PERGESERAN NILAI DAN FUNGSI BEHEL SEBAGAI SIMBOL STATUS Raden Adriana Rahmawati dan Linda Darmajanti Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRAK Perkembangan zaman telah mengubah nilai dan fungsi kawat gigi atau behel sebagai alat bantu kesehatan menjadi simbol status di masyarakat perkotaan. Munculnya tren behel diiringi oleh adanya keinginan dan kemampuan pasar untuk menciptakan produk instan dari behel, yaitu behel fashion. Studi ini ingin melihat bagaimana pergeseran nilai dan fungsi behel melalui pemaknaan orang yang menggunakan behel fashion dan dampaknya terhadap diri mereka. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan bantuan survei karakteristik sosial. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pengguna behel fashion memaknai behel sebagai simbol status ekonomi, status sosial, dan aksesori yang menunjang penampilan. Terdapat tiga dampak dalam diri pengguna behel fashion, yaitu dampak kesehatan, dampak psikologis, dan dampak sosial. Dampak psikologis berupa peningkatan rasa percaya diri dan dampak sosial yaitu penerimaan di lingkungan pergaulan ternyata berbanding terbalik dengan dampak buruk yang terjadi pada kesehatan gigi dan mulut mereka yang menunjukkan bahwa pengguna behel fashion lebih mementingkan status sosial dibandingkan status kesehatan. Kata kunci: Behel, gaya hidup, simbol, status, kesehatan gigi dan mulut
ABSTRACT The times have changed the value and function of braces that used to be as a health aid to be a symbol of status in urban communities. The emergence of this trend is accompanied by the desire and ability of the market to create instant products from braces, which is fashion braces. The aim of the study is to see the shifts in value and function through people’s interpretation who wear fashion braces and its impact on them. The method used in this research is qualitative with the help of the social characteristics survey. The result of this study indicates that fashion braces users interpret braces as a symbol of economic status, social status, and accessories that support their appearances. There are three impacts within the fashion braces users: health, psychological, and social impacts. Psychologically, the impact is in the increasing of self-confidence and socially, the impact is in the acceptance in the social environment which apparently inversely related to adverse impact in their oral health. This indicates that fashion braces users are more concerned with their social status than their health. Keywords: Braces, lifestyle, symbol, status, oral health PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang masih rentan akan kesehatan gigi dan mulut. Hasil studi morbiditas SKRT-SURKESNAS Tahun 2001 menunjukkan bahwa dari sepuluh kelompok penyakit terbanyak yang dikeluhkan masyarakat, penyakit gigi dan mulut menduduki peringkat pertama dengan jumlah 60% dari total penduduk Indonesia. Sementara
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
pada hasil studi SURKESNAS Tahun 1998 menunjukkan bahwa 62,4% penduduk Indonesia merasa terganggu dalam melakukan aktivitas mereka seperti bekerja dan sekolah karena sakit gigi, yang memiliki rata-rata waktu pertahun selama 3,84 hari. Hasil studi ini menunjukkan bahwa kesehatan gigi sangat penting dan perlu diberi perawatan secara teratur, karena meskipun tidak secara langsung membahayakan kesehatan dan menyebabkan kematian seperti penyakit tubuh bagian dalam, namun dapat menurunkan produktivitas kerja. Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di wilayah perkotaan memiliki kesadaran akan penampilan gigi mereka. Hal ini disebabkan karena gigi tidak hanya memiliki fungsi sebagai penghancur makanan, namun juga memiliki peran penting dalam memberikan kesan saat berinteraksi dengan orang lain. Memiliki gigi dengan struktur yang tidak rapi maupun warna yang tidak bagus akan membuat seseorang merasa tidak percaya diri dan mengurangi senyum. Penemuan kawat gigi telah memberikan solusi bagi orang-orang yang memperbaiki struktur gigi yang tidak rapi. Di Indonesia, kawat gigi lebih populer dengan istilah behel, yang kurang diketahui darimana munculnya namun istilah ini biasa digunakan oleh masyakat dalam menyebut kawat gigi. Kemunculan behel di Indonesia mulai diketahui masyarakat luas pada awal tahun 1990an dan semakin booming ketika tayangan Betty La Fea populer di masyarakat Indonesia pada tahun 2002. Pada masa tersebut, baru sedikit sekali orang yang menggunakan behel karena selain biaya pemasangannya yang sangat mahal, pandangan orang mengenai kawat gigi juga masih melekat erat dengan stigma negatif seperti kutu buku, jelek, dan kurang pergaulan yang dibawa dari budaya barat (Malik, 2012). Dari sudut ekonomi, harga pemasangan behel ortodonti permanen pada dokter gigi
sangat tinggi sehingga muncul
stereotip bahwa pengguna kawat gigi memiliki status ekonomi yang tinggi. Adanya simbol yang dapat menunjukkan status sosial ini membuat kelompok masyarakat menengah ke bawah memiliki keinginan untuk mendapatkan penilaian yang sama. Salah satu cara untuk menaikkan status sosial adalah dengan meniru gaya hidup kelompok yang status sosialnya lebih tinggi dan mengamalkan konsumsi yang berlebihan
(Burke, 2011). Mereka juga
memiliki keinginan untuk tampil modis dan terlihat seperti kelas menengah ke atas. Dari dua sudut pandang fashion dan ekonomi inilah persepsi pengguna kawat gigi di masyarakat mulai berubah dan menjadi tren di kalangan masyarakat perkotaan. Sebagai komoditas populer yang digemari namun membutuhkan biaya yang tinggi, jumlah permintaan untuk adanya produk yang lebih hemat mulai meningkat. Kini Pasar dibanjiri oleh produk-produk behel berkualitas rendah hingga behel lepas pasang palsu, yang biasa disebut behel fashion. Di Thailand, Behel fashion atau behel palsu dianggap sebagai
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
penyebab kematian seorang dua orang remaja (Malik, 2012). Hal ini menyebabkan Pemerintah Thailand menerapkan undang-undang yang melarang penjualan, penyebaran, serta impor kawat gigi palsu karena terbukti berbahaya untuk digunakan dan memberikan efek fatal terhadap penggunanya (CBS News, 2009). Thailand Customer Protection Board juga menemukan bahwa kawat yang digunakan pada behel fashion palsu mengandung timah yang dapat membahayakan kesehatan dan lem yang digunakan untuk menahan behel pada gigi dapat menyebabkan luka dalam mulut atau bahkan pada gusi. Pada saat ini, persepsi terhadap pengguna kawat gigi telah mengalami perubahan baik dari aspek nilai dan fungsi dari behel itu sendiri. Kini yang terjadi di masyarakat, orang yang menggunakan kawat gigi bukan hanya orang-orang yang memiliki susunan gigi yang buruk dan benar-benar perlu untuk menggunakannya. Karena perkembangan teknologi dan kreativitas pasar, pengguna kawat gigi sekarang tidak lagi dikatakan kurang pergaulan, namun justru dianggap modis dan gaul karena mengikuti perkembangan zaman. Bagi orang yang memang memiliki uang dan mampu mengeluarkan dana berjuta-juta untuk pemasangan kawat gigi yang aman dan terjamin kualitasnya, hal ini memang bukanlah masalah. Namun bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang juga memiliki keinginan untuk tampil lebih modis dan dinilai seperti masyarakat kelas atas, biaya pemasangan kawat gigi yang sangat tinggi menjadi halangan. Pada dasarnya, masyarakat memang memiliki kecenderungan untuk menaikkan kelas sosial mereka dan keinginan untuk dilihat lebih baik dari diri mereka yang sebenarnya. Kawat gigi palsu atau yang sering disebut behel fashion adalah solusi dari keinginan masyarakat untuk menggunakan kawat gigi tanpa perlu mengeluarkan uang dengan jumlah besar ke dokter gigi. Hal ini menjadi fokus permasalahan ketika masyarakat melupakan fungsi utama dari kawat gigi yaitu fungsi medik yang dapat memperbaiki dan merawat kesehatan gigi kemudian mengutamakan fungsi estetika demi status yang ingin diraih namun pada akhirnya akan membahayakan kesehatan diri mereka sendiri. Berangkat dari hal ini, peneliti tertarik untuk meneliti Pergeseran Nilai dan Fungsi Behel sebagai Simbol Status dan penelitian ini bermaksud untuk menjawab bagaimana pemaknaan behel bagi pengguna behel fashion serta bagaimana dampak secara sosiologis dari penggunaan behel fashion tersebut. Tujuan studi ini adalah untuk menjelaskan pemaknaan pengguna behel terhadap nilai serta fungsi behel dan yang mempengaruhi pemaknaan dan keinginan seseorang dalam menggunakan behel serta dampak-dampak dan resiko yang ditimbulkan dari penggunaan behel tersebut baik terhadap kesehatan dan secara sosiologis.
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
TINJAUAN TEORITIS Hasil penelitian Tandriano (2012) mengenai Citra Diri Remaja Pengguna Kawat Gigi di Kota Makassar, remaja memiliki pengetahuan akan tiga fungsi behel, yaitu fungsi kesehatan, fungsi aksesori, dan fungsi sosial ekonomi. Pembentukan pengetahuan remaja tentang behel didapatkan dari dua jalur, yaitu pergaulan dan media. Citra diri remaja pengguna behel adalah bahwa behel sangat berkaitan dengan penampilan seseorang. Rasa percaya diri timbul dan tercermin dari penampilan mereka dalam keseharian. Rasa percaya diri dari penampilan tersebut kemudian mendorong pendapat atau gambaran tentang diri mereka, yang selanjutnya menjadi citra diri. Terdapat perbedaan karakteristik menurut jenis kelamin, dimana remaja perempuan cenderung menampakkan diri dengan cara mengajak rekan atau sahabat karib untuk menggunakan behel atau kawat gigi sedangkan remaja laki-laki menggunakan behel karena alasan kesehatan dengan dorongan dari keluarga. Sementara pada penelitian Fatimatuzzahra (2003) yang dilakukan sepuluh tahun yang lalu pada saat stigma terhadap pengguna behel masih sangat negatif dari sudut pandang psikologi. Terdapat 4 aspek yang menjelaskan rasa percaya diri remaja pasien pengguna kawat gigi secara psikologis, yaitu aspek kemandirian, aspek pengambilan keputusan, aspek melakukan tindakan persuasif, dan aspek dalam penampilan. Pengguna kawat gigi juga memperoleh banyak dukungan, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitar setelah menggunakan kawat gigi karena dapat bersikap persuasif. Selain dari tinjauan pustaka, penelitian ini menggunakan beberapa konsep dalam menganalisa hasil temuan data. Konsep utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep Kelas, Status, dan Simbol Status. Menurut Weber, kelas bukan merupakan kelompokkelompok sosial, akan tetapi merupakan agregasi orang-orang yang mempunyai peluangpeluang hidup yang sama (Soekanto, 1984). Menurut Weber, gaya hidup sangat berkaitan erat dengan kelas dan status
(Soekanto, 1984). Chaney
(2009) mendefinisikan gaya hidup
sebagai suatu cara kehidupan yang khas dijalani oleh kelompok sosial tertentu dimana didalamnya terdapat perilaku yang ekspresif dan dapat dikenali melalui pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Gaya hidup juga memberikan keterbatasan pada pola interaksi. Gejala ini mengakibatkan seseorang akan menahan diri untuk bergaul dengan orang lain yang lebih rendah kedudukannya. Status sosial berhubungan erat dengan stratifikasi sosial yang selalu ada pada bentukbentuk masyarakat (Susanto, 2001). Status sosial merupakan penghargaan yang diberikan kepada seseorang atas pencapaiannya di masyarakat. Dalam masyarakat perkotaan, status
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
sangat diperhatikan dan menjadi penting serta terdapat berbagai bentuk (Berger, 1971). Simbol status dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman dan dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat modern, status menjadi terlihat ketika dirinya menggunakan simbol atau benda yang dianggap sebagai bagian dari kelompoknya, dan bentuknya dapat ditunjukkan melalui cara berpakaian, cara pergaulan, cara menggunakan waktu senggang, memilih tempat tinggal, rekreasi, gelar kesarjaanaan, hingga berolahraga golf (Soekanto, 1990). Konsep lainnya yang digunakan adalah mengenai kesehatan, yaitu Gaya Hidup sebagai Aspek yang Mempengaruhi Kesehatan Masyarakat. Blum menggambarkan secara ringkas empat faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun masyarakat dengan skema Force-Field paradigm. Keempat faktor tersebut adalah Heredity (Faktor Keturunan), Environment (Faktor Lingkungan), Lifestyle (Faktor Gaya Hidup), dan Medical Care (Faktor Layanan Kesehatan) (Blum, 1983). Gaya hidup atau Lifestyle disebut Blum sebagai salah satu aspek yang paling mempengaruhi kesehatan seseorang selain lingkungan. Gaya hidup seseorang mempengaruhi kesehatannya dan dipengaruhi oleh latar belakang seseorang, seperti ekonominya, pendidikannya, dan lingkungan sosialnya., apabila seseorang memiliki gaya hidup yang sehat maka sudah sangat mungkin hidupnya akan sehat. Sebaliknya, orang yang cenderung memiliki gaya hidup buruk akan sangat mudah terganggu kesehatannya dan terkena berbagai macam penyakit. METODE PENELITIAN Sumber data diperoleh melalui data primer dan data sekunder. Data primer penelitian ini diperoleh melalui survei karakteristik sosial pengguna behel, observasi, serta wawancara mendalam. Karakteristik sosial pengguna behel menggambarkan informasi-informasi umum mengenai pengguna behel yang berhubungan dengan latar belakang sosial penggunanya dan informasi tentang jenis behel yang digunakan serta alasan menggunakan behel tersebut. Karakteristik sosial ini didapat melalui survei singkat yang dilakukan dengan metode random sampling terhadap 30 orang pengguna behel yang ditemui di 2 pusat perbelanjaan di wilayah Jakarta Selatan, yaitu Blok M Square, Poins Square Lebak Bulus, serta 2 tempat hang out yaitu di 7 Eleven Bulungan dan 7 Eleven Tebet Raya. Dari hasil survei karakteristik sosial tersebut kemudian dipilih tiga orang informan utama. Setelah mendapatkan informan utama, langkah selanjutnya adalah melakukan wawancara mendalam dengan informan. Informan dalam penelitian ini adalah pengguna behel lepas pasang atau behel non-ortodonti.. Selain data primer, peneliti juga mengumpulkan data
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
sekunder yang diperoleh melalui literature buku-buku, jurnal, dan data yang diakses melalui internet. Data sekunder ini digunakan sebagai referensi peneliti serta digunakan untuk validitas dan realibilitas penelitian yang dilakukan sehingga dapat menyempurnakan data-data primer yang sudah dikumpulkan. HASIL PENELITIAN Karakteristik sosial pengguna behel menggambarkan informasi-informasi umum mengenai pengguna behel yang berhubungan dengan latar belakang sosial penggunanya dan informasi tentang jenis behel yang digunakan serta alasan menggunakan behel tersebut. Dari hasil survei tersebut, telah didapatkan data-data yang bermanfaat untuk penelitian ini dan penentuan informan dalam penelitian ini. Tabel 1 Pemetaan Jenis Kelamin Pengguna Behel No
Jenis Kelamin
Frekuensi
Persentase
1
Laki-Laki
4
13.33%
2
Perempuan
26
86.67%
30
100%
Total
Sumber: Hasil Survei lapangan yang dilakukan pada bulan Maret 2013 Berdasarkan tabel 1, terlihat perbedaan yang sangat signifikan dalam hal jenis kelamin pengguna behel. Sebanyak 86.67% pengguna behel berjenis kelamin perempuan sementara hanya 13.37% yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah kesadaran kaum perempuan akan kecantikan wajah lebih besar dibanding laki-laki. Alasan lainnya dapat dijelaskan berdasarkan hasil penelitian dari Tandriano (2012), diketahui bahwa remaja laki-laki yang menggunakan behel cenderung melakukannya atas dorongan keluarga dan karena alasan kesehatan, sementara remaja perempuan lebih besar kesadarannya akan kerapihan dan kecantikan gigi serta cenderung mempengaruhi teman dekatnya untuk ikut menggunakan behel. Selain itu, remaja laki-laki yang menggunakan behel seringkali diejek “banci” atau “tidak maskulin” yang mungkin menjadi alasan mengapa laki-laki tidak menggunakan behel kecuali benar-benar membutuhkannya. Tabel 2 Pemetaan Usia Pengguna Behel No
Usia Pengguna Behel
Frekuensi
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
Persentase
1
7 – 13 tahun
-
-
2
Diatas 13 - 18 tahun
16
53.37%
3
Diatas 18 – 23 tahun
11
36.67%
4
Diatas 23 – 26 tahun
2
6.67%
5
Diatas 26 tahun
1
3.33%
Total
30
100%
Sumber: Hasil Survei lapangan yang dilakukan pada bulan Maret 2013 Jika dilihat dari persebaran usia pengguna behel, penggunanya ternyata memang mengelompok di kelompok usia sekolah menengah pertama dan atas. Meskipun orang-orang yang menggunakan behel memang sangat beragam dan tidak terbatas usia namun mayoritas utamanya adalah remaja seperti yang tertera pada tabel 2 yaitu terdapat 53.37% pengguna behel berusia 13 hingga 18 tahun. Pada saat peneliti menyebarkan survei karakteristik sosial pengguna behel, memang banyak ditemukan pengguna behel yang masih menggunakan seragam sekolah di beberapa tempat hang out seperti 7-Eleven dan Blok M Square. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian Tandriano (2012) yang menjelaskan bahwa pada usia remaja, anak-anak lebih mudah dipengaruhi oleh pergaulan sesamanya sehingga cenderung terpengaruh hal-hal yang dilakukan teman sebayanya, termasuk perilaku menggunakan behel. Selain kelompok usia sekolah, kelompok usia terbanyak kedua adalah umur 18 hingga 23 tahun sebesar 36.67%. Kelompok usia 18 hingga 23 tahun pada umumnya adalah mahasiswa atau lulusan SMA yang sudah bekerja. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa orang yang menggunakan behel di atas umur 26 tahun sangatlah sedikit jumlahnya. Selain untuk mengetahui latar belakang sosial dan ekonomi dari pengguna behel, survei karakteristik ini juga bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut informasi mengenai jenis behel yang digunakan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai jenis-jenis behel yang kini beredar di Indonesia, cukup sulit untuk mengetahui apakah seseorang menggunakan behel ortodonti cekat maupun behel lepas pasang karena dari tampak luar, jenis-jenis behel tersebut terlihat sama dan tidak dapat dibedakan. Tabel 3 Jenis Behel yang digunakan No 1
Jenis Behel Behel Ortodonti Cekat
Frekuensi
Persentase
24
80%
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
2
Behel Ortodonti Retainer
2
6.67%
3
Behel fashion/lepas pasang
4
13.33%
30
100%
Total
Sumber: Hasil Survei lapangan yang dilakukan pada bulan Maret 2013 Berdasarkan hasil survei, dari 30 orang responden yang menggunakan behel terdapat 24 orang yang menggunakan behel ortodonti cekat. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jenis behel ortodonti cekat masih menjadi jenis behel yang populer di masyarakat. Sementara yang menggunakan behel fashion lepas pasang ada 4 orang dan akan peneliti hubungi kembali untuk dilihat apakah sesuai untuk menjadi informan utama dari penelitian ini. Tabel 4 Sumber informasi pertama kali mengetahui behel No
Jenis Behel
Frekuensi
Persentase
1
Keluarga
5
16.67%
2
Teman dan Lingkungan pergaulan
17
56.67%
3
Media (TV, Majalah, Internet)
8
26.67%
30
100%
Total
Sumber: Hasil Survei lapangan yang dilakukan pada bulan Maret 2013 Tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari setengah jumlah responden mengetahui mengenai behel dari teman dan lingkungan pergaulan mereka, yaitu sebesar 56.67%. Hasil dari survei ini memang sesuai jika dihubungkan dengan hasil penelitian Tandriano (2012) mengenai jalur informasi remaja pengguna behel yaitu Jalur pergaulan dan Jalur Media. Namun dari hasil penelitian Tandriano di Kota Makassar, jalur utama yang menyebabkan tingginya pengguna behel adalah media, sementara jika dibandingkan dengan hasil survei ini yang dilakukan di Jakarta, jalur informasi mengenai behel lebih signifikan pada jalur pertemanan atau lingkungan sekitar dibandingkan dengan jalur media. Hal ini mungkin dapat dijelaskan apabila membandingkan karakteristik kota dan masyarakat Makassar dan Jakarta. Tabel 5 Faktor yang paling mempengaruhi dalam menggunakan behel No
Jenis Behel
Frekuensi
Persentase
1
Keluarga
10
33.33%
2
Teman dan Lingkungan pergaulan
18
60%
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
3
Media (TV, Majalah, Internet) Total
2
6.67%
30
100%
Sumber: Hasil Survei lapangan yang dilakukan pada bulan Maret 2013 Pada tabel 5, sebanyak 60% dari total responden menyebutkan teman dan lingkungan pergaulan sebagai faktor utama yang mempengaruhi mereka untuk menggunakan behel. Pengguna behel yang dipengaruhi oleh keluarga mereka untuk menggunakan behel sebesar 33.33% dan oleh media hanya 6.67%. Dalam hal ini, cukup menarik untuk melihat bahwa masyarakat di Jakarta lebih mudah dipengaruhi oleh lingkungan mereka dibandingkan oleh media. Hal ini berarti pengaruh teman kelompok atau peer group dan lingkungan sekitar cukup kuat dalam mempengaruhi pemilihan keputusan seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Masyarakat di Jakarta memiliki keinginan untuk diakui dan diterima oleh lingkungan sekitar dengan cara melakukan hal-hal yang sedang menjadi tren di lingkungan sekitarnya. Dari hasil karakteristik sosial pengguna behel, peneliti mendapatkan tiga orang pengguna behel fashion lepas pasang yaitu NN, LL, dan RD sebagai informan utama penelitian ini. Informan NN dan LL berjenis kelamin perempuan sementara RD berjenis kelamin laki-laki. Ketiga informan memiliki latar belakang sosial ekonomi yang sama, yaitu kelas menengah ke bawah. Informan LL dan RD pada saat penelitian dilakukan masih berstatus sebagai pelajar SMA, sedangkan informan NN merupakan karyawan toko. Berikut ini adalah hasil temuan dari wawancara mendalam terhadap ketiga informan. Behel sebagai Simbol Status ekonomi Harga pemasangan behel ortodonti cekat yang sangat mahal otomatis membuat orang yang menggunakannya dicap sebagai orang mampu atau golongan kelas menengah ke atas. Hal ini juga diakui oleh ketiga informan, bagaimana mereka sadar bahwa orang yang menggunakan behel adalah orang-orang yang mampu mengeluarkan biaya besar untuk penampilan mereka. Sebelum menggunakan behel, Informan NN menilai orang-orang yang menggunakan behel terkesan eksklusif dan punya modal untuk bergaya. Informan NN melihat pelanggannya yang menggunakan behel lebih bergaya dan bermodal. Ia juga menilai orang yang menggunakan behel sebagai orang tajir (kaya) atas penilaian subyektif terhadap pelanggannya yang menggunakan behel.
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
Meskipun begitu, penilaian NN perlahan berubah karena ia sendiri menyadari bahwa saat ini ada lebih banyak alternatif untuk menggunakan behel yang biayanya lebih murah dan dapat dijangkau semua kalangan. Informan RD menyatakan bahwa dirinya memiliki penilaian terhadap orang-orang yang menggunakan behel (terutama remaja seumurannya) yaitu “Tajir, gaul, dan tidak ketinggalan jaman” yang sebenarnya memberikan dirinya keinginan untuk dinilai seperti itu oleh orang lain ketika sudah menggunakan behel. Pandangan dari ketiga informan mengenai orang-orang yang menggunakan behel tersebut secara tidak langsung mereka maknai dan menjadi salah satu motivasi mereka untuk menggunakan behel dan dapat terlihat oleh orang lain sebagaimana mereka menilai behel sebagai simbol status ekonomi pada orang yang menggunakannya. Simbol status sosial ‘anak gaul’ di kalangan remaja Di kalangan remaja, ternyata behel dianggap sebagai simbol status anak gaul. Hal ini dinyatakan dengan jelas oleh informan LL dan RD yang masih duduk di bangku SMA. Mereka menyatakan bahwa tren behel sebagai simbol anak gaul sudah ada di pergaulan mereka sejak beberapa tahun terakhir yang berkembang dari istilah 3B yaitu Behel, Blackberry,
Bermobil/Belah
Tengah
sebagai
indikator
anak
gaul.
Informan
LL
mengungkapkan dirinya tidak termasuk dalam golongan 3B karena tidak mengunakan gaya poni belah tengah namun informan LL merasa dengan menggunakan salah satu dari 3B tersebut juga sudah dinilai gaul, apalagi bagi yang menggunakan ketiganya sudah dianggap ‘Super Gaul’. Selain menunjukkan status “anak gaul”, 3B juga menunjukkan status ekonomi seorang siswa di lingkungan pergaulannya. Hal ini karena tiga hal utama dalam komponen 3B, yaitu Behel, Blackberry, dan Mobil adalah barang-barang yang hanya dapat digunakan oleh siswa yang memiliki keluarga dari kelas menengah ke atas. Blackberry sebagai salah satu gadget terbaru di Indonesia memiliki harga tersebut dianggap cukup tinggi untuk sebuah handphone yang digunakan anak sekolah. Kemudian mobil yang menjadi bagian dari 3B bagi siswa lakilaki, merupakan komponen yang paling menunjukkan status ekonomi yang tinggi. Komponen 3B yang terakhir yaitu behel, juga menunjukkan status ekonomi seseorang karena biaya pemasangannya yang mahal. Meskipun saat ini sudah bermunculan behel dengan harga lebih terjangkau dan behel ‘instan’ seperti yang digunakan oleh informan, namun tetap pada awalnya setiap orang yang menggunakan behel akan dianggap sebagai orang mampu.
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
Dari hasil wawancara dengan informan, dapat dilihat bahwa sebenarnya status sebagai anak gaul ini melekat pada pengguna behel atas dasar mereka mengikuti tren yang sedang berlangsung di masyarakat pada saat ini. informan LL dan RD yang masih bersekolah menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Peran lingkungan sekitar terhadap informan LL dan RD hampir sama, karena mereka berada di lingkungan yang sama yaitu sekolah. Dalam lingkungan mereka, pergaulan dengan teman-teman di sekolah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam memaknai behel. Kedua informan yang bersekolah di SMA di wilayah Jakarta mengakui pergaulan remaja di sekolahnya termasuk tinggi dan mengikuti perkembangan pergaulan yang memang sedang populer di kalangan sekolahsekolah di Jakarta. Pada saat kedua informan bersekolah, terdapat istilah yang sedang tren di kalangan siswa yaitu istilah 3B. Dengan dianggapnya behel sebagai bagian dari atribut anak gaul, dapat dikatakan bahwa pandangan terhadap behel di kalangan remaja sangatlah positif, dan nilai-nilai yang tertanam pada para pengguna behel sudah berubah dengan signifikan dari awal kemunculan behel di Indonesia. Seperti pada penelitian tahun 2003 yang menunjukkan stereotip remaja yang menggunakan behel adalah anak-anak yang kaya namun kurang pergaulan dan tidak populer di sekolah (Fatimatuzzahra, 2003). Pergeseran nilai terhadap behel ini dapat terbentuk karena banyak hal, salah satunya adalah kemampuan produsen behel dalam menciptakan variasi behel yang tidak lagi dianggap menjelekkan penampilan seseorang. Kini behel justru dilihat menarik dan mendorong seseorang untuk ikut menggunakannya bahkan saat mereka tidak memerlukannya. Behel sebagai aksesoris yang menunjang penampilan Wajah merupakan unsur fisik yang penting bagi semua orang karena membangun kesan positif pada orang lain bermula dari wajah. Pada bahasan ini, dua orang informan yang berjenis kelamin perempuan, yaitu NN dan LL memiliki pemaknaan yang sama terhadap behel sebagai bagian dari aksesori yang dengan menggunakannya membuat penampilan mereka jadi lebih menarik. Hal ini tidak ditemukan pada informan RD yang berjenis kelamin laki-laki. RD menunjukkan bahwa laki-laki tidak tergiur untuk menggunakan behel sebagai aksesori yang mempengaruhi penampilan. Ia merasa fungsi aksesori pada behel hanya dirasakan oleh kaum perempuan.
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
Mengenai pemaknaan Informan NN terhadap fungsi aksesori dari behel, ia mengakui sempat melihat temannya yang menggunakan behel dan merasa bahwa behel memberikan kesan lebih cantik kepada teman yang menggunakannya. Ia menilai bahwa tadinya teman yang menggunakannya terlihat biasa saja, namun ketika sudah menggunakan behel ia menjadi lebih cantik dan lebih murah senyum. Ia juga dinilai lebih menarik oleh pelanggannya sendiri yang menimbulkan perasaan senang dan bangga. Serupa dengan informan NN, informan LL juga melihat behel sebagai aksesori yang melengkapi penampilan dan membuat orang yang menggunakannya lebih lucu (manis, cantik). Alasan lainnya yang diungkapkan informan adalah dirinya ingin menggunakan behel agar dapat menjadi kurus. Banyak teman-teman informan yang menyatakan bahwa menggunakan behel dapat mengurangi nafsu makan sehingga secara tidak langsung mengurangi berat badan penggunanya. Informan sendiri tidak puas dengan kondisi tubuhnya yang dianggap gemuk, sehingga berharap dengan menggunakan behel dapat mengurangi nafsu makannya. Pernyataan dari informan LL menunjukkan bahwa ia juga memanfaatkan behel sebagai dua fungsi, yaitu sebagai aksesoris yang menunjang penampilannya dan sebagai alat bantu untuk mendapatkan bentuk tubuh yang ia anggap ideal. Informan LL menyadari bahwa ada harga yang harus ia bayar untuk mendapatkan hal tersebut yaitu dengan rasa sakit yang akan membuatnya tidak ingin makan sehingga memberikan efek bahwa dirinya melakukan diet. Dampak Menggunakan Behel Fashion Lepas Pasang Dalam menjelaskan dampak-dampak yang dialami oleh para informan setelah menggunakan behel, peneliti mengkategorikan dampak-dampak tersebut menjadi tiga kategori, yaitu dampak yang berpengaruh terhadap fisik mereka baik jangka pendek saat menggunakan dan jangka panjang sesudah menggunakan behel, dampak yang mempengaruhi psikologis mereka, dan dampak yang berpengaruh pada kehidupan sosial mereka. Dampak Medis Terjadinya dampak terhadap kesehatan adalah salah satu resiko yang dapat terjadi pada pengguna behel, khususnya pengguna behel lepas pasang. Behel sebagai suatu alat yang diciptakan untuk mengobati dan memperbaiki gigi, harusnya tidak memberi resiko negatif kepada penggunanya. Untuk pengguna behel ortodonti cekat yang bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi mereka, merasakan sakit adalah hal yang wajar karena merupakan
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
proses yang harus dijalani untuk dapat mendapatkan hasil yang diinginkan. Dampak terhadap kesehatan yang dialami oleh pengguna behel fashion lepas pasang adalah Merasa sakit terutama pada bagian gusi dekat kawat dipasang, sempat beberapa kali mengalami sakit gigi, Sakit gigi yang dirasakan tidak sampai membuat informan tidak sekolah, namun membuat dirinya tidak konsen belajar di sekolah. Kesamaan dari ketiga informan adalah mereka tidak melakukan pemeriksaan gigi ke dokter atau puskesmas saat merasakan sakit, dan hanya memakan obat penghilang sakit atau dibiarkan sama sekali. Dampak Psikologis Dalam penelitian yang dilakukan Fatimatuzzahra (2003) ditemukan bahwa terjadi perubahan rasa percaya diri pada remaja yang menggunakan behel ortodonti cekat. Namun penelitian tersebut dilakukan pada awal masuknya behel, dimana pengguna behel masih dinilai jelek oleh masyarakat dan dapat merendahkan rasa percaya diri seseorang. Saat ini, 10 tahun kemudian, persepsi terhadap pengguna behel telah berubah 180 derajat dan dampak psikologis yang ditimbulkan pada penggunanya pun berubah. Ketiga informan semuanya mengakui dampak psikologis yang terjadi pada diri mereka yang paliang utama adalah rasa percaya diri. Pada dasarnya pengguna behel merasa perlu memiliki rasa percaya diri saat berinteraksi dengan orang lain dan menggunakan behel merupakan salah satu cara untuk membangun rasa percaya diri mereka. Rasa percaya diri tersebut adalah perasaan lebih percaya diri saat tersenyum dan berfoto karena behel menutupi kondisi gigi informan yang kurang sempurna, merasa dirinya tidak ketinggalan jaman, merasa bangga karena menjadi trend setter di lingkungannya dan buah bibir dikalangan rekan kerjanya setelah menggunakan behel, hingga lebih percaya diri untuk berhadapan dengan teman atau pelanggan. Dampak Sosial Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak dapat hidup sendiri di dalam masyarakat. Setiap hari, terjadi interaksi antar individu di lingkungan sekitar mereka yang memiliki dampak seperti terbentuknya hubungan yang erat antar individu atau justru hubungan yang semakin menjauh. Hal ini juga terjadi pada pengguna behel. Menggunakan behel ternyata tidak hanya memberikan dampak terhadap kondisi psikologis dan kesehatan seseorang, namun juga dampak terhadap kehidupan sosial mereka seperti hubungan kedekatan dengan teman sepergaulan. Bagi ketiga informan, menggunakan behel ternyata memberikan pengaruh terhadap lingkungan sosial mereka. Informan LL misalnya, merasa lebih dekat dan kompak dengan peergroupnya saat jalan-jalan di mall atau sekedar nongkrong bareng. Informan NN juga
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
merasa lebih mudah dikenal oleh rekan kerja dan pelanggannya karena menggunakan behel. Dari dampak-dampak yang ditimbulkan, terlihat bahwa dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh behel tidak memberikan kesadaran bagi para informan akan bahaya yang menganam kesehatan mereka selama dampak sosial dan dampak kesehatan yang diterima dari lingkungannya masih bersifat positif. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil karakterikstik sosial pengguna behel, terlihat bahwa mayoritas pengguna behel masih berada di jenjang sekolah, baik Sekolah Menengah Bawah, Sekolah Menengah Atas, dan Perguruan tinggi. Alasan tingginya jumlah remaja yang menggunakan behel dipengaruhi oleh dua hal, yaitu fungsi behel itu sendiri yang akan lebih efektif jika digunakan sejak dini pada gigi dan kondisi psikologis remaja yang sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, dalam hal ini adalah lingkaran pertemanan atau peer group. Seorang siswa, selain dalam menuntut pendidikan tidak terlepas dari hal sosial lainnya seperti pergaulan. Seorang remaja sangat rentan dalam lingkungan sosialnya, oleh karena itu kehidupannya masih sangat dipengaruhi oleh kelompok pergaulannya atau reference group mereka. Mereka saling berinteraksi, menginterpretasi, mempertimbangkan, dan menanggapi segala simbol dan suasana-suasana yang dihadapinya secara bersama-sama. Setiap kelompok pergaulan memiliki nilai-nilai budayanya sendiri yang dapat dipahami oleh setiap anggota mereka. Geertz menjelaskan bahwa simbol dan makna dimiliki bersama oleh anggota masyarakat dan diinterpretasikan secara bersama-sama (Keesing, 1997). Dikalangan remaja, behel merupakan bagian dari simbol status “anak gaul”. Status anak gaul ini menjadi penting karena memberikan suatu posisi tertentu di pergaulan, yang menyebabkan mereka akan mendapat penilaian dan perlakuan yang berbeda dengan orang lain. Hal ini juga dianggap membangun citra diri para remaja dalam pergaulan mereka. Citra diri (self-image) dapat diartikan sebagai bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri (Susanto, 2001). Di dalam diri seseorang terdapat gambaran idaman mengenai dirinya yang ia anggap sebagai citra diri ideal. Berdasarkan bagaiman seseorang ingin dipersepsikan oleh orang lain inilah salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi gaya hidup seseorang. Setiap orang memiliki frame of reference yang digunakan seseorang dalam bertingkah laku yang tertuang dalam minat, aktivitas, dan opininya. Dengan begitu akan terbentuk pola perilaku tertentu, terutama berkaitan dengan bagaimana seseorang membentuk omage di mata orang lain, yang melekat dengan status sosial yang disandangnya (Susanto, 2001).
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
Dua orang informan yang masih duduk di bangku SMA menyebutkan bahwa remaja di lingkungan mereka yang menggunakan behel saat ini sangat identik dengan imej ‘anak gaul’. Meskipun untuk mendefinisikan istilah ‘anak gaul’ juga cukup membingungkan untuk mereka, namun mereka sadar bahwa status ‘anak gaul’ adalah tingkatan tertinggi di dalam suatu pergaulan di lingkungan remaja. Siapapun yang di cap ‘anak gaul’ di sekolah, ia akan otomatis mendapatkan rekognisi oleh siswa lainnya, dipandang keren, lebih mudah dikenali para guru, dan berbagai privilege lainnya di lingkungan sekolah. Sebenarnya korelasi antara sebutan ‘anak gaul’ dengan pengguna behel dapat terbentuk karena karakteristik ‘anak gaul’ itu sendiri yang selalu mengikuti tren perkembangan jaman. Istilah dengan awalan B yang sedang popular saat ini seperti Behel, Blackberry, Belah Tengah, Bermobil, merupakan tren-tren terbaru yang berkembang di lingkungan pergaulan remaja. Jika dilihat lebih dekat, beberapa atribut ‘anak gaul’ tersebut merupakan barang-barang yang hanya dapat diakses oleh orang-orang kelas menengah ke atas. Blackberry misalnya, adalah jenis telepon genggam terbaru yang memungkinkan akses terhadap dunia social media lebih tinggi dan kemudahan untuk berkomunikasi dengan banyak orang. Lalu behel, yang memang memiliki biaya pemasangan yang cukup mahal. Hal ini menunjukkan bahwa istilah anak gaul itu dibentuk oleh siswa dengan kelas ekonomi yang tinggi karena ‘anak gaul’ cenderung didukung oleh kemampuan ekonomi mereka untuk mengikuti tren-tren perkembangan jaman. Meskipun informan LL dan RD merasa mereka tidak termasuk dalam golongan anak gaul, namun sebenarnya mereka memiliki nilai-nilai dan sikap yang merepresentasikan diri mereka sebagai anak gaul. Setidaknya, ada keinginan dari dalam diri mereka untuk dilihat gaul di lingkungan mereka. Hal ini dapat dilihat dari perasaan dalam diri mereka setelah menggunakan behel tersebut. Meskipun tidak memiliki fungsi kesehatan sama sekali, kenyataannya mereka rela untuk menahan rasa sakit untuk mendapatkan penilaian yang mereka harapkan dari orang-orang di sekitar mereka. Informan RD misalnya, ia melihat bahwa di peergroupnya, temannya yang menggunakan behel dipandang lebih gaul dan tajir yang kemudian membentuk keinginan dari dalam dirinya untuk menggunakannya juga. Meskipun begitu, sama halnya seperti bahasa gaul, tren-tren yang ada saat ini sangat mungkin untuk berubah dengan cepat dan mungkin mengalami pergeseran nilai. Bisa jadi hari ini behel dianggap keren karena namun kemudian esok hari sudah tidak dianggap keren lagi. Semuanya kembali pada pergaulan remaja, karena merekalah yang mengeinterpretasikan dan
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
memaknai sendiri simbol-simbol di pergaulan mereka. Hal ini dapat dipahami, karena sebagai remaja terdapat keinginan untuk mendapatkan penilaian dari lingkungan sekitarnya, mengatasi rasa ketidaksempurnaannya, kehausan akan rasa diterima oleh orang lain, serta keinginan untuk menampilkan diri secara lebih sempurna. Dampak dan Resiko Menggunakan Behel terhadap Kesehatan Kesehatan merupakan hal yang penting menyangkut suatu individu di dalam menjalankankan aktivitas perannya. Jika kesehatan seorang individu bermasalah, maka akan mempengaruhi terganggunya peran yang dilakukannya di dalam masyarakat. Seperti yang telah digambarkan oleh Blum (1983) gaya hidup adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi kesehatan seseorang dan masyarakat. Menggunakan behel kini telah menjadi bagian dari gaya hidup di perkotaan. Tren menggunakan behel tersebut menyebabkan fungsi utama behel sebagai alat kesehatan justru dilupakan demi mengejar status yang melekat pada pada penggunanya. Adanya keinginan untuk mendapatkan status tertentu di masyarakat menyebabkan banyak orang mencari cara untuk menggunakan behel tanpa mengeluarkan uang banyak. Mereka memasang behel di tukang gigi yang tidak memiliki izin dan menggunakan behel lepas pasang yang hanya berfungsi sebagai aksesoris. Hal ini kemudian menimbulkan implikasi kesehatan pada masyarakat. Kasus yang terjadi pada dua orang remaja di Thailand menunjukkan bahwa menggunakan behel lepas pasang tanpa memikirkan higienitas sangat berbahaya bagi kesehatan. Sekilas behel tersebut mungkin terlihat bersih dan aman untuk digunakan namun saat menggunakannya, kawat gigi yang longgar atau menusuk gusi dapat mengakibatkan luka yang dapat membusuk dan menjadi sumber infeksi berbagai penyakit seperti mata, jantung, ginjal, diabetes serta penyakit serius lainnya (Kemenkes, 2006). Sejumlah penelitian tentang masalah gigi dan mulut juga telah dilakukan dan menunjukkan bahwa gigi dan gusi rusak ternyata bisa memicu risiko terserang stroke dan jantung dua kali lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki gigi sehat. Apalagi jika kawat gigi yang digunakan benar terbukti mengandung timbal seperti yang ditemukan oleh Komite Perlindungan Konsumen di Thailand. Selain menyebabkan dampak langsung pada kesehatan, rasa sakit yang digunakan pada saat menggunakan behel dapat mengganggu jalannya aktivitas sehari-hari. Studi yang dilakukan oleh studi SURKESNAS Tahun 1998 menunjukkan bahwa 62,4% penduduk Indonesia merasa terganggu dalam melakukan aktivitas mereka seperti bekerja dan sekolah
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
karena sakit gigi, yang memiliki rata-rata waktu pertahun selama 3,84 hari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2005). Hal ini seperti yang dialami oleh informan NN dimana dirinya pernah mengalami sakit gigi akibat behelnya tersebut hingga menyebabkan dirinya tidak dapat berbicara saat melayani pelanggannya. Informan LL juga pernah merasakan sakit akibat gusi yang terluka dan membuat dirinya kesakitan hingga tidak dapat konsentrasi pada pelajaran di sekolah. Secara sosiologis, keadaan tersebut sudah dikatakan sakit karena individu tidak dapat melakukan kapasitas optimum dalam melaksanakan peran dan tugas untuk mana ia telah disosialisasikan (Sunarto, 2009). Dampak kesehatan ini sebenarnya berhubungan dengan latar belakang sosial seseorang seperti ekonominya, pendidikannya, dan lingkungan sosialnya. Orang-orang yang menggunakan behel dengan harga rendah kebanyakan berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ketiga informan yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah cukup menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kesadaran maupun keinginan unruk memastikan terlebih dahulu apakah behel yang akan mereka gunakan tersebut aman atau tidak terhadap kesehatan mereka. Selain itu, ketiga informan juga tidak menganggap serius rasa sakit dan perubahan yang terjadi pada kesehatan mereka dan tetap menggunakan behel tersebut. Melihat dampak-dampak yang mempengaruhi kesehatan pengguna behel lepas pasang, terlihat bagaimana ketidakpedulian mereka terhadap kesehatan gigi. Ketiga informan merasakan sakit dan ketidaknyaman pada gigi mereka, namun memaksakan diri untuk menahannya demi terlihat lebih baik dari diri mereka yang sebenarnya di depan orang lain. Penggunaan behel sebagai bagian dari fashion, simbol, memang memberikan suatu kepuasan tersendiri bagi penggunanya, namun dibalik itu terdapat banyak bahaya terhadap kesehatan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
KESIMPULAN Pemaknaan behel di masyarakat kini bukan lagi sebagai alat bantu kesehatan yang berfungsi untuk memperbaiki atau merapikan gigi, namun telah berubah menjadi fungsi estetika dan memberi status tertentu di masyarakat. Behel dimaknai sebagai simbol status ekonomi dan menggunakannya membawa prestis tersendiri. Selain simbol status ekonomi, behel juga dimaknai sebagai simbol status ‘anak gaul’ terutama di kalangan remaja yang masih bersekolah. Behel termasuk dalam indikator anak gaul disekolah yang ditunjukkan dalam istilah 3B (Behel, Blackberry, Bermobil/Belah Tengah) yang apabila seorang remaja sudah menggunakan salah satunya, mereka sudah
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
dianggap mengikuti pergaulan dan apabila memenuhi semuanya, maka dirinya dianggap sangat gaul. Status anak gaul ini menjadi penting karena memberikan suatu posisi tertentu di pergaulan mereka, yang menyebabkan mereka akan mendapat penilaian dan perlakuan yang berbeda dengan anak lain. Dari ketiga informan, pemaknaan dan keinginan menggunakan behel terbentuk dari significant others, yaitu lingkungan sosial tempat mereka melakukan aktivitas sehari-hari, teman, dan keluarga. Lingkungan pergaulan dan peer group memberikan pengaruh paling besar bagi ketiga informan dalam memaknai behel dan membangun keinginan untuk menggunakannya. Hasil wawancara dengan ketiga informan memberikan informasi bahwa behel memberikan dampak psikologis yaitu menaikkan self-esteem penggunanya. Rasa bangga juga mempengaruhi kondisi psikologis pengguna behel, karena muncul perasaan bahwa dirinya menggunakan behel yang dianggap keren oleh orang lain. Selain berdampak psikologis dan kesehatan seseorang, behel juga memberi dampak dalam kehidupan sosial penggunanya. Bagi ketiga informan, menggunakan behel ternyata memberikan pengaruh terhadap lingkungan sosial mereka. Seperti hubungan yang lebih dekat dan kompak dengan peergroupnya dan rekognisi di lingkungan pergaulan mereka. Terutama bagi remaja perempuan, penampilan juga menjadi suatu refleksi diri. Ada keterkaitan antara behel dengan penggunanya, yaitu bagaimana penggunanya melihat dirinya dengan behel tersebut dan bagaimana orang lain menanggapi diri pengguna behel dan yang terakhir bagaimana si pengguna behel tersebut melihat tanggapan orang lain terhadap dirinya. Dampak psikologis dan dampak sosial yang dialami informan berbanding terbalik dengan dampak kesehatannya. Ketiga informan cenderung tidak mempermasalahkan dampak negatif yang terjadi pada kesehatan gigi dan mulut mereka selama mereka masih mendapatkan dampak positifnya. Hal ini menunjukkan bahwa bagi pengguna behel fashion lepas pasang, status sosial dan kepercayaan diri mereka di lingkungan pergaulan lebih penting daripada status kesehatan diri mereka sendiri. Pada penelitian ini, terlihat bagaimana behel telah berubah menjadi sesuatu yang memiliki makna simbolik. Kini, mengkonsumsi suatu produk bukan menjadi suatu alasan kegunaan namun lebih kepada pertimbangan nilai dan imej yang melekat pada produk tersebut. Hal ini terjadi pada behel yang memiliki fungsi utama sebagai alat kesehatan kemudian menjadi bagian dari kosmetika dan aksesoris yang merepresentasikan status-status tertentu di masyarakat. Hal yang penting disini juga bagaimana rasa percaya diri, bangga dan puas terhadap diri mereka sendiri terbentuk setelah menggunakan behel. Tidak peduli seberapa besar rasa sakit yang mereka tahan saat
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
menggunakannya, semua terbayar ketika orang lain menilai mereka lebih baik dari diri mereka yang sebenarnya. SARAN Dari hasil temuan penelitian ini, masyarakat khususnya remaja sangat mudah untuk dipengaruhi lingkungan pergaulan mereka dalam hal mengikuti tren yang berkembang, dan seringkali lebih tergiur untuk menggunakan jalan praktis atau instan untuk mencapai sesuatu. Meskipun menggunakan behel dapat membangun rasa percaya diri, namun sebenarnya ada banyak cara untuk meningkatkan rasa percaya diri tanpa harus membahayakan kesehatan diri sendiri. Seharusnya untuk meningkatkan rasa percaya diri tidak melalui suatu hal yang bersifat materi dan temporer, namun melalui jalan yang akan diakui oleh seluruh lapisan masyarakat, seperti pendidikan dan prestasi. Saran praktis dari penelitian ini adalah kepada masyarakat perkotaan untuk memilah dengan baik tren yang dapat mereka ikuti dengan segala pertimbangan sebelum mengikutinya. Peredaran behel fashion ini juga tidak lepas dari peran para penjual behel fashion lepas pasang di toko online, pedagang kaki lima, maupun praktik tukang gigi yang sebaiknya sadar bahwa kesehatan masyarakat lebih penting dari sekedar mencari keuntungan semata. Penelitian ini mengungkapkan bahwa tren yang berkembang di masyarakat belum tentu semuanya baik dan tidak memiliki resiko. Peredaran behel lepas pasang yang semakin meluas di masyarakat harus dapat dikontrol peredarannya. DAFTAR REFERENSI Azwar, S. (1995). Sikap manusia: teori dan pengukurannya. Pustaka Pelajar. Basso, & Selby. (1976). Meaning in Anthropology. New Mexico: The School of American Research. Berger, B. (1971). Societies in Change. New York/London: Basic Book, Inc. Blum, H. L. (1983). Expanding Health Care Horizons. From a General Systems Concept of Health to a National Health Policy. Oakland: Third Party Publishing Company. Burke, P. (2011). Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. CBS News. (2009, Februari). Crackdown On Fake Braces Fashion Fad. Diakses pada tanggal 20 Februari 2013, dari CBS News: http://www.cbsnews.com/2100-202_1621240516.html Chaney, D. (2009). Gaya Hidup: Sebuah pengantar komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Creswell, J. W. (2003). Research design qualitative, quantitave, and mixed methods approaches. Sage Publication, Inc. Fatimatuzzahra, I. (2003). Rasa Percaya Diri Pada Pasien Pemasang Kawat Gigi, Sebuah penelitian deskriptif pada pasien usia remaja yang sedang menjalani perawatan alat ortodonti cekat. Diakses pada tanggal 17 Desember 2012, dari Digital Library Universitas Muhammadiyah Malang:
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2003iinfatimat-878 Geertz, H. (1981). Aneka Budaya dan Komunitas di Jakarta (Edisi Terjemahan). Jakarta: YIS. Gerth, H., & Mills, C. W. (1977). From Max Weber essays in sociology / translated, edited and with an introduction by by H. Gerth and C. Wright Mills. Routledge & Kegan Paul. Horton, P. b., & Hunt, C. (1987). Sosiologi Jilid 2 (Edisi Terjemahan). Jakarta: Erlangga. Keesing, R. M. (1989). Antropologi Budaya. Erlangga. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2007, Januari). KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 0039/MENKES/SK/I/2007 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEDOKTERAN GIGI KELUARGA. Diakses pada tanggal 5 Februari 2013, dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2005, Oktober). KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1415/MENKES/SK/X/2005 TENTANG KEBIJAKAN PELAYANAN DOKTER GIGI KELUARGA. Diakses pada tanggal 13 Februari 2013, dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Lury, C. (1998). Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Malik, S. (2012). Deadly Fashion Braces Are Big in Thailand. Diakses pada tanggal 20 Februari 2013, dari Vice.com: http://www.vice.com/en_ca/read/deadly-fashionbraces-are-big-in-thailand Poloma, M. (2000). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ritzer, G. (2010). Teori Sosiologi Modern. Kencana Prenada Media Group. Sekarini, S. (n.d.). Mengenal Kawat Gigi Lebih Dekat. Diakses pada tanggal 10 April 2013, dari RS Mitra Keluarga Kelapa Gading: http://www.mitrakeluarga.com/gading/mengenal-kawat-gigi-lebih-dekat/ Soekanto, S. (1990). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. (1984). Beberapa teori sosiologi tentang struktur masyarakat. Rajawali. Spradley. (1972). Culture and Cognition, Rules, Maps, and Plans. San Fransisco: Macalester College: Chandler Publishing Company. Sunarto, K. (2009). Sosiologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Susanto, A. (2001). Potret-potret Gaya Hidup Metropolis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Tandriano, T. (2012, Juni). Behel, Studi Antropologi tentang Citra Diri Remaja Pengguna Kawat Gigi di Kota Makassar. Universitas Hasanuddin. Diakses pada tanggal 7 November 2012, dari Repository Universitas Hasanuddin: http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/1981
Pergeseran nilai…, Raden Adriana Rahmawati, FISIP UI, 2013