Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
PERFORMA ITIK GENOTYPE EPMP UMUR ENAM MINGGU DENGAN PEMBERIAN BERBAGAI LEVEL PROTEIN DAN SERAT KASAR DALAM RANSUM (The Performance of Six Weeks-Old EPMp Genotype Ducks Fed on Various Levels of Protein and Crude Fibers) Maijon Purba, Ketaren PP Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT An experiment was carried out to determine the growth response and feed efficiency in EPMp-ducks fed on various levels of proteins with high content of fibers in rations for six weeks. A total of 360 EPMp ducks was allocated for 6 treatments in 6 replications with 10 ducks/replication for each treatments. The treatments were: (R1) basal diet (RB): 19% protein + 6% crude fiber (CF); (R2) RB: 19% protein + 9% CF; (R3) RB: 21% protein + 6% CF; (R4) RB: 21% protein + 9% CF; (R5) RB: 23% protein + 6% CF, and (R6) RB: 23% protein + 9% CF. Feed and water given ad libitum. The experiment was design with a completely randomized design (CRD) 3x2 factorial, the first factors were 3 levels of protein and the second factors were 2 levels of crude fiber. Variables measured include: feed consumption, body weight gain, feed conversion ratio (FCR) and mortality. The results showed that feed intake for 6 weeks did not significantly (P>0.05) affected by protein and crude fiber content. Body weight gain significantly (P<0.05) influenced by levels of protein, but crude fiber did not significant effected (P<0,05). Interaction of variuos levels of proteins with crude fiber also did not significant (P>0.05) to the body weigh gain. FCR significant (P<0.001) influenced by the level of protein and crude fiber on the ration. R2 is the best treatment with FCR value of 1.61 ±0.11. The results provided information that fed high of crude fiber up to the 9% is still tolerant to the EPMp duck growth until the age of 6 weeks. Maintained for 6 weeks no ducks die so that the mortality rate was 0%. Key Words: Performance, EPMp Ducks, Protein, Crude Fiber ABSTRAK Suatu penelitian telah dilakukan untuk menguji respon pertumbuhan dan efisiensi ransum itik pedaging EPMp dengan pemberian berbagai level protein dengan serat kasar tinggi dalam pakan selama 6 minggu. Sebanyak 360 ekor itik EPMp dialokasikan sebanyak 6 perlakuan dengan 6 ulangan masing-masing 10 ekor. Susunan ransum perlakuan: terdiri dari: (1) Ransum basal (RB): 19% protein + 6% serat kasar (SK); (2) RB: 19% protein + 9% SK; (3) RB: 21% protein + 6% SK; (4) RB: 21% protein + 9% SK; (5) RB: 23% protein + 6% SK; dan (6) RB: 23% protein + 9% SK. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Rancangan penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3x2, faktor pertama 3 level protein dan faktor kedua 2 level serat kasar. Peubah yang diamati meliputi: konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, feed conversion ratio (FCR) dan mortalitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi ransum selama 6 minggu tidak nyata (P>0,05) dipengaruhi oleh kadar protein maupun serat kasar. Pertambahan bobot badan nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh pemberian berbagai level protein, sedangkan serat kasar tidak berpengaruh nyata (P<0,05). Interaksi berbagai level protein dengan serat kasar juga tidak nyata (P>0,05) terhadap PBB. FCR sangat nyata (P<0,001) dipengaruhi oleh level protein dan serat kasar dan saling mempengaruhi terhadap FCR itik. R2 merupakan perlakuan terbaik dengan nilai FCR sebesar 1,61 ± 0,11. Hasil penelitian memberikan informasi bahwa pemberian serat kasar tinggi hingga level 9% masih toleran terhadap pertumbuhan itik pedaging EPMp hingga umur 6 minggu. Selama pengamatan tidak ada itik yang mati sehingga angka mortalitas 6 minggu sebesar 0%. Kata Kunci: Performa, Itik EPMp, Protein, Serat Kasar
553
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
PENDAHULUAN Ternak itik merupakan salah satu ternak unggas yang potensial sebagai penghasil daging. Peranan produksi daging itik untuk membantu mencukupi kebutuhan masyarakat terhadap daging potensinya sangat tinggi (Adeola 2006). Populasi itik di Indonesia selama 2010 sebanyak 44.301.805 ekor, akan tetapi pada 2011 mencapai 49.391.628 ekor terjadi peningkatan sebesar 11,48%. Produksi daging itik pada tahun yang sama juga mengalami peningkatan sebesar 12,24% dimana produksi daging itik pada 2010 sebesar 25.999 ton sedangkan pada 2011 meningkat menjadi 29.180 ton (Ditjen PKH 2011). Daging itik yang dijual ke masyarakat sebagian besar adalah itik jenis petelur afkir maupun itik jantan yang dimanfaatkan sebagai itik potong (Purba et al. 2012). Seiring dengan semakin meningkatnya permintaan daging itik diperlukan adanya inovasi teknologi untuk menghasilkan itik pedaging yang kualitas produknya dapat sesuai dengan preferensi masyarakat. Pengembangan itik pedaging di Indonesia juga akan bermanfaat untuk memperkecil upaya-upaya pemotongan itik betina produktif penghasil telur. Itik EPMp adalah salah satu itik pedaging lokal yang sedang dikembangkan oleh Balitnak Ciawi. Itik pedaging ini bentukan dari tiga rumpun yaitu: entog jantan yang dikawinkan dengan itik betina hasil persilangan itik Pekin jantan dengan Mojosari putih. Itik EPMp juga disebut sebagai itik Serati, memiliki pertumbuhan yang cepat, ukuran tubuh cukup besar, dan bobot karkas yang dihasilkan juga cukup tinggi dibandingkan dengan jenis itik lokal lainnya. Faktor utama untuk menopang keberlanjutan dan keberhasilan dalam pemeliharaan itik selain bibit adalah ketersediaan pakan yang memadai (dari segi kualitas maupun kuantitas), mudah diperoleh dan harga yang terjangkau. Faktanya adalah hampir semua bahan pakan unggas termasuk itik hingga saat ini masih diimpor sehingga harganya cukup mahal yang menyebabkan para pelaku usaha peternakan itik mengalami kerugian. Farrel (2005) menyarankan bahwa penggunaan bahan pakan alternatif untuk mendukung produksi unggas
554
mutlak dilakukan dan perlu dukungan pemerintah. Dedak, jagung, bungkil kelapa sawit, bungkil kelapa merupakan contoh bahan-bahan pakan lokal yang berasal dari limbah pertanian, perkebunan telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan unggas. Cocopeat yang berasal dari limbah buah kelapa berupa serbuk serabut ketersediannya melimpah dan harganya relatif murah. Namun penggunaan cocopeat untuk itik perlu diteliti agar tidak mengganggu pertumbuhan. Kelebihan pada itik adalah kemampuan mencerna serat kasar lebih tinggi bila dibandingkan dengan ayam (Anggorodi 1995). Kemampuan untuk mencerna serat kasar tersebut dapat memberi kemudahan bagi peternak untuk memanfaatkan limbah pertanian maupun perkebunan sebagai sumber bahan pakan itik. MATERI DAN METODE Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik EPMp (persilangan entog jantan yang dikawinkan dengan itik betina hasil persilangan Pekin jantan dengan itik Mojosari putih betina (PMp). Ransum yang digunakan adalah ransum basal yang kandungan gizinya mengacu kepada hasil rekomendasi NRC (1994), hasil penelitian Sinurat (2000) dan Ketaren et al (2002). Pakan dan air minum diberikan ad libitum selama 6 minggu. Bahan dan komposisi ransum yang digunakan disajikan dalam Tabel 1. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3 x 2. Faktor pertama adalah tiga kadar protein ransum yaitu 19, 21 dan 23%, sedangkan faktor kedua adalah dua kadar serat kasar yaitu 6 dan 9%. Setiap perlakuan diulang sebanyak 6 kali, dan setiap ulangan terdiri dari 10 ekor. Pakan yang diberikan selama 6 minggu bentuk bubuk (mash). Peubah yang diamati meliputi: Pertambahan bobot badan (PBB), konsumsi pakan kumulatif, feed conversion ratio (FCR) dan mortalitas. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode General Linear Model (GLM) dengan bantuan SAS (Statistical Analisys System) untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap peubah-peubah yang diukur.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 1. Bahan, komposisi dan kadar gizi ransum perlakuan Ransum perlakuan
Bahan
R1 (%)
R2 (%)
R3 (%)
R4 (%)
R5 (%)
R6 (%)
Dedak
0
0
0
0
9
9
Polard
61,55
30,52
52,28
30,8
45,3
45,43
Bungkil kedele
7
3
7
12,5
0
12,5
Tepung ikan
0
7,23
BR-201 28 39 Cocopeat 0 14 Lisin 0,38 0,18 Vitalink 0,02 0,02 Nutrimin 0,05 0,05 CPO 2 5 DCP 1 1 Total 100 100 Kadar gizi ransum hasil perhitungan: Bahan R1 (%) R2 (%) Protein (%) 19 19 EM (kkal/kg) 2700 2700 SK (%) 6 9 Metionin (%) 0,27 0,27 Lisin (%) 0,95 0,95 Ca (%) 0,72 0,72 P(%) 0,9 0,9
5
7
16,63
12
32 1 0,15 0,02 0,05 1,5 1 100
30 13 0 0,02 0,05 5,63 1 100
25 2 0 0,02 0,05 1 1 100
8 7 0 0,02 0,05 5 1 100
R3 (%) 21 2700 6 0,27 0,95 0,72 0,9
R4 (%) 21 2700 9 0,27 0,95 0,72 0,9
R5 (%) 23 2700 6 0,27 0,95 0,72 0,9
R6 (%) 23 2700 9 0,27 0,95 0,72 0,9
EM = Energi metabolis; SK = Serat kasar; Ca = Kalsium; P = Phosfor BR-201 (Cargill); Vitalink dan Nutrimin (vitamin dan mineral); CPO (Crude Palm Oil); DCP (Di-Calsium Phosphat)
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi pakan Konsumsi pakan kumulatif itik pedaging EPMp umur 6 minggu yang diberi pakan mengandung protein (19, 21 dan 23%) dengan serat kasar (6 dan 9%) dicantumkan dalam Tabel 2. Rataan konsumsi pakan yang mengandung serat kasar 6 dan 9% masingmasing sebesar 3987,92±221,10 dan 3957,64 ±139,64 g/ekor. Berdasarkan hasil analisis statistik, serat kasar maupun kandungan protein dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi itik selama 6
minggu. Rataan konsumsi pakan itik EPMp yang diberi pakan mengandung protein 19, 21 dan 23% masing-masing sebesar 3911,42± 175,80; 3976,63±148,62 dan 4030,29 ± 216,70 g/ekor pada umur 6 minggu. Hasil analisa statistik juga menunjukkan bahwa interaksi faktor kombinasi kandungan protein-serat kasar dalam pakan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi pakan itik. Hal ini memberi gambaran bahwa kandungan protein-serat kasar dalam pakan tidak saling mempengaruhi terhadap konsumsi pakan itik. Hasil penelitian ini juga memberi informasi bahwa itik EPMp masih toleran dengan pemberian pakan yang mengandung,
555
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 2. Rataan konsumsi pakan kumulatif itik pedaging EPMp sampai dengan umur 6 minggu Protein (%)
Konsumsi (g/ekor)
Rataan
Serat kasar 6%
Serat kasar 9%
19
3899,42±199,74
3923,42±151,85
3911,42±175,80
21
3973,08±202,37
3980,17±94,87
3976,63±148,62
23
4091,25±261,20
3969,33±172,19
4030,29±216,70
Rataan
3987,92 ± 221,10
3957,64 ± 139,64
serat kasar tinggi hingga 9%. Ulupi (1990) melaporkan bahwa itik Tegal betina mampu mencerna serat kasar hingga kadar 17% sumber serat kasar yang digunakan adalah ampas tebu. Sinurat et al. (1992) menyarankan bahwa pemberian dedak di bawah 40% pada itik masih dapat dilakukan. Mangisah et al. (2007) melaporkan bahwa pemberian ransum yang mengandung 15% serat kasar pada itik Tegal masih toleran, serat kasar yang digunakan berasal dari serbuk gergaji. Kemampuan itik untuk mencerna pakan yang mengandung serat kasar tinggi diperkirakan berhubungan dengan kemampuan alat dan sistem pencernaan yang dimiliki oleh itik. Proses pencernaan serat kasar pada itik terjadi pada sekum yakni ruang fermentasi yang memiliki panjang sekitar 10-29 cm (Srigandono 1997). Selain itu, sistem pencernaan yang dimiliki oleh itik secara genetik lebih baik dalam mencerna serat bila dibandingkan dengan ayam. Hal ini dapat dilihat dari sifat adaptasi itik yang secara alami telah lolos seleksi alam untuk hidup dan dapat berkembang biak walaupun dalam kondisi yang terbatas. Hasil penelitian ini memberi indikasi bahwa perlakuan yang paling baik untuk memperoleh konsumsi pakan kumulatif pada itik EPMp hingga umur 6 minggu adalah pakan yang mengandung protein 19%. Pertambahan bobot badan Pertambahan bobot badan (PBB) itik pedaging EPMp umur 6 minggu dengan pemberian pakan yang mengandung protein 19, 21 dan 23% dengan serat kasar 6 dan 9% dicantumkan pada Tabel 3. Rata-rata PBB itik EPMp yang diberi pakan mengandung serat kasar sebanyak 6 dan 9% masing-masing sebesar 1433,61±159,95 dan 1468,33±142,68 g/ekor.
556
Nilai rata-rata dengan super script yang sama pada kolom atau lajur yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa serat kasar tidak nyata berpengaruh (P>0,05) pada PBB itik selama 6 minggu, akan tetapi kadar protein nyata (P<0,05) berpengaruh pada PBB itik EPMp. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Mangisah et al. (2007) yang melaporkan bahwa pemberian pakan dengan kadar serat kasar 5, 10 dan 15% tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap PBB itik Tegal. Tabel 3 memperlihatkan bahwa PBB itik pada ransum berkadar protein 19% tidak nyata (P>0,05) berbeda dengan PBB itik pada ransum berkadar protein 21 dan 23%, akan tetapi PBB itik berbeda nyata (P<0,05) pada ransum kadar protein 21% dengan 23%. Interaksi faktor kadar protein dan serat kasar tinggi dalam pakan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap PBB itik. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kandungan protein dan serat kasar tidak saling memberi pengaruh terhadap PBB itik pada umur 6 minggu. Hasil ini juga memberi informasi bahwa itik EPMp masih toleran dengan pemberian pakan yang mengandung serat kasar tinggi hingga 9%. Dalam saluran pencernaan itik khususnya sekum dan tembolok, terdapat populasi mikrobia dengan berbagai ukuran dan kompleksitas (Gabriel et al. 2006). Mikrobia yang ada dalam sekum menurut Gabriel et al. (2006) adalah mikroba anaerob obligatif sedangkan yang ada di tembolok bersifat anaerob fakultatif. Tipe, jumlah, dan aktivitas metabolik mikrobia tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor individu, umur ternak, lingkungan, dan pakan yang dikonsumsi. Peranan sekum menurut Denbow (2000) maupun Zdunczyk et al. (2010) sangat penting dalam proses pencernaan, karena penghilangan sekum pada itik dapat menurunkan kecernaan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 3. Rataan pertambahan bobot badan itik pedaging EPMp umur 6 minggu Pertambahan bobot badan (g/ekor)
Protein (%)
Rataan
Serat kasar 6%
Serat kasar 9%
19
1390,00±136,42
1498,33±116,48
1444,17±164,46ab
21
1502,50±177,64
1550,00±81,55
1526,25±128,82a
23
1408,33±168,84
1356,67±154,65
1382,50±160,68b
Rataan
1433,61±159,95a
1468,33±142,68a
serat kasar dan proses metabolisme pakan serta kehilangan banyak asam amino. Sekum yang letaknya di bagian belakang setelah usus halus, merupakan organ untuk penyerapan utama nutrien hasil pencernaaan dan selanjutnya hasil penyerapan tersebut akan dimanfaatkan untuk proses pertumbuhan maupun proses untuk hidup. Bila dilihat dari segi efisiensi produksi, perlakuan yang paling baik untuk menghasilkan PBB itik EPMp pada umur 6 minggu adalah pemberian pakan yang mengandung 9% serat kasar dan protein 19%. Respon pertumbuhan itik EPMp dengan pemberian ransum yang mengandung serat kasar tinggi (9%) dengan 3 kadar protein dicantumkan dalam Gambar 1. Laju pertumbuhan itik EPMp dari umur 0 s/d 3 minggu polanya relatif sama. Hal ini menggambarkan bahwa selama periode tersebut respons pertumbuhan itik dengan semua perlakuan relatif sama. Respon
pertumbuhan itik tampak mulai berubah saat memasuki umur 4 minggu meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Pertumbuhan itik dengan kadar serat kasar tinggi (9%) dengan level protein 23% tampak sedikit lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Bakrie et al (2005) yang melaporkan bahwa kurva pertumbuhan itik Alabio dan itik jantan lokal yang diberi pakan alternatif dan pakan komersial selama 6 minggu bentuknya sama. Mohiti et al (2012) yang menyatakan bahwa bobot badan ayam broiler yang diberi pakan dengan kandungan serat (3%) menjadi menurun. Penurunan tersebut diduga adalah sebagai akibat adanya peningkatan kandungan serat kasar. Semakin tinggi serat kasar konsumsi pakan menjadi berkurang sehingga berpengaruh terhadap laju pertumbuhan maupun penuruan bobot badan itik.
1800 1600 R1
PBB (gr/e)
1400 1200
R2
1000
R3
800
R4
600 R5
400
R6
200 0 0
1
2
3
4
5
6
Minggu keGambar 1. Kurva pertumbuhan itik EPMp umur 6 minggu dengan pemberian serat kasar tinggi dalam pakan
557
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Feed Consumption Ratio (FCR) Rataan FCR itik pedaging EPMp umur 6 minggu yang diberi pakan yang mengandung protein sebesar 19-23% dengan kandungan serat kasar 6 dan 9% dicantumkan dalam Tabel 4. Rata-rata FCR itik EPMp yang diberi pakan mengandung serat kasar sebanyak 6 dan 9% masing-masing sebesar 2,90±0,21 dan 2,44±0,19. Hasil penelitian ini memberi informasi bahwa serat kasar dan kandungan protein dalam ransum berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap FCR itik pada umur 6 minggu. Tabel 4. Rataan FCR itik pedaging EPMp umur 6 minggu Protein (%)
Serat kasar (%) Rataan
6
9
19
2,92±0,16
1,61±0,11
2,26±0,14a
21
2,76±0,25
2,66±0,18
2,71±0,22b
23
3,03±0,21
3,06±0,29
3,05±0,25c
a
b
Rataan
2,90±0,21
2,44±0,19
Nilai rata-rata dengan super script yang sama pada kolom atau lajur yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
Kandungan protein 19% dan serat kasar (9%) merupakan perlakuan yang paling baik untuk menghasilkan FCR itik selama 6 minggu. Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan FCR itik EPMp umur 6 minggu yang diberi pakan mengandung protein 19% dan serat kasar 9% sebesar 1,61±0,11 sedangkan FCR itik yang diberi pakan yang mengandung 23% protein dan serat kasar 6 dan 9% tampak lebih buruk yakni 2,90±0,21 dan 2,44±0,19. Berdasarkan hasil analisis statistik, interaksi faktor kombinasi kandungan proteinserat kasar masing-masing (19 dan 21%) dengan (6 dan 9%) dalam pakan berpengaruh sangat nyata (P<0,001) terhadap FCR itik pada umur 6 minggu. Hal ini memberi indikasi bahwa kombinasi protein-serat kasar dalam pakan saling mempengaruhi terhadap FCR itik EPMp. Hasil penelitian ini juga memberi informasi bahwa pakan perlakuan yang paling baik dan efisien untuk menghasilkan FCR itik pedaging EPMp hingga umur 6 minggu adalah pakan yang mengandung protein sebesar 19% dengan serat kasar 9%. Ulupi (1990) telah
558
melakukan penelitian menggunakan empat jenis ransum perlakuan dengan kandungan serat kasar dari bagase tebu (5, 9, 13 dan 17 persen). Dilaporkan bahwa tingkat pemberian serat kasar dalam ransum sangat nyata (P<0,01) berpengaruh terhadap konversi ransum. Konversi ransum yang paling baik diperoleh pada itik yang diberi ransum perlakuan dengan kandungan serat kasar yang rendah (5%). Rata-rata konversi ransum dari masing-masing perlakuan adalah 5,09; 7,22; 9,07 dan 7,64 (Ulupi, 1990). Nilai konversi ransum tersebut bila dibandingkan dengan ayam tipe pedaging jauh lebih tinggi. Nilai konversi ransum itik EPMp umur 1-3 minggu (fase grower) dengan kandungan serat kasar antara 4,2-5,8% juga masih relatif tinggi yaitu berkisar antara 3,97-4,70 (Ketaren et al. 2010). Nilai konversi ransum yang tinggi pada ternak itik sangat berhubungan dengan kandungan serat dalam ransum. Semakin tinggi kadar serat diimbangi dengan kadar protein ransum yang optimal dapat meningkatkan konversi ransum. Serat kasar terdiri dari dua golongan yaitu polisakharida dan lignin, selulosan dan non selulosa termasuk golongan polisakharida. Non selulosa meliputi hemi selulosa, pektin, musilages, gum dan algal polisakharida. Selulosa terdiri atas molekul-molekul glukosa, sedangkan non selulosa terdiri dari bermacammacam tipe molekul gula. Hemiselulosa terdiri dari rangkaian molekul-molekul gula seperti xilosa, manosa, galaktosa, glukosa, arabinosa dan asam glukuronik (Southgate 1976). Lignin bukan merupakan polisakharida tetapi suatu “complex random polymer” yang mengandung sekitar 40 oxygenated phenyl propane unit meliputi coniferil, sinapil dan p-coumaril alkohol (Southgate 1976). Proporsi serat kasar dalam tanaman tergantung pada spesies, umur dan bagian dari tanaman. Pada umumnya, semakin tinggi kandungan serat kasar, maka koefisien cerna dan keefisienan ransum semakin rendah. Dalam peranannya sebagai zat makanan bagi ternak, serat kasar berfungsi sebagai sumber energi (Lioyd et al. 1978). Semakin tinggi tingkat pemberian selulosa dalam pakan akan meningkatkan konsumsi pakan dan berarti menurunkan ketersediaan energi metabolis. Bayer et al. (1978) menyatakan penambahan selulosa sampai dengan tingkat 6% ke dalam ransum akan menurunkan efisiensi pakan.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Pemberian kandungan selulosa yang semakin tinggi konversi pakan akan semakin meningkat. Hasil penelitian menjelaskan bahwa kombinasi 19% protein 9% serat kasar dalam ransum memberikan nilai FCR yang lebih baik terhadap itik EPMp umur 6 minggu. KESIMPULAN Pemberian cocopeat (serat buah kelapa) hingga 9% dalam pakan itik pedaging masih toleran terhadap pertumbuhan itik EPMp hingga umur enam minggu. Perlakuan yang paling baik untuk menghasilkan FCR dan PBB itik EPMp adalah pemberian pakan dengan kandungan protein (19%) dan serat kasar (9%).
Farrell DJ. 2005. Matching poultry production with available feed resources: issues and constraints. World Poult Sci J. (61):298-307. Gabriel I, Lessire M, Mallet S, Guillot JF. 2006. Mikroflora of the digestive tract: critical factors and consequences for poultry. World Poult Sci J. 62:499-511. Ketaren PP, Prasetyo LH. 2002. Pengaruh pemberian pakan terbatas terhadap produktivitas itik silang Mojosari X Alabio (MA) selama 12 bulan produksi. JITV. 7:3845. Ketaren PP, Sinurat AP, Prasetyo LH, Rahardjo, YC, Purba M, Sumardi. 2010. Kebutuhan gizi itik pedaging genotipa PMp dan EPMp. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak.
UCAPAN TERIMA KASIH
Lloyd LE, McDonald BE, Crampton EW. 1978. The carbohydrates and their metabolism. In: Fundamental of Nutrition. 2nd Ed. San Francisco (CA): W.H. Freeman and Company.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Pius Ketaren atas saran dan nasehat yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada tenaga teknisi di kandang itik yang turut mendukung pelaksanaan penelitian dari awal hingga akhir penelitian.
Mangisah I, Nasoetion MH, Murningsih W, Arifah. 2007. Pengaruh serat kasar ransum terhadap pertumbuhan, produksi, dan penyerapan “volatile fatty acids” pada itik Tegal. Majalah Ilmiah Peternakan. 10(3):1-16.
DAFTAR PUSTAKA Adeola O. 2006. Review of research in duck nutrient utilizzation. Int J Poult. Sci. 5:201-218. Anggorodi. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Bakrie B, Manshur E, Wahyudin, Aripin N. 2005. Perbandingan pertumbuhan itik jantan lokal dan Alabio dengan pemberian pakan alternatif dan pakan komersial. Prosiding Lokakarya Nasional. Unggas Air II. Ciawi, 16-17 November 2005. Kerjasama Puslitbang Peternakan-Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia-Institut Pertanian Bogor. hlm. 240251. Bayer RC, Hoover WH, Muir FV. 1978. Dietary fiber and meal feeding influence on broiler growth and crop fermentation. Poult Sci. 57:1456-1459. Denbow DM. 2000. Gastrointestinal anatomy and physiology. In: Sturkie’s Avian Physiology. Whittow GC. (Editor). London (UK): Academic Press. p. 299-325. Ditjen PKH. 2011. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI.
Mohiti AM, Shivazad M, Zaghari M, Aminzadeh S, Rezaian M dan Mateos GG. 2012. Dietary fibers and crude protein content alleviate hepatic fat deposition and obesity in broiler breeder hens. Poult. Sci. 91(12):3107-14. National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of poultry. Washington DC: National Academy Press. Purba M, Ketaren PP. 2012. Konsumsi dan konversi pakan itik lokal jantan umur delapan minggu dengan penambahan santoquin dan vitamin E dalam pakan. JITV. 16:280-287. Sinurat AP. 2000. Penyusunan ransum ayam buras dan itik. Pelatihan proyek pengembangan agribisnis peternakan, Dinas Peternakan DKI Jakarta, 20 Juni 2000. Sinurat AP, Bestari J, Winarso, R. Matondang, Setiadi B, Wahyuni S. 1992. Pengaruh imbangan asam amino: energy metabolis ransum terhadap penampilan itik. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Unggas dan Aneka Ternak. Balai Penelitian Ternak. p. 55-61. Southgate DAT. 1976. The chemistry of dietary fiber. In Human Nutrition, Spiller GA, Amen RJ. Editors. New York (NY): Plenum Press. Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
559
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Ulupi N. 1990. Pengaruh tingkat serat kasar ransom terhadap performans itik Tegal dan daya cerna zat-zat makanan pada itik dan ayam. (Tesis). Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Zdunczyk Z, Jankowski J, Juskiewicz J, Lecewiczz A, Slominski B. 2010. Application of soybean meal, soy protein concentrate and isolate differing in α-galactosides content to low-and high-fibre diets in growing turkeys. J Anim Physiol Anim Nutr. 94:561-570.
DISKUSI Pertanyaan: Serat kasar tinggi apakah ada penurunan terhadap PBB?. Jawaban: Ada, pada itik lokal jumlah serat kasar optimal 9%.
560