PERILAKU KAWIN DAN REPRODUKSI Lumbricus rubellus DAN Pheretima asiatica DI BAWAH PENGARUH IMIDAKLOPRID
Oleh :
Fitri Irianingsih G34101040
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK FITRI IRIANINGSIH. Perilaku Kawin dan Reproduksi Lumbricus rubellus dan Pheretima asiatica di bawah Pengaruh Imidakloprid. Dibimbing oleh TRI HERU WIDARTO dan TARUNI SRI PRAWASTI. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efek imidakloprid pada konsentrasi subletal terhadap perilaku kawin dan reproduksi dua spesies cacing tanah, yaitu Lumbricus rubellus dan Pheretima asiatica. Percobaan ini menggunakan terarium kaca berukuran 40 cm x 30 cm x 5 mm yang diisi dengan media tanah setinggi 28 cm. Cacing yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing dewasa yang ditandai dengan adanya klitelum. Dua ekor cacing tanah dewasa dimasukkan ke dalam terarium dengan posisi diagonal. Konsentrasi yang digunakan adalah 0, 0.25, 0.50, 0.75, dan 1.00 mg/kg berat kering tanah (ppm) untuk L. rubellus dan 0, 1.50, 3.00, dan 4.50 mg/kg berat kering tanah (ppm) untuk P. asiatica. Setiap perlakuan dilakukan tiga ulangan. Efek imidakloprid terhadap perilaku kawin cacing tanah terlihat jelas terutama pada masa yang mereka butuhkan untuk bertemu dan lama kopulasi. Dalam media imidakloprid, cacing membutuhkan masa lebih lama untuk bertemu daripada dalam media tanpa imidakloprid. Lama kopulasi cacing menjadi lebih singkat setelah terpapar imidakloprid. Dari beberapa parameter reproduksi cacing tanah yang dikaji dalam penelitian ini, viabilitas kokon dan jumlah juvenil per kokon cenderung mengalami penurunan setelah terpapar imidakloprid. Sedangkan masa yang dibutuhkan untuk memproduksi kokon sejak kopulasi lebih lama pada P. asiatica, tetapi lebih cepat pada L. rubellus. Jumlah kokon per cacing yang dihasilkan, dan masa inkubasi kokon tidak terpengaruh oleh imidakloprid. Dari dua spesies cacing yang digunakan, L. rubellus merupakan cacing yang paling sensitif terhadap toksisitas imidakloprid.
ABSTRACT FITRI IRIANINGSIH. Mating Behaviour and Reproduction of Lumbricus rubellus and Pheretima asiatica under Imidacloprid Influence. Supervised by TRI HERU WIDARTO and TARUNI SRI PRAWASTI. This research was conducted to study the effect of imidacloprid in its sublethal concentrations on the mating behaviour and reproductive aspects of two earthworm species, L. rubellus and P. asiatica. This experiment utilized glass terraria of size 40 cm x 30 cm x 5 mm filled with soil media 28 cm height. The adult earthworm were used in this research indicated by the appearance of clitellum. Two adult earthworms were put into terraria with diagonal position. The applied concentrations were 0, 0.25, 0.50, 0.75, and 1.00 mg/kg dry weight soil (ppm) for L. rubellus and 0, 1.50, 3.00, and 4.50 mg/kg dry weight soil (ppm) for P. asiatica. Each treatment were carried out with three replicate. Effect of imidacloprid on the earthworm mating behaviour was clearly visible for the time needed by earthworm to meet each other and the duration of copulation. In media with imidacloprid, the time needed by earthworm to meet each other longer than in media without imidacloprid. Their copulation lasted shorter after exposure to imidacloprid. From several earthworm reproductive aspects studied in this research, cocoon viability and number of juveniles per cocoon seemed to be reduced after exposure to imidacloprid. In addition, cocoon production time took longer on P. asiatica, but faster on L. rubellus than control. This study shows that the number of cocoons per earthworm, and incubation time were not affected by imdacloprid. In general, L. rubellus is more sensitive to the toxicity of imidacloprid than P. asiatica.
PERILAKU KAWIN DAN REPRODUKSI Lumbricus rubellus DAN Pheretima asiatica DI BAWAH PENGARUH IMIDAKLOPRID
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Oleh : Fitri Irianingsih G34101040
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul : PERILAKU KAWIN DAN REPRODUKSI Lumbricus rubellus DAN Pheretima asiatica DI BAWAH PENGARUH IMIDAKLOPRID Nama : Fitri Irianingsih NRP : G34101040
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc NIP 131663018
Dra. Taruni Sri Prawasti NIP 131284837
Mengetahui: Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S NIP 131473999
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2005, dengan judul Perilaku Kawin dan Reproduksi Lumbricus rubellus dan Pheretima asiatica di bawah Pengaruh Imidakloprid. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Tri Heru Widarto, M. Sc. Dan Ibu Dra. Taruni Sri Prawasti selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran selama pelaksanaan penelitian sampai penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ibu Dr. Ir. Tatik Chikmawati selaku dosen penguji atas waktu diskusinya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf Laboratorium Zoologi atas bantuannya selama melaksanakan penelitian. Selain itu ucapan terima kasih juga diberikan kepada Duti dan Atiek atas masukan dan kerjasamanya selama penelitian, Zoologi’ers 38 (Anne N, Rusdi, Irwandi, Ruly P, Ae, Deris, Hijrah, Angga, Kanu, Lucky, Wisnu, Anne S, Udit, Evi, Cyn, Aries). Kepada Made, Deri, Henry, Rika, Dwi, serta semua temen-teman Biologi 38 terima kasih atas dukungan, persahabatan, dan kebersamaannya selama ini. All M5 crew (kost sweet kost) thank’s for good times that we’ve shared together in M5, I’ll never forget you guys. Terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak dan Ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2006
Fitri Irianingsih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 12 Juli 1983. Penulis merupakan putri tunggal dari ayah Martoyo dan ibu Mursiti. Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Jayapura dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Fisiologi Hewan pada tahun ajaran 2004/2005, Struktur dan Perkembangan Hewan pada tahun 2004/2005, serta Avertebrata pada tahun 2005/2006.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................ viii PENDAHULUAN Latar Belakang.................................................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................................................. 1 Waktu dan Tempat ........................................................................................................... 1 BAHAN DAN METODE Penyiapan Hewan Percobaan dan Media .......................................................................... LD50 dan Konsentrasi Subletal ........................................................................................ Prosedur Percobaan .......................................................................................................... Analisis Data ....................................................................................................................
1 2 2 2
HASIL Masa yang Dibutuhkan oleh Cacing untuk Bertemu ........................................................ Lama Kopulasi.................................................................................................................. Masa Produksi Kokon Sejak Kopulasi dan Jumlah Kokon Per Cacing ............................ Masa Inkubasi Kokon......................................................................................................... Daya Tetas Kokon ............................................................................................................ Jumlah Juvenil (cacing muda) Per Kokon ........................................................................
2 3 3 3 3 4
PEMBAHASAN Efek Imidakloprid Terhadap Perilaku Kawin ................................................................... 4 Efek Imidakloprid Terhadap Reproduksi.......................................................................... 5 Implikasinya Secara Ekologis........................................................................................... 6 SIMPULAN ........................................................................................................................... 6 SARAN .................................................................................................................................. 6 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 6
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6
Terarium yang digunakan untuk mengamati perilaku kawin dan reproduksi............ Masa yang dibutuhkan oleh cacing tanah untuk bertemu (jam)............................... Lama kopulasi (jam) ................................................................................................ Masa inkubasi kokon cacing tanah (hari)................................................................. Persentase daya tetas kokon ..................................................................................... Jumlah juvenil per kokon (ekor) ..............................................................................
2 2 3 3 3 4
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar pencemaran lingkungan diakibatkan oleh kegiatan manusia. Pencemaran ini menimbulkan efek yang merugikan baik bagi lingkungan terestrial maupun lingkungan akuatik. Masalah ini menjadi lebih serius lagi karena jumlah polutan yang mencemari lingkungan terus bertambah, baik jenisnya maupun kuantitasnya. Salah satunya adalah pestisida yang digunakan untuk membunuh organisme pengganggu tanaman pangan (Soemirat 2003). Beberapa jenis pestisida tidak mudah menguap dan tetap berada di dalam tanah untuk jangka waktu lama sehingga menimbulkan gangguan bagi organisme nontarget yang hidup di dalamnya, atau bahkan membunuhnya. Salah satu organisme tanah yang terbunuh atau terganggu oleh pestisida adalah cacing tanah. Cacing adalah organisme yang penting dari ekosistem tanah, terutama karena perannya yang sangat dominan dalam proses konservasi tanah. Banyak kajian yang menunjukkan efek negatif pestisida terhadap kehidupan cacing tanah. Booth et al. (2000) mengungkapkan bahwa karbaril 50 mg/kg bobot tanah tidak menyebabkan kematian, namun demikian ia menurunkan produksi kokon. Penurunan ini berarti bahwa karbaril pada konsentrasi sublethalnya menyebabkan penurunan fekunditas yang pada gilirannya dapat menurunkan laju pertumbuhan populasi. Secara ekologis, menurunnya populasi cacing tanah dapat berakibat pada menurunnya kemampuan mereka dalam mendegradasi dan mendekomposisi bahan organik (Lee 1985). Imidakloprid adalah sejenis insektisida yang banyak digunakan petani. Daya bunuhnya terhadap serangga tinggi dan spektrumnya luas. Karena itu, imidakloprid telah digunakan di 120 negara untuk melindungi sekitar 140 jenis tanaman (Cox 2001). Imidakloprid termasuk kedalam kelompok nikotinoid karena strukturnya mirip dengan nikotin tembakau yang menyerang sistem saraf serangga. Senyawa ini menghambat penempelan asetilkolin pada reseptor sel saraf sehingga melumpuhkan dan akhirnya mematikan serangga (Cox 2001). Efek imidikloprid terhadap cacing tanah telah dikaji oleh beberapa peneliti. Capowiez et al. (2005) mengkaji efek letal dan subletal imidakloprid terhadap perkembangan Aporrectodea nocturna dan Allolobophora icterica). Mereka mendapatkan bahwa pada
konsentrasi subletalnya, yaitu 0.5 dan 1 mg/kg bobot kering tanah, imidakloprid menyebabkan penurunan yang signifikan bobot badan kedua spesies. Mostert et al. (2000) menemukan hal yang sama, yaitu penurunan bobot badan pada konsentrasi subletalnya. Selain itu imidakloprid juga mempengaruhi perilaku menggali cacing tanah (Capowiez et al. 2003 dan Feriza 2006), menyebabkan perilaku menghindar cacing tanah (Sulastri 2005), dan menyebabkan kerusakan sperma (Luo et al. 1999 dan Zang et al. 2000), pada konsentrasi subletalnya. Namun demikian efek subletal imidakloprid terhadap perilaku kawin dan reproduksi cacing tanah belum ada peneliti yang melaporkannya. Padahal perubahan perilaku kawin dan penurunan kemampuan reproduksi suatu jenis hewan akan dapat berdampak besar secara ekologis. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh imidakloprid terhadap perilaku kawin dan reproduksi cacing tanah Lumbricus rubellus dan Pheretima asiatica. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan Oktober 2005 di Laboratorium Zoologi, Departemen Biologi FMIPA IPB. Analisis tanah dilaksanakan di Instalasi Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
BAHAN DAN METODE Penyiapan Hewan Percobaan dan Media Dua spesies cacing yang digunakan adalah Lumbricus rubellus dengan bobot tubuh berkisar antara 295-300 mg dan Pheretima asiatica dengan bobot tubuh berkisar antara 190-200 mg. Cacing diambil dari koleksi Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Cacing yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing dewasa dan dengan bobot yang relatif sama. Cacing dewasa ditandai dengan klitelum yang terlihat jelas Media untuk cacing terdiri atas campuran 300 gram tanah (bobot kering) dan dua sendok makan kotoran sapi yang telah dipanaskan pada suhu 800C selama 2 jam dan dihaluskan serta disaring (≤ 1.7 mm). Selanjutnya ke dalam media ditambahkan 90 ml larutan imidakloprid (30% dari bobot kering tanah). Karakteristik tanah yang digunakan adalah sebagai berikut: 21% pasir, 40% debu dan
2
39% liat, 1.06% bahan organik, 16.10 cmol/kg kapasitas tukar kation, dan pH 6.6 (H 2O) dan 6.1 KCl. LD50 dan Konsentrasi Subletal LD5072 jam setiap spesies ditentukan dengan melakukan uji mortalitas dengan konsentrasi 0, 2.00, 4.00, dan 8.00 ppm. Dari uji ini diperoleh LD50 untuk L. rubellus adalah 1.94 ppm, sedangkan untuk P. asiatica adalah 8.63 ppm (Feriza 2006). Berdasarkan LD50 ini kemudian ditentukan empat konsentrasi subletal dan satu kontrol untuk L. rubellus, dan tiga konsentrasi subletal dan satu kontrol untuk P. asiatica. Konsentrasi subletal yang digunakan untuk L. rubellus adalah 0, 0.25, 0.50, 0.75, 1.00 ppm, dan untuk P. asiatica adalah 0, 1.50, 3.00, 4.50 ppm. Untuk memudahkan analisa, penulisan konsentrasi perlakuan ini diurutkan sesuai nilainya dengan notasi konsentrasi 0 (kontrol) hingga konsentrasi 4 (1.00 ppm) untuk L. rubellus. Notasi untuk konsentrasi P. asiatica mengikuti kedua spesies di atas, namun hingga konsentrasi 3 (4.50 ppm). Prosedur Percobaan Media yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam terarium kaca berukuran 40 cm x 30 cm x 5 mm. Media perlakuan dimasukkan ke dalam terarium setinggi 28 cm (Gambar 1). Dua ekor cacing tanah dewasa dimasukkan kedalam terarium dengan posisi diagonal, dengan jarak antar individu sepanjang 39.60 cm. Terarium diletakkan dengan posisi tegak, bagian atas ditutup dengan kain basah untuk menjaga kelembaban media.
terjadi kopulasi, masing-masing cacing dipindahkan dari media perlakuan ke media tanpa imidakloprid. Pemindahan cacing ke media tersebut dimaksudkan untuk mengurangi efek imidakloprid pada perlakuan sebelumnya. Selama tahap tersebut, dilakukan pengamatan terhadap masa produksi kokon setelah kopulasi dan jumlah kokon yang dihasilkan. Pengamatan dilakukan setiap hari. Kokon dipanen sekali selama penelitian. Pemanenan kokon dilakukan dengan cara basah menggunakan saringan. Kokon yang dihasilkan dipindahkan ke cawan petri yang dialasi tisu basah. Pengamatan dilanjutkan terhadap masa inkubasi dan daya tetas kokon serta jumlah juvenil per kokon. Masingmasing perlakuan dilakukan dengan tiga kali ulangan pada hari yang sama. Analisis Data Data yang diperoleh diolah dengan uji t, yaitu membandingkan setiap perlakuan dengan kontrol.
HASIL Masa yang Dibutuhkan oleh Cacing untuk Bertemu Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi, semakin lama masa yang dibutuhkan cacing untuk bertemu. Pertemuan tercepat diperlihatkan oleh P. asiatica pada konsentrasi 4.5 ppm, yaitu satu hari setelah mereka diletakkan di dalam terarium. L. rubellus P. asiatica
600
500
Waktu pertama bertemu (jam)
Masa cacing untuk bertemu (jam)
600
L . rubellus P . asiatica
500
400 400
300 300
200
200
100100
0 0
0
0
1
1
22
33
44
(ppm) K oKonsentrasi nsentrasi ke-ke(ppm )
Gambar 1 Terarium yang digunakan untuk mengamati perilaku kawin dan reproduksi.
Gambar 2 Masa yang dibutuhkan oleh cacing tanah untuk bertemu (jam).
Pengamatan perilaku kawin dan reproduksi cacing dilakukan setiap hari, terutama pada malam hari. Parameter yang diamati adalah masa yang dibutuhkan cacing untuk bertemu dan lama kopulasi. Setelah
Sedangkan masa terlama yang diperlukan cacing untuk bertemu setelah pemaparan imidakloprid terjadi pada pasangan L. rubellus yang berada di konsentrasi 0.75 ppm. Secara statistik imidakloprid tidak mempengaruhi masa bertemunya L. rubellus pada konsentrasi
3
Lama Kopulasi Kopulasi pada L. rubellus dan P. asiatica cenderung semakin singkat berlangsungnya seiring dengan meningkatnya konsentrasi imidakloprid. Lamanya waktu kopulasi L. rubellus berkisar antara 1-3 jam sedangkan P. asiatica, berkisar antara 2-3 jam (Gambar 3). Untuk L.rubellus imidakloprid mempengaruhi lama kopulasi untuk setiap konsentrasi (p<0.01). Untuk P. asiatica pengaruh imidakloprid terhadap lama kopulasi tidak signifikan secara statistik pada konsentrasi 1.50 dan 3.00 ppm (berturut-turut p=0.37 dan P=0.11), hanya pada konsentrasi tertinggi yaitu 4.5 ppm imidakkloprid mempengaruhi lama kopulasi (P<0.01). 3.5
L. rubellus P. asiatica
3.0
kontrol 7 hari setelah kopulasi. Untuk P. asiatica pada konsentrasi 1.50 dan 3.00 ppm imidakloprid tidak mempengaruhi masa produksi kokon sejak kopulasi (berturut-turut p=0.32 dan p=1.00). Hanya pada konsentrasi 4.5 ppm imidakloprid memberikan pengaruhnya (p<0.01), pada konsentrasi 4.5 ppm P. asiatica menghasilkan kokon setelah 10.33 hari, sementara pada kontrol hanya 7 hari. Masing-masing cacing tanah menghasilkan rata-rata satu kokon, namun secara statistik imidakloprid tidak berpengaruh terhadap jumlah kokon yang dihasilkan (p=1.00). Masa Inkubasi Kokon Masa inkubasi kokon dengan perlakuan umumnya tidak berbeda dengan kontrol seiring dengan peningkatan konsentrasi. Pada konsentrasi 1.50 dan 3.00 ppm untuk P. asiatica dan 0.50 ppm untuk L. rubellus masa inkubasinya lebih lama (Gambar 4) namun secara statistik tidak berbeda nyata. 30
Masa inkubasi kokon (hari)
0.25 dan 0.50 ppm (berturut-turut p=0.09 dan p=0.06), namun pada dua konsentrasi tertinggi 0.75 dan 1.00 ppm imidakloprid mempengaruhi masa bertemunya cacing dengan nilai p<0.01. Untuk P. asiatica pada konsentrasi terendah yaitu 1.5 ppm imidakloprid mempengaruhi masa yang dibutuhkan cacing untuk bertemu (p=0.02), namun pada dua konsentrasi tertinggi 3.00 dan 4.5 ppm imidakloprid tidak mempengaruhi masa bertemunya cacing (berturut-turut p=0.09 dan p=0.13).
L. rubellus P. asiatica
25
20
15
10
5
0
1
2
3
4
Konsentrasi ke- (ppm)
2.0
Gambar 4 Masa inkubasi kokon (hari).
1.5
1.0
0.5
0.0
0
1
2
3
4
Konsentrasi ke-(ppm)
Gambar 3 Lama kopulasi (jam). Masa Produksi Kokon Sejak Kopulasi dan Jumlah Kokon per Cacing L. rubellus menghasilkan kokon rata-rata 6-7 hari setelah kopulasi, sedangkan P. asiatica menghasilkan kokon 7-16 hari setelah kopulasi. Pada L. rubellus, perbedaan kontrol dengan konsentrasi 0.25 dan 0.50 ppm tidak nyata (berturut-turut p=1.00 dan p=0.70), namun dengan konsentrasi 0.75 dan 1.00 ppm imidakloprid mempengaruhi masa produksi kokon sejak kopulasi (p<0.01). Pada kedua konsentrasi ini L. rubellus menghasilkan kokon 6 hari setelah kopulasi, sedangkan pada
Daya Tetas Kokon Daya tetas kokon pada kedua spesies cenderung menurun seiring dengan kenaikan konsentrasi (Gambar 5). Secara statistik imidakloprid tidak mempengaruhi persentase daya tetas kokon L. rubellus pada konsentrasi 0.25 ppm (p=1). Di atas konsentrasi ini, imidakloprid menunjukkan pengaruhnya terhadap persentase daya tetas kokon 120
Persentase daya tetas kokon
Lama kopulasi (jam)
0 2.5
L. rubellus P. asiatica
100
80
60
40
20
0
0
1
2
3
4
Konsentrasi ke- (ppm)
Gambar 5 Persentase daya tetas kokon
4
(p<0.01). Untuk P. asiatica, hingga konsentrasi 3 ppm imidakloprid tidak mempengaruhi persentase daya tetas kokon. Sedangkan pada konsentrasi 4.50 ppm imidakloprid menunjukkan pengaruhnya (p<0.01). Jumlah Juvenil (Cacing Muda) per Kokon Rata-rata jumlah juvenil per kokon L. rubellus cenderung mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya konsentrasi imidakloprid (Gambar 6). Untuk L. rubellus pada konsentrasi 0.25, dan 0.50 ppm imidakloprid tidak mempengaruhi jumlah juvenil per kokon (berturut-turut p=0.53, dan p=0.06). Namun pada konsentrasi 0.75 dan 1.00 ppm imidakloprid memberikan pengaruhnya terhadap jumlah juvenil per kokon (p=0.02). Sedangkan P. asiatica hanya menghasilkan satu juvenil per kokonnya untuk
Jumlah juvenil per kokon (ekor)
4 L . r u b e llu s P . a sia tic a
3
2
1
0
0
1
2 3 K o n sen tra s i k e - ( p p m )
4
Gambar 6 Jumlah juvenil per kokon (ekor). setiap konsentrasi (p=1.00).
PEMBAHASAN Efek Imidakloprid terhadap Perilaku Kawin Meskipun hewan hermaprodit, untuk reproduksinya cacing perlu kawin (mating) dengan cacing lain. Sepasang cacing yang telah dewasa kelamin akan melakukan kopulasi dan saling mengirimkan sperma untuk membuahi sel telur dari pasangannya. Perilaku kawin cacing nampaknya berubah setelah terpapar imidakloprid. Masa yang mereka butuhkan untuk bertemu cenderung lebih lama dibandingkan dengan cacing pada media yang tidak mengandung imidakloprid. Akan tetapi kopulasinya menjadi lebih singkat setelah terpapar imidakloprid. Semakin lamanya masa yang diperlukan cacing untuk bertemu dengan pasangannya akibat imidakloprid mungkin disebabkan oleh perubahan dalam perilaku menggali yang mereka perlihatkan. Feriza (2006) mencatat
bahwa pola galian dan luas daerah jelajah L. rubellus dan P. asiatica berubah karena terpapar imidakloprid. Pola galian mereka cenderung menyempit sehingga luas daerah jelajahnyapun cenderung lebih sempit dibandingkan kontrol. Karena itu, masa yang diperlukan cacing untuk bertemu pasangannya setelah terpapar imidakloprid cenderung lebih lama. Pada L. rubellus, perbedaan tersebut bisa mencapai dua minggu (pada dua konsentrasi tertinggi) bila dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan pada P. asiatica, perbedaan tersebut mencapai 10 hari (pada konsentrasi 1ppm). Namun P. asiatica yang dipelihara pada 4.5 ppm tidak mengikuti pola tersebut di atas. Dalam masa yang sangat singkat (2.7 jam sejak diletakkan di dalam terarium) kedua cacing sudah bertemu dan melakukan kopulasi. Ini dapat terjadi mungkin karena cacing menjadi sangat aktif dalam upayanya membebaskan diri dari lingkungannya yang terkontaminasi. Perbedaan antara L. rubellus dan P. asiatica dalam lama masa yang dibutuhkan untuk bertemunya sepasang cacing kemungkinan besar merupakan sifat alami masing-masing spesies. Ini dapat dilihat pada kontrol. Pada L. rubellus masa yang dibutuhkan untuk bertemu rata-rata lebih lama dibandingkan dengan P. asiatica. L. rubellus membutuhkan 158 jam, sedangkan P. asiatica hanya membutuhkan 52 jam. Perbedaan ini nampaknya ada kaitannya dengan penyebaran dan jumlah seta pada tubuh mereka. Menurut Edward & Lofty (1972), penyebaran seta pada L. rubellus dibagi atas tiga jenis yaitu berpasangan rapat, lebar, dan jauh, sedangkan pada P.asiatica seta tersebar sangat rapat pada tiap segmen dan jumlah seta per segmen L. rubellus hanya delapan, sedangkan pada P. asiatica berkisar antara 28-55 seta per segmen. Alat gerak berupa seta ini berbentuk seperti rambut kasar yang berfungsi untuk mencengkram permukaan tanah dan membantu proses perkawinan dengan memberikan rangsangan fisik kepada pasangannya. Sulastri (2005) melaporkan bahwa P. asiatica adalah hewan yang sangat aktif dan pergerakannya cenderung sulit diduga (unpredictable). Pertemuan sepasang cacing kemudian diikuti dengan terjadinya kopulasi. Kopulasi pada cacing umumnya berlangsung 2-3 jam (Miller & Harley 1999). Demikian pula pada kedua spesies yang digunakan pada penelitian ini, lama kopulasinya rata-rata berlangsung tiga jam seperti yang terlihat pada kontrol, baik untuk L. rubellus maupun P. asiatica.
5
Namun kehadiran imidakloprid cenderung menurunkan lama masa kopulasi hingga 1-2 jam saja. Nampaknya, imidakloprid menimbulkan ketidaknyamanan bagi cacing tanah sehingga mengganggu kopulasinya. Efek imidakloprid terhadap perilaku kawin cacing tanah memang belum pernah diteliti sebelumnya. Namun demikian efek negatif insektisida ini terhadap cacing tanah telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti. Capowiez et al. (2005) yang mengkaji efek subletal imidakloprid terhadap cacing Aporrectodea nocturna dan Allolobophora icterica mencatat bahwa pada konsentrasi 0.5 dan 1 mm/kg berat kering tanah (ppm), imidakloprid menyebabkan penurunan bobot badan mereka secara signifikan. Pada konsentrasi yang sama, perilaku menggali kedua spesies cacing inipun mengalami perubahan (Capowiez et al. 2003). Perubahan perilaku juga diamati oleh Feriza (2006) pada E. foetida, L. rubellus dan P. asiatica setelah terpapar imidakloprid pada konsentrasi subletalnya. Sulastri (2005) mencatat bahwa E. foetida menghindari media yang mengandung imidakloprid meskipun pada konsentrasi subletalnya. Luo et al. (1999) dan Zang et al. (2000) memperlihatkan bahwa pada 0.5 ppm, imidakloprid menyebabkan kerusakan sperma pada E. foetida. Hasil-hasil kajian di atas menunjukkan bahwa imidakloprid menimbulkan efek negatif terhadap berbagai spesies cacing tanah, bahkan pada konsentrasi subletalnya. Ketidaknyamanan yang ditimbulkan imidakloprid mungkin juga menyebabkan perilaku kawin terganggu. Efek Imidakloprid terhadap Reproduksi Dari beberapa aspek reproduksi cacing tanah yang dikaji dalam penelitian ini, viabilitas kokon dan jumlah juvenil per kokon yang cenderung mengalami penurunan setelah terpapar imidakloprid pada konsentrasi subletalnya, khususnya pada konsentrasi tertinggi. Viabilitas kokon L. rubellus turun hingga 50 % pada konsentrasi tertinggi dibandingkan kontrol, sedangkan viabilitas kokon P. asiatica turun hingga 33.33 %. Ratarata jumlah juvenil per kokon L. rubellus juga turun dari 2.33 pada kontrol menjadi satu pada konsentrasi tertinggi (4 ppm). Sedangkan pada P. asiatica efek negatif imidakloprid terhadap jumlah juvenil per kokon tidak terlihat. Imidakloprid juga mempengaruhi masa produksi kokon kedua spesies cacing pada konsentrasi tertinggi. Masa yang dibutuhkan L. rubellus untuk memproduksi kokon
menjadi lebih cepat satu hari dibanding kontrol, yaitu dari 7 hari menjadi 6 hari setelah kopulasi. Sebaliknya pada P. asiatica, masa produksi kokon menjadi lebih lama yaitu dari 7 hari menjadi 10.33 hari setelah kopulasi. Sedangkan masa inkubasi dan jumlah kokon per cacing yang dihasilkan tidak terpengaruh oleh imidakloprid. Dari hasil penelitian ini nampak terlihat bahwa produksi kokon tidak terpengaruh oleh adanya imidakloprid terutama pada konsentrasi terendah meskipun terjadi penurunan lama kopulasi, tetapi pada konsentrasi tertinggi imidakloprid mempengaruhi produksi kokon kedua spesies cacing tanah. Kokon mulai terbentuk sebelum terjadinya pembuahan dan siap menerima sel telur dan sperma. Setelah menerima kedua sel kelamin (pembuahan) tersebut, kokon akan segera menutup dan dikeluarkan dari tubuh. Di dalamnya berkembang zigot menjadi juvenil apabila pembuahan terjadi. Menurut Miller & Harley (1999), selama kopulasi dua cacing saling berhimpitan dengan arah yang berlawanan, kemudian saluran sperma akan melepaskan sperma dan kontraksi otot akan membantu mendorong sperma ke arah lubang seminal reseptakel. Penyaluran sperma ini terjadi secara langsung dan kopulasi ini berlangsung selama 2-3 jam selama kedua cacing memberi dan menerima sperma. Selama kopulasi, klitelum mensekresi mukus untuk membantu posisi kopulasi ini dan klitelum memproduksi sebuah kokon dalam bentuk selubung protein untuk menerima telur dan sperma. Telur-telur disimpan di dalam kokon saat kokon melewati lubang oviduk dan sperma yang dikeluarkan saat kokon melewati lubang seminal reseptakel. Pembuahan terjadi di dalam kokon dan kokon akan dikeluarkan ± 1 minggu setelah kopulasi dan akan diletakkan di media yang lembab. Imidakloprid mempengaruhi reproduksi cacing tanah dengan melalui sedikitnya tiga cara. Yang pertama, adalah dengan cara mempengaruhi masa kopulasi. Masa kopulasi yang singkat dapat menyebabkan jumlah transfer sperma berkurang. Hal ini dapat berakibat pada sedikitnya jumlah sperma yang akan membuahi sel telur. Ini nampak pada P.asiatica pada 4.5 ppm yang hanya terpapar selama 2.7 jam (masa sebelum bertemu), lama kopulasinya yang hanya 1 jam kemungkinan besar dapat mengurangi jumlah sperma yang ditransfer. Yang kedua adalah dengan cara merusak sperma seperti yang ditunjukkan oleh Luo et al. (1999) dan Zang et al. (2000). Menurut Brusca & Brusca (1990), sperma
6
ditransfer secara langsung ke dalam spermateka atau kantung penampung sperma. Selain itu, sperma dapat pula ditransfer melewati permukaan tubuhnya sebelum masuk ke spermateka. Oleh karena itu, sperma yang akan membuahi sel telur kemungkinan besar telah terkontaminasi imidakloprid. Dengan demikian, sperma yang membuahi sel telur adalah sperma yang rusak. Rusaknya sperma dan sedikitnya jumlah sperma yang ditransfer menjelaskan mengapa jumlah juvenil per kokon dan viabilitas kokon berkurang pada cacing yang terpapar imidakloprid. Imidakloprid membuat jumlah sel telur yang dibuahi berkurang atau sel telur dibuahi oleh sel sperma yang rusak. Menurut Lu (1995), untuk terjadinya pembuahan dibutuhkan bukan saja ovum dan sperma yang fungsional, tetapi juga cara pengiriman sperma yang efektif dan lingkungan yang mendukung. Yang ketiga imidakloprid mempengaruhi reproduksi cacing dengan cara mempengaruhi alokasi energinya. Organisme yang terpapar senyawa toksik (racun) umumnya akan mengalokasikan sebagian energinya untuk menetralkan racun yang masuk kedalam tubuhnya (Gibbs et al. 1996). Akibatnya energi yang diperlukan untuk keperluan lain, termasuk reproduksi dan pertumbuhan, menjadi berkurang. Implikasinya Secara Ekologis Pengaruh suatu polutan terhadap perilaku kawin dan reproduksi cacing tanah dapat berdampak secara ekologis, terutama apabila kelimpahan populasi cacing tanah di suatu daerah menjadi menurun. Melihat efek imidakloprid di atas, yaitu semakin lamanya masa yang diperlukan untuk bertemunya dua ekor cacing, menurunnya lama kopulasi, semakin lamanya masa produksi kokon, menurunnya viabilitas kokon dan jumlah juvenil per kokon, besar kemungkinannya bahwa imidakloprid dapat memberikan dampak ekologis. Namun demikian, diperlukan kajian lebih lanjut untuk sampai pada kesimpulan tersebut.
SIMPULAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemaparan imidakloprid memberikan pengaruh terhadap perilaku kawin dan parameter reproduksi (masa produksi kokon sejak kopulasi, jumlah kokon per cacing, masa inkubasi dan daya tetas kokon, jumlah juvenil per kokon) meskipun pada konsentrasi subletal. Dari hasil penelitian ini juga
diketahui bahwa L. rubellus lebih sensitif dalam merespon pemaparan imidakloprid di tanah daripada P. asiatica.
SARAN Studi perilaku kawin dan reproduksi ini perlu dikaji lebih lanjut dengan menggunakan spesies dan polutan lain.
DAFTAR PUSTAKA Brusca RC, Brusca GJ. 1990. Invertebrates. USA: Sinauer. Booth LH et al. 2000. Growth, development and fecundity of the earthworm Aporectotea caliginosa after exposure to two organophosphates. New Zealand Plant Protection 53:221-225. Capowiez Y, Rault M, Costagliola G. 2005. Lethal and sublethal effects of imidacloprid on two earthworm species (Aporrectodea nocturna and Allolobophora icterica). Biol Fertil Soil 41:135-143. Capowiez Y et al. 2003. Earthworm behaviour as a biomarker – a case study using imidacloprid. Pedobiologia 47(56):542-547. Cox
C. 2001. Insecticide Factsheet / imidacloprid. J. of Pesticide Reform,Vol. 21. No.1, pp. 15-21.
Edward CA, Lofty JR. 1972. Biology of Earthworm. London: Chapman and Hall Ltd. Feriza D. 2006. Respon perilaku menggali cacing tanah sebagai biomarker imidakloprid di tanah [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Gibbs MH, Wickler LF, Stewart AJ. 1996. A method for assessing sublethal effects of contaminants in soils to earthworms Eisenia foetida. Environ Toxicol Chem 15:360-368. Lee KE. 1985. Earthworm: their ecology and relationship with soils and land use. Australia: Acad Pr. Hlm 278-292.
7
Lu CF. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, organ sasaran, dan penilaian resiko. Ed ke-2. Nugroho N, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Basic Toxicology: Fundamental, target organs, and risk assesment. LuoY.1999. Toxicological study two novel pesticides on an earthworm, Eisenia foetida. Environ. Chemosphere 39:23472356. Miller SA, Harley JB. 1999. Zoology. Ed ke4. USA: McGraw-Hill. Mostert MA, Schoeman AS, Merve Van Der. 2000. The toxicity of five insecticides to earthworm of the Pheretima group, using an artificial soil test. Pest Management Sci 56(12):1093-1097. Soemirat J. 2003. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: UGM Pr. Sulastri. 2005. Uji lengos cacing tanah untuk mendeteksi imidakloprid pada ekosistem terestrial [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Zang Y et al. 2000. Genotoxicity of two novel pesticides for earthworm, Eisenia foetida. Environ. Pollut. 108:271-278.