Cerita Mahasiswa Antropologi Belajar Pengalaman Hidup di Papua UNAIR NEWS – Ijud, salah satu mahasiswa Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga memilih ‘belajar hidup’ ditengah keterbatasan dengan mengikuti Ekspedisi NKRI di Papua Barat. Ekspedisi NKRI merupakan kegiatan yang bertujuan memupuk kebangsaan dan cinta tanah air yang diadakan oleh Kopassus TNI AD. Diantara ribuan peserta yang mendaftar, Ijud terpilih menjadi satu diantara sekitar 200 peserta yang diterima ekspedisi NKRI 2016, Koridor Papua Barat. Proses seleksi dilaksanakan beberapa kali, seperti seleksi administrasi, tes kesehatan, psikotes, dan tes fisik. “Sebelum penugasan ke Papua Barat, Kopassus TNI AD memberikan pembekalan selama satu bulan bagi semua peserta. Proses internalisasi dunia militer terhadap peserta sipil telah berlangsung sedemikian rapi, sehingga memberikan dampak yang signifikan terhadap kebiasaan sehari-hari seperti kedisiplinan, kebersamaan, kehormatan, kejujuran, dan keberanian,” ujar Ijud. Pada ekspedisi NKRI ini, Ijud masuk dalam tim peneliti bidang sosial budaya yang ditempatkan di tiga tempat wilayah penugasan, yaitu Kabupaten dan Kota Sorong serta Kabupaten Raja Ampat. Penugasan dilakukan selama empat bulan, terhitung sejak Februari 2016, dengan target mendapatkan data sesuai bidang penelitian. “Tujuan besar dari semua kegiatan Ekspedisi NKRI yaitu untuk memetakan SDA dan SDM di Papua Barat, dan menanamkan sikap nasionalisme masyarakat terhadap NKRI,” kata Ijud.
Banyak pikiran dan sangkaan Ijud berubah setelah terjun dan hidup langsung bersama masyarakat Papua. “Kebanyakan masyarakat berpikir bahwa Papua merupakan suatu tempat yang masih tertinggal. Mereka masih sering melakukan perang suku, hidup di hutan, dan beberapa anggapan yang kurang baik lainnya seperti mereka masih suka memakan manusia. Pikiran dan sangkaan tersebut mulai berkurang bahkan hilang setelah merasakan hidup bersama mereka,” kenang Ijud. Belajar Makna Hidup Menjalani hari-hari bersama masyarakat Papua, membuat Ijud belajar tentang makna hidup kepada mereka. “Mereka sangat menghargai arti kehidupan yang harus baik kepada Tuhan, sesama manusia dan alam. Kehidupan keagamaan yang masih kental selalu dipertunjukkan setiap peribadatan yang mereka lakukan. Nilai saling menghargai dan menghormati selalu terlihat ketika berpapasan dengan mereka seperti tersenyum dan menyapa dengan “Selamat pagi/siang/malam kakak/abang/anak/om”. Hal tersebut dilakukan ke setiap orang yang mereka temui di kampung atau pun di jalan,” kenang Ijud. “Sungguh luar biasa mendapatkan kesempatan bisa hidup bersama masyarakat Papua karena dapat mendamaikan hati dan mengharukan jiwa bagi siapa saja yang benar-benar hidup dengan mereka. Interaksi dilakukan setiap waktu dengan mereka, baik itu di kebun, laut, sekolah, gereja, jalan maupun ditempat-tempat lainnya,” cerita Ijud. Kehidupan yang dijalani Ijud bersama masyarakat Papua memberikan banyak pelajaran tentang mereka hidup dengan apa adanya. Mereka memaknai kehidupan di tengah keterbatasan, memaknai keterbatasan di tengah kehidupan sehari-hari, dan memaknai hidup dari kehidupan yang telah mereka lalui selama hidupnya. “Strategi mereka untuk tetap hidup terlihat dari mana mereka
berasal. Kerasnya kehidupan laut mengajarkan mereka harus bisa apapun tentang hidup di pesisir seperti menangkap ikan, membuat perahu, dan bagaimana harus bisa tetap hidup dengan dunianya. Begitupun masyarakat yang hidup di hutan harus bisa survive di tengah keterbatasan mereka akan akses pendidikan dan kesehatan,” kenang Ijud. “Semua itu mereka jalani dan maknai bahwa apa yang menjadi kendala bagi mereka tidak membuat mereka menyalahkan Tuhan, negara, maupun alam. Mereka hidup harmonis dengan alamnya dan tetap memunculkan identitas diri mereka sebagai orang pesisir maupun pedalaman yang harus bisa survive di setiap kendala yang mereka hadapi,” pungkas Ijud. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh
Kisah Alumnus UNAIR Berpuasa bersama Pengungsi Timur Tengah UNAIR NEWS – Menjalani ibadah puasa di negeri orang tentu menyisakan pengalaman tersendiri bagi warga negara Indonesia (WNI). Akan ada kebiasaan berbeda seperti perbedaan lamanya waktu puasa, pengalaman sahur dan berbuka, hingga gejolak politik yang sedang terjadi di masyarakat. Seperti halnya Febby Risti Widjayanto, alumni Universitas Airlangga yang kini sedang menempuh studi jenjang S-2 prodi International Development di Universitas Manchester, Inggris. Di Manchester, Inggris, Febby memiliki cerita tersendiri selama berpuasa. Tinggal di belahan bumi utara mengharuskan alumni Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UNAIR tahun lulus 2014 ini menjalani puasa sekitar 19 jam, dimulai sekitar pukul 2.30 sampai dengan 21.48 waktu setempat. Meski demikian, ia merasa bersyukur karena lama waktu berpuasanya lebih singkat daripada para warga Skandinavia, yaitu sekitar 21 jam. “Tantangannya, waktu puasa yang lebih lama, menyesuaikan fisik yang nggak gampang. Pada tiga hari pertama puasa, saya langsung sakit maag, lemas, dehidrasi dan kurang darah. Tantangan lain juga musim panas yang kering. Berbeda dengan Indonesia. Di Manchester, matahari terlalu rajin bersinar,” canda Febby. Selama berpuasa, Febby rutin menjalankan kegiatan kuliah seperti biasa. Ia pergi ke kampus pada pagi hari dan mengerjakan tugas-tugas kuliah di perpustakaan, serta menyelesaikan tesis. Pada sore atau malam hari, ia terkadang berbelanja bahan makanan. Bila ada ajakan buka puasa menghampirinya, Febby juga tak segan mengikuti acara buka bersama sesama muslim di Manchester. “Kalau lagi nggak ke perpustakaan, biasanya mengikuti diskusi bersama pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia di Greater Manchester (PPI-GM). Agak lucu juga, di sini undangan buka bersama berlangsung jam 9 malam, dan biasanya acara selesai sekitar jam 11,” tutur lulusan terbaik FISIP UNAIR periode Maret 2014. Menu buka puasa dan sahur di sana cukup bervariasi. Beragam kuliner dari Indonesia, Tiongkok, sampai Timur Tengah disediakan oleh pengurus masjid setempat atau sesama warga Indonesia. Ada nasi goreng, siomay, ikan bakar, martabak telur, dan es buah untuk disantap bersama. Dirinya mengaku, ia merasa rindu dengan gorengan gerobak yang biasa berjualan dan berjejer di Indonesia. “Jajanan yang aneka rupa waktu ngabuburit. Di sini, nggak ada pedagang makanan yang berjejer. Selebihnya, nggak begitu
merasa homesick, karena di sini eksistensi komunitas muslim cukup besar dan kebersamaannya terasa,” tutur Febby. Gejolak politik Situasi politik di Inggris kini tengah memanas dengan adanya jajak pendapat untuk memutuskan keluar dari Uni Eropa. Febby menilai, situasi itu menjadi tantangan berpuasa tersendiri baginya yang bergabung dalam grup diskusi yang terdiri dari mahasiswa Eropa dan Inggris. “Secara personal, iya. Karena harus menahan diri buat nggak ngomentarin diskusi yang terbukti banyak pihak menganggap keluarnya Inggris sebagai kecerobohan besar. Aku tergabung dalam grup yang anggotanya banyak mahasiswa Eropa dan Inggris. Jadi, kadang kebawa emosi aja sama cara berpikir politik di sini yang mempopulerkan rasisme dan xenophobia,” tutur penerima beasiswa Lembaga Penyandang Dana Pendidikan (LPDP) RI itu. Selama di Inggris, ia juga berinteraksi dengan para pengungsi perang di Syria, Afghanistan, Irak, Iran, sampai Sudan Selatan. Mereka terusir dari negara sendiri akibat perang, sehingga nasib mereka belum jelas sampai sekarang. Di Manchester, sebagian besar dari mereka bekerja dan berdagang kecil-kecilan. Dengan adanya golak politik tersebut, setidaknya ada dua pelajaran utama berpuasa yang dapat dipetik oleh mahasiswa berprestasi FISIP tahun 2012 ini. Pertama, keadaan damai dan dinamika politik di Indonesia tidak sampai mengakibatkan warga negaranya keluar meminta perlindungan ke negara lain. Kedua, toleransi. “Semua orang di sekeliling kita, baik dia imigran, muslim, Kristen, Yahudi atau Agnostik sekalipun berhak dihargai dan diperlakukan dengan penuh tenggang rasa. Puasa mengajarkan kita untuk memperdalam ilmu dan merenungkan tindakan kita, maka sudah semestinya kita bisa memandang permasalahan dari
berbagai dimensi, misalnya persoalan pengungsi. Kita seharusnya bisa memupuk kerukunan, bukan menebar kebencian apalagi cacian dan rasisme. Karena masyarakat di Manchester sangat majemuk, datang dari tiga ras berbeda dan beribu-ribu etnis yang berbagi ruang hidup bersama,” imbuh Febby. (*) Penulis : Defrina Sukma S. Editor : Binti Q. Masruroh
Diaspora Pergerakan Mahasiswa dalam Globalisasi KETIKA roda jaman mulai berganti, era keterbukaan yang semakin masif telah dirasakan bahwa saat inilah kita berada dalam era globalisasi. Ya, globalisasi dewasa ini tidak hanya mempengaruhi bentuk perekonomian, politik, keamanan, atau kebudayaan suatu negara. Dewasa ini globalisasi ternyata juga telah mempengaruhi bentuk pergerakan mahasiswa. Selama ini mahasiswa menjadi salah satu aktor yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap dinamika perkembangan jaman. Di beberapa negara, pergerakan yang dilakukan mahasiswa mampu menghasilkan suatu bentuk perubahan besar terhadap kondisi internal negara tersebut. Inilah yang setidaknya pernah terlihat di beberapa negara seperti Mesir dan juga Indonesia, yang menyoal bagaimana pergerakan mahasiswa berperan. Di Mesir kita mengenal Ikhwanul Muslimim (IM) yang mampu menjadi pejuang kemerdekaan di negara itu. Anggota IM memang tidak sepenuhnya dari kalangan mahasiswa (pelajar). Sekalipun demikian tidak mengurangi betapa pergerakan mahasiswa telah menjadi kekuatan tersendiri dari suatu masyarakat.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia, beberapa pergerakan mahasiswa mampu mereformasi struktur pemerintahan seperti halnya peralihan orde lama ke orde baru dan orde baru menuju era reformasi. Sejatinya begitu besar kekuatan (power) yang dimiliki mahasiswa sebagai aktor yang dapat dinilai jauh dari kepentingan-kepentingan politis (political interests) di dalam setiap pergerakannya. Berdasarkan pada fakta sejarah, pergerakan mahasiswa sangat identik dengan permasalahan high politic suatu negara. Mahasiswa menjadi pihak yang merasa sangat marah ketika pemerintah mengambil sikap/kebijakan yang tidak pro-rakyat. Terlihat jelas ketika tahun 1974 mahasiswa menjadi pihak yang lantang menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei yang hendak melakukan kerjasama dengan pemerintah RI saat itu. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Malari (Malapetaka limabelas januari) itu didasari atas idealisme mahasiswa yang menolak kehadiran kembali bangsa asing untuk meletakkan kembali kaki dan tangan kotornya di bumi Pertiwi ini. Idealisme seperti inilah yang dulu melatar belakangi setiap pergerakan mahasiswa. Hal serupa juga dilakukan mahasiswa beberapa waktu belakangan ini, ketika pemerintah mengambil kebijakan melepas sebagian pengelolaan Blok Mahakam dan memperpanjang kontrak Freeport, maka mahasiswa kembali turun bersuara. Namun terdapat perbedaaan yang sangat nyata dari dua peristiwa tersebut. Perbedaannya adalah kekuatan (jumlah) mahasiswa dalam berhimpun. Mengapa? Sebab dalam globalisasi, konsep kesatuan aksi pergerakan mahasiswa tidak lagi terlihat. Seakan konsep itu bukanlah suatu hal yang harus dipertahankan, sehingga yang terjadi pergerakan mahasiswa mengalami “diaspora”, bukan dalam hal wilayah namun dalam ide dan bentuk pergerakannya. Diaspora pergerakan mahasiswa dalam globalisasi membawa ide
dan bentuk pergerakan menjadi beragam (divers). Hal ini tidak seperti yang terjadi pada pengaruh globalisasi terhadap kebudayaan, dimana sebelumnya adalah hal yang beragam (divers) menjadi hal yang seragam (uniform). Sebaliknya globalisasi membawa ide dan bentuk pergerakan yang sebelumnya seragam (uniform) menjadi sangat beragam. Inilah yang terjadi ketika pergerakan mahasiswa telah dipengaruhi oleh faktor-faktor globalisasi. Kemudahan akses informasi dan transportasi menghasilkan sebuah fenomana unlimited interconection yang membuat pergerakan mahasiswa mampu “ber-diaspora”. Sehingga sangat terlihat jelas perbedaan pergerakan pada saat ini, mahasiswa memiliki banyak alternatif gerakan yang dapat dipilih sesuai dengan passion, tidak lagi hanya soal aksi protes dan demonstrasi terhadap rezim. Salah satunya melalui komunitas, sehingga beragam komunitas lahir dengan spesifikasi berbeda-beda. Ada yang didasari atas kesamaan hobi, tetapi juga yang berlatar belakang permasalahan sosial seperti komunitas anti-rokok, komunitas anti korupsi, dan komunitas lain yang bergerak di bidang social development. Beberapa telah mencerminkan adanya pergerakan yang inspiratif seperti pergerakan yang concern dalam social development. Tetapi banyak juga mahasiswa yang tergabung dalam pergerakan sangat tidak produktif yang mana hanya berlatar belakang hobi dan kesenangan pribadi semata. Globalisasi membawa hal baru bagi pergerakan mahasiswa yaitu internasionalisasi. Berbagai komunitas mahasiswa telah mampu mengenalkan pergerakannya di dunia melalui forum-forum internasional. Sehingga inilah yang membuat diaspora pergerakan tidak melulu hanya pada satu tempat/negara, namun dapat menyebar luas di barbagai penjuru dunia. Sayangnya, disisi lain globalisasi telah melunturkan semangat kesatuan aksi pergerakan mahasiswa. Mahasiswa tak lagi peka terhadap isu-isu high politic seperti pada masa reformasi. Sekalipun beragam pergerakan dirasa cukup mampu menyentuh isu-
isu low politic seperti permasalahan pendidikan, kemiskinan, dan lingkunga, namun hal itu belumlah cukup. Pergerakan mahasiswa harus tetap mampu mempertahankan eksistensinya melalui konsep kesatuan aksi, bukan malah berdiaspora sehingga semakin mengecilkan hardpower mereka sebagai mahasiswa. Hal ini terbukti dalam kasus Blok Mahakam, mahasiswa tidak mampu menjadi preasure group yang digdaya untuk pemerintah, tidak seperti era peristiwa Malari. Hal ini mencerminkan sebuah bentuk “gradasi” pergerakan yang membuat tidak ada satu warna yang dominan. Hingga menyebabkan melemahnya power gerakan mahasiswa secara umum. Ketika globalisasi membawa inovasi dalam pergerakan mahasiswa, maka alangkah bijak bila hal itu tidak menghilangkan identitas dan peranan mahasiswa sebagai agent of change, moral force dan iron stock bagi masa depan bangsa dan negara. Fenomena “diaspora” pergerakan mahasiswa harus mendapat suatu bentuk pengawalan, yaitu kesatuan visi. Hal ini untuk tetap konsisten menjaga dan mengawal setiap kebijakan pemerintah sekalipun mereka telah berdiaspora. (*) Editor : Bambang Bes
Pentingnya Media Sosial untuk Membangun Citra UNAIR NEWS – Media sosial saat ini memiliki fungsi yang penting untuk membangun citra sosial, baik untuk kepentingan individu maupun kelompok. Di media sosial, kita memiliki banyak kesempatan untuk menulis gagasan, opini, dan berbagai hal untuk membangun citra diri. Dulu, persaingan untuk membangun citra diri hanya terbatas pada media cetak. Namun
kini, media sosial menawarkan berbagai kemungkinan itu. Pernyataan itu disampaikan oleh Redaktur Tempo Endri Kurniawati dalam workshop “Menulis Opini dalam Media Sosial” yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Rabu (15/6). Selain Endri, hadir pula Nieke Indrietta selaku Ketua Biro Tempo Jawa Timur. Keduanya memberikan materi seputar penulisan opini. Pada kesempatan tersebut, Endri mengungkapkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam memposting atau menyebarluaskan informasi, baik berita tertulis maupun foto. Hal tersebut dikarenakan adanya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11 tahun 2008. Selain itu, Endri juga membagi tips seputar penulisan opini untuk dimuat di media massa. “Pilihlah tema yang disukai media massa, karena itu akan sangat menentukan naskahmu dimuat atau tidak. Tema itu berkaitan dengan kejadian yang sedang in saat ini. Media tidak akan menerima tulisan yang topiknya tidak ada kaitannya dengan kejadian. Atau, pilihlah tema yang berkaitan dengan hari peringatan yang luput dari jangkauan masyarakat,” ujar Endri. Endri juga berujar, orisinalitas itu perlu. “Jangan menulis tema yang sudah banyak orang bahas,” ungkapnya. Selepas kedua pembicara memaparkan materi, peserta diajak untuk praktik menulis opini secara langsung. Tiap tim peserta membentuk kelompok sebanyak tiga orang. Sebagai apresiasi kepada para peserta, tiga naskah terpilih akan dipublikasikan pada media blog resmi milik Tempo. Dicky Murdian Putra selaku ketua panitia acara mengatakan, penulisan opini penting untuk dipahami masyarakat luas. Mengingat, saat ini banyak penulisan ide dan gagasan yang marak di media sosial.
“Sekarang ini banyak orang yang suka berpendapat dan beropini di media masaa, tapi mereka belum tau penulisan yang baik dan benar bagaimana. Kita sering melihat di media sosial banyak yang asal ngomong. Padahal dibalik itu semua ada undang-undang yang mengatur,” ujar Dicky. Dengan terselenggaranya acara, Dicky berharap para peserta memiliki wawasan yang baru dan ilmu yang diperoleh bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dicky juga mengatakan, HIMA ILKOM memiliki media “Club Koma” yang menghimpun mahasiswa Ilmu Komunikasi untuk mewadahi tulisan mereka. “Kami memiliki club bernama “Club Koma” yang menghimpun anakanak yang suka menulis, ingin jadi jurnalis, dan ingin karyanya dimuat di media. Kami menerbitkan majalah setiap bulannya, dengan tema berganti-ganti sesuai edisi,” pungkas Dicky. (*) Penulis: Binti Q. Masruroh Editor: Nuri Hermawan
Tanamkan Karater, Cinta Tanah Air, dan Etika untuk Lahirkan Generasi Emas UNAIR NEWS – Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Apalagi bila ia juga menjunjung tinggi nilai dan harkat martabat bangsanya secara turun temurun yang telah diperjuangkan oleh para leluhur bangsa. Demikian pula dengan bangsa Indonesia yang begitu kaya akan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal ini, seharusnya memiliki karakter dan
jiwa nasionalisme yang mengakar kuat dalam jati diri setiap rakyatnya. Namun pada kenyataanya, generasi bangsa ini seakan melupakan jati diri bangsanya. Berangkat keprihatinan itulah, lima mahasiswa FISIP UNAIR menggagas progam mengenai pembekalan nilai-nilai karakter, rasa cinta tanah air, dan etika generasi muda saat ini melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Tim yang diketuai Awatar Wisya Fatwa dengan anggota Iga Ayu, Harijanti Puspa, Amrina Rosyada, dan Regita Yessy, ini menuangkan gagasannya dalam cabang PKM-Pengabdian Masyarakat(PKM-M) dengan judul “KARTIKA : Karater, Cinta Tanah Air dan Etika”. Proposal PKMM yang diajukan tahun 2015 ini akhirnya lolos dan mendapat pendanaan dari Dikti pada Kemenristek Dikti tahun 2016. Bentuk Kegiatan Menurut Awatar, KARTIKA merupakan kegiatan pembekalan karakter bagi generasi muda. Dikemas dalam bentuk bimbingan belajar dengan sasaran anak-anak usia Sekolah Dasar di daerah Bogen, Kelurahan Ploso, Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya. Tim KARTIKA kemudian rutin dalam satu minggu sekali memberikan kegiatan yang berseling. Dimulai dari pemberian wawasan Karakter Kebangsaan, Jalan-jalan (study tour) hingga pembekalan nilai-nilai moralitas, keagamaan, dan pendidikan etika bagi generasi muda. Dijelaskan, tim sengaja mencari sasaran pada anak-anak usia sekolah dari kalangan menengah kebawah, karena menurutnya, anak usia sekolah sudah mampu mengolah pikir dan menerima materi yang disampaikan, kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk hidup bermasyarakat. ”Anak usia sekolah sebagai generasi muda penerus bangsa ini harus dibekali pengetahuan tentang karakter kebangsaan supaya mereka tidak jadi generasi yang tak bermoral dan lupa akan
jati dirinya,” katanya. Hal lain, penanaman rasa cinta terhadap tanah air juga penting mengingat kita sedang berpusar dalam arus globalisasi. Sedangkan etika harus diajarkan agar generasi muda tidak tumbuh menjadi generasi sembarangan, mengingat kayanya kearifan lokal dari kebudayaan kita yang menjunjung tinggi etika yang baik,” kata Awatar dan Harijanti, selaku pelaksana acara. Kegiatan KARTIKA ini telah berjalan sepuluh minggu, dan mampu menyadarkan serta menanamkan nilai-nilai karakter, cinta tanah air dan pentingnya etika bagi generasi anak-anak di daerah itu. Selain juga merangkul pemuda di daerah itu untuk dapat dikader agar meneruskan kegiatan ini selepas masa kerja anggota Tim KARTIKA usai. Ditanya tentang harapan dari kegiatan ini? Seluruh anggota Tim KARTIKA sepakat, “Kami mendambakan generasi muda Indonesia menjadi generasi emas yang mampu menjawab semua permasalahan negeri ini, serta mampu memajukan Indonesia yang diawali dengan hal-hal mendasar dan sederhana seperti ini. Apalagi setelah ini kita akan mendapatkan bonus demografi.” (*) Editor: Bambang Edy S
Mengangkat Masyarakat dalam Majapahit
Semangat Membangun
UNAIR NEWS – Partisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan pembangunan, termasuk di bidang pelestarian sejarah dan
kepariwisataan. Inilah yang mendorong lima mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, untuk meneliti partisipasi masyarakat dalam pelestarian situs peninggalan Kerajaan Majapahit. Kelima mahasiswa itu adalah Leny Yulyaningsih (FISIP/2015), Nadiya Firdausi (FISIP/2015), Fazza Baraka (FISIP/2015), Dian Rizkita Puspitasari (FISIP/2015), dan M. Giofani Fahrizal (FISIP/2015). Penelitian tentang partisipasi masyarakat itu mereka tuangkan dalam proposal program kreativitas mahasiswa kategori penelitian sosial humaniora (PKM – PE Soshum) berjudul “Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi Perwujudan Program Pembangunan Desa ‘The Spirit of Majapahit’ dalam Konsep Good Governance’. Proposal PKM – PE milik tim yang diketuai Leny itu berhasil lolos pendanaan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun 2016. Kawasan Trowulan telah menjadi wahana penelitian arkeologi. Ratusan benda peninggalan Kerajaan Majapahit ditemukan di puluhan situs. Benda peninggalan itu berupa bangunan, arca, gerabah, candi, dan petilasan. Situs Trowulan telah ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebagai situs warisan dunia. Guna melestarikan peninggalan budaya itu, maka Pemerintah Kabupaten Mojokerto, dan Provinsi Jawa Timur membangun Rumah Majapahit. Untuk membangun Rumah Majapahit, diperlukan keamanan yang kondusif di desa-desa sasaran. Ada tiga desa yang terkena dampak yaitu Desa Bejijong, Desa Jatipasar, dan Desa Sentonorejo. Awal pembangunan Rumah Majapahit sempat menuai pro dan kontra dari warga. Akibat ketidaksejalanan itu, pembangunan Rumah Majapahit sempat stagnan. “Ada isu-isu yang beredar di masyarakat, yaitu rumah yang dibangun menjadi milik pemerintah, keharusan penduduk yang bersangkutan memeluk agama tertentu, pembangunan Rumah Majapahit didanai pihak asing, dan alokasi bantuan keuangan tunai pemeliharaan Rumah Majapahit mencapai Rp 7 – 10 juta per
tahun,” tutur Nadiya selaku anggota tim. Singkat cerita, masyarakat akhirnya bersedia berpartisipasi dalam pembangunan Rumah Majapahit setelah mendapatkan penjelasan dari pihak Pemprov Jatim dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan. Berdasarkan penelitian tim, pembangunan Rumah Majapahit di kawasan Trowulan ternyata bermanfaat bagi pembangunan rumah, pagar, gapura, pertokoan yang bernuansa arsitektur Majapahit. “Kondisi ini cukup menggembirakan dan membanggakan karena arsitektur Majapahit masih disukai masyarakat. Itu berarti gaung dan langkah pelestarian budaya Majapahit di bidang arsitektur dan bangunan mendapatkan jalan untuk terus dilakukan dan ditingkatkan,” tutur Leny. Saat ini, perkembangan pembangunan yang bernuansa Majapahit di Trowulan semakin terlihat. Tiga desa sasaran, khususnya Desa Bejijong, banyak mendapatkan kunjungan wisatawan baik hanya sekadar melihat bagaimana wujud Rumah Majapahit. Masyarakat pemilik Rumah Majapahit sebagian mengembangkan rumahnya untuk berjualan souvenir atau oleh-oleh dan hasil kerajinan. Beberapa rumah diantaranya digunakan sebagai warung dengan nuansa Majapahit dan sebagian kecil yang digunakan sebagai homestay. Penulis: Defrina Sukma S.
Tradisi Carok di Madura Alami Pergeseran Makna UNAIR NEWS – Benarkah “tradisi” carok pada masyarakat etnis Madura sekarang ini sudah mengalami pergeseran makna? Itulah
faktanya yang ditemukan dalam penelitian Program Kreativitas Mahasiswa bidang Sosial Humaniora (Soshum) oleh lima mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR). Fadillah dan empat temannya yaitu Fadhli, Lidya, Wildan dan Amanda, menemukan beberapa data baru yang belum pernah ditemukan dalam penelitian carok sebelumnya. Seperti diketahui, mengutip Wikipedia, carok merupakan tradisi bertarung (berkelahi) yang disebabkan karena alasan tertentu yang berhubungan dengan harga diri kemudian diikuti antar kelompok dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tetapi Tim PKMP-SH yang lebih menekankan pada pergeseran makna carok itu sendiri, menemukan bahwa carok yang dulunya terjadi hanya karena hal-hal serius seperti perebutan perempuan, merebut isteri orang, rebutan tanah warisan, dan lain-lain, sekarang mengalami pergeseran dimana hanya karena salah perkataan atau menerima hinaan yang sepele saja bisa terjadi carok. PKMP-SH yang meneliti tentang carok ini merupakan salah satu PKM yang bergerak di bidang penelitian dan berhasil memperoleh dana dari DIKTI. PKMP-SH tentang carok ini mengambil tema yang sangat sensitif, tetapi juga menarik yaitu tentang tradisi carok yang ada di Madura, Jawa Timur. M Fadhillah membenarkan bahwa carok adalah tradisi pembelaan harga diri yang sudah menjadi budaya sangat melekat di daerah Madura, dimana disini jika ada seseorang yang merasa diinjakinjak harga dirinya ia akan menantang berkelahi orang yang menghinanya tersebut dengan menggunakan senjata celurit. Carok ini bisa terjadi karena beberapa hal seperti jika ada seseorang yang istrinya direbut oleh orang lain, maka seseorang tersebut tidak segan-segan untuk menantang berkelahi orang yang mengambil isterinya.
”Sebab di daerah Madura harga diri adalah nomor satu dan sangat dijunjung tinggi, tetapi kelompok PKM-SH disini memberikan sentuhan baru dari penelitian-penelitian carok yang sudah ada sebelumnya,” katanya. Karena itu tim PKMP-SH yang mengupas tentang carok ini, ingin memfokuskan pandangan orang-orang yang berada diluar Madura agar tidak memandang bahwa segala bentuk kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan celurit di daerah Madura adalah tradisi carok dan juga ingin memperlihatkan data baru yang belum ada pada penelitian carok sebelumnya, misalnya tentang pergeseran-pergeseran tradisi carok pada sekarang ini yang sudah berubah dari tradisi carok pada awalnya. (*) Penulis : Bambang ES
Proxy War Harus Dihadapi dengan Strategi Berbeda UNAIR NEWS – Isu keamanan nasional tak hanya berkutat masalah bela negara, tetapi juga ideologis. Merespon masalah itu, tema ‘National Security and Assymetric War’ diangkat dalam Diskusi Reboan, Rabu (8/6). Sejumlah mahasiswa, dosen, dan tamu undangan antusias untuk hadir dan memenuhi Ruang Adi Sukadana, Gedung A, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Diskusi reboan ini dihadiri oleh tiga pembicara, yakni Triyoga Budi Prasetyo dari Universitas Pertahanan Indonesia, Joko Susanto, MSc, selaku staf pengajar pada Departemen Hubungan Internasional FISIP UNAIR, dan Khairul Fahmi dari Institute for Security and Strategic Studies. Diskusi dimoderatori oleh Bustomi yang merupakan alumnus FISIP UNAIR.
Menurut Triyoga, isu keamanan nasional kini tak hanya berkutat pada kekuatan ekonomi, militer, dan politik. Ada elemen-elemen lainnya yang tak kalah penting, yaitu keamanan informasi, energi, perbatasan, geostrategis, cyber, lingkungan, etnis, pangan, kesehatan, dan sumber daya. “Saat ini keamanan nasional tidak hanya seputar territorial dan militer semata, namun terkait pula keamanan masyarakat, pengembangan manusia dan keamanan sosial ekonomi dan politik,” tandas Triyoga. Sementara itu, Joko memaparkan dinamika perang yang pernah terjadi di berbagai kawasan. Kini, perang tak lagi bersifat destruktif, tetapi merambah ke ranah ideologis. Perang ini merujuk pada konflik antara dua negara yang melibatkan proxy alias kaki tangan. Perang proxy perlu disikapi dengan strategi yang berbeda, dan perlu diperhatikan serta diwaspadai karena mengganggu integrasi nasional. “Waspada ancaman perang proxy, perlu adanya justifikasi rasional dan kuat. Ketika menerima informasi jangan hanya berdasarkan kata siapa dan sumber yang tidak jelas,” ujar pengajar HI FISIP UNAIR. Selama ini, ancaman-ancaman skala besar direspon melalui caracara militer. Begitu pula dengan sekuritisasi yang sangat dimaknai sebagai suatu terminologi ala militer, seperti isu bela negara. Sekuritisasi seharusnya dapat dikuatkan dari sektor masyarakat. Maraknya paham radikalisme yang masuk ke Indonesia seharusnya menjadi tanggung jawab kementerian yang membidangi urusan pendidikan. Selanjutnya, kementerian informasi berperan dalam mengawasi paham radikalisme yang bertebaran di media. (*) Penulis: Ahalla Tsauro Editor: Defrina Sukma S.
Kerjakan UAS dengan Menjadi Event Organizer UNAIR NEWS – Ujian Akhir Semester (UAS) tak hanya berbentuk tugas review jurnal, praktikum, atau menjawab pertanyaan esai dan pilihan ganda dalam ruangan kelas. Buktinya, mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga yang mengikuti mata kuliah Perencanaan Event (PE) berhasil menggelar acara dengan sukses. Di bawah bimbingan pengajar Ilmu Komunikasi FISIP UNAIR Nurul Ratna Sari, S.IP., M.Comm, dan dosen praktisi bernama Stallon Simatauw, sebanyak 50 mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok event organizer. Ketiga kelompok EO yang dibentuk adalah SubCircle, Matcha, dan Futura. Mereka menyelenggarakan event dengan tema besar ‘Healthy and Green’. SubCircle EO telah lebih awal melaksanakan event di Ciputra World pada tanggal 1 – 5 Juni 2016. Tema yang diusung adalah ‘Green and Healthy: Urban Life Festival (ULF) 2016’. Ada tiga bentuk kegiatan yang diselenggarakan oleh SubCircle EO, yaitu lokakarya, gelar wicara, bazaar, dan kompetisi. Kegiatan ULF ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat Surabaya untuk tetap menjaga kesehatan dan mencintai lingkungan. Dalam lokakarya, SubCircle EO berkolaborasi dengan @mamabento_sby, mengajak audiens untuk mengkreasi makanan bento sehat. Lokakarya dan kompetisi lainnya yang digelar antara lain bertema ‘Urban Fit and Healthy Body’, ‘Urban Farming: Terrarium’, ‘Urban Seed Art Competition’, dan ‘Selfie Contest’. “Alhamdulilah. Awalnya gak ngira aja, event yang efektif digarap satu bulan bisa dilaksanakan selancar ini, dengan
berbagai sponsor dan media partner pendukung. Kami juga berterimakasih ke Mbak Sari dan Koko Stallon selaku dosen mata kuliah ini, yang udah banyak membimbing dan mendukung kami,” jelas Riza, anggota kelompok SubCircle yang juga mahasiswi Ilmu Komunikasi angkatan 2013. Setelah kegiatan SubCircle selesai, Matcha EO menyelenggarakan kegiatan ‘Zumba Aerobic Glowing Night’ di area parkir Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAIR. Kegiatan yang dilaksanakan malam hari tanggal 4 Juni lalu, berhasil menarik banyak peserta untuk mengikuti olahraga yang sedang tren. Kegiatan zumba yang diikuti sekitar 200 pengunjung ini, merupakan acara zumba pertama yang diadakan pada malam hari. Acara ini menggabungkan sisi hiburan dan edukasi. Zumba dan aerobik dimeriahkan oleh instruktur profesional, penampilan beatbox, akustik, hingga seni tari modern. Dari sisi edukasi, Matcha EO bekerjasama dengan pihak World Wide Fund for Nature (WWF). Tujuannya, mengajak pengunjung untuk mendukung program baru WWF bernama New Trees dengan cara berdonasi. Setelah Matcha EO, kelompok Futura EO menjadi kelompok penutup kegiatan UAS matakuliah PE. Futura EO mengadakan Ngabuburit Healthy Market di Ciputra World Surabaya pada 6 – 12 Juni 2016. Melalui kegiatan Ngabuburit Healthy Market, Futura EO mengajak masyarakat Surabaya untuk menjaga kesehatan melalui olahraga meski berpuasa. Ngabuburit Healthy Market diisi dengan beberapa stan kuliner, dan produk kesehatan. Ada juga beberapa mini talkshow dari Komunitas Organik Indonesia, Surabaya Sheat dan Hilo. Dengan adanya bentuk ujian semacam ini, tentu kecakapan mahasiswa akan bertambah dalam hal praktik. “So far sih, mata kuliah ini seru banget! Dosennya ada Mbak Sari yang sangat teoritis dan konseptual, plus Koko Stallon yang praktikal.
Jadi, dalam prosesnya kami dapat teori dan praktik secara seimbang. Harapannya, ya, semoga Futura, Subcircle, dan Matcha tetep bisa jadi EO di luar kelas Perencanaan Event,” tutur Vita Kartika, anggota Futura EO dan mahasiswi Ilmu Komunikasi 2013. (*) Penulis: Zahrina Arum Nabilah (mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNAIR) Editor: Defrina Sukma S.
Lahan Penelitian Klientelisme Politik Lokal Masih Terbuka Luas UNAIR NEWS – Sivitas akademika program studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga kedatangan Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra, Selasa (24/5). Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada itu memberikan kuliah umum tentang ‘Klientelisme dan Otonomi Daerah di Indonesia’ di hadapan puluhan peserta. Dalam literatur ilmu sosial, konsep klientelisme berpasangan dengan konsep patronase. Kedua konsep itu biasa dipakai untuk menunjukkan pola hubungan patron (pemilik wewenang) dan klien (pelanggan) dalam menganalisis fenomena sosial. Ilmuwan politik mulai menengok fenomena patronase karena group theory tidak selalu dapat menjelaskan fenomena politik di tingkat lokal, seperti pedesaan. “Para ahli antropologi generasi berikutnya merasa bahwa pendekatan ini kurang mampu menampilkan dinamika politik yang penuh dengan persaingan dan konflik,” tutur Prof. Heddy.
Menurut Prof. Heddy, teori patronase dan jaringan sosial lebih dapat menjelaskan fenomena politik di tingkat lokal di negara berkembang. Inilah yang kemudian membuat para ilmuwan politik tertarik meneliti politik lokal. Tak hanya itu, ilmuwan politik menggunakan patronase sebagai model untuk memahami politik di tingkat nasional dan internasional. Dalam kuliah umum tersebut, ia juga menjelaskan perihal relasi klientelisme dengan otonomi daerah. Beliau mengemukakan bahwa pendekatan struktural-fungsional dapat digunakan untuk memahami hubungan otonomi daerah dan fenomena patronase di berbagai daerah di Indonesia, atau politik di tingkat desa hingga tingkat provinsi. “Diterapkannya otonomi daerah di Indonesia sangat banyak mengubah kondisi fisik-material dan kondisi sosial-budaya masyarakat di daerah pedesaan maupun di tingkat kabupaten. Hal ini tentu berpengaruh terhadap keberlangsungan hubungan patronase di situ. Hal itu tidak berarti bahwa kita tidak perlu menggunakan paradigma-paradigma prosesual. Semua paradigma dapat digunakan untuk memahami fenomena patronase,” pungkasnya. Menurutnya, ada beberapa kemungkinan timbulnya corak patronase baru di era otonomi daerah. Salah satu di antaranya adalah kepala daerah menjadi patron tunggal karena kepala daerah dapat memanfaatkan anggaran belanja daerah untuk menampilkan citranya sebagai patron. Selain itu, patron yang muncul berasal dari kelompok kekerabatan tertentu. Hal itu disebabkan adanya dukungan kerabatan kepala daerah yang meminta untuk mempertahankan jabatan. Prof. Heddy juga menjelaskan tentang prospek penelitian klientelisme di Indonesia yang bagi beliau masih memiliki lahan penelitian luas karena belum banyak diteliti meskipun dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat jumlahnya. Tak hanya itu, penelitian tersebut sangat memungkinkan memberikan sumbangan teoretis, khususnya pada kajian tentang patronase
yang disebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial-budaya di lingkungan masyarakat. Dalam proses demokratisasi di tingkat lokal, penelitian klientilisme juga memungkinkan untuk memberikan banyak sumbangan praktis karena akan memberikan banyak pemahaman mengenai proses politik pada tataran tersebut. “Dan juga sangat mungkin memberikan banyak sumbangan untuk memahami budaya dan masyarakat lokal di Indonesia, serta dinamika politiknya,” tutupnya. (*) Penulis: Lovita Martafabella Editor: Defrina Sukma S.