PEREMPUAN YANG TERSISIH DALAM CERITA DARI BLORA KARYA PRAMUDYA ANANTA TOER
A.
Pendahuluan Dalam makalah ini disebutkan pemakaian kata ‘perempuan’ dibangding kata ‘wanita’. Kata ‘perempuan’ dipandang lebih rendah dibanding kata ‘wanita’ yang lebih tinggi kedudukannya. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana konstruksi sosial
selama ini telah mengidentifikasi
wanita sebagai perempuan yang hina, lemah, dan kurang produktif dibanding dengan laki-laki. Oleh karena itu, teori kristis hadir untuk meluruskan dan mencerahkan persepsi masyarakat yang salah dan keliru. “Teori Kritis sebagai teori emansipatoris adalah menelanjangi herrschaft (dominasi total) ini, karena itulah kemudian Teori Kritis disebut sebagai kritik-ideologi (ideologikritik). Kritik Ideologi ingin mewujudkan manusia yang sadar akan penindasan sosial dan melakukan pembebasan dan pencerahan” (Geuss. 2004. x) Sejalan dengan ide teori kritis di atas, kaum perempuan menyadari bahwa sudah bertahuntahun kehidupan manusia didominasi laki-laki. Dominasi laki-laki terhadap perempuan dirasa telah berdampak negatif tidak hanya bagi setiap individu perempuan, tetapi juga bagi masyarakat yang percaya akan ‘ideologi’ palsu hasil konstruksi mereka terhadap perempuan. Oleh karena itu, gerakan feminisme baik di dunia maupun di Indonesia pada dasarnya sama,
yaitu bertujuan ingin
membongkar selubung ideologi dan irasionalisme yang menghalangi pencerahan dan kejernihan berpikir. Dengan demikian,
kaum perempuan dapat
mensejajarkan harkat, martabat, dan
kedudukan mereka dengan laki-laki. Kata ‘mensejajarkan’ mempunyai makna bahwa selama ini masih banyak praktek-praktek ideologi masyarakat yang sesungguhnya kurang memberikan peluang bagi kaum wanita untuk meraih kesetaraan gender. Sugihastuti (2005: 85) menjelaskan bahwa “Dalam Analisis gender dilakukan perbandingan peran, status, dam posisinya. Dibantu dengan jalan mengajukan pertanyaan apa, siapa, di mana, kapan, bagaimana, dan mengapa.
Konsep-konsep
analisis gender dipakai sebagai dasar analisis. Konsep-konsep itu antara lain adalah sebagai berikut. 1)
Perbedaan gender ialah perbedaan dari atribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, harapan peranan, dsb untuk merumuskan ketentuan kelahiran.
2)
Kesenjangan gender ialah perbedaan dalam hak berpolitik, memberikan suara, dan bersikap antara pria dan perempuan.
3)
Genderzation ialah pengacuan konsep pada upaya menempatkan jenis kelamin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan dari dan terhadap orang lain misalnya pelacur.
4)
Identitas gender ialah gambaran tentang jenis kelamin yang harus dimiliki dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan.
5)
Gender role ialah peranan perempuan atau peranan laki-laki yang diaplikasikan secara nyata. Aplikasinya sangat berbeda dari latar masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain.
1
Walaupun tidak dipungkiri bahwa kaum laki-laki sudah menyadari keinginan gerakan feminisme, yaitu dengan mengubah sistem kehidupan yang memberikan keleluasaan bagi kaum wanita untuk ikut terlibat dalam berbagai aspek kehidupan.
Namun, sangat disayangkan ketika
peluang itu diberikan, kadang-kadang kaum wanita tidak konsisten dengan keinginan dan harapannya. Ketika mereka sudah merasa ‘aman’ dalam arti cita-citanya tercapai, tetapi
mereka tidak terus
berjuang untuk meraih tujuan-tujuan yang lebih besar lagi.
B.
Kritik Sastra Feminisme Kritik sastra feminisme memiliki beberapa jenis kritik, seperti kritik ideologis; gynocritics (kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita); kritik sastra feminis-sosialis atau Marxis (meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat); kritik sastra feminis-psikoanalitik (diterapkan pada tulisan-tulisan wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasi dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita); kritik sastra feminis-lesbian (hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja); dan kritik sastra feminis-ras atau etnik (Djayanegara. 2000: 28-36). Untuk itu, ragam kritik sastra feminis yang dipilih untuk membahas topik di dalam makalah ini adalah kritik sastra ‘ideologi’ dan kritik sastra feminis-Sosialis atau Marxis. Kritik sastra ideologi paling banyak digunakan untuk meneliti tokoh-tokoh wanita dan ideologi masyarakat yang mengonstruksinya, dan dari sudut pandang kritik Sosialis-Marxis yaitu mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan statusnya. Kemudian menurut Djayanegara (2000: 51-53) cara penerapan kritik sastra feminis ada beberapa langkah yaitu: a.
Mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita.
b.
Mencari kedudukan tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat.
c.
Mengidentifikasi perilaku serta watak tokoh perempuan dari gambaran yang langsung diberikan penulis.
d.
Memperhatikan pendirian serta ucapan tokoh wanita yang bersangkutan atau meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang kita amati.
e.
Mengamati sikap penulis karya yang sedang kita kaji. Beberapa tujuan kritik sastra feminis yaitu:
1)
Dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruh karya sastra yang dihasilkan.
2)
Kita bisa mengkaji karya-karya tersebut dengan seperangkat alat yang sudah dikuasai.
3)
Kritik sastra feminis berkaitan dengan penilaian (ibid.2000:20-23). Oleh karena itu, dengan memakai kritik sastra feminis di atas akan diuraikan bagaimana
sikap, perilaku, dan tindakan serta pandangan laki-laki terhadap perempuan sebagai bentuk dominasi yang diambil dari beberapa tokoh perempuan dalam Cerita Dari Blora.
Cerita Dari Blora menyajikan beragam topik tentang kehidupan manusia Indonesia khususnya orang Jawa pada zaman kemerdekaan. Gambaran dan lukisan masyarakat kelas bawah yang menderita sebagai akibat dari kolonilaisme Belanda dan Jepang, serta tatanam kehidupan bernegara 2
yang baru merdeka menjadi topik utama dalam cerita ini. Setting yang menjadi latar cerita yaitu daerah Blora. Rembang.
Blora merupakan sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang dekat dengan daerah
Pada masa kemerdekaan, Blora sama seperti halnya daerah-daerah lainnya tidak
memberikan jaminan dan harapan hidup bagi masyarakat. Hanya lahan-lahan pertanian yang masih bisa ditanami palawija, itu pun bagi mereka yang memiliki sawah atau kebun. Sebaliknya, mereka yang tidak memilikinya hanya menggantungkan diri pada nasib baik yang mungkin masih berpihak pada mereka.
Adapun karakter utama yang banyak dibicarakan dalam Cerita Dari Blora ini yaitu
mengenai tokoh-tokoh perempuan dan hanya beberapa tokoh laki-laki. Oleh karena itu, makalah ini membahas karakter tokoh-tokoh perempuan yang banyak mengalami penderitaan akibat ‘ideologi’ yang diciptakan oleh konstruksi sosial yang mengikat mereka.
C.
Ideologi Menurut Guess (2004: 7-59) ideologi itu dibagi menjadi beberapa pengertian, yaitu ideologi dalam pengertian deskriptif, progamatik, pejoratif, positif, dan kritik ideologi. deskriptif
Dalam pengertian
ideologi dihubungkan dengan bidang antropologi mengkaji kehidupan sosial budaya
manusia, menyangkut kepercayaan-kepercayaan para anggota masyarakat yang berpegang teguh padanya, konsep-konsep yang mereka pergunakan, sikap-sikap dan disposisi-disposisi psikologis yang mereka tunjukkan, motif-motif, keinginan-keinginan, nilai-nilai, kegemaran-kegemaran, karya seni, ritual-ritual agama, isyarat dll. “Ideologi deskriptif adalah sesuatu yang dapat ditemukan seseorang (atau mendalilkan hipotesis bagi tujuan-tujuan yang bersifat menjelaskan)”. Ideologi deskriptif
yang dapat dilihat dari tokoh-tokoh perempuan dalam Cerita Dari Blora
ialah ada yang memiliki kepercayaan yang sangat kuat dan konsep-konsep untuk memajukan masyarakat (tokoh ibu), dan ada juga yang tidak memilikinya (tokoh Inem, Siti). Tokoh Ibu yang memiliki kepercayaan yang kuat dan konsep-konsep tujuan hidup masyarakat yang jelas sehingga memperlihatkan sikap yang tegas, disiplin, kerja keras, dan pantang menyerah. Karakterisasi yang dimiliki tokoh ibu merupakan cerminan seorang perempuan yang memiliki sifat etika calvinis seperti dinyatakan oleh Soewardi (2000: 243) ‘etika calvinis’ yaitu seseorang yang memilki sikap dan perilaku kerja keras, jujur, hemat, percaya diri, tanggung jawab, disiplin cermat, dan sebagainya. Al Qu’ran dan As Sunnah memuat segala apa yang disebut etika calvinis, akan tetapi kebanyakan manusia tidak memerhatikannya. Q. S. Saba: 37 menyatakan bahawa kerja itu ibadah. Q.S. Al-Jumu’ah: 10 bahwa kerja dan sembahyang itu sama pentingnya. Q.S Alam Nasroh: 7 menjelaskan bahwa kerja itu harus sistematis dan cepat. Q.S. Hud: 61 yaitu tentang perintah memakmurkan dunia. Kemudian hadist Nabi memerintahkan bahawa kerja itu harus cermat dan harus ahlinya. Agar bisa melaksanakan apa yang diperintahakan oleh Al Qur’an dan As Sunnah maka rasa aman dan pendidikan harus menjadi prioritas, sehingga bisa merubah keadaan.
Kemiskinan dan
kebodohan telah menyebabkan mereka sengsara. Motif-motif tokoh Ibu mewarnai tindakan-tindakan rasionalnya seperti bekerja di ladang tanpa atau dengan bantuan suaminya dan anak-anaknya demi mempertahan perut keluarganya. Menyuruh anak-anaknya belajar, mandiri dalam setiap pekerjaan dan sabar menghadapi persoalan keluarga. 3
Kemudian ikut andil dalam memajukan kaum perempuan dengan menyelenggarakan perkumpulan wanita dan mendidik anak-anaknya tanpa bimbingan suami sekalipun. Cita-citanya tinggi yaitu ingin anak-anaknya mempunyai pendidikan yang tinggi sehingga mereka bisa merubah kehidupan menjadi lebih baik di masa depan. Nilai kejujuran, disiplin, tanggung jawab, kerja keras dan pantang menyerah dia tanamkan kepada anak-anaknya. Bentuk-bentuk pendidikan yang dia terapkan berupa dongeng yang dia ceritakan kepada anaknya, mengajak anak-anaknya bekerja di ladang dan menyadarkan suaminya dari kekeliruan akibat kekecewaan (hal.28,36,37, 73).
Prinsipnya sangat kuat bahwa
kemalasan hanya akan membawa penderitaan. Tokoh ibu digambarkan sebagai seorang istri yang taat dan pada suaminya dan istri yang shaleh dalam menjalankan perintah agama. Dalam pengertian progamatik yaitu istilah ideologi yang digunakan oleh Daniel Bell dalam tesisnya yang berjudul Akhir Ideologi (The End of Ideology) yaitu sebuah cara menerjemahkan ide-ide ke dalam tindakan dan menentukan ‘ideologi menyeluruh’ (total ideology). Ideologi programatik ini mendorong tokoh ibu menjadi seorang perempuan yang kuat karena ide-ide tentang pengetahuan yang dia miliki mampu mendorong orang-orang terdekatnya (anak dan suami) untuk menjadi orang yang bersemangat dalam meraih cita-cita, dan memberikan pengetahuan kepada ibunya Inem dan Inem tentang pentingnya menjaga kesehatan sebagai akibat pernikahan muda, memberikan pencerahan kepada nenek Leman agar mau bekerja. Ideologi dalam pengertian pejoratif adalah “sesuatu yang negatif,
pejoratif atau kritis,
‘ideologi’ adalah ‘khayalan’ (ideologis) atau kesadaran palsu. Ideologi yang dapat ditemukan seseorang dan dipisahkan dalam rangka untuk dikritik.” Ideologi yang telah melekat dalam masyarakat menyangkut kehidupan perempuan yaitu sebagai makhluk yang lemah dan bodoh. Tradisi menghendaki wanita menjadi pengurus rumah tangga dan keluarga, sehingga sebagian besar masa hidupnya dihabiskan dalam lingkungan rumah saja. Di samping itu, wanita tidak diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi, memangku jabatan tertentu, atau menekuni profesi tertentu (Dajajanegara. 2000.5-6). Semua tokoh perempuan yang digambarkan dalam cerita ini adalah mereka yang tinggal di lingkungan rumah otomatis mengurus pekerjaan rumah tangga. Mereka bukan wanita yang memiliki pendidikan yang tinggi, ada yang tidak pernah sekolah (Inem dan Siti), ada yang tidak tamat SD (Sri) hanya sampai kelas 6, dan tokoh ibu sampai tingkat menengah atau bahkan tingkat atas karena tidak pernah disebutkan sekolahnya. Tokoh ibu ini berasal dari kalangan priyayi, karena dia dipangggil ‘ndoro’ oleh babunya, Nyi Kin dan Inem. Sebagai seorang yang berasal dari kalangan kelas atas, setidaknya
tokoh ibu ini
mempunyai wawasan yang luas tentang pengetahuan dan pendidikan. Dia sebagai seorang yang membawa pencerahan dan kejernihan dalam berpikir. Kalau diberi kesempatan yang lebih besar terhadap tokoh ibu ini, maka dia mampu mengerjakan apa yang umum dikerjakan laki-laki, seperti mencangkul, mengajar, berdagang, memimpin organisasi dan lain-lain. Akan tetapi, kesempatan itu tak pernah ada, semua perempuan sudah dikonstruksi untuk menjadi makhluk penjaga rumah agar tardisi warisan lehuhur serta adat-sistiadat dan keutuhan keluarga bisa dilestarikan. Meij (2009:5763) mengatakan “anak perempuan sangat berbeda, mereka tidak berharga sama sekali, dan 4
keberadaan mereka hanya sebagai penerus tradisi keluarga dan menjaga tradisi budaya leluhur saja, seperti tradisi upacara pemujaan”. Ideologi dalam pengertian positif yaitu sebuah kebutuhan yang sangat diinginkan (desideratum) bagi sebuah masyarakat tertentu tentang sebuah ideologi. Ideologi ini adalah sesuatu yang disusun, diciptakan, atau ditemukan, yang merupakan sebuah verite a faire. Apa yang sangat didambakan oleh kaum perempuan dalam cerita ini adalah mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang hanya akan bisa diraih dngan kerja keras pantang menyerah, mereka harus bisa mandiri dan akhirnya bisa memetik hasil di kemudian hari seperti yang selalu diucapkan oleh tokoh ibu kepada anak-anaknya (hal 25, 51, 68, 295, 297). Kemudian perempuan juga harus bisa menjaga citra diri dan citra keluarga dengan menjadi ibu yang baik dan istri yang berbakti pada suami, agar menjadi terhormat di mata laki-laki dan masyarakat (hal. 50, 112). Selanjutnya, kritik-ideologi dibagi menjadi tiga bagian yaitu pertama, kritisisme masyarakat yang radikal dan kritisisme tentang ideologi dominannya; kedua, kritik-ideologi bukan sekedar sebuah bentuk “kritisisme moralitas”, tetapi lebih pada penekanan cognitive enterprise (perjuangan kognitif); dan ketiga, kritik ideologi yang berkaitan dengan struktur teori sosial yang berbeda dengan struktur kognitif ilmu alam. Tujuan akhir dari kritisisme masyarakat yang radikal yaitu menghasilkan sebuah teori kritis (hal. 59). Untuk menemukan sebuah teori kritis yang mengandung pencerahan bisa dilihat dari sikap pengarang dalam menggambarkan pendirian tokoh-tokoh perempuan. Watak dan perilaku mereka juga menjadi fokus tujuan pengarang sehingga menjadi jelas apa yang sebenarnya ingin diperlihatkan seorang Pramudya. Dari keseluruhan cerita, Pramudya ingin menggambarkan bagaimaa kehidupan kaum proletar masyarakat Jawa yang sangat menderita akibat kolonialisme Belanda dan Jepang. Kesengsaraan masyarakat kelas bawah tidak pernah kunjung berhenti, praktek-praktek kriminalitas yang telah merenggut hak azasi manusia sangat dirasakan lebih berat terutama oleh kaum perempuan. Dalam hal ini perempuan mengalami apa yang disebut Meij (2009) “double colonialism” walaupun istilah ini dia terapkan pada perempuan Tionghioa. Namun sebenarnya konsep itu sama jika diterapkan dalam sebuah tradisi masyarakat manapun, karena perempuan di manapun sama dimarginalkan. Istilah double colonialization di sini maksudnya tokoh-tokoh perempuan itu mengalami penderitaan akibat ketidakadilan sebagai individu perempuan akibat tradisi yang membelenggu,
yang dikonstruksi untuk tinggal dan hanya melakukan
aktivitas di lingkungan rumah tangga, sehingga menjadikan mereka inferior dan tersubordinasikan seperti yang dikatakan Aristoteles (Hollows. 2000). Kemudian satu lagi bentuk penjajahan akibat kolonialisme Belanda dan Jepang yang menjadikan perempuan sebagai barang dagangan yang bisa dibeli, dan kalau habis dipakai serta tidak berguna lagi bisa dibuang seenaknya (tokoh Nyi Kin dan Siti). Dalam Cerita Dari Blora ini
tidak diceritakan secara gamblang siapa laki-laki yang telah
menikah dengan Nyi Kin. Mungkin saja serdadu Belanda atau Jepang atau tentara Indonesia atau 5
siapa saja yang telah tertular penyakit
Rajasinga.
Setelah melihat Nyi Kin tertular penyakit
mematikan itu, maka si laki-laki itu pun meninggalkannya dalam penderitaan lahir batin. Lain halnya dengan kasus Siti yang hanya karena kebodohan dia terjerumus kelembah nista. Di Indonesia, praktek pelacuran bertentangan dengan sumber dari segala sumber hukum, yaitu Pancasila, khsusnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Menurut agama Islm melacur adalah haram hukumnya (Q.S:17, ayat 32). Kemudian Kepmen Sosial Republik Indonesia Nomor 23/HUK/96 bahwa segala bentuk pelacuran itu bertentangan dengan nilai sosial, agama, dan moral Republik Indonesia.
Pelacuran cenderung
merendahkan martabat wanita. Namun pada aplikasinya hanya ada beberapa pasal KUHP seperti pasal 506 tentang perzinahan bagi yang telah kawin. Pasal 279 bagi mereka yang terlibat perdagangan wanita, dan pasal 296 bagi orang yang mensponsori pelacuran atau praktek germo (Sugihastuti. 2005: 114-115). Pelacuran di satu sisi dianggap merendahkan martabat perempuan, karena bentuk eksploitasi seksualitas yang menjijikkan dan dianggap betapa rendahnya moral perempuan yang menjadi pelacur. Ming (1983) menyebutkan bahwa “Dalam lingkungan tentara, pergundikan dan pelacuran merupakan bagian dari realitas sehari-hari,
karena serdadu tak dapat memenuhi kebutuhan seksnya dalam
perkawinan, ia harus mencari kepuasan di luar lembaga tersebut, ia dapat mengambil Nyai atau mengunjungi bordil, perempuan di rumah gubernemen, yang dijamin tak mengidap penyakit kelamin” (Hellwig 2007.42-43). Oleh karena itu, pelacuran sangat dibenci masyarakat walaupun pada kenyataannya kegiatan ini sudah ada sejak zaman dulu sampai sekarang. Sementara itu Hesselink (1987) menytakan “Observasi yang dibuat berkenaan dengan pelacuran, asumsi pandangan laki-laki bahwa perempuan masa bodoh terhadap seks. Mereka tak ada seksualitas (Hellwig, 2007: 47). Ekplotaisi seksualitas pada poerempuan dipercaya sebagai kelemahan dan kebodohan perempuan yang tidak bisa dihentikan selama perempuan tidak mau berpikir jernih, ingin menjunjung tinggi harkat dan martabatnya, juga selama perempuan tidak mau berjuang untuk menghapuskan ideologi palsu tersebut. Kritisisme moral inilah yang ingin ditunujukkan Pramudya kepada pembaca lewat tokoh-tokoh perempua dan tokoh laki-laki. “Teori kritis harus mengarah pada pembebasan dan pencerahan, yaitu pada pembentukan kesadaran agen-agen (manusia) terhadap paksaan yang terselubung, dengan harapan dapat membebaskan mereka dari penindasan. Teori Kritis dituntut untuk menjadi refleksi, atau referensi sendiri. Sebagai kritik-ideologi teori kritis harus bisa memperlihatkan kepada agen-agen bahwa gambaran dunia adalah kesadaran palsu karena tidak dapat diterima secara reflektif, dengan menunjukkan bahwa mereka sebenarnya memperoleh gambaran dunia hanya di bawah kondisi paksaan yang sangat menindas. Teori kritis harus menjadi pengetahuan dan harus memperlihatkan bahwa kepercayaan dan sikap ideologis itu salah. Jika tidak, teori kritis tidak mempunyai pengaruh emansipatoris yang membebaskan” (Geuss. 2004. X) Pernyataan Geuss di atas mengajak masyarakat untuk memikirkan kembali hal-hal yang 6
terselubung yang sebenarnya telah mengakar menjadi sebuah ideologi. Pada kenyataanya, ideologi tersebut tidak sepenuhnya benar karena ada pihak lain yang sangat dirugikan yaitu perempuan. Perempuan dikonstruksi di bawah tekanan dan penderitaan untuk terus menjalaninya. Hanya dengan jalan pendidikanlah sebagai salah satu cara bagaimana kesadaran itu muncul untuk mencerahkan kehidupan. Dengan pendidikan, orang bisa berpikir jernih dan bernalar untuk merubah kesadarankesadaran palsu yang selama ini dipaksakan.
D.
Sistem Patriarki Untuk melihat bagaimana penindasan terhadap perempuan terjadi, salah satu alat ukur yang digunakan yaitu sistem patriarki.
Hollows (2010: 8) mengemukakan bahwa “bagi para feminis,
konsep yang paling tepat untuk menjelaskan penindasan terhadap perempuan suatu sistem dominasi laki-laki” atau sistem patriarki. Kemudian dia juga (2010: 11) menyebutkan bahwa “banyak feminis kontemporer yang masih menggunakan konsep patriarki. Gagasan ‘budaya patriarki’ umum ada dalam kajian budaya feminis, dan sering kali merupakan hal yang ‘masuk akal’, tetapi patriarki sendiri jarang ditelaah atau dijelaskan”. Pertama, kekuasaan dan dominasi laki-laki ditunjukkan dengan mengikat tokoh-tokoh perempuan dalam lingkungan rumah. Mereka hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak. Hal ini terjadi hampir pada semua tokoh perempuan seperti tokoh Ibu, Inem, Ibu Inem, Sri, Nyi Kin, dan tak ada seorang pun di antara mereka dalam cerita itu bekerja di luar rumah. Terkadang mereka menjadi kambing hitam atas persoalan yang menimpa keluarga ketika tidak mematuhi kaum laki-laki seperti tokoh Siti. Kemudian contoh lain, dalam kebudayaan etnis Tionghoa, perempuan mengalami apa yang disebut ‘double colonialism’ yaitu penjajahan terhadap perempuan karena dia sebagai individu perempuan, dan sebagai perempuan korban sistem patriarki tradisi leluhur konfucius. Pada umur tujuh tahun, soerang anak perempuan harus menjalani foot binding sebagai bentuk mekanisme kontrol lakilaki terhadap seksualitas perempuan. Foot binding ini merupakan pengikatan kaki perempuan sebagai simbol dan status bagi perempuan di kalangan kerajaan pada awalnya. Akan tetapi pada akhirnya foot
binding ini menjadi cermin prestis budaya dan peradaban Tiongkok. Kemudian ada upacara penyambutan ketika bayi perempuan lahir, dia akan diletakan di bawah ranjang, atau diberi mainan periuk bekas, dan pemberian sesajen sebagai pemberitahuan kelahirannya kepada leluhurnya (Meij. 2009:2-3, 61). Indikator foot binding dan upacara penyambutan kelahiran dari sudut pandang feminisme sangat merugikan kaum perempuan, sehingga mereka tidak memiliki kebebasan secara individu perempuan dan sebagai bagian anggota masyarakat. Budaya tersebut telah mengonstruksi identitas perempuan Tionghoa bahwa mereka sebagai makhluk yang lemah, rendah, dan selamanya harus menjadi masyarakat yang disubordinasikan. Perempuan hanyalah barang milik yang dikuasai dan boleh digunakan untuk kekerasan fisik, pembunuhan, dan perdagangan anggota keluarga, untuk dijadikan Mui Cai, San Po Cai, atau Pipa Cai (ibid. 2009:59). Kedua, dalam konteks perempuan Jawa, konstruksi sosial masyarakat mengelompokkan 7
perempuan
ke dalam status perempuan priyayi dan perempuan biasa.
Tokoh ibu dikategorikan
sebagai seorang priyayi (dalam cerita Yang Sudah Hilang dan Kemudian Lahirlah Dia ) hanyalah seorang istri dalam sebuah rumah tangga. Meskipun hanya menjadi seorang istri bagi suaminya dan menjadi ibu anak-anaknya, tujuan hidup dia sangat jelas. Dia igin anaknya memiliki karakter yang baik, bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, berdisiplin, dan berpendidikan. Hal ini bisa dilihat dari dongeng-dongeng tentang pendidikan dan moral, agar anaknya bisa mencintai alam dan lingkungan sekitar, mencintai pekerjaan dan bersungguh-sungguh melakukannya (hal. 5, 17, 25). Tujuan hidup tokoh ibu itu tercermin dalam perilaku dia yang selalu mengajarkan disiplin kepada anaknya dengan kelembutan dan kasih sayang, tetapi tegas. Kesalehan dia dalam menjalankan agama memperkuat dia dalam keteguhan hati menjalani bahtera kehidupan yang pahit akibat perceraian dengan suaminya. Ketika si anak bertanya mengapa ayahnya selalu pergi dan tak pulang. Si ibu selalu menjawabnya dengan menentramkan hati anaknya. Dia tetap menjaga citra baik suaminya, dan tidak pernah menjelek-jelekkannya (hal. 22). Tokoh Ibu merupakan seorang wanita yang kuat, sabar, dan penuh dengan kepercayaan diri dan optimis. Dia juga seorang pekerja keras. Dia buktikan dengan bekerja di ladang mengurus anak kandungnya dan anak-anak angkatnya (hal.25).
Namun, tetap saja “ ...perempuan dianggap lebih rendah dari pria, sekalipun kaum
perempuan memegang peranan penting dalam pembudidayaan padi serta tanam-tanaman yang lain” (Hellwig. 2007: 24). Sejalan dengan hal di atas, Djajanegara (2000: 31) menjelaskan bahwa dalam masyarakat patriarkal, perempuan dimasukan ke dalam kubu rumah yang terbatas pada lingkungan serta kehidupan di rumah, sedangkan laki-laki mengusai kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah. Krirtik sastra feminis-sosialis atau Marxis mencoba menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam karya-karya sastra lama adalah manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa menerima bayaran. Berbeda dari tokoh Ibu, wanita kelas bawah seperti tokoh Inem hanyalah sorang babu kecil yang bisa melakukan pekerjaan rumah tangga, dan menemani anak-anak bermain di sebuah keluarga. Sebagai seorang anak kecil yang baru berumur 8 tahun, Inem hanya memimpikan pakaian bagus, dan dihias ketika ia dinikahkan (hal. 38). Dia tidak memikirkan betapa kompleknya sebuah pernikahan itu. Sikapnya hanya menerima keputusan orang tuanya dengan senang. Akan tetapi, perubahan sikap itu nampak jelas setelah dia sendiri mengalami pahit getirnya sebuah pernikahan muda (hal.48). Kemudian Inem yang masih anak-anak dianggap durhaka terhadap suaminya yang sudah dewasa karena tidak mau melayani kebutuhan biologis suaminya. Kepolosan seorang anak kecil belum mengetahui apa artinya perkawinan, sikap apa yang dia harus tunjukkan kepada suami yang sudah dewasa, yang menuntut melakukan hubungan suami istri, serta tindakan apa yang harus dia perbuat ketika ketidakadilan menimpanya. Itu semua tidak ada dalam pikiran Inem kecil. Yang dia tahu hanyalah ketakutan dan kecemasan mengahdapi malammalam berikutnya dalam kehidupan rumah tangganya. Dalam hal ini seolah-olah laki-laki menutup mata tentang kenyataan yang dihadapi perempuan. Dia tidak peduli bagaimana perempuan merasa kesakitan ketika tidak mampu mengetahui apa tujuan pernikahan itu (hal. 48-50). 8
Feminisme menganggap bahwa perkawinan atau domestisitas menghambat pengembangan potensi perempuan (ibid. 2000: 61). Perkawinan telah membuat Siti menjadi istri yang polos dan bodoh. Kebodohan telah menjeratnya dalam mengambil keputusan-keputusan yang salah. Hellwig menggambarkan “..dan penduduk Pulau Jawa terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan. (2007: 25), dan “kemiskinan dan kebodohan selalu menjadi alasan yang tak terbantahkan lagi untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga” (hal. 87).
Dalam hal ini, tokoh Siti sangat mendukung
“...ciri-ciri feminin sebagai ciri-ciri yang inferior....sebagai sesuatu yang monolitik” ( Hollows. 2010: 17). Siti merasa putus asa dan tertekan akibat himpitan ekonomi memutuskan untuk bekerja sebagai pelacur jalanan yang menjeratnya ke lembah nista. Akibat dari perbuatannya itu, dia menderita sakit dan dia menyadari bahwa dia harus kembali ke rumah meminta maaf pada suaminya dan keluarganya.
E.
Masalah Penindasan terhadap Wanita Kritik feminis mencoba mengungkapkan gambaran kaum wanita yang tertindas” (Djajanegara. 2000: 30). Tokoh-tokoh perempuan dalam Cerita Dari Blora digambarkan sebagai perempuan yang tidak berdaya menghadapi konstruksi sosial yang membelenggu mereka. Pertama, tokoh Ibu harus berjuang membesarkan anak-anak tanpa suami setelah mereka bercerai (Yang Sudah Hilang). Kedua, tokoh Inem yang harus menikah muda di usia delapan tahun karena tradisi keluraga. Akibat dari pernikahan itu, dia harus mendapatkan pukulan setiap malam dari suaminya, dan harus bekerja keras membatik dengan ibunya siang dan malam demi sesuap nasi (Inem). Ketiga, tokoh Siah harus pergi ke Palembang menjadi ‘nyai’ dari laki-laki kaya karena dia ingin mendapatkan perhiasan emas (gigi emas, peniti emas yang berantaikan emas pula). Pada akhirnya dia harus menghadapi kepahitan hidup dan kembali lagi ke desa dengan badan yang setengah membungkuk dan kesehatan yang menurun (Yang Menyewakan Diri). Keempat, tokoh Ibu yang harus menghadapi kemelut rumah tangga diambang kehancuran. Dalam keadaan hamil tua dia harus berusaha menyadarkan suaminya yang prustasi, sebagai akibat kekecewaan terhadap perjuangannya yang sama sekali tidak dihargai.
Kehidupan politik, sosial
ekonomi yang kacau telah membawanya kepada judi, mabuk-mabukan dan jarang pulang ke rumah. Sampai pada saat tokoh Ibu akan melahirkan, dia tidak ada di dekatnya untuk memberikan semangat hidup (Kemudian Lahirlah Dia). Kelima, tokoh Siti yang harus pergi meninggalkan keluarganya akibat kemelut hidup yang membutakannya. Dia pergi menjadi pelacur di warung pinggir jalan. Ketika kesehatannya menurun akibat penyakit, tidak ada seorang pun yang peduli dan masyarakat mencemoohnya dan menghinanya sebagai perempuan yang tidak bermoral (Pelarian Yang Tak
Dicari). Keenam, tokoh Tijah yang sedang menunggu suaminya pulang dari Jakarta, harus meninggal dunia bersama anaknya saat melahirkan. Sementara itu suaminya
berselingkuh dengan staf
perempuan di sebuah penerbitan di Jakarta. Tijah tidak mengetahui perselingkuhan tersebut sampai ajal memanggilnya (Hadiah Kawin). Selanjutnya ketujuh, tokoh Sri yaitu sorang anak perempuan yang terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah SD karena dia harus mengurus ayah dan adik9
adiknya. Selain itu, dia juga dipaksa oleh kakak perempuannya menjadi anggota Kelompok Merah yang anti pemerintah dan hidup dikejar-kejar ketakutan. Pada akhirnya, Sri dan adik-adiknya harus melanjutkan hidup dengan penuh ketidakpastian ditengah-tengah kemiskinan tanpa rumah dan makanan. Kedelapan, tokoh Nyi Kin (Yang Sudah Hilang) yaitu seorang perempuan yang harus menderita cacat permanen setelah dia menikah dengan seorang laki-laki yang tak dikenalnya. Kecantikan yang dulu dia banggakan, kini hancur sudah dimakan penyakit Rajasinga yang dideritanya setelah dia menikah. Penyakit itu telah merenggut satu biji bola matanya, dan satu dengkulnya. Kini, hanya rasa sakit fisik dan mental yang ia jalani setiap hari, kalau berjalan dia harus menyeret sebelah kakinya. Di hari tuanya yang seharusnya dia bisa menikmati kebahagiaan bersama keluarganya, namun dia tidak mendapatkannya. Dia tidak memiliki anak, karena penyakit itu pula yang menghilangkan janinnya (hal. 3-4). Apa yang dialami oleh tokoh-tokoh perempuan dalam cerita ini hampir sama dengan hal-hal yang dinyatakan oleh Kartini.
Surat-suratnya mengungkapkan betapa susah hatinya karena
perbedaan perlakuan terhadap lelaki dan perempuan Jawa, ketidakadilan terhadap kaum perempuan, langkanya kesempatan bersekolah bagi kaumnya, perjodohan yang diatur, serta poligami yang tidak diharapkan. Meskipun demikian, pada akhirnya lambat-laun pendidikan bagi perempuan mulai diterima oleh masyarakat, dan Kartini dijadikan lambang emasipasi perempuan Indonesia (Hellwig, 2007: 31-32).
F.
Citra Perempuan Lubis (2000: 183) berpendapat bahwa citra perempuan ditentukan oleh dua hal: 1)
Masalah seks dan gender. “Masalah seks adalah penampilan fisik yang membedakan wanita dan pria secara kodrati, sedangkan masalah gender adalah masalah sosio-budaya, dalam hal ini wanita dilekati oleh simbol-simbol feminin, seperti lemah-lembut, keibuan, cantik, dan emosional; sebaliknya laki-laki dilekati oleh simbol maskulin, seperti kuat, perkasa, jantan, dan rasional. Dilihat dari perbedaan simbolis ini muncul anggapan bahwa wanita lebih lemah daripada pria”.
2)
Masalah status sosial “Dalam stratifikasi sosial masyarakat Sunda dikenal tiga lapisan masyarakat, yaitu kaum menak (kelompok aristokrat) yang menempati lapisan paling atas, kaum santana yang berada di antara kaum menak dan lapisan paling rendah, serta kaum somah dan cacah yang berada pada lapisan paling rendah. Dengan demikian, ada wanita yang termasuk kaum bangsawan dengan segala hak istimewanya, dan ada pula wanita yang termasuk
kaum somah yang harus menerima
statusnya sebagai rakyat kecil”. Citra perempuan yang ingin diperlihatkan Lubis menyangkut karakteristik seks dan gender umumnya dimiliki oleh perempuan.
Nyi Kin (Yang Sudah Hilang) digambarkan sebagai sosok
perempuan cantik yang banyak memikat laki-laki. Namun dia menjadi korban kecantikannya sendiri akibat terlalu bodoh terjerat dalam cinta palsu seorang laki-laki yang tidak dikenalnya
(hal.3-4). 10
Begitu juga dengan tokoh Siti yang memiliki paras manis dan cantik (hal. 97). Namun, dia begitu bodoh sehingga dia terjerumus ke dalam lubang pelacuran. Selain itu tokoh yang tidak terlalu menonjol yaitu adiknya Kajan yang bernaman Sami memiliki wajah cantik, tetapi senang dijadikan entah istri entah gundik oleh serdadu Jepang dan Cina demi materi dan kesenangan. Kemudian masalah status sosial di setiap kehidupan berbeda. Meskipun yang digambarkan Lubis tentang status sosial perempuan Sunda, tetapi pada umumnya sama dengan perempuan Jawa. Selain letak geograpi berbatasan, masalah status sosial tidak berbeda. Di Jawa tokoh Ibu merepresentasikan seorang majikan keturunan priyayi atau menak yang mempunyai kedudukan tinggi dibandingkan pembantunya, Nyi Kin, Inem dan Siti yang merupakan golongan cacah. Rata-rata perempuan golongan priyayi atau menak kehidupannya agak sedikit menyenangkan dibanding yang berasal dari kelas bawah atau cacah yang harus berkutat dengan kemiskinan yang tak kunjung selesai.
G.
Masalah Perjuangan untuk mensejajarkan diri Berbicara tentang perbedaan laki-laki dan perempuan, Wardhaugh menjelaskan: “ Sex is biologically determined whereas gender is a social construc (but one heavily grounded in sex) involving the whole gamut of psychological, social, and cultural differences between males and females” (1998. 309). Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa masalah jenis kelamin merupakan perbedaan secara kasat mata antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, masalah gender merupakan sebuah konstruksi sosial yang dibuat masyarakat, untuk membedakan laki-laki dan perempuan menurut konteks masalah psikologi, kehidupan sosial dan budaya.
Perbedaan masalah identitas ini telah memicu menjadi
perbedaan perlakuan masyarakat sebagai subjek pembuat konstruksi sosial terhadap perempuan. Dengan demikian, timbul suatu ketimpangan antara perlakuan terhadap laki-laki sebagai penguasa dan terhadap perempuan sebagai objek dari penguasa. Mengamati kehidupan perempuan yang selalu tertindas, maka kaum feminisme bangkit ingin memperjuangkan hak dan kebebasan perempuan di belahan bumi ini. “Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki” (equal right’s movement). Cara lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (Dajajanegara. 2000: 4). Perempuan di manapun berada, pada awalnya selalu menjadi manusia yang disubordinasikan, dan sepertinya tidak mempunyai peranan besar dalam kehidupan. Padahal sesungguhnya mereka mempunyai dua peranan yaitu sebagai peran perempuan dalam keluarga dan peran perempuan dalam masyarakat. Oleh karena itu, perempuan harus menunjukkan jati diri yang sesungguhnya sebagai manusia yang diciptakan sempurna dengan akal pikiran yang diberikan Allah Swt. Segala yang diciptakan Allah Swt tidak ada yang sia-sia termasuk perempuan. Dengan akal dan pikiran serta rasa yang dimilikinya, mereka mampu melakukan dan mengatur tugas-tugas pekerjaan rumah tangga dan menjalankan perannya di masyarakat. Hal ini ditujukkan oleh tokoh ibu (Yang Sudah Hilang) sebagai 11
seorang perempuan yang mempunyai wawasan tinggi tentang arti belajar bagi manusia. Seperti yang dinyatakan oleh Ekadjati (2004: 105). “..nya eta awewena nu kudu maju teh deui, palinter cara lalaki, sabab awewe teh nu baris jadi indung. Manehna anu pangmimitina ngasupan pangarti ka jelema, nyaeta ka anak-anakna, awewe lalaki”. Sebagai orang yang selalu berada dekat dengan anak, tokoh
Ibu selalu memberikan
pendidikan moral dan akhlak yang baik kepada anaknya. Dengan menceritakan dongeng-dongeng yang berisi ajaran tentang nilai-nilai kehidupan, si anak diharapkan mampu mengambil hikmah yang terkadung di dalamnya. Kedisiplinan dan kemandirian yang selalu diterapkan seorang ibu, mampu menjadikan anaknya mandiri dan tidak cengeng. Kemudian yang berhubungan dengan pekerjaan lakilaki dia juga mampu berladang, mencangkul dan menanam tanaman dikebunnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan dalam cerita Kemudian Lahirlah Dia, tokoh Ibu lebih jelas menunjukkan eksistansinya dan kemampuannya selain sebagai istri dan ibu yang mengurus pekerjaan rumah tangga. Tokoh Ibu juga mempunyai andil yang besar dengan membuka perkumpulan bagi perempuan denga menjadi pelindungnya bagi organisasi itu. Dia ingin perempuan-perempuan di daerahnya memiliki pengetahuan, kemampuan dan keterampilan agar tidak ketinggalan dari kaum laki-laki. Dari kedua tokoh Ibu ini bisa digambarkan bahwa perempuan berusaha memperkuat kedudukan mereka baik di keluarga sebagai istri dan ibu, maupun di masyarakat dengan berperan sebagai motivator bagi kemajuan perempuan. Mengapa perempuan harus mensejajarkan diri dengan derajat dan kedudukan laki-laki? Tentu saja, jawabannya agar
perempuan tidak bergantung pada laki-laki baik soal ekonomi, dan tidak
terbelakang dalam soal pemikiran dan intelektualitasnya. Selama ini perempuan selalu diideologikan sebagai makhluk yang “bergantung pada laki-laki, bapak, saudara, atu suami, khususnya dalam hal keuangan dan daya pikir atau intelektualitas. Agar mampu mandiri pertama-tama perempuan harus diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan” (Dajajanegara .2000: 5). Tokoh ibu sangat memahami bagaimana pentingnya pendidikan bagi perempuan agar mereka mampu mandiri dan bisa mengatasi persoalan-persoalan yang timbul sehingga tidak bisa dibodohi dan dibohongi oleh pihakpihak yang menentang keberadaan perempuan.
Dengan pendidikan, derajat perempuan bisa
terangkat dan mereka tidak akan disepelekan lagi oleh kaum laki-laki. Selanjutnya, perjuangan seorang anak perempuan
yang bernama Sri dan terpaksa harus
keluar dari bangku SD. Dia bersikeras untuk tidak meninggalkan bangku sekolahnya, dan berusaha membujuk kakaknya untuk menggantikannya sementara selama dua bulan mengurus rumah tangga (hal. 226, 227). Pada akhirnya Sri menyerah dan keluar dari sekolahnya, tetapi dia terus berdo’a semoga cita-cita dia dan adik-adiknya terkabul (hal.228). Kemudian dia berharap pengalaman pahit dan penderitaan menjadi pelajaran berharga bagi mereka dalam mengatasi berbagai persoalan hidup (hal. 295). “Jika melihat perkembangan historiografi dunia, juga Indonesia, (termasuk di Tatar Pasundan), dapat dikatakan bahwa sejarah adalah “milik” kaum laki-laki. Tema-tema sentral dalam sejarah dipenuhi 12
dengan tema sejarah politik dan militer yang berkaitan erat dengan masalah kekuasaan dan keperkasaan, yang dapat dikatakan “milik” kaum laki-laki” (Lubis. 2000: 182). Pernyataan Lubis ini sejalan dengan apa yang dialami oleh tokoh Sri. Setelah apa yang terjadi terhadap kakaknya yang bernama Is dipenjara, Sri menyerahkan seluruh
barang-barang emas
pemberian kakaknya itu kepada pemerintah. Pegawai yang menerima barang-barang emas itu memuji-muji dia. Namun, tidak sedikit pun Sri menerima penghargaan atas jasanya itu, dan dia menerimanya (hal. 296). Indikasi dari kejadian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa memang sekalipun perempuan memiliki andil yang besar dalam sejarah, bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa, akan tetapi jasa mereka tidak pernah disebut-sebut apalagi di hargai.
H.
Simpulan Dari paparan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa perempuan pada zaman kemerdekaan keadaannya sangat memprihatinkan dan tersisih. Mereka harus berjuang
demi keutuhan rumah
tangga dan keluarga. Tak peduli susah dan sulit penderitaan yang mereka alami, tetapi komitmen dan keteguhan hati untuk menjalani hidup tetap mereka pegang. Di tengah ketidakadilan dari konstruksi sosial yang diciptakan, mereka harus tetap berjuang dan bertahan demi kebangkitan dan kemajuan kaumnya.
Berjuang di keluarga dan di masyarakat merupakan ibadah yang tak ternilai harganya
meskipun tidak pernah terbesit untuk mendapatkan penghargaan sebagai balas jasa. Akan tetapi sedikit pengakuan akan sangat berharga demi kesetaraan gender yang selalu diperjuangkan dan akan terus dihidupkan.
13
Daftar Pustaka
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ekadjati, Edi. S. 2004. Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda. Geuss, Raymond. 2004. Ide Teori Kritis Habermas & Mazhab Frankfurt. Cambridge University Press. 1989. Magelang: Panta Rhei Books. Hellwig, Tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda.
Diterjemahkan oleh Mien
Joebhaar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hollows, Joanne. 2000. Feminisme, Feminitas, & Budaya Populer. Manchester Univeristy Press. Diterjemahkan oleh Bethari Anissa Ismayasari. 2010. Yogyakarta: Jalasutra. Lubis, Nina H. 2000. Tradisi & Transformasi Sejarah Sunda I. Bandung: Humaniora Utama Press). Meij, Lim Sing. 2009. Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa: Sebuah Kajian Pascakolonial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Soewardi, Herman. 2000. Roda Berputar Dunia Bergulir. Bandung: Penerbit Bakti Mandiri. Sugihastuti. 2005. Rona bahasa dan sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Toer, Pramudya Ananta. 1994. Cerita Dari Blora. Jakarta. Hasta Mitra. Wardhaugh, Ronald. 1998. An Introduction to Sociolinguistics. Third Edition. USA: Blackwell Publisher Inc.
14