh suara cukup signifikan, yaitu 18,67%.44 Maka praktis saja, perjuangan politik umat Islam untuk menegakkan syariat Islam semakin jauh dari harapan. Sementara NU yang memperoleh suara cukup baik, mempunyai cara tersendiri dalam memperjuangkan Islam yang sangat berbeda dengan cara-cara kalangan modernis. Pun, ternyata pemerintahan Orde Baru risau melihat NU mendapatkan suara besar dan diangapnya sebagai ancaman. Maka dengan berbagai upaya pemerintah Orde Baru menghalang-halangi kebesaran NU dengan berbagai kebijakan. Yang paling kasat mata ada kebijakan penggabungan partai-partai, hanya menjadi tiga partai besar, yaitu PPP, PDI dan GOLKAR. Penggabungan beberapa partai dalam satu partai, jelas mengandung resiko akan terjadinya perpecahan di dalam tubuh partai-partai tersebut. Dan nampaknya ini yang diharapkan oleh pemerintah Orde Baru. Benar adanya, pada saat itu alih-alih PPP berkonsentrasi memperjuangakan aspirsai umat Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, justru terjadi perpecahan hebat di 42
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 246 43 Allan Samson, “Islam in Indonesian Politics”, h. 1012-1013. 44 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara.., h. 118.
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
13 kalangan elit partai di tubuh PPP. Pada saat itu terjadi persaingan yang keras antara orang-orang NU dan MI (Muslimin Indonesia), lebih-lebih pada saat PPP dipimpin oleh DR. H.j. Naro. Pada periode inilah NU dicabik-cabik, dipinggirkan dan diminimalisasi perannya.45 Inilah kemudian yang mendorong NU keluar dari PPP, dan menyatakan dirinya sebagai oraganisasi non politik. Inilah era di mana kekuatan Islam mulai secara tegas memperjuangkan Islam dengan caranya masing-masing. Hampir seluruh kebijakan pemerintah Orde baru dalam kurun waktu dasawarsa 70-an-80-an tidak ada yang menguntungkan umat Islam. Bahkan sampai pada tingkat kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kemasyarakatan sekalipun, seperti dilegalkannya perjudian di DKI Jakarta pada masa Ali Sadikin, RUU Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan hukum Islam pada tahun 1973, dan dinaikkannya status aliran kepercayaan seperti agama-agama pada umumnya.46 Serangan yang paling telak, ialah tekanan terhadap politik Islam oleh rezim Orde Baru nampaknya tidak selesai pada kebijakan yang menekan berkembangnya partai-partai Islam, tetapi juga pada kebijakan idiologis. Sejalan dengan upaya pemerintah untuk melestarikan Pancasila, mulai tahun 1982 pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa Pancasila adalah satu-satunya idiologi bagi seluruh kekuatan sosial politik.47 Kebijakan pemerintah tersebut kemudian diperkuat oleh undang-undang, yaitu UU No. 3/1985. Akibat kebijakan tersebut seluruh kekuatan sosial dan politik Islam terpaksa mengganti asasnya, dari berasaskan Islam menjadi berasaskan Pancasila, seperti PPP, NU, Muhammadiyah dan lain-lain. Perkembangan itu sangat mengecewakan sebagian besar masyarakat muslim Indonesia. Maka dapat dipahami jika banyak dari mereka yang melihat politik pengasastunggalan Pancasila sebagai upaya lebih jauh yang sengaja diambil oleh pemerintah untuk melakukan depolitisasi Islam. Berdasarkan kenyataan itu, tidaklah mengejutkan bila oposisi terhadap pemerintah Orde Baru kerap kali muncul dari para pemimpin dan aktivis Islam politik. Bahkan oposisi tersebut, karena tidak memiliki saluran yang konstitusional, melalui jalur-jalur yang inkonstitusional, bahkan cenderung kepada radikalisme. Pada tahun 1978, seorang tak dikenal bernama Warman mengangkat dirinya sebagai pewaris semangat Kartosuwirjo, pemimpin gerakan DI di Jawa Barat yang dihukum mati pada tahun 1962, yang didukung oleh pengikutnya yang benar-benar radikal, gerakan Warman menyetujui diambilnya langkah45
Asmawi, PKB Jendela Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), cet
I, h. 17 46
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara..., h. 119-121, Presiden Soeharto, Amanat Kenegaraan IV 1982-1985, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985), h. 11. 47
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
14 langkah kekerasan.48 Pada tahun 1981, seorang anak muda bernama Imran Muhammad Zein muncul mengobarkan semangat revolusi Islam di Indonesia. Diberitakan, kegiatan-kegiatannya termasuk konfrontasi fisik dengan jajaran militer setempat (Cicendo, Jawa Barat) dan pembajakan pesawat penerbangan domestik (Garuda Woyla).49 Pada tahun 80-an, terjadilah serentetas aksi kekerasan yang diasosiasikan dengan aktivisme Islam, seperti peledakan BCA (Bank Central Asia) di Jakarta, pemboman Borobudur di Jawa Tengah, dan lainnya. Yang paling mengerikan adalah insiden berdarah di Tanjung Priok pada tanggal 12 September 1984, yang menewaskan ratusan umat Islam di tangan militer dan beberapa tokoh Islam dipenjara, seperti AM. Fatwa dan H.R. Dharsono. Yang pertama adalah mubalig terkenal ketika itu dan yang kedua adalah mantan komandan Siliwangi Jawa Barat.50 Atas peristiwa-peristiwa di atas, alih-alih umat Islam dapat memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta, untuk mengekspresikan politik Islam secara terbuka saja sangat sulit dan apapun yang bersimbolkan Islam dicurigai dan berujung diberangus. Pada saat itu, umat Islam benar-benar dalam posisi yang tersudutkan. Demikian represipnya rezim Orde baru terhadap seluruh kegiatan Umat Islam membuat masing-masing kelompok umat Islam mengubah strategi perjuangannya. Bahkan hal ini mendorong kelompok-kelompok intelektual Islam merefleksikan pemikirannya untuk mencari jalan keluar di tengah kebuntuan aktivisme keislaman. Maka kemudian ada kemlompok Islam yang memilih turut dalam rezim tetapi tidak membawa siombolisme Islam dan ada juga yang menggunakan strategi Islam kultural, yaitu pada jalur non politik. Kebersertaan umat Islam dalam rezim Orde Baru sebenarnya bukan hal yang asing, karena sesungguhnya mayoritas pejabat rezim Orde baru beragama Islam. Tetapi yang dimaksud umat Islam di sini adalah umat Islam yang memiliki hubungan dengan asprasi umat Islam. Sehingga ketika yang bersangkutan ada di dalam pemerintahan sedikit banyaknya, ia turut memperjuangkan aspirasi-aspirasi umat Islam. Sejalan dengan mulai akomodatifnya pemerintahan Orde Baru terhadap umat Islam, orang-orang dalam kategori ini jumlahnya sangat signifikan. Perjuangan umat Islam yang berada di dalam pemerintahan saat itu, didukung oleh organisasi-oraganisasi massa Islam, seperti NU dan Muhammadiyah. Maka sangat nyata telah menghasilkan buah politik yang menguntungkan umat Islam, yang setelah dua dekade (70-an dan 80-an) selalu dipojokkan.
48
“Dari Syak Wasangka dan Sengketa”, Tempo, 6 Juli 1991, h. 92. Ibid. 50 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru..., h. 74-75. 49
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
15 Di antara hasil-hasil perjuangan itu mulai nampaknya kebijakankebijakan pemerintah yang mendukung umat Islam, di antaranya pemerintah mengesahkan RUU Pendidikan Nasional. RUU ini diajukan oleh pemerintah pada tanggal 23 Mei 1988 melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Fuad Hassan. Lewat loby yang intensif, khususnya oleh MUI dan Muhammadiyah, barulah Undang-undang Pendidikan baru, yang diberlakukan pada Maret 1989, mengakui secara eksplisit peran pengajaran agama pada semua tingkat pendidikan.51 Selain itu, disetujui pula untuk dimasukkan kedalam penjelasan bahwa apabila di sekolah-sekolah swasta terdapat sekurangkurangnya 10 persen anak didik yang memeluk agama lain dari agama yang dianut oleh penyelenggara sekolah swasta bersangkutan, penyelenggara diwajibkan menyediakan guru agama yang dipeluk oleh anak didik penganut agama lain tersebut. Guru agama itu bertugas memberikan pendidikan agama kepada anak didik yang beragama lain. Ditentukan pula bahwa guru agama yang memberikan pendidikan agama wajib beragama sesuai dengan pendidikan agama yang diberikannya.52 Masalah pendidikan nasional memang pernah menjadi perdebatan serius dalam SU MPR 1973 dan 1978. Pada SU MPR 1973, persoalan ini tidak dibicarakan lebih lanjut karena adanya pertentangan tajam antara Fraksi Karya Pembangunan (FKP) yang mengusulkan penghapusan pendidikan agama di sekolah-sekolah dan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) yang justru mewajibkannya. Dalam SU MPR 1978, usulan FPP untuk memasukkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib di sekolah-sekolah dan lembaga pesantren dalam GBHN gagal melalui voting di Komisi A.53 UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional mempunyai arti penting bagi Umat Islam, karena dengan Undang-undang tersebut: 1) 2) 3)
Mengakui bahwa pendidikan agama merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional. Mengukuhkan bahwa pendidikan agama merupakan mata wajib di sekolahsekolah umum; SD, SMTP, SMTA dan Perguruan Tinggi. Menjamin bahwa untuk mata pelajaran agama, tenaga pengajarnya haruslah yang seagama dengan peserta didiknya. Ketentuan ini sangat penting, karena banyak siswa Muslim yang bersekolah di sekolah-sekolah Kristen/Katolik dibandingkan sebaliknya. Selain itu menghindari menjadikan lembaga pendidikan sebagai Kristenisasi.
51
Ibid., h. 281. Hartono Mardjono, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik, dan Lembaga Negara, h. 46-47. 53 Abdul Aziz Thaha Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru., h. 279. 52
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
16 4)
1)
2) 3) 4) 5)
Menjamin eksistensi lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti MI, MTs, MA dan Institut-institut Agama Islam.54 Setelah itu, RUU Peradilan Agama berhasil disahkan dalam DPR dan diundangkan menjadi Undang-undang nomor 7 Tahun 1989. Hal ini tidak terlepas dari upaya keras pemerintah melalui Menteri Agama untuk meyakinkan para pengkritik RUU Peradilan Agama. Dengan berhasil diundangkannya RUU PA, maka beberapa kemajuan untuk kepentingan Islam dapat dicatat. Peradilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimantan sebelah barat dan timur diutuhkan kembali wewenangnya untuk juga menangani pembagian waris bagi umat Islam seperti halnya Peradilan Agama di wilayah Indonesia yang lain. Keputusan Peradilan Agama sifatnya final, tidak perlu dikukuhkan lagi oleh Peradilan Umum. Eksekusi keputusannya dilakukan Peradilan Agama sendiri. Sehingga di Peradilan Agama diadakan jabatan juru sita. Hakim-hakim Peradilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sehingga statusnya sama dengan hakim-hakim lainnya. Jabatan hakim, panitera dan juru sita dalam Peradilan Agama hanya dapat diisi oleh orang-orang yang beragama Islam. Upaya Presiden Soeharto tahun 1985 membentuk Proyek Kompilasi Hukum Islam di Indonesia untuk menyeragamkan acuan hukum Islam untuk menjadi pegangan yang seragam bagi hakim-hakim agama di seluruh Indonesia. Tahun 1987 proyek ini berhasil menyusun tiga rancangan, yaitu perkawinan, waris, wakaf, infak, dan sedekah. Setelah disempurnakan, maka sesuai Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tertanggal 10 Juni 1991 secara resmi diperintahkan untuk memasyarakatkannya sebagai kompilasi hukum Islam.55 Pada tahun 1991, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam SK No. 100/Kep/D/1991, pemerintah mengeluarkan peraturan baru mengenai seragam pelajar. Keputusan itu memperbolehkan para pelajar putri (siswi) Muslim di lembaga pendidikan menengah untuk mengenakan jilbab ketika masuk ke sekolah.56 Sebelumnya Daoed Joesoef sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Peraturan Pemerintah No. 052/C/Kep/D.82, yang secara resmi diberlakukan tanggal 17 Maret 1982, melarang menggunakan pakaian muslimah (jilbab) di sekolahsekolah umum.57 Reakasi umat Islam terhadap sekolah-sekolah yang tidak membolehkan pemakaian jilbab di sekolah begitu besar. Bahkan, ada gugatan dari orang tua siswa yang diajukan ke 54
Ibid., h. 282. Ibid., h. 284-285. 56 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 291. 57 Abdul Aziz Thaha, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, h.278-279. 55
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
17 pengadilan akibat tindakan kepala sekolah yang mengeluarkan siswasiswa putrinya hanya karena memakai jilbab di sekolah.58 Pada perkembangan selanjutnya, pembentukan ICMI merupakan tonggak terpenting keberhasilan perjuangan umat Islam saat itu. Di mana pemerintah sangat antusias menyambut kehadiran ICMI. Dalam organisasi ini berkumpul tokoh-tokoh Islam yang berada di luar birokrasi dengan yang ada di dalam birokrasi. Sehingga ada yang menyebutnya sebagai aliansi cendekiawan muslim dengan birokrasi. Keberhasilan selanjutnya adalah dibentuknya Bank Muamalat tahun 1991. Inisiatif pembentukan bank yang berdasarkan pada syariat Islam pertama kali datang dari MUI. Tonggak pertamanya diadakan lokakarya di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990 dengan tema “Masalah Bunga Bank dan Perbankan”. Prakarsa ini kemudian dimatangkan dalam Munas MUI 22-24 Agustus 1990. Hasilnya, dibentuk Tim Perbankan Kecil yang diketuai oleh Dr. Ir. M. Amin Aziz. MUI lalu melakukan loby kepada para menteri dan pejabat tinggi. Di antaranya dengan antusias mendukung adalah Menristek Habibie, yang juga Ketua Umum ICMI sehingga kerjasama antara keduanya pun terjalin. Kebetulan ICMI juga menunjuk Dr. Amin Aziz sebagai Ketua Tim Mobilisasi dana BMI. Hanya dalam waktu dua bulan setelah KH Hasan Basri menghadap Presiden tanggal 27 Agustus 1991 terkumpul dana sebesar 64,1 miliar, dengan Rp 3 miliar di antaranya sebagai dana awal yang diberikan Presiden Soeharto dari dana kas YABMP.59 Sejak awal, gagasan didirikannya Bank Islam didorong oleh motif-motif agama. Sebab secara keagamaan bank Islam dimaksudkan sebagai lembaga finansial alternatif bagi mereka yang karena keyakinannya, tidak ingin berhubungan atau melakukan transaksi finansial dengan bank-bank komersial umum yang menawarkan dan memungut bunga. Dalam hal ini, mereka beranggapan bahwa bunga merupakan salah satu bentuk riba yang dilarang dalam Islam. Secara ekonomis, bank Islam dirancang untuk membantu mengembangkan dan memobilisasi sumber-sumber ekonomi umat Islam Indonesia.60 Keberhasilan ini adalah berkat kerjasama umat Islam di semua lini, baik yang ada di dalam pemerintahan maupun yang berada dalam jalur oraganisasi masa. 58
Hartono Mardjono, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan, h.49. Abdul Aziz Thaha, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, h. 289. 60 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 306. 59
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
18 c. Masa Reformasi (1998 – Sekarang) Runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 membuka suasana baru yang lebih kondusif bagi berkembangnya pergerakan Islam. Karena pasca kejatuhan Soeharto beberapa peraturan yang membelenggu aktivisme Islam dicabut, seperti UU Keormasan yang di dalamnya mengatur asas tunggal dan UU Pemilu yang hanya melegeslasi adanya tiga partai peserta pemiu yaitu PPP, GOLKAR dan PDI. Dengan dicabutnya dua peraturan tersebut, praktis Indonesia memasuki era keterbukaan dalam bidang politik. Maka seketika itu pula, beberapa oraganisasi keislaman mengubah asasnya dari asas Pancasila menjadi asas Islam. Partaipartai Islam pun bermunculan laksana cendawan di musim penghujan. Bahkan corak-corak perjuangan aktivis Islam pun menampakkan jati diri masing-masing. Agenda-agenda lama yang terkubur pun berusaha dibangkitkan kembali oleh aktivis-aktivis Islam baik yang berada dalam partai politik maupun organisasi sosial keagamaan, seperti 1) perjuangan membangkitkan kembali Piagam Jakarta, 2) Penerapan Syariat Islam, 3) Mendirikan Negara Islam. 1)
Perjuangan Membangkitkan Kembali Piagam Jakarta Perdebatan mengenai Piagam Jakarta kembali terjadi dalam forum resmi sidang Sidang Tahunan (ST) MPR tahun 2000. Adanya perdebatan ini dimungkinkan karena sebelumnya dalam Sidang Umum MPR 1999 telah memutuskan untuk menugaskan kepada Bapada Pekerja MPR untuk melanjutkan pembahasan tentang Amandemen UUD 1945. Kesempatan ini digunakan dua fraksi Islam untuk kembali memperjuangkan diberlakukannya Piagam Jakarta. Dua fraksi tersebut yaitu FPP (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan) dan FPBB (Fraksi Partai Bulan Bintang). Kedua fraksi ini memandang diberlakukannya Piagam Jakarta sebagai konsekuensi logis mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam.61 Dukungan kepada Piagam Jakarta juga dilakukan melalui aksi unjuk rasa (demonstrasi), seperti dilakukan Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan. KPPSI Sulsel menuntut Pasal 29 UUD 1945 diubah. Kalau tidak KPPSI akan memberlakukan Syariat Islam di Sulawesi Selatan. “Itu adalah hak historis dan Sosiologis yang tak terbantahkan,” ujar juru bicara 61
Hadimulyo dalam artikelnya “Islamophobia” di harian Republika, 15 Agustus 2000.
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
19 KPPSI Sulawesi Selatan Iswari Al-Farisi.62 Sumber lain yakni Jurnal Sidang Tahunan MPR 2000 yang diterbitkan Sekretariat Jenderal MPR melaporkan, bahwa hak historis dan sosiologis yang disebut juru bicara KPPSI itu, karena sejak pra kemerdekaan, Islam telah tumbuh dan berkembang sebagai ajaran yang mengatur peri kehidupan masyarakat, bahkan menjadi agama kerajaan. Fakta sejarah ini hingga kini masih terasa dan tumbuh mengkristal pada masyarakat Sulsel.63 Beberapa organisasi Islam lainnya turut memperjuangkan agar Piagam Jakarta diberlakukan kembali ialah Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia PPMI), Front Mahasiswa Islam (FMI), Gema Persatuan Islam Tionghoa Islam (PITI), Himpunan Aksi Mahasiswa Muslim Antar Kampus (HAMMAS), Gerakan Reformis Islam (GARIS), Lasykar Jihad Ansharullah, Front Hizbullah Jakarta dan Lasykar Ansharullah Maluku, Front Pembela Islam (FPI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam (KAMMI), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Pergerakan Islam Untuk Tanah Air (PINTAR), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), dan Ikatan Keluarga Muslim Internasional (IKMAL).64 Tetapi ternyata sungguhpun dukungan diberlakukannya kembali Piagam Jakarta sangat bersar, terutama melalui kekuatan ekstra parlementer, keinginan tersebut masih terjegal. Karena ternyata mayoritas fraksi MPR menolak diberlakukannya Piagam Jakarta. Hanya fraksi PPP dan PBB saja yang mendukung. Sejarah terulang lagi pada tahun pertama abad ke-21, di mana Piagam Jakarta kembali gagal diperjuangakan oleh kalangan pendukungnya. 2) Penerapan Syariat Islam Nampaknya ada sedikit perbedaan di kalangan aktivis Islam dalam penekanan perjuangan menegakkan Islam di Indonesia. Sebagian berpandangan, bahwa perjuangan mencantumkan kembali Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, bukan berarti memberlakukan syariat Islam di Indonesia, sebagaimana dikatakan Hadimulyo. Ia mengatakan, bahwa perbedaan pendapat yang menguat dalam amandemen UUD 1945, mestinya tidak ditafsirkan secara ortodoks. Menurutnya, “Artinya, pemberlakuan syariat Islam 62
GATRA, 19 Agustus 2000, h. 36. Sekretariat Jenderal MPR, Jurnal Sidang Tahunan MPR 2000, Nomor 05, Edisi 11 Agustus 2000, Jakarta, h. 28. 64 Umar Basalim, Pro Kontra piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002), h. 140-151. 63
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
20 kepada pemeluknya itu bukan seperti tafsir ortodoks, bahwa akan ada hukum potong tangan, hukum rajam yang selalu dilekatkan selama ini. Para pengusul amandemen hendaknya meyakinkan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa penambahan “tujuh kata” itu sama sekali bukanlah untuk mendirikan negara Islam.”65 Namun bagi sebagian lainnya, Piagam Jakarta adalah pintu untuk diberlakukannya Syariat Islam di Indonesia. Karena itu, ketidakberhasilan dalam memperjuangkan Piagam Jakarta untuk kembali masuk dalam konstitudi, harus disikapi dengan mencari jalan lain untuk mencari celah agar dapat diberlakukan Syariat Islam tanpa merubah terlebih dahulu konstitusi. Karena dalam pandangan mereka, umat Islam hanya dapat hidup dengan baik dan memberikan konstribusi yang menjadikan Indonesia jaya, bilamana syariat Islam dapat diberlakukan oleh kaum muslimin di negeri ini dengan sepenuhnya. Karena itu, kalangan pendukung Piagam Jakarta menggelingkan usul penerapan syariat Islam dalam kehidupan seharihari, serta melalui pemberlakuan syariat Islam secara lokal. Di tingkat masyarakat, beberapa perkembangan pasca ST MPR Tahun 2000 berkaitan dengan isu penegakan syariat Islam di Indonesia antara lain dapat diungkapkan sebagai berikut. Kongres I Mujahidin di Yogyakarta awal Agustus 2000 menjelang pelaksanaan ST MPR Tahun 2000 merupakan forum permusyawaratan beberapa elemen pendukung penerapan syariat Islam di tanah air. Mereka antara lain Lasykar Hizbullah, Brigade Hizbullah dan Front Pembela Islam. M. Harun, Koordinator Humas kongres itu menyebutkan bahwa Kongres I Mujahidin ini adalah kongres menegakkan syariat Islam di Indonesia. Lebih lanjut, Abu Bakar Ba’asyir, yang terpilih menjadi Ketua Ahlul Halli wal Aqdi semacam Dewan Penasehat Majelis Mujahidin menyerukan kepada para penguasa negeri ini untuk melaksanakan syariat Islam. Kongres yang dihadiri sekitar 1.500 peserta itu memilih Ustadz Asep Mausul, pimpinan pesantren Mangun jaya, Tasiklamaya, sebagai Ketua Dewan Mujahidin.66 Di Sulawesi Selatan berlangsung Kongres Umat Islam I seSulawesi Selatan, tanggal 19-21 Oktober 2000. kongres yang diselenggarakan oleh Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam (KPPSI) Cabang Sulawesi Selatan ini dihadiri sekitar 2.300 peserta yang datang dari seluruh daerah Sulawesi Selatan dan beberapa peninjau dari luar Sulsel. Kongres ini digelar dalam rangka 65 66
Ibid. Forum Keadilan, No. 39, 31 Desember 2000, hal.17.
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
21 mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Menurut Kaharuddin, Ketua Kongres, tuntutan penegakan syariat Islam yang dilakukan oleh kongres berbeda dengan apa yang dilakukan Kahar Muzakkar. Apabila Kahar Muzakkar melakukannya dengan cara yang radikal, KPPSI akan melakukannya dengan cara konstitusional. KPPI akan menuntut agar pemerintah menerbitkan undang-undang otonomi khusus pelaksanaan syariat Islam di Sulawesi Selatan. A.M. Fatwa, salah seorang pimpinan DPP PAN dan juga Wakil Ketua DPR, yang hadir pada acara kongres tersebut menyatakan tak ada alasan menolak penegakan syariat Islam di Sulsel.67 Kongres itu kemudian dilanjutkan dengan kongres Umat Islam II yang berlangsung beberapa hari dan dimulai sejak tanggal 29 Desember 2001 di Makasar. Menurut Sekretaris SC Fuad Rumi, kongres ini digelar untuk mempertajam dan mengkristalisasikan penegakan syariat Islam menuju pembentukan otonomi khusus di daerah Sulsel. Target lain adalah agar pemerintah pusat mengagendakan otonomi khusus ini dibahas dalam Sidang Tahunan MPR. Sekjen KPPSI Azwar hasan menambahkan, jika Aceh dan Papua bisa memperoleh otonomi khusus setelah melakukan caracara revolusi dan angkat senjata, masyarakat Sulsel pun bisa melakukannya tetapi dengan cara konstitusional dalam bingkai NKRI.68 Tuntutan terbitnya undang-undang otonomi khusus pelaksanaan syariat Islam oleh sebagian masyarakat Sulsel tersebut, sesungguhnya telah direalisir di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), nama baru Provinsi Aceh pasca diundangkannya UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang disetujui DPR tanggal 23 September 1999. dalam undang-undang tersebut, provinsi NAD mendapatkan pengakuan dan dasar hukum dalam menerapkan syariat Islam di wilayahnya. Lima keistimewaan Aceh berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 1999 tersebut adalah: penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan beragama, kurikulum umum, memasukkan unsur adat dalam struktur pemerintahan desa, misalnya penyebutan kepala desa menjadi keuchik (lurah) dan mukim untuk kumpulan beberapa desa, pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah serta pemberlakuan syariat Islam di bidang perekonomian. Berkaitan dengan itu, bertepatan dengan peringatan tahun baru Islam 1 Muharam 1423 Hijriah atau 15 Maret 2002 lalu, 67 68
Ibid., hal. 18. Republika, 29 Desember 2001.
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
22 Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh darussalam (NAD) mendeklarasikan daerahnya sebagai zona syariat atau tutup aurat. Pada awalnya, zona tutup aurat hanya berlaku di beberapa tempat tertentu, seperti masjid, pasar, atau lokasi-lokasi lain yang telah ditetapkan. Dalam perkembangannya zona tutup aurat ini mulai berlaku menyeluruh di Aceh. Selain itu Pemda NAD mengeluarkan kebijakan pemberian nama instansi, lembaga, toko dengan huruf Melayu dan Arab. Kriteria tutup aurat bagi perempuan adalah menutup kepala (kecuali wajah) serta tidak mengenakan busana ketat yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh. Sedangkan bagi laki-laki adalah tidak memakai celana pendek.69 Dalam hal menanggapi pendapat-pendapat yang mengatakan kalau Syariat Islam diterapkan di Indonesia, maka Indonesia menjadi Negara Islam dan kaum non muslin minoritas akan tertindas dan akan berakibat terjadinya disintegrasi bangsa, umat Islam baik secara individu maupun organisasi memberikan jaminan bahwa kalaupun Syariat Islam diterapkan di Indonesia keberadaan non muslim tetap terlindungi. Sebagaimana dikatakan Hadimulyo, Wakil Ketua Majelis Pakar DPP PPP, bahwa apa yang diperjuangkan oleh FPP dan FPBB tidak terlalu jauh dari Piagam Madinah. Dalam piagam itu, sebagai acuan atau pedoman diatur hak dan kewajiban dengan perlakuan yang sama antara umat Islam, Nasrani, dan Yahudi untuk bersama-sama mempertahankan kota Madinah dari serangan kafir Quraisy. Jadi menurutnya kaum non muslim tak perlu khawatir. Di Malaysia saja yang secara resmi, Islam disebut sebagai agama negara, Syariat Islam tidak dipaksakan kepada warga negaranya yang beragama non-muslim. Maka kekhawatiran dan ketakutan agak berlebih-lebihan dan itulah islamophobia itu.70 Karena itu, Ketua Umum FPI Habib Muhammad Rizieq Shihab menyatakan, kekhawatiran pengembalian Piagam Jakarta akan menimbulkan disintegrasi berlebihan. Gejala disintegrasi bangsa saat ini, menurutnya, adalah buah dari pertikaian sikap, pemikiran, dan idiologi sebagai akibat dari penghianatan demokrasi terhadap konsensus nasional tentang Piagam Jakarta sebagai dasar negara.71 Maka gerakan Islam untuk menegakkan Syariat Islam di era reformasi ini terus menggelindung, bahkan dalam bentuk-bentuk yang lebih terorganisir. 3) Mendirikan Negara Islam 69
Forum Keadilan, no. 49,24 maret 2002, hal. 82. Hadimulyo, Republika, 15 Agustus 2000 71 Umar Basalim, Pro Kontra piagam Jakarta di Era Reformasi, h. 151 70
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
23 Isu “negera Islam” yang berkembang di masa revolusi dan masa reformasi menunjukkan latar belakang yang berbeda. Pada masa revolusi dulu, munculnya gagasan mendirikan negara Islam lebih disebabkan rasa ketidakpuasan sebagian tokoh Islam terhadap kebijakan pemerintah pusat, sungguhpun memang sebelum hal itu terjadi mereka telah memiliki gagasan mendirikan negara Islam. Tetapi semenjak diraihnya kemerdekaan Indonesia dan dicapainya kata sepakat menjadikan Pancasila sebagai Dasar Negara, sebagian tokoh Islam merelakan memendam idealismenya. Sebutlah misalnya Kartosuwiryo, ia semula memilki idealisme untuk mendirikan negara Islam, tetapi setelah dicapainya kemerdekaan Indonesia dan terbentuknya negara berdasarkan Pancasila, ia rela menanggalkan idealisme dan mendukung Republik Indonesia. Idealisme politiknya kemudian disalurkan lewat Masyumi. Dan dalam partai itu, ia diangkat sebagai anggota badan eksekutif dan kemudian menjadi komisaris untuk wilayah Jawa Barat.72 Tetapi kemudian ia melakukan pemberontakkan di bawah idealisme mendirikan negara Islam yang disebabkan ketidakpuasannya terhadap pemerintahan pusat yang mau menerima perjanjian Renville (1948). Sebagai akibat perjanjian tersebut Belanda dapat mendirikan negara boneka Pasundan, yang didirikan di Jawa Barat dan dikontrol Belanda (1948). Maka, Kartosuwiryo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).73 Sedangkan gerakan yang ingin mendirikan negara Islam di Era Reformasi ini murni didasari atas keyakinan teologis-politis, bahwa sebagai seorang muslim berkewajiban mendirikan negara Islam yang memungkinkan terlaksananya syariat Islam secara kaffah. Sungguhpun hampir tidak ada oraganisasi Islam yang secara terangterangan akan mendirikan negara Islam. Namun, dilihat dari platform-platform beberapa oranisasi keislaman yang mendukung ditegakkannya syariat Islam di Indonesia mengarah kepada mendirikan negara Islam. Majelis Mujahidin Indonesia, misalnya, sungguhpun dalam kongres I di Yogyakarta telah mengungkapkan tekadnya tidak ingin mendirikan negara Islam, tetapi bertekad memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia.74 Dalam amatan yang lebih jauh, mungkinkah menegakkan syariat Islam tanpa mendirikan negara Islam? Padahal menurut pandangan Majelis Mujahidin sendiri, bahwa negara Islam adalah negara yang memberlakukan syariat 72
B.J. Bolland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, h. 57. Ibid., h. 58. 74 Kompas, 6 Agustus 2000. 73
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
24 Islam. Indikasi bahwa MMI mengidealkan sebuah negara Islam juga terlihat dari beberapa kebijakan oraganisasi, seperti pembentukan ahlul hilli wal aqdi (Majelis Pertimbangan Islam Tertinggi/MPIT). Majelis ini bersama Majelis Tanfidziyah akan bertindak selaku Ulil Amri bagi umat Islam Indonesia dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disampaikan beberapa pemrakarsa kongres I Mujahidin KH M Royanuddin AS, KH Mawardi Noor, dan Abu Muh Jibril kepada wartawan di Jakarta, Rabu 26 Juli 2002.75 Gambaran ini menunjukkan bahwa sungguhpun tidak secara terangterangan, kelompok-kelompok Islam yang bercita-cita mendirikan negara masih ada. Tetapi dengan motif yang agak berbeda dengan masa-masa sebelumnya. C. KESIMPULAN Pemberlakuan syariat Islam di Indonesia adalah hal yang menarik, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam bahkan sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Namun demikian tarik-menarik kekuatan yang menginginkan diberlakukannya syariat Islam dan yang tidak menginginkannya terus terjadi sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Tetapi ternyata kekuatan yang mendukung diberlakukannya syariat Islam selalu kalah secara politik oleh kekuatan yang tidak mendukung diberlakukannya syariat Islam oleh negara. Sehingga syariat Islam tidak dapat diformalisasikan sebagai hukum positif negara Indonesia. Tetapi ternyata sungguhpun kelompok pro formalisasi syariat Islam tidak pernah menang secara politik, kekuatan tetap ada dan selalu menjadi lawan politik kekuatan yang anti formalisasi syariat Islam. Pertemuan dua kubu ini terjadi sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, terutama dalam forum-forum formal kenegaraan, seperti dalam sidang konstituante dan sidang umum MPR. Kedua kubu ini terus terlibat rivalitas politik untuk memenangkan idealisme, terutama dari kalangan Islam yang pro syariat Islam. Umat Islam yang pro formalisasi syariat Islam selalu mengangkat tema-tema upaya formalisasi syariat Islam dalam setiap ada kesempatan secara politik. Akibatnya kekuatan politik Islam hampir-hampir tersita hanya untuk memikirkan politik pemberlakuan syariat Islam di Indonesia, sementara tema-tema yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kesejahteraan umat terabaikan.
75
Kompas, 27 Juli 2000
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
25
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 19651987, Jakarta: Rajawali Press, 1989. Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam”, Muntaha Azhari dan Abdul Mun’in Saleh (ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989. ------, Islam, Pluralisme dan Demokrasi, dalam Arief Afandi (ed), Islam Demokrasi Atas Bawah, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Governmen ini Indonesia: A Socio-legal Study of Indonesian Konstituante1956-1969, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1392 H. Ahmad Hassan, Islam dan Kebangsaan, Bangil: Lajnah Penerbitan Pesantren Persis, 1984. Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir, Jakarta: Dar Al-Falah, 1999. Allan Samson, Islam and Politics in Indonesia, Berkeley: Universiti of California, 1972. Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, dalam Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Asmawi, PKB Jendela Politik Gus Dur, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999 Badri Yatim, Soekarno Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998. .
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
26 Bernhard Dahm, Sukarno and the Struggle for Indonesian Independence, Ithaca and London: Cornell University Press, 1969. Bolland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff. Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. David F. Forte, Islamic Law and the Political Order, Oxford: Austin and Winfield Publisher, 1999. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta; Pustaka Utama Gratifi, 1987. Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement ini Indonesia 1900-1942, Oxford: Oxford University Press, 1978. Deliar Noor, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Bandung: Penerbit Pustaka, 1983 Endang Saifuddin Anshari, The Jakarta Charter 1945: The Struggle of an Islamic Constitution in Indonesia, KualaLumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM), 1979. Endang Syaifuddin Anshari, "Piagam Jakarta 22 Juni 1945", Bandung: Penerbit Pustaka, 1983. Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Bandung: Penerbit Pustaka, 1983. George Mc.T.Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1952. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985. Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1962.
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
27 -------, The Indonesian Election of 1955, Ithaca: Cornell University, 1970. Ibrahim Hosen, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Putra Harapan, 1990. Isbodroini Suyanto, Soekarno dan Nasionalisme, dalam Nasaruddin Syansuddin (ed.), SOEKARNO: Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktik, Jakarta: Raja Grafindo Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1999. Lembaga Pemilihan Umum, Daftar Pembagian Kursi Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta: 1977, 1982, 1987) M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001 Muhammad Hatta, Sekitar Proklamasi, Jakarta; Tintamas, 1969. Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to "New Order" Modernization in Indonesia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia, 1982 Muhammad Said Al-Asymawi, Jauhar al-Islam, Kairo: Jumhuriyat Misra alArabiah, 1993. Muhammad Salam Madzkur, Peradilan dalam Islam (terj), Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993. Muhammad Tahir Azhari, DR., Negara Hukum; Suatu Studi tentang prinsippsinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Muhammad Yusuf Guraya, Islamic Jurisprudence in The Modern World, Lahore Pakistan: SH Muhammad Ashraf, 1992 Nurcholis Majid, “Islamic Studies: Pengantar Mengenal Pemikiran Islam,” bahan materi Kursus Studi Islam di “Paramadina”, Jakarta: yayasan wakaf Paramadina, tanpa tahun.. -------, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan wakaf Para Madina, 1992. -------, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987.
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016
28 -------, Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat,” dalam Nurcholis Madjid et. al., Pembaharuan Pemikiran Islam, Jakarta: Islamic Reseach Cebter, 1970. Prawoto Mangkusasmito, Perumusan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, Jakarta: Hudaya, 1970. Presiden Soeharto, Amanat Kenegaraan IV 1992-1995, Jakarta: Inti Idayu Press, 1985. R. William Liddle dan Saiful Mujani dalam The Triumph of Leadership: Explaining the 1999 Indonesia Vote, seperti dikutip Muhammad Qodari dalam “Syariat Islam dalam Aras Wacana Publik”, Media Indonesia, 8 September 2000. Robert W. Hefner dalam Ahmad Baso (ed), Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI, 2001. Ruth Mc Vey, Faith as the Outsider:Islam in Indonesia Politics, James Piscatori (ed.), Islam in te Politic Process, Cambrigde: Cambridge University Press, 1983. Sekretariat Jenderal MPR, Jurnal Sidang Tahunan MPR 2000, Nomor 05, Edisi 11 Agustus 2000, Jakarta. Sekretariat Jenderal MPR, Risalah Sidang Tahunan MPR Tanggal 7 sampai 18 Agustus 2000, Buku Ketiga Jilid 9, Jakarta, hal 443. Soeharto, Amanat Kenegaraan IV 1982-1985, Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta: Panitia Di bawah Bendera revolusi, 1964. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Vol.I, Jakarta: Panitia Penerbitan Dibawah Bendera Revolusi, 1964. Soekarno, Nationalism, Islam and Marxism, translated by Karel H. Warouw and Peter D. Weldon, with an introduction by Ruth McVey, (Ithaca: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, 1984. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995.
Volume VI , No. 1, Januari 2016
Al-Risalah
29
Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori belah bambu masa demokrasi terpimpin 19591965, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Umar Basalim, Pro Kontra piagam Jakarta di Era Reformasi, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002.. Zaenal Arifin Jamaris, Islam: Aqidah dan Syariah, Jakarta: PT Grafindo, 1996.
Kelompok Media Massa Duta Masyarakat, 3 September 1999 Forum Keadilan, No. 39, 31 Desember 2000. Forum Keadilan, no. 49,24 maret 2002 GATRA, 19 Agustus 2000 Kompas 11 Maret 2002 Kompas, 6 Agustus 2000. Kompas, Rabu 9 Agustus 2000 Media Indonesia 7 Juli 2000 Pelita Bangsa 3 September 1999 Pembela Islam, No. 41, Januari 1932. Prisma, Edisi Ekstra, 1984. Republika, 15 Agustus 2000. Tempo, 16 Juli 1991 Tempo, 29 Desember 1984 Tempo, 6 Juli 1991 www.islamlib.com A.
Al-Risalah
Volume VI, No. 2, Januari 2016