PERINGATAN HARI IBU DALAM KERANGKA KONSEP DAN IDEOLOGI PEREMPUAN SEBAGAI IBU BANGSA Releksi Editorial Oleh: Edy Siswoyo
PENDAHULUAN Empat dari karya ilmiah bidang penelitian yang ditampilkan dalam INSANI edisi Desember 2010 ini adalah mengenai perempuan. Kelompok peneliti muda Mathildis Ogur dan kawan-kawan melakukan penelitian empirik yang menyoroti pentingnya komunikasi keluarga terutama peran ibu dalam proses penyembuhan anak dari ketergantungannya pada narkoba. Anak yang diteliti oleh kelompok ini adalah anak-anak perempuan yang sedang berada dalam proses penyembuhan dari narkoba di Penjara Anak Perempuan Tangerang. Penelitian empirik yang ke dua adalah dari kelompok peneliti muda Joseph Bram dan kawan-kawan yang menyoroti penting pembinaan yang komprehensif dan berkelanjutan terhadap kaum perempuan mantan pelacur yang dibina di Panti Sosial Bina Karya Wanita Kedoya agar tidak terjebak kembali menjadi pelacur. Penelitian berikutnya adalah penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Marlyn Agnes Pantouw yang menyoroti pentingnya komunikasi keluarga dalam menghindari terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. Anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga pada umumnya adalah anak perempuan, yang melibatkan ibu sebagai pelakunya baik langsung mupun tidak langsung. Penelitian ke empat adalah penelitian dosen muda Yulius Achmad Taufiq mengenai perubahan sikap remaja setelah menonton tayangan sinetron Cahaya di televisi. Mayoritas respondennya adalah remaja putri di kawasan perumahan BSD. Yulius menyimpulkan ada hubungan antara daya tarik dan perrubahan sikap remaja putri terutama dalam bertutur kata dan berbusana. Penelitian yang ke lima adalah penelitian mengenai intensitas praktik ramah lingkungan pada kegiatan industi pengolahan tempe tahu, dengan mengambil kasus di PIK KOPTI (Perkampungan Industri Kecil Koperasi Tempe Tahu Indonesia) di Semanan Jakarta Barat. Kondisi dan peran perempuan dalam praktik ramah lingkungan untuk kegiatan pengolahan tempe tahu pada dasarnya bukan merupakan pokok bahasan utama, melainkan hanya salah satu informasi sepintas saja. Penelitian ini berasumsi bahwa sense of beauty kaum perempuan lebih menonjol jika dibandingkan dengan sense of 2
beauty kaum laki-laki. Akan tetapi data menunjukkan bahwa estetika masing-masing unit usaha tidak berkaitan dengan jenis kelamin pengelola unit usaha. Berkenaan dengan signifikannya porsi pembahasan mengenai perempuan pada terbitan INSANI edisi Desember ini, maka editorial ini mencoba mengaitkannya refleksi dari hasil-hasil penelitian tersebut dengan mencoba memahami kembali makna Peringatan Hari Ibu bulan Desember ini. Sebagaimana banyak ditemui, Hari Ibu di Indonesia telah diperingati dalam kerangka makna yang bervariasi. Dari berbagai variasi makna peringatan Hari Ibu tersebut, tidak jarang termasuk katagori salah kaprah. Karena itu yang hendak disampaikan oleh editorial ini adalah: yang pertama ingin menunjukkan Kesalah-kaprahan Peringatan Hari Ibu; yang kedua menguraikan secara singkat Sejarah Hari Ibu; yang ketiga bermaksud menguraikan makna dan peringatan Hari Ibu dalam Konteks Peran Kaum Perempuan dalam Sejarah Perjuangan Indonesia. Kesalah-kaprahan Indonesia
Peringatan
Hari
Ibu
di
Dari Wikipedia Bahasa Indonesia Ensiklopedia Bebas, diperoleh definisi bahwa Hari Ibu adalah hari peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Selanjutnya dikatakan bahwa peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebastugaskankan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Diinformasikan pula bahwa di Indonesia hari tersebut dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional. Sementara di Amerika dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong, Hari Ibu atau Mother’s Day dirayakan pada hari Minggu di pekan kedua bulan Mei. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Perempuan Internasional atau International Women's diperingati
INSANI, ISSN : 0216-0552|No. 10/1/Desember/2010
setiap tanggal 8 Maret (Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia: http://id.wikipedia.org/wiki/Hari Ibu).
keperempuanan dan semangat juang mereka yang hebat.
Apa yang tertulis di Wikipedia tersebut menunjukkan betapa salah kaprahnya makna dan cara memperingati Hari Ibu di Indonesia. Widyastuti Purbani dalam artikelnya mengenai Meluruskan Salah Kaprah Peringatan Hari Ibu (2008) menunjukkan bahwa pemahaman kita tentang Hari Ibu, 22 Desember, mencerminkan pikiran yang kacau. Peringatan Hari Ibu terpolusi oleh Mother’s Day yang diperingati di banyak negara, terutama Amerika Serikat. Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, memuji ke-ibu-an para ibu. Berbagai kegiatan pada peringatan itu merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, surprise party bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari. Memang tidak ada yang salah dengan aneka ungkapan seperti itu. Tidak ada salahnya pula mengucapkan terima kasih atas jasa dan jerih payah ibu. Tetapi, jika merunut sejarah terjadinya Hari Ibu di Indonesia, sebenarnya bukan itu misi sejatinya. Misi sejati peringatan Hari Ibu adalah mengenang perjuangan kaum perempuan menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Sejarah telah menunjukkan bahwa tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.
Penggunaan kata ibu ini pulalah yang tampaknya telah membuat pemaknaan Hari Ibu terseret ke arah pemaknaan Mother’s Day, yang lebih ditujukan untuk memberi puja-puji terhadap ke-ibu-an (motherhood) dan perannya sebagai “yang telah melahirkan dan menyusui”, sebagai pengasuh anak, sumber kasih sayang, pemandu urusan domestik, dan pendamping suami. Hal-hal inilah yang menjadi titik sentral peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret. Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.
Paparan Widyastuti tersebut bermaksud menunjukkan bahwa misi diperingatinya Hari Ibu sebenarnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Yang lebih hebat, pemikiran dan aneka upaya penting itu terjadi jauh sebelum kemerdekaan negeri ini diraih dan jauh sebelum konsep-konsep adil jender dan feminisme berkembang di negeri ini. Kata “ibu” Yang barangkali telah merancukan pemaknaan Hari Ibu adalah digunakannya kata “ibu”, dan bukan “perempuan”. Masalahnya, jika ditilik dari apa yang dilakukan para pejuang saat itu, titik sentral yang digarap adalah kaum perempuan secara umum, bukan sebatas kaum ibu. Jadi, menilik sejarahnya, mestinya bukan the state of being mother-nya yang diapresiasi, tetapi
Akan tetapi, seperti terjadi di Indonesia, makna itu mengalami pendangkalan akibat komersialisasi dan bisnis media lebih ke arah hari makan-makan atau pemberian kado bagi para ibu. Dari paparan tersebut, tampak peringatan Hari Ibu 22 Desember di Indonesia amat tidak konsisten karena secara makna lebih cenderung mengarah ke worshiping motherhood, seperti di Eropa dan Timur Tengah, dan praktiknya cenderung mengopi apa yang dilakukan masyarakat Amerika Serikat, tetapi dari segi waktu maunya memakai tanggal di mana pejuang perempuan bangsa bersatu. Jika kita ingin dianggap jelas dalam berpikir, seharusnya mengembalikan hari penting itu kepada makna sejatinya, yakni mengenang perjuangan dan keterlibatan perempuan dalam usaha perbaikan nasib bangsa yang belum lepas dari berbagai kemalangan, tanpa harus menghilangkan rasa terima kasih dan pujapuji terhadap jasa dan perjuangan kaum ibu. Demikian antara lain paparan Widyastuti (2008).
“IBU BANGSA”, PEREMPUAN PEJUANG KESEJAHTERAAN BANGSA
INSANI, ISSN : 0216-0552|NO. 10/1/Desember/2010
3
Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang perempuan dengan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain. Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembargembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa. Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938.[8] Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate. Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini. Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan 4
dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Di Solo, misalnya, 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok. Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung. Satu momen penting bagi para wanita adalah untuk pertama kalinya wanita menjadi menteri adalah Maria Ulfah di tahun 1950. Sebelum kemerdekaan Kongres Perempuan ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW). ICW berkedudukan sebagai dewan konsultatif kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa. Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, memuji ke-ibu-an para ibu. Berbagai kegiatan pada peringatan itu merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, pesta kejutan bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari. Kongres Wanita Indonesia atau disingkat Kowani adalah federasi dari organisasi kemasyarakatan wanita Indonesia sesuai dengan undang-undang yang berlaku dalam lingkup nasional. Kowani didirikan pada tahun 1928 berlokasi di Jakarta, ibu kota Indonesia. Organisasi ini telah meraih banyak penghargaan baik secara nasional, regional maupun internasional. Kongres Perempuan Indonesia, Sebuah Gerakan Perempuan 1928-1941 Bagaimanapun kondisi perempuan Indonesia tak dapat dilepaskan dari pola dan budaya kehidupan masyarakat pada umumnya. Selama masa kolonial hingga kemerdekaan, perempuan selalu berada dalam posisi subordinat di keluarga dan masyarakat. Beberapa pengecualian tentu saja ada, di beberapa wilayah Indonesia, meskipun dalam perkecualian tersebut, basis diskriminasi dan penidasan tetap saja
INSANI, ISSN : 0216-0552|No. 10/1/Desember/2010
ada dan dapat dilacak. Tulisan ini tak hendak mengupas panjang kondisi diskriminasi dan penindasan, akan tetapi ydalam hal ketersuarakannya kepentingan perempuan di lingkup publik dan domestik mulai dihembuskan dilantangkan dari jaman ke jaman di Indonesia dalam suatu pergerakan untuk menghentikan penindasan, sehingga kepentingan dan hak, serta kebutuhan perempuan pun terwakili dan terwujud, yang pada akhirnya membuka jalan perempuan tahu apa yang diinginkannya (kesadaran/consciousness), apa yang ingin dikatakannya untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Bila ditelusuri fakta sejarahnya, bukan historiografi Indonesia atau penulisan sejarah Indonesia, kaum perempuan adalah kelompok yang mengambil bagian dalam perjuangan, apakah di jaman pergerakan (1945) maupun di jaman kemerdekaan (1945-). Akan tetapi dalam berbagai literatur tentang sejarah dan peringatan monumental, hari-hari peringatan bersejarah, perempuan Indonesia tidak termasuk yang banyak dicatat. Ada tiga hal yang menyebabkan hal itu, pertama: perempuan di dalam lingkup sejarah nasional tidak berada dalam posisi pembuat keputusan ataupun memegang posisi menentukan. Kedua, di dalam perjuangan nasional, perkumpulan perempuan tampak mengalah “untuk tidak menonjolkan diri di lingkup perkumpulan laki-laki”. Ketiga, perempuan kemudian mengambil bentuk perkumpulan sendiri yang terpisah dari laki-laki sebagai tempat di mana perempuan dapat memperjuangkan kepentingan perempuan dan masyarakat secara umum dengan bebas, bahkan dengan menonjol sekalipun. Melalui perkumpulan perempuan inilah, para perempuan Indonesia kemudian menemukan keterwakilannya dan kebebasannya untuk menyuarakan kepentingannya yang belum terwakili. Perkumpulan perempuan ini nampak seperti perjuangan yang memisahkan diri dari perjuangan masyarakat pada umumnya, yaitu perjuangan menentang kolonialisme dan sebagainya. Tetapi sesungguhnya yang dilakukan para perempuan ini adalah perjuangan untuk mengubah keadaan masyarakat dengan perjuangan yang lebih spesifik dalam jangkauan yang luas; seluruh perempuan Indonesia, bangsa Indonesia. Dalam menjangkau perjuangannya ke kehidupan perempuan yang lebih luas, perempuan yang masuk perkumpulan (terutama mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas dan
bangsawan), sedikit banyak terinspirasi oleh literatur tentang perempuan. Antara lain dari buku Auguste Bebel atau Door Tuist Toot Licht, serta dari perubahan yang terjadi di negara tetangga dan dunia pada umumnya. Kehidupan perkumpulan perempuan Indonesia (gerakan perempuan) bermula dari kegiatan para perempuan di dalam perkumpulan umumnya (perkumpulan yang beranggotakan campuran, perempuan dan laki-laki). Kaum perempuan di Nusantara, terutama yang mengecap pendidikan sekolah dasar atau menengah biasanya memulai aktivitas perkumpulan melalui kegiatan kepanduan (pramuka) atau dalam perkumpulan yang dibentuk berlatar belakang kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon. Melalui perkumpulan pemuda inilah perempuan Indonesia turut beraktivitas. Misalnya mereka turut bersama di dalam pendeklarasian Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Di samping itu, berbagai perkumpulan umum (pemuda) membentuk seksi perempuan seperti Wanito Tomo dari Boedi Oetomo, Poetri Indonesia dari Putra Indonesia dan Wanita Taman Siswa dari Taman Siswa. Sedangkan perkumpulan perempuan yang muncul pada awal gerakan di antaranya adalah Putri Mardika, pada tahun 1916. Beberapa perempuan yang kemudian menjadi pelopor dan panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia pertama ikut serta dalam deklarasi di Jakarta itu. Mereka ini antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lain-lain. Seluruh Indonesia pun mengikuti jejak ini dengan menggalang persatuan perempuan Indonesia melalui Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928. Saat inilah, lahir beberapa ide untuk mengumpulkan berbagai perkumpulan perempuan dan menggalang persatuan sesama perempuan yang tergabung melalui berbagai perkumpulan perempuan. Kongres Perempuan Indonesia yang berlangsung tahun 1928 berkelanjutan hingga tahun 1941. Sejak tahun1941, tidak lagi diadakan Kongres Perempuan Indonesia. Kondisi ini terutama sekali disebabkan oleh situasi politik Indonesia yang berada dalam genggaman Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang tidak hanya mematikan bentuk-bentuk perkumpulan yang mandiri, tetapi melarang adanya perkumpulan perempuan lain selain fujinkai. Setelah Indonesia merdeka tidak lagi ada Kongres Perempuan, yang ada
INSANI, ISSN : 0216-0552|NO. 10/1/Desember/2010
5
adalah Kongres Wanita. Tanpa bermaksud memperdebatkan arti kata perempuan dan wanita, Kongres Perempuan yang dilangsungkan pada tahun 1928 dan tahun selanjutnya merupakan era kebangkitan perempuan Indonesia. Karena pada saat inilah pertama kali muncul kesadaran perempuan Indonesia atas kepentingannya yang berbeda dari rekan pejuang laki-laki. Pada masa itu pulalah perempuan Indonesia dapat berkumpul secara bebas untuk menentukan kehendaknya. Kongres Perempuan Indonesia 22-25 Desember 1928 Kongres Perempuan merupakan kegiatan yang bersifat kooperatif. Artinya kegiatan yang di masa pergerakan nasional dikategorikan sebagai perjuangan yang dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah kolonial. Artinya memiliki status legal, legalitas Kongres diakui pemerintah kolonial, dan Kongres mengajukan tuntutan pada pemerintah kolonial dalam bentuk rekomendasi. Bagi gerakan perempuan saat itu, cara yang ditempuh ini memudahkan penyebarluasan gagasan kepada perempuan dan masyarakat umum, terutama pihak kolonial. Sehingga kaum perempuan kelas menengah atau bangsawan tidak memiliki ketakutan untuk bergabung atau ikut serta karena dianggap tidak radikal. Sedangkan pemerintah kolonial sendiri masih memiliki nostalgia keberhasilan politik etis (kemajuan pendidikan bangsa bumi putra) pada perempuan. Hal ini juga mencerminkan anggapan publik, khususnya pemerintah, tentang stereotipe kegiatan perempuan dan perkumpulan perempuan. Perkumpulan perempuan dianggap non-politis. Sebagai strategi, perempuan yang menyelenggarakan Kongres memutuskan untuk tidak membicarakan “politik” dalam arti umum. Kongres lebih menekankan pembahasan masalah perempuan yang menurut anggapan umum, termasuk pemerintahan kolonial, adalah non-politis. Perempuan Indonesia dari berbagai latar belakang suku, agama, kelas, dan ras datang dari seluruh Indonesia menghadiri Kongres yang diselenggarakan di Mataram (Yogyakarta, sekarang). Para perempuan ini umumnya berusia muda. Persiapan Kongres dilakukan di Jakarta, dengan susunan panitia Kongres Perempuan Indonesia sebagai berikut: Nn. Soejatin dari Poetri Indonesia sebagai Ketua Pelaksana, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa sebagai Ketua Kongres, dan Ny. Soekonto dari Wanito Tomo 6
sebagai Wakil Ketua. Pada saat itu dimulailah pengorganisasian untuk terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia. Tidak terbayangkan kini, saat Indonesia masih belum memiliki fasilitas transportasi, para perempuan dari berbagai daerah hadir ke Yogyakarta untuk menghadiri Kongres. Banyak di antara para peserta Kongres dari luar Jawa harus menempuh perjalanan dengan kapal laut berhari-hari untuk dapat tiba di Yogyakara. Para perempuan ini juga banyak yang harus bergulat dengan persoalan pribadi karena harus meninggalkan keluarga (kekasih), rumah maupun saudara selama berhari-hari, yang tentunya pada masa ini sangat tidak lazim. Kongres ini dihadiri oleh perwakilan 30 perkumpulan perempuan dari seluruh Indonesia, di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa. Pembahasan berbagai isu utama permasalahan perempuan dibicarakan dalam rapat terbuka. Topik yang diangkat saat ini di antaranya adalah kedudukan perempuan dalam perkawinan; perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya; poligami; dan pendidikan untuk anak perempuan. Berbagai topik tersebut kemudian memunculkan debat dan perbedaan pendapat dari perkumpulan perempuan yang belatar belakang agama. Akan tetapi, berbagai perbedaaan itu tidak kemudian mencegat suatu kenyataan yang diyakini bersama, yaitu perlunya perempuan lebih maju. Beranjak dari permasalahan yang diungkap, Kongres memutuskan: untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan; pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan); dan segeranya diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia; memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds; mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta
INSANI, ISSN : 0216-0552|No. 10/1/Desember/2010
mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak; mendirikan suatu badan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). PPPI bertujuan memberikan informasi dan menjadi mediator berbagai perkumpulan perempuan di dalamnya. Selain Kongres Perempuan di atas, muncul berbagai perkumpulan berdiri atas inisiatif peserta Kongres yang dimaksudkan untuk membela dan melindungi hak perempuan, di antaranya Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anakanak (P4A) yang didirikan tahun 1929. Pendirian perkumpulan itu disebabkan oleh merajelanya perdagangan anak perempuan. Pada tahun tersebut berita tentang beberapa anak perempuan dari Desa Pringsurat di Magelang yang diculik saat berwisata ke Semarang menjadi sorotan media massa. Mereka diculik dan dibawa ke Singapura setelah sebelumnya dibius dan tak sadarkan diri. Peristiwa itu menjadi suatu pembicaraan ramai. Pemerintah kolonial meskipun menyatakan dukungan tetapi tidak aktif membantu P4A. Meskipun begitu, pada tahun 1930, P4A berhasil menyelamatkan dua orang anak perempuan dari Jawa Tengah dan dikembalikan ke keluarganya. Mereka diselamatkan saat akan dilakukan transaksi atas diri mereka di rumah bordil di Singapura. Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia, Jakarta 28-31 Desember 1929 Kongres PPPI diikuti oleh perkumpulan perempuan yang menjadi anggotanya. Kongres diketuai oleh Ny. Mustadjab. Pada Kongres ini isu yang diangkat sebagai pembahasan di antaranya adalah masalah kedudukan dan peran sosial dan ekonomi perempuan, peran dan kedudukan perempuan dalam perkawinan, dan kehidupan dalam keluarga. Permasalahan perkawinan khususnya poligami, kawin paksa dan perkawinan anak-anak juga menjadi topik yang dibahas tersendiri. Mengenai Kongres Perempuan I, diinformasikan pada peserta bahwa tiga mosi di atas yang disampaikan kepada pemerintah disambut dengan baik. Kongres memutuskan:
mengganti nama PPPI menjadi Perikatan Perkumpuan Istri Indonesia (PPII). Agar tidak nampak bahwa perkumpulan ini sebagai satu perkumpulan atau unity, melainkan hanya bersifat federasi atau gabungan; anggaran dasar yang baru menyebutkan tujuan penggabungan itu adalah menjalin hubungan di antara perkumpulan perempuan untuk meningkatkan nasib dan derajat perempuan Indonesia dengan tidak mengkaitkan diri dengan soal politik dan agama; mengajukan mosi kepada pemerintah untuk menghapuskan pergundikan. Kongres ini sempat diwarnai ketegangan dan kepanitiaan mengalami kekacauan karena Kongres hampir dilarang. Hal itu terkait dengan situasi yang terjadi saat itu, yaitu Bung Karno ditangkap di Yogyakarta. Kantor dan tempat gedung pertemuan sempat digeledah polisi. Setelah mendapat surat perijinan yang lengkap dari pejabat yang berwenang, polisi kemudian membolehkan Kongres dibuka. Kongres dilangsungkan di Gedung Thamrin di Gang Kenari. Semangat peserta Kongres sangat menggebu dan antusiasmenya tinggi. Massa rakyat pun mendukung Kongres ini, “yel-yel merdeka!” dipekikkan oleh massa rakyat. Gedung tempat pelaksanaan Kongres menjadi menggelegar. Polisi yang mengawasi mengancam akan membubarkan pertemuan. Maka salah seorang dari pemimpin sidang menyerahkan penanganan selanjutnya kepada Soejatin (Poetri Indonesia), ketua pelaksana Kongres Perempuan Pertama 1928. Soejatin kemudian berusaha mengendalikan suasana untuk menjadi lebih tertib. Sambutan demi sambutan diakhiri dengan pekikan “Merdeka, Sekarang!” Maka ruangan kembali riuh. Hal ini kembali membuat polisi gelisah dan kesal. Mereka berdiri serentak dan akan berupaya membubarkan rapat. Akan tetapi ketika polisi akan melakukan itu, Soejatin telah mengetuk palu dan menyatakan rapat umum selesai dan ditutup. Selanjutnya dilakukan rapat tertutup antara peserta Kongres. Kongres turut menyatakan keprihatinannya sehubungan terjadinya penangkapan Sukarno dengan membatalkan rencana akan mengadakan pameran dan malam penutupan.
INSANI, ISSN : 0216-0552|NO. 10/1/Desember/2010
7
Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia, Surabaya 13-18 Desember 1930 Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia ini juga merupakan yang pertama bagi perkumpulan ini. Kongres diketuai oleh Ny. Siti Soedari Soedirman. Kongres ini diikuti oleh perkumpulan perempuan yang menjadi anggota PPII. Karena sifat federasi dari PPII ini, maka Kongres memutuskan untuk menetapkan asas perkumpulan yang dapat mengakomodasi bermacam perkumpulan yang ada di dalamnya. Untuk itu ditetapkan asas yang lebih bersifat umum yang dapat diterima oleh seluruh anggota perkumpulan. Hal-hal yang menjadi isu yang dianggap peka bagi suatu perkumpulan tertentu, seperti poligami dan perceraian, tidak dimuat di dalam asas perkumpulan. Kongres memutuskan: menetapkan asas yang lebih bersifat umum bagi semua anggota; mendirikan Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (BPPPA) yang diketuai oleh Ny. Sunarjati Sukemi; mengirim utusan ke Kongres Perempuan Asia yang akan diadakan 19-23 Januari 1931 di Lahore, India, yaitu Ny. Santoso dan Nn. Sunarjati. Terbentuknya BPPPA disebabkan keprihatinan yang mendalam atas nasib yang menimpa anak-anak peremepuan yang terkena praktek Cina Mindering, yaitu petani meminjam uang dengan bunga yang sangat tinggi dan tidak dapat mengembalikannya, sehingga kerapkali anak gadis petani dijadikan penebus hutang-hutang itu. Kongres juga mengangkat isu buruh perempuan, khususnya nasib buruh pabrik batik di Lasem. Diangkatnya isu buruh pabrik batik di Lasem itu diilhami dari laporan yang dilakukan oleh dr. Angelino akan adanya kejahatan di dalam pabrik itu. Kongres kemudian mengirim utusan ke Lasem, mereka adalah Soejatin dan Ny. Hardiningrat. Di Lasem keduanya mengadakan rapat umum dengan para pembatik dan melakukan penyelidikan ke pabrik. Rapat umum dengan pembatik dilakukan untuk memberikan kesadaran hak para pembatik di daerah itu. Kedua utusan itu mendapat penjagaan ketat, karena ada kabar bahwa mereka akan dibunuh. Kegiatan yang sama, yaitu rapat umum dan penyelidikan perusahaan batik pun dilakukan di Madiun dan Blora, dengan dipimpin oleh Ibu Sudiro. 8
Selain itu, Kongres juga diterbitkannya majalah Istri.
memprakarsai
untuk
Mengenai keputusan Kongres untuk mengirim utusan ke Kongres Perempuan Asia di Lahore, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kongres itu tak dapat dilaksanakan oleh aktivis perempuan India, sehingga dilaksanakan oleh perempuan Inggris. Aktivis perempuan India yang seharusnya menjadi penyelenggara Kongres dipenjara karena menentang pemerintah Inggris. Sikap utusan Indonesia yang tidak ikut dalam Kongres itu mendapat kritikan dari sebagian mereka yang memiliki andil dalam pengumpulan dana untuk mengirimkan utusan itu. Pada Kongres PPII ini, Soejatin menyampaikan ceramah berjudul “Pendidikan Wanita”. Kongres Perempuan Indonesia, Jakarta 20-24 Juli 1935 Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935 diikuti oleh tidak kurang dari 15 perkumpulan, di antaranya Wanita Katolik Indonesia, Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Aijsiah, Istri Sedar, Wanita Taman Siswa dan lain sebagainya. Kongres diketuai oleh Ny. Sri Mangunsarkoro. Kongres menghasilkan keputusan: mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia; tiap perkumpulan yang tergabung dalam Kongres ini akan meningkatkan pemberantasan buta huruf; tiap perkumpulan yang tergabung dalam Kongres ini sedapat mungkin berusaha mengadakan hubungan dengan perkumpulan pemuda, khususnya organisasi putri; Kongres didasari perasaan kebangsaan, pekerjaan sosial dan kenetralan pada agama; Kongres menyelidiki secara mendalam kedudukan perempuan Indonesia menurut hukum Islam dan berusaha memperbaiki kedudukan itu dengan tidak menyinggung agama Islam; Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”. Kongres Perempuan Indonesia menjadi badan tetap yang melakukan pertemuan secara berkala. Didirikan Badan Kongres Perempuan Indonesia untuk
INSANI, ISSN : 0216-0552|No. 10/1/Desember/2010
mengkoordinasi undangan pertemuan. Dengan berdirinya badan tersebut maka PPII dibubarkan. Kongres Perempuan Indonesia, Bandung, Juli 1938 Kongres dikuti berbagai perkumpulan perempuan, di antaranya Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Tomo, Aisjiah, Wanita Katolik dan Wanita Taman Siswa. Kongres diketuai oleh Ny. Emma Puradiredja. Isu yang dibahas dalam Kongres antara lain, partisipasi perempuan dalam politik, khususnya mengenai hak dipilih. Saat itu pemerintah kolonial telah memberikan hak dipilih bagi perempuan untuk duduk dalam Badan Perwakilan. Mereka di antaranya adalah Ny. Emma Puradiredja, Ny. Sri Umiyati, Ny. Soenarjo Mangunpuspito dan Ny. Sitti Soendari yang menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) di berbagai daerah. Akan tetapi karena perempuan belum mempunyai hak pilih maka perempuan menuntut supaya mereka pun diberikan hak memilih. Kongres memutuskan: tanggal 22 Desember diperingati sebagai “Hari Ibu” dengan arti seperti yang dimaksud dalam keputusan Kongres tahun 1935; membangun Komisi Perkawinan untuk merancang peraturan perkawinan yang seadil-adilnya tanpa menyinggung pihak yang beragama Islam. Kongres Perempuan Indonesia, Semarang Juli 1941 Kongres ini diikuti oleh berbagai perkumpulan perempuan yang mengikuti kongres perempuan sebelumnya. Kongres diketuai oleh Ny. Soenarjo Mangunpuspito. Kongres menghasilkan keputusan: menyetujui aksi Gapi (Gabungan Politik Indonesia) dengan mengajukan “Indonesia Berparlemen” pidato yang memuat tuntutan hak pilih dan dipilih dalam parlemen, yang ditujukan untuk memperjuangkan Indonesia merdeka. mufakat dengan adanya milisi Indonesia menuntut agar perempuan pun selain dipilih dalam Dewan Kota juga memiliki hak pilih; menyetujui diajarkannya pelajaran Bahasa Indonesia dalam sekolah menengah dan tinggi; dibentuk empat badan pekerja: o badan pekerja pemberantasan buta huruf
o badan pekerja penyelidik masalah tenaga kerja perempuan o badan pekerja masalah perkawinan hukum Islam o badan pekerja memperbaiki ekonomi perempuan Indonesia. Kelahiran Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi Kongres Perempuan Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mencapai tujuan dan maksudnya, terutama yang menyangkut tuntutan perempuan di dalam perkawinan, dan kehidupan sosial ekonomi. Sebagai sebuah gerakan, Kongres Perempuan Indonesia telah menjadi suatu momentum bersatunya berbagai perkumpulan perempuan. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh iklim gerakan nasional saat itu. Situasi dan kondisi sebagai bangsa yang terjajah membuat bangsa bumi putra, apalagi kaum perempuan, sulit bergerak dan mengambil langkah untuk mengorganisasi diri. Maka adalah suatu yang sangat luar biasa bahwa di dalam kondisi seperti itu, para perempuan Indonesia dari berbagai daerah dapat berkumpul bersama, mengemukakan pikiran dan pendapatnya mengenai berbagai permasalahan khususnya permasalahan perempuan. Kongres Perempuan Indonesia 1928 merupakan suatu gerakan, kongres tersebut adalah wujud suatu kebersatuan perempuan yang dengan kebersadaran atau tidak, melakukan tindakan kolektif melalui perkumpulan-perkumpulan. Tindakan tersebut didasari pengetahuan mengenai adanya ketidakadilan dan subordinasi yang dialami perempuan karena seksualitasnya. Pengetahuan itu telah melahirkan bermacam perbedaan persepsi mengenai titik pandang pemecahan masalah dari masing-masing perkumpulan. Meskipun begitu, pada akhirnya Kongres memutuskan mendirikan suatu gabungan perkumpulan PPPI. Pendirian perkumpulan inilah yang dapat dikenali sebagai persatuan perempuan, kebangkitan perempuan. Kebersatuan itu tidak mereduksi keberadaan perkumpulan perempuan yang tergabung di dalamnya untuk tetap menjadi bagian dari gerakan. Perkumpulan tetap eksis dan masing-masing perkumpulan berusaha melaksanakan keputusan Kongres, sesuai dengan cara dan pijakannya.
INSANI, ISSN : 0216-0552|NO. 10/1/Desember/2010
9
Setelah 70 tahun sejak Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928, perempuan Indonesia khususnya yang akan menggabungkan diri dalam Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, masih tetap melihat relevansi isu-isu dan permasalahan yang dibahas dalam Kongres Perempuan Indonesia 1928 itu. Maka adalah suatu hal yang penting bagi perempuan Indonesia di mana pun berada, dalam kondisi yang bagaimana pun, dan dengan perbedaan apa pun, berkumpul dan bersatu menyuarakan kepentingan dan menyatakan keterwakilannya. Tak banyak anggota Koalisi Perempuan Indonesia sekarang yang mengetahui bahwa Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi yang didirikan bersama pada tahun 1998, dimulai dengan suatu perjuangan yang panjang berat dan melelahkan. Airmata, tenaga dan cita-cita para perempuan dengan dedikasi tinggi dicurahkan saat itu. Inilah ciri khas bangsa Indonesia, selalu melupakan diri dari sejarah. Sejarah dan jejak pelajaran masalalu bukan jadi pelajaran, belum jadi kebanggaan, padahal baru sepuluh tahun lewat. Di antara para perempuan yang berjuang pada awal sebelum Kongres Yogyakarta, untuk mempersiapkan Kongres saat itu antara lain Debra Yatim, Mira Diarsi, Julia Suryakusuma,Nani Buntarian, Liaang, Avi Mahaningtyas, Kamala Chandrakirana, Maria Pakpahan, Chusnul Mar’iyah (dan nama-nama lain yang saya harus mencari dokumentasinya karena hanya ada dipikiran saat menuliskan ini), mereka ini berpindah-pindah tempat hanya untuk rapat persiapan Koalisi. Pernah sampai rapat di Jalan Jeruk Purut Kemang, pernah di Jalan Mampang Prapatan 55, pernah di Danau Towuti. Rapat berpindah-pindah karena Koalisi Perempuan Indonesia belum mempunyai kantor, belum lagi membuat acara. Pembentukan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi terkait erat dengan gerakan perempuan secara bersama-sama melawan Orde Baru. Pada saat itu organisasi perempuan (tokoh-tokoh perempuan kini) bersatu bahu membahu melawan Orde Baru. Dimulai dengan pembentukan Suara Ibu Peduli, sebagai cikal bakal Koalisi Perempuan Indonesia. Dalam rapat yang dilaksanakan di Jurnal Perempuan di Bulan Februari yang saat itu berkantor 10
di Megaria setelah aksi Suara Ibu Peduli, yang menjadi titik berangkat perhatian dunia perubahan sistem demokrasi di Indonesia, setelah aksi Suara Ibu Peduli di Bundaran HI (19 Februari 1998) dan runtutan kekerasan-kekerasan oleh tentara (April penembakan Trisakti, dan Kerusuhan Mei). Aksi Suara Ibu Peduli, dan proses hokum terhadap mereka yang ditangkap menjadi suatu peristiwa drama politik perempuan yang Indah. Saat itu para perempuan bersatu, bahu membahu menggunakan citra ‘keperempuanan’ untuk perjuangan politik. Suara Ibu Peduli sendiri nama yangdicetuskan oleh Tati Krisnawati agar gerakan ini tidak terlihat politis, dan tidak dapat dianggap gerakan politik. Padahal tentunya kita semua paham, gerakan perempuan adalah gerakan politik. Mereka yang ditangkap dalam aksi Suara Ibu Peduli 1998 dan harus menjalani proses pengadilan melahirkan suatu magnitude kebersamaan perempuan di gerakan untuk bersatu. Hari Perempuan Internasional 8 Maret 1998, diperingati bersama semua organisasi perempuan dengan Doa Bersama antar Iman di Kanisius, Menteng. Pada saat itu, diadakan penarikan sumbangan ‘kencrengan’ yang dana terkumpul disumbang buat TKW yang menjadi korban yang dalam dampingan Solidaritas Perempuan. Foto-foto Julia Suryakusuma menghitung uang hasil sumbangan ini seharusnya masih ada di koleksi dokumentasi Jurnal Perempuan. Lalu sidang-sidang pengadilan Suara Ibu Peduli selalu disesaki orang-orang yang hadir untuk mendukung mereka yang ditangkap (Gadis Arivia, Karlina Leksono, Wilasih). Sidang-sidang yang dipenuhi orang-orang juga menjadi ajang perjuangan. Susu-susu berbungkus yang bertuliskan pesan perjuangan dan perlawanan dibagikan. Itulah antara lain yang menjadi latar Koalisi Perempuan Indonesia. Sesudah aksi Suara Ibu Peduli, dan dukungan untuk membantu mereka yang kurang mampu dalam pemenuhan susu, Suara Ibu Peduli menjadi bagian yang kemudian gerakan tersendiri untuk berkonsentrasi pada ibu-ibu dan ibu rumah tangga. Maka, dalam rapat-rapat Suara Ibu Peduli selanjutnya, dicetuskan dan disetujui perlunya suatu organisasi politik perempuan yang akan bergerak memperjuangkan kebijakan perempuan di tingkat nasional. Itulah Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi.
INSANI, ISSN : 0216-0552|No. 10/1/Desember/2010
Sejak itu pulalah para penggiat gerakan perempuan yang akan membentuk Koalisi Perempuan bersamasama mencari cara dan dana agar Kongres Perempuan yang menyatukan gerakan perempuan se Indonesia terlaksana. Mereka yang melakukan lobby yang terus menerus, membuat proposal, sehingga terlaksanalah Kongres Perempuan 1998 di Yogyakarta.Merekalah yang harus berurusan dengan funding untuk menyampaikan laporan penyelenggaraan Kongres Perempuan, yang mendatangkan perempuan dari berbagai organisasi seluruh Indonesia, mulai dari Organisasi Lasykar Wanita (pejuang Kemeredekaan 1945), hingga organisasi tingkat mahasiswa. Yang hadirpun dari seluruh Indonesia, bahkan perempuan dari Timor-timur masih menjadi peserta Kongres Perempuan ini. REFLEKSI Benar apa yang telah dipaparkan oleh Widyastuti bahwa misi sejati peringatan Hari Ibu adalah mengenang perjuangan kaum perempuan menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Sejarah telah menunjukkan bahwa tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa. Imam Basori El Ghibran (2010) melukiskan bahwa pada jaman itu, memang sering terjadi kawin paksa, buruh diupah murah, perdagangan perempuan dan masih sedikit sekali perempuan yang berpendidikan. Barang kali kondisi itu tidak jauh berbeda dengan temuan-temuan penelitian mengenai kaum perempuan yang disajikan dalam jurnal ini: pelacuran, kecanduan narkoba, dan kekerasan terhadap dan oleh perempuan. Akan tetapi persoalan yang dilihat oleh para pejuang perempuan tersebut bukan hanya sebatas pada buruknya nasib dan rendahnya harkat dan martabat kaum perempuan; akan tetapi lebih pada harkat dan martabat bangsa Indonesia secara keseluruhan. Konggres 20-24 Juli 1935 telah menyepakati pernyataan pentingnya kaum perempuan “Mewujudkan Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa“. Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”. Tanda-tanda munculnya kesadaran mendalam mengenai kehidupan berbangsa pada perempuan
begitu kuat. “Ibu bangsa” mengandung arti bahwa perempuan bukan hanya punya peran domestik dan sosial, tetapi perempuan punya peran politik yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi yang utuh. Pada tahun 1938 kembali digelar sebuah kongres dan diputuskan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu dengan moto “Merdeka Melaksanakan Dharma”. Hari Ibu dijadikan momentum untuk menyadarkan kembali tanggung jawab perempuan terhadap masyarakat dan keluarga. Hari Ibu dijadikan momentum untuk menyeerukan agar kaum perempuan bersatu dalam melawan penindasan. Dinamakan hari Ibu dan bukan hari perempuan, karena Ibu berarti sosok yang menumbuhkan dan mendidikan generasi. Perempuan bukan hanya ibu bagi anak-anaknya tapi ibu bagi bangsanya. Hal ini sejalan dengan deklarasi politiknya. Hari Ibu di Indonesia semestinya sangat mengagumkan. Makna Hari Ibu di Indonesia sangat dalam. Hari Ibu Indonesia semestinya lebih luas, lebih dari sekedar memberikan penghargaan prestasi domestik ala “Mother’s Day”. Yang perlu lebih diserukan adalah apresiasi terhadap prestasi ibu dalam mendidik generasi; agar setidaknya berita-berita mengenai KDRT baik kepada maupun oleh kaum perempuan semakin digeser oleh berita-bertia tentang keharmonisan dan prestasi keluarga; pelacuran semakin berkurang; dan para remaja tumbuh kembang secara sehat tanpa narkoba. Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2010.
DAFTAR PUSTAKA El Ghibran, Imam Basori 2010, Peranan Ibu Terhadap Bangsa, http://imambasori.blogspot.com/2010/12/perananibu-terhadap-bangsa.html, Jumat, 24 Desember 2010 Hardi, Lasmidjah, ed. 1981. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran), Buku I. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang. Hardi, Lasmidjah, ed. 1985. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalam dan Pemikiran), Buku V. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang
INSANI, ISSN : 0216-0552|NO. 10/1/Desember/2010
11
Lasminah, Umi, 2008, Kongres Perempuan Indonesia, Sebuah Gerakan Perempuan 1928-1941, March 4, 2008, http://wartafeminis.wordpress.com/2008/03/04/kongr es-perempuan-indonesia-sebuah-gerakanperempuan-1928-1941-2/ Lasminah, Umi 2009, Kelahiran Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi: http://www.kotalayakanak.org/index.php?option=co m_content&view=article&id=153:meluruskan-salahkaprah-peringatan-hari-ibu&catid=56:artikel&Itemid=77 Siaran Perwari, Tahun I No.3 Desember 1950 Subadio, Maria Ulfah, T.O Ihromi 1978, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, Gajah Mada Univ, Press
12
December 20, 2009 , http://wartafeminis.wordpress.com/2009/12/20/kelah iran-koalisi-perempuan-indonesia/ Purbani, Widyastuti, 2008, Meluruskan Salah Kaprah Peringatan Hari Ibu, Jakarta, 20 Desember 2008, KLA.org,
Suwondo, Nani, S.H. 1968. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Timun Mas. Warta Feminis 2007, The road of Indonesian Women Movement, March 13, 2007 , http://wartafeminis.wordpress.com/2007/03/13/briefhistory-road-of-indonesia-women-movement/ Wrienga, Saskia 1995, The politization of Gender Relation in Indonesia, Academisch Proefschrift, Geboren te Amsterdam
INSANI, ISSN : 0216-0552|No. 10/1/Desember/2010