PERIODESASI WAKTU BERDASARKAN PENGALAMAN PETANI: Kajian Antropologi Mengenai Periode Perkembangan Budidaya Hortikultura Di Berastagi Kab. Karo. Sri Alem Br.Sembiring1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara A. Pendahuluan Tulisan ini mendeskripsikan bagaimana petani membuat pembagian periode waktu untuk menentukan perkembangan kegiatan pertanian mereka, khususnya kegiatan praktik tanam campuran hortikultura di lahan pertanian mereka. Hal yang menarik dari pembagian waktu berdasarkan kriteria periodesasi versi petani ini adalah bahwa periode itu didasarkan kepada pengalaman-pengalaman historis petani dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain. Pengalaman-pengalaman itu dapat berupa hal yang menggembirakan, menyedihkan, menggelisahkan atau menakutkan yang dibarengi rasa was-was akan kerugian atau keuntungan hasil ladang. Pengalaman-pengalaman itu bervariasi dari masing-masing petani. Namun mereka dapat mengkaji secara makro apakah situasi itu akan menguntungkan atau merugikan bagi mereka. Secara umum, setiap petani senantiasa cenderung menghubungkan ungkapan pengalaman mereka dengan perkembangan situasi politik pada setiap periode waktu tertentu yang berimbas dengan kegiatan pertanian dan keuntungan atau kerugian yang mereka peroleh dari hasil panen. Kegiatan budidaya hortikultura yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah kegiatan penanaman bermacam-macam jenis tanaman hortikultura dalam satyu lahan pertanian milik petani. Teknikpenanaman semacam ini senada dengan isu saat ini ‘hangat’ dibicarakan kalangan iluwan dengan kata kunci ‘biodiversity’ (keanekaragaman hayati) yang dapat mempertahankan sistem pertanian yang berkelanjutan. Cleveland (1993) menyebutnya dengan ‘sustainable agriculture’ yang sangat penting untuk mempertahankan stabilitas pertanian (lihat juga tulisan Shand 1997). B. Sisi Historis Perkembangan Budidaya Hortikultura Uraian berikut ini akan memberikan suatu penggambaran bahwa periodesasi perkembangan budidaya hortikultura itu juga erat berkaitan dengan aspek perkembangan pengetahuan penduduk, interkasi penduduk dengan para migran, kebijakan pemerintah di bidang politik, perkembangan pemanfaatan sarana jalan
1
Tulisan ini merupakan hasil penelitian penulis dalam rangka penulisan tesis Magister selama enam bulan di Berastagi, khususnya di Desa Gurusinga yang merupakan Desa terluas areal pertaniannya di Wilayah Kecamatan Berastagi. Tulisan ini secara mikro adalah potret dari Desa Gurusinga khususnya. Setelah dikonformasi dengan beberapa desa lain di Wilayah Kecamatan Berastagi, maka tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa apa yang tertera dalam tulisan ini adalah merupakan kondisi makro umum di Kecamatan Berastagi.
2002 digitized by USU digital library
1
dan transportasi, perkembangan pemanfaatan lahan dan secara tidak langsung dengan perkembangan jumlah penduduk. Deskripsi berikut ini akan menunjukkan aspek ‘the whole’ dari suatu kajian antropologi. Perhatian secara holistik ini cenderung memberikan suatu gambaran yang lebih mendetail mengenai suatu topik yang ditinjau dari banyak sisi dan menunjukkan hubungan antara satu sisi dengan sisi lainnya sebagai suatu sistem terkait (lihat dalam Vredenbregt 1984: Bernard 1994). B.1. Periode Zaman Belanda Apabila kita menanyakan tentang sejarah tanaman hortikultura di desa ini, hampir seluruh petani akan memulai penuturannya dengan kalimat, “dulu pada waktu jaman Belanda ....”. Zaman Belanda merupakan salah satu awal perhitungan sejarah penting bagi petani di Kab Karo, khususnya di Desa Gurusinga. Kriteria periodesasi itu diawali dengan periode Zaman Belanda. Istilah lain yang digunakan untuk menyebut periode ini adalah opedenga mengongsi (sebelum mengungsi), atau opedenga kirim (sebelum adanya pengiriman produk pertanian untuk kebutuhan ekspor). Istilah-istilah ini digunakan penduduk untuk menyebutkan apa yang terjadi pada tahun 1913. Kesamaan perhitungan waktu di antara penduduk berlaku untuk masa sesudahnya, yaitu masa sesudah mengungsi. Perbedaan penggunanaan istilah ini, seperti opedenga mengongsi atau opedenga kirim cenderung disebabkan beberapa hal. Pertama, penduduk mempunyai pengalaman hidup yang sangat menyakitkan selama pengungsian, sehingga melekat dalam ingatannya adalah masa sebelum mengungsi. Beberapa penduduk lainnya menghubungkan dengan waktu pengiriman barang untuk kebutuhan ekspor, karena pilihan tanaman mereka terutama ditujukan untuk kebutuhan ekspor, seperti kentang atau kol. Atau, karena penduduk tersebut mendapat keuntungan besar pada saat adanya pengiriman hasil produksi pertanian untuk ekspor pada awal tahun 1950, sehingga mereka membedakannya antara adanya pengiriman dan sebelum pengiriman barang hasil produksi pertanian. Sebahagian besar petani lanjut usia (di atas 60 thn) selalu mengawali pembicaraan mereka mengenai sejarah hortikultura dengan sebuah senyum bahagia, seolah bernostalgia dengan serangkaian sejarah hidup mereka. Menurut mereka, tanaman hortikultura pada Zaman Belanda yang telah menghilang saat ini hanya sedikit. Hanya jenis tangho yang sudah tidak di tanam lagi, karena sangat susah untuk memasarkannya. Jenis hortikultura lainnya yang saat ini sudah mulai susah ditemukan adalah andebi dan peleng2. Ketiga jenis tanaman ini adalah tanaman favorit pada Zaman Belanda, begitulah mereka menuturkannya. Ketiganya banyak di tanam di sekitar Gurusinga, khususnya di Tangkulen (Dusun IV), mengingat lokasi dusun ini sangat dekat dengan kompleks perumahan orang-orang Belanda di jalan udara, tepatnya di desa Gundaling II. bibit 2
Jenis hortikultura lainnya yang muncul hampir bersamaan adalah kentang Holland (‘Solanun tuberosum L’), kubis (‘Brassica oleracexa/Brassica
Penduduk tidak mengetahui apa penyebutan tanaman ini dalam bahasa Indonesia. Selain itu untuk menemukan jenis tanaman ini sudah sangat susah satt ini. Penduduk hanya menyebutkan bahwa jenis ini hampir sama dengan jenis petsai (Brassica campestris var. pekinensis Rupr. atau Brassica sinensis).
2002 digitized by USU digital library
2
olerceaevar capitata L’) yang diperkenalkan oleh imigran Tionghoa, sayur putih (‘Brassica campestris var pekinensis Rupr’), dan buncis (‘Phaseoulus vulgaris L’). Buncis merupakan tanaman terakhir pada periode ini3. Disamping itu, menurut penduduk juga terdapat beberapa jenis hortikultura lokal4, seperti; selada air (sayur parit), tomat lokal (buahnya sangat kecil), labu jipang, labu kuning (labu siam), labu putih (walo), daun labu, dan kangkung. Pada saat ini (tahun 1946), jumlah penduduk berkisar 202 kk. Pemanfaatan lahan hanya berkisar 60 ha dengan tanaman dominan padi dan jagung. Pada tahun ini juga sudah terdapat beberapa migran Tionghoa menyewa ladang-ladang petani di Dusun IV (Tangkulen) untuk menanam tanaman muda (berusia tiga atau empat bulan), seperti kubis dan kentang. Ladang-ladang petani di dusun IV (Tangkulen) disewa oleh beberapa migran Tionghoa dengan masa sewa berkisar antara 1-3 tahun dan luas ladang mencapai 1- 3 ha. Perjanjian sewa-menyewa disepakati dengan catatan bahwa pihak penyewa tidak diizinkan menanam tanaman padi dan jagung, hanya tanaman muda. Disamping itu, pekerja pada ladang sewaan adalah petani pemilik ladang, dan dapat ditambah dengan pekerja lain apabila dianggap belum mencukupi. Pada masa ini, petani Gurusinga belum menanam tanaman muda dengan tujuan untuk dijual ke pasar atau untuk eksport, karena tidak memiliki modal dan belum mengetahui cara perawatannya. Pada tahun 1946 ini, sarana jalan desa di kuta (Dudun I dan II) masih merupakan jalan tanah dengan luas 4-5 m. Sementara, di Dusun Korpri (Dusun III) belum ditemukan sarana jalan (transportasi), hanya tersedia jalan tikus menuju Kota Kabanjahe dan Desa Kaban yang merupakan desa tetangga Gurusinga. Arealareal perladangan lain masih dibiarkan kosong oleh pemiliknya. Pada saat ini, hasil ladang dibawa ke pasar di Berastagi dengan cara menjunjung di atas kepala (i jujung). Petani harus berangkat dari Desa Gurusinga berkisar pukul 0400 wib atau 0500 wib pagi. Pedati (gereta lembu) dapat digunakan, tetapi sewanya mahal dan juga ada rasa takut karena kondisi jalan masih berlubang-lubang dengan kedalaman mencapai 0,5 m5. Lubang ini disebabkan oleh bekas roda pedati lembu atau kerbau pada musim hujan. Pada saat itu, angkutan bus hanya tersedia pada musim kemarau. B.2. Periode Sesudah Mengungsi Penanggalan sejarah hortikultura berikutnya adalah masa sesudah mengungsi. Penduduk menyebutnya dengan zaman mulih mengungsi. Masa ini dimulai pada tahun 1947. Penekanan penting dari periode ini terutama pada masa dimulainya pengiriman ekspor barang ke negara Malaysia dan Singapura berkisar tahun 1950. Masa ini dibagi penduduk Gurusinga ke dalam tiga periode waktu. Ketiganya didasarkan kepada arus ekspor barang. Kata kunci yang beredar luas 3
4 5
Kentang diperkirakan penduduk mulai ditanam pertama kali di Gurusinga pada tahun 1925, dengan jenis bibit Holland yang dibawa oleh pemerintah Belanda. Beberapa penduduk juga mengatakan, bahwa tanaman daun prei dan daun sop juga telah ditemukan di desa lain, namun belum ditanam di Gurusinga. Lokal dalam pengertian penduduk adalah, bahwa jenis tanaman tersebut telah ada sebelum kedatangan Belanda atau sebelum mengungsi.. Menurut petani, persiapan yang dilakukan sangat merepotkan. Pengepakan barang harus selesai sehari sebelumnya. Berangkat dari desa secara berkelompok (antara 5-6 orang) pada subuh pagi hari dengan membawa obor untuk menerangi jalan. Tiba di Berastagi berkisar pukul 0700 Wib.
2002 digitized by USU digital library
3
untuk seluruh periode ini adalah Konfrontasi Malaysia, sebab peristiwa ini yang menyebabkan arus ekspor barang menjadi terhenti. Terhentinya arus ekspor barang ini berpengaruh kepada pilihan jenis dan jumlah penanaman, dan pendapatan petani. Penduduk memilah tiga kurun waktu, yaitu; pra konfrontasi, saat konfrontasi dan pasca konfrontasi. Penyebutan Konfrontasi Malaysia menjadi penting bagi petani karena situasi konfrontasi ini sangat menentukan terhadap keuntungan dan kerugian yang diperoleh petani atas hasil panen tanaman hortikultura mereka. Uraian berikut ini akan mendeskripsikan situasi yang dialami petani pada ke tiga periode waktu di masa konfrontasi tersebut. B.2.1. Pra Konfrontasi Periode ini di mulai sejak tahun 1947 atau 1948, tepat pada saat kembalinya penduduk desa Gurusinga dan wilayah sekitarnya dari pengungsian hingga memasuki awal tahun 1950. Sekitar tahun 1948, tanaman hortikultura di Gurusinga dikuasai oleh para migran Tionghoa yang menyewa lahan petani lokal untuk masa 13 tahun. Keuntungan ekspor barang juga hanya dirasakan oleh para migran, karena penduduk lokal hanya berperan sebagai buruh tani miskin pada lahannya sendiri yang telah disewa oleh migran Tionghoa. Masa ini dijadikan masa belajar untuk menanam tanaman muda (tanaman hortikultura atau tanaman berusia singkat). Kegiatan belajar ini dapat dilakukan karena kegiatan cocok tanam dipercayakan oleh para migran Tionghoa sepenuhnya kepada buruh tani. Sementara migran Tionghoa berperan sebagai pemberi instruksi dan pengawas kerja. Dengan menjadi buruh, petani-petani Gurusinga dapat menambah pengetahuan mereka tentang tanaman hortikultura. Pada masa ini juga telah mulai terbuka peluang pasar ekspor. Beberapa petani desa ini yang telah memiliki uang dari hasil sewa tanah dan gaji sebagai buruh tani mulai memberanikan diri untuk beralih dari tanaman padi dan jagung ke tanaman hortikultura dalam skala kecil. Keberuntungan beberapa petani pemula ini kemudian diikuti petani lain. Pada masa ini jenis tanaman baru didominasi jenis kubis, antara lain; sayur manis, sayur pendek, sayur panjang, dan sayur pahit (menurut penyebutan lokal). Ada juga jenis kacang-kacangan, seperti; kacang koro, dan kacang panjang. Pada masa kembali dari mengungsi dimulai tahun 1947 sampai 1948, kondisi jalan dan sarana transportasi masih seperti masa sebelum mengungsi. Pada masa ini pemanfaatan lahan mencapai 100 ha. Sebahagian besar dari lahan pertanian dimanfaatkan oleh migran Tionghoa yang menyewa lahan petani di Gurusinga. Tahap berikutnya dari periode ini dimulai tepat pada awal tahun 1950. Tahun ini merupakan tahun ‘emas’ bagi sebahagian besar penduduk desa. Pada tahun ini, sebahagian besar petani Gurusinga memperoleh keuntungan besar dari hasil panen mereka berkat adanya ekspor barang ke negara Malaysia dan Singapura. Mereka mulai memiliki uang berlebih dari penjualan hortikultura. Selama tahun ini, pertambahan varietas tanaman meliputi; wortel, bunga kol, daun sop, prei, dan selada (selada keriting). Menjelang akhir tahun 1960, pertambahan jenis tanaman berupa keragaman varietas semata, seperti; bibit berbeda dari jenis kol, jenis kentang, jenis buncis. Varietas baru ini disebut lebih unggul oleh pihak yang memperkenalkannya, apakah itu petugas pertanian atau pemilik kios dan obat yang menjualnya. Peningkatan pemanfaatan lahan untuk pertanian dimulai pada saat adanya pengiriman ekspor produk pertanian ini, yakni berkisar tahun 1950-1960 an. Pada
2002 digitized by USU digital library
4
masa ini, pemanfatan lahan mencapai 100-150 ha, dan jumlah penduduk mengalami pertambahan mencapai 300 kk. Perluasan ini disebabkan karena sebagian penduduk telah mulai mengikuti gaya migran Tionghoa, yaitu menanam tanaman muda (tanaman berusia muda). Beberapa penduduk telah mulai mengetahui cara menanam dan merawat tanaman muda. Penyebab lain juga karena menjelang tahun 60-an terjadi peningkatan volume eksport hasil pertanian ke negara tetangga Malaysia dan Singapura. Sarana jalan dan transportasi dan model pengangkutan hasil ladang juga masih seperti tahun 1947. Keadaan yang begitu membahagiakan bagi perbaikan penghasilan melalui ekspor ini terhenti dengan dilakukannya pemutusan hubungan baik dengan Malaysia pada tahun 1962. B.2.2. Saat Konfrontasi Pemutusan hubungan dengan Malaysia tidak mengurangi penanaman jumlah varietas yang ada. Perubahan yang terjadi hanyalah pada segi jumlah hasil panen yang berkurang. Berkurangnya hasil panen disebabkan karena setiap petani menanam sayuran dalam jumlah yang lebih sedikit dari pada biasanya. Pengurangan jumlah penanaman ini terjadi karena pendistribusian hasil panen hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal (Sumatera Utara), dan pengiriman untuk beberapa daerah di luar Sumatera Utara. “Pada masa ini ladang-ladang kami ada yang sangat beragam, semua ditanam dan semua sedikit jumlahnya, ada juga hanya beberapa macam dan juga ada hanya satu macam, semuanya sedikit”, begitulah Pak KG (60 th) mendeskripsikan situasi saat itu. “Masa ini enak bagi saya, tidak capek berpikir, hanya untuk lokal saja, bisa lebih tenang”, ini reaksi beliau menanggapai situasi yang bagi sebahagian besar orang merupakan awal kehancuran masa depan. Ketenangan yang dimaksudkan Pak KG adalah dari segi psikologis. Beliau tidak perlu memikirkan modal yang besar. Modal yang diperlukan untuk biaya penanaman menjadi sedikit karena jumlah yang ditaman juga sedikit. “Kalaupun petani mengalami kerugian disebabkan oleh hasil panen yang jelek karena hawa (perubahan cuaca), atau harga yang kebetulan turun, maka kami hanya rugi sedikit, dan kalau pun kami untung ya.. untung juga sedikit”, begitulah pernyataan Pak KG. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pak Sm, Ibu AG, dan beberapa petani lainnya. Mereka mengatakan bahwa, bagi mereka yang tidak mempunyai modal besar, konfrontasi tidak berpengaruh besar terhadap pendapatan mereka. Sebab, mereka juga selama ini cenderung menanam beberapa jenis tanaman, dan sangat jarang menanam satu jenis saja untuk ekspor. Karena tanaman untuk ekspor harus ditanam lebih luas, dan itu butuh modal yang besar untuk perawatannya6. Beberapa petani lain mengeluhkan masa konfrontasi sebagai masa yang paling merugikan bagi mereka. “Ini adalah masa kehancuran”, begitulah ungkapan beberapa petani. Ungkapan seperti ini umumnya berasal dari petani yang cenderung hanya menanam satu jenis tanaman. Jenis tanaman itu adalah tanaman untuk kebutuhan ekspor, seperti; kol, kentang, wortel, daun bawang, atau kol bunga. Menurut beberapa petani lainya, pada masa sebelum konfrontasi beberapa jenis 6
Ukuran lahan yang dikategorikan petani dengan luas tidak mempunyai ukuran standar. Bagi mereka yang kurang bemodal besar, ladang seluas 1000 m2 sudah disebut sangat luas. Sementara bagi petani lainnya, ladang yang disebut luas adalah yang berukuran 5000 m2 atau lebih.
2002 digitized by USU digital library
5
petsai, seperti sayur putih juga diekspor ke Malaysia dan Singapura. Para petani hanya mengetahui bahwa pengiriman barang terbesar adalah untuk tujuan negara Malaysia. Mereka mengatakan bahwa pada waktu sebelum konfrontasi, walaupun harga tanaman tidak sangat mahal, tetapi sesuai dengan harapan . Seorang petani tua, Pak MG (75 tahun) mengatakan bahwa pada harga lebih sering sesuai dengan yang diharapkan (seri bagi sura-sura). Karena harga tanaman yang diekspor cenderung mahal, dan biaya pupuk dan pestisida tidak semahal saat ini. Beberapa penilaian petani mengenai masa konfrontasi ini cenderung dibandingkan dengan masa sebelum konfrontasi. Beberapa petani membandingkan dengan hal-hal yang menguntungkan mereka pada masa sebelum konfrontasi. Sementara, beberapa petani lain membandingkannya dengan hal-hal yang meresahkan mereka. Apapun alasan petani, mereka cenderung menganggap bahwa masa konfrontasi adalah masa yang ‘lesu’ bagi penanaman sayuran. Hal ini menyebabkan mereka cenderung tidak meluaskan areal perladangan mereka. Keadan seperti ini terus berlanjut hingga normalisasi hubungan dengan Malaysia dipulihkan kembali pada tanggal 11 Agustus 1966. B.2.3. Pasca Konfrontasi Kegiatan penanam hortikultura (khususnya sayur-sayuran) di ladang kembali mulai meningkat setelah normalisasi hubungan baik dengan Malaysia. Peningkatan praktik tanam campuran itu disebabkan karena pengiriman ekspor dibuka kembali pada awal periode ini (sekitar 1970-an). Pada masa ini, tanaman kol merupakan tanaman favorit untuk diekspor. Beberapa jenis tanaman baru juga berkembang di desa ini, seperti; tomat buah/taiwan, cabai, arcis, lobak taiwan, bit, ketna, pater seli, brokoli, kacang joko (kacang merah). Keseluruhan jenis tanaman ini telah mencapai 24 jenis. Masing-masing jenis tanaman ini terdiri dari beberapa varietas berbeda, misalnya kubis; terdiri dari kol bulat, kol gepeng. Terdapat juga beberapa jenis petsai, seperti; sayur putih, sayur manis, sayur pahit, sayur pendek. Ditemukan juga beberapa jenis selada, seperti; selada biasa, selada keriting, dan selada krop yang bentuknya sepeerti kubis (lihat lampiran-6). Pada tahun 1970-an hingga awal 1980, pemanfaatan lahan untuk perladangan mencapai 150-200 ha. Pada awal tahun 1980, penanaman didominasi oleh tanaman hortikultura, khusus sayur-sayuran. Migran Tionghoa masih mendominasi penanaman kol dan kentang di lahan sewaan dengan luas lahan tanam rata-rata 1-3 ha. Sementara, petani-petani Gurusinga masih sedikit menanam tanaman hortikultura (sayur-sayuran). Perkembangan pemanfaatan lahan ini searah dengan pebaikan sarana jalan dan transportasi. Pada tahun 1970 ini, sarana jalan di Gurusinga sudah merupakan jalan batu dengan lebar sekitar 5 m, terutama di kuta (dusun I dan II) dan Tangkulen (dusun IV). Sementara, lahan di Korpri (dusun III) masih berupa lahan kosong, hanya terdapat jalan setapak dan digunakan sebagai jalan pintas menuju kota Kabanjahe. Pada tahun 1970 ini, sarana transportasi dengan bus telah mencapai desa Gurusinga dengan rute melalui Berastagi-Tangkulen (Dususn IV)-kuta (Dususn dan II). Bus ini hanya berjalan satu kali dalam sehari secara reguler. Rute ini ditambah
2002 digitized by USU digital library
6
menjadi tiga kali dalam sehari apabila pada hari pekan di Berasatagi. Hari pekan ini hanya berlangsung satu hari dalam satu minggu. Pada awal tahun 1980 sarana jalan di kuta (Dusun I dan II) dan jalan penghubung kuta dengan Tangkulen (Dusun IV) telah diaspal dengan lebar jalan berkisar 8 m. Daerah Korpri (Dusun III) sudah dibuka pada tahun 1984 dengan kompleks perumahan Korpri (bagi pegawai negeri sipil) dan sarana jalan Korpri menuju kuta telah diaspal selebar 6 m. Pada awal 80-an ini, sebagian besar tanah kosong telah dibuka menjadi lahan perladangan oleh petani-petani Gurusinga7. Pada saat ini, pemanfaatan lahan telah mencapai150-200 ha. Sebahagian besar ladangladang tersebut telah diolah oleh petani Gurusinga. Sementara, migran Tionghoa hanya mengolah beberapa lahan saja. Sebab petani-petani Gurusinga tidak bersedia memperpanjang masa sewa ladang milik mereka kepada migran Tionghoa tersebut. Perkembangan luas perladangan selanjutnya bertambah cepat. Petani telah mulai mengelola sebahagian besar tanah yang diwariskan oleh orang tua mereka menjadi areal perladangan. Tanaman yang dipilih adalah hortikultura (khususnya sayur-sayuran). Pada tahun 1985, sebahagian besar tanah kosong di Dusun IV dan beberapa tanah kosong di Dusun I dan II telah dijadikan areal perladangan . Luas perladangan pada saat itu mencapai 265 ha, dan penduduk Gurusinga bertambah menjadi 360 kk. Penduduk mengatakan bahwa peningkatan areal perladangan ini didukung oleh lancarnya sarana transportasi. Pada tahun 1985, sarana transportasi di Gurusinga telah tersedia setiap hari, dari pagi hingga sore hari. Pengetahuan petani mengenai perawatan tanaman hortikultura juga telah meningkat. Menurut petani, meningkatnya pengetahuan ini disebabkan karena pengalaman mereka dalam menanam hortikultura pada beberapa tahun sebelum konfrontasi dan juga selama mereka menjadi buruh tani pada migran Tionghoa. Pada tahun 1985 ini, ladangladang penduduk telah ditanami dengan tanaman hortikultura secara berkesinambungan. Mereka mengatakan bahwa Tanah telah digunakan untuk penanaman yang tidak mengenal waktu ‘istirahat’ bagi tanah. Apabila petani menilai bahwa tanahnya telah terlalu ‘capek’, maka petani akan memberi waktu ‘istirahat’ bagi tanah tersebut dengan menanam jagung untuk satu periode tanam. Menurut petani tanaman jagung mampu mengembalikan produktifitas tanah8. Setelah jagung dipanen, maka petani akan langsung menanam lagi tanaman hortikultura sesuai dengan pilihan mereka masing-masing. Pilihan mengistirahatkan tanah dengan menanam jagung ini cenderung dilakukan oleh hampir semua petani di Gurusinga. Menurut petani, pada masa ini, mereka telah mulai mencampur tanaman mereka dengan tiga jenis tanaman pada satu lahan, atau pola tanam tumpang tindih 7
8
Tanah-tanah kosong itu selama ini berupa semak belukar karena tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Namun, petani-petani di Gurusinga tidak dapat menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi. Mereka hanya mengatakan bahwa akar jagung mampu menyerap racun atau semua penyakit yang ada di tanah, dan ‘kumis’ jagung yang jatuh ke tanah menjadi pupuk yang baik bagi tanah. Beberapa petani lain mengatakan bahwa mereka mengetahui hal ini dari pengalaman petani lainnya. Menurut pengalaman beberapa petani, apabila tanaman yang ditanam di atas tanah tersebut sudah sering diserang hama atau penyakit, maka mereka biasanya menanam jagung untuk satu kali periode tanam. Setelah itu tanaman yang ditanam pada lahan tersebut akan kembali berhasil dengan baik.
2002 digitized by USU digital library
7
(relay cropping) atau pola tanam bertingkat. Petani-petani membedakannya dengan pola pada awal mereka mulai menanam dengan hanya satu jenis tanaman saja, atau hanya mencampur dua jenis tanaman, misalnya kol atau kentang, atau mencampur mortel dengan daun bawang. Sejak saat ini, peningkatan pemanfaatan lahan bertambah ke arah utara dan barat desa, yaitu ke Dusun III dan ke arah kaki Bukit Deleng Kutu9. Pada tahun 1990, luas areal perladangan telah mencapai 315 ha. Dengan demikian, hampir seluruh tanah kosong yang tadinya berupa semak belukar telah dimanfattkan menjadi lahan perladangan, baik dari arah timur, barat, selatan, dan utara Desa Gurusinga. Petani-petani Gurusinga menanami ladang mereka dengan pilihan percampuran tanam yang berbeda. Beberapa di antara petani memilih jenis tanaman yang sama. Namun, mereka memilih jumlah yang berbeda untuk masing-masing jenis tanaman tersebut, dan juga memilih penataan ruang yang berbeda untuk ladang mereka. Beberapa petani lainnya memilih penataan ruang yang cenderung sama, namun mereka memilih jenis tanaman yang berbeda. Beberapa di antara petani-petani di Gurusinga juga memiliki keahlian-keahlian khusus dalam perawatan jenis tanaman tertentu. Bentuk percampuran tanaman yang sangat beragam seperti ini dibarengai dengan kemampuan petani dalam mengelola sumber daya alam dan mengembangkan strategi-strategi baru dan percobaan-percobaan dalam bidang percampuran tanamana atau pola tanam. Aumeeruddy (1995) menyebutkan bentuk percampuran tanaman yang sangat beragam ini dapat terlihat seperti hutan kebun10. C. Penutup Deskripsi ini memberikan suatu pemahaman bahwa kriteria periodesasi pembagian waktu itu dapat berbeda-beda untuk setiap komunitas. Setiap kelompok atau bahkan setiap individu dapat mempunyai kriteria periodesasi waktu tersendiri berdasarkan apa yang mereka alami dan mereka rasakan dalam kehidupan mereka pada saat itu, apakah saat-saat bahagia atau menyedihkan. Deskripsi ini juga menunjukkan bahwa setiap lapisan atau sekelompok komunitas memiliki konsepsi tersendiri tenteng untung dan rugi, bahagia dan sengsara. Konsepsi-konsepsi mikro dari petani-petani tersebut mengenai dunia mereka adalah merupakan gambaran dari kondisi makro yang dihadapi oleh pemerintah dalam lingkup yang lebih luas. Ada keterkaitan perkembangan dunia usaha dengan politik, dengan kebijakan perekonomian pada tingkat pusat yang lebih besar.
9
Penduduk mengatakan bahwa Bukit Deleng Kutu ini adalah bukit keramat. Mereka menjelaskan bahwa mereka dilarang untuk mengolah bukit ini menjadi perladangan. Petani juga mengatakan bahwa hinggag saaat ini belum ada eorang penduduk yang membuka lokasi perladangan di bukit tersebut dan tidak melakukan penebangan pohonpohon di bukit tersebut. 10 Aumeeruddy (1995) dengan studi ‘phytopractices’ menunjukkan bahwa petanipetani di wilayah tropic (secara individu) telah melakukan seleksi terhadap tanaman liar dan mengembangkan metode-metode tertentu dalam percampuran tanaman (lihat juga tulisan Tahir 1974).
2002 digitized by USU digital library
8
Imbas yang lebih luas adalah bahwa kebijakan pada tingkat makro itu akan dirasakan langsung akibatnya oleh petani-petani kecil di wilayah pedesaan yang bergerak langsung di sektor produksi sebagai produsen.
Daftar Pustaka Aumeeruddy, Y. 1995 “Phytopractices: Indigenous Horticultural Approaches to Plant Cultivation and Improvement in Tropical Regions.” Dalam D.M. Warren, L. J. Slikkerveer. dan D. Brokensha (eds) The Cultural Dimension of Development Indigenous Knowledge System. Intermediate Technology Publication, hal.308-322. Bernard, H. Russel. 1994 research Methods in Anthropology: Qualitative and Quantitative Approach. Second edition. California:Sage Publication Inc. Cleveland, D.A. 1993 “Is Variety More than Spice of Life: Diversity, Stability, and Sustainable Agriculture,”Culture and Agriculture:2-7 Shand, Hope 1997 Human Nature: Agriculture Biodiversity and Farm - Based Food Security. RAFI. Canada: Design Co. Tahir, S.M. 1974 “Meningkatkan Produktivitas Tanah di Indonesia dengan ‘Multiple Cropping’. Majalah Pertanian. No.30 Tahun ke IV. Jakarta: Dept. Pertanian. Vredenbergt, J. 1984 Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
2002 digitized by USU digital library
9
2002 digitized by USU digital library
10