PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap warga Negara Indonesia mempunyai hak asasi yang harus di hormati dalam menjalani kehidupannya, hal tersebut tertuang dengan tegas dalam Pasal 28 I ayat (1) Undang –Undang Dasar 1945, meliputi: “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat di kurangi dalam keadaan apapun.” Penghormatan hak tersebut terimplikasi juga dalam segala lini kehidupan masyarakat Indonesia termasuk dalam kehidupan rumah tangga artinya, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam menjalani kehidupan. Mengenai hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 31 ayat (1) : hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi tidaklah seindah dengan apa yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang. Realita yang terjadi bahwa masih banyak kita jumpai ketidak seimbangan hak antara laki-laki dan perempuan di masyarakat, laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan mempunyai fisik yang lebih kuat dari perempuan seringkali melakukan diskriminasi dan/atau penindasan terhadap 12
perempuan. Kondisi ini ditunjang oleh budaya masyarakat Indonesia yang banyak menyimpan pola-pola diskriminasi terhadap perempuan dimana perempuan sebagi seorang istri haruslah patuh dan tunduk atas segala perintah suami, dalam arti perempuan telah menjadi istri maka hidup istri hak seutuhnya suami. Salah satu bentuk diskriminasi yang terjadi adalah pelarangan terhadap istri untuk bekerja. Banyak hal yang memicu suami tidak memperbolehkan istri bekerja antara lain disebabkan oleh suami takut bersaing dengan istri ketika seorang istri tersebut bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri, dimana ketika istri berpengahasilan sendiri suami beranggapan istri tidak akan patuh lagi terhadap suami. Anggapan yang sering tercipta dalam masyarakat bahwa harga diri seorang laki-laki akan tercoreng bahkan dianggap tidak bertanggung jawab bila seorang istri ikut bekerja guna membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga. Yang mana guna memenuhi kebutuhan rumah tangga merupakan tanggung jawab suami sepenuhnya sebagai kepala rumah tangga, sedangkan tugas istri adalah mengurus rumah tangga. Pembatasan ruang lingkup istri dalam mengaktualisasikan diri terutama dalam bekerja merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia apalagi hal tersebut dilakuan hanya berdasarkan egoisme kaum suami yang beranggapan bahwa seoarang istri harus patuh dan tunduk terhadap semua perintah suami, namun kadangkala suami lupa bahwa penghasilan suami tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau lebih parahnya bahwa suami tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, namun jika seorang istri nekad untuk bekerja maka egoisme seorang suami akan keluar dimana suami menganggap istri telah membangkang. Hal ini akan 13
menimbulkan percekcokan demi percekcokan biasanya terjadi mulai dari hal-hal kecil hingga permasalahan krusial tak dapat dihindari dan diskriminasi terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga akan terjadi. Mengenai hak suami dan istri dalam menjalankan rumah tangga juga telah diatur dengan tegas dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada Pasal 34 di jelaskan : 1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. 3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. jelas tergambar pada pasal diatas mengenai hak dan kewajiban suami dan istri, dimana suami sebagai kepala rumah tangga berkewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, namun hal tersebut tidak dapat kita telaah begitu saja dimana istri mempunyai hak untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hak seorang istri dalam ikut serta membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pada Pasal 9 ayat (1,2) : Ayat (1) : setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 14
Ayat (2) :
penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban dibawah kendali orang tersebut.
Ketika kita kaji lebih dalam jika seorang istri dibatasi ruang geraknya atau dilarang bekerja maka hal tersebut merupakan suatu bentuk diskriminasi dan hal tersebut dapat dikategorikan pada tindakan melanggar hukum sebagaimana tersebut dalam Pasal 9 ayat (1,2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, berisi pembagian peran antara suami dan istri dimana pembagian peran tersebut menghendaki peran dan tanggung jawab yang sama antara suami dan istri. Dengan demikian, peran suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah bisa dibantu oleh istri ataupun bersama-sama memikul tanggung jawab tersebut. Demikian pula sebaliknya, peran istri sebagai pengatur rumah tangga dapat juga dibantu oleh suami. Atas dasar ini, istri tidak boleh dilarang bekerja agar dapat mengaktualisasikan dirinya dan menghindari terjadinya penelantaran dalam rumah tangga, karena istri memiliki sumber penghasilan, jika suami melarang istri bekerja, akan dikenai saksi pidana. Namun penerapan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, khususnya penelantaran rumah tangga belum dapat berlaku efektif 15
Diam menerima perlakuan suami merupakan solusi yang paling tepat menurut beberapa istri ketika terdapat ketidak cocokan dalam rumah tangga, ataupun ketika istri dilarang untuk mengktulisasikan dirinya dalam bekerja guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun ketika diam merupakan pilihan permasalahan bukan berhenti sampai di sana, karena ketika istri tidak menentang kehendak suami maka hak-hak istri semakin diabaikan oleh pihak suami sehingga penelantaran kembali terjadi. Dari apa yang dijelaskan diatas, masih banyak hak-hak istri yang belum dapat terakomodir
dalam
kehidupan
berumah
tangga.
Terutama
mengenai
pengaktualisasian diri dalam bekerja hal inilah yang menarik bagi penulis untuk mengangkat topik “ Perlindungan Hukum Terhadap Istri Bekerja Dalam Prespektif Hukum Islam” sebagai judul dalam penulisan hukum.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : Apakah ketentuan Pasal 5 jo Pasal 9 Undang-Undang No. 23 tahun 2004 sudah sesuai dengan nilai-nilai hukum Islam ?
C. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah diatas, dapat dirumuskan tujuan penelitian yaitu :
16
Untuk mengetahui bagaimana penerapan Undang-Undang no. 23 tahun 2004, khususnya Pasal 5 jo Pasal 9 pada proses perceraian dalam prespektif hukum Islam.
D. Tinjauan Pustaka Istri merupakan korban dalam penelantaran rumah tangga, definisi korban menurut Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 95 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Pasal 1 Ayat (3): orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Arif Gosita mendefinisan korban sebagai berikut korban adalah : “orangorang yang secara individual atau kolektif, telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran (omissions) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota, yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan” 1 Undang-Undang No.23 Tahun 2004, tentang penghapusan kekerasan dalam rumah, Pasal 1 Ayat (1): setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, pisikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
1
http//www. Harian Kompas, R Valentina Sagala, Sekali Lagi, Memperjuangkan Perempuan sebagai Subyek, 18/08/2008.12:40,AM
17
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. “Rumah tangga ‘house hole’ adalah kelompok sosial yang biasanya berpusat pada suatu keluarga batin, ditambah dengan beberapa keluarga lainnya, yang tinggal dan hidup bersama dalam satu rumah sehingga merupakan kesatuan kedalam dan keluar” 2 Suatu rumah tangga terdiri dari suami, istri dan anak dimana kedudukan suami, istri sebagi berikut menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1 tentang perkawinan, Pasal 31 Ayat (1,2 dan 3) : 1) hak dan kedududukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 2) masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. 3) suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Tugas mencari nafkah untuk keluarga beban terbesar berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga namun istri sebagai ibu rumah tangga juga dapat mencari nafkah bagi keluarganya hal ini dipertegas dalam Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 38 ayat (1,2): 1) Setiap warga Negara, sesuai dengan bakat kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak;
2
Hasan Sadili, Eksiklopedi Umum, Yayasan Kanisius Yogyakarta, 1979, hlm.959.
18
2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil; Sesuai dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2004, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 95 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, ada empat bentuk kekerasan dalam rumah tanga antara salah satunya penelantaran rumah tangga Pasal 9 : 1. setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 2. penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Contoh dari perbuatan ini adalah, tidak terpenuhinya sandang dan pangan pada keluarga terutama anak-anak namun hal ini harus dilihat dari kemampuan suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sangsi hukuman ketika melakukan perbuatan ini berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-(lima belas juta rupiah) Penelantaran rumah tangga dalam bentuk menciptakan ketergantungan ekonomi istri terhadap suami dengan tidak memperbolehkan istri bekerja tersebut dapat mengakibatkan pertengkaran yang tidak berujung, salah satu contoh yang 19
melatarbelakangi keberanian para istri sekarang menggugat cerai. Di antaranya yang paling sering adalah 5 alasan berikut ini: 3 1. Suami berselingkuh inilah penyebab terbanyak cerai gugat. Perselingkuhan yang dilakukan suami membuat istri kehilangan kepercayaannya, dan upaya untuk kembali mempercayai suami menjadi masalah yang paling menyita waktu sepanjang hidup. Kepercayaan yang hilang tampaknya sulit dikembalikan lagi, ditambah perasaan sakit hati karena telah dikhianati, akhirnya membuat si istri memilih bercerai; 2. Adanya kekerasan dalam rumah tangga. Yang dimaksud kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah segala bentuk penganiayaan, baik yang berupa penyiksaan fisik, psikis/emosi, seksual maupun ekonomi. Pada kasus KDRT, para wanita ditempatkan sebagai korban, namun sebenarnya tanpa sadar si wanita juga memilih untuk tetap jadi korban karena berbagai alasan. Keberanian untuk tidak menjadi korban suami terus-meneruslah yang membuat istri berani mengambil tindakan drastis, yaitu meninggalkan suaminya dan menggugat cerai; 3. Kurangnya tanggung jawab suami dalam hal ekonomi. Perkembangan zaman membawa serangkaian konsekuensi. Salah satunya, makna kemandirian dan kesetaraan yang mendorong perempuan juga bekerja di luar rumah. Tak jarang, tuntutan tanggung jawab finansial di rumah tangga juga dibebankan sama rata, baik pada istri maupun suami. Namun tak jarang, ada pula suami 3
http://www.tabloid-nakita.com/Khasanah.21/9/2008.11:12PM
20
yang karena istrinya juga bekerja, lantas jadi terlenakan. Umpama, karena istrinya bergaji lebih dan mampu menutupi seluruh pengeluaran rumah tangga, suami lalu menggunakan gaji dirinya sendiri untuk urusan pribadi dan foya-foya. Atau, suami malah ongkang-ongkang kaki di rumah. Padahal secara prinsip, suami yang tidak bekerja adalah suami yang kehilangan identitas diri. Bagaimanapun, pekerjaan melekat erat dengan identitas serta fungsi laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Istri dan anak akan kebingungan jika tak ada pembagian identitas yang jelas di rumah. Rentetan akibat selanjutnya, seluruh anggota keluarga akan kehilangan rasa hormat, bingung soal konsep diri, malu dan ujung-ujungnya frustasi memiliki kepala keluarga seperti ini. Pada prinsipnya, masalah menafkahi keluarga bukanlah soal jumlah. Melainkan lebih pada aspek kemauan, kesungguhan, dan bukti nyata. Taruhlah penghasilan suami memang jauh dari cukup, tapi bila setiap hari ia sudah berusaha keras sebisanya, agaknya masuk akal bila kondisinya dikategorikan sebagai "pintu rezeki istri dibuka lebih lebar". Yang memprihatinkan
sebetulnya
adalah
suami
yang
sama
sekali
tidak
menunjukkan kesungguhannya untuk berusaha. Atau, dia hanya sesekali pernah berusaha dan gagal tapi tidak serius ingin bangkit lagi. Bila kondisi ekonomi keluarga semakin memburuk dan istri kehilangan kebanggaannya pada suami, para istri yang percaya akan kemampuan dirinya dan bisa memiliki sumber daya ekonomi sendiri umumnya lebih berani menyongsong
21
dan menjalani hidup seberat apa pun. Ia kemudian akan memilih hidup sendiri dengan bercerai. 4. Beda keyakinan dan prinsip. Pada pasangan yang sejak awal memiliki perbedaan keyakinan, kemungkinan bercerai karena perbedaan ini tergolong kecil. Ditengarai karena mereka sejak awal sudah memiliki komitmen khusus dan memandang perbedaan keyakinan itu tak perlu menjadi batu sandungan dalam perkawinan. Tidak demikian dengan pasangan yang sejak awal memiliki keyakinan sama, tapi kemudian salah satu berpindah keyakinan. Tata cara beribadah yang berbeda ini, pada akhirnya sering menimbulkan konflik. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kesadaran untuk menggugat cerai. Sedangkan dalam soal prinsip, umumnya menyangkut pengasuhan dan pendidikan anak. Contoh, istri tidak setuju dengan disiplin keras memberikan hukuman fisik kepada anak yang dilakukan suami. Hati kecilnya yang selalu berontak dan berempati pada "penderitaan" anak-anak, akhirnya menuntun si istri untuk memutuskan bercerai dari sang suami karena tak ingin anakanaknya menjadi korban. 5. Adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi. Kebutuhan ini umumnya meliputi kebutuhan afeksi dan seksual. Suami dinilai tak pernah bersikap romantis atau tak bisa memuaskan secara seksual. Meskipun alasan ini belum menjadi penyebab utama perceraian di Indonesia, namun gangguan ini tetap harus diwaspadai mengingat seks juga berperan penting dalam perkawinan, terutama bagi pasangan usia produktif yang masih memiliki vitalitas tinggi. 22
Apalagi dalam hubungan perkawinan, seks menempati dimensi relasi, yaitu berfungsi sebagai pengikat yang mempererat hubungan batin suami-istri. Frekuensi hubungan seksual yang baik akan berpengaruh terhadap keintiman pasangan dan keharmonisan rumah tangga. Sayangnya, tidak semua pasangan dapat menjalankan tugas mulia itu secara sempurna, terutama bagi pasangan yang tinggal di perkotaan. Pekerjaan atau aneka kegiatan lain telah banyak menyita waktu, energi, dan konsentrasi mereka. Akibatnya semakin jarang pasangan punya waktu yang tepat untuk sekadar berduaan. Belum lagi ritme hidup di kota besar yang ikut menyita energi secara psikis. Seks yang bermasalah memang bisa mempengaruhi perkawinan. Begitu juga sebaliknya, perkawinan yang bermasalah bisa mempengaruhi kehidupan seksual. Maka, harus disadari bahwa setiap permasalahan pemenuhan kebutuhan seks mesti ditanggapi oleh suami maupun istri karena menyangkut kebutuhan dua belah pihak. Dari beberapa alasan tersebut diatas permasalahan ekonomi mendominasi alasan istri untuk bercerai. Adapun penyebab terbanyak terjadinya cerai gugat adalah tidak adanya tanggung jawab suami (sekitar 40%). Selain karena suami tidak memberikan nafkah padahal ia mampu, suami juga tidak menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin yang mengayomi dan melindungi anak istri. "Para istri ini merasa tidak nyaman karena tidak punya perlindung lagi sehingga akhirnya digugatlah si suami," 4 .
4
Ibid
23
Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antar manusia, baik antara laki-laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digaris bawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 5 Wahai seluruh manusia, sesunguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa, bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa (QS 49:13). Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran islam tidak sebagaimana diduga atau diperaktikan sebagian masyarakat. Ajaran islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan. Muhammad Al-Gazali, salah seorang ulama besar Islam
kontemporer
kebangsaan Mesir menulis : “ kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan barat dewasa
5
M.Quraish Sihab “membumikan Al-Quran” fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, PT. Mizan Pustaka, 2007, hlm 419.
24
ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan”. 6 Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan perempuan salah satu diantaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam) diatas namakan untuk pandangan dan tujuan yang salah atau tidak dibenarkan. Keistimewaan perempuan dalam pandangan Islam termasuk dalam hal perempuan atau istri dapat bekerja membantu suami mencari nafkah untuk kebutuhan rumah tangga, namun Islam sendiri memberikan ketentuan-ketentuan tersendiri akan hak untuk bekerja tersebut.
E. Metode Penelitian 1. Fokus Penelitian Penerapan ketentuan Pasal 5 jo Pasal 9 Undang-Undang No. 23 tahun 2004 apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai hukum Islam. 2. Bahan Hukum Penelitian ini mengunakan metode penelitian normatif, sehingga penelitian ini memerlukan data sekunder (bahan hukum) sebagai data utama yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer
6
Ibid, hlm 420
25
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang diperoleh dari hukum positif Indonesia yang berupa peraturan perundang- undangan
yang
berlaku serta bahan hukum yang berhubungan dengan obyek penelitian yang sifatnya mengikat. b. Data Sekunder Terdiri dari data yang diperoleh dari buku-buku dan makalah, antara lain, buku-buku tentang hukum pidana, tentang Perlindungan wanita dalam bekerja serta Hak Asasi Manusia. 1. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Dalam pengumpulan data penelitian ini di fokuskan dengan metode studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari, membaca, memahami Perundangundangan, buku-buku literatur, dan artikel-artikel yang terkait. 2. Metode Analisis Bahan Hukum Dari bahan hukum primer, selanjutnya dilakukan diskripsi yang disusun secara sistematis, Bahan hukum sekunder yang berupa bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti artikelartikel, karya ilmiah, buku-buku, pendapat para ahli bidang hukum, media masa dan lain sebagainya yang berhubungan dengan penelitian didiskripsikan, sehingga diperoleh suatu abstraksi tentang perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2004 dan ajaran Islam
26