No.Tahun 21, Tahun Tgl.Juli1514 JuliAgustus - 14 Agustus No. 45 IV, Tgl.II,15 2011 2009
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan www.tabloiddiplomasi.org Interaksi
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
Menlu RI :
Mengenang Seratus Tahun Mohammad Roem
Kontribusi Islam Dan Demokrasi Dalam Membangun Indonesia Da’i Bachtiar :
Menyelesaikan Persoalan TKI di Malaysia Dengan Kepala Dingin Kebudayaan, Fondasi Untuk Memperkuat Hubungan RI - Suriname
Nia Zulkarnaen :
“KING”
Indonesia Produktif Menyelesaikan FilmDalam Bertema Bulutangkis
PerjanjianPertama Perbatasan di Dunia Email:
[email protected] Email:
[email protected]
ISSN 1978-9173
Diplomasi Indonesia Dalam Menciptakan Keseimbangan 771978 771978 917386917386 Akses Pasar Email:
[email protected]
ISSN 1978-9173 www.tabloiddiplomasi.org
9
9
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Daftar Isi >4
Fokus
Diplomasi Indonesia Dalam Menciptakan Keseimbangan Akses Pasar
>6
Fokus
>
Fokus
>
7
Perdagangan Pertanian yang Adil dan Berorientasi Pasar
Strategi Indonesia di Forum WTO
8
> 10 > 11 > 12 > 17
> 18
Lensa
> 20
SOSOK
> 21
sosok
> 22
BILATERAL
Fokus Diplomasi Perdagangan Multilateral
Fokus
Membangun Wilayah Perbatasan Perlu Anggaran Memadai
Drs. Bunyan Saptomo, MA. Hobby off-road Keluar Kota
Dewi Savitri Wahab, MA Hobby Traveling Mengantarkannya Menjadi Diplomat
Wilayah Perbatasan Merupakan Etalase
Tahun WTO Tak Kunjung Bisa Melahirkan Peraturan Baru
Lensa Kegagalan Perundingan Perdagangan Putaran Doha Dapat Merusak Sistem Perdagangan Multilateral
Lensa Jakarta Model of United Nations (JMUN) 2011
Lensa
Diplomasi Batas Maritim
Komitmen Indonesia Dalam Diplomasi Maritim
14 Fokus
16 Lensa Perdagangan Bebas Akan Memberikan Keuntungan Maksimal Bagi Negara Yang Memiliki Daya Saing Lebih Baik
Diplomasi
Teras Diplomasi
Wilayah perbatasan pada prinsipnya merupakan beranda suatu negara yang perlu dibangun dan dibuat seindah mungkin. Kita perlu membangun infrastruktur, ekonomi dan kesejahteraan rakyat di wilayah perbatasan sebagaimana layaknya sebuah beranda rumah yang sedikit banyaknya akan mencerminkan kondisi riil suatu negara. Namun demikian hal ini harus didukung oleh segenap pihak, karena upaya pembangunan tersebut akan sangat sulit direalisasikan jika kita hanya mengharapkan dan mengandalkan daerah bersangkutan, karena dalam hal ini kemampuan daerah tersebut sangat terbatas. Sedangkan dalam menyelesaikan masalah perbatasan, Indonesia menjalankan diplomasi perbatasan berupa penyelesaian melalui dialog sesegera mungkin dengan perundingan yang terjadwal. Hal ini dilakukan melalui pembentukan Komite Perbatasan Bersama sebagai kerangka penyelesaian masalah perbatasan. Indonesia juga berupaya untuk mempercepat pembangunan sosial dan ekonomi di wilayah perbatasan melalui penguatan koordinasi antar lembaga dan peningkatan kapasitas domestik, disamping juga secara aktif berpartisipasi dalam negosiasi multilateral mengenai isu-isu maritim dan hukum laut. Indonesia juga secara aktif melakukan diplomasi preventif untuk menciptakan saling percaya dan menghindari konflik. Upaya preventif ini dilakukan melalui serangkaian pertemuan para pakar dan ilmuwan guna membahas isu-isu maritim. Pertemuan Tahunan ke-35 Hukum Laut dan Kebijakan Maritim yang diselenggarakan di Indonesia, merupakan salah satu wujud komitmen Indonesia dalam diplomasi maritim tersebut. Sebagai negara yang kaya atas sumber daya alam, seni budaya dan berbagai ilmu pengetahuan tradisional masyarakatnya, Indonesia juga mempunyai kepentingan yang besar terhadap perlindungan dan kelestariannya. Dalam rangka melindungi kekayaan dan keanekaragaman Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya (SDGPTEBT)/Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (GRTKF) yang memiliki nilai budaya, sosial, religi dan spiritual serta nilai ekonomis tinggi tersebut, Indonesia telah melakukan berbagai upaya baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Indonesia berperan secara aktif dalam upaya pembentukan international legally binding instrument(s) yang sedang dibahas dalam forum World Intellectual Property Organization Intergovernmental Committee on Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore
(WIPO IGC GRTKF). Melihat tidak adanya kemajuan pembahasan dalam kurun waktu 8 (delapan) tahun di forum tersebut, Indonesia mengambil peran leadership dalam menyelenggarakan Meeting of LikeMinded Countries (LMCM) on International Legal Instrument(s) for the Protection of Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (GRTKF) guna mendorong pembahasan dalam forum WIPO tersebut. Sejalan dengan upaya yang dilakukan dalam konteks multilateral, Indonesia juga telah mengupayakan perlindungan atas SDGPTEBT tersebut di tingkat bilateral. Sepanjang 2010, Indonesia telah menandatangani 22 (dua puluh dua) Perjanjian Internasional, baik dalam bentuk Agreement, Memorandum of Understanding, maupun Implementing Arrangement dengan negara mitra yang memuat ketentuan mengenai perlindungan SDGPTEBT. Terkait dengan macetnya perundingan dan tidak jelasnya penyelesaian perundingan Doha Development Agenda (DDA), Indonesia mencatat adanya kontradiksi antara harapan dan kenyataan, dimana hampir tidak ada kemajuan penyelesaian isu-isu pending. Anggota WTO tidak menunjukan fleksibilitas dan kesiapan untuk memasuki end-game dan malah terdorong untuk membentuk FTA dan Economic Partnership secara bilateral maupun regional. Resiko kegagalan Perundingan Doha ini akan terkait dengan cost of failure dan berdampak negatif terhadap kredibilitas WTO disamping juga kerugian-kerugian dari perspektif ekonomi dan perdagangan, khususnya yang harus di tanggung oleh negara berkembang. Untuk itu Indonesia telah menyampaikan komitmen di berbagai forum internasional seperti ASEAN, APEC, G-20, Cairns Group dan sebagainya agar perundingan yang direncanakan dapat diselesaikan pada tahun 2011 dan mengharapkan semua negara untuk tetap mengagendakan penyelesaian perundingan Doha dengan hasil berupa kesepakatan yang berimbang dan sejalan dengan mandat Doha Development. Indonesia mendukung penuh dan turut memberikan kontribusi positif terhadap upaya-upaya yang dilakukan untuk segera menyelesaikan perundingan. Indonesia berupaya memperjuangkan agar persetujuan di bidang pertanian dapat memberikan solusi kepada para petani miskin di negara berkembang melalui Special Products (SP) dan Special Safeguards Mechanism (SSM). Apa yang sudah dilakukan Indonesia terkait dengan pelaksanaan Diplomasi Perdagangan tampaknya sudah optimal. Namun demikian Indonesia juga menyadari bahwa diselesaikannya perundingan DDA dengan sukses juga tergantung dari anggota WTO lainnya. Harapan untuk dapat menyelesaikan perundingan DDA pada KTM WTO ke-8 bulan Desember 2011, adalah pekerjaan rumah yang tidak memiliki waktu panjang. Tentunya diperlukan upaya yang lebih keras untuk menyelesaikannya, terutama karena hal ini merupakan strategi utama dalam Diplomasi Perdagangan Indonesia.[]
Diplomasi TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi
Pelindung Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Pengarah Direktur Diplomasi Publik penanggung jawab/Pemimpin Umum Firdaus, SE. MH Pemimpin Redaksi Khariri Ma’mun Redaktur Pelaksana Cahyono dewan redaksi Fransiska Monika Sitompul Isak Barry Kafiar Dila Trianti Staf Redaksi Saiful Amin Arif Hidayat Taufik Resamaili Dian harja Irana Tata Letak dan Artistik Tsabit Latief Distribusi Mardhiana S.D. Suradi Sutarno Harapan Silitonga Kontributor M. Dihar Staf Diplomasi Publik Alamat Redaksi Jl. Kalibata Timur I No. 19 Pancoran, Jakarta Selatan 12740 Telp. 021-68663162, Fax : 021-86860256, Surat Menyurat : Direktorat Diplomasi Publik, Lt. 12 Kementerian Luar Negeri RI Jl. Taman Pejambon No.6 Jakarta Pusat Tabloid Diplomasi dapat didownload di http://www.tabloiddiplomasi.org Email :
[email protected] Diterbitkan oleh Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri R.I Sumber Gambar Cover : filipino120.wordpress.com
Bagi anda yang ingin mengirim tulisan atau menyampaikan tanggapan, informasi, kritik dan saran, silahkan kirim email:
[email protected] Wartawan Tabloid Diplomasi tidak diperkenankan menerima dana atau meminta imbalan dalam bentuk apapun dari narasumber, wartawan Tabloid Diplomasi dilengkapi kartu pengenal atau surat keterangan tugas. Apabila ada pihak mencurigakan sehubungan dengan aktivitas kewartawanan Tabloid Diplomasi, segera hubungi redaksi.
Diplomasi F O K U S
KTM ke-4 di Doha merupakan cikal-bakal dari proses perundingan Putaran Doha, yang juga dikenal sebagai Doha Development Agenda (DDA), yang menekankan mengenai pentingnya aspek pembangunan (development) dalam sistim perdagangan internasional. Hal ini mengingat hasil Putaran Uruguay yang dianggap memberatkan negara-negara berkembang, dimana negara berkembang sangat sulit untuk melaksanakan implementation issues. Oleh karena itu diperlukan adanya peraturan perdagangan internasional yang memperhatikan dimensi pembangunan, lebih adil dan berimbang (fleksibilitas bagi negara berkembang – S&D). Putaran Doha pada 2001 merupakan Konperensi Tingkat Menteri (KTM) WTO Ke-4 yang menghasilkan Deklarasi Menteri berupa Doha Development Agenda (DDA) yang terdiri dari; Market access in agriculture; Market access in manufactured goods (NAMA); Trade in services; TRIPS; Transparency and government procurement; Trade Facilitation; WTO rules; dan Trade and Environment. Selain DDA, KTM WTO ke-4 di Doha juga menetapkan langkah-langkah ‘implementation’, disamping juga mengaksesi China and Chinese Taipei sebagai anggota ke-144. Deklarasi Menteri Doha adalah hasil dari perundingan di 7 (tujuh) bidang perundingan khusus di bawah pengawasan Trade Negotiating Committee (TNC), yaitu mencakup; implementation, agriculture, services, industrial tariff, WTO rules, environment, dan dispute settlement. Perundingan DDA tersebut merupakan mandat kepada negaranegara anggota untuk memulai putaran perundingan mengenai isuisu tertentu, dimana yang menjadi isu kunci adalah pembentukan modalitas, perundingan penurunan tarif sektor pertanian, non-pertanian dan jasa. Sebenarnya tenggat waktu perundingan ditetapkan hingga akhir 2004, namun karena mencakup elemen-elemen isu yang sangat luas dan kompleks, maka perundingan berjalan alot dan belum tercapai kesepakatan sehingga perundingan masih berjalan hingga kini. Perundingan DDA dimulai pada KTM-4 WTO, Doha, Nopember 2001, yang menandai diluncurkannya Doha Development Round. Mid-term review dilakukan pada pelaksanaan KTM-5
No. 45 Tahun IV
WTO, Cancun, September 2003. Perundingan dimulai kembali pada Juli 2004 di Jenewa, dan menghasilkan ‘Paket Juli 2004’ yang menyepakati kerangka pembentukan modalitas pertanian dan NAMA. Pada pelaksanaan KTM-6 WTO, Hongkong, Desember 2005, kemajuan perundingan yang dihasilkan masih sangat terbatas, tetapi sudah menuju arah yang benar. Namun demikian pada Juli 2006, perundingan ditunda sementara hingga Februari 2007, dan baru dimulai kembali pada Juli 2008 di Jenewa dan menghasilkan ‘Paket Juli 2008’ mengenai pertanian dan non-agricultural market access. Perundingan berjalan intensif untuk menghasilkan draft modalitas, services signaling conference dan lainnya, namun perundingan gagal menghasilkan kesepakatan. Selanjutnya SOM WTO September 2009 di Jenewa menghasilkan Road Map perundingan DDA untuk 3 (tiga) bulan kedepan hingga pelaksanaan KTM-7 WTO di Jenewa pada Desember 2009. Namun KTM-7 WTO ini tidak membahas isu-isu perundingan DDA dan hanya membahas isu-isu prosedural. Hingga Maret 2010, Stock Taking perundingan DDA tidak mengalami kemajuan berarti, bahkan intensifikasi perundingan yang dilakukan pada periode Januari-April 2011, juga tidak ada kemajuan. Perundingan DDA pada dasarnya memberikan peluang terhadap bargaining position negara-negara berkembang dan LDCs, namun hal ini terhambat oleh intensitas perundingan dan terbatasnya sumber daya manusia serta political will dari key players. Perundingan di bidang pertanian,
Diplomasi Indonesia Dalam Menciptakan Keseimbangan Akses Pasar Ade Petranto Direktur Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Ditjen Multilateral, Kementerian Luar Negeri Dok. Diplomasi
4
NAMA, perdagangan jasa, TRIPs, fasilitasi perdagangan, perdagangan dan lingkungan hidup dan lainlainnya dilakukan dengan intensif dan sering dilakukan secara pararel, namun negosiator/Diplomat negara berkembang dan LDCs sangat terbatas jumlahnya, sehingga harus menangani tiga hingga empat isu perundingan. Sementara negosiator/Diplomat negara maju cukup banyak jumlahnya sehingga masing-masing hanya menangani satu isu perundingan. Fase baru dalam perundingan sekarang ini adalah tumbuhnya aliansi-aliansi kepentingan/kelompok (G33, G20, G4, G7, Cairns Group,
NAMA 11, Cotton Group, LMG, LDCs, SVEs, Friends Group dan lain-lain). Negara anggota cenderung berunding melalui aliansi kepentingan daripada secara individu, dimana suara negara berkembang mulai diperhitungkan. Dengan demikian perundingan menjadi semakin rumit dan semakin sulit untuk menyetujui suatu perundingan multilateral. Peran dan strategi diplomasi Indonesia dalam Perundingan NAMA adalah menciptakan keseimbangan antara akses pasar pertanian dan NAMA, dimana negara maju menghendaki pemotongan tarif yang tajam di negara berkembang.
15 JULI - 14 agustus 2011
Diplomasi F Permasalahan yang masih menjadi isu kontroversial hingga saat ini adalah mengenai: besaran koefisien untuk formula penurunan tarif; fleksibilitas bagi negara berkembang yang akan menerapkan formula; erosi preferensi; inisiatif sektoral; non-tariff barriers (NTBs); dan product coverage NAMA. Dalam hal ini Indonesia bergabung dengan NAMA-11 (Afrika Selatan, Argentina, Brazil, Filipina, India, Indonesia, Mesir, Tunisia, Namibia), dimana saat ini isu NAMA dianggap sebagai stumbling block perundingan DDA dan menggeser isu pertanian yang diperdebatkan oleh AS dan new emerging economies (Brazil, India dan China). Peran diplomasi Indonesia dan strategi dalam perundingan Perdagangan Jasa (GATS) adalah mengupayakan ; Fleksibilitas bagi negara berkembang; Perundingan akses pasar perdagangan jasa, request dan offer, (modalitas perundingan Maret 2001/SL92); Metode perundingan request – offer secara bilateral dan plurilateral. Indonesia mendapatkan request dari 19 negara mitra dagang utama dan 17 plurilateral/collective request serta dua kali menyampaikan request ke negara mitra dagang utama khususnya movement of natural persons (Mode 4), dimana saat ini Indonesia sedang menyiapkan revisi request Mode 4 tersebut. Pada 15 April 2005, Indonesia sudah menyampaikan initial offer, sementara Tim Koordinasi Bidang Jasa juga sedang menyiapkan revised offer. Indonesia bersamasama dengan ASEAN (minus Singapura) sedang memperjuangkan Emergency Safegurad Measures (ESM) sebagai katup pengaman apabila sektor jasa tertentu yang diliberalisasikan mengalami injury. Disamping itu Indonesia juga sedang memperjuangkan perjanjian domestic regulation yang tidak memberatkan negara berkembang termasuk Indonesia. Didalam perundingan TRIPs, Indonesia tengah merundingkan suatu multilateral system of notification and registration of geographical indications (Gis) for wines and spirits (GI-Register). Posisi Indonesia dapat mendukung ide pembentukan sistem registrasi dan notifikasi multilateral, karena
15 JULI - 14 agustus 2011
memang sudah merupakan amanat Pasal 23.4 TRIPS Agreement. Namun Indonesia menghendaki sistem yang bersifat voluntary, sederhana, tidak burdensome, terdapat perlakuan S&D bagi negara berkembang dan hanya mengikat participating Members. Indonesia berpendapat bahwa proteksi GI dapat dan telah dilakukan oleh negara anggota sesuai hukum nasionalnya masing-masing, namun sistem multilateral dapat dipertimbangkan jika memenuhi syarat-syarat sebagaimana diinginkan oleh Indonesia tersebut. Indonesia juga tengah merundingan relationship antara TRIPS Agreement dengan Convention on Biodiversity (CBD) dan Geographical Indications (GIs) Extension to Products other than Wines and Spirits. Indonesia mendukung dan ikut serta dalam Disclosure Group (kelompok negara berkembang pimpinan India, beranggotakan sekitar 80 negara yang menginginkan amandemen TRIPS Agreement agar mutually supportive dengan CBD). Macetnya perundingan DDA dan tidak jelasnya penyelesaian perundingan DDA mendorong negara anggota WTO membentuk FTA dan Economic Partnership secara bilateral maupun regional. FTA dan Economic Partnership yang dibentuk tersebut bisa dikatakan sebagai WTO Plus, karena multilateral WTO dijadikan sebagai payung. Sejak 2009 sampai dengan kuartal I tahun 2011, kita mencatat adanya kontradiksi antara harapan dan kenyataan, dimana hampir tidak ada kemajuan penyelesaian isu-isu pending. Walaupun persidangan tetap berjalan di beberapa bidang, seperti pertanian, NAMA, jasa, rules, trade facilitation, trade and environment dan TRIPs, namun anggota WTO tidak menunjukan fleksibilitas dan kesiapan memasuki end-game. Persoalan utamanya adalah kontradiksi posisi di antara major trading countries dan perubahan sikap AS sejak berganti pemerintahan, yang selalu menghindari komitmen untuk meningkatkan tuntutan akses pasar. Dengan kata lain end-game baru dimungkinkan apabila AS benarbenar siap mengemban kembali fungsi leadership-nya. Negara anggota WTO tetap berharap perundingan yang
direncanakan akan diselesaikan pada tahun 2011, dan ini harus menjadi agenda semua negara. Intensifikasi perundingan DDA sejak Januari 2011 memperlihatkan keinginan negara anggota memanfaatkan critical window of opportunity untuk segera menyelesaikan perundingan DDA pada 2011. Para Leaders maupun Menteri Perdagangan dalam berbagai pertemuan APEC, ASEAN maupun G20 juga berkomitmen agar perundingan DDA dapat diselesaikan pada 2011. Namun hingga akhir April 2011, setelah masing-masing Negotiating Group melakukan intensifikasi perundingan dan konsultasi antara Ketua TNC, Pascal Lamy, dengan para Dubes/Watap negara kunci, nampaknya belum ada suatu convergency di antara negara anggota. Perbedaan masih ada, khususnya di isu sektoral NAMA, dimana AS versus Brazil, India dan China masih mempertahankan posisi masing-masing. Di sektor jasa, negara maju menganggap negara berkembang belum memberikan akses pasar perdagangan jasa yang lebih luas, khususnya di Mode 3 (commercial presence). Sementara negara berkembang berpandangan negara maju tidak memberikan akses pasar yang menjadi kepentingan ekspor negara berkembang yaitu Mode 4. Apbila tidak ada penyelesaian perundingan di akhir 2011 ini, kemungkinan perundingan akan terhenti untuk sementara dalam 2-3 tahun mendatang, mengingat adanya pemilihan Presiden AS dan Perancis. Apabila tidak ada perkembangan dalam waktu 1-2 bulan kedepan, maka KTM-8 WTO di Jenewa bulan Desember 2011 akan lebih bersifat prosedural dan me-review perundingan DDA. Resiko kegagalan Perundingan Doha akan terkait dengan cost of failure dan berdampak negatif terhadap kredibilitas WTO disamping juga kerugian-kerugian dari perspektif ekonomi dan perdagangan, khususnya yang harus di tanggung oleh negara berkembang. Sebagaimana negara anggota lainnya, Indonesia mempunyai komitmen agar perundingan yang direncanakan akan diselesaikan pada tahun 2011 haruslah tetap menjadi agenda semua negara, yaitu penyelesaian segera perundingan Doha dengan hasil berupa
O
K
U
S
5
“Sebagaimana negara anggota lainnya, Indonesia mempunyai komitmen agar perundingan yang direncanakan akan diselesaikan pada tahun 2011 haruslah tetap menjadi agenda semua negara, yaitu penyelesaian segera perundingan Doha dengan hasil berupa kesepakatan yang berimbang dan sejalan dengan mandat pembangunan Doha.”
kesepakatan yang berimbang dan sejalan dengan mandat pembangunan Doha. Komitmen Indonesia tersebut telah berkali-kali disampaikan di berbagai forum internasional seperti ASEAN, APEC, G-20, Cairns Group dan sebagainya. Oleh karena itu, Indonesia mendukung penuh dan turut memberikan kontribusi positif terhadap upaya-upaya yang dilakukan untuk segera menyelesaikan perundingan. Indonesia berupaya memperjuangkan agar persetujuan di bidang pertanian dapat memberikan solusi kepada para petani miskin di negara berkembang melalui Special Products (SP) dan Special Safeguards Mechanism (SSM). Oleh karena itu Indonesia perlu mereview kembali posisinya supaya bisa lebih maksimal dan melakukan sosialisasi hasil-hasil KTM serta meminta masukan dari seluruh stakeholder. Indonesia harus menyiapkan posisinya di semua isu perundingan DDA, khususnya di pertanian, NAMA dan jasa.[]
No. 45 Tahun IV
Diplomasi F O K U S
Perdagangan Pertanian yang Adil dan Berorientasi Pasar
No. 45 Tahun IV
”pengurangan, dengan kemungkinan penghapusan berbagai bentuk subsidi ekspor”. Mandat lain yang sama pentingnya adalah kemajuan dalam hal akses pasar, pengurangan substansial dalam program Subsidi Domestik yang mengganggu perdagangan (trade-distorting domestic suport programs), serta memperbaiki special and differential treatment di bidang pertanian bagi negara-negara berkembang yang akan menjadi bagian integral dari perundingan di bidang pertanian. Pertemuan penting yang perlu dicatat dari beberapa kali pertemuan setelah dihasilkannya DDA adalah diselenggarakannya KTM WTO ke-6 di Hong Kong tahun 2005. KTM ini membahas isu-isu yang terkait dengan liberalisasi perdagangan internasional di bidang
Dok. komunitasrames.wordpress.com
Sejak tanggal 1 Januari 1995, Indonesia telah secara efektif menerapkan Agreement on Agriculture (AoA) dalam melakukan kerjasama multilateral di bidang pertanian. Reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian ini adalah dalam rangka menciptakan sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Pada intinya AoA bertujuan untuk meningkatkan akses pasar serta mengurangi subsidi domestik dan subsidi ekspor melalui skedul komitmen masing-masing negara. Di forum WTO (World Trade Organisation), perundingan bidang pertanian mencakup tiga pilar yaitu : Market Access, Domestic Subsidy, dan Export Subsidy. Disamping itu persetujuan bidang pertanian juga meliputi isu-isu di luar perdagangan, seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, serta perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment – S&D) bagi negara-negara berkembang. Pada pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-4 tahun 2001 di Doha, telah dihasilkan dokumen utama berupa Doha Development Agenda (DDA) yang juga dikenal sebagai ’Deklarasi Doha’. DDA ini menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa dan peraturan WTO. ’Deklarasi Doha’ mencanangkan segera dimulainya perundingan lebih lanjut mengenai beberapa bidang spesifik termasuk bidang pertanian. Salah satu keberhasilan negara-negara berkembang dan negara eksportir produk pertanian adalah dimuatnya mandat mengenai
pertanian, yaitu meliputi modalitas penghapusan Subsidi Domestik, penghapusan Subsidi Ekspor dan peningkatan Akses Pasar. Pemotongan Subsidi Domestik dilakukan secara substansial, dimana anggota yang memberikan Subsidi Domestik yang besar akan dikenakan pemotongan yang lebih besar. Kriteria Green Box (bantuan domestik yang tidak berpengaruh atau sangat kecil pengaruhnya terhadap perdagangan) juga ditinjau kembali dan dilakukan pendisiplinan untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan dalam penggunaan Green Box tersebut. Semua bentuk Subsidi Ekspor dan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan hal tersebut akan dihapuskan pada tahun 2013. Dalam hal State Trading Enterprise (STE), pendisiplinan terhadap STE dilakukan dalam melakukan ekspor, termasuk penggunaan kekuasaan monopoli. Dalam hal bantuan pangan (Food Aid), pendisiplinan dilakukan terhadap pemberian bantuan yang berbentuk in-kind food aid, monetization, dan re-ekspor. Dalam hal peningkatan Akses Pasar, disepakati pemotongan tariff produk pertanian secara substansial. Negara berkembang
mengusulkan perlakuan khusus yang berbeda melalui modalitas Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM), dimana negara-negara berkembang memiliki fleksibilitas untuk menentukan sendiri banyaknya tariff lines bagi Special Product (SP), dimana ketentuan ini didasarkan pada kriteria ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan. Negara-negara berkembang juga berhak untuk menerapkan Special Safeguard Mechanism (SSM) berdasarkan trigger kuantitas impor dan harga (import quantity and price triggers), dimana pengaturan yang lebih jelas akan ditentukan kemudian. Special Products dan Special Safeguard Mechanism ini harus merupakan bagian integral dalam modalitas perundingan pertanian. Dalam KTM ke-6 tersebut juga disepakati bahwa penyusunan modalitas harus selesai tidak lebih dari tanggal 30 April 2006 dan draft schedule dari modalitas yang telah disusun tersebut harus selesai tidak lebih dari tanggal 31Juli 2006. Sejak dihasilkannya the Hong Kong Ministerial Declaration pada tahun 2005, hingga kini proses perundingan DDA di WTO terus dilanjutkan secara intensif dan difokuskan pada upaya mencapai suatu kesepakatan atau modalitas atas sektor Pertanian dan NAMA. Hal ini dapat dipahami mengingat isu Pertanian dan NAMA saat itu diyakini sebagai 2 (dua) isu kunci yang dapat membuka deadlock atau kemajuan keseluruhan proses perundingan DDA dalam konteks single undertaking (yaitu Pertanian, NAMA, Services, Development Issues, Rules, Lingkungan Hidup, HAKI dan Trade Facilitation). Walaupun hingga saat ini modalitas perdagangan dimaksud belum disepakati, namun beberapa pertemuan Tingkat Menteri telah menghasilkan suatu kemajuan yang dituangkan oleh Chairman CoA (Committee on Agriculture) dalam Draft Text Modalitas yang telah direvisi sesuai hasil perundingan sebanyak empat kali. (Sumber: Ditjen. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian RI) Dok. Diplomasi
6
15 JULI - 14 agustus 2011
Diplomasi F
Strategi Indonesia Prof. Dr. Zaenal Bachruddin Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementrian Pertanian Indonesia terus berpartisipasi aktif dalam berbagai perundingan di WTO, terutama untuk memperjuangkan kepentingan ’Negara Berkembang’. Hal ini dibuktikan dengan menjadi Koordinator bagi kelompok Negara Berkembang yang tergabung didalam G-33 yang beranggotakan 47 negara. Strategi utama yang diterapkan oleh Kementrian Pertanian dalam upaya memperjuangkan kepentingan NB dan Indonesia di forum WTO adalah ’strategi defensif dan offensif’. Strategi ’defensif’ adalah suatu strategi pertahanan yang bertujuan untuk melindungi produk domestik dari membanjirnya produk impor agar industri pertanian didalam negeri tidak colaps. Ada dua instrumen penting bagi Negara Berkembang yang terus diperjuangkan oleh Indonesia bersama G-33 yaitu Special Products (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM). SP secara sederhana dapat didefinisikan sebagai produk-produk pertanian tertentu yang mendapat perlakuan khusus dari kewajiban penurunan tariff. Tariff produk yang bersangkutan dikurangi dengan besaran yang lebih rendah daripada besaran pengurangan tariff yang diberlakukan dalam pilar akses pasar serta periode implementasinya lebih lama. Pada intinya SP bertujuan untuk untuk melindungi dan memperkuat produksi pangan di negara berkembang terutama pangan pokok (key staple food) (food security), mendorong percepatan pembangunan pedesaan (rural development) dan mempercepat pengentasan kemiskinan dan kelaparan (poverty alleviation). SP dilatarbelakangi oleh keinginan Negara Berkembang yang menghendaki agar reformasi perdagangan dilaksanakan secara fleksibel dan tidak radikal, sehingga dengan demikian negara berkembang dapat menyesuaikan diri, dan mampu pula mendorong pembangunan perdesaan, mengurangi jumlah orang miskin dan memperkuat ketahanan
15 JULI - 14 agustus 2011
di Forum WTO
pangan. Kementrian Pertanian telah mengkaji dan menetapkan 16 produk pertanian yang akan diusulkan untuk masuk dalam SP termasuk didalamnya produk pangan utama seperti beras, gula, jagung dan kedelai. Kelompok G-33 mengusulkan total jumlah SP sebanyak 20% dari total pos tariff pertanian yang ada dimana sebagian daripadanya dikecualikan dari kewajiban pemotongan tariff, namun perundingan pada akhirnya menetapkan total jumlah SP sebesar 12% dari total pos tariff pertanian. SSM dapat didefinsikan sebagai tindakan darurat terhadap impor produk yang secara kuantitas mengalami peningkatan secara absolut maupun relatif terhadap produk domestik yang menyebabkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri di dalam negeri yang memproduksi produk tersebut atau produk yang berkompetisi langsung. Dapat dikatakan bahwa SSM merupakan ‘perlindungan sementara’ dari ancaman impor yang berlebih yang apabila tidak dilindungi maka akan berpengaruh buruk terhadap industri (juga pelaku usaha, termasuk petani). SSM harus dibuat sedemikian rupa, sehingga negara berkembang lebih mudah menerapkannya. Isu SSM sering menjadi pertentangan dalam hal sejauh mana perlindungan sementara itu tidak disalahgunakan oleh negara yang bersangkutan. Oleh karenanya perlu ada suatu kerangka yang didukung dengan instrumen untuk mewujudkan SSM. Kerangka SSM yang diperjuangkan oleh Negara Berkembang adalah SSM yang berlaku tidak hanya terbatas pada keadaan dan jumlah produk tertentu. SSM memiliki mekanisme yang sederhana dan efektif dan dapat digunakan untuk semua produk pertanian yang mungkin terpengaruh oleh lonjakan impor dan anjloknya harga. Tidak membutuhkan pembuktian korban kerugian dan juga tidak menuntut harus ada imbalan pada pihak korban. Penggunanya bersifat tetap dan tidak hanya dibatasi selama terjadinya proses perubahan
seperti pada Special Safeguard (SSG). Alat SSM dapat dalam bentuk tarif bea masuk yang tinggi atau pembatasan jumlah impor Pemicunya dapat berupa peningkatan jumlah impor dan atau penurunan harga yang tiba-tiba. Harga acuan yang dipakai adalah harga c.i.f. dalam USD atau mata uang lain yang umumnya dipakai dalam perdagangan komoditas bersangkutan. Apabila volume impor berada di atas nilai trennya atau harganya berada di bawah nilai trennya, maka dapat diberlakukan salah satu pilihan: (i) bea masuk tambahan (surcharge) diberlakukan pada impor komoditas yang bersangkutan. Besarnya bea masuk tambahan ditetapkan paling tinggi sebesar 50% dari tarif yang berlaku, atau (ii) besarnya volume yang boleh di impor paling tinggi sebesar 50% dari rata-rata volume impor selama tiga periode di atas nilai tren impor. Apabila volume impor berada di bawah nilai trennya atau harga berada di atas nilai trennya, maka bea masuk tambahan atau pembatasan impor tidak perlu diberlakukan Hingga saat ini isu SSM masih belum disepakati semua pihak terutama negara eksportir khususnya AS, Australia, Argentina, Brazil, Uruguay, Paraguay dan Thailand yang khawatir dan memandang SSM akan menjadi hambatan bagi potensi peningkatan ekspor produk pertaniannya. SSM dianggap sebagai penghambat akses pasar dan suatu bentuk kemunduran dalam proses liberalisasi. Hal ini menjadi salah satu penyebab terhambatnya perundingan di forum WTO. Strategi ofensif adalah strategi perlawanan yang dilakukan dengan memfokuskan diri pada negosiasi dalam pengurangan atau penghapusan Domestic Support dan Export Subsidy yang sebagian besar terjadi di negara maju sebagai upaya untuk meningkatkan akses pasar ke negara tujuan ekspor (volume produk dan diversifikasi pasar) dari negara-negara berkembang. Dalam hal ini upaya yang dilakukan adalah mengusahakan agar pemotongan Domestic Support dilakukan secara substantial dimana
O
K
U
S
7
”Kementrian Pertanian telah mengkaji dan menetapkan 16 produk pertanian yang akan diusulkan untuk masuk dalam SP termasuk didalamnya produk pangan utama seperti beras, gula, jagung dan kedelai.” anggota yang memberikan Subsidi Domestik yang besar akan kena pemotongan yang lebih besar. Pemotongan Subsidi Domestik dikehendaki berkisar 70-80% dari kondisi sebelumnya. Dalam hal ini perlu kehati-hatian terutama yang menyangkut produk pertanian yang masih perlu diimpor yang belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Selain itu dalam strategi ofensif di bidang domestic support, Indonesia mengupayakan agar kriteria dan disiplin baru untuk subsidi blue box lebih ketat dari yang sebelumnya serta memperjuangkan pengetatan aturan dan disiplin subsidi green box untuk negara maju dan memperluas kriteria penggunaan subsidi green box bagi negara berkembang. Indonesia juga berupaya untuk mempertahankan agar subsidi de minimis negara berkembang saat ini tidak dikurangi dengan cara memperkuat aliansi G-33 dalam upaya mempertahankan tingkat de minimis bagi negara berkembang. Dalam hubungannya dengan Export Subsidy, semua bentuk Subsidi Ekspor dan ketentuan yang terkait dengannya harus dihapuskan pada tahun 2013. Penghapusan subsidi ekspor diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk pertanian Indonesia. Indonesia juga mengupayakan untuk mempertahankan fleksibilitas wewenang exporting STEs negara berkembang dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi. Selain itu, diperjuangkan agar pemberian food aid oleh negara maju harus dalam bentuk fully grant and in-cash and or in kind form yang tidak dikaitkan dengan persyaratan tertentu, dan membeli dari pasar domestik.[]
No. 45 Tahun IV
Diplomasi fokus
Diplomasi Perdagangan Multilateral Kalau kita melihat jauh kebelakang sejak keberadaan GATT 1948 sampai terbentuknya WTO pada 1995, sudah dilakukan 8 (delapan) putaran perundingan perdagangan multilateral, dimana putaran perundingan kali ini, yaitu Doha Development Agenda (DDA) atau Doha Round prosesnya memakan waktu paling lama, dan sampai saat ini belum berhasil diselesaikan. Putaran Uruguay yang dipandang paling luas cakupannya bisa diselesaikan dalam waktu sekitar 9 (sembilan) tahun. Perjalanan panjang dalam menata sistem perdagangan multilateral sejak 1948, sedikit demi sedikit telah mengurangi hambatan perdagangan melalui sejumlah ketentuan yang diperlukan. Pada waktu Putaran Kennedy, disepakati upaya yang dititikberatkan pada pengurangan hambatan tariff. Dalam Putaran Tokyo 1979, berhasil disempurnakan sejumlah ketentuan GATT dengan adanya ketentuan mengenai Technical Barriers to Trade; Anti Dumping; Subsidies and Countervailing Measures; Import Licensing; dan Customs Valuation. Pada saat itu pula Government Procurement pertama kali dibahas dalam GATT. Pada Putaran Uruguay 1995, selain dihasilkan ketentuan-ketentuan yang mencakup perdagangan barang, juga disepakati persetujuanpersetujuan perdagangan yang menyangkut Services, Intellectual Property Rights, penyempurnaan prosedur penyelesaian sengketa, persetujuan mengenai perdagangan produk pertanian, dan sanitary and phytosanitary. Putaran Uruguay juga menghasilkan transformasi GATT menjadi World Trade Organization (WTO). Putaran Doha atau yang lebih kita kenal sebagai Doha Development Round atau Doha Development Agenda (DDA) pada 2001, dimaksudkan sebagai langkah lanjutan agar tatanan perdagangan multilateral yang ada bisa sesuai dengan situasi perdagangan terkini. Beberapa diantaranya menyangkut
No. 45 Tahun IV
Dok. Diplomasi
8
Herry Soetanto Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan RI
”Sejauh ini proses perundingan DDA - dari yang dapat kita baca dimedia - tampaknya ‘mendung’, atau bahkan ada yang berpandangan bahwa perundingan sudah ‘macet’. Pandangan tersebut bisa muncul terutama kalau kita melihat penilaian keadaan yang disampaikan oleh Dirjen WTO, Pascal Lamy, yang mengemukakan bahwa masih terdapat kesenjangan posisi antara para major players dalam perundingan liberalisasi produk industri/ manufaktur atau Non Agriculture Market Access (NAMA) yang dapat menghambat pembahasan di bidang-bidang perundingan lainnya, sehingga sulit untuk menyelesaikan DDA pada 2011”
upaya agar perdagangan produk pertanian dan perdagangan jasa dapat lebih bebas, menyempurnakan persetujuan-persetujuan yang sudah ada seperti misalnya Anti Dumping dan subsidies (termasuk subsidi dibidang perikanan), fasilitasi perdagangan dan sebagainya. Sejauh ini proses perundingan DDA - dari yang dapat kita baca dimedia - tampaknya ‘mendung’, atau bahkan ada yang berpandangan bahwa perundingan sudah ‘macet’. Pandangan tersebut bisa muncul terutama kalau kita melihat penilaian keadaan yang disampaikan oleh Dirjen WTO, Pascal Lamy, yang mengemukakan bahwa masih terdapat kesenjangan posisi antara para major players dalam perundingan liberalisasi produk industri/ manufaktur atau Non Agriculture Market Access (NAMA) yang dapat menghambat pembahasan di bidang-bidang perundingan lainnya, sehingga sulit untuk menyelesaikan DDA pada 2011.
Selain itu terdapat juga pandangan mengenai lambatnya proses perundingan, antara lain karena peluncuran perundingan DDA yang tidak dipersiapkan secara matang; sulitnya mencapai konsensus karena meningkatnya jumlah keanggotaan dalam WTO; agenda DDA dinilai overloaded, dan mencakup isu-isu kontroversial seperti reformasi bidang pertanian dan fisheries subsidies; serta prinsip single undertaking hasil perundingan. Yang mencemaskan adalah pandangan bahwa adanya krisis ekonomi yang kemudian meningkatkan tindakan proteksionis oleh sejumlah negara membuat keberadaan dan peran WTO dipertanyakan; dan sebagainya. Sebagai salah satu Original Member (sesuai kriteria Artikel XI Marrakesh Declaration Establishing the WTO), Indonesia sangat menyadari pentingnya keberadaan dan peran WTO. Pada masa Orde Baru, Diplomasi Perdagangan Indonesia tertuang dalam
Kebijaksanaan Nasional Sektor Perdagangan sebagaimana terdapat dalam REPELITA VI yang disusun berdasarkan arahan GBHN 1993, dimana perdagangan luar negeri salah satunya adalah untuk meningkatkan kerjasama perdagangan internasional. Upaya tersebut ditempuh dengan lebih mengefektifkan kerjasama perdagangan internasional dan melaksanakan hasil-hasil Putaran Uruguay. Dalam rangka program pembangunan saat itu, terdapat Program Pengembangan Kerjasama Perdagangan Internasional yang bertujuan untuk mengembangkan kerjasama perdagangan internasional dalam rangka memperkuat kedudukan rebut tawar, memperluas pasar di luar negeri, dan mendorong ekspor non migas yang ditempuh antara lain dengan berpartisipasi aktif dalam forum internasional, menyelesaikan sengketa perdagangan internasional, dan memperjuangkan kepentingan nasional dalam WTO.
15 JULI - 14 agustus 2011
Diplomasi fokus Pada tataran implementasi, Indonesia terdorong menyusun dan memperbaiki berbagai peraturan nasional misalnya; dibidang HAKI; ketentuan nasional yang memungkinkan kita bisa mengambil tindakan dalam hal terjadinya praktek negara mitra dagang yang tidak fair; mempersengketakan kebijakan negara mitra dagang yang bertentangan dengan ketentuan WTO; menyempurnakan peraturan nasional dibidang perdagangan misalnya tata niaga eksporimpor; menerapkan standar dan sebagainya, sekaligus sebagai proses pembelajaran dalam upaya mendudukkan posisi Indonesia dalam kancah perdagangan internasional. Hal tersebut menggambarkan bahwa upaya mengintegrasikan perekonomian nasional kedalam perekonomian global telah dilakukan Indonesia sejak lama, setidaknya selama 15 tahun sejak terbentuknya WTO. Dasar kebijakan Diplomasi Perdagangan Indonesia sekarang ini adalah mengacu pada Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 berdasarkan UU 17 Tahun 2007, yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Saat ini kita mendasarkan pada RPJMN II 2010-2014, dimana Diplomasi Perdagangan mengacu pada butir 3.3.2 mengenai Peningkatan Ekspor yang menyebutkan bahwa; ‘Strategi Pembangunan’ yang akan dilaksanakan dalam pembangunan perdagangan luar negeri, khususnya untuk mendorong peningkatan ekspor non-migas selama periode tersebut, antara lain adalah “Mendorong pemanfaatan berbagai skema perdagangan, dan kerjasama perdagangan yang lebih menguntungkan kepentingan nasional”. Selanjutnya terdapat ‘Fokus Prioritas Peningkatan Diversifikasi Pasar Tujuan Ekspor’ yang didukung oleh ‘Kegiatan Prioritas’ sebagai Tujuan, yang salah satunya adalah “Peningkatan peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Internasional”. Fokus Prioritas tersebut dijabarkan dalam Misi, Tujuan, dan Sasaran Rencana Strategis Pembangunan Perdagangan 20112014, yaitu: Meningkatkan kinerja
15 JULI - 14 agustus 2011
”Dari sudut pandang kebijakan, selama ini Indonesia jelas mempunyai landasan yang kuat dalam melaksanakan kegiatan diplomasi perdagangan termasuk di forum WTO. Halhal yang disebutkan dalam RPJP dan RPJMN merupakan Mandat Perundingan berdasarkan Undang-undang. Hal ini menjelaskan bahwa posisi nasional yang dibuat dalam proses perundingan bukan semata-mata dihasilkan dari rapat interdepartemental atau tim negosiasi, masukan dari stakeholders, hasil kajian dan sebagainya.”
ekspor non-migas nasional secara berkualitas; Menguatkan pasar dalam negeri; Menjaga ketersediaan bahan pokok dan penguatan Jaringan Distribusi Nasional; dan Optimalisasi Reformasi Birokrasi. Misi tersebut bertujuan untuk memperkuat peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Indonesia di forum internasional. Strategi utama pelaksanaan Misi tersebut adalah melakukan Multitrack Trade Diplomacy pada tingkat multilateral, regional, dan bilateral. Salah satu bentuk diplomasi perdagangan multilateral adalah ‘Penyelesaian Putaran Doha’, karena merupakan bagian dari Renstra Pembangunan 2011-2014 yang mencerminkan bahwa Indonesia memandang sangat penting masalah penyelesaian perundingan DDA. Kurun waktu Renstra dimaksud bukan berarti Indonesia bisa menerima situasi perundingan DDA yang lambat penyelesaiannya, namun justru untuk lebih menggambarkan peran strategis pentingnya perundingan DDA segera diselesaikan. Dari sudut pandang kebijakan, selama ini Indonesia jelas mempunyai landasan yang kuat dalam melaksanakan kegiatan diplomasi perdagangan termasuk di forum WTO. Hal-hal yang disebutkan dalam RPJP dan RPJMN merupakan Mandat Perundingan berdasarkan Undang-undang. Hal ini menjelaskan bahwa posisi nasional yang dibuat dalam proses perundingan bukan semata-mata dihasilkan dari rapat interdepartemental atau tim negosiasi, masukan dari stakeholders, hasil kajian dan sebagainya.
Kita memahami pentingnya kelanjutan pembahasan DDA, karena jika sampai gagal, maka kapasitas WTO sebagai lembaga yang menjaga tatanan peraturan perdagangan internasional demi kepentingan anggotanya akan menimbulkan resiko yang tidak menguntungkan semua pihak. Dalam situasi seperti sekarang ini, kita perlu mengkaji apa yang dapat dilakukan Indonesia untuk mendorong agar perundingan dapat tetap berlanjut. Kita memiliki landasan formal dalam melaksanakan Diplomasi Perdagangan yang diimplementasikan dalam berbagai fora perdagangan internasional termasuk perundingan DDA. Kita memiliki Tim Nasional mengenai Perundingan Perdagangan Internasional yang selama ini sangat aktif melaksanakan fungsinya. Dalam proses perundingan DDA, Indonesia aktif di G-33, Cairns Group, NAMA 11 dan lain-lain. Tekad dan semangat Indonesia untuk menyelesaikan perundingan DDA juga tercermin di berbagai fora internasional seperti ASEAN, APEC, dan G-20. Demikian pula dalam jejaring kerja yang sudah terbina antar instansi pemerintah, dunia usaha, kalangan akademisi, LSM dan lain-lain. Rasanya apa yang sudah dilakukan Indonesia dalam melaksanakan tugas terkait Diplomasi Perdagangan sudah optimal. Namun demikian kita juga menyadari bahwa diselesaikannya perundingan DDA dengan sukses juga tergantung dari negara anggota WTO lainnya. Mengacu pada harapan Dirjen WTO tentang indikasi waktu, yaitu KTM WTO ke-8 pada bulan Desember 2011, maka waktu untuk
9
menyelesaikan pekerjaan rumah tidaklah terlalu panjang. Kalau penyelesaian perundingan DDA merupakan Strategi Utama dalam Diplomasi Perdagangan Indonesia, maka diperlukan upaya yang lebih keras untuk menyelesaikannya. Kiranya berbagai Kelompok Perunding yang ada dapat segera ‘bergerak’ untuk merumuskan kembali posisi yang sudah ada selama ini. Bukanlah hal yang mudah untuk mempertemukan berbagai posisi nasional dalam proses perundingan. Menyusun posisi nasional tentunya tidak terlepas dari situasi dan kondisi pada waktu menyusun posisi dimaksud. Dari sudut pandang tersebut, tentunya kita perlu mengkaji ulang posisi yang mungkin dirumuskan pada saat perundingan DDA dimulai. Oleh sebab itu, seyogyanya dalam menyusun posisi runding kedepan juga memperhatikan kondisi masa kini Indonesia meskipun masih banyak hal yang perlu ditingkatkan - yang dipandang sebagai salah satu ‘emerging market’. Ekspor non migas yang meningkat dari waktu kewaktu, anggota G-20, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, peringkat daya saing yang meningkat, banyak menjalin kerjasama dalam persetujuan perdagangan bebas ditingkat bilateral maupun regional dan sebagainya. Kondisi tersebut tentunya bisa meningkatkan rasa percaya diri sebagai dasar dalam menyusun posisi runding. Posisi runding yang selama ini terasa defensif hendaknya mulai mengarah kepada posisi ofensif. Ini merupakan waktu yang tepat untuk mengawali upaya melihat kembali posisi Indonesia dalam perundingan DDA selama ini, termasuk pada ‘political level’. Tahun ini Indonesia adalah Ketua ASEAN, kita juga menghadapi pertemuan para pemimpin APEC di Amerika Serikat dan G-20 di Perancis. Oleh sebab itu, acuan waktu kita dalam proses perundingan DDA hendaknya tidak hanya pada KTM WTO Desember 2011. Semakin cepat perundingan DDA diselesaikan akan semakin baik karena masih banyak masalah-masalah dihadapan kita seperti ancaman perubahan iklim, krisis pangan dan lain-lain yang juga memerlukan perhatian kita. []
No. 45 Tahun IV
Diplomasi
10
fokus
Tak Kunjung Bisa Melahirkan Peraturan Baru Gusmardi Bustami Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Kemendag
Dok. Go
ogle
10
Tahun WTO
Putaran Doha memang bertujuan untuk menggantikan peraturan perdagangan internasional lama yang tidak seimbang dan tidak berpihak kepada negara berkembang. Oleh karena itu, meneruskan eksistensi peraturan lama sama saja dengan melanjutkan ketidakseimbangan itu. Pada awalnya AS dan UE juga sepakat dengan DDA. Akan tetapi, selama 10 tahun WTO tak kunjung bisa melahirkan peraturan baru, karena AS dan UE mengingkari janjinya. Kepala Perwakilan Dagang AS (United States Trade Representative/
No. 45 Tahun IV
USTR), Ron Kirk, malah keberatan dengan niat penghidupan kembali Putaran Doha. Sebelumnya AS juga berniat menggembosi WTO dengan mencoba merangkul sejumlah negara anggota APEC untuk menyetujui perjanjian tersendiri soal perdagangan internasional. Niat para menteri WTO untuk bertemu di bulan Juli demi menghidupkan kembali DDA dan diharapkan keputusan bisa dicapai pada Desember 2011, rasanya tidak mungkin. Sebab sekarang ini muncul usulan Barat melalui berbagai forum
yang menghendaki adanya green growth (pertumbuhan yang ramah lingkungan). Ini diduga akan membuat negara berkembang membeli produk atau teknologi Barat, yang dijanjikan akan ramah lingkungan. Padahal lingkungan yang harus dilestarikan itu adanya di mana? Berdasarkan data yang ada, penyebab utama polusi terbesar di dunia ini adalah AS, UE, China, dan Jepang. Namun, Barat selalu mengincar negara berkembang untuk membeli produk negara maju dengan berbagai cara.
Australia adalah pihak yang tergolong gencar menghidupkan kembali WTO, yang telah mengalami kehancuran kredibilitas di mata negara berkembang. Australia tergolong bisa dipercaya soal WTO karena relatif lebih serius dan tulus serta termasuk sebagai pihak yang aktif. Australia bahkan meminta jika bisa pada Desember 2011 WTO telah menghasilkan peraturan yang mencakup berbagai aspek yang luas. Namun, niat Australia ini hampir bisa dipastikan akan terpental selama AS dan UE tidak serius membuka pasar.[]
15 JULI - 14 agustus 2011
Diplomasi F
Kegagalan Perundingan Perdagangan Putaran Doha Dapat Merusak Sistem Perdagangan Multilateral Dr. Marie Elka Pangestu Menteri Perdagangan RI Dok. pmbs.ac.id
Salah satu agenda penting dalam World Economic Forum (WEF) adalah mendorong percepatan penyelesaian perundingan perdagangan Putaran Doha, karena itu para Menteri dan negosiator diharapkan dapat melakukan upaya yang lebih serius agar putaran Doha dapat diselesaikan sesuai jadwal. Jika tidak juga selesai tahun ini, kegagalan perundingan perdagangan Putaran Doha dikhawatirkan akan merusak sistem perdagangan multilateral yang telah berjasa menopang bangkitnya perekonomian dunia dari keterpurukan akibat krisis tahun 2008. Para perunding di Jenewa harus menyepakati revisi draft modalitas akhir April dan modalitas final dan dokumen teknis pada bulan Juli bagi pengesahan berbagai kesepakatan Putaran Doha dapat dilaksanakan sebelum akhir 2011. Seluruh Menteri sepakat untuk mengadopsi Roadmap yang disampaikan oleh Dirjen WTO, yaitu: pada bulan April 2011 diselesaikannya draft Revised text; pada bulan Juli 2011 negosiasi DDA diselesaikan dan pada akhir Desember 2011 scheduling telah dituntaskan.
15 JULI - 14 agustus 2011
Presiden RI dalam berbagi kesempatan pertemuan internasional termasuk WEF Davos telah memerintahkan agar Indonesia sepenuhnya mendukung penyelesaian Putaran Doha. Kami siap, namun kami tidak akan mampu mendorong penyelesaian jika negara-negara lain, khususnya yang lebih besar, tidak memiliki tekad yang sama. Perundingan Putaran Doha tidak boleh hanya ditangani oleh perunding teknis, namun juga langsung oleh Menteri dan Leaders. Hasil studi yang diterbitkan oleh
O
K
U
S
11
9 (sembilan) pakar perdagangan dunia (High Level Trade Experts Group) yang dipimpin Professor Jagdish Bhagwati dan Peter Sutherland, mengkhawatirkan tahun ini sebagai kesempatan terakhir untuk menyelesaikan Putaran Doha. Penyelesaian Putaran Doha akan makin memperkuat aturan perdagangan dunia dan memungkinkannya mampu menghadapi bahaya proteksionisme serta dampak negatif proliferasi RTA (regional trade agreement). Jika pengaturan bilateral dan regional tidak “WTO-Plus”, artinya tidak selaras dengan prinsip perdagangan terbuka WTO, maka kredibilitas sistem perdagangan dunia (multilateral) akan makin terganggu. Dan hanya melalui Putaran Doha dapat ditata kembali aturan perdagangan seperti subsidi pertanian, aturan anti-dumping, dan lain-lain. Mengingat besarnya manfaat sekaligus tingginya bahaya yang akan timbul akibat kegagalan Putaran Doha, maka diharapkan seluruh anggota WTO untuk memaksimalkan rasa tanggung jawab kolektifnya. Khususnya negara anggota G20 diharapkan untuk menunjukkan jiwa kepemimpinan guna membangun kembali tekad menyelesaikan perundingan yang telah berlangsung selama 9 (Sembilan) tahun ini. Pelaku utama perundingan sekarang ini tidak hanya negara maju, karena peta perdagangan global telah berubah. Dua pertiga pertumbuhan perdagangan pasca krisis didorong oleh negara berkembang. Perdagangan SelatanSelatan kini merupakan 31% dari total dunia. Namun demikian, kita tetap menggarisbawahi pentingnya proses perundingan yang menempatkan kepentingan perdagangan negara berkembang sebagai fokus. Aid for Trade harus terus dikembangkan agar makin mendukung pengembangan kapasitas produksi dan ekspor negara berkembang. Melindungi kepentingan petani miskin (dengan menciptakan aturan baru tentang special product dan special safeguard mechanism guna memungkinkan adanya proses liberalisasi yang lunak bagi sektor pertanian negara berkembang) adalah hal yang urgens.(sumber: Kemendag). []
No. 45 Tahun IV
Diplomasi
12
l e n s a
Jakarta Model of United Nations (JMUN) 2011 Mantan Mendiknas, Prof. Dr. Yahya Muhaimin menyatakan perlunya bangsa ini memaksimalkan soft power. Kekuatan itu perlu diarahkan untuk meyakinkan kepada masyarakat dunia mengenai pentingnya upayaupaya untuk menghapuskan ketidakadilan. Yahya, yang sekarang duduk sebagai Dekan FISIP Universitas AlAzhar, menuturkan pemanfaatan soft power dalam acara Jakarta Model of United Nations (JMUN) 2011 di Ruang Nusantara, Pejambon kemarin (26/06). JMUN adalah simulasi sidang di PBB berskala internasional pertama yang digelar di Indonesia. Tahun ini, JMUN mengambil tema “Let the World Hear Our Voice, Achieving World Peace by Eliminating Unfairness”. Dirjen IDP, Andri Hadi, dalam sambutannya yang dibacakan oleh Riaz JP Saehu, Plh. Direktur Diplomasi Publik Kemlu, menyampaikan bahwa pemanfaatan soft power itu dapat digali melalui pemberdayaan peran pemuda. Pemuda, diyakininya, dapat memberikan kontribusi dengan ide cemerlang dan solusi kreatif yang mereka miliki dalam pemecahan isu global. “Karena itu pemberdayaan pemuda sangat diperlukan dan penting guna mempersiapkan mereka menjadi pemimpin masa depan bangsa ini. Pendidikan formal saja tidak cukup, pemuda harus mendapatkan pandangan yang lebih mendalam, dan belajar dari pengalaman nyata untuk meningkatkan kualitas mereka. “Karena itu JMUN kali ini diharapkan dapat memberikan pengalaman baru bagi para pemuda.” Pada bagian lain, Nila F. Moeloek, utusan khusus Presiden RI utk Millenium Development Goals (MDG) yang hadir pada acara itu,
No. 45 Tahun IV
Dok. Diplik
Peserta Jakarta Model of United Nations (JMUN) 2011 menunjukkan nama-nama negara yang diwakilinya dalam simulasi sidang PBB di Ruang Nusantara Kemlu (26/6) Dok. Diplik
Nila F. Moeloek, utusan khusus Presiden RI utk Millenium Development Goals (MDG’s) membuka secara resmi Jakarta Model of United Nations (JMUN) 2011 disaksikan Prof. Dr. Yahya Muahaimin, Mantan Mendiknas dan Riaz JP Saehu Plh. Direktur Diplomasi Publik.
menekankan pentingnya suatu bangsa mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas. JMUN yang digelar pada 26-30 Juni 2011 ini merupakan hasil kerja sama Kemlu RI dengan Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS). ISAFIS adalah sebuah organisasi pemuda yang bergerak dalam isu-isu kajian hubungan internasional. Rangkaian kegiatan ini mencakup simulasi sidang, malam kebudayaan, talkshow hingga charity night yang diikuti oleh sekitar 200 orang pelajar dan mahasiswa dari dalam dan luar negeri. (Sumber: Dit. Infomed/ EPMM/ed.Yo2k)
Dok. Diplik
Nila F. Moeloek menyampaikan sambutan pada JMUN 2011 yang mengambil tema ”Let the World Hear Our Voice, Achieving World Peace by Eliminating Unfairness”.
15 JULI - 14 agustus 2011
Diplomasi l Dok. infomed
Moelik Triyono Wibowo Ketua Dharma Wanita Persatuan Kemlu RI menyerahkan bingkisan kepada Kombes Polisi Dr. Victor Pudjiadi SpB, Fics, DEM dari BNN dan Dr. Aisyah Dahlan, Kepala Unit Narkoba RS Bhayangkara Selapa Lemdiklat Polri sebagai pembicara utama
Dharma Wanita Ajak Kaum Perempuan Dan Remaja Berantas Narkoba Permasalahan Narkoba sekarang ini sudah semakin kompleks dan sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab seluruh lapisan bangsa Indonesia. Berdasarkan data perkiraan 2010, angka prevalensi penyalahguna narkoba sebesar 2,21 % atau setara dengan 3,8 juta jiwa. Ini merupakan sebuah fakta yang cukup memprihatinkan bagi bangsa Indonesia. Terkait dengan hal itu, kaum perempuan dan remaja merupakan salah satu pilar bangsa yang memiliki potensi kuat sebagai pelaku dalam rangka mengakselerasikan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN), khususnya dalam bidang rehabilitasi. Peran perempuan sebagai ibu atau istri dan panutan keluarga sangat dibutuhkan dalam keberhasilan pencegahan dan rehabilitasi, karena kasih sayang seorang ibu/perempuan memiliki pengaruh yang luar biasa dalam upaya pemulihan. “Saya berharap kaum perempuan dapat lebih berperan serta aktif di lingkungan kita dan sedapat mungkin membantu melaksanakan pencegahan penyalahgunaan narkoba”, tutur Ibu Moelik Triyono Wibowo dalam acara seminar “Sosialisasi Peran Aktif Perempuan & Remaja Dalam Kampanye Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di Bidang Rehabilitasi” pada 21 Juni 2011 di Gedung Caraka Loka, Jakarta. Seminar yang di selenggarakan oleh Dharma Wanita Pusat (DWP)Kemlu RI
e
n
s
a
13
bekerjasama dengan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) ini adalah dalam rangka memperingati Hari Anti Narkoba Internasional (HANI). Lebih lanjut Ibu Moelik mengatakan,”peran serta aktif kaum perempuan tersebut harus dimulai dari lingkungan keluarga terlebih dahulu, baru kemudian dilanjutkan ke lingkungan yang lebih luas”. Mengingat para korban penyalahgunaan narkoba mayoritas adalah para pelajar yang duduk di bangku SLTP, maka menurut Ibu Moelik seminar ini merupakan kesempatan yang baik bagi DWP Kemlu untuk juga mengundang murid-murid wanita dari SLTP Cendrawasih Kemlu. Seminar ini disajikan dengan format edutainment dan di dukung oleh penampilan sejumlah eks pengguna narkoba serta ODHA.“Hal ini bertujuan supaya para peserta dapat lebih memahami isi dari seminar dan diharapkan turut serta dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba di lingkungan mereka kedepannya nanti”, terang Ibu Moelik. Seminar yang merupakan bentuk kampanye P4GN ini akan disosialiasikan ke kementerian-kementerian, dan merupakan tindak lanjut dari penandatanganan Nota Kesepahaman yang dilakukan antara SIKIB dan BNN. Bagi DWP Kemlu, seminar sosialisasi P4GN ini adalah yang pertama kali dan diharapkan bisa dievaluasi dan dikembangkan terus kedepannya. Remaja sebagai generasi penerus bangsa menjadi perhatian penting dalam pelaksanaan P4GN, karena merupakan kelompok usia yang rentan akan terjadi penyalahgunaan narkoba. Sementara bidang rehabilitasi juga menjadi bagian penting yang harus diperhatikan, mengingat hanya 0,5 % dari penyalahguna narkoba yang tercatat mendapatkan akses layanan terapi dan rehabilitasi. Layanan terapi dan rehabilitasi antara lain berada di panti rehabilitasi, CBU, RSJ, PKM, RSUD, dan lain-lain. Sementara sisanya yang berada di keluarga dan masyarakat sekitar masih belum terdata. Pada UU 35 tahun 2009, terjadi perubahan paradigma yang lebih humanis, dimana pecandu tidak lagi dipandang sebagai kriminal, tetapi sebagai korban yang harus direhabilitasi. Dan dengan adanya peraturan wajib lapor bagi pecandu (PP Nomor 25 tahun 2011) diharapkan para pecandu/keluarga dapat segera melaporkan diri ke tempat-tempat yang telah ditunjuk. Oleh karena itu tempattempat rehabilitasi akan lebih diberdayakan untuk menangani para penyalahguna sehingga mereka mampu pulih, berintegrasi ke masyarakat dan produktif kembali. Sebagai wujud keseriusan dalam upaya memberdayakan peran aktif perempuan dan juga remaja dalam menggalakan P4GN terutama di bidang rehabilitasi di masyarakat, BNN dan SIKIB berkomitmen untuk bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat baik pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat melaksanakan secara aktif kegiatan P4GN, menuju Indonesia Sehat tanpa Narkoba. Di akhir penyelenggaraan seminar, Ibu Moelik Triyono Wibowo menyerahkan bingkisan kepada Kombes Polisi Dr. Victor Pudjiadi SpB, Fics, DEM dari BNN dan Dr. Aisyah Dahlan, Kepala Unit Narkoba RS Bhayangkara Selapa Lemdiklat Polri sebagai pembicara utama, serta juga kepada para pembicara lainnya sebagai ucapan terima kasih.[]
ASEAN FUN BIKE 2011 Menteri Luar Negeri RI, Dr. Marty Natalegawa dan Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan membuka kegiatan ‘fun bike’ yang diadakan dalam memeriahkan HUT ke-44 ASEAN (10/7). Pembukaan Fun Bike di tandai dengan membentangkan spanduk ‘Pedaling Our Way to ASEAN Prosperity’. Kegiatan dimulai dari Parkir Timur Senayan dan diakhiri di Sekretariat ASEAN. Sekitar 1.000 peserta dari kalangan diplomatik, pemerintahan, dan masyarakat pecinta sepeda mengikuti kegiatan ini. Dengan tujuan untuk membudayakan hidup sehat dengan berolahraga dan peduli lingkungan dengan mengurangi polusi udara, kegiatan ini juga memeriahkan momentum Keketuaan Indonesia untuk ASEAN tahun 2011. Diharapkan pula dapat meningkatkan awareness masyarakat akan pentingnya kerjasama ASEAN. Kegiatan disemarakkan juga dengan panggung hiburan dan pembagian door prize (Sumber : Informed)
15 JULI - 14 agustus 2011
Dok. Infomed
No. 45 Tahun IV
Diplomasi l e n s a
Syamsul Hadi, Ph.D Departemen HI FISIP-UI Stephen Krasner (2009) mendefinisikan rezim sebagai “sets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actors’ expectations converge in a given area of international relations”. Sementara Keohane & Nye (1977) mendefinisikan rezim sebagai “sets of governing arrangements that include networks of rules, norms, and procedures that regularize behavior and control its effects”. Suatu rezim dikatakan melemah jika prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang ada berkurang koherensinya atau terdapat banyak inkonsistensi dalam prakteknya. Misalnya kebijakan “Buy American Product”, ini merupakan contoh melemahnya rezim WTO, karena pada dasarnya kebijakan ini melanggar prinsipprinsip WTO. Terdapat tiga aliran didalam memandang formasi rezim, yaitu; pertama adalah aliran yang mengutamakan aspek power. Aliran ini menyatakan bahwa rezim terbentuk ketika aktor dominan (hegemon) memilih untuk memperluas pengaruhnya kepada aktor-aktor lain melalui sebuah “constitutional contract” yang menjadi ciri dasar sebuah rezim. Kedua, adalah aliran yang mengutamakan interest, dan menekankan proses tawarmenawar (bargaining) untuk mendapatkan dasar konsensus yang dapat mengurangi biaya transaksi (transaction cost). Dalam kelompok ini terdapat mereka yang menonjolkan pentingnya pengetahuan dan epistemic community. Ketiga, adalah aliran yang melihat kemunculan rezim sebagai sesuatu yang spontan, dengan aransemen yang bersifat “selfgenerating” (Friedrich von Hayek dan kalangan “ultra liberal” lain). Menurut kelompok ini, pembentukan rezim bukanlah “end in itself”, ia adalah instrumen. Joan Robinson menyatakan, perdagangan bebas semasa “Pax Brittanica” (era hegemoni Inggris, abad ke19) merupakan alat pencapaian kepentingan ekonomi Inggris.
No. 45 Tahun IV
Perdagangan Bebas Akan Memberikan Keuntungan Maksimal Bagi Negara Yang Memiliki Daya Saing Lebih Baik Dalam konteks kepentingan ekonomi ini, AS dan negara-negara maju menerapkan standar ganda dalam perdagangan bebas. Melalui negosiasi di WTO mereka berhasil membuka pasar sektor kimia dan manufaktur di negara-negara berkembang, namun mereka menolak meliberalisasi (membuka) pasar mereka untuk produkproduk pertanian yang menjadi keunggulan komparatif negara-negara berkembang. Penerapan standar ganda oleh negara-negara maju
Dok. Diplomasi
14
Syamsul Hadi, Ph.D Departemen HI FISIP-UI
ini merupakan penyebab utama kemandegan perundingan di WTO Putaran Doha. Dalam konteks aliran pertama (neorealisme), rezim internasional ditegakkan dalam rangka menjamin international public goods, khususnya keamanan dan stabilitas. Pasca Perang Dunia II sampai dengan krisis global 2008 dunia berada dalam hegemoni AS dengan tatanan rezim “Pax Americana”, dimana secara ekonomi perdagangan bebas dilihat sebagai salah satu international
public goods, terutama dengan dominannya Washington Consensus (neoliberalisme) dalam 25 tahun sebelum krisis global. Adagium “the world is flat” yang diajarkan oleh Thomas L. Friedman mewakili kejumawaan pandangan tentang kehebatan globalisasi dan pasar bebas, sehingga semua alternatif lain dinafikan. Menurut pandangan ini setiap negara hendaknya menghilangkan segala bentuk proteksionisme dan menciptakan iklim yang kondusif dalam rangka berpartisipasi dalam chain of production yang akan menjamin efisiensi, keuntungan ekonomi dan kemakmuran masyarakat. Fareed Zakaria (2008) menyatakan, turunnya power AS bukan semata akibat kemunduran ekonominya, tetapi lebih karena “kebangkitan kekuatan lain” (the rise of the rest), dan kebangkitan itu bukan hanya berpusat di Asia, tetapi juga di Amerika Latin dan Afrika. Sementara Joseph E. Stiglitz (2010) menyatakan, bahwa kebangkrutan Lehman Brothers pada bulan September 2008 menandai berakhirnya free market capitalism. Sementara itu Joseph P. Quinlan (2010) menyatakan, krisis global menandai akhir kejayaan AS dan terbentuknya konfigurasi baru yang masih mencari bentuk. China yang menjadi adidaya ekonomi baru tampaknya belum siap untuk mengambil peran dan tanggung jawab yang dibutuhkan untuk membangun tata ekonomi global yang baru. Situasi ini akan mengantarkan dunia pada dua pilihan/kemungkinan, yaitu: economic cold war; atau rekonsolidasi dan kerjasama. Secara struktural, kemunculan BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan South Africa) mewakili naiknya posisi “kekuatan-kekuatan baru” yang akan memberi warna penting dalam perimbangan dan tata kelola ekonomi global. China, yang pada tahun 2040 diprediksi akan melampaui kekuatan ekonomi AS, menjadi sentrum utama BRICS yang makin sentral peranannya dalam forum-forum koordinasi ekonomi global semacam G20, WTO, IMF dan perundingan tentang perubahan iklim. Dalam WTO, China dan anggota BRICS lainnya menonjolkan perannya sebagai pembela kepentingan negara-
15 JULI - 14 agustus 2011
Diplomasi l e n s a Dok. Deplu.go.id
negara berkembang. Sementara AS cenderung melihat bahwa China, Brazil dan India tidak lagi relevan untuk diperlakukan sebagai negara berkembang. Rezim internasional akan melemah bila kekuatan hegemon melemah, dan melemahnya ekonomi AS sejak krisis subprime-mortgage mendorong AS banyak melakukan praktek kebijakan proteksionisme yang melanggar prinsip perdagangan bebas yang semula dipropagandakan oleh AS sendiri. Yang paling menonjol dalam hal ini adalah kebijakan “Buy American Product” dan kebijakankebijakan lainnya yang tujuannya mempertahankan daya saing produk AS untuk mencegah makin meluasnya deindustrialisasi dan pengangguran. AS yang semula menjadi pelopor perdagangan bebas justru kini memelopori “neomerkantilisme” (prinsip mengutamakan keharusan memenangkan persaingan dagang antar negara), setelah ekonominya memburuk dan kalah bersaing dalam sistem pasar bebas yang ditegakkannya sendiri. China yang sukses memanfaatkan prinsip the world is flat terus mengalami tekanan dengan mengemukanya isu “ketidakseimbangan ekonomi global”. China dituduh sengaja memanipulasi nilai mata uangnya menjadi sangat murah terhadap US Dollar sehingga dapat memenangkan persaingan ekspor. Sebagaimana yang dilakukan
15 JULI - 14 agustus 2011
AS terhadap Jepang di era 1980an (Plaza Accord), AS terus menekan China untuk menurunkan nilai mata uangnya. Di sisi lain, AS terus mencetak dollar dan mempertahankan kebijakan suku bunga rendah mendekati nol persen sehingga meningkatkan nilai mata uang lain terhadap dollar AS. Seruan-seruan devaluasi tidak dihiraukan dan malah dibalas AS dengan menambah mata uang dollar AS ke pasar sebesar 600 miliar dollar AS pada awal November 2010. Secara global proteksionisme telah meningkat. Subsidi pertanian negara-negara OECD dari 326 milyar USD pada 2007 menjadi 384 milyar USD pada 2009. Padahal “janji Doha” yang ditunggu-tunggu negara-negara berkembang adalah pengurangan subsidi pertanian di negara-negara maju. Pada bulan Maret 2011, Duta Besar Brazil untuk WTO, Roberto Azevedo, menyatakan; “Bagi negara-negara maju, negosiasi di sektor pertanian telah berlalu, bila yang dimaksud adalah berkait dengan akses pasar”. Aspek pembangunan dalam perundingan WTO Putaran Doha sebenarnya telah tenggelam, dengan mengambangnya pembicaraan tentang Special Safeguard Mechanism (SSM) dan keengganan AS menurunkan subsidi pertanian dalam perundingan di Jenewa bulan Juli 2008. Seperti dikatakan Martin Khor,
seluruh dunia sebenarnya terus menunggu apa yang akan dilakukan AS, yang secara langsung akan berpengaruh pada kemajuan ataupun deadlock tanpa akhir dalam Putaran Doha. Dalam hal akses pasar di sektor non-pertanian (NAMA), negaranegara berkembang ditekan untuk memberikan konsesi yang terlalu besar. AS terus mempertahankan subsidi pertanian tinggi, namun meminta China, Brazil dan India untuk menurunkan tarif atas beberapa industrinya sampai ke titik nol. Sejalan dengan perspektif neorealisme tentang konsekuensi dari penurunan power negara hegemon, persoalan ekonomi dan politik domestik AS (sebagai negara hegemon) berkontribusi secara negatif bagi keberlanjutan Putaran Doha yang awalnya didasari keinginan untuk membangun rezim perdagangan yang lebih “bersimpati” pada negara-negara berkembang. Dengan melemahnya ekonomi domestiknya dan makin dekatnya pemilu AS (November 2012), semakin sulit mengharapkan AS untuk kembali pada komitmen awal menyukseskan Putaran Doha dengan memberikan konsesi-konsesi yang lebih reasonable. Liberalisasi perdagangan di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan eksistensi WTO, tetapi juga karena “pemaksaan” dari IMF lewat program Structural Adjusment Program (SAP) waktu kita terlanda
15
Krisis Asia. Indonesia terlibat aktif dalam perjanjian bebas dalam kerangka ASEAN, termasuk ACFTA yang sempat menjadi sorotan publik. Dampak ACFTA terlihat jelas: hanya empat bulan setelah penerapannya (Januari-April 2010), impor mainan anak-anak dari China meningkat 952 % dan impor tekstil meningkat 215 % (Investor Daily, 23/7/2010). Impor dari China naik 45,86 % pada 2010. Banjir produk impor ini diperkirakan menyebabkan penurunan produksi dalam negeri sekitar 25 % dan pengurangan tenaga kerja 25 % (Investor Daily, 21/4/2011). Perdagangan Bebas dalam kerangka apapun, baik bilateral, regional maupun multilateral akan memberikan keuntungan yang maksimal bagi negara-negara yang memiliki daya saing lebih baik. Ia hanyalah instrumen, bukan tujuan, apalagi “ideologi”. Saya gembira melihat ada kesadaran baru, dimana beberapa waktu lalu, Menko Perekonomian Hatta Radjasa menyatakan bahwa kedepan kebijakan tentang perdagangan bebas, termasuk ACFTA, harus melibatkan konstituen yang lebih luas. Sementara Menteri Perindustrian, MS Hidayat menyatakan bahwa kebijakan industri nasional sudah waktunya dikelola dengan lebih baik, agar ketidakseimbangan ekonomi yang merugikan Indonesia (akibat perdagangan bebas) tidak terjadi. Bahkan Deputi Menko Perekonomian, Edy Irawady menyatakan bahwa Indonesia akan memproduksi mobil murah dengan kisaran harga Rp 30-40 juta untuk kategori I dan sekitar Rp 80 juta untuk kategori II pada 2012. Menurut saya ini positip, karena kita perlu semacam kebanggaan nasional, bahwa pasar kita yang hampir 50 % dari pasar ASEAN selama ini hanya didominasi oleh produk manufaktur Jepang, Korsel, Eropa, China dan AS, yang seakan memposisikan bangsa ini sebagai “bangsa konsumen sejati”. Meskipun, bisa jadi program mobil nasional murah ini akan mengundang protes dari produsen mobil asing yang mungkin akan membawanya sebagai kasus sengketa di WTO, karena produk ini akan dibebaskan dari pajak PPnBM.[]
No. 45 Tahun IV
Diplomasi
16
l e n s a
Komitmen Indonesia Dalam Diplomasi Maritim Duta Besar Triyono Wibowo Wakil Menteri Luar Negeri RI Indonesia menjalankan diplomasi perbatasan maritim melalui enam metode dan platform. Pertama, melalui negosiasi dengan negara-negara tetangga. Dalam menyelesaikan masalah perbatasan, Indonesia berkeinginan menyelesaikannya melalui dialog sesegera mungkin dengan perundingan yang terjadwal. Kedua, Indonesia membentuk Komite Perbatasan Bersama dan Komite Perbatasan Umum sebagai kerangka penyelesaian masalah lintas perbatasan, dimana komite-komite ini juga memfasilitasi aktifitas sosioekonomi masyarakat di perbatasan. Ketiga, Indonesia mempercepat pembangunan sosial dan ekonomi di wilayah perbatasan melalui penguatan koordinasi antar lembaga. Pemberdayaan masyarakat ini
diharapkan akan dapat mengurangi kesenjangan sosio-ekonomi antar masyarakat di perbatasan. Keempat, Pemerintah terus meningkatkan kapasitas domestik dari aspek keselamatan navigasi hingga keamanan maritime, mulai dari perlindungan lingkungan maritim hingga pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Kelima, Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam negosiasi multilateral isu-isu maritim dan hukum laut. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan pelaksanaan Konvensi PBB tahun 1982 mengenai Hukum Laut. Partisipasi tersebut juga diarahkan untuk menyelesaikan isu-isu maritim terkini seperti pembajakan, dampak perubahan iklim terhadap laut, eksploitasi sumber-
sumber genetik dan perlindungan maritim. Keenam, diplomasi preventif, dimana ini dilakukan Indonesia untuk menciptakan saling percaya dan menghindari konflik. Upaya preventif ini dilakukan melalui serangkaian pertemuan para pakar dan ilmuwan guna membahas isu-isu maritim seperti Laut China Selatan. Selain itu, juga melalui pembentukan Pertemuan Antar Sesi ARF mengenai Keamanan Laut dan Forum Martitim ASEAN. Pertemuan Tahunan ke-35 Hukum Laut dan Kebijakan Maritim merupakan salah satu wujud komitmen Indonesia dalam diplomasi maritim, yaitu menyediakan forum untuk berdiskusi secara terbuka mengenai isu-isu keamanan maritim yang kompleks.
Dok. Infomed
”Pertemuan Tahunan ke-35 Hukum Laut dan Kebijakan Maritim merupakan salah satu wujud komitmen Indonesia dalam diplomasi maritim, yaitu menyediakan forum untuk berdiskusi secara terbuka mengenai isu-isu keamanan maritim yang kompleks.”
Wakil Menlu RI Dubes Triyono Wibowo menyampaikan sambutan pada konferensi tahunan perbatasan laut di Bali 22-25 Juni 2011.
No. 45 Tahun IV
15 JULI - 14 agustus 2011
Diplomasi l e n s a menyelesaikan 17 perjanjian perbatasan dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, baik itu yang bersifat territorial sea, continental shelf maupun economic zone. Tentunya tidak semua masalah perbatasan itu sudah dapat diselesaikan. Namun, Indonesia terus berupaya merundingkan isu-isu perbatasan yang belum tuntas dengan mengedepankan diplomasi dan prinsip pertemanan yang baik. Terkait dengan situasi di kawasan, khususnya isu Laut China Selatan, prinsip diplomasi bahwa kawasan yang stabil dan damai menjadi kepentingan Indonesia, Dok. antarafoto.com
Ada dua prinsip dalam diplomasi perbatasan. Pertama, perbatasan yang jelas yang akan memupuk hubungan bertetangga yang baik. Kedua, suatu negara tidak dapat hidup dengan damai, apabila terdapat perselisihan di sekitarnya. Indonesia sebagai negara yang banyak memiliki batas laut tidak pernah mengendurkan komitmennya dalam mewujudkan pertemanan yang baik melalui diplomasi perbatasan, dimana dalam hal ini Indonesia termasuk salah satu negara yang paling produktif dalam menyelesaikan perjanjian perbatasan. Indonesia telah berhasil
Prof. Dr. Hasyim Djalal Anggota Dewan Maritim Nasional
Diplomasi Batas Maritim Kementerian Luar Negeri RI bekerjasama dengan the Center for Oceans Law and Policy Conference (COLP) University of Virginia, Amerika Serikat, serta didukung oleh Center for International Law of Singapore dan Korea Maritime Institute selaku lembaga sponsor, telah menyelenggarakan Konferensi Tahunan ke-35 Hukum Laut dan Kebijakan Maritim dengan tema Maritime Border Diplomacy pada 23-24 Juni 2011 di Bali.
15 JULI - 14 agustus 2011
17
Indonesia Produktif Dalam Menyelesaikan Perjanjian Perbatasan oleh karenanya Indonesia senantiasa memainkan peran untuk mendorong adanya dialog. Pemerintah Indonesia mengupayakan dialog-dialog informal dengan para pihak sejak 20 tahun silam. Hanya saja, sekarang perlu didorong upaya untuk menemukan elemen-elemen kerjasama. Karena di setiap masalah itu, selalu ada elemen untuk bekerjasama. Itu yang harus dikedepankan. Ada tiga hal yang menjadi sasaran kita dalam menyelesaikan masalah perbatasan. Yang pertama adalah belajar untuk bekerjasama.
Kedua, mendorong terjadinya dialog antara pihak untuk menyelesaikan perbedaan. Sedangkan yang ketiga, mengembangkan rasa saling percaya. Hal ini perlu dilakukan untuk menciptakan atmosfir kerjasama. Penyelenggaraan Konferensi Tahunan ke-35 mengenai Hukum Laut dan Kebijakan Maritim di Bali merupakan forum yang tepat bagi para pakar dan ilmuwan yang hadir untuk mencurahkan gagasan-gagasan mereka dalam penyelesaian berbagai masalah perbatasan maritim.
Sekitar 115 peserta dari 14 negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berasal dari kalangan pemerintah pusat dan daerah, akademisi, praktisi serta para ahli hukum internasional dari Indonesia dan kawasan Asia. Pertemuan ini bertujuan untuk berbagi pengalaman mengenai diplomasi batas maritim yang merupakan salah satu prioritas dalam kebijakan luar negeri Indonesia, di samping juga untuk memperluas jejaring guna memperkuat posisi Indonesia di bidang hukum laut dan mendorong lahirnya kader-kader baru yang piawai dalam bidang hukum laut di Indonesia. Selain menampilkan 6 (enam) panelis yang merupakan pakar hukum laut internasional terkemuka dari dalam dan luar negeri, khususnya mengenai isu-isu diplomasi batas maritim, pertemuan juga menghadirkan anggota Dewan Kelautan Nasional, Prof. Dr. Hasjim Djalal dan anggota Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang juga mantan Menlu, Dr. Hassan Wirajuda sebagai pembicara utama. Pertemuan yang baru pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia ini memiliki arti penting mengingat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan. Indonesia dinilai telah berperan aktif dalam perkembangan hukum laut, khususnya dalam proses lahirnya Konvensi PBB tahun 1982 mengenai Hukum Laut (United Conventions on the Law of the Sea/ UNCLOS). Konferensi yang lebih bersifat pertemuan akademis ini di buka secara resmi oleh Wamenlu Triyono Wibowo. Dimana topik-topik yang dibahas diantaranya adalah mengenai diplomasi batas maritim, sumberdaya kepulauan di kawasan Asia Tenggara, lingkungan laut dan perbatasan, berbagai permasalahan perbatasan yang belum selesai di kawasan,serta mekanisme penyelesaian perselisihan.[]
No. 45 Tahun IV
Diplomasi
18
l e n s a
Pada prinsipnya wilayah perbatasan itu merupakan beranda yang harus segera dibangun dan dibuat indah. Jadi jangan sampai di seberang sana gemerlapan sementara beranda kita gelap gulita. Kita perlu membangun infrastruktur, ekonomi dan kesejahteraan rakyat di wilayah perbatasan. Hal ini harus didukung oleh segenap pihak, sebab akan sangat sulit dalam melaksanakan pembangunan tersebut kalau kita hanya mengharapkan dan mengandalkan daerah, karena APBD mereka sangat kecil dan sangat terbatas. Bayangkan dengan anggaran belanja yang hanya Rp
Frans Lebu Raya Gubernur NTT
Dok. Diplomasi
Membangun Wilayah Perbatasan Perlu Anggaran Memadai
Frans Lebu Raya, Gubernur Nusa Tenggara Timur
1,2 triliun, kami harus mengurus 21 kabupaten/ kota dengan berbagai program dan permasalahan yang dihadapi. Jadi kalau
kita hanya mempunyai anggaran sebesar itu dengan proporsi belanja langsung sekitar 52%, maka anggaran tersebut
tidak bisa mencukupi untuk membangun wilayah perbatasan sebagaimana yang kita harapkan. []
Pulau Terluar yang Tak Berpenghuni Rawan Pelanggaran Eston L. Foenay Wakil Gubernur Provinsi NTT
No. 45 Tahun IV
Jumlah pulau di wilayah NTT sebanyak 566 buah baik yang berskala besar maupun kecil, sedangkan pulau yang sudah memiliki nama sebanyak 432 buah. Dan wilayah NTT itu lebih banyak lautan daripada daratan. Kendala yang dihadapi oleh provinsi NTT dalam permasalahan batas negara adalah terjadinya pelanggaran batas yang disebabkan oleh belum definitifnya kepastian garis batas, disamping sikap dan budaya kekerabatan pada masyarakat di perbatasan, dan pemahaman garis batas negara yang tidak tercerna
dalam konsep komunikasi antar warga negara di sekitar perbatasan. Permasalahan perbatasan di perairan laut, adalah belum adanya penetapan garis perbatasan perairan laut di utara dan selatan Timor sampai ke Maluku Tenggara Barat. Pulau-pulau kecil terdepan seperti Pulau Batek yang tidak berpenghuni, menjadi daerah terbuka dan rawan pelanggaran garis perbatasan, baik berupa illegal migrant, illegal fishing, atau human traficking. Oleh karenanya titik dasar baru di pulau sebelah utara Timor perlu ditinjau
kembali. Untuk perbatasan di darat, masih terdapat 10 titik bermasalah yang mengakibatkan terjadinya konflik di masyarakat, dan sebagian besar titiktitik bermasalah itu berada di wilayah Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU). Permasalahan penentuan garis batas negara di darat yang berada di sektor barat dan timur wilayah Timor, terjadi karena perbedaan penafsiran dan klaim masyarakat adat di beberapa segmen. Mereka masih berpegang pada kesepakatan adat.[]
15 JULI - 14 agustus 2011
Diplomasi l e n s a
dok.diplomasi
Pengelolaan batas wilayah negara dan wilayah perbatasan diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010. Daerah perbatasan di darat berada di 4 provinsi, 16 kabupaten/kota, dan 66 kecamatan, sementara daerah perbatasan di laut berada di 10 provinsi, 33 kabupaten/kota, dan 131 kecamatan. Sedangkan daerah yang memiliki batas laut dan darat berada di 2 provinsi, 4 kabupaten/kota, dan 4 kecamatan. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) akan menggarap seluruh wilayah perbatasan negara, namun untuk tahap awal akan difokuskan pada daerah perbatasan di darat. Secara politis Indonesia mendorong wilayah perbatasan agar tetap stabil dengan melakukan kerjasama dengan negara tetangga dan berupaya agar wilayah perbatasan bisa melakukan
19
Zona Perdagangan Bebas Dapat Memacu Kegiatan Ekonomi Wilayah Perbatasan pembangunan di semua bidang secara bersama-sama. Berbagai peraturan dan pengaturan terkait pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) telah dilakukan dengan berbagai upaya namun masih belum maksimal dari sisi implementasinya, sehingga wilayah perbatasan luput dari jangkauan program KEK ini. Padahal yang diharapkan secara nyata di wilayah perbatasan, adalah adanya suatu kegiatan ekonomi yang bisa memacu perkembangan di wilayah tersebut. Untuk memacu kegiatan ekonomi
di wilayah perbatasan, diperlukan suatu zona perdagangan bebas antar penduduk di wilayah perbatasan, dimana penduduk perbatasan dari dua negara dapat melakukan aktivitas ekonomi dan perdagangan sebagaimana layaknya interaksi yang biasa dilakukan oleh penduduk di pasar tradisional tanpa perlu dibatasi oleh peraturan kenegaraan yang malah membuat aktivitas ekonomi dan perdagangan penduduk menjadi mandek. Tentunya akan ada permasalahan ikutan, baik yang bersifat kriminal atau lainnya,
namun itu harus bisa diantisipasi dan dikendalikan. Dua negara bertetangga dapat bekerjasama untuk menetapkan suatu area yang berada diantara pos penjagaan perbatasan dan peraturan mengenai zona perdagangan bebas antar penduduk dan sekaligus mengelolanya bersama-sama. Dengan demikian keberadaan zona perdagangan bebas antar penduduk tersebut dapat menjadi penggerak perkembangan di wilayah perbatasan.
Masalah Di Perbatasan Timor Leste Perlu Pendekatan Hukum Adat Persoalan perbatasan RI-Timor Leste (TL) memang cukup pelik, karena dulu dipisahkan oleh Belanda dan Portugal. Kemudian Timtim berintegrasi ke Indonesia, dan karena orang Timor itu kemudian bersaudara dalam satu negara maka disepakati untuk membuat perbatasan baru yaitu perbatasan provinsi. Sekarang orang Timtim kembali terpisahkan dan sudah menjadi negara sendiri, maka perbatasannya harus dikembalikan seperti semula atau membentuk perbatasan baru. Dalam masalah penentuan perbatasan ini kita harus melibatkan pakar adat, karena menurut mereka masalah perbatasan RI-RDTL ini tidak bisa diselesaikan melalui hukum internasional tetapi harus diselesaikan melalui hukum adat Timor. Orang Timor yang berada di Indonesia dan berada di TL itu satu etnis, menggunakan bahasa yang sama, satu nenek moyang dan satu asal-usul. Oleh karena itu maka orang Timor di Indonesia bisa memiliki lahan di TL dan demikian juga sebaliknya, orang Timor di TL bisa memiliki lahan di Indonesia. Tetapi karena dibatasi oleh yurisdiksi hukum negara, maka hal ini menjadi permasalahan. Sekarang ini penduduk yang melakukan lintas batas melalui jalanjalan tikus akan langsung ditangkap karena jalan-jalan tersebut bukan merupakan jalur resmi, padahal
15 JULI - 14 agustus 2011
menurut mereka jalan-jalan tersebut merupakan jalur pintas . Namun demikian para pelintas batas tetap saja melakukan aktivitas perdagangan sembako dan BBM melalui jalanjalan tikus ini, hanya saja mereka melakukan transaksi perdagangan di garis perbatasan, dan tidak lagi masuk ke wilayah negara lainnya. Masyarakat TL pada umumnya membeli sembako dan BBM dari masyarakat Indonesia dan menggunakan mata uang Rupiah. Jadi walaupun secara resmi negara mereka menggunakan Dolar, tetapi masyarakatnya masih banyak yang menggunakan Rupiah. Dalam hal perbatasan, selama ini kita masih fokus membicarakan mengenai batas darat lebih dahulu, dan menurut informasi yang kami terima memang ada permasalahan-permasalahan di wilayah perbatasan baik darat maupun laut. Misalnya disalah satu segmen di kabupaten barat, dimana di salah satu desa, garis batas antara RI-RDTL itu berupa aliran sungai. Kalau hujan dan terjadi banjir, aliran sungai akan meluap dan mengikis tanah di bagian wilayah Indonesia dan TL, ini menimbulkan permasalahan karena di tengah sungai ada dataran yang merupakan daerah subur seluas sekitar 42 Ha yang dimanfaatkan untuk areal pertanian. Di kabupaten TTU juga ada satu segmen yang menimbulkan permasalahan, namun ini merupakan perbedaan persepsi terhadap tapal batas yang
berada di punggung bukit. Keinginan dan pandangan masyarakat, dalam hal ini berbeda dengan pemerintah, dan dianta kedua negara juga belum ada kesepakatan menyangkut itu. Di Atambua, kabupaten Belu, juga sama seperti di kabupaten Kupang, dimana perbatasannya berupa sungai dan bila banjir kejadiannya juga serupa. Kalau mengikis wilayah Indonesia maka luas wilayah TL menjadi semakin besar dan demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu di tengah-tengah sungai tersebut kemudian dipasang batu. Untuk masalah infrastruktur dan sosial dasar di wilayah perbatasan, kondisinya memang masih jauh dari apa yang kita harapkan. Padahal potensi yang dimilki oleh wilayah NTT di perbatasan itu sangat besar, diantaranya adalah kayu jati, gaharu, dan cendana. Ketiga sumber daya alam inilah yang terkadang memicu terjadinya permasalahan lintas batas, karena seringkali terjadi illegal loging. Tingkat pembangunan di wilayah perbatasan selama ini juga sangat kecil, mengingat terbatasnya anggaran yang ada. Misalnya dari Pemkab Belu yang mengusulkan pembangunan ruas jalan baru di sepanjang perbatasan dengan anggaran sekitar Rp 9 milyar, sampai saat ini hal itu belum bisa direalisasikan mengingat terbatasnya APBD. Mengenai perdagangan lintas batas, masyarakat kedua negara bisa melakukan transaksi perdagangan
secara resmi di Mata Ain dengan penggunaan pas lintas batas, akan tetapi sering terjadi keributan antar warga sendiri. Kalau sudah kumpul, biasanya mereka minumminuman keras, dan dari situlah berawal terjadinya keributan. Oleh karena itulah maka TNI melarang hal itu karena pertimbangan faktor keamanan. Pada tahun-tahun sebelumnya, mereka berkumpul seminggu sekali di tempat-tempat tertentu, misalnya diantara batas RIRDTL. Tapi kalau aktivitas perdagangan legal yang menggunakan paspor, itu berjalan sebagaimana biasanya setiap hari. Pelanggaran yang kerap terjadi di perbatasan adalah illegal loging , perdagangan BBM dan sembako, dimana barang-barang dari Indonesia yang lebih banyak dijual ke TL. Misalnya untuk sembako, satu barang kebutuhan pokok yang berharga Rp 1.000,- di Indonesia bisa menjadi Rp 4.000,- di TL. Mereka melakukan perdagangan illegal ini dengan menyeberang hingga sejauh 1-2 km melalui jalan tikus. Hal ini agak sulit diberantas karena kesulitan dalam hal barang bukti. Secara umum, keadaan infrastruktur jalan di wilayah perbatasan kondisinya hampir sama, hanya saja di TL sekarang sudah ada listrik dan jaringan komunikasi.
No. 45 Tahun IV
20
S osok
Drs. Bunyan Saptomo, MA. Direktur AMERIKA UTARA DAN TENGAH
d a o r f f o y b b o H a t o K r Kelua
Dok. Diplomasi
Direktur yang selalu berupaya menyempatkan waktu untuk makan malam bersama keluarga ini mengaku menjadi diplomat bukan karena memiliki keinginan atau cita-cita, melainkan mengalir begitu saja, apalagi karena dirinya merasa tidak memiliki latar belakang pendidikan HI. Selepas kuliah pada 28 tahun yang lalu, ayah dari dua anak ini memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, karena mencari pekerjaan di kampung waktu itu sangat sulit. Sebelum menjadi diplomat, direktur yang selalu rutin jogging setiap minggu ini sempat bekerja di Kantor Berita Antara selama tiga bulan dan juga diterima sebagai karyawan Kemensos. Namun karena berhasil lolos seleksi penerimaan karyawan di Kemlu, diplomat ini memilih bergabung dengan Kemlu, karena menurutnya dan juga pandangan awam saat itu, Kemlu memiliki prestise yang lebih baik dibanding instansi-instansi lainnya. Baginya tugas sebagai Direktur Amerika Utara dan Tengah ini merupakan tugas yang sangat menarik karena salah satu negara yang harus ditangani adalah negara super power yang sekarang ini malah menjadi satu-satunya negara super power di dunia. Dengan diluncurkannya comprehensive partnership antara RI- AS, kegiatan yang dilakukan oleh kedua negara menjadi semakin padat. “Alhamdulillah walaupun cukup berat dan dengan jumlah staf yang terbatas kami tetap bisa melaksanakan tugas dengan sebaik mungkin” jelas diplomat yang sesekali mengisi hari liburnya dengan aktifitas mobil offroad ke luar kota. “80% aktivitas Direktorat Amerika Utara dan Tengah memang lebih banyak berkaitan dengan Amerika Serikat, sedangkan aktivitas dengan negara-negara lainnya hanya sekitar 20%. Sebagaimana halnya yang diharapkan dalam comprehensive partnership, kita ingin memperluas dan memperdalam hubungan bilateral dengan Amerika Serikat, dimana dalam hal ini kita sudah memiliki plan of action dan score card nya” ungkap diplomat yang sudah empat kali penempatan ini. Lebih jauh,
No. 45 Tahun IV
diplomat yang tidak pernah melewatkan makanan khas tempetahu dalam menu hidangan sehariharinya ini mengatakan; “Kita meyakini bahwa hubungan IndonesiaAmerika Serikat akan semakin baik kedepannya. Ada beberapa faktor yang mendasari itu, diantaranya adalah share value, dimana kita memiliki kesamaan nilai-nilai, seperti demokrasi, menjunjung toleransi, dan penghormatan terhadap HAM. Amerika Serikat telah mengajak Indonesia untuk bekerjasama di bidang promosi demokrasi, interfaith dialogue dan juga intermedia dialogue. Amerika Serikat menganggap bahwa Indonesia adalah contoh negara demokratis yang
mayoritas penduduknya Muslim”. Bagi diplomat yang telah melaksanakan empat kali tugas penempatan ini, berkumpul dengan keluarga adalah hal yang sangat berarti, karenanya mereka berkomitmen untuk berkumpul setiap hari selepas pulang kerja. Walaupun hanya sekedar duduk bersama namun forum yang sebentar itu mereka manfaatkan betul untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi. Diplomat yang mengaku baru menyelami tugasnya sebagai diplomat setelah penempatan ini merasakan bahwa masing-masing negara dimana dia ditugaskan, yaitu Australia, Vietnam, China, dan Kanada, memiliki hal yang menarik. Semuanya berada di kawasan Pasifik, yaitu mulai dari arah selatan sampai ke utara, namun terbagi dua antara Timur dan Barat.[]
15 JULI - 14 agustus 2011
Direktur As
ia Timur dan
sosok
Pasifik
21
Dewi Hobby Traveling Savitri Mengantarkannya Wahab, MA
Menjadi Diplomat
15 JULI - 14 agustus 2011
tetapi kalau kita dapat memberikan kontribusi yang kemudian diterima oleh members country dan memberikan dampak ke dalam negeri, itu merupakan sebuah kebahagiaan yang luar biasa bagi saya” jelas Dewi. Diplomat yang sangat gemar makan dan mengunjungi restoresto favorit jika berkunjung ke suatu tempat ini merasakan bahwa tugas barunya sebagai Direktur Astimpas ternyata membutuhkan tanggungjawab yang sangat besar. Hal ini mengingat banyak sekali negara yang harus ditangani disamping juga karena adanya ASEAN, ASEAN+3, Australia dan segala macam. “Banyak hal yang harus kita perjuangkan, dan itu menjadikan saya harus benar-benar serius mendalami diplomasi dengan lebih baik dan lebih baik lagi dan untuk itu saya harus mengetahui Indonesia secara baik”. Penggemar film-film bagus yang rutin nonton setiap minggu saat penempatan di New York ini, sangat memperhatikan masalah network, kecepatan dalam mendapatkan informasi, dan kesiapan untuk memberikan rekomendasi serta mengkomunikasikan segala sesuatunya kepada Pimpinan agar selalu well inform.’Ketidak tahuan adalah musuh terbesar kita’ merupakan pelajaran yang dipetiknya dari Pimpinan dan itu memotivasi alumnus Sastra Inggris UI ini untuk selalu berusaha mencari tahu, tidak menerima apa adanya dan go beyond apa yang bisa di lihat. “Saya melihat anak-anak muda itu terkadang tidak berani menyampaikan pandangannya. Saya kira kita tidak perlu ragu dan harus berani untuk menyampaikan pemikiran kepada
pimpinan kita, menurut saya itu hal yang baik asalkan dilakukan dengan cara yang baik. Tanamkan dalam diri kita untuk selalu melakukan yang terbaik, walaupun itu hanya hal kecil. Kita juga tidak perlu takut terhadap kelemahan yang kita miliki. Kelemahan itu seharusnya memacu kita untuk memberikan yang terbaik dalam melaksanakan tugas” ungkap diplomat yang juga gemar membaca buku, dan jogging ini. Diplomat yang menempati peringkat enam saat Sekdilu ini merasa belum optimal dalam melaksanakan tugas sebagai Direktur Astimpas yang sudah dilakoninya selama 9 bulan ini. Menurut Dewi, tugas barunya ini memang benar-benar ‘baru’ dalam artian bidang tugas dan rekan-rekan kerjanya, baginya ini merupakan sebuah ‘surprise’, dan karenanya Dewi merasa masih harus banyak belajar . “Sekarang ini kita harus bekerja dengan semangat dan idealisme, apalagi kita bekerja di
jasa pelayanan publik dan digaji oleh rakyat. Dimana dalam bekerja itu paling tidak kita mengetahui apa yang bisa kita kontribusikan untuk pelayanan publik walaupun dalam jangka pendek mungkin belum akan terlihat perubahannya sebagai sesuatu yang baik. Tetapi saya fikir, idealisme dalam bekerja itu harus ditanamkan pada diri kita” tutur Direktur Astimpas ini.
Dok. Diplomasi
Berawal dari melihat tantenya yang tampak hidup menyenangkan sebagai seorang diplomat, bisa keluar negeri dan punya mobil bagus, Dewi tergelitik untuk menjadi seorang diplomat. Hoby travelingnya telah mendorongnya untuk menjadi seorang diplomat, karena fikirnya dengan menjadi diplomat itu dia bisa pergi keliling dunia. Tetapi ternyata pekerjaan sebagai seorang diplomat itu tidak mudah bahkan cukup sulit. “Seorang diplomat itu harus tekun dan serius, karena banyak sekali kepentingan nasional yang harus diperjuangkan di luar negeri” ungkap Dewi. Diplomat yang sempat menjadi wartawan media ternama berbahasa Inggris di Jakarta ini mengakui mempunyai dua sisi yang berbeda saat menetapkan diri ingin menjadi diplomat, di sisi lain dia juga ingin bekerja di pulau Galang yang lebih bersifat adventure. Tugas pertamanya di Kemlu adalah di multilateral, yang menurutnya banyak sekali menangani isu-isu internasional tetapi tidak ada gaungya di dalam negeri. Namun dari situlah Dewi belajar apa sesungguhnya pekerjaan seorang diplomat. Pada 20072008, isu climate change menjadi perhatian dunia dan profil Indonesia selaku tuan rumah konferensi perubahan iklim sangat baik, dari sinilah Dewi menyadari bahwa ternyata apa yang dikerjakannya sangat berguna, sehingga memacu dirinya untuk bekerja dengan lebih baik lagi. “Saya melihat bahwa walaupun pekerjaan kita tidak mendapat perhatian dari banyak orang,
No. 45 Tahun IV
Diplomasi
22
so r o t
Wilayah Perbatasan Merupakan Etalase Mayor Inf. Slamet Wadan Satgas Pamtas RI-RDTL Yonif 743/PSY
Sejarah awal perbatasan IndonesiaTimor Leste tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang sejarah Timor, karena pada dasarnya Timor adalah suatu kesatuan pulau yang kemudian dibagi dua menjadi wilayah Portugis dan Belanda pada masa kolonial. Pulau Timor menarik perhatian dunia luar termasuk juga Portugis dan Belanda karena pesona aroma kayu cendana yang selain dipakai untuk perabotan rumah juga digunakan untuk keperluan ritual keagamaan. Perbatasan Timor Barat dan Timor Leste ditetapkan melalui serangkaian perundingan yang tidak saja melibatkan Belanda dan Portugis tetapi juga pihak ketiga yakni pengadilan arbitrasi yang berkantor di Paris. Penetapan perbatasan antara kedua wilayah koloni tersebut memakan waktu lama dan proses yang panjang. Sejarah terbentuknya perbatasan RIRDTL sejak awalnya menyisakan berbagai problematika. Tidak saja, karena tidak semua titik perbatasan berhasil diselesaikan oleh perundingan bilateral Belanda-Portugis maupun arbitrasi yang dilakukan Mahkamah Internasional, tetapi juga menyangkut dinamika daerah perbatasan selama hampir 100 tahun berselang yang membuat perjanjian tersebut menciptakan berbagai persoalan teknis maupun non-teknis, seperti misalnya perubahan kontur geografis penanda perbatasan (sungai, bukit dan lain-lain), adanya jual beli tanah (tepat di garis perbatasan), serta terjadinya perpindahan penduduk. Sejarah perbatasan Timor Barat dan Timor Timur diawali dari perebutan wilayah antara Portugis dan Belanda dalam memperebutkan dominasi perdagangan kayu cendana di Pulau Timor yang secara sporadis berlangsung mulai 1701 hingga 1755, yang kemudian melahirkan kesepakatan “Contract of Paravinici“ pada tahun 1755 dimana Belanda dan Portugis sepakat membagi Pulau Timor menjadi dua bagian yaitu bagian Barat yang berpusat di Kupang menjadi milik Belanda dan bagian Timur yang berpusat di Dili menjadi milik Portugis. Walaupun keduanya telah menandatangani kontrak tetapi penetapan tapal batas tidak pernah
No. 45 Tahun IV
dinegosiasikan secara jelas. Perundingan lanjutan tahun 1846, Portugis menukarkan wilayah Flores yang tadinya dikuasai Portugis dengan sebuah enclave di pantai utara yang kini dikenal sebagai daerah Oecusse dan dua pulau kecil dilepas pantai utara yakni Atauro dan Jaco. Sejak saat itulah Flores dikuasai Belanda dan Oecusse menjadi milik Portugis. Pada 1 Oktober 1904 sebuah konvensi bernama “A Convention for The Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions on the Islands of Timor “ ditandatangani oleh kedua belah pihak di Den Haag, yang kemudian dilanjutkan proses ratifikasi secara serentak (oleh pihak Portugis dan Belanda) pada 29 Agustus 1908. Konvensi 1904 inilah yang kemudian dianggap sebagai perjanjian yang legal yang telah menyelesaikan berbagai perbedaan di seputar masalah perbatasan antara Belanda dan Portugis, khususnya di Pulau Timor. Namun demikian, beberapa tahun kemudian beberapa daerah yang tidak sempat di survei (termasuk daerah Oecusse) masih sibuk dibicarakan oleh tim yamg dibentuk kedua negara. Pada 1909, komisi perbatasan yang dibentuk oleh pemerintah Belanda dan Portugis gagal mencapai kata sepakat dalam menentukan tapal batas di wilayah Oecusse (termasuk daerah sungai Noel Meto) Kegagalan ini membawa Belanda dan Portugis ke Peradilan Internasional. Pada 3 April 1913 Belanda dan Portugis menandatangani konvensi berisi tentang kesepakatan mereka membawa kasus sengketa perbatasan ke Permanent Court of Arbitration (pengadilan arbitrasi) di Paris. Dalam keputusannya pada 26 Juni 1914 pengadilan arbitrasi memutuskan memenangkan klaim Belanda atas daerah-daerah yang masih dipersengketakan. Ketika Timor Timur menjadi bagian Indonesia (1976-1999) isu perbatasan Timor Barat dan Timor Timur menjadi tidak relevan lagi. Masyarakat di sekitar wilayah perbatasan yang pada dasarnya memiliki keeratan hubungan sosial-budaya pun bebas untuk saling berhubungan dan melakukan transaksi ekonomi. Pembukaan perbatasan pada masa itu, telah mengubah secara substansial aspek sosial-ekonomi masyarakat setempat. Namun, 24 tahun kemudian, ketika Timor Leste merdeka masalah perbatasan menjadi hal yang penting untuk dibicarakan antara pemerintah
Indonesia maupun Timor Leste. Langkah awal yang dilakukan adalah menyepakati kembali tapal batas yang pernah ada antara Timor Barat dan Timor Timur. Pada 2 Februari 2002 Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirayuda dan pimpinan UNTAET, Sergio Vierra de Mello, menandatangani kesepakatan untuk mengatur prinsip uti posideti juris, yaitu memakai Konvensi 1904 yang telah ditandatangani Portugis dan Belanda serta hasil keputusan Permanent Court of Arbitration 1914, sebagai dasar hukum yang mengatur perbatasan RI-RDTL. Sejauh ini kedua negara telah menandatangani persetujuan sementara (provisional agreement) pada 8 April 2005 yang ditandatangani oleh Menlu Ri Hasan Wirayuda dan Menlu RDTL Ramos Horta. Perjanjian sementara ini menyepakati 907 koordinat titik batas atau sekitar 96% dari total garis batas darat. Ada beberapa segment di wilayah perbatasan yang masih mengganjal tercapainya kesepakatan akhir (final agreement) antara kedua negara, yang bisa menjadi isu sensitif dan berpotensi untuk memicu konflik perbatasan antara kedua negara. Perbatasan (borders) dipahami sebagai suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara yang secara geografis berbatasan langsung dengan wilayah negara lain. Namun sesungguhnya pengertian mengenai perbatasan tidak sesederhana itu, karena di dalamnya juga mengandung beberapa dimensi lain, yaitu antara lain garis batas (border lines), sempadan (boundary) dan perhinggaan (frontier), yang tentu merupakan persoalan politik. Secara umum, garis batas tidak hanya merupakan garis demarkasi yang memisahkan sistem hukum yang berlaku antar negara, tetapi juga merupakan contact point (titik singgung) struktur kekuatan teritorial nasional dari negaranegara yang berbatasan. Garis batas ini pada dasarnya memiliki dua fungsi yaitu ke dalam, untuk pengaturan administrasi pemerintahan dan penerapan hukum nasional dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara dan keluar, berkaitan dengan hubungan internasional, untuk menunjukan hak-hak dan kewajiban menyangkut perjanjian bilateral, regional maupun internasional dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep pemahaman perbatasan sebagai frontier yang bermakna “daerah depan”, pada zaman dahulu dianalogikan sebagai daerah tempur, sehingga harus dikosongkan karena akan digunakan sebagai daerah tempat dilaksanakannya pertempuran. Pada dewasa ini, ”daerah depan” tersebut seharusnya lebih dimaknai sebagai daerah “etalase” untuk menunjukkan berbagai kemajuan dan
keberhasilan pembangunan. Pengertian mengenai perbatasan sangat kompleks dan cenderung mengandung konotasi pemisahan, dimana dalam realitasnya selalu ada kemungkinan tumpang tindih. Di perbatasan Indonesia-Timor Leste, misalnya, ide-ide mengenai border lines dan boundary pun menjadi tidak terpisahkan. Hal ini terutama muncul ketika persoalan ketidakjelasan tapal batas menyebabkan klaim tumpang tindih antar dua masyarakat yang tinggal di sekitar perbatasan, baik mengenai wilayah maupun dalam pengelolaan sumber daya alam di sekitar wilayah tersebut.Padahal dipahami secara umum bahwa persoalan wilayah dan tapal batas merupakan salah satu isu menarik, yang bahkan sering menimbulkan konflik dan peperangan antar negara. Selain menyangkut kedaulatan, kejelasan wilayah dan tapal batas juga berhubungan erat dengan harga diri dan martabat suatu bangsa yang berdaulat. Situasi ini juga di jumpai di perbatasan RI-RDTL. Perbatasan RI-RDTL juga memiliki fungsi kesejahteraan. Sebagai pintu gerbang negara, wilayah perbatasan tentu memiliki keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Dalam konteks ini, wilayah perbatasan dipandang dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi perdagangan Indonesia dengan Timor Leste. Sehingga perbatasan diilihat sebagai daerah kerja sama antar Indonesia dan Timor leste dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat di daerah perbatasan kedua negara. Fungsi ini sangat penting mengingat realitas kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan darat dengan Timor leste masih terbelakang, dengan kondisi wilayah yang umumnya terpencil, tingkat pendidikan dan kesehatan rendah dan banyak dijumpai penduduk miskin. Apabila fungsi kesejahteraan dapat diwujudkan akan berdampak positif terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat perbatasan. Terciptanya kesejahteraan masyarakat akan berdampak langsung terhadap daya tangkal terhadap berbagai kegiatan illegal maupun provokasi pihak lawan yang dapat membahayakan kedaulatan negara. Dengan kata lain, terlaksananya fungsi kesejahteraan yang mantap di wilayah perbatasan dapat secara efektif membantu menciptakan suatu kekuatan ipoleksosbud dan pertahanan keamanan. Atas dasar pemahaman ini Perbatasan RI-RDTL perlu mendapat perhatian dan dicermati perkembangannya termasuk kemungkinan ancaman yang mungkin bakal terjadi.
15 JULI - 14 agustus 2011
Diplomasi
Salah satu hasil pertemuan Like Minded Countries Meeting on the Protection of Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (LMCM-GRTKF) ke-dua di Bali, adalah suatu posisi bersama negaranegara sepaham yang dituangkan dalam bentuk Bali Recommendation dan akan disampaikan untuk meningkatkan kerja WIPO didalam membangun instrumen hukum internasional mengenai perlindungan yang efektif terhadap GRTKF. Bali Recomendation memuat tiga usulan kepada IGC WIPO ke-19 dan meminta Sidang Umum WIPO untuk: pertama, memundurkan pelaksanaan Konferensi Diplomatik yang semula dijadwalkan pada 2012 menjadi 2013; Kedua, memperbarui mandat IGC WIPO untuk meneruskan perundingan berbasis teks, guna mencapai kesepakatan mengenai instrumen hukum internasional bagi perlindungan GRTKF, yang akan disampaikan ke Konferensi Diplomatik di 2013; dan Ketiga, melaksanakan pertemuan Sesi Khusus IGC dalam jumlah yang memadai sebagai tambahan atas 4 (empat) pertemuan regular IGC untuk memfasilitasi pembangunan instrumen hukum. Di samping tiga usulan tersebut, Bali Recommendation juga memuat tiga rumusan teks yang dihasilkan dari masing-masing pokja, yaitu rancangan teks perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional (TCE), Pengetahuan Tradisional (TK), dan Sumber Daya Genetik (GR) untuk dibahas lebih lanjut sebagai posisi bersama dalam menghadapi pertemuan IGC ke-19 di Jenewa. Terkait isu TK dan TCE, LMCM II di Bali telah berhasil menyusun rancangan teks yang menjembatani perbedaan atas isu-isu sensitif di antara negara-negara sepaham. Khusus isu GR, pertemuan berhasil
15 JULI - 14 agustus 2011
23
Dok.infomed
l e n s a
menyepakati rancangan teks perlindungan GR yang diusulkan oleh Indonesia dan mendapat masukan positif dari beberapa negara sepaham. Hal ini merupakan suatu kemajuan sangat berarti mengingat pembahasan GR di forum WIPO sejak lebih kurang 10 tahun sampai dengan IGC ke-18 pada Mei 2011 masih berupa rancangan Objectives and Principles. Perkembangan ini mendapat apresiasi sangat tinggi dari negara-negara yang hadir karena merupakan terobosan dalam upaya mendorong perundingan di IGC. Upaya perlindungan internasional terhadap GRTKF melalui penyelenggaraan LMCM II merupakan forum yang dinilai tepat bagi pelaksanaan diplomasi aktif Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasional mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pemilik GRTKF terbesar di dunia dimana saat ini belum ada instrumen internasional untuk perlindungan efektif GRTKF. Terkait hal tersebut, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk memfasilitasi kegiatan negara-negara sepaham di masa-masa mendatang. Rancangan teks legal mengenai GRTKF ini telah diupayakan oleh Indonesia melalui tataran diplomatik dan pembahasan di IGC sejak 8 tahun lalu, namun belum menghasilkan
Membangun Instrumen Hukum Internasional Mengenai Perlindungan Yang Efektif Terhadap GRTKF kemajuan berarti mengingat adanya pertarungan kepentingan antara negara-negara maju dan negaranegara berkembang, terutama terkait dengan isu perlindungan sumber-sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional dalam sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Tercatat ada 19 negara sepaham ikut ambil bagian dalam pertemuan ini, yakni Afrika Selatan, Aljazair, Angola, Bangladesh, India, Indonesia, Kenya, Kolombia, Malaysia, Mesir, Myanmar, Namibia, Pakistan, Peru, Sri Lanka, Tanzania, Thailand dan Zimbabwe.
No. 45 Tahun IV
No. 21, Tahun
Diplomasi No. 45 Tahun IV, Tgl. 15 Juli - 14 Agustus 2011
http://www.tabloiddiplomasi.org
TABLOID
Media Komunikasi dan Interaksi www.tabloiddiplomasi.com
agar langkah-langkah RI-Australia Sepakat Memajukan Hubungan berkepentingan penguatan sistem di Australia untuk ABK, : yang dipaparkan Rudd Menlumasalah RI Yang Lebih Kuat, Solid Dan Progresif dalam konferensi pers itu, dapat berjalan dengan baik. Tahun Moham Mengenang Seratus Hubungan bilateral RI-Australia yang kokoh menjadi modal kedua negara untuk dapat mengelola Di samping masalah ABK, kedua Menlu antara lain juga membahas masalah penyelundupan manusia dan perdagangan orang serta perdagangan ekspor sapi. Mengenai kawasan, keduanya membicarakan rangkaian pertemuan 44th ASEAN Ministerial Meeting (AMM) / Post Ministerial Conferences (PMC) / 18th ASEAN Regional Forum (ARF) yang akan diselenggarakan di Bali, pada 16-23 Juli 2011. Dibahas pula isu-isu lainnya seperti dinamika isu Laut China Selatan dan perkembangan di Myanmar, mengingat Menlu Australia baru saja selesai mengunjungi negara tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, Marty menuturkan bahwa pertemuannya itu juga membahas persiapan KTT Asia Timur yang diselenggarakan bersamaan dengan KTT ke-19 ASEAN November mendatang. Indonesia dan Australia memiliki kesamaan pandangan mengenai bagaimana memanfaatkan forum Asia Timur. “Diantaranya bagaimana mengembangkan koordinasi dalam antisipasi dan pengelolaan bencana alam di kawasan Asia Timur,” jelasnya. Kunjungan Kevin Rudd kali ini merupakan kunjungan kedua kalinya di tahun 2011, sejak menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Julia Gillard dari September 2010. (Sumber: Dit. Astimpas/Dit.Infomed/ Yo2k)
Kontribusi Isla Dan Demokras Dalam Memban Indonesia Dok. infomed
berbagai isu dengan baik pula. Untuk isu-isu yang sulit sekalipun, kedua negara dapat mengatasi tantangan dengan baik. Menlu RI Dr. R.M. Marty M. Natalegawa menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers usai menerima Menlu Australia Kevin Rudd di Gedung Pancasila, Kemlu, sore ini (08/07).
Da’i Bachtiar :
Menyelesaikan Pers TKI di Malaysia Den Kepala Dingin
Kebudayaan, Fondasi Memperkuat Hubunga RI-Australia 2005. Terkait dengan masalah RI - Suriname perlindungan WNI/ABK di Australia,
Menlu RI Dr. R.M. Marty M. Natalegawa dan Menlu Australia Kevin Rudd melakukan konferensi usai di Gedung Pancasila, Kemlu (08/07)
Sebelum bertemu dengan insan media, kedua Menlu bertemu dalam format tete-a-tete dan dilanjutkan dengan pertemuan bilateral. Dalam pertemuan tersebut, jelas Marty, dibahas beberapa isu bilateral dan kawasan yang menjadi perhatian kedua negara. Mengenai hubungan bilateral, kedua Menlu menegaskan bahwa
Pemerintah RI dan Australia berkomitmen untuk terus memajukan hubungan yang selama ini telah berjalan secara solid, kuat dan progresif. Kerjasama keduanya akan terus dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan, sesuai kerangka kerjasama Kemitraan Komprehensif
Bagi Anda yang berminat menyampaikan tulisan, opini, saran dan kritik silahkan kirim ke:
[email protected]
Nia Zulkarna
“KIN
Film Bertema Bulutang Pertama di Du
Tabloid Diplomasi dapat diakses melalui:
http://www.tabloiddiplomasi.org
Marty menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia menghargai perhatian yang diberikan Pemerintah Australia sehingga 3 ABK Indonesia di bawah usia 19 tahun dapat dibebaskan. Indonesia, tegasnya, juga
Direktorat Diplomasi Publik
Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta 10110 Telepon : 021-3813480 Faksimili : 021-3513094