PERENCANAAN PEMBENTUKAN KESATUAN PENGUSAHAAN HUTAN PRODUKSI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SAMSURI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengusahaan hutan menganut prinsip-prinsip kelestarian yang meliputi kelestarian hasil, kelestarian usaha, kelestarian sumber daya hutan dan kelestarian kualitas lingkungan. Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mencapai tingkat pemanfaatan sumber daya hutan yang optimal, khususnya untuk keperluan pengusahaan hutan produksi yaitu dengan adanya kejelasan letak dan luas dari kesatuan pengelolaan dimana prinsip-prinsip kelestarin akan diterapkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Kesatuan-kesatuan pengelolaan untuk pengusahaan hutan diluar Pulau Jawa yang berbentuk Hak Pengusahaan Hutan ( HPH ), sampai saat ini belum sepenuhnya memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang sehat. Sistim pengelolaan hutan di Pulau Jawa yang lebih mantap tertata perlu untuk dijadikan acuan dalam menglola hutan di luar Pulau Jawa. Pasal 10 Undang-Undang No..5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan menetapkan bahwa “Untuk menjamin terselenggaranya pengurusan hutan negara yang sebaik-baiknya, maka dibentuk kesatuankesatuan pemangkuan hutan dan kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan yang pelaksanaanya diatur lebih lanjut oleh menteri.” Kemudian dijabarkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 200/Kpts-II/1991tentang Pedoman Pembentukan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP). Lebih lanjut diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jendral Pengusahaan Hutan Nomor 383/Kpts-RPH/1992 tentang Petunjuk Teknis Pembentukan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi. Dalam rencana pembentukan kesatuan pengelolaan hutan produksi diperlukan adanya suatu sistem informasi yang terintegrasi. Kemajuan di bidang teknologi komputer memungkinkinkan perencanaan kesatuan pengelolaan hutan produksi dengan menggunakan sistem Informasi Geografis (SIG) yang menggunakan komputer. 1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan gambaran tentang keadaan umum areal hutan yang diteliti yang menunjang kegiatan perencanaan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP). 2. Menentukan apakah suatu HPH dari segi potensi fisik dan potensi produksinya dapat dijadikan sebagai Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi. 1.3. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendayagunakan secara optimal basis data SIG untuk kepentingan perencanaan KPHP serta lebih lanjut dapat
©2004 Digitized by USU digital library
1
menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan rasionalisasi HPH yang bersangkutan menjadi satu BKPHP atau KPHP.
II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan industri dan ekspor. Departemen Kehutanan (1990) menyatakan bahwa hutan produksi dapat berupa hutan primer maupun hutan sekunder. 2.1. Perencanaan Hutan Perencanaan diartikan sebagai suatu proses atau kegiatan apa yang harus dilakukan atau ditempuh di masa depan agar tercapai tujuan dengan kata lain merupakan suatu pernyataan yang terperinci berbagai kegiatan yang akan dilakukan di masa datang (Darusman, 1991) menyatakan bahwa perencanaan dibidang kehutanan diartikan sebagai suatu upaya dalam bentuk rencana, dasar-dasar acuan dan pegangan bagi pelaksanaan berbagai kegiatan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pengusahaan hutan yang bertolak dari kenyataan saat ini dan memperhitungkan pengaruh masalah dan kendala yang memungkinkan terjadi selama proses mencapai tujuan tersebut. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 perencanaan hutan tersiri dari rencana umum, rencana pengukuhan hutan, rencana penatagunaan hutan dan rencana penataan hutan. Pekerjaan penataan hutan terdiri dari penentuan batas hutan yang ditata, pembagian hutan ke dalam petak-petak kerja, perisalahan hutan, pembukaan wilayah hutan, pengumpulan bahan-bahan lain untuk penyusunan rencana kerja serta pengukuran dan perpetaan. 2.2. Fungsi Hutan Kittredge (1948) menyebutkan bahwa hutan mempunyai kemampuan untuk mengatur tata air dan mencegah erosi, sebagai penghasilan bahan mentah berupa kayu dan hasil hutan lainnya seperti rekreasi, pariwisata serta sebagai habitat bagi margasatwa. Berdasarkan fungsinya hutan dibedakan menjadi hutan lindung, hutan Produksi tetap maupun hutan produksi terbatas. A. Hutan Lindung Hutan lindung menurut SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 adalah kawasan hutan yang karena keadaan fisik dan sifat fisiknya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap guna kepentingan hidroologis yaitu mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi serta memulihkan keawetan dan kesuburan tanah baik di dalam kawasan hutan yang bersangkutan maupun di seluruh kawasan hutan yang dipengaruhinya. Areal yang perlu dibina dan dipertahankan sebagai kawasan lindung berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 32 Tahun 1990 adalah areal yang memiliki satu atau beberapa kriteria sebagai berikut : 1. Mempunyai kelerengan 40% atau lebih 2. Kawasan hutan dengan faktor lereng lapangan, jenis tanah dan curah hujan yang melebihi skor 175
©2004 Digitized by USU digital library
2
3. Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan laut Dijelaskan juga bahwa kawasan yang harus tetap dipertahankan sebagai hutan lindung adalah sempadan sungai yaitu kawasan sepanjang tepi kanan dan tepi kiri sungai termasuk sungai buatan atau waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Kriteria sempadan sungai diantaranya adalah sekurang-kurangnya 100 meter kanan dan kiri sungai besar dan 50 meter kanan kiri areal sungai yang berada di luar pemukiman. Dalam Manual Perencanaan KPHP Volume II tahun 1997 dinyatakan juga bahwa sempadan sungai adalah hutan sepanjang sisi kanan dan kiri sungai dengan besar : (1) sungai kecil (lebar < 30 meter), 50 meter dan (2) sungai besar (lebar > 30 meter), 100 meter. Selain itu dalam Undang-Undang Pokok kehutanan No.5 tahun 1967 menyatakan bahwa ada dua tipe hutan lindung yaitu (1) hutan lindung yang mempunyai keadaan alam baik terhadap tanah atau sekelilingnya dan tata air perlu dipertahankan dan dilindungi jadi merupakan hutan lindung mutlak, (2) di antara hutan lindung ada yang karena keadaan alamnya dalam batas-batas tertentu sedikit banyak masih dapat dipungut hasilnya, dengan tidak mengurangi fungsinya sebagai hutan lindung. B. Hutan Produksi Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 683/Kpts/Um/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi disebutkan bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang berfungsi untuk menghasilkan hasil hutan bagi kepentingan konsumsi masyarakat industri dan ekspor. Karena keadaan fisik lahannya hutan produksi dapat dibagi menjadi hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas. Hutan produksi dengan penebangan terbatas adalah hutan produksi yang hanya dapat dieksploitasi dengan menggunakan sistem tebang pilih sedangkan hutan produksi tetap adalah hutan produksi yang dapat dieksploitasi baik dengan cara tebang pilih maupun tebang habis. 2.3. Pembagian Hutan Menurut Chapman (1950) pembagian hutan ke dalam unit-unit pengelolaan yang lebih kecil merupakan langkah awal kegiatan pengusahaan hutan. Tujuan dari pembagian hutan tersebut adalah : - Memberikan kepastian wilayah kerja - Memudahkan inventarisasi sumber daya dan jenis kegiatan - Memudahkan dalam hal perencanaan organisasi dan manajemen hutan Pembagian hutan tersebut merupakan penjabaran dari kegiatan penataan hutan yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang potensi dan keadaan hutan, serta menentukan cara pengaturan pemanfaatan dan pembinaan hutan untuk menegakkan asas kelestarian yang optimal. Melalui pembagian hutan suatu kelompok hutan dapat diatur pemungutan hasilnya dengan tidak melampaui daya produksi hutan sehingga kesinambungan produksi dapat terjamin ( Direktorat Jenderal Kehutanan 1976 ). Direktorat Jenderal Kehutanan ( 1976 ) menerangkan bahwa suatu kesatuan hutan dapat dibagi kedalam satu satuan kerja yang selanjutnya satu satuan kerja tersebut dibagi kedalam blok-blok tata hutan yang merupakan kesatuan-kesatuan yang terdiri dari petak-petak kerja. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan ( 1989 ) menjelaskan bahwa blok kerja tahunan merupakan blok yang dibuat pada areal hutan didalam areal kerja HPH tempat dilaksanakannya kegiatan pengusahaan hutan didalam satu
©2004 Digitized by USU digital library
3
tahun. Penataan areal tersebut bertujuan untuk mengatur perencanaan, pelaksanaan, penataan dan pengawasan kegiatan pengusahaan hutan Dalam pembagian hutan terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah lokasi dan penyebaran hutan, lawas dan cirri dari pekerjaan, kemampuan pengawasan dan tanggung jawab terhadap pekerjaan, wilayah pemasaran, topografi, fasilitas angkutan, karakteristik dan keperluan inventarisasi. Dalam hubungannya dengan pembagian hutan Davis dan Johnson (1987) dalam Suhendang (1997) merinci 3 macam kegiatan yang penting yang berhubungan dengan preskripsi tipe lahan atau hutan yaitu : 1. Klasifikasi lahan yang melukiskan tipe lahan berdasarkan lokasi, ukuran kayu, jenis pohon, tanah, kemiringan dan sifat-sifat lainnya. 2. Penjadwalan aktifitas pengelolaan hutan yang menggambarkan tata waktu dan metode kerja yang diterapkan terhadap tegakan. 3. Proyeksi terhadap pertumbuhan dan hasil. 2.4. Penataan Hutan Penataan hutan adalah pekerjaan membuat unit mamajemen dan unit perlakuan dalam rangka pengelolaan hutan yang meliputi pembalakan dan pembinaan areal tebangan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 1993). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 Pasal 1 Ayat 8 tentang perencanaan hutan bahwa penataan hutan adalah semua kegiatan guna menyusun rencana karya yang berlaku untuk jangka waktu tertentu. A. Kelestarian Hasil Untuk mencapai tujuan agar hutan tetap dalam keadaan lestari menurut Westveld and Pech ( 1958 ) harus ada kegiatan atau tindakan-tindakan kearah sustainable yield management dengan jalan membuat jumlah penebangan ( etat ) seimbang atau sama dengan jumlah pertambahan tumbuh ( riap ) setiap tahun. Menurut Meyer et al. ( 1961 ) kelestarian hasil adalah penyediaan yang teratur dan menerus dari hasil hutan yang diperoleh sesuai dengan kemampuan maksimum dari hasil hutan tersebut. Basyaruddin ( 1976 ) juga menyatakan bahwa untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari kawasan hutan secara lestari harus dilakukan manajemen yang sehat terhadap hutan itu sesuai dengan fungsinya. B. Pengaturan Hasil Dalam manual KPHP II dinyatakan bahwa pengaturan hasil merupakan bagian dari kegiatan manajemen hutan untuk menentukan besarnya hasil maksimal yang dapat diambil dari suatu KPHP agar dapat menjamin kelestarianya. Besarnya hasil yang diperbolehkan dipanen yang dapat menjamin kelestarianya dinamakan jatah tebang tahunan ( JTT ) atau Annual Allowable Cut ( AAC ). Dalam pengaturan hasil dikenal beberapa macam cara yaitu : a. Pengaturan hasil berdasarkan luas hutan b. Pengaturan hasil berdasarkan volume tegakan c. Pengaturan hasil kombinasi antara luas dan volume Metode pengaturan hasil berdasarkan volume dibedakan menjadi : a. Metode pengaturan hasil berdasarkan volume tegakan persediaan b. Metode pengaturan hasil berdasarkan riap volume tegakan c. Metode pengaturan hasil berdasarkan kombinasi keduanya C. Prosedur Dalam Penataan Hutan Penataan hutan pada dasarnya menuju pada pengaturan penebangan dalam hal penetuan lokasi, waktu dan jatah tebangan. Hal yang perlu
©2004 Digitized by USU digital library
4
diperhatikan dalam penataan hutan adalah bahwa areal hutan tersebut betulbetul efektif luasnya. Soeranggadjiwa (1991) menyatakan bahwa perencanaan tata tempat yang pada umumnya dikenal sebagai penataan hutan, yang hasilnya akan merupakan kerangka dasar bagi pengaturan tata tempat tiap kegiatan yang dilaksakan dalam pengusahaan hutan, meliputi pekerjaan-pekerjaan sebagai berikut : 1. Memurnikan areal kerja HPH dari bagian-bagian yang tidak produktif atau tidak diperuntukan untuk produksi ( hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata ) atau karena satu dan lain sebab perlu dikeluarkan dari areal kerja HPH ( areal pemukiman, perkebunan, transmigrasi, HTI dan penggunaan lain ). Mengenai hutan koversi perlu tetap dimasukan ke areal walaupun perlu diperlakukan secara khusus untuk sewaktu-waktu tanpa banyak kesulitan dapat dikeluarkan dari HPH. 2. Sisa areal HPH melalui satu atau lain cara distratifikasi menurut tipe hutannya dan tingkat kerapatan tegakanya (potensi produksi kayu) dan setiap areal HPH atau gabungan dari areal HPH yang sama tipe hutan dan kerapatan tegakanya dijadikan satu atau beberapa kesatuan kelestarian dengan catatan bahwa hutan produksi yang dapat dikonversi dijadikan satu atau beberapa kesatuan kelesraianya. 3. Areal hutan dalam setiap kesatuan kelestarian dibagi dalam petak-petak yang luasnya masing-masing kurang lebih sama dan jumlahnya sama dengan daur (misalnya 36 tahun) atau kelipatan dari daur (70, 105 dan lain-lain). Petak dibuat sedemikian rupa sehingga jaringan batas petak sewaktu-waktu diperlukan dapat dikembangkan sebagai jaringan jalan. 4. Untuk membuat seluruh areal terjangkau dibuat jaringan jalan dari bernagai tingkat yang dipaduserasikan dengan jaringan petak dan atau anak petak. 5. Hasil-hasil dari upaya tersebut diatas tidak saja secara administrative tertera di atas peta melainkan juga secara fisik di lapangan. 2.5. Efektifitas Kegiatan Pengelolaan Hutan Berdasarkan hasil penelitian Suhendang (1990) luas kawasan hutanyang dikelola oleh suatu kesatuan pengelolaan hutan sebagai suatu kesatuan pengurusan kehutanan ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1. Kemampuan petugas lapangan (mandor) 2. Karakteristik pengusahaan hutan 3. Potensi sumber daya hutan 4. Aksesibilitas 5. Intensitas pengelolaan 2.6. Kesatuan Pengusahaan Hutan produksi Keputusan Menteri Kehutanan No. 200/Kpts-II/1991 tentang Pedoman Pembentukan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi yang disingkat KPHP menyatakan bahwa KPHP merupakan suatu kesatuan terkecil dari kawasan hutan yang dikelola berdasarkan asas kelestarian dan asas perusahaan agar kegiatan pengusahaan hutan dapat diselenggarakan secara berkelanjutan. Batas areal KPHP sedapat mungkin menggunakan batas-batas alam yang disepakati oleh areal KPHP tetangga, batas HPH dan HPT serta HL. Dalan lampiran Keputusan Direktur Jendral Pengusahaan Hutan No. 383/Kpts/RPH-IV/1992 tentang pembentukan KPHP dinyatakan bahwa delinasi areal HPH yang akan dibentuk menjadi satu atau beberapa bagian dari kesatuan pengusahaan hutan produksi (KPHP) bahan yang digunakan antara lain : peta rupa bumi, JOG, TOP, RePProT, TGHK, peta situasi penyebaran HPH,
©2004 Digitized by USU digital library
5
peta vegetasi dari potret udara, peta garis bentuk dari potret udara dan peta photo mosaik potret udara. 2.7. Pertumbuhan dan Hasil Dipandang dari sifat-sifat fisik hutan alam produksi di luar pulau Jawa, berupa hutan haterogen tidak seumur dan tujuan hasil yang ingin dicapai yaitu untuk menghasilkan kayu pertukangan dan bahan baku kayu lapis dan dengan kendala pemeliharaan keanekaragaman hayati pada hutan produksi pada tingkat yang dikehendaki sistem silvikultur tebang pilih merupakan pilihan yang sudah tepat dan paling sesuai disbanding dengan sistem tebang jalur. Agar sistem silvikulrur TPTI dapat lebih menjamin tujuan pengelolaan hutan diperlukan penyempurnaan antara lain metode pengaturan hasil disesuaikan dengan keadaan hutan, penyesuaian batas dan penyebaran diameter yang boleh ditebang, proporsi jumlah pohon terhadap jumlah total dalam tegakan (intensitas penebangan) ukuran dan banyaknya pohon inti yang perlu tersedia, rotasi (siklus) tebang, bentuk perlakuan yang lebih spesifik sesuai tipe hutan dan keadaan spesifik tegakan (Suhendang, 1997). 2.8. Geomatika Kehutanan A. Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Sejak tahun 1960 para pakar ilmu kebumian di negara-negara maju telah berusaha mengembangkan sistem pengelolaan data spasial berkomputer. Pemikiran pengembangan geomatika atau dikenal juga sebagai Sistem Informasi Geografis ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu : usaha peningkatan teknologi kartografi, adanya perkembangan pusat sistem komputer digital dan meningkatnya kebutuhan analisis spasial. Teknologi SIG dapat digunakan untuk pengelolaan sumber daaya yang berwawasan lingkungan. Rahardjo dan Baharudin (1998) menyatakan bahwa SIG dapat dilaksanakan dengan cara manual dan berbasis komputer. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, SIG sampai saat ini mengandalkan teknologi yang dapat menyajikan informasi keruangan secara cepat, efisien dan akurat. Kelebihan SIG dibanding dengan sistem pengelolaan data lain adalah kemampuan untuk menyajikan informasi spasial dan non spasial secara bersama-sama. B. Penerapan SIG SIG ini antara lain diterapkan dalam kegiatan perencanaan penggunaan tanah, kehutanan, pengelolan hidupan liar, geologi dan perencanaan kota (Aronnot, 1990). Pengawasan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan hutan memerlukan suatu sistem yang dapat diterapkan untuk mengumpulkan datadata kondisi hutan dan perubahannya. SIG merupakan sistem yang tepat untuk tujuan tersebut (Mastra dan Sutopo, 1992). Machfud (1996) menyatakan bahwa banyak kegiatan kehutanan yang dapat dibantu pemecahannya dengan teknologi SIG khususnya kegiatan yang berkaitan dengan masalah pemanfaatan lahan seperti pengelompokan lahan hutan baik dari segi pengkelasan secara ekologi, pengkelasan berdasarkan fungsi hutan, pembagian hutan berdasarkan fungsi hutan, penentuan lokasi sarana dan prasarana pengusahaan hutan, perhitungan ekonomi pembuatan jalan dari segi cut and fill dan lain-lain.
©2004 Digitized by USU digital library
6
III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Praktek Khusus Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data skunder dalam bentuk peta. Pengumpulan data dilakukan di PT. Mapindo Parama Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan November 1997 sampai dengan April 1998. 3.2. Bahan dan Alat Data dasar yang diperlukan dalam praktek khusus adalah peta tata guna lahan, peta vegetasi, peta kontur, peta iklim dan peta tanah. Sedangkan alat yang digunakan adalah PC beserta kelengkapannya dengan perangkat lunak (software) Arc/Info versi 3.4 D plus, AutoCad release 12 dengan digitiser Calcomp 9500 untuk digitasi peta, Arc View versi 21 untuk menampilakan hasil dan printer Epson Stylus untuk mencetak peta. 3.3. Prosedur Pengumpulan dan pengelolan Data Data sekunder diperoleh dari laporan pemotretan udara, pemetaan garis bentuk dan vegetasi oleh PT. Mapindo Parama Jakarta. Data sekunder lain yang dikumpulkan meliputi data fisik wilayah yang mencakup : (1). Luas dan letak HPH, (2). Iklim, topografi, geologi dan tanah, (3). Keadaan hutan, (4). Social ekonomi masyarakat sekitar hutan. 3.4. Metode Analisis 3.4.1. Pembuatan Kelas Lereng Dari peta garis bentuk areal HPH dikelompokkan ke dalam kelas-kelas lereng sesuai dengan pengelompokkan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 683/Kpts/Um/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi. Kelerengan dibuat dengan menggunakan program pc-tin 2.2.D dari peta garis bentuk skala 1 : 25 000. 3.4.2. Intensitas Curah Hujan Berdasarkan data curah hujan yang diperoleh dari stasiun pengamatan curah hujan yang terdekat dengan areal kerja HPH selama 10 tahun terakhir mulai 1981 – 1990 dihitung rata-rata intensitas curah hujan dengan rumus : ICH =
Jumlah curah hujan rata-rata per bulan dalam 10 tahun Jumlah hari hujan rata-rata per bulan dalam 10 tahun
3.4.3. Skoring Areal Hutan Sesuai dengan SK Menteri Pertanian No. 683/Kpts?Um/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi maka dilakukan scoring areal hutan dengan menumpangtindihkan peta kelas lereng serta data tabularnya, peta jenis tanah serta tabularnya dan peta kelas curah hujan serta data tabularnya. Peta tanah yang digunakan adalah skala 1 : 500 000 dan peta kelas lereng dari peta kontur skala 1 : 25 000. Skoring dihitung menggunakan rumus Skor = (20 x KL) + (15 x KT) + (10 x KCH), dimana KL, KT,dan KCH adalah kelas lereng, kelas tanah dan kelas curah hujan. Secara lengkap tahap-tahap dalam menentukan fungsi hutan seperti tercantum pada gambar 1.
©2004 Digitized by USU digital library
7
Tabel 1. Nilai scoring untuk menentukan fungsi hutan Nilai skor Fungsi hutan < 124 Hutan produksi tetap (HP) 125 – 174 Hutan produksi terbatas (HPT) > 175 Hutan Lindung (HL) 3.4.4. Potensi Tegakan Data potensi tegakan diperoleh dari Laporan Pemotretan Udara Pemetaan Garis Bentuk dan Pemetaan Vegetasi, berupa data potensi tegakan semua jenis menurut kelas diameter di hutan primer dan bekas tebangan. Data potensi yang digunakan adalah potensi tegakan semua jenis kelas diameter > 30 cm dan diameter > 50 cm pada setiap strata di hutan primer dan bekas tebangan. Untuk mengetahui penyebaran potensi maka disusun dan dibuat peta potensi tegakan, dengan klasifikasi sebagai berikut : Tabel 2. Klasifikasi potensi tegakan Potensi Diameter > 30 cm Rawang < 20 m3/ha Rendah 20 m3/ha – 39 m3/ha Sedang 40 m3/ha – 79 m3/ha Tinggi > 80 m3/ha
Diameter > 50 cm < 40 m3/ha 40 m3/ha – 79 m3/ha > 80 m3/ha
Dengan menjumlahkan potensi per strata yang dikalikan dengan luas masingmasing strata diperoleh volume total tegakan : n V = ∑ Vsi x Lsi i=1 keterangan : V = volume total (m3) Vsi = volume tegakan pada strata ke-I (m3/ha) Lsi = luas strata ke-i 3.4.5. Paduserasi Untuk mendapatkan areal hutan yang bekas konflik dilakukan simpose antar peta TGHK dan peta RTRWP. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kawasan yang tetap lokasi dan luasnya, untuk selanjutnya siap dilakukan penataan areal didalamnya. Secara lengkap skema pemaduserasian antara peta TGHK dan peta RTRWP seperti tercantum dalam gambar 2. 3.4.6. Pemurnian Areal Untuk mendapatkan areal hutan yang siap dilakukan penataan terhadapnya, maka harus dimurnikan peruntukannya dari kawasan lindung dan kawasan bukan untuk produksi. Merujuk pada Pedoman Teknis Pembentukan KPHP yaitu Surat Keputusan Direktur Jendral Pengusahaan Hutan No.383/Kpts/IV-RPH/1992 pemurnian areal hutan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : - peta TGHK ditumpangtindihkan dengan peta RTRWP untuk menghasilkan peta paduserasi yang memuat areal hutan yang benar-benar konflik - areal tersebut didelineasi menjadi areal hutan primer produktif, tak produktif, bekas tebangan, belukar, ladang serta pemukiman (hasil penafsiran potret udara setelah 2 tahun)
©2004 Digitized by USU digital library
8
- areal dimurnikan peruntukannya dari areal lindung (tepi sungai, zona penyangga, kantong konservasi) - areal efektif dianalisis peruntukannya yaitu hutan primer untuk rotasi I, hutan primer tak produktif dan bekas tebangan untuk rotasi II serta belukar dan lading untuk pemukiman dan bina desa - dari hasil tersebut dipilih alternatif peruntukannya yaitu alternatif I dan II dalam HPT, HP serta HPK dan alternatif 2 TPTI rotasi I dan II dalam HPT dan HP 3.4.7. Luas Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP) Ada 3 aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan luas minimum KPHP yang diantaranya adalah aspek ekonomi. Dalam Pedoman Teknis Pembentukan KPHP yaitu SK Direktur Jendral Pengusahaan Hutan No. 383/Kpts/IV-RPH/1992 disebabkan bahwa produksi ekonomis dalam pengusahaan hutan akan dicapai pada pemungutan kayu sebesar 40.000 – 50.000 m3/tahun sehingga : Luas blok kerja tahunan (petak) = produksi tahunan/potensi hutan Luas sub-KPHP = petak x 35 Luas KPHP = luas sub-KPHP x rentang pengawasan Asumsi yang digunakan adalah bahwa hari kerja adalah 200 hari dan rotasi 35 tahun pada tegakan hutan alam. Potensi rata-rata tegakan adalah potensi pada kondisi belum mengalami penebangan atau hutan primer sehingga : Vp = ( Vhpt x Lhpt ) + ( Vhp + Lhp )
Lh Keterangan : Vp Vhpt Vhp Lhpt Lhp Lh
= = = = = =
potensi rata-rata tegakan (m3/ha) volume kayu di HPT (m3) volume kayu di HP (m3) luas HPT (ha) luas HP (ha) luas areal hutan (ha)
Luas minimum KPHP berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Pengusahaan Hutan tersebut adalah seperti dalam table di bawah :
©2004 Digitized by USU digital library
9
Tabel 3. Luas minimum Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi di hutan alam tanah kering Rata-rata potensi Luas Rotasi Luas minimum Luas Hutan tebang (tahunan) Bagian hutan minimum (m3/tahun) Tahunan (ha) KPHP (ha) (ha) 20 2000 35 70.000 140.000 45 90.000 180.000 55 110.000 220.000 30 1333 35 46.655 93.310 45 59.985 119.970 55 73.315 146.630 40 1000 35 35.000 60.000 45 45.000 90.000 55 55.000 110.000 50 800 35 28.000 56.000 45 36.000 72.000 55 44.000 88.000 60 667 35 23.345 46.960 45 30.015 60.030 55 36.685 73.370 70 571 35 19.985 39.970 45 25.695 51.390 55 31.405 62.810 Sumber : Lampiran SK Direktur Jendral Pengusahaan Hutan No.383/Kpts/IVRPH/1992 3.4.8. Etat Luas dan Etat Volume Untuk menjamin kelestarian hasil maka dientukan besarnya jatah tebang tahunan (AAC). AAC ditentukan berdasarkan metode pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume yaitu : a. Etat Luas = Luas Hutan (ha)/rotasi (tahun) b. Etat volume = Potensi hutan (m3)/rotasi (tahun) 3.4.9. Membuat Peta Untuk menyajikan semua hasil pengolahan data dan manipulasi data, maka dibuat peta yang menyajikan informasi tentang fungsi hutan, kondisi penutupan lahan, kondisi tegakan dan kondisi fisik hutan.
IV. KEADAAN UMUM AREAL STUDI 4.1. Letak dan Posisi Geografis Areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Yohanes Arnold Pisy (YAP) secara geografis terletak di antara 113039’ – 114001’ Bujur Timur dan 0049’ – 1004’ Lintang Selatan. Dan secara administrasi pemerintahan, areal kerja HPH PT. Yohanes Arnold Pisy termasuk ke dalam 3 wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Tewah, Kecamatan Kurun dan Kecamatan Kapuas Hulu, Kabupaten Dati II Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan pembagian wilayah pemangkuan hutan areal HPH ini termasuk ke Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Kahayan Hulu Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Kahayan Dinas Kehutanan Propinsi Daerah
©2004 Digitized by USU digital library
10
Tingkat I Kalimantan Tengah. Areal kerja PT. Yohanes Arnold Pisy terletak pada dua Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu Sub Daerah Aliran Sungai Sirat yang termasuk ke dalam Daerah Aliran Sungai Kapuas dan Daerah Aliran Sungai Kahayan. 4.2. Keadaan Vegetasi Areal HPH PT. Yohanes Arnold Pisy termasuk hutan hujan tropika basah dan keseluruhan areal adalah hutan tanah kering. Kelompok hutan ini didominasi oleh jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae yaitu meranti kuning (Shorea ovalis), keruing (Dipterocarpus retusus), meranti putih (Shorea gibbosa), bangkirai (Shorea multiflora) dan pelepek (Shorea sp). 4.3. Tanah dan Geologi Jenis tanah yang terdapat di areal HPH PT. Yohanes Arnold Pisy antara lain adalah alluvial, organosol dan asosiasi podsolik merah kuning. Sebagian besar merupakan tanah asosiasi podsolik merah kuning yang peka terhadap erosi. Adapun formasi geologi areal HPH PT. YAP ini terdiri dari formasi geologi Warukin, Sirat, Sekis Hablur dan Granitit Pluton. Dari keempat formasi tersebut prosentase luas masing-masing adalah Warukin 33,3%, Sirat 62%, Sekis Hablur 4% dan Granitit Pluton 0.67%. 4.4. Iklim Berdasrkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson areal HPH PT. Yohanes Arnold Pisy mempunyai klasifikasi iklim type A nilai Q=3.5% dengan curah hujan rata-rata bulanan 247.087 mm dengan rata-rata hari hujan bulanan 11.92 hari. Tipe iklim tersebut ditetapkan atas dasar nilai Quotien (Q) yang merupakan perbandingan jumlah bulan kering dan bulan basah. Bulan kering adalah bulan dengan curah hujan < 60 mm, sedangkan bulan basah adalah bulan dengan curah hujan > 100 mm. Berdasarkan ada curah hujan dari stasiun terdekat HPH yaitu Puruk Cahu tahun 1981 – 1990 jumlah bulan basah adalah 12 bulan atau tidak ada bulan kering. Rata-rata curah hujan sebesar 299,42 mm, terbesar terjadi pada bulan November sebesar 412 mm dan terendah terjadi bulan Agustus sebesar 199 mm. 4.5. Sosial Ekonomi daan Budaya Masyarakat Jumlah penduduk di Kecamatan Tewah dan Kecamatan Kuala Kurun pada tahun 1991 adalah 16.170 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 28 jiwa/km2. Sebagian besar mata pencaharian penduduk disekitar areal HPH adalah sebagai petani, selebihnya bekerja di sector pemerintahan (pegawai negeri), pedagang atau bekerja di HPH. Sebagai mata pencaharian sampingan adalah berternak, mencari rotan dan berburu. Penduduk sekitar HPH masih secara ektensif daalam menggarap lahan berupa kebum/tegalan dan lading. Tanaman pangan utama adalah padi sedangkan tanaman perkebunan paling banyak adalah karet, diselingi dengan tanaman tumpang sari berupa ubi kayu, jagung, pisang dan talas. Bidang pendidikan didukung dengan adanya sekolah di sekitar HPH yaitu tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Anak-anak sekolah yang telah tamat biasanya meninggalkan desa bila ingin melanjutkan pendidikannya. Rata-rata tingkat pendidikan daerah ini adalah tamat SD (65%), tamat SLTP (11%), tamat SLTA (3%) dan tidak tamat SD/tidak sekolah (21%).
©2004 Digitized by USU digital library
11
4.6. Sejarah Pengelolaan PT. Yohanes Arnold Pisy memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) setelah melalui penandatanganan perjanjian kehutanan atau Forestry Agreement No. FA/N/068/1973 tanggal 10 Juli 1973 selanjutnya diterbitkan Surat Keputusan HPH oleh Departemen Pertanian No. 411/Kpts/Um/1974 bulan Juli 1974 kepada PT. Yohanes Arnold Pisy diberikan Hak Pengusahaan Hutan di Kelompok Hutan Sungai Kahayan-Sungai Kurun dengan luas areal 45 000 hektar. Tahun 1974 sampai dengan 1982 dikelola oleh PT. Bumi Raya Group, tahun 1982 sampai dengan 1988 dipegang oleh PT> Antang Group, sedangkan PT. Tanjung Raya Group memegang Hak Pengusahaan Hutan mulai 1988 sampai dengan sekarang (1998). 4.7. Aksesibilitas Areal PT. Yohanes Arnold Pisy dapat dicapai melalui tiga jalur transportasi. Melalui transportasi air atau sungai areal HPH dapat dicapai dari Banjarmasin ke Palangkaraya-Kuala Kurun menyusuri Sungai Kahayan menggunakan kapal motor. Dapat juga ditempuh melalui Palangkaraya menggunakan speed boat. Transportasi udara dapat melintasi Palangkaraya – Kuala Kurun dengan menggunakan pesawat terbang. Sedangkan jalur darat yang dapat dilalui selain jalan-jalan di sekitar HPH PT Yohanes Arnold Pisy adalah jalan tanah yang menghubungkan Tewah – Sirat dan Kuala Kurun – Sungai Hanyo.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penutupan Lahan 5.1.1. Kondisi Hutan Berdasarkan peta vegetasi skala 1 : 5000 hasil penafsiran potret udara tahun 1993 dapat diketahui bahwa areal kerja HPH PT Yohanes Arnold Pisy terdiri dari hutan primer seluas 19.064,45 ha (34%), hutan bekas tebangan seluas 19.479,78 ha (35,17%) dan areal tak berhutan seluas 17.971,86 ha (32,27%). Areal tak berhutan tersebut meliputi semak, belukar, pemukiman dan lading yang secara terinci dapat dilihat dalam table 4. Tabel 4. Hasil pengukuran luas penutupan lahan di areal kerja PT Yohanes Arnold Pisy Penutupan lahan Luas (ha) Presentase (%) Hutan Primer 19.064,45 34,45 Bekas tebangan 19.479,78 35,29 Tak berhutan - Semak 3.269,62 5,91 - Belukar muda 6.795’91 12,28 - Belukar tua 4.446,72 8,03 - Ladang 1.296,01 2,34 Pemukiman 80,25 0,15 Sungai 150,04 1,27 Tertutup awan 762,57 1,38 Jumlah 55.342,61 100,00 Sumber : Peta vegetasi skala 1 : 25 000 tahun 1993
©2004 Digitized by USU digital library
12
Hutan primer mengelompok di bagian utara areal HPH sedangkan di bagian tengah selatan sebagian besar berupa hutan bekas tebangan. Berdasarkan persebarannya seperti terlihat pada peta kondisi hutan (lihat lampiran 4), areal berhutan sebagian besar terilhat di bagian utara tengah dan selatan HPH. Sedangkan areal tak berhutan membujur sepanjang tepi sungai besar dan anak sungai dari utara ke selatan. Di sekitar sungai banyak terdapat areal bekas tebangan dan peruntukan lain, hal ini menunjukkan tidak dilakukannya pembuatan sempadan sungai di sepanjang sungai besar dan kecil berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Dalam areal yang semestinya menjadi sempadan sungai terdapat areal bekas tebangan seluas 111,96 ha. Areal perladangan di dalam areal hutan seluas 1299,62 ha adalah pembukaan lahan hutan bukan untuk kepentingan pengusahaan hutan. Terdapat juga penggunaan lahan untuk pemukiman di dalam hutan seluas 80,29 ha. 5.1.2. Kondisi Tegakan Hutan Kondisi tegakan dinyatakan dalam tiga parameter yaitu kerapatan tegakan, diameter tajuk dan tinggi tegakan. Kombinasi dari tiga parameter tegakan di atas memberikan gambaran kondisi tegakan tentang potensi volume tegakan, kemampuan konservasi dan tingkat kesuburan tanah (Manual Kehutanan, 1992). Peta strata tegakan menunjukkan bahwa tegakan di areal HPH terbagi ke dalam tujuh stratum baik di dalam hutan primer maupun hutan sekunder. Tujuh stratum tegakan tersebut adalah C1H1D1, C1H2D1, C1H2D2, C2H1D1, C2H2D1, C2H2D2 dan C3H1D1, yang secara lengkap dapat dilihat dalam table berikut. Tabel 5. Hasil pengukuran luas strata tegakan pada setiap kondisi hutan di areal kerja HPH PT. Yohanes Arnold Pisy Stratum Primer (ha) Bekas tebangan Jumlah Persentase (ha) (%) C1H1D1 2.716,01 3.697,50 6.415,51 16,64 C1H2D1 3.942,50 2.332,54 6.275,23 16,28 C1H2D2 3.542,44 3.921,79 7.464,23 19,37 C2H1D1 4.560,35 4.138,54 8.698,89 22,57 C2H2D1 1.690,99 972,95 2.663,94 6,91 C2H2D2 2.476,06 4.397,83 6.873,89 17,91 C3H1D1 136,10 16,53 152,63 0,40 Jumlah 19.064,45 19.479,78 38.544,23 100,00 Sumber : Peta vegetasi 1 : 25 000 tahun 1993 Keterangan : C1 = diameter tajuk < 10 m, C2 = diameter tajuk 10-20 m, C3 = diameter tajuk > 20 m, H1 = tinggi tegakan 10-20 m, H2 = tinggi tegakan 20-30 m, H3 = tinggi tegakan > 38 m, D1 = kerapatan tegakan 10% - 40%, D2 = kerapatan tegakan 40% 70%, D3 = kerapatan tegakan > 70% Tegakan Hutan didominasi oleh strata C2H1D1 sedang yang paling kecil adalah strata C3H1D1. ini menunjukkan bahwa tegakan hutan didominasi oleh tegakan dengan kerapatan tajuk 10% - 40%, tinggi tegakan 10 – 20 m dan diameter tajuk lebih dari 10 m. jadi tegakan hutan baik hutan primer dan
©2004 Digitized by USU digital library
13
sekundernya sebagian besar berupa kelompok tegakan dengan kerapatan rendah, diameter tajuk sedang dan tinggi tegakan rendah. 5.2. Fungsi Kawasan Hutan 5.2.1. Fungsi Hutan Menurut TGHK dan RTRWP berdasarkan perhitungan luas terhadap peta RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) Kalimantan Tengah Skala 1 : 500000 diketahui bahwa areal HPH PT Yohanes Arnold Pisy terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 8.209,89 ha (14,4%), Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 32.302.77 ha (58,28%), Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 6.594,51 ha (51,35%), Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) seluas 2.964,94 ha (9,83%) serta Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain (KPPL) seluas 5.450,50. Sedangkan berdasarkan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Propinsi Kalimantan Tengah areal HPH terdiri dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) dengan luas 33.013,61 ha (59,61%) dan Hutan Produksi Konversi Seluas 22.349,00 ha (40,39%). Fungsi hutan sesuai dengan RTRWP dapat digolongkan ke dalam Kawasan Untuk Budidaya Kehutanan yaitu HPT, HP dan HTI sebesar 46.990,24 ha (84,84%) dan Kawasan Untuk Budidaya Non Kehutanan yaitu KPP dan KPPL seluas 8.407,77 ha atau 15,16%. Untuk menjamin kepastian areal kerja pengusahaan hutan hanya kawasan dengan peruntukan sebagai Kawasan Budidaya Kehutanan dalam RTRWP yang tetap akan dipertahankan sebagai hutan produksi. Tabel 6. Hasil pengukuran fungsi kawasan hutan di areal kerja PT Yohanes Arnold Pisy Fungsi kawasan TGHK RTRWP Luas (ha) Persentase (%) Luas (ha) Persentase (%) KBK - HPT 22.349,0 40,09 8.029,89 14,53 - HPK 0 59,61 - HP 33.013,6 32.302,81 58,36 - HTI 1 6.594,51 11,93 KNBK Penggunaan lain - KPP 2.964,90 5,36 - KPPL 5.540,50 9,85 Jumlah 55.342,61 100,00 55.342,61 100,00 Sumber : Peta RTRWP dan Peta TGHK Propinsi Kalimantan Tengah Skala 1 : 500 000 keterangan : KBK = kawasan budidaya kehutanan, KNBK = kawasan non budidaya kehutanan, HP = hutan produksi, HPT = hutan produksi terbatas, HPK = hutan produksi koversi, HTI = hutan tanaman industri, KPP = kawasan pengembangan produksi, KPPL = kawasan pengembangan dan penggunaan lain 5.2.2 Fungsi Hutan Menurut Skoring Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/19800 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung serta Surat Keputusan Menteri Pertanian No 683/Kpts/Um/8/1981 ©2004 Digitized by USU digital library
14
tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi, maka dilakukan skoring areal HPH. Skoring dilakukan dengan menumpangtindihkan peta kepekaan erosi (jenis tanah), kelas kelerengan dan peta curah hujan masingmasing berskala 1 : 500.000. Jenis tanah yang terdapat di areal HPH antara lain podsolik merah kuning seluas 29.596,73 ha, jenis allvial luasnya 15.824,18 ha dan organosol seluas 9.921,70 ha (lihat table 7). Areal HPH didominasi tanah jenis podsolik yang peka terhadap erosi dengan nilai skor 60. Tabel 7. Hasil pengukuran luas jenis tanah di areal kerja PT Yohanes Arnold Pisy Jenis tanah Luas (ha) Kelas tanah (KT) Skor Persentase (%) Podsolik 29.596,73 4 60 53,47 Alluvial 15.824,18 1 15 28,59 Organosol 9.921,70 5 75 17,94 Luas total 55.342,61 100,00 Sumber : Peta tanah propinsi Kalimantan Tengah skala : 1 : 500 000 tahun 1993 Peta kelas lereng yang dibuat dari peta kontur skala 1 : 25.000 membagi areal hutan menjadi 5 kelas lereng dari datar smpai sangat curam (A,B,C,D,dan E) seperti terlihat dalam table 8. Areal HPH didominasi oleh kelas lereng A yaitu lereng yang landai seluas 28.446,61 ha. Dengan demikian dari segi fisik tidak terlalu berbahaya melakukan eksploitasi hutan di HPH tersebut. Tabel 8. Hasil pengukuran luas kelas lereng di areal kerja PT Yohanes Arnold Pisy Leren Lereng (%) Luas (ha) Kelas lereng (KL) skor Persentase (%) g A 0-8 28.446,61 1 20 51,41 B 8-15 995,74 2 40 1,79 C 15-25 7.445,99 3 60 13,45 D 25-45 11.913,66 4 80 21,53 E >45 6.540,61 5 100 11,82 Total luas 55.342,61 100,00 Sumber : Hasil analisa peta kontur Berdasarkan data curah hujan seperti dalam lampiran 1 yang diperoleh dari stasiun pengukuran terdekat dengan areal HPH (Puruk Cahu) diketahui bahwa besar intensitas curah hujan adalah 24,89 mm/hari. Nilai ini termasuk intensitas curah hujan sedang sehingga nilai ini termasuk intensitas curah hujan sedang sehingga nilai skornya adalah 30 (terendah adalah kurang dari 133,6 mm/hari dengan skor 10 dan tertinggi adalah lebih besar dari 34,18 mm/hari dengan skor 50). Dari peta iklim diketahui juga bahwa areal HPH termasuk tipe iklim A Schmidt dan Fergusson dengan suhu rata-rata tahunan 26,2 oC dan kelembaban rata-rata 85, 16%. Menumpangtindihkan peta kelas kepekan erosi, kelas kelerengan dan kelas curah hujan menghasilkan pembagian hutan berdasarkan kondisi fisik. Penentuan fungsi kawasan hutan berdasarkan nilas skor membagi areal hutan ke dalam HP,HPT dan HL. Seperti tertera dalam tabel 9 areal hutan sebagian besar dapat dijadikan hutan produksi tetap yakni seluas 49,958,61 ha mencapai 53,47% dan 4.400,18 ha (28,59%) merupakan hutan produksi terbatas dari seluruh areal hutan.
©2004 Digitized by USU digital library
15
Tabel 9. Hasil pengukuran luas fungsi hutan hasil scoring di areal kerja PT Yohanes Arnold Pisy. Fungsi kawasan hutan Luas (ha) Persentase (%) HPT 4.400,18 28,59 HP 49.958,61 53,47 HL 983,82 17,94 Total luas 55.342,61 100,00 Keterangan : HPT = hutan produksi terbatas, HP = hutan produksi tetap, HL = hutan lindung Hutan lindung terletak sekeliling tepi sungai sirat dan sebagian besar masih berupa hutan primer. 5.3. Paduserasi Peta TGHK dan Peta RTRWP Adanya kepentingan pembangunan kehutanan serta pengembangan wilayah memerlukan dilakukannya perpaduan dan penyerasian pembagian penggunaan kawasan hutan. Dalam proses pembangunan KPHP perlu dilakukan paduserasi antara peta TGHK dan peta RTRWP, dengan maksud memperoleh areal yang bebas konflik antara kepentingan pengelolaan hutan dan kepentingan pembangunan daerah. Hal ini disebabkan oleh tuntutan kepastian letak wilayah lahan bagi KPHP yang pada pengelolaannya nanti tidak dapat diganggu karena pengelolaan hutan dalam KPHP sifatnya permanen dan berkelanjutan. Paduserasi peta ini untuk memperoleh kawasan hutan produksi yang bebas dari rencana penggunaan lahan non hutan (produksi) (Atmosoemarto, et al., 1994). Hal ini sebagai wujud integrasi pengelolaan KPHP yang ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu wilayah yang pada dasarnya merupakan wilayah kegiatan pembangunan regional secara berkelanjutan (Suhendang, 1997). Pertimbangan yang digunakan dalam hal ini adalah areal budidaya non kehutanan dalam RTRWP diusahakan berupa areal tak berhutan yakni alangalang, semak belukar, lading dan atau hutan yang tidak produktif. Sedangkan HPT dan HP (menurut TGHK) diprioritaskan sebagai kawasan budidaya kehutanan menurut RTRWP. Dengan menumpangtindihkan peta TGHK dan RTRWP serta dianalisis dengan pertimbangan di atas, maka hasil paduserasi dapat dilihat dalam peta kondisi hutan di PT. Yohanes Arnold Pisy lampiran 5 yang menghasilkan beberapa perubahan fungsi areal. Perubahan tersebut berupa perubahan dari Kawasan Untuk Budidaya Kehutanan ke dalam Kawasan Untuk Budidaya Non Kehutanan atau sebaliknya. HPK dalam TGHK dan Kawasan Untuk Budidaya Kehutanan dalam RTRWP dapat dialihfungsikan menjadi Kawasan Untuk Budidaya Non Kehutanan, sehingga HTI seluas 6.587,51 yang berada dalam areal HPH dapat dikeluarkan dari fungsi HPK menjadi HTI. Pertimbangannya adalah di areal tersebut banyak terdapat semak belukar dan hutan dengan dominasi potensi rendah sampai sedang (hasil overlay antara peta RTRWP dengan peta kondisi hutan dan peta potensi). KPPL yang tumpang tindih dengan HPT menurut TGHK dan berbatasan langsung dengan HTI dikeluarkan dari HPT menjadi KPPL karena di dekat KPPL tersebut telah ada pemukiman yang luasnya 63,41 ha. Sementara itu KPP yang tupang tindih dengan HPT dan HPK menurut TGHK dialihfungsikan menjadi HPT dan digantikan dengan areal yang lebih kompak dan berbatasan dengan kawasan yang tidak termasuk dalam HPH. KPP sebelah selatan areal HPH
©2004 Digitized by USU digital library
16
difungsikan menjadi HP; karena selain terpencil dalam HP, potensi tinggi dan masih berupa hutan primer. Dalam peta kondisi hutan ditunjukkan bahwa areal HPH terbagi berdasarkan fungsinya ke dalam Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Tanaman Industri (HTI), Kawasan Pengembangan selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Hasil pengukuran luas fungsi hutan hasil paduserasi peta TGHK dan RTRWP areal kerja PT Yohanes Arnold Pisy Fungsi kawasan hutan Luas (ha) Persentase (%) KBK - HPT 32.302,77 58,38 - HP 2.885,04 5,26 - HTI 6.679,63 12,06 KNBK - KPP 5.891,87 10,81 - KPPL 7.523,30 13,59 Jumlah 55.342,61 100,00 Sumber : Peta paduserasi hasil analisis 5.4. Potensi Tegakan Distribusi Potensi tegakan diareal kerja HPH PT. Yohanes Arnold Pisy terlihat dalam peta lampiran 7. Berdasarkan klasifikasi potensi tegakan semua jenis diameter di atas 50 cm, terbagi ke dalam potensi rendah, sedang dan tinggi seperti dalam tabel berikut. Tabel 11. Hasil pengukuran luas kelas potensi tegakan semua jenis diameter 50 cm ke atas dalam hutan primer dan bekas tebangan Potensi Primer (ha) Bekas tebangan (ha) Jumlah Persentase (%) Rendah 2.715,99 3.702,69 6.418,68 16,63 Sedang 4.525,61 11.368,36 15.893,58 41,24 Tinggi 11.822,85 4.408,73 16.231,58 42,13 Total 19.064,45 19.479,78 38.544,23 100,00 Dari tabel tersebut diketahui bahwa hutan primer berpotensi tinggi untuk semua jenis diameter di atas 50 cm luasnya 11.822,85 ha dan dalam hutan bekas tebangan sebesar 4.408,73 ha berpotensi tinggi. Sehingga total luas tegakan yang mempunyai potensi tinggi untuk semua jenis diameter di atas 50 cm adalah 16.231,58 ha. Sementara itu tegakan dengan potensi sedang mencakup areal seluas 15.893,97 ha. Jadi sebagian besar tegakan diareal kerja HPH terutama hutan primer masih mempunyai potensi kayu yang tinggi (11.822,85 ha). Sedangkan di areal bekas tebangan sebagian besar berpotensi sedang (11.368,36 ha) karena tegakan dengan diameter di atas 50 cm sudah ditebang dan yang tinggal hanya pohon inti dan pohon induk. Berdasarkan peta potensi dan data dalam lampiran 2 potensi semua jenis diameter di atas 50 cm diketahui bahwa areal kerja HPH memiliki stok potensi sebesar 2.724.665,06 m3 atau rata-rata sebesar 70,60 m3/ha di seluruh hutan primer dan bekas tebangan. Sedangkan potensi semua jenis diameter di atas 50 cm di hutan primer adalah 1.654.523,68 m3 atau rata-rata 86,79 m3/ha.
©2004 Digitized by USU digital library
17
Dari lampiran 3 jugadapat diketahui bahwa potensi tegakan semua jenis diameter di atas 60 cm di hutan primer saja adalah 981,525,67 m3 atau ratarata 51,48 m3/ha. 5.5. Pemurnian Areal Untuk kepentingan perencanaan pengelolaan hutan, maka dilakukan pemurnian areal hutan dari peruntukan sebagai kawasan lindung dan kawasan bukan untuk produksi sehingga tinggal kawasan untuk produksi. Hasil overlay antara peta areal HPH, peta paduserasi, dan peta kondisi hutan menghasilkan areal yang bebas konflik. Dari hasil overlay tersebut duketahui bahwa kawasan budaya kehutanan terdiri dari hutan primer, bekas tebangan, semak belukar, ladang dan pemukiman dalam kawasan HPT; serta dalam kawasan HP terdapat hutan primer, semak belukar, bekas tebangan dan pemukiman seperti terlihat dalam tabel 12. kawasan budidaya kehutanan meliputi hutan primer seluas 14.025,13 ha (dalam HP dan HPT). Hutan dengan luasan inilah yang siap dikelola sebagai hutan produksi, sedangkan semak belukar, lading dan pemukiman diperuntukkan sebagai kawasan bina desa, sarana dan prasarana. 5.5.1. Kawasan Untuk Produksi Kawasan untuk produksi dalam hal ini areal produksif adalah areal hutan yang akan digunakan untuk menentukan luasan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi. Luas efektif areal hutan setelah dikurangi dengan sempadan sungai sebesar 518,23 ha dan hutan lindung sebesar 886,33 ha yang berada di dalam areal berhutan adalah 26.168,99 ha. Tabel 12. Hasil pemurnian areal untuk kawasan budidaya kehutanan di areal kerja PT Yohanes Arnold pisy Fungsi Tutupan Luas (ha) HL (Ha) Spd sungai (ha) LE (ha) HP Primer 1.809,0 54,7 43,43 1.710,8 Bekas 0 0 0 7 tebangan 0 95,53 199,77 0 Belukar 815,86 8,77 47,62 521,56 Ladang 226,02 0 3,86 170,49 pemukiman 4,26 0,13 HPT Primer 12.806, 475,39 16,39 12.314, Bekas 04 79,21 0,47 26 tebangan 12.223, 147,26 196,11 12.143, Belukar 54 24,98 10,58 86 Ladang 6.380,3 0 0 6.036,4 pemukiman 1 4 237,51 201,95 3,16 3,16 Awan 652,51 652,51 Total 35.157, 518,23 886,33 33.753, 81 15 Keterangan : HL = hutan lindung (nilai skor >175) LE = luas efektif 5.5.2. Kawasan Lindung Kawasan lindung yang ada di areal HPH antara lain adalah hutan lindung, sempadan sungai, areal pelestarian plasma nutfah dan daerah perlindungan satwa. Hutan lindung ini adalah hutan lindung hasil scoring yang termasuk ke ©2004 Digitized by USU digital library
18
dalam kawasan budidaya kehutanan yaitu seluas 886,33 ha. Sempadan sungai berupa areal dalam radius 100 m dari tepi kanan kiri sungai besar yakni sungai Kapuas dan kanan kiri sungai kecil (50 meter) yakni sungai Sirat sebesar 518,23 ha; areal pelestarian plasma nutfah seluas 700 ha (100 ha/RKL); dan areal perlindungan satwa seluas 350 ha (50 ha/RKL) (Manual KPHP, 1997). 5.5.3. Kawasan Bukan Untuk Produksi Kawasan bukan untuk produksi di areal kerja HPH adalah Petak Ukur Permanen dan Tegakan benih yang masing-masing luasnya 50 ha/RKL sehingga luas totalnya adalah 700 ha. Penempatan masing-masing fungsi untuk kawasan dalam peta belum dapat dilakukan karena memerlukan survey khusus untuk menempatkan PUP dan Tegakan Benih. 5.6. Luas Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP) Berdasarkan pada Pedoman Teknis Pembentukan KPHP dalam SK Direktur Jendral Pengusahaan Hutan No. 383/Kpts/IV-RPH/1992 bahwa secara ekonomis perusahaan akan mencapai titik impas pada pemungutan kayu di hutan alam tanah kering sebesar 40000 – 50000 m3 per tahun. Kawasan yang akan dibentuk menjadi KPHP terdiri dari kawasan HPT dan kawasan HP, sehingga potensi rata-rata hutan alam merupakan rata-rata terimbang dari hutan primer dalam HPT dan HP. Dari potensi rata-rata semua jenis diameter di atas 50 cm (untuk HP) dan diameter di atas 60 cm (untuk HPT), maka potensi rata-rata hutan alam di tanah kering adalah 55,79 m3/ha. Dengan potensi 55,79 m3/ha dan asumsi pemungutan kayu di hutan sebesar 40.000 m3/ha maka luas tebang tahunannya adalah sebesar 716,97 ha/tahun. Kawasan hutan yang sebagian besar berupa HPT menuntut penerapan sistem tebang pilih. Dengan menggunakan daur 35 tahun, maka luas minimum bagian KPHP adalah 25.093,95 ha. Jika rentang kendali organisasi yang mantap 1:2 dan 1:3 (Manual Pembentukan KPHP, 1997); maka luas minimum KPHP adalah 51.940 ha sampai dengan 77.910 ha. Luas areal efektif HPH PT. Yonanes Arnold Pisy yang besarnya 25.148,99 ha tentu saja tidak dapat dijadikan satu KPHP. Akan tetapi karena areal kerjanya yang sudah dibebaskan dari fungsi lain di luar budidaya kehutanan maka HPH ini layak untuk dijadikan satu Bagian KPHP. Tentu saja untuk menjadi KPHP harus digabungkan dengan HPH-HPH yang berbatasan langsung, dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan baik fisik maupun potensi produksinya. Memperhatikan peta kondisi hutan HPH PT. Yohanes Arnold Pisy pada lampiran 5 maka HPH yang ada kemungkinan sesuai untuk digabungkan menjadi satu KPHP adalah PT. Bumi Indah Raya dan PT. Hutan Domas Raya. Ketiga HPH ini memungkinkan digabungkan dari segi kondisi fisik di lapangan, karena masih berada dalam satu daerah aliran sungai (DAS) yaitu sub-das Sungai Sirat Das Sungai Kapuas. 5.7. Rencana Wilayah Kerja BKPHP Rencana wilayah kerja BKPHP dibatasi oleh batas buatan yang berbatasan langsung dengan HPH PT Hutan Domas Raya, PT Bumi Indah Raya di sebelah utara, berbatasan dengan HPH PT Giat Eka Timber berupa Batas buatan dan berbatasan dengan HPH PT Aji Ubaya di sebelah timur dan selatan. Luas rencana BKPHP tersebut terlebih kecil daripada luas HPH PT Yohanes Arnold Pisy, tetapi hal ini justru menguntungkan karena bebas konflik yang seluruhnya ditujuan untuk kegiatan produksi kayu dan hasil hutan lainnya berdasarkan prinsip kelestarian ( Atmosoemarto et al., 1994 ) . Di garis batas
©2004 Digitized by USU digital library
19
areal dengan KNBK harus segera dilakukan tata batas dan diusulkan untuk mendapatkan pengukuhan sehingga dapat segera dilakukan pembentukan dan penataan hutannya. 5.8. Etat Luas dan Etat Volume Sebagai bagian dari KPHP yang didalamnya dilakukan kegiatan pengelolaan hutan secara lengkap, yang salah satunya berupa eksploitasi hutan maka untuk menjamin kelestarian produksi diperlukan pedoman berupa penentuan etat luas dan etat tebang. HPH PT Yohanes Arnold Pisy sampai diperolehnya data ini telah memasuki jangka pengusahaan yang kedua. Etat luas sisa rotasi I adalah 13.275,3 ha / 15 tahun atau 885 ha/tahun dengan etat volume sebesar 49.375,27 m3. . Sedangkan etat luas rotasi II adalah 25.418,99 ha/35 tahun atau 726 ha/tahun dengan etat volume sebesar 40.517,87 m3./tahun sehingga sebagai satu bagian KPHP layak untuk diusahakan. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil praktek khusus ini maka disimpulkan bahwa : 1. Hasil paduserasi antara fungsi hutan berdasarkan TGHK dan RTRWP dengan menggunakan teknologi geomatika, menunjukkan bahwa areal PT. Yohanes Arnold Pisy terbagi ke dalam 35.157,81 ha sebagai kawasan hutan untuk budidaya kehutanan di hutan alam terdiri dari kawasan untuk produksi seluas 26.168,99 dan kawasan lindung seluas 1.404,56 ha dan semak belukar, ladang serta pemukiman seluas 6.903,93 ha. 2. HPH PT Yohanes Arnold Pisy dengan luas areal efektif 25.418,99 ha dan potensi rata-rata 55,79 m3/ha tidak dapat dijadikan satu Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP), tetapi dapat dijadikan sebagai satu Bagian Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (BKPHP). 3. Geomatika (SIG = Sistem Informasi Geografis) memiliki kemampuan dalam mengintegrasikan dan menganalisis berbagai data untuk membantu perencanaan pengelolaan hutan khususnya pembentukan KPHP. Hal ini akan dapat dicapai jika SIG didukung oleh sumber data yang akurat dan lengkap. 6.2. Saran 1. Untuk menjadi satu KPHP, PT Yohanes Arnold Pisy harus digabungkan dengan HPH yang berbatasan langsung yaitu PT Hutan Domas Raya, PT Aji Ubaya dan PT Eka Giat Timber. 2. Harus diupayakan untuk mendapatkan kekuatan hukum untuk areal dalam Bagian Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi 3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menata hutan dengan mempertimbangkan potensi fisik dan produksinya.
©2004 Digitized by USU digital library
20
DAFTAR PUSTAKA Aronnof, S.
1990. Geographic Information System: A Management Perspective. WDL Publication. Ottawa. Canada 249-259
Atmosoemarto, M. A. Fraser dan S. Arjdojuwono. 1994. Pembentukkan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP). Buletin Alas Tahun II No. 03/1994. Bogor. 13-30 Basyaruddin, H. 1976. Diktat Politik Kehutanan. Proyek Peningkatan dan Pengembangan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 26-27 Capman. H.H. 1950. Forest Management. The Hildreth Press. Darusma, D.
New York. 171-172
1981. Pengantar Perencanaan Pembangunan Kehutanan. Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 1-2
Departemen Kehutanan. 1992. Jakarta. 70-74
Manual Kehutanan.
Fakultas
Departemen Kehutanan RI.
Departemen Kehutanan. 1997. Manual Perencanaan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP). Tidak Diterbitkan. 1-11 Direktorat Jendral Kehutanan. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Direktorat Jendral Kehutanan Departemen Pertanian. Jakarta. 19-21 Machfud. 1996. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis dalam Bidang Kehutanan. Duta Rimba/195-196/XX:43-48 Meyer, H.A., A.B. Recknage., D.D. Stevenson dan R.A. Bartoo. 1961. Forest Management. 2nd ed. The Ronald Press Company. New York. 132136 Soeranggadjiwo. 1991. Perencanaan Pengusahaan Hutan. Duta Rimba 30(XVII): 48-52 Westveld, R.H., dan R.H. Pech. 1858. 1958. Forestry in Farm Management. 2nd ed. (Revised by R.H. Westveld). Jhon Willey and Son’s Inc. New York. 159-172
©2004 Digitized by USU digital library
21