PERILAKU MEMAAFKAN DI KALANGAN REMAJA BROKEN HOME
Sri Wahyu Putri AR Fakultas Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan Jl. Kapas 9 Semaki Yogyakarta
[email protected]
ABSTRACT Forgiving is an act of manifestation and valuable personal assets to resolve conflicts or problems among adolescences. Develop a forgiving behavior can bring many benefits for teens, providing both mental and physical health, improved relationships with others, pay attention to the well-being of others and is a form of moral action. The objective of study was to examine the psychological aspects of forgiving behavior in adolescents broken home and the factors that influence forgiving behavior in broken home adolescences. This study used a qualitative approach with case study method. Data was collected by using interviews and observations technique on sampling criteria that have adolescents aged 17-22 years with a broken home. The results showed the psychological aspects that occur on the subject is, the cognitive subject to forgive without any sense of revenge in our hearts, forgive affectively with compassion but not with forced. The factors that influence forgiving behavior in adolescence broken home is building a good relationship with others after conflicted.
Keywords: behavioral forgive, broken home.
ABSTRAK
Perilaku memaafkan merupakan suatu bentuk manifestasi tindakan dan aset pribadi yang berharga untuk menyelesaikan konflik atau permasalahan di kalangan remaja. Mengembangkan perilaku memaafkan dapat mendatangkan banyak keuntungan bagi remaja, yaitu memberikan kesehatan baik psikis maupun fisik, memperbaiki hubungan dengan orang lain, memberikan perhatian terhadap well-being orang lain serta merupakan suatu bentuk tindakan moralitas. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui aspek-aspek psikologis perilaku memaafkan pada remaja broken home dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan pada remaja broken home.
96
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Metode pengambilan data menggunakan wawancara dan observasi pada sampling yang memiliki kriteria remaja yang berusia 17-22 tahun dengan keluarga broken home. Hasil penelitian menunjukkan aspek-aspek psikologis yang terjadi pada subjek adalah, secara kognitif subjek memberikan maaf tanpa ada rasa dendam di hati, secara afektif memaafkan dengan rasa kasihan tapi tidak dengan terpaksa. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan pada remaja broken home adalah subjek memberikan maaf pada seseorang karena ingin membangun hubungan sosial yang baik setelah adanya konflik. Kata Kunci : perilaku memaafkan, broken home.
PENDAHULUAN Angka perceraian setiap tahunnya terus bertambah tiga kali lipat sejak tahun 1960 (Harvey & Pauwels, 1999). Sepertiga perkawinan pertama dalam sepuluh tahun terakhir berujung pada perceraian. Konsekuensi dari tingginya angka perceraian tersebut adalah ditemukannya lebih dari satu juta anak terlibat dalam situasi perceraian setiap tahunnya (Bramlet & Mosher, 2001). Belakangan ini perceraian dianggap sebagai solusi yang tepat apabila pernikahan tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi kesejahteraan pasangan dan anak akibat percekcokan yang terus menerus. Banyak media yang mengangkat fenomena ini sehingga mengundang berbagai pandangan positif maupun negatif. Heboh fenomena perceraian sudah terjadi beberapa waktu lalu, sejak gembar-gembor pemberitaan di media. Dalam suasana keluarga yang broken home bukan hanya komunikasi yang memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam hubungan itu, sehingga menyebabkan berkurangnya ketertarikan antardiri. Lemahnya ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial termasuk pengabaian afektif. Hal ini, dapat diuraikan bahwa dalam keluarga yang broken home antarpasangan terjadi pelemahan rasa saling menilai secara positif, yang terjadi penilaian menjadi cenderung negatif satu dengan yang lainnya. Disamping itu peneliti juga menemukan pengakuan dari individu berdasarkan wawancara dan observasi bahwa kurang adanya kedekatan antara individu dan orang tua dikarenakan kekecewaan individu terhadap perceraian orang tua sehingga menyebabkan jarang komunikasi dan lebih sering berada di luar rumah. Menurut Mardiya (2009), keluarga yang mengalami perceraian atau keretakan di dalamnya, maka sedikit banyak akan mempengaruhi perubahan perhatian dari orang tua terhadap anaknya baik perhatian fisik, seperti sandang, pangan, dan pendidikan maupun perhatian psikis seperti, kasih sayang dan
97
intensitas interaksi. Perubahan ini disebabkan karena kebiasaan hidup yang dilakukan bersama dalam satu rumah, harus berubah menjadi kehidupan sendirisendiri dan timbulnya rasa tidak nyaman akibat adanya konflik dalam keluarga, sehingga akan dapat mempengaruhi cara-cara anak dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Hampir semua anak yang berasal dari keluarga yang broken home atau rumah tangga yang berantakan lebih besar kemungkinannya akan terjerumus dalam kriminalitas dan tindakan kenakalan lainnya (Quensel, dkk, 2002). Salah satu penyebab rendahnya kemampuan remaja dalam menyelesaikan masalah yang berdampak pada munculnya kenakalan remaja adalah akibat keluarga yang tidak harmonis atau yang biasa disebut dengan keluarga “broken home”, sehingga orang tua sendiri lemah dalam melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya (Quensel, dkk, 2002). Kondisi ini menimbulkan dampak yang sangat besar terutama bagi anak. Selain itu, anak juga kehilangan pegangan serta panutan dalam masa transisi menuju kedewasaan. Sebab orang tua merupakan contoh (role model), panutan, dan teladan bagi perkembangan di masa remaja, terutama perkembangan psikis dan emosi, perlu pengarahan, kontrol, serta perhatian yang cukup dari orang tua. Orang tua merupakan salah satu faktor sangat penting dalam pembentukan karakter remaja selain faktor lingkungan, sosial, dan pergaulan (Willis, 2009). Kemampuan afektif yang dimiliki remaja juga dapat mempengaruhi penyelesaian masalah yang dihadapinya. Remaja dituntut memiliki kemampuan untuk mampu mengelola dirinya dengan baik sehingga mampu menyikapi segala permasalahan yang dihadapi dengan baik. Stein dan Book (2004) mengemukakan bahwa kualitas afektif atau emosi dapat membawa individu pada ketahanan dalam menghadapi masalah. Penyelesaian konflik antar pribadi dan merajut hubungan yang telah koyak bukanlah hal yang sederhana. Dalam situasi keluarga, forgiveness atau pemaafan merupakan cara yang efektif dan penting untuk mengatasi permasalahan antar individu (Hargrave, 1994). Enright (1998) menyebutkan, dalam pemaafan dibutuhkan kemampuan untuk melewati berbagai emosi negatif seperti kebencian, kemarahan, penolakkan, dan keinginan berbalas dendam. Hal tersebut dapat dicapai dengan menyuburkan emosi positif seperti tindakan-tindakan yang baik, memunculkan empati, dan bahkan rasa cinta Enright (1998). Toussaint dan Webb (2005) memaafkan adalah pusat untuk membangun manusia yang sehat dan mungkin salah satu proses yang paling penting dalam pemulihan hubungan interpersonal setelah konflik. Ketidaksempurnaan dalam kemampuan manusia untuk berhubungan satu sama lain menimbulkan pelanggaran sering dan tanggapan afektif negatif, perilaku, dan kognitif konsekuensi dalam hubungan interpersonal dan tanggapan negatif dapat menyebabkan gangguan fungsi sosial.
98
A. Perumusan Masalah Perilaku memaafkan merupakan suatu bentuk manifestasi tindakan dan aset pribadi yang berharga untuk menyelesaikan konflik atau permasalahan di kalangan remaja. Mengembangkan perilaku memaafkan dapat mendatangkan banyak keuntungan bagi remaja, yaitu memberikan kesehatan baik psikis maupun fisik, memperbaiki hubungan dengan orang lain, memberikan perhatian terhadap well-being orang lain serta merupakan suatu bentuk tindakan moralitas. Hal itu sesuai dengan keinginan individu bahwa memaafkan seseorang untuk mendapatkan ketenangan, sehingga terkadang memaafkan orang lain bukan karena takut akan kehilangan atau dikucilkan. Pengkajian terhadap individu remaja broken home akan mengetahui seperti apa aspek-aspek psikologis yang mempengaruhi perilaku memaafkan dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku memaafkan pada individu.
B. Pengertian Perilaku Memaafkan Memaafkan adalah pusat untuk membangun manusia yang sehat dan mungkin salah satu proses yang paling penting dalam pemulihan hubungan interpersonal setelah konflik (Toussaint dan Webb, 2005). Ketidaksempurnaan kemampuan manusia untuk berhubungan satu sama lain menimbulkan pelanggaran sering dan tanggapan afektif negatif, perilaku, dan kognitif konsekuensi dalam hubungan interpersonal. Tanggapan negatif ini dapat menyebabkan gangguan fungsi sosial. Memaafkan melibatkan pengurangan respon negatif terhadap pelanggaran. Ini tidak melibatkan mencari retribusi atau restitusi dan tidak memerlukan kerentanan lebih lanjut, melainkan memungkinkan akuntabilitas. Menurut McCullough (2001) perilaku memaafkan dapat didefinisikan sebagai suatu tranformasi atau perubahan motivasi pada diri seseorang. Perubahan yang dialami oleh individu tersebut adalah adanya pengurangan motivasi pada diri seseorang untuk melakukan perlawanan, adanya pengurangan motivasi untuk mempertahankan permusuhan dengan orang lain, upaya untuk meningkatkan motivasi dalam meningkatkan konsiliasi dan berniat baik untuk memperbaiki hubungan walaupun ada tindakan dari partnernya yang dianggap memberikan kerugian bagi dirinya. Menurut Enright (1998) perilaku memaafkan adalah adanya tindakan sebagai upaya yang dilakukan seseorang untuk tidak membalas menyakiti orang lain atas apa yang telah dilakukannya, melainkan memberikan pengampunan. Perilaku memaafkan itu sendiri dapat dibedakan dari melupakan, membalas orang lain dengan setimpal dengan perbuatannya atau rekonsiliasi. McCullough, dkk (1997) menambahkan bahwa perilaku memaafkan adalah konsep dasar yang menghambat seseorang untuk tetap mempertahankan permusuhan maupun upaya balas dendam. Perilaku memaafkan pada akhirnya akan meningkatkan motivasi pada diri seseorang untuk melakukan konsiliasi yang bersifat lebih konstruktif bagi pihak yang bertikai.
99
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku memaafkan adalah motivasi dalam diri individu untuk memberikan pengampunan sebagai upaya menahan diri agar tidak melakukan tindakan balas dendam atau menyakiti orang lain melainkan untuk memperbaiki hubungan dengan orang lain.
C. Dimensi Perilaku Memaafkan Menurut Zechmeister & Romero (2002), terdapat tiga dimensi dari perilaku memaafkan, yaitu: a. True Forgiveness Perilaku memaafkan dalam kategori ini mampu melibatkan dua dimensi, yaitu dimensi intrapsikis dan dimensi interpersonal. True forgiveness merupakan suatu pilihan yang secara sadar dilakukan saat individu mampu menggantikan legitimasi mereka terhadap orang lain dan menggantikannya dengan respon yang mengarah pada konsiliasi. Selain itu perilaku memaafkan yang secara total juga tidak mengharapkan balasan atau bersifat unconditionally. b. Hollow Forgiveness Perilaku memaafkan yang terjadi hanya melibatkan dimensi interpersonal saja tanpa melibatkan aspek emosi dan kognitif di dalamnya, misalnya berpurapura telah berbaikan dan memaafkan pihak yang bertikai dengannya, namun sebenarnya tidak dapat melupakan konflik yang terjadi. c. Silent Forgiveness Dalam hal ini, perilaku memaafkan yang terjadi hanya pada tataran emosi dan kognitif saja, akan tetapi tidak melalui tataran interpersonal dengan orang lain. Individu tidak mengungkapkan perilaku memaafkan ke dalam jalinan hubungan sosial dengan orang lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi perilaku memaafkan adalah true forgiveness, hollow forgiveness, dan silent forgiveness.
D. Aspek-aspek Perilaku Memaafkan Menurut Zechmeister & Romero (2002), aspek-aspek perilaku memaafkan, yaitu: a. Aspek Kognitif Merupakan respon kognitif individu yang secara sadar dilakukan saat individu mampu menggantikan legitimasinya terhadap orang lain dan menggantikannya dengan respon yang mengarah pada konsiliasi. Perilaku memaafkan diberikan secara total dan tidak mengharapkan balasan. b. Aspek Afektif
100
Merupakan respon emosi yang dimunculkan oleh seseorang dalam mengembangkan perilaku memaafkan. Respon emosi ini dalam bentuk empati atas hal yang dirasakan oleh individu tersebut. c. Aspek Perilaku Merupakan respon perilaku yang dimunculkan oleh individu untuk memberikan maaf kepada orang lain. Membicarakan jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi yang memungkinkan timbulnya tindakan perilaku memaafkan merupakan proses untuk mengembangkan perilaku memaafkan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek perilaku memaafkan adalah aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek perilaku.
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Memaafkan Menurut McCullough, dkk. (1998), faktor penentu yang mempengaruhi munculnya perilaku memaafkan pada individu, yaitu: a. Social Cognitive Determinant Determinan sosial kognitif meliputi afektif empati terhadap orang lain yang difasilitasi oleh adanya penilaian tanggung jawab dan kemungkinan untuk menyalahkan orang lain maupun penilaian terhadap kesungguhan. Atribusi yang diberikan kepada orang lain merupakan salah satu faktor dari empati maupun perilaku memaafkan. Determinan lainnya adalah adanya pemikiran pribadi, image, dan afeksi yang terkait dengan perselisihan interpersonal yang dapat menyebabkan individu melakukan balas dendam maupun melakukan penolakan. b. Offense Related Determinant Determinan ini timbul apabila individu mempersepsi bahwa hal yang dirasakan oleh individu atas pertikaian yang terjadi memberikan penderitaan bagi dirinya, maka akan lebih sulit kemungkinan baginya untuk dapat memaafkan. c. Relational Determinant Faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku memaafkan adalah sejauhmana kedekatan yang dimiliki oleh seseorang terhadap pihak yang bertikai dengannya. Hal ini banyak dipengaruhi oleh keterkaitan antara perilaku memaafkan dengan motivasi untuk berhubungan interpersonal dengan orang lain. d. Personality Determinant Determinan kepribadian yang berpengaruh antara lain pemahaman seseorang akan konsep memaafkan, sikap seseorang terhadap upaya balas dendam, respon yang dimunculkan saat merasa marah, norma religiusitas sebagai alat untuk meredam perilaku yang mengarah pada pertikaian. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan adalah social cognitive determinant, offense related determinant, relational determinant, dan personality teterminant. F. Remaja Broken Home Menurut Willis (2009), broken home sering dikaitkan dengan krisis keluarga, yaitu kondisi yang sangat labil dalam keluarga, dimana komunikasi dua
101
arah dalam kondisi demokratis sudah tidak ada. Quensel, dkk (2002) menambahkan bahwa istilah broken home biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun dan sejahtera akibat sering terjadi konflik yang menyebabkan pada pertengkaran bahkan dapat berujung pada perceraian. Hal ini akan berdampak besar terhadap suasana rumah yang tidak lagi kondusif, orang tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya sehingga berdampak pada perkembangan remaja. Orang tua adalah panutan dan teladan bagi perkembangan remaja terutama pada perkembangan psikis dan emosi, serta orang tua pembentuk karakter yang terdekat. Jika remaja dihadapkan pada kondisi broken home dimana orang tua tidak lagi menjadi panutan bagi dirinya maka akan berdampak besar bagi perkembangan dirinya (Gunarsa, 2004). Dampak psikis yang dialami oleh remaja yang mengalami broken home remaja menjadi lebih pendiam, pemalu, dan bahkan depresi berkepanjangan. Faktor lingkungan tempat remaja bergaul adalah sarana lain jika orang tua sudah sibuk dengan urusannya sendiri. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan negatif karena keadaannya labil maka tidak menutup kemungkinan remaja akan terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik dan penyelesaian masalah yang dilakukannya cenderung mengarah pada hal-hal yang negatif.
TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui aspek-aspek psikologis perilaku memaafkan pada remaja broken home. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan di kalangan remaja broken home.
METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Strategi Penelitian Pendekatan dan strategi penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini tidak diarahkan pada latar dan
102
individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keseluruhan (Moeleong, 2006). Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah, dalam arti peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi setting pendidikan, melainkan melakukan studi terhadap satu fenomena dalam situasi dimana fenomena tersebut ada (Poerwandari, 2007). Penyusunan desain kualitatif sangat fleksibel, menyesuaikan dengan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian,oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan untuk terus mengubah desain sebagai tuntutan situasi yang dihadapi dilapangan. Menurut Azwar (2004), penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan pada analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan mengggunakan logika ilmiah. Hal ini bukan bahwa pendekatan kualitatif sama sekali tidak menggunakan dukungan data kuantitatif namun penekanannya tidak pada pengajuan hipotesis melainkan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berpikir normal dan argumentatif. Paradigma dalam penelitian kualitatif berdasarkan pada kehidupan realitas sosial yang ”apa adanya”, ilmu berdasarkan makna yang diberikan individu terhadap kehidupannya. Pengetahuan tidak hanya dapat diperoleh melalui indera tetapi juga bagaimana memahami suatu makna dari peristiwa atau pengalaman yang dihadapi individu. Dalam penelitian kualitatif juga terkadang ditemukan beberapa hal diluar dugaan dari tujuan yang ingin dicapai. Pertimbangan lain menggunakan metode ini adalah bahwa metode ini dapat memperoleh gambaran yang jelas dan mendalam tentang apa yang ini diketahui oleh peneliti. Dalam penelitian ini, strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus karena pendekatan studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus yang diteliti. Menurut Poerwandari (2007), Yang didefinisikan sebagai kasus adalah (bounded contex), meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus itu dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa. Kasus dapat pula berupa keputusan, kebijakan, proses atau suatu peristiwa khusus tertentu. Beberapa tipe unit yang dapat diteliti dalam bentuk studi kasus : individu-individu, karakteristik atau atribut dari individu-individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau artefak perilaku, setting, serta peristiwa atau insiden tertentu (Punch dalam Poerwandari, 2007).
B. Sampling Teknik pengambilan sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan penentuan sampel berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, yaitu dengan Sampel Kriteria Tertentu dan diambil secara convenience yaitu sampling yang diambil secara mudah, yaitu orang yang sudah dikenal oleh peneliti. Logika yang mendasari pendekatan ini adalah penelitian akan me-review dan mempelajari semua kasus yang memenuhi kriteria penting tertentu yang telah
103
ditetapkan sebelumnya (Poerwandari, 2007). Dalam penelitian ini kriteria sample yang diambil adalah : 1. Mereka yang mengalami keluarga broken home. 2. Remaja yang berusia 17-22 Tahun.
C. Metode Pengambilan Data 1. Wawancara Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk tujuan tertentu (Poerwandari, 2007). Proses dan isi perlu dipersiapkan agar ketika dilapangan sesuatu yang tidak diinginkan dapat diatasi. Apa yang ingin dicapai dalam wawancara lebih banyak mengungkap aspek tingkah laku, nilai atau perasaan, perlu diantisipasi sebelumnya. Wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur. Untuk mengungkap data secara mendalam diperlukan kesiapan untuk antisipasi informasi yang diberikan terseleksi oleh subyek, walaupun data yang diperoleh mendalam dan personal serta sensitif. Sehingga diperlukan kepekaan dari peneliti dalam pengambilan data dilapangan nantinya. 2. Observasi Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan ”memperhatikan” . Kegiatan observasi diartikan sebagai kegiatan dengan melakukan pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan ( Sarwono, 2006). Peneliti akan menjadi pengamat murni agar dapat bermanfaat mengeksplorasi topik, dengan keterbatasan dalam mengupayakan rapport yang dibangun. Menjadi pengamat perlu latihan untuk menumbuhkan kepekaan pada apa yang akan diamati baik yang terlihat maupun tidak terlihat yang terkadang terlupakan oleh peneliti. D. Desain Penelitian Pada penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah remaja yang mengalami broken home, sedangkan dari informan tahu adalah teman dekat yang bersentuhan atau bersinggungan langsung dengan subjek. Subjek penelitian berdasarkan asumsi untuk memperoleh kedalaman informasi tentang realitas yang terjadi. HASIL PENELITIAN A. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2011 sampai bulan februari 2012. Dalam penelitian ini subjek sebanyak dua orang. Penentuan subjek dalam penelitian ini ditentukan sesuai dengan kriteria sampling penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk mendapatkan subjek penelitian tersebut, peneliti
104
melakukan observasi awal dan mencari informasi dari teman-teman di lingkungan tempat tinggal subjek. Subjek dari penelitian ini adalah dua orang remaja. Peneliti melakukan crosscheck dengan melakukan wawancara kepada beberapa subjek lain sebagai significant person yang sekiranya dapat menambah data yang akan memperkaya dinamika yang akan diungkap melalui penelitian ini. Proses penelitian dimulai dengan mencari subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian, kemudian meminta persetujuan subjek untuk menjadi subjek inti dari penelitian ini. B. Aspek-aspek psikologis perilaku memaafkan pada remaja broken home Memaafkan adalah pusat untuk membangun manusia yang sehat dan mungkin salah satu proses yang paling penting dalam pemulihan hubungan interpersonal setelah konflik (Toussaint dan Webb, 2005). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa subjek merasa lega dan tenang bisa memaafkan orang lain, karena memaafkan dapat meminimalkan konflik di lingkungan sosialnya. Menurut Enright (1998) perilaku memaafkan adalah adanya tindakan sebagai upaya yang dilakukan seseorang untuk tidak membalas menyakiti orang lain atas apa yang telah dilakukannya, melainkan memberikan pengampunan, hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa subjek memilih untuk memaafkan tanpa ada rasa dendam. Kondisi yang sangat labil dalam keluarga dimana komunikasi sudah tidak ada menimbulkan ketidaknyamanan pada diri subjek. Hal ini berakibat pada kegiatan sehari-hari maupun emosi subjek. Sesuai dengan hasil temuan penelitian pada kedua subjek yang menyatakan bahwa ketika perasaan subjek merasa tidak nyaman dengan masalah berat yang dihadapi subjek lebih gampang marah dan mudah berkonflik dengan seseorang, hal ini juga terungkap dari informasi ytang didapatkan dari teman terdekat subjek (signifikan persons). Menurut Zechmeister & Romero (2002), aspek-aspek perilaku memaafkan yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek perilaku. Aspek kognitif merupakan respon kognitif individu yang secara sadar dilakukan saat individu mampu menggantikan legitimasinya terhadap orang lain dan menggantikannya dengan respon yang mengarah pada konsiliasi. Perilaku memaafkan diberikan secara total dan tidak mengharapkan balasan. Ini sesuai dengan yang dilakukan subjek, memberikan maaf tanpa ada rasa dendam di hati. Aspek afektif merupakan respon emosi yang dimunculkan oleh seseorang dalam mengembangkan perilaku memaafkan. Respon emosi ini dalam bentuk empati atas hal yang dirasakan oleh individu tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitain bahwa subjek memaafkan seseorang dengan rasa kasihan tapi tidak dengan terpaksa. Aspek perilaku merupakan respon perilaku yang dimunculkan oleh individu untuk memberikan maaf kepada orang lain. Membicarakan jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi yang memungkinkan timbulnya tindakan perilaku memaafkan merupakan proses untuk mengembangkan perilaku memaafkan. Pemahaman individu terhadap proses memaafkan adalah semacam hadiah bagi diri sendiri maupun orang lain, ini sesuai dengan yang dilakukan kedua
105
subjek dimana keduanya berharap memberikan maaf agar orang tersebut tidak mengulangi kesalahannya terhadap diri subjek maupun orang lain. C. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan di kalangan remaja broken home Menurut McCullough, dkk (1998), faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku memaafkan adalah sejauhmana kedekatan yang dimiliki oleh seseorang terhadap pihak yang bertikai dengannya. Hal tersebut sesuai dengan hasil temuan penelitian pada subjek bahwa subjek akan lebih mudah membicarakan dan memaafkannya apabila yang berkonflik dengan subjek adalah orang dekat atau teman dekat subjek. Dengan hasil temuan penelitian pada subjek bahwa pemberian maaf agar orang tersebut tidak mengulangi kesalahannya terhadap diri subjek maupun orang lain. Dalam penelitian ini subjek memaafkan orang lain bukan karena takut akan kehilangan teman atau dikucilkan oleh orang lain akan tetapi karena mengharapkan ketenangan dalam hidupnya, subjek juga memaafkan seseorang dikarenakan perasaan kasihan dan tidak ada unsur paksaan. Seseorang memutuskan untuk memaafkan sebab hal tersebut dapat meminimalkan konflik di lingkungan sosialnya dan menciptakan hubungan interpersonal yang baik. Ini sesuai dengan apa yang di ungkapkan subjek dimana subjek merasa bahwa memaafkan bisa membuat hubungan sosial kembali membaik setelah adanya konflik dan temuan penelitian yang diperoleh dari subjek bahwa subjek merasakan perasaan bersalah hilang setelah memaafkan orang lain.
KESIMPULAN A. Aspek-aspek psikologis perilaku memaafkan pada remaja broken home Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa subjek memberikan maaf tanpa ada rasa dendam di hati. Subjek merasakan perilaku memaafkan mendatangkan kepuasan hati, merasa lega dan tenang bisa memaafkan orang lain. Muncul perasaan empati, rasa tidak enak, kesedihan, akibat kondisi hubungan yang tidak nyaman yang dirasakan subjek dan berharap agar orang tersebut tidak mengulangi kesalahannya terhadap diri subjek maupun orang lain.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memaafkan dikalangan remaja broken home Subjek memberikan maaf dengan alasan subjek ingin memperbaiki hubungan dengan orang lain, subjek termasuk orang yang mempunyai pemikiran yang realistis mengenai hal yang menyakiti dengan menganalisa ulang dengan pemikiran yang terbuka dan logis. Perilaku memafkan dapat meredam dorongan
106
agresivitas sehingga individu mampu membangun hubungan sosial yang baik setalah adanya konflik. Dari penelitian ini pula diperolah data bahwa alasan subjek memberikan maaf apabila yang berkonflik dengan subjek adalah orang dekat atau teman dekat subjek selain itu subjek memberi maaf bukan karena takut akan kehilangan teman atau dikucilkan oleh orang lain, akan tetapi subjek memberikan maaf berharap agar orang tersebut tidak mengulangi kesalahannya terhadap diri subjek maupun orang lain dan tanpa ada rasa dendam di hati. C. Kelemahan Penelitian Kelemahan dalam penelitian ini adalah kurang menjelaskan tentang adanya kehidupan sehari-hari dengan keluarga. Selain itu, kesadaran peneliti tentang kurang mendalamnya pada penggalian informasi saat wawancara. D. Saran Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian di atas, dapat dapat diajukan saran sebagai berikut : 1. Saran Teoritis Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut tentang perilaku memaafkan dikalangan remaja broken home agar mampu mengembangkan kerangka konseptual dan teori-teori tentang remaja memaafkan. 2. Saran Praktis Bagi remaja, perilaku memaafkan hendaknya dipahami bukan hanya sebagai solusi dari konflik tetapi juga sebagai usaha mencapai kesejahteraan diri sehingga mampu menjalin hubungan sosial yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Bramlet, M.D. & Mosher, W.D. 2001. First Marriage Dissolution, divorced and Remarriage: United States. Hyattsville, MD.: National Centre for Health Statistic. “Broken Home is Not a Functional Term”. 10 Oktober 2001. https://srimulyaninasution.wordpress.com/psikologi/broken-home-danperkembangan-anak/Epinions.com. diakses 12 Oktober 2011. Enright, R.D. 1998. Forgiveness As a Choice: A Step By Step Process for Resolving Anger and Restoring Hope. Washington DC: APA Life Tools.
107
Harvey, J.H. & Pauwels, B.G. 1999. Recents Developments in CloseRelationships Theory. Current Directions in Psychological Science. http://www.eramuslim.com/konsultasi/klg/6c12111326-keluarga-brokenhome.htm. Disadur pada tanggal 21 September2012 http://www.smpn28-bdg.sch.id/modules.php?name=News&file=article&sid=8broken-home-dan-perkembangan-anak/ Disadur pada tanggal 21 September2012 http://4ri3e.wordpress.com/2007/12/24/broken-homeso-what-gitoeh-loehh/. Disadur pada tanggal 21 September2012 Karremans, J.C. VanLange, Ouwerkerk, J.W., & Kluwer, E.S. 2003. When Forgiving Enhances Psychological Well-Being: The Role of Interpersonal Commitment. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 84, N0. 5: 1011-1026. Mardiya. 2009. Melemahnya fungsi keluarga dan kenakalan anak remaja kita. Kulonprogo: www.kulonprogokab.go.id/filles/news. McCullough, M.E., Worthington, E.L., & Rachal, K.C. 1997. Interpersonal Forgiving in Close Relationship. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 76, (2), 321-336. McCullough, M.E., Worthington, E.L., Rachal, K.C., Sandage, S.J., Brown, S.W., & Hoght, T.L. 2001. Interpersonal Forgiving in Close Relationship II: Theoritical Elaboration and Measurement. Journal of Personality and Social Psychology, 1586-1603. Moleong, L. J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Poerwandari, E. K. 2007. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Edisi Ketiga. Depok : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Quensel, S., Paul M., Aoife B,, Auke, W. M. Bloom, R. Jonhson, B. Kolte R.Pos. (2002). Broken home or drug using peers: ”significant relation? Journal of Drug Issues 0022—0426/02/02. 467490. England: University of Bremen.Rahman, S.A. 1996. Masalah sosial dikalangan remaja dan tindakan yang perlu dilakukan oleh berbagai pihak. Jurnal kebajikan. Vol.18, Nomer 2: 17-29. Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
108
Toussaint, L & Webb, J.R. Gender Differences in the Relationship Between Empathy and Forgiveness. Journal of Social Psychology. Vol. 145, No.6: 673–685. Willis, S. S. 2009. Konseling Keluarga: Family Counseling. Bandung: Alfabeta.. 9http://www.smallcrab.com/others/85-broken-home /. Disadur pada tanggal 21 Januari 2012. Zechmeister, J.S & Romero, C. 2002. Victim and Offender Accounts of Interpersonal Conflict: Autobiographical Narratives of Forgiveness and Unforgiveness. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 82, No. 4: 675-686.
109