KONDISI-KONDISI YANG MENYUDUTKAN POTENSI PEREMPUAN
I.
Pendahuluan Permasalahan
masyarakat
semakin
hari
semakin luas dan kompleks. Ada masalah pendidikan, masalah pertanian, masalah industri, masalah tenaga kerja, masalah penduduk, masalah lingkungan sampai masalah
perempuan.
Bila
dikaitkan
dengan
pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah sekarang ini biasanya ditampilkan setumpuk fakta dan angka untuk menunjukkan bahwa masalah-masalah itu memang ditangani dengan seksama. Walau pun demikian, tampaknya yang belum dilakukan adalah
1
analisa yang lebih mendalam tentang bagaimana kaitan masalah-masalah itu dengan keseluruhan masyarakat. Misalnya saja masalah perempuan. Pada
masa-masa
yang
lampau
masalah
perempuan ditangani bagaikan tempelan saja dari masalah
pembangunan.
Padahal
perempuan
merupakan bagian yang mendasar dari masyarakat dan persoalan masyarakat yang lebih luas dapat ditangani melalui keadaan perempuannya. Dengan
dituangkannya
pemecahan
permasalahan yang dihadapi perempuan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, nampaknya hal itu turut membantu percepatan kemajuan dari perempuan dalam berbagai bidang. Namun demikian tidak mustahil bahwasanya pembangunan yang sedang dilaksanakan
di
masyarakat
kita
dapat
pula
menimbulkan hal-hal yang kurang menguntungkan bagi kaum perempuan baik di pedesaan maupun di perkotaan.
2
Apabila kita telusuri data yang tersajikan pada Hasil Registrasi Penduduk Sulawesi Selatan Akhir Tahun 1985 yang diterbitkan oleh Kantor Statistik Sulawesi Selatan, maka akan terlihat data yang menarik
untuk
dianalisa
sehubungan
dengan
pembangunan. Berdasarkan kelompok umur 10 – 64 tahun dan jenis kelamin di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1985 terlihat bahwasanya penduduk perempuan jumlahnya lebih banyak dari pada jumlah penduduk laki-laki (lihat Tabel 1). Tabel 1. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 1985 KELOMPOK UMUR 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 JUMLAH
JENIS KELAMIN LAKI-LAKI PEREMPUAN 413,139 379,027 294,711 328,122 212,343 283,264 207,793 255,347 162,474 197,788 195,557 215,268 144,120 165,045 126,113 144,225 102,755 116,547 68,080 71,244 64,778 71,589 1,991,863 2,227,466
3
JUMLAH 792,166 622,833 495,607 463,140 360,262 410,825 309,165 270,338 219,302 139,324 136,367 4,219,329
Apabila kita telusuri pula dari sudut tempat tinggal
maka
terlihatlah
bahwasanya
penduduk
pedesaan di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1985 jumlahnya lebih banyak daripada penduduk kota. Pendudukan daerah pedesaan berjumlah 5.266.658 orang sedangkan penduduk daerah kota berjumlah 1.141.062 orang. Apabila
kita
perbandingkan
penduduk
perempuan pedesaan dengan penduduk perempuan yang berdiam di kota maka terlihat bahwasanya penduduk perempuan pedesaan juga jumlahnya lebih banyak dari pada penduduk perempuan perkotaan yaitu
perempuan
daerah
pedesaan
berjumlah
2.719.321 orang sedangkan perempuan daerah kota berjumlah
574.700
perbandingan
orang
antara
saja.
penduduk
Sedangkan
laki-laki
dan
perempuan untuk daerah pedesaan data menunjukkan bahwasanya penduduk perempuan pedesaan juga jumlahnya lebih banyak daripada jumlah penduduk laki-laki
pedesaan
yaitu
4
penduduk
perempuan
pedesaan berjumlah 2.719.321 orang, sedangkan penduduk laki-laki pedesaan berjumlah 2.547.337 orang. Dengan dikemukakannya pengakuan bahwa kaum perempuan merupakan bagian dari sumber manusiawi di samping kaum laki-laki. Perbedaan berbagai
data
di
atas
ini
dapat
disimpulkan
bahwasanya dari segi jumlah untuk Provinsi Sulawesi Selatan perempuan juga merupakan potensi. Karena jumlah penduduk yang banyak juga merupakan salahsatu
modal
besar
bagi
keberhasilan
pembangunan. Kalau penduduk perempuan yang jumlahnya relatif
banyak di Provinsi Sulawesi
Selatan dikerahkan, dibina serta didayagunakan secara efektif akan merupakan modal yang sangat berarti juga bagi pembangunan nasional pada umumnya pembangunan khususnya. Provinsi
Provinsi
Sulawesi
Selatan
Tetapi,
apakah
potensi
Sulawesi
Selatan
telah
5
pada
perempuan dimanfaatkan
seefektif mungkin maka perlu ditelusuri dan diteliti lebih seksama. II. Perempuan sebagai Korban Pembangunan dan Modernisasi Pembangunan diartikan oleh banyak orang sebagai suatu proses perubahan menuju ke arah yang lebih
baik
dari
keadaan
semula.
Sedangkan
modernisasi suatu masyarakat ialah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat adalah segala aspek-aspeknya (Schoorl, 1984: 1). Kedua istilah ini sukar dipisahkan, keduanya saling mengisi walaupun kadang-kadang hasilnya tidak memberikan suatu kenyataan yang sama baiknya. Nampaknya
terlalu
ekstrim
apabila
berpendapat bahwa pembangunan dan modernisasi memberikan dampak yang kurang menguntungkan malah lebih banyak merugikan bagi kaum perempuan. Tetapi kekanyataan memang demikian dan hal ini dapat ditelusuri dari beberapa hasil pengamatan dan penelitian yang telah dipublikasikan.
6
Ester
Boserup
(1970)
yang
membahas
perempuan di berbagai Negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia menggambarkan perubahan status dan peranan perempuan pada khususnya, pertama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pertanian di pedesaan yaitu yang berdasarkan pada pola pertanian ladang berpindah-pindah (Shifting Cultivation), pola pertanian
menetap
(Fixed
Forming)
dan
pola
pertanian tanaman berganda (Multi Cropping). Selain itu dia juga membahas kehidupan masyarakat kota dan kehidupan masyarakat yang menjalani proses urbanisasi, perpindahan dari desa-desa ke kota-kota. Pada pola pertanian yang berpindah-pindah (Shifting Cultivation) bagian terbesar dari pekerjaan menanam bahan makanan dilakukan oleh kaum perempuan, laki-laki hanya sekedar menebang pohonpohon dan membukanya guna mempersiapkan lahan yang hendak ditanami oleh kaum perempuan. Keadaan ini memberikan dampak positif bagi kehidupan
perempuan
karena
7
perempuan
yang
melakukan lebih banyak kegiatan sehingga merekalah yang menguasai hasil panennya nanti. Dengan keadaan serupa ini, perempuan pedesaan otomatis mempunyai pekerjaan yang sangat berarti bagi keluarga, rumah tangga dan masyarakatnya seperti yang ditemui di beberapa negara Afrika. Dampak negative yang diderita kaum laki-laki yaitu ketika orang Eropa masuk ke daerah itu dan mereka terbiasa dengan sistem pertanian oleh laki-laki, mereka menancapkan pada pikiran mereka konsepsi tentang kaum laki-laki Afrika “Pemalas” demikian juga anggapa mereka terhadap laki-laki dari beberapa Negara Asia. Dengan demikian, berkurangnya pepohonan di hutan (karena ditebang terus dan dibakar) tugas kaum laki-laki
untuk
menebang
pohon-pohon
tentu
berkurang, sebagaimana juga kesempatan untuk memburu satwa merupakan pekerjaan kaum laki-laki yang
pasti
hanya
pada
masyarakat
pertanian
berpindah-pindah. Sebaliknya, dengan bertambahnya
8
jumlah penduduk dan meningkatnya kepadatan penduduk daerah-daerah baru untuk dijadikan ladang menjadi langka. Dengan berkurangnya kesuburan tanah yang lama, tanah ini memerlukan pengolahan secara lebih cermat sebelum ditanami. Dengan keadaan demikian maka berubahlah system pertanian ladang berpindah-pindah ini ke system pertanian menetap (Fixed Farming). Dalam system pertanian menetap (Fixed Farming), kegiatan lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki atau bahkan sama sekali mengambil alih seluruh kegiatan pokok dari bercocok tanam. Tanah pertanian yang menetap harus selalu diolah dengan mencangkul dan membajaknya dengan demikian dalam hal penguasaan hasil panennya kelak pun berubah di mana laki-laki lebih banyak menguasainya dari pada perempuan. Pada saat inilah kegiatan rumah tangga bagi perempuan lebih dominan. Kadangkadang tekanan penduduk yang semakin meningkat dapat
menggerakkan
kaum
9
lakilaki
untuk
berpindah/pergi untuk mencari pekerjaan upahan di daerah lain dengan meninggalkan istri dan anakanaknya di daerah asalnya sehingga beban perempuan bertambah karena harus mengambil alaih beberapa pekerjaan yang dulu di kerjakan oleh laki-laki. Dengan masuknya orang Eropa ke berbagai Negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia yang berusaha menggerakkan penduduk laki-laki yang menurut anggapan mereka malas dan setengah menganggur untuk menanam tanaman perdagangan untuk ekspor ke Eropa mengakibatkan semakin merugikan kaum perempuan, dan dimulailah pola pertanian tanaman berganda (Multi Cropping). Hal ini dianggap merugikan kaum
perempuan selain
perempuan sudah berkurang peranannya dalam kegiatan pertanian juga dalam hal penyuluhan pertanian, memperkenalkan metode-metode intensif penanaman tumbuhan komoditi ekspor, perempuan tidak dilibatkan dan tidak diikut sertakan. Demikian pula dalam hal penggunaan peralatan pertanian yang
10
baru yang di introdusir oleh orang-orang Eropa, kaum laki-lakilah
yang
biasanya
diajar
untuk
menggunakannya, sedangkan kamum perempuan tetap bekerja (kalau dia masih terlibat) dengan alatalat lama yang tradisional. Dengan
mulai
digunakannya
peralatan
pertanian yang lebih modern dan yang telah disempurnakan,
kekuatan
otot
laki-laki
kurang
diperhatikan, namun kesenggangan produktivitas cenderung
melebar,
karena
kaum
laki-laki
memonopoli penggunaan peralatan baru dan metodemetode pertanian modern. Hal ini menyebabkan pola produktivitas
kerja
kaum
laki-laki
cenderung
meningkat, sedangkan produktivitas kerja kaum perempuan tetap saja. Akibat wajar dari kemerosotan yang relative dalam produktivitas kerja perempuan adalah karena kemerosotan kedudukan relative kaum perempuan dalam pertanian, akibat selanjutnya kaum perempuan menarik diri dari lapangan pertanian dan
11
lebih menekuni kehidupan rumah tangga atau pergi ke kota mencari pekerjaan lain. Melihat situasi yang telah dibebankan di atas ini, Boserup beranggapan bahwasanya para kolonis Eropa, penguasa-penguasa colonial dan penasehatpenasehat teknis, sebagaian besar bertanggung jawab atas kemerosotan kedudukan kaum perempuan dalam pertanian di dalam Negara-negara berkembang. Merekalah yang mengabaikan tenaga kerja pertanian perempuan waktu mereka membantu memasukkan pertanian komersial modern ke daerah Negara koloninya dan memajukan produktivitas kerja kaum laki-laki (Boserup, 1984 : 44). Karena berkurangnnya pekerjaan pertanian yang bersifat tradisional di daerah pedesaan baik bagi sebagian kaum laki-laki lebih-lebih bagi kaum perempuan sementara banyak kota bertambah antara lain di sekitar perusahaan-perusahaan orang Eropa, disekitar pelabuhan samudera, jalan-jalan kereta api, dan jalan raya utama di mana ekspor ke dan import
12
dari Eropa ditangani banyak laki-laki dan perempuan kehilangan pekerjaan di desa mengadu nasib ke kota, tetapi kenyataan yang ditemui di kota tidaklah seperti yang mereka
harapkan lebih-lebih bagi
kaum
perempuan. Di kota, pekerjaan yang dapat dilakukan perempuan selain menjadi buruh yang mendapat upah yang relative rendah, menjadi pembantu rumah tangga, berjualan makanan jadi di mana pekerjaanpekerjaan ini pada umumnya dalah bentuk lain dari pekerjaan rumah yang biasa juga dilakukan di desa karena memang kondisi kaum perempuan ini yang tidak terampil. Selain ini, di kota-kota dengan surplus besar laki-laki yang meninggalkan istri mereka di desa atau surplus laki-laki bujangan, terdapat juga kebutuhan jasa-jasa perempuan pelacur sehingga tidak mustahil bagi mereka/kaum perempuan yang terdesak kebutuhan ekonomi terdorong untuk menjadi pelacur. Keadaan yang telah dibeberkan oleh Ester Boserup dengan judul “Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi” tidak mustahil terjadi pula
13
di
Indonesia
pada
masyarakat
kita.
Misalnya,
digantikannya ani-ani dengan sabit, digantinya lesung dengan huller, berkembangnya alat-alat rumah tangga yang terbuat dari bamboo yang biasa dibuat oleh kaum perempuan. III. Penutup Dari uraian di atas memberikan kesimpulan kepada kita bahwa tidak selamanya pembangunan dan modernisasi
memberikan
dampak
positif
dan
menguntungkan bagi kaum perempuan. Dampak yang paling negative dan merugikan antara lain harkat dan martabat ialah kalau perempuan itu sampai harus memilih sebagai pelacur. Banyak kondisi yang dapat mendorong perempuan menjadi pelacur seperti yang disinyalir
oleh
group
Kalyanamitra.
Keluarga
mungkin dapat disebut ikut mendukung pelacuran yaitu desakan ekonomi yang menimpa keluarga atau mungkin juga masyarakat lingkungan. Oleh karena itu, dalam masa pembangunan dengan situasi perempuan yang lebih banyak dari segi jumlahnya
14
baik di pedesaan maupun di perkotaan hendaknya pembuat kebijaksanaan mengenai pembangunan harus lebih jeli lagi memikirkan bagaimana seharusnya memanfaatkan potensi perempuan supaya kaum perempuan tidak tersudutkan ke hal-hal yang kurang bernilai atau tidak bernilai sama sekali.
15
DAFTAR PUSTAKA
Boserup, Ester., Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1984. Schoorl, J.W., Modernisasi, Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1984. Susanto, Phil Astrid., Sosiologi Pembanguan, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1984. Prisma, Oktober 1975, Juli 1981.
16
EMANSIPASI DAN PERAN GANDA WANITA DI INDONESIA (Suatu Tinjauan Sosio-Kultural)
I.
Pendahuluan Pada dasarnya Allah menciptakan manusia di muka bumi ini terdiri atas kaum pria dan kaum wanita. Mereka menduduki martabat yang sama, sama-sama mempunyai tanggung jawab, walaupun ada segi-segi perbedaannya. Perbedaan tersebut hanyalah pada bentuk tubuhnya, kehalusan perangai dan kecenderungan jiwanya dalam mewujudkan keharmonisan dan semaraknya kehidupan ini. Kaum wanita mempunyai tanggung jawan yang tidak dapat diwakili oleh kaum pria yang merupakan tanggung jawab kodrati. Sedangkan wanita mampu mewakili tugas-tugas kaum pria dalam
17
hal-hal tertentu. Oleh sebab itu, seharusnyalah sebagai wanita merasa bangga dan harus mampu menjaga dirinya sehingga tetap mempunyai posisi yang terhormat. Kaum wanita sebagai layaknya manusia mempunyai masalah-masalah khusus. Allah telah menetapkan
bawah
wanita
adalah
sebagai
pendamping kaum pria dalam menerima tugas khilafah
di
muka
bumi
ini.
Dalam
rangka
memakmurkan bumi, wanita memegang peranan penting, baik sebagai perantara lahirnya generasi baru maupun terbinanya cita moral yang tinggi. Karena wanita dikodratkan secara biologis mempunyai bentuk dan susunan tubuh yang sedemikian rupa sehingga kelahiran dapat diharapkan dari padanya. Perasaan wanita cukup tajam dan halus sesuai dengan halusnya kulit tubuh mereka. Mengenai hal ini, Al-Khaliq mempunyai maksud yaitu melalui perasaannya
yang
halus
ini,
wanita
bertugas
membimbing calon manusia yang masih suci bersih
18
agar menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab dan berbudi. Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai pedoman bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan menggariskan keadaan wanita antara lain; “Wanita baik sebagai warga Negara maupun sebagai sumber daya insan pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang. Pembinaan peranan wanita sebagai mitra sejajar pria ditujukan untuk meningkatkan peran aktif dalam kegiatan
pembangunan
termasuk
pengembangan
anak, remaja dan pemuda dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Kedudukan wanita dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam
pembangunan
perlu
dipelihara
dan
ditingkatkan sehingga dapat memberikan sumbangan yang sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa dan memperhatikan kodrat serta harkat dan martabatnya sebagai seorang wanita”.
19
Dalam kaitannya dengan persamaan hal antara wanita dan pria, peran yang diharapkan dari kaum wanita adalah bersikap rangkap di mana wanita diharapkan untuk hidup dalam dua dunia yang saling terkait dalam kehidupannya. Di satu dunia, dia harus hidup dalam suatu lingkungan keluarga di mana dia harus berperan sebagai agen sosialisasi dan pendidik bagi anak-anaknya, mengerjakan berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan kelangsungan rumah tangganya dan mendampingi suami. Di dunia yang lain sebagai mitra sejajar dari suami, wanita dituntut untuk dapat berdiri sejajar dengan pria di mana dia harus mampu menghasilakn sesuatu untuk dirinya sendiri atau untuk membantu keluarganya dan mampu melakukan
pekerjaan
yang
sesuai
dengan
kewajibannya. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa peran
ganda
wanita
sangat
didambakan
keberadaannya dalam kehidupan mengingat kondisi dan
situasi
yang
ada
sekarang
memungkinkan, baik pria maupun
20
ini
tidak
wanita untuk
masing-masing menjalankan peran klasik mereka secara terpisah-pisah. Faktor pembagian waktu yang sesuai dengan kebutuhan merupakan faktor kunci yang juga dituntut. Pada kenyataannya, karir wanita dijadikan
alasan
untuk
tidak
menyeimbangkan
pembagian waktu antara karir dan keluarganya. Dengan pembagian waktu yang baik, wanita akan dapat memenuhi dua kewajibannya sekaligus dalam menjalankan peran ganda, dalam dua dunia di mana mereka hidup. Walaupun pada umumnya wanita telah berusaha sedapat mungkin menyelaraskan dua dunia tadi tetapi masih saja ditemukan suara sumbang yang perlu diluruskan. Orang-orang yang bijaksana bukan memperbincangkan perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita baik masalah perbedaan asasi fisik maupun psikis atau perbedaan-perbedaan lainnya tetapi justru mencoba memahami apa hikmah dari perbedaan-perbedaan yang ada itu. Seperti sabda Nabi Muhammad S.A.W
Junjungan Kita, “Tidak akan
mampu memuliakan kaum wanita kecuali orang yang
21
mulia. Dan tidak sampia hati menghinakan kaum wanita kecuali mereka orang yang hida”. Sehubungan dengan sabda Nabi ini, ada hadist yang mengungkapkan tentang wanita yang berbunyi sebagai berikut, “Wanita adalah laksana tiang Negara, manakala wanita baik akhlaknya, maka baik pulalah negaranya. Tetapi manakala wanita jelek akhlaknya, maka negera pun rusaklah”. Menurut penulis hikmah ini pun tidak mungkin dapat terealisir apabila kaum pria pun
tidak turut mendukung dan menunjang
keberadaan kaum wanita lebih-lebih pada masa pembangunan sekarang. II. Emansipasi di Berbagai Negara Maju Emansipasi berasal dari kata majemuk bahasa latin EMANCIPATIO (Prefix Ex yang berarti keluar, mengeluarkan dari, dan substansif mancipatio yang berarti kekuasaan atau pemilikan). Pada mulanya kata ini di artikan sebagai pemberian dan perebutan
persamaan
di
hadapan
hukum
dan
persamaan dalam hidup sosial oleh kelompok atau
22
lapisan masyarakat yang belum memiliki hak yang sama seperti yang lainnya. Dalam hubungannya dengan pergerakan wanita, emansipasi diartikan sebagai usaha kaum wanita untuk memperoleh persamaan hak dan kebebasan seperti kaum pria. Melalui
gerakan
emansipasi
diharapkan
dapat
diperoleh persamaan hak dan kesempatan misalnya dalam memperoleh pendidikan, kesempatan kerja di sektor formal, kesempatan berpartisipasi dalam organisasi
sosial,
politik,
pemerintahan,
jauh
berbeda
dengan
dan
sebagainya. Tidak
emansipasi
lainnya, emansipasi wanita muncul dalam suatu kelompok sosial yang merasa tertindas dan tertekan oleh suatu dominasi. Oleh sebab itu, mereka berusaha keluar dari ketidakberdayaan untuk sedapat mungkin memperoleh pengakuan persamaan hak. Dengan demikian, emansipasi adalah proses pembebasan untuk memperoleh kebebasan diri sehingga tidak
23
dikuasai oleh pihak lain dan setelah itu selanjutnya meraih keadaan dalam persamaan. Gelombang emansipasi pada waktu-waktu yang lampau dan bahkan sampai sekarang masih melanda
masyarakat
masyarakat
manusia
wanitanya.
Di
tak
Prancis
luput
pula
gelombang
emansipasi mulai muncul pada tahun 1791, tidak lama sesudah revolusi Prancis. Gerakan emansipasi wanita di
Prancis menuntut persamaan hak dengan kaum
pria dalam kehidupan sebagai warga Negara dalam wujud Deklarasi Hak-Hak Kaum Wanita dan para warga Negara. Persamaan hak ini mencakup masalah kebebasan, harta milik, keamanan dan hak-hak untuk melawan penindasan. Gema perjuangan ini berlanjut sampai sekitar tahun 1830 dengan diperkenankannya calon ibu guru mengikuti ujian Negara karena kurangnya
tenaga
pengajar
akibat
munculnya
kebutuhan yang hebat akan pendidikan. Selanjutnya pada tahun 1878 mulai diperjuangkan berbagai jabatan dan pekerjaan supaya lebih terbuka bagi kaum
24
wanita. Memang tidak dapat disangkal semboyan Revolusi Prancis liberte, egalite dan fraternite mempunyai pengaruh juga terhadap gerakan-gerakan emansipasi yang tumbuh di Prancis termasuk juga gerakan emansipasi wanitanya. Di Inggris juga ada gerakan emansipasi wanita walaupun tujuannya tidak persis sama dengan tujuan dari gerakan emansipasi wanita Prancis. Tuntutan yang diajukan oleh kaum wanita Inggris adalah dalam bidang sosial politik yaitu perjuangan kaum wanita untuk memperoleh hak pilih yang sama dengan kaum pria. Sebagai hasilnya baru tahun 1918 di Inggris para wanita yang berumur di atas 30 tahun memperoleh hak pilih. Perjuangan ini baru tercapai dengan tuntas pada tahun 1928 yaitu diperolehnya hak pilih bagi semua wanita Inggris dengan persyaratan yang sama dengan kaum pria Inggris. Di Amerika Serikat juga ada gerakan emansipasi wanita di mana secara umum tuntutan mereka lebih diarahkan pada hal untuk mendapatkan
25
perlakukan dan kesempatan terutama di pasar tenaga kerja yang pada waktu yang cukup lama menjadi dominasi kaum pria. Di Jerman pun ada gerakan emansipasi wanita yang
timbul
dikarenakan
adanya
berbagai
ketidakasamaan dan hambatan-hambatan bagi kaum wanita walaupun menurut hukum mereka telah mempunyai hak yang sama dengan kaum pria. Menyimak uraian di atas, nampak bahwa emansipasi sebagai suatu proses pembebasan memuat dua aspek yang terdiri atas : 1. Segi
individual,
yaitu
sesuatu
yang
harus
dikerjakan sendiri, misalnya menyadarkan diri sendiri sebagai kaum tertindas. 2. Segi Sosial, yaitu sesuatu yang dikerjakan bersama dengan orang lain yang punya pengalaman yang sama untuk berjuang memperoleh hak yang sama. ( A. Hendra Santosa P. dalam Majalah Driyarkara No. 4 Tahun XVII halaman 8 ).
26
Dari uraian di atas jelas nampak ada yang sebenarnya
menjadi
tujuan
gerakan
emansipasi
wanita. Secara umum diartikan sebagai pengertian pembahasan dan persamaan. Di satu pihak berusaha bebas dari berbagai penguasaan atau penindasan kaum dominan, di pihak yang lain berjuang memperoleh persamaan hak dengan golongan yang dominan. Pembebasan yang menjadi tujuan emansipasi ini tidak terbatas pada satu aspek saja misalnya hanya sosial – politik tetapi dapat pembebasan dalam berbagai hal. Namun yang jelas gerakan emansipasi wanita seara umum masih menggunakan tolok ukur kaum pria sebagai golongan yang menindas dan menciptakan ketidakadilan terhadap kaum wanita. Di Indonesia Kata emansipasi bagi masyarakat Indonesia pada saat ini sudah bukan merupakan suatu istilah yang baru malahan bukan lagi merupakan tujuan yang ingin dicapai. Dimulai pada jamannya Ibu R. A. Kartini, istilah ini sudah dikenal oleh beberapa
27
kalangan masyarakat. Apabila kita mengacu pada pengertian dari emansipasi secara umum nampaknya apa yang telah dilakukan oleh ibu kita R. A. Kartini merupakan cikal – bakal gerakan emansipasi wanita Indonesia. Ibu R. A. Kartini menulis surat-suratnya kepada
teman-temannya
bangsa
Belanda
juga
mengemukakan tuntutan-tuntutannya antara lain; tuntutan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam politik, tuntutan terhadap keberlakuan adat istiadat yang membelenggu wanita misalnya dalam hal perkawinan dan dalam lapangan pekerjaan, tuntutan untuk terselenggaranya sistem demokrasi yang menjauhkan diskriminasi yang ditimbulkan oleh feodalisme ( Suryochondro, 1984 : 75 ). Pemikiran dan gagasan ibu R. A. Kartini tentang gejala-gejala sosial yang muncul pada jamannya, mampu membukakan mata dunia lain yang terpencil pada waktu itu, ada suatu bangsa yang tengah
bergelut
dengan
28
masalah
diskriminasi.
Diskriminasi dalam hal terjajahnya hak-hak dasar bangsa oleh bangsa lain, adanya jurang menganga antara lapisan masyarakat bangsawan dengan rakyat dan masalah persamaan hak antara pria dan wanita. Jamannya Ibu R. A. Kartini telah lama berlalu, beberapa
tuntutan
beliau
pada
saat
ini
telah
terwujudkan malah ada yang sudah dituangkan dalam kebijakan
pemerintah
seara
normatif.
Namun
demikian, masih ada hal-hal yang belum terlaksana seperti apa yang telah digariskan. Selain itu juga emansipasi yang telah dilancarkan oleh wanita Indonesia tidak persis sama dengan yang dilancarkan oleh
wanita
di
dunia
barat.
Terbukti
bahwa
masyarakat kita masih tetap menjunjung tinggi keberadaan kodrat, harkat dan martabat wanita yang nampaknya pada masyarakat barat sudah diabaikan. Misalnya Utta Wickert, dalam tulisannya, “Gerakan Emansipasi Wanita di Jerman Barat”, membeberkan tuntutan-tuntutan gerakan emansipasi wanita di Jerman Barat sehubungan dengan fungsi wanita
29
sebagai istri dalam keluarga. Tuntutan-tuntutan mereka antara lain; agar adanya pembebasan dari beban dan tugas yang menyebabkan terpencilnya wanita sebagai ibu rumah tangga dari pergaulan dan persamaan tugas serta kewajiban sebagai pasangan suami–istri (Prisma, Oktober 1975 No. 5 Halaman 5361). Bagi Indonesia, emansipasi wanita yang sebenarnya itu sama sekali bukan anti laki-laki, sebaliknya justru emansipasi wanita itu mengajak kaum laki-laki untuk menciptakan suatu masyakarat yang lebih egaliter, yang lebih baik dan lebih adil ( Surya Kusuma Dalam Primsa No. 7, Juli 1981 Tahun ke X, Halaman 13 ). Tidak disadari oleh banyak orang bahwa emansipasi wanita seperti yang dikemukakan oleh Ibu R. A. Kartini sebenarnya juga emansipasi bagi kaum laki-laki.
30
III. Peran Ganda Wanita Pandanga klasik mengenai pembagian peran dalam keluarga menggariskan bahwa pria sebagai suami berperan di luar rumah tangga mencari nafkah bagi kehidupan keluarga (Publik Sphere), sedangkan wanita sebagai istri berperan dalam rumah tangga melakukan pekerjaan rumah tangga (Domesticc Sphere). Hal ini diatur sedemikian rupa supaya tidak terjadi persaingan di antara keduanya, ini pendapat penganut structural fungsionalisme. (Budiman, 1985: 16). Dari pengalaman sejarah negara-negara maju, diperoleh
gambaran
bahwa
industrialisasi
telah
membawa perubahan besar dalam kegiatan ekonomi wanita. Sehubungan dengan gaya perekonomian baru itu, di samping faktor-faktor lain seperti pendidikan, keasempatan untuk bekerja bagi wanita di luar rumah tangga
semakin
terbuka.
Terjadilah
perubahan
struktur sosial yang memberi bentuk baru bagi peran wanita di negara-negara maju yaitu dalam keluarga
31
dan di masyarakat yang terkenal dengan istilah peran ganda. Di Indonesia masalah peran ganda wanita telah jelas dibeberkan sejak ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang GBHN mengenai peranan wanita dalam pembangunan dan pembinaan bangsa. Selain itu, dapat juga ditelusuri dalam konsep tentang Panca Tugas Wanita dalam keluarga dan masyarakat yang perinciannya sebagai berikut : 1. Sebagai istri, supaya dapat mendampingi suami sebagai kekasih dan sahabat untuk bersama-sama membina keluarga yang bahagia. 2. Sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda, supaya
anak-anak
maupun
jasmani
dibekali dalam
kekuatan
rohani
menghadapi
segala
tantangan jaman dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. 3. Sebagai ibu pengatur rumah tangga, supaya rumah tangga merupakan tempat yang aman dan teratur bagi seluruh anggota keluarga.
32
4. Sebagai tenaga kerja dan dalam profesi, bekerja di pemerintahan, perusahaan swasta, dunia politik, berwiraswasta dan sebagainya untuk menambah penghasilan keluarga. 5. Sebagai anggota organisasi masyarakat terutama organisasi
wanita,
sebagainya
untuk
badan-badan
sosial
dan
menyumbangkan tenaganya
kepada masyarakat (Suwondo, 1981: 267). Kelima tugas utama yang dibebankan kepada wanita Indonesia ini tidak akan dapat terlaksana dengan baik apabila tidak dikembangkan pula konsep kemitraan sejajar antara pria dan wanita di kalangan amsyarakat kita. IV. Dampak Peran Ganda di Negara Barat Will Durant, dalam bukunya berjudul, “The Pleasure Philosophy”, menggambarkan dampak yang diakibatkan oleh adanya tuntutan persamaan dan peran ganda wanita di negera-negara barat. Dampak yang terjadi adalah perbuatan yang sewenang-wenang dari para pengusaha terhadap wanita dan juga anak-
33
anak yang bekerja pada pabrik-pabrik sehingga mereka merasa lebih baik kembali saja ke dalam rumah tangga dari pada bekerja di luar rumah tangga. Apalagi akhirnya wanita-wanita itu dipakai untuk mempublikasikan produk-produk yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik di mana cara menampilkan wanita di sini dengan mengekspose kecantikan atau pun organ tubuh mereka. Oleh sebab itu, Durant mengatakan bahwa orang-orang yang mencoba dalam menghancurkan rumah tangga itu adalah para pengusaha (Mustafa, 1991: 24). V. Penutup Secara keseluruhan, bentuk-bentuk persamaan hak di antara wanita dan pria seharusnya terjadi mengingat kenyataan bahwa perbedaan fisik di antara keduanya menunjukkan masing-masing kelebihan dan kekurangannya sehingga untuk dapat mencapai kondisi yang optimal diperlukan kerjasama dan hubungan saling mendukung.
34
Masuknya pendapat mengenai kodrat wanita yang seharusnya melaksanakan dua fungsi dalam kehidupannya, yaitu sebagai partner kehidupan pria dan sebagai mediator sosialisasi bagi anak-anaknya, menimbulkan
pendapat
bahwa
dukungan
dan
kerjasama di antara pria dan wanita sudah seharusnya dilakukan dengan tetap memperhatikan bahwa wanita harus bisa membagi waktu dan perannya sesuai dengan kodrat tersebut di atas. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk persamaan hak yang dimaksudkan sebenarnya masih terkait dengan kondisi norma masyarakat yang tetap menuntut wanita untuk hidup dalam dua dunia dan bahwa persamaan itu sendiri sudah seharusnya diwujudkan oleh wanita sendiri yang mampu membagi waktu dan perannya sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
35
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief., Pembagian Kerja Secara Seksual, Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1985. Ismanto Jumari., Peranan Wanbita dalam Pembangunan Bangsa Menurut Islam, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1982. Mukmin, Hidayat., Beberapa Aspek Perjuangan Wanita di Indonesia, Penerbit Bina Cipta, Bandung 1980. Mustafa, Ibnu., Wanita Islam Menjelang Tahun 2000, Penerbit Al Bayan, Bandung, 1991. Suryochondro, Sukanti., Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, Penerbit CV Rajawali, Jakarta, 1984. Suwondo, Nani., Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
36
PEREMPUAN SEBAGAI MITRA SEJAJAR LAKI-LAKI DALAM KONDISI DAN NILAI-NILAI DI INDONESIA
I.
Pendahuluan Kaum perempuan seara biologis mempunyai ciri-ciri tersendiri yang membagi kelompok manusia menjadi dua jenis, sehingga masing-masing jenis tersebut yaitu laki-laki dan perempuan dibedakan. Sebab apabila tidak demikian pasti Allah menciptakan manusia hanya satu jenis saja, apakah itu perempuan ataukah laki-laki atau yang lain lagi. Namun demikian di
samping
memiliki
perbedaan
nilai,
selama
kelompok tersebut meliputi keduanya mereka pun memiliki kebersamaan karakteristik umum yang tidak dapat dibedakan secara tegas. Allah Yang Maha Arif ketika membagi manusia menjadi dua jenis, Dia
37
mengisyaratkan keduanya memiliki kebersamaan karakteristik di dalam spesifikasinya, sifat-sifatnya, dan kebutruhan-kebutuhannya. Bagi siapa pun yang mengklasifikasikan laki-laki dan perempuan hanya sekedar
pesona
semata
dari
kelompok
tanpa
pemisahannya, atau memencilkan laki-laki dari perempuan dalam kekhususan dan kebutuhan secara mutlak, tanpa memperhatikan adanya kebersamaan karakteristik di antara keduanya, maka dia berarti telah menggeser konsepsi Tuhan. Pada hakekatnya, kita harus menerima secara penuh dan utuh konsep Allah yang mempersatukan laki-laki dan perempuan di dalam golongan, serta memisahkan keduanya ke dalam jenisnya masing-masing. Ciri-ciri kebersamaan ini meliputi dua hal yaitu kehormatan manusia dan asal usul penciptaannya. Seara perbedaan
normatif, antara
tidak
laki-laki
dikenal
dengan
adanya
perempuan.
Kenyataan sehari-hari menunjukkan baik di sektor publik maupun di sektor domestik menunjukkan
38
bahwa perempuan diperbedakan dengan laki-laki dalam banyak hal di luar kodratnya. Perempuan sering tidak
memperoleh
manfaat
yang
sama
dalam
kesempatan, sumber daya pembangunan maupun hasil-hasil pembangunan. Pengamatan secara dekat menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh karena kelompok laki-laki dan kelompok perempuan seccara fundamental terstruktur beda, di mana perempuan berada pada tingkatan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. II. Konsep Mitra Sejajar Dan Ruang Lingkupnya Istilah mitra sejajar menurut Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1993, tersusun dalam rangkaian ungkapan sebegai berikut: Pembinaan peranan wanita sebagai
mitra
meningkatkan
sejajar peran
pria aktif
ditujukan dalam
untuk kegiatan
pembangunan, termasuk upaya mewujudkan keluarga sehat sejahtera dan bahagia.
39
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa kemitraan-sejajaran itu dituntut tidak saja dalam lingkup publik tetapi juga pada lingkup domestik. Pada mulanya, istilah kemitraan-sejajaran berasal dari kata equal–patners dalam Deklarasi United Nations Decade for Women ( 1975 – 1985 ) yang tujuan utamanya adalah The Integration and Participation of Women in Development as Equal – Partners. Ketidak sejajaran (in equalities) antara lakilaki dan perempuan sudah didiskusikan sejak tahun 1970-an, di mana sampai tahun 1990 di berbagai negara masih ditemukan kondisi ketidak sejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya masalah ketidak sejajaran bukannya hanya masalah bagi bangsa Indonesia saja tetapi juga merupakan masalah dunia. Sebagai kelanjutan dari Dasawarsa Wanita PBB, equality tetap menjadi salah satu perhatian utama, yang tertuang dalam Forward
40
Looking by Strategies for The Advencement of Woman. Komisi Status Wanita dari PBB sampai tahun 1996 memberikan perhatian khusus pada masalah equality di mana urutan perhatian khususnya sebagai berikut: 1. Tahun 1992; perhatian khususnya pada masalah penghapusan diskriminasi terhadap wanita. 2. Tahun 1993; perhatian khususnya pada masalah peningkatan kesadaran wanita pada hak dan kesadaran hukum. 3. Tahun 1994; perhatian khususnya pada masalah upah yang sama untuk kerja yang bernilai sama, kerja di sektor informal. 4. Tahun 1995: perhatian khususnya pada masalah equality dalam pengambilan keputusan ekonomi. 5. Tahun 1996; perhatian khususnya pada masalah penghapusan stereotipi wanita dalam media massa. ( Wijaya, 1993). Tidak adanya kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, menempatkan perempuan pada kondisi
41
ketidak beruntungan dan ketidak adilan. Dalam masa pembangunan banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan mengalami hal-hal yang merugikan misalnya: 1. Perempuan itu terabaikan; 2. Tidak diajak berpartisipasi; 3. Tergusur oleh teknologi; 4. Mengalami marjinalisasi; 5. Belum memperoleh perlindungan sosial; 6. Belum memperoleh hak sesuai dengan hukum yang berlaku; 7. Mendapatkan beban kerja yang berkelebihan. III. Kemitraan dan Kejajaran di Indonesia Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa, UUD RI 1945 sebagai landasan konstitusional
dan
GBHN
sebagai
landasan
operasional, menempatkan perempuan pada keluhuran harkat dan martabatnya baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai warga negara dan
sumber
daya
insan
42
pembangunan
yang
mempunyai hak dan kewajiban, tanggung jawab, peranan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berperan di segala bidang kehidupan dan segenap
kegiatan
pembangunan.
Pembangunan
nasional merupakan suatu upaya untuk merubah keadaan sebagaimana adanya (kondisi obyektif– empiris) menuju keadaan yang dipandang lebih baik seperti yang dicita-citakan (kondisi normatif). GBHN sebagai acuan pembangunan nasional memusatkan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan di dalam seluruh kegiatan pembangunannya. Ditinjau dari falsafah dan pandangan hidup bangsa,
landasan
konstitusional
dan
landasan
operasional, secar normatif memang di negara kita tidak dikenal dengan adanya perbedaan antara lakilaki dan perempuan secara sosial. Kemitraan dan kesejajaran dalam masyarakat kita pada kondisi pembangunan ini dapat terjadi pada lingkup domestik maupun lingkup publik. Namun apakah hal ini seara operasional
dapat
terlaksana
43
seperti
apa
yang
diharapkan. Semua ini tergantung dari para pelaku kemitraan dan kesejajaran itu sendiri. IV. Kemitraan
dan
Kesejajaran
dalam Lingkup
Domestik Lingkup domestik dalam hal ini diartikan dengan keluarga, yang lebih spesifik lagi keluarga inti yaitu keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anakanak yang belum menikah. Dalam hubungan antara bapak, ibu dan anak-anak terdapat hubungan sebagai berikut : 1.
Antara suami – istri;
2.
Antara orang tua – anak;
3.
Antara anak laki-laki – anak perempuan. Dapat
diartikan
bahwa
kemitraan
dan
kesejajaran suami istri yaitu di mana keduanya berada pada
status
yang sama.
Misalnya
dalam
hal
pengambilan keputusan dalam hal kerumah tanggaan, keduanya dalam status tawar menawar yang setara sama bobotnya. Status yang sama membawa harkat dan martabat kemanusiaan yang sama pula. Keduanya
44
akan saling menghargai,
saling tolong,
saling
menunjang, saling mengisi kekurangan masingmasing, saling membagi rasa, membagi nasib. Tidak ada lagi hubungan-hubungan yang tidak seimbang seperti : 1.
Istri mengabdi sedangkan suami diabdi;
2.
Istri melayani sedangkan suami dilayani;
3.
Suami penguasa sedangkan istri pelaksana;
4.
Suami mandiri sedangkan istri tergantung;
5.
Suami dipertuan sedangkan istri mempertuan. Sedangkan kemitraan dan sejajaran antara
orang tua dan anak dapat berbentuk bahwa orang tua tidak selalu melaksanakan kehendaknya pada anak tetapi anak juga mempunyai kesempatan untuk mengemukakan kehendaknya dalam hal-hal tertentu. Kemitraan dan kesejajaran antara anak-anak laki-laki dengan anak perempuan yaitu tidak ada lagi hak-hak istimewah yang harus diberikan pada anak-anak lakilaki, atau pun tuntutan-tuntutan tugas-tugas pelayanan dan kerja rumah tangga hanya pada anak-anak
45
perempuan sementara superioritas anak-anak laki-laki dan inferioritas anak perempuan tidak selayaknya lagi disosialisasikan. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama bagi keduanya merupakan salah satu visi, dengan kata lain, konstruksi sosial yang membedakan anak-anak laki-laki dengan anak-anak perempuan tidak lagi disosialisasikan. Sementara itu ditanamkan nilai-nilai di mana anak-anak laki-laki tidak lagi memandang rendah saudara perempuannya atau pun melecehkan pekerjaan rumah tangga yang dianggap tugas-tugas anak perempuan semata-mata. V. Kemitraan
dan
Kesejajaran
dalam Lingkup
Publik Apabila kemitraan dan sejajaran di artikan sebagai persamaan derajad, persamaan status antara laki-laki dan perempuan maka akan dapat divisikan bahawa keduanya berada pada posisi tawar menawar yang sama, dua-duanya berhak berada pada posisi pengambil keputusan, keduanya memperoleh berbagai
46
kesempatan untuk beraktualisasi, memperoleh akses pada sumber daya dan pula menikmati berbagai hasil termasuk hasil-hasil pembangunan. Memperlakukan perempuan sebagai mitra sejajar adalah sangat manusiawi, suatu sikap perikemanusiaan yang adil dan beradab. Kedudukan yang sejajar sebagai partner yang
memungkinkan
persamaan
laki-laki
dan
perempuan akan mewujudkan keadaan di mana sebagai warga negara partisipasinya dalam kehidupan publik tidak dibatasi oleh perantara gender. Namun demikian, perbaikan status perempuan dari tidak sejajar menjadi sejajar membutuhkan perubahan sikap dan peranan baik pada laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu, perlu dikaji apa yang menjadi penyebab ketidaksejajaran dalam berbagai
bentuknya
apakah
itu
pelecehan,
perendahan, subordinasi, eksploitasi, tindak kekerasan dan lain sebagainya. Karena inequality terhadap perempuan adalah merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia
47
seperti yang tertuang dalam Convention on the Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women. Indonesia merativikasi konvensi ini pada tahun 1984. Pada dasarnya konvensi ini menuntut keadilan sosial bagi semua orang baik laki-laki maupun perempuan. VI. Penutup Tidak dapat disangkal bahwa sedikit banyak memang ada pengaruh dunia internasional dalam kemintraan dan kesejajaran di Indonesia karena tanpa kemitraan dan kesejajaran sulit terwujud partisipasi perempuan sepenuhnya dalam pembangunan, dan juga status perempuan sulit ditingkatkan. Upaya operasionalisasi konsep kemitraan dan kesejajaran sertra penjabarannya dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari dalam institusi sosial dan dalam sistem pemerintahan perlu segera diwujudkan. Penyadaran tentang kemitraan dan kesejajaran kepada semua penduduk dari berbagai lapisan perlu segera dilakukan.
48
DAFTAR PUSTAKA
Boserup, Ester., Peranan Wanita Dalam Pembangunan Ekonomi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1984. Budiman, Arief., Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat. Jakarta : Penerbit Gramedia, 1985. Garis-Garis Besar Haluan Negara, 1978. Garis-Garis Besar Haluan Negara, 1983. Garis-Garis Besar Haluan Negara, 1988. Sutjipto, Prasetyo Huriati., Kendala Struktural dan Kultural Untuk Mewujudkan Kemitraan Perempuan dan Laki-Laki Dalam Warta Stdui Perempuan (hlm. 3). Jakarta : Yayasan Pengembangan Studi Perempuan, 1993. Vianello, Mino & Reneka Siemenska., Gender Inegrality. Lodon : Sage Studies in Interaktional Sociology, 1990.
49
PEREMPUAN DAN PELESTARIAN NILAI SOSIAL BUDAYA ( Ideal dan Kenyataan )
IV. Pendahuluan Indonesia adalah satu negara yang pluralistik ditinjau dari segi etnik.
Masing-masing
etnik
memiliki nilai sosial – budaya yang khusus (sub kultur ) di samping nilai sosial budaya yang berlaku umum sebagai suatu bangsa (super kultur) dalam mengatur perilaku para anggota kelompoknya yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki seyogyanya berbeda dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh perempuan. Demikian juga dalam hal dampak yang
50
ditimbulkan oleh keberlakuan nilai sosial yang khusus dan umum tadi. Perempuan sebagai warga negara maupun sebagai
anggota
dari
suatu
kelompok
etnik
mempunyai peranan dan kewajiban tertentu dalam melangsungkan maupun
kehidupan
bangsanya.
kelompok
Malahan
pada
etniknya umumnya
perempuan diharapkan menjadi tokoh utama dalam melestraikan kelangsungan hidup kelompok etnik dan bangsanya. Namun kenyataan menunjukkan tidak selamanya tokok utama ini mendapatkan ganjaran utama pula dalam melaksanakan peranannya. Disatu sisi dia disanjung, tetapi pada sisi lainnya dia mengalami hal-hal yang tidak selayaknya terjadi, lebih-lebih ketika kelompok etnik dan bangsanya mengalami
gejolak-gejolak.
Hal-hal
yang
menguntungkan dan merugikan ini terjadi baik pada tingkat kelompok etnik, lebih-lebih pada tingkat masyarakat pada umumnya.
51
V. Perempuan, Ideal dan Kenyataan Nilai sosial budaya adalah hasil rekayasa manusia sebagai suatu masyarakat. Manusia terdiri atas laki-laki dan perempuan. Siapa yang paling berwenang menentukan dan mengarahkan hasil rekayasa tersebut ? Pada masa lalu, laki-lakilah sebagai penentu segala-galanya karena ada nilai yang melegitimasi hal tersebut, nilai yang melegitimasi wewenang laki-laki itu dikenal sebagai nilai Patriarki yang telah mendarah daging sampai sekarang di kalangan masyarakat baik di dunia barat, lebih-lebih di dunia timur. Di samping itu masyarakat juga telah diperkenalkan pada suatu model
pembagian
peran
antara
laki-laki
dan
perempuan. Model pembagian peran ini pun telah dilegitimasi melalui nilai-nilai sosial – budaya yang dianut masyarakat. Pembagian peran ini antara lain: 1. Laki-laki berkiprah di lingkup publik di luar rumah, antara lain peranannya mencari nafkah, yang akhirnya melalui peranannya ini mereka
52
mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri, kariernya dan sebagainya. 2. Perempuan berkiprah dilingkup domestik di dalam rumah tangga melakukan pekerjaan rumah tangga, yang tidak menghasilkan pendapatan yang nyata dan tidak mengenal jenjang karir. Laki-laki dan perempuan dibagi peranannya seperti itu antara lain melalui atau berlandaskan nilai “kodrat” mereka. Laki-laki melalui kodrat (mencari nafkah
=
sementara
kodrat
?),
perempuan
mendapatkan hanya
“martabat”
bergelut
dengan
kodratnya saja. Tetapi situasi dan kondisi ini harus dipertahankan demi tidak menimbulkan persaingan di antara mereka, demi keteraturan sosial. Memang kenyataan telah menunjukkan situasi dan kondisi serupa di atas ini dapat berlangsung dengan aman dan tertib, ketika keluarga yang menjadi inti dari masyarakat berada dalam keadaan stabil tidak goyah karena hal-hal yang berasal dari dalam maupun dari
53
luar lembaga itu sendiri. Tetapi bagaimana kalau ada “Perubahan” yang mengintervensi lembaga tersebut ? 1. Perempuan Idola Keluarga dan Masyarakat Kata idola menunjukkan sesuatu yang diidamidamkan, sesuatu yang diharapkan. Bentuk nyata dari idola ini ditunjukkan dengan memberikan “label” pada sesuatu yang diidam-idamkan itu. Bayi perempuan, dia diharapkan menjadi bayi yang manis, lucu dan tidak rewel. Ketika menginjak gadis remaja dia diharapkan akan menjadi teman setia ibunya dalam melakukan pekerjaan rumah tangga dan ketika sudah menikah, menjadi perempuan dewasa, dia diharapkan dapat melakukan/memenuhi berbagai harapan keluarga dan masyarakatnya. Harapan-harapan terhadap perempuan sebagai pelestarian nilai sosial – budaya dicetuskan melalui simbol-simbol dan konsep-konsep yang diberikan kepada mereka. Misalnya untuk memberikan peranan dan tanggung jawab dalam keluarga dan masyarakat
54
dicetuskan apa yang disebut sebagai “Panca Tugas Perempuan”. a. Sebagai istri, supaya dapat mendampingi suami sebagai kekasih dan sahabat untuk bersama-sama membina keluarga yang bahagia. b. Sebagai ibu, pendidik, dan pembina generasi muda, supaya anak dibekali kekuatan rohani maupun jasmani dalam menghadapi segala tantangan zaman, dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. c. Sebagai ibu mengatur rumah tangga, supaya rumah tangga merupakan tempat yang aman dan teratur bagi seluruh anggota keluarganya. d. Sebagai tenaga kerja dan profesi, bekerja di pemerintahan, perusahaan swasta, dunia politik, berwiraswasta, dan sebagainya untuk menambah penghasilan keluarga. e. Sebagai anggota organisasi masyarakat, terutama organisasi
wanita,
badan-badan
55
sosial
dan
sebagainya, untuk menyumbangkan tenaganya kepada masyarakat (Suwondo, 1981: 267). Konsep lainnya yang secara umum digunakan untuk
menunjukkan
peran
perempuan
dalam
pelestarian nilai-nilai sosial budaya adalah perempuan sebagai ibu merupakan “Pendidik Pertama dan Utama” dari anak-anaknya, anak-anak merupakan generasi penerus dari suatu kelompok dan bangsa. Mengapa perempuan dilabelkan sebagai “Pendidikan Pertama dan Utama ? Karena melalui perempuan/ibu, seorang anak yang baru lahir diharapkan menerima kehidupan nselanjutnya. Dari perempuan/ibu anakanak mengenal dan mengetahui norma dan nilai yang berlaku pada kelompok dan masyarakatnya. Dari perempuan/ibu seorang anak mengenal dunia luarnya dan melalui perempuan/ibu seorang anak dapat bertahan hidup di kancah dunia yang selalu berubahubah. Label lainnya pula yang selalu tempelkan kepada kaum perempuan secara umum adalah “Ratu
56
Rumah Tangga atau Ibu Rumah Tangga”. Kata Ratu atau Ibu seyogyanya menunjukkan status yang relatif tinggi, tetapi hanya pada lingkup rumah tangga. Kata rumah tangga dikaitkan dengan jenis kerja yang dapat dilakukan adalah kerja reproduksi. Kerja reproduksi diartikan sebagai kerja pengasuhan anak, pendidikan, sosialisasi, penyiapan dan pengadaan makanan, membersihkan rumah, mengurus anggota keluarga yang sakit. Kegiatan-kegiatan yang terbeberkan dalam kerja reproduksi perempuan menunjukkan andil perempuan untuk keberlanjutan hidup kelompok dan bangsanya dan nampaknya bukan suatu tugas yang ringan pula tetapi hal itu dari generasi ke generasi telah dipikul, dilakukan oleh perempuan dan itulah yang diharapkan oleh keluarga, kelompok dan bangsanya. Ungkapan lainnya pula yang menunjukkan betapa pentingnya seorang perempuan / ibu terutama bagi anak-anaknya yaitu “Surga di bawah telapak kaki ibu”.
Seyogyanya
ungkapan
57
ini
menunjukkan
penghormatan
tentang
betapa
pentingnya
restu
seorang ibu bagi bakti anaknya (Nelwan dalam Arimbi, dkk, 1998: 95). Seperti telah dikemukakan terdahulu, bangsa kita terdiri atas berbagai etnik. Pada tingkat etnik, mereka juga mempunyai simbol dan konsep yang diberikan pada dan diharapkan ada di kalangan kaum perempuan. Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat
mengenal
konsep
“Bundo
Kanduang”,
perempuan Minangkabau tidak dapat disangkal lagi memiliki kedudukan yang sederajat dengan laki-laki dan mereka menjadi penjaga harta pusaka keluarga (Soetrisno, 1997: 62). Pada masyarakat Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, kaum perempuan diibaratkan “Bagaikan Kaca”, tempat bercermin. Bilamana terjadi keretakan, maka berkuranglah martabatnya dan bila kaca itu pecah, maka berantakan martabat diri dan keluarganya, dia menyangkut harkat dan martabat diri yang terdapat dealam konsep “Siri” ( Mattulada, 1994: 4). Pada masyarakat Mandar yang
58
juga berasal dari Sulawesi Selatan dikenal konsep perempuan ideal, yaitu “Tipalayo” yang menyangkut sifat dan sikap antara lain: a. Manarang Lima, yang artinya terampil. b. Macalicak, yang artinya giat. c. Manarang, yang artinya pintar. d. Malolo, yang artinya cantik jelita. e. Ilimuh Kedhoh, yang artinya lemah lembut. ( Pandu, 1990 : 83 ). 2. Perempuan Dalam Realitas Sosial Pada Saat Ini Ada ahli ilmu sosial berpendapat bahwa tindakan
sosial-perilaku
sosial
yang
dilakukan
seseorang seyogyanya seperti apa yang terjadi dalam mekanisme pasar, ada barang ada uang, ada biaya ada pula imbalannya. Apabila pendapat ini dipergunakan untuk menganalisa tindakan dan perilaku yang telah dilakukan
oleh
menunjukkan
kaum
“imbalan”
perempuan yang
perempuan ternyata tidak memadai.
59
kenyataan
diterima
kaum
Perempuan
sebagai
anggota
keluarga,
kelompok dan masyarakat luas (bangsa) berdasarkan tuntutan nilai sosial budaya seyogyanya
telah
melakukan tugas dan kewajiban mereka sebaik mungkin. Namun nilai sosial budaya pun tidak selamanya berdampak positif, ternyata juga bisa berdampak negatif.
Kalau perempuan secara nilai
sosial budaya telah kita sepakati sebagai orang yang lebih banyak aktivitasnya untuk membangun generasi penerus, hasil yang relatif positif, telah kita rasakan. Bangsa
kita
menjadi
bangsa
yang
patut
diperhitungkan di dunia internasional sebab Sumber Daya Manusia (SDM) kita cukup mampu bersaing, cukup kompoten di dalam hal-hal tertentu, ini semua disebabkan antara lain oleh sosialisasi primer yang pada umumnya dilakukan oleh perempuan/ibu di samping sosialisasi sekunder yang dilakukan dalam masyarakat yang pada umumnya pelakunya lebih banyak perempuan. Tapi, imbalan apa yang telah diterima kaum perempuan, terutama pada saat ini ?
60
Imbalannya, teknologi
tidak
pada
memadai,
saat
ini
kecanggihan
terutama
alat
alat media
komunikasi, setiap hari dapat kita dengar dan dapat kita lihat betapa perempuan menjadi korban baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun lembaga. Sebagai perempuan pada saat ini tidak dapat lagi hanya menggeluti dengan aman dan tenteram peranan yang diberikan kepada mereka yaitu sebagai pekerja rumah tangga saja. Sewaktu-waktu kepala rumah tangga yang pada umumnya laki-laki tergeser dan tergusur dari posisinya sebagai penari nafkah utama sehingga terpaksa mendorong perempuan untuk keluar rumah guna turut menghidupi keluarga. Tetapi, apakah kegiatan di luar rumah bisa diraihnya dengan aman dan tenteram ? Ternyata tidak, berbekal nilai sosial budaya yang bisa diberlakukan pada diri perempuan dalam rumah tangga berlaku pula pada saat mereka melangkahkan kaki ke luar rumah guna keberlanjutan kehidupan keluarga mereka. Pelecehan,
61
kekerasan, subordinasi, diskriminasi, marginalisasi adalah bentuk-bentuk yang juga mereka rasakan ketika mereka melangkah ke luar rumah. Mengapa hal ini terjadi ? Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwasanya hal-hal yang tidak layak, tidak patut, dialami oleh kaum perempuan di luar rumnah sumbernya anatara lain adalah nilai-nilai yang pada mulanya berlaku dalam keluarganya, misalnya nilai ideologi
patriarki.
Nilai
ideologi
patriarki
menunjukkan bahwa laki-laki adalah segala-galanya, berkuasa, patut di dahulukan, pengambilan keputusan utama, penentu segalanya, dan nilai ideologi ini telah merambah keberlakukannya sampai ke luar lingkup keluarga ke lingkup publik, yang akhirnya juga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan perempuan (Pandu, dkk, 2001: 17-18). Selain nilai ideologi di atas ini, label-label yang telah diberikan kepada kaum perempuan yang telah dilegitimasi oleh nilai sosial budaya baik secara nasional maupun
lokal pada akhirnya pun tidak
62
memberikan
keuntungan
positif
bagi
kaum
perempuan/ibu. Misalnya saja label “Ibu Rumah Tangga” dianggap oleh sebagian feminis sebagai suatu
kekalahan
perempuan,
di
mana
dengan
menyandang gelar itu justru perempuan kehilangan kebebasan (Abdullah, 2001: 194). Label lainnya “Pendidik Pertama dan Utama Bagi Anak-anaknya”, dampak negatif yang diperoleh dari menyandang gelar ini adalah menjadi seorang yang selalu dipersalahkan ketika
anak-anaknya
berperilaku
yang
tidak
diharapkan, tidak berhasil. Pada tingkat kelompok etnik pun label yang diberikan kepada kaum perempuan juga tidak selalu memberikan kebebasan bagi perempuan atau pun bermakna positif bagi kaum perempuan. Misalnya pada masyarakat Bugis Makassar yang melabelkan perempuan “ibarat kaca”, akhirnya membuat langkah perempuan menjadi semakin terbatas. Perihal yang dialami pada perempuan Bugis Makassar tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada kelompok
63
etnik lainnya yang ada di Indonesia apabila ditelusuri secara seksama dan dikaji secara teliti. VI. Penutup Keadaan yang dihadapi perempuan pada saat ini menunjukkan bahwa wacana tentang perempuan sangat dilematis. Kehidupan nyata memaksa dan mengharuskan mereka berperan ganda namun nilainilai sosial budaya yang mendukung peran ganda itu belum melembaga. Kedilematisan ini muncul karena realitas perempuan selalu dibagun oleh laki-laki, karena laki-lakilah yang dianggap dan menganggap diri sebagai lakon (superior) yang mengatur tata kehidupan (Abdullah, 2001: 195). Perempuan hampir tidak bisa menentukan dirinya sendiri, menunjukkan jati dirinya. Selain itu, di dalam kebudayaan kita perempuan ditempatkan di luar sistem obyektif sehingga perempuan harus mengalami obyektivitas secara terus-menerus. Simbol-simbol yang telah dilabelkan kepada kaum perempuan baik pada tingkat nasional maupun lokal ternyata menjadi beban berat
64
belaka.
Konsep-konsep
perempuan
tentang
peran-peran
yang begitu hebat akhirnya hanya
merupakan khayalan dan imajinasi saja. Masyarakat tidak statis, sekecil apa pun pasti ada perubahan. Kebudayaan adalah hasil masyarakat, maka kebudayaan pun mengalami perubahan pula. Kenyataan pada saat ini di beberapa kelompok masyarakat baik pada lapisan menengah maupun lapisan atas, peran idealis bagi laki-laki dan perempuan sudah bergeser, karena pengaruh keadaan yang mereka hadapi. Kebiasaan-kebiasaan baru muncul antara lain dalam hal peran domestik dan peran publik, dominasi jenis kelamin tertentu terhadap suatu peran sudah meluntur dan lain sebagainya. Karena proses pelembagaan suatu nilai dimulai dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, seyogyanya dapat disusun dan ditata ulang
nilai-nilai
sosial
budaya
yang
lebih
menunjukkan kesetaraan di antara pelakunya, antara lain dalam hal pelestarian nilai-nilai sosial budaya.
65
Di samping itu, kita juga perlu untuk menelusuri kembali budaya-budaya lokal/etnik karena tidak menutup kemungkinan dalam budaya lokal/etnik terkandung suatu nilai yang lebih menunjukkan kesetaraan di antara para pelakunya ketimbang budaya nasional yang cenderung didominasi oleh nilai-nilai sosial budaya dari luar masyarakat kita. Selain itu, untuk menyusun tata nilai sosial budaya yang relevan dan efektif guna menghadapi situasi dan kondisi perkembangan masyarakat pada saat ini nampaknya kita harus lebih selektif dalam artian kita tidak selalu harus berpatokan pada nilai sosial budaya dari kelompok tertentu atau kelas tertentu saja, di mana pada umumnya pada masa yang lalu bahwa nilai-nilai merekalah yang menjadi pedoman dan panutan kita untuk berperilaku. Nampaknya sekarang kita harus juga mengalihkan perhatian pada nilai sosial budaya dari kelompok etnik dan kelas masyarakat lainnya. Karena kenyataan menunjukkan nilai sosial budaya dari kelompok atau kelas tertentu
66
yang pada masa yang lalu menjadi pedoman dan panutan kita justru dalam kehidupan bermasyarakat telah menyengsarakan, terutama kaum perempuan. Oleh karena itu, tindakan yang harus kita lakukan antara lain; menggali dan mengkaji ulang nilai sosial budaya baik pada tingkat nasional maupun lokal dengan menggunakan pendekatan baru. Paradigma baru
yang
pendekatan
merupakan sejarah,
kombinasi
pendekatan
pendekatan gender.
67
antara
lain
sosiologi,
dan
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. 2001. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuaasaan. Yogyakarta : Tarawang Press. Berlian, S. 2000. Pengelolaan Tradisional Gender, Telaah Keislaman Atas Naskah Simboer Tjahaja. Jakarta: Millenium Publisher. Budiman, A. 1985. Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peran Wanita Di Dalam Masyarakat. Jakarta: Penerbit Gramedia. Mattulada.
1994. Gender Dalam Pembangunan Berkelanjutan Ditinjau Dari Segi Sosial Budaya Etnis Bugis-Makassar. Ujung Pandang: Makalah disampaikan pada seminar sehari “Gender dalam Pembangunan Berkelanjutan Ditinjau dari Segi Sosial Budaya Etnis Bugis-Makassar, Toraja, dan Mandar.
Mukmin, H. 1990. Beberapa Aspek Perjuangan Wanita di Indonesia, Suatu Pendekatan Deskriptif Komparatif. Bandung : Penerbit Bina Cipta.
68
Pandu, M. E. 1990. Matrifokalitas di Masyarakat Pedesaan ( Suatu Kasus Pada Masyarakat Nelayan Mandar di Desa Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi – Selatan ), (Tesis S2). Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta. Pandu, M. E., dkk. 2001. Wanita di Sulawesi Selatan. Ikhtisar Regional, Kanada : CIDA. Primariantari, dkk. 1998. Seri Siasat Kebudayaan, Perempuan dan Politik Tumbuh Fantastis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Soetrisno,
L. 1997. Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Suwondo, N. 1981. Kedudukan Wanita di Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
69
PARTISIPASI DAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM LEMBAGA POLITIK
I.
Pendahuluan Pada masa-masa yang lalu, sebagaian besar kelompok masyarakat di dunia beranggapan bahwa masalah politik adalah masalah dan bidang yang patut dan pantas digeluti oleh laki-laki. Tetapi akhir-akhir ini di berbagai bagian belahan dunia baik bagian Utara-Selatan, Timur–Barat perhatian masyarakat tertuju pada masalah partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam lembaga politik antara lain partai politik. Partai politik merupakan wadah partisipasi politik dalam negara demokratis di mana setiap anggota masyarakat sebagai warga negara baik laki-
70
laki
maupun
berpartisipasi
perempuan sebagai
seyogyanya wakil-wakil
dapat rakyat,
berkonstribusi menyumbangkan pemikiran-pemikiran demi
kesejahteraan
rakyat
dan
mendapatkan
perwakilan dalam mengemukakan aspirasi mereka untuk kelanjutan hidup berbangsa dan bernegara. Secara konstitusional hal tersebut di atas bagi warga negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah terlandasi antara lain oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan malah ditunjang pula oleh UndangUndang Republik Insonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia antara lain pada Pasal 24. Secara hukum di muka dunia ini tidak ada larangan
perlakuan
terhadap
laki-laki
maupun
perempuan untuk berserikat, mendirikan partai politik serta
lembaga-lembaga,
namun
pelaksanaannya
tidaklah demikian, terutama kaum perempuan, sampai saat ini masih ditemukan kendala, penghalang untuk mereka berkiprah di dunia politik.
71
II. Kondisi Perempuan di Dunia Politik Menurut
informasi
dari
Badan
Dunia
mengenai perempuan (UNIFEM) kondisi perempuan secara mendunia adalah sebagai berikut : 1. Perempuan hanya berjumlah 5 % sampai 10 % yang menjadi pemimpin formal di bidang politik. 2. Perempuan hanya berjumlah 10 % yang duduk sebagai anggota parlemen. 3. Dari 160 sampai dengan 171 parlemen nasional di dunia yang telah berfungsi sejak Juni 1993 perempuan hanya menduduki 20 kursi. Dalam 36 negara di dunia, perempuan hanya menduduki tidak lebih dari 4 % kursi parlemen. 4. Perempuan juga berjumlah sedikit yang menjabat di dalam Badan-Badan Internasional. (Konvensi Mengenai
Penghapusan
Segala
Diskriminasi Terhadap Perempuan). a. Kondisi Perempuan di Indonesia ?
Dari segi jumlah ? Sebagai pemilih ?
72
Bentuk
Dari segi kemampuan dalam berbagai bidang antara lain di Lembaga Politik ?
Dari segi keterwakilan di parlemen ?
b. Bagaimana di Makassar ? III. Faktor-Faktor yang Menghalangi Perempuan Berkiprah di Ranah Luar Rumah Tangga Pada
umumnya
secara
mendunia
keterpinggiran perempuan dari partisipasi mereka di bidang politik berakar dari sejarah juga dalam bidang ekonomi dan realitas hukum. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan mempunyai pengalaman sejarah yang lebih pendek ketimbang laki-laki dalam politik pemilihan. Partisipasi perempuan dalam ranah politik (di luar rumah tangga) juga terkendala oleh adanya bias gender pada beberapa bagian dunia, baik di negara industri maupun negara yang sedang berkembang. Para ahli teori tradisional/klasik cenderung menganut pendekatan yang mengemukakan bahwa
73
proses-proses politik adalah dominasi laki-laki karena adanya suatu pengandaian bahwa: 1.
Perempuan seara sosial telah diarahkan sebagai seorang yang mengurus rumah tangga/keluarga.
2.
Perempuan telah ditentukan secara norma sosial budaya hanya sebagai penikmat dari perilakuperilaku politik bukan pelaku politik. Malah
ada
ahli
teori
barat
yang
mengemukakan bahwa perempuan sama dengan anakanak karena mereka tidak memiliki harta benda maka mereka tidak mempunyai andil dalam domain politik, mereka tidak bisa memilih maupun dipilih. Hal ini pula yang menjadi kendala bagi perempuan untuk berkiprah di dunia politik yaitu adanya budaya patriartki yang masih melekat kuat di kelompok masyarakat tertentu baik di luar Indonesia maupun di Indoneia. IV. Strategi Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Legislatif
74
1.
Mengusulkan
jumlah
minimal
kerjasama
dan
keterwakilan
perempuan. 2.
Membangun
dukungan
dari
seluruh warga masyarakat, dari berbagai lapisan dan kelompok. 3.
Mengkampanyekan pada pemilih perempuan untuk memilih partai politik yang memiliki beberapa caleg perempuan.
4.
Mendesak lembaga tertinggi negara maupun pemerintah untuk menyusun Undang-Undang Politik yang menyertakan perempuan dalam kepengurusan
Partai
Politik
dan
Lembaga
Legislatif. V. Usaha-Usaha yang Telah Dilakukan Pada pemilu yang lalu, tahun
2004 telah
dilakukan usaha-usaha meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan antara lain: 1. Penerapan membenarkan
Affirmative dan
Action,
menyetujui
perempuan dalam lembaga politik.
75
misalnya ketrerlibatan
2. Quota untuk perempuan yaitu sebesar 30 %. Dibeberapa negara, usaha-usaha tersebut di atas memberikan hasil yang signifikan misalnya: 1. Di Bangladesh: 30 / 330 kursi bagi perempuan; 2. Di India: 33 % kursi DPD bagi perempuan; 3. Di Uganda: 33 % kursi DPRD bagi perempuan; 4. Di Afrika Selatan: 30 % kursi DPR bagi perempuan; 5. Di Argentina: 33 % kursi DPR dan Senat bagi perempuan. a. Bagaimana di Indonesia, quota 30 % pada Pemilu 2004 yang telah dicanangkan, telah terpenuhi dan berhasil sesuai dengan harapan dan tujuan ? Untuk dapat berhasil melibatkan perempuan dalam Lembaga Politik perlu dilakukan antara lain: Quota sebagai kebijakan umum; Program pelatihan meningkatkan keterampilan manajemen;
76
Memperkuat seksi perempuan dalam Partai Politik sehingga dapat mempengaruhi kebijakan partai dan mempromosikan caleg, pengurus dan caleg perempuan. Mengumpulkan informasi kandidat perempuan yang potensial. Memilih criteria untuk seleksi kepengurusan partai atau caleg partai; Pelatihan untuk meningkatkan kepekaan gender anggota partai. b. Mengapa Perlu Kepekaan Gender ? Karena kebutuhan dasar dan kebutuhan praktis laki-laki dan perempuan berbeda, seyogyanya baik laiki-laki terutama perempuan harus memahami kebutuhan-kebutuhan
keduanya
sebagai
caleg
maupun anggota legislatif kelak. VI. Penutup Seyogyanya wakil rakyat harus benar-benar mewakili rakyat yang telah memilihnya untuk duduk
77
di kursi legislatif. Oleh karena itu, seharusnya pula mereka yang menjadi wakil rakyat itu memahami secara seksama situasi, kondisi dan kebutuhankebutuhan dari mereka-mereka yang diwakilinya. Di negara kita, pemilih perempuan di atas kertas jumlahnya lebih banyak dari pada pemilih lakilaki, oleh sebab itu wakil rakyat baik dia laki-laki maupun perempuan harus lebih memahami secara seksama kondisi, situasi dan kebutuhan-kebutuhan pemilih
perempuan.
Walaupun
secara
teoritis
dikemukakan bahwa kondisi, situasi dan kebutuhankebutuhan perempuan lebih dipahami dan lebih dimengerti oleh perempuan itu sendiri.
78
DAFTAR PUSTAKA
Bainar. 1998. Wacana Perempuan Dalam Keindonesiaan dan Kemerdekaan. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo,. Bainar & Aichi Halik. 1999. Jagad Wanita Dalam Pandangan Para Tokoh Dunia. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo. Condro, Doroaty W. & Tony Bernay. 1998. Women In Power. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Mosse, Jalia Cleves. 2002. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saraswati, L. G. dkk. 2006. Hak Asasi Manusia ; Teori, Hukum, Kasus. Jakarta : Departemen Filsafat; Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
79
WANITA DAN ORGANISASI SOSIAL (Usaha-Usaha Meningkatkan Kapasitas Wanita dalam Oraganisasi Sosial)
I.
Pendahuluan Kaum wanita telah menjalankan peranannya yang sangat penting baik dalam sejarah perjuangan kemerdekaan negara melawan penjajah maupun dalam
usaha
memperbaiki
nasib
bangsa
pada
umumnya. Peranan-peranan yang dilaksanakan tidak saja melalui lembaga keluarga tetapi juga melalui organisasi sosial. Keterlibatan dan partisipasi wanita Indonesia dalam organisasi kemasyarakatan, agama dan politik bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 1912 di
80
Jakarta telah berdiri perkumpulan wanita yang dikenal dengan nama “Putri Mardika”. Perkumpulan ini bekerja sama dengan perkumpulan “Budi Utomo” memajukan pengajaran bagi anak-anak perempuan. Dalam tahun-tahun berikutnya, berdiri pula berbagai
perkumpulan
wanita,
namun
corak
pergerakannya pada masa-masa itu masih dalam memperbaiki pendidikan wanita dan mempertinggi kecakapan-kecakapan wanita yang khusus terutama dalam hal rumah tangga (Suwondo, 1981: 570). Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis termasuk komponen-komponen yang ada dalam suatu masyarakat. Organisasi sosial adalah salah satu komponen dari masyarakat. Oleh karena itu organisasi sosial juga tidak dapat terhindar dari perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan yang terjadi dalam organisasi sosial wanita salah satunya yang berkaitan dengan tujuan dan hal-hal yang ingin dicapai dari organisasi. Pandangan-pandangan
yang 81
berpendapat
bahwa
dengan
berpegang
teguh
pada
gagasan
yang
menjunjung tinggi kodrat wanita, keadilan dan kebebasan bagi wanita dapat dicapai, ternyata sudah usaing dan diganti dengan kepercayaan bahwa gerakan wanita seyogyanya harus mengarah kepada perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat, yang membawa nilai-nilai baru tentang peranan wanita (Suryochondro, 1984 :110). Untuk dapat mengubah dan terlibat dalam perubahan-perubahan
pada
masyarakat
maka
organisasi wanita sebagai wadah kaum pria harus mengubah haluan, dan anggota-anggotanya sebagai pelaku harus memberdayakan diri untuk menjadi serasi, selaras dan seimbang dengan perubahanperubahan sosial yang terjadi pada masyarakat. II. Paradigma Pembangunan Masa Lalu, Sekarang dan Akan Datang Dalam pembangunan
pengertian menunjukkan
ekonomi taraf
murni,
kemampuan
ekonomi nasional satu negara untuk beranjak dari
82
tahap awal yang relatif statis menuju peningkatan tahunan GNP secara konsisten sebesar 3 % sampai 7 % atau lebih disertai perubahan struktural di bidang agraria, industri, jasa dan lapangan kerja (Ndraha, 1987: 14 ). Walaupun perang dunia kedua telah berhasil mengubah profil dunia, isu yang menguasai tahun lima puluh san enam puluh masih didominasi oleh para
ahli
ekonomi,
di
mana
para
perencana
pembangunan sangat dipengaruhi oleh anggapan bahwa pembangunan berarti pertumbuhan ekonomi yang titik beratnya pada proses industrialisasi, moderniasi, dan teknologi. Namun pengalaman berbagai negara yang menggunakan cara pendekatan di atas, ini menunjukkan bahwa pendekatan ini membawa implementasi sosial dan mental (Ndara, 1987: 15). Pada tahun tujuh puluhan timbul perubahan pendekatan terhadap pembangunan antara lain yang dikemukakan
oleh
dua
83
orang
wanita
ahli
pembangunan yaitu “Carohe Bryant dan Luise White. Menurut kedua wanita ahli pembangunan ini, pembangunan ialah “upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya”. Secara lebih spseifik lagi pembangunan menurut konsep kedua wanita ahli di atas mempunyai lima implikasi utama yaitu : 1.
Pembangunan berarti membangkitkan kemauan optimal
manusia,
baik
individu
maupun
kelompok (capacity). 2.
Pembangunan
berarti
kebersamaan
dan
mendorong kemerataan
timbulnya nilai
dan
kesejahteraan (equity). 3.
Pembangunan
berarti
menurut
kepercayaan
kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendirisesuai dengan kemampuan yang ada pada masyarakat yang bersangkutan. Kenyataan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan memutuskan (empowerment).
84
4.
Pembangunan
berarti
membangkitkan
kemampuan untuk membangun seara mandiri (sustainability). 5.
Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan oleh
siapa
pun
terhadap
siapa
pun
dan
menciptakan hubungan saling menguntungkan dan
saling
menghormati
(interdependency)
(Ndaraha, 1927: 16). Mencermati
makna
pembangunan
yang
dikemukakan oleh Bryantdan dan White dapat disimpulkan
bahwa
proses
pembangunan
lebih
menitik beratkan pada dan memfokuskan pada unsur manusia, dalam hal ini, laki-laki dan perempuan sebagai pelaku pembangunan di dalam bidang apa saja. Konsep pembanguan yang lainnya yang dikemukakan oleh seseorang oleh seorang feminis dari negara Timur yaitu Kamla Bhasin yang dikenal dengan konsep-konsep pembanguan berkelanjutan (sustainability development). Konsep tersebut lebih
85
menegaskan antara lain mengenai siapa pun yang menjadi pelaku pusat dari suatu proses pembangunan (Bhasin, 1993) itu harus berpusat pada wanita karena wanitalah
sebagai
mayoritas
yang
menyimpan
kehidupan dasar dari masyarakat (Parpart, dkk., 2000: 33). Nampaknya makna pembangunan yang telah dikemukakan oleh Bryant dan White serta Bhasin lebih relevan digunakan sebagai dasar kegiatan pembangunan pada masa sekarang ini terutama di negara kita. Di samping pembangunan dari sudut pandang ekonomi agar tercapai kesetaraan antara unsur material dan manusia. Organisasi wanita baik kemasyarakatan sosial, agama dan politik sebagai salah satu komponen masyarakat, dalam proses pembangunan seyogyanya harus mencapai pelaksanaan dan pemanfaatan serta penikmat dari pembangunan yang dilaksanakan. Seyogyanya juga organisasi wanita harus pula memahami konsep yang tepat guna yang berkaitan
86
dengan pembangunan yang akan datang dan sedang dilaksanakan oleh bangsanya di mana organisasi wanita itu berada. III. Pembangunan Organisasional dan Gender Istilah Pembangunan Organisasional merujuk kepada kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk mencapai perubahan di dalam tubuh organisasi dengan
sasaran
meningkatkan
efesiensi
dan
efektivitas kerja. Dalam hal ini, termasuk kegiatankegiatan di dalam lingkup keorganisasian sendiri maupun dalam konteks hubungan timbal baliknya dengan organisasi-oraganisasi lain, di antaranya dalam kegiatan-kegiatan advokasi serta lobi. Terdapat ikatan kuat antara kemampuan suatu organisasi bersangkutan
dengan
sejauh
mencapai
mana keberhasilan
organisasi dalam
pembentukan hubungan dengan organisasi-organisasi lainnya. Ikatan seperti itu mendorong pengembangan berbagai bentuk untuk mekanisme pertanggung
87
jawaban serta membuka ruang yang lebih luas untuk proses belajar organisasional. Sehubungan dengan itu, di luar organisasi semakin rumit dan penuh pergolakan, dan dunia luar ini pun menjadi ajang kiprah organisasi di seluruh penjuru dunia usaha maka setiap organisasi dituntut untuk selalu waspada, cepat menyesuaikan diri, dengan perubahan, dalam hal ini organisasi untuk tidak pernah berhenti belajar. Pembangunan organisasional bertalian timbalbalik dengan kemampuannya untuk menghasilkan dampak terhadap dunia luas di mana organisasi tersebut berkiprah. Bertalian dengan paradigma pembangunan selain
bertumpu
pada
bidang
material
juga
memperhitungkan unsur sumber daya manusia yang terdiri atas pria dan wanita dan malah ada yang menekankan bahwa sumber daya kelompok wanita sangat memegang peranan penting dalam proses pembangunan, maka seyogyanya organisasi wanita
88
layak untuk menekankan pentingnya kesetaraan gender, dengan kata lain hendaknya kesetaraan gender digunakan sebagai prinsip kunci dalam pembangunan organisasional, artinya sudut pandang gender harus diterapkan dalam seluruh aspek kegiatan organisasi kita, kerja dengan kolega dan para mitra, melobi dan menjalankan advokasi dan membangunan internal organisasi. IV. Penutup Organisasi wanita sebagai wadah kelompok wanita
menyumbangkan
memberdayakan
sumbangsinya
anggota-anggotanya
dalam serta
mensejahterakan masyarakat umum serta sangat tergantung kepada proses belajar organisasi. Dalam hal ini artinya organisasi bersangkutan harus bersikap terbuka, bersedia belajar, siap mengembangkan mekanisme-mekanisme belajar organisasi. Pengurus dan anggota-anggotanya harus ada kehendak untuk berubah, dengan begitu berarti sasaran perseorangan, jika yang dipertaruhkan adalah perubahan hubungan-
89
hubungan
gender,
pergeseran
dari
kehendak
perorangan menjadi kehendak lembaga. Kesimpulan: 1. Bahwa organisasi harus bersedia berubah seiiring perubahan terjadi dalam masyarakat. 2. Bahwa pengurus dan anggota-anggota organisasi harus
mampu
mencerna
kebutuhan
akan
perubahan-perubahan. 3. Bahwa
organisasi
maupun
pelaku-pelaku
organisasi harus mempunyai sikap keterbukaan dan tanggung jawab yang tinggi terhadap apa yang telah dilakukan.
90
DAFTAR PUSTAKA
Abbot, Pamela & Claire Wallace., An Introduction To Sociology, Feminist Perfections. London – New York: Rotledge, 1997. MacDonald, Maudi, et.all., Gender dan Perubahan Organisasi. Amsterdam: Royal Institute, 1999. Ndraha, Taliziduhu., Pembangunan Masyarakat. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987. Suryochondro, Sukanti., Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali, 1984. Suwondo, Nani., Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.
91
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
I.
Pendahuluan Keluarga dan rumah tangga seyogyanya adalah suatu lembaga di mana anggota-anggotanya justru seharusnya mendapatkan perlindungan dan kasih sayang yang murni, tulus dan ikhlas dari anggota-anggotanya. Pada masa yang lalu, keluarga dan rumah tangga adalah juga merupakan suatu lembaga yang bersifat pribadi. Apa pun yang terjadi di dalam rumah tangga dan keluarga para anggotanya berusaha untuk tidak membeberkan pada orang-orang di luar keluarga
92
dan
rumah
tangga
bahkan
anggota-anggota
kerabatnya sendiri. Pada
sekelompok
masyarakat
tertentu
mengemukakan sesuatu tentang keadaan keluarga dan rumah tangga pada siapa pun adalah tabu atau pamali apalagi apabila keadaan itu sudah berupa aib atau halhal yang memalukan, hal-hal yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku umum. Pada masa sekarang ini, mungkin karena dalam era keterbukaan, tidaklah begitu keadaannya. Sesuatu yang berupa aib dan menyimpang menurut pandangan dan perasaan sekelompok orang atau sekelompok masyarakat malah dijadikan hal-hal yang membanggakan
oleh
sekelompok
orang
atau
kelompok masyarakat lainnya, malah pula dijadikan sebagai sesuatu yang hebat apabila dapat dilakukan misalnya perceraian, perselingkuhan, sampai-sampai pada hal-hal yang bersifat kekerasan. Menanggapi
kondisi
kekerasan
terhadap
anggota-anggota keluarga dan rumah tangga yang
93
sudah demikian terbuka dan menimbulkan banyak korban, maka masyarakat dan pemerintah meresa perlu untuk menangani masalah yang menyimpang dan menimbulkan korban antara lain bentuknya adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga. II. Kekerasan dan Ruang Lingkupnya Kekerasan dalam rumah tangga dalam artian yang umum adalah penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang yang berada dalam satu keluarga untuk melukai salah satu anggota keluarga yang lain. Bentuknya dapat berupa penganiayaan fisik (seperti pukulan, hinaan,
tantangan) cemohan)
psikis/emosional maupun
seksual
(ancaman, (pemaksaan
hubungan seksual). Kekerasan dalam rumah tangga adalah sikap, perbuatan
seseorang
terhadap
perempuan
yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
94
perbuatan pemaksaan, atau perampasan, kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan
dalam
rumah
tangga
dapat
menimpa siapa saja termasuk seorang ibu, istri, suami, bapak, anak, atau bahkan pembantu rumah tangga. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, lingkup rumah tangga meliputi: 1.
Suami, Istri, dan anak.
2.
Orang-orang
yang
mempunyai
hubungan
keluarga dengan sebagaimana dimaksud pada huruf a; karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga. 3.
Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Namun dalam banyak literatur,
kekerasan
dalam rumah tangga lebih dipersempit artinya dalam penganiayaan terhadap istri oleh suami. Hal ini dapat
95
dimengerti karena pada umumnya korban kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak dialami oleh para istri dari pada anggota keluarga dan anggota rumah tangga lainnya dan yang lebih banyak mengalami adalah perempuan. 1. Bentuk-Bentuk Penganiayaan Suami terhadap Istri a. Penganiayaan psikologis dan emosi, misalnya menanamkan perasaan takut melalui intimidasi, mengancam
akan
menyakiti,
menculik,
menyekap, ingkar janji, merusak hubungan orang tua dan anak atau saudara, menghina, memaki-maki, membentak, mengucilkan diri. b. Penganiayaan ekonomi, misalnya membuat tergantung secara ekonomi, melakukan control terhadap penghasilan, pembelanjaan. c. Penganiayaan seksual, misalnya memaksakan hubungan seks, mendesakkan hubungan seks setelah melakukan penganiayaan, menganiaya
96
saat berhubungan seks, memaksa menjadi pelacur. d. Penganiayaan fisik, misalnya menyakiti secara fisik,
mulai
dari
mengamuk,
menampar,
memukul, menginjak sampai membunuh. 2. Apa Yang Harus Diingat dan Dipahami. a. Harus diingat, apa pun alasannya tidak seorang pun berhak dianiaya, mengingat UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan
karena
bentuk
kekerasan
terutama
kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. b. Penganiayaan adalah suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dari segi apapun baik segi hukum, agama maupun sosial. c. Konflik yang terjadi antara suami – istri atau anggota keluarga lainnya adalah wajar, tetapi
97
tidak dibenarkan kalau penyelesaian yang diambil adalah dengan penganiayaan. d. Ketenteraman keluarga bukan hanya tanggung jawab istri tetapi merupakan tanggung jawab bersama seluruh anggota keluarga. 3. Langkah-Langkah yang Dapat Dilakukan a. Ceritakan apa yang telah dialami kepada orang lain, misalnya teman dekat/sahabat, kerabat dan manfaatkan
lembaga-lembaga
pelayanan,
kosultasi. b. Laporkan ke polisi. c. Mencari kemungkinan jalan keluar baik dengan konsultasi psikologis maupun konsultasi hukum. d. Buatlah rencana perlindungan diri misalnya mempersiapkan
kebutuhan
tabungan
menyelamatkan
dan
rumah
tangga,
surat-surat
penting serta kebutuhan pribadi lainnya. e. Mintalah pemeriksaan dokter atas penganiayaan yang dilakukan/diderita.
98
III. Penutup Dalam beberapa penelitian
yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa pada berbagai lapisan masyarakat terdapat pemahaman tentang kekerasan dalam
rumah
tangga
sangat
beragam.
Ada
sekelompok orang yang sadar dan paham bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu kejahatan (Dwia A. Tina, dkk, 2002), ada juga yang berpendapat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah pribadi, masalah keluarga (Radford dalam Scior Imo, 1999). Dengan
dicetuskannya
Kekerasa
Dalam
Rumah Tangga ( KDRT ) ke dalam suatu UndangUndang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga disertai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga berarti tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk
99
fisik maupun non fisik terhadap siapa pun adalah perilaku yang dilarang dan bersanksi hukum. Dengan semakin maraknya dan semakin terbentuknya tindak kekerasan dalam masyarakat terhadap berbagai anggota lapisan masyarakat dalam berbagai bentuk, sementara anggota masyarakat pada umumnya belum memahami baik bentuk tindakan kekerasan
dalam
rumah
tangga
dan
cara
penanganannya maka perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas yang terdiri atas berbagai lapisan sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Pemasyarakatannya
hendaknya
dilakukan
mulai jajaran terbawah pemerintah setempat sampai pada
jajaran
tertinggi
pemerintahan
dengan
melibatkan unsur-unsur terkait dan unsur-unsur berwenang. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukanlah lagi masalah pribadi, hendaknya penderita mau secara terbuka mengemukakan penderitaannya, hendaknya masyarakat mau menanggapi, ambil peduli
100
dan membantu penderita, hendaknya unsur-unsur yang ditugaskan dan dilibatkan oleh Undang-Undang mau melakukan kewajibannya sesuai dengan yang telah digariskan.
101
DAFTAR PUSTAKA
Dwia, Aries Tina, dkk., 2002. Menggagas Tempat Yang Aman Bagi Perempuan (Kasus di Sulawesi Selatan), Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada – Ford Foundation. KOMNAS
Perempuan, 2002. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia.
Ollenburger, Jane, C & Helen A. Moore, 1996. Sosiologi Wanita., Jakarta : Penerbit Rineka Cipta. Staggenborg, Suzanne, 2003. Gender, Keluarga dan Gerakan-Gerakan Sosial. Jakarta : Penerbit Mediator. Scior
Imo, Rosalina. 1999. Menuju Kesehatan Madani.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
102
TELAAH KUALITAS KAWIN HAMIL DALAM DIMENSI SOSIAL BUDAYA
I.
Pendahuluan Peristiwa dan gagasan tentang perkawinan selalu menarik. Bukan saja sebagai salah satuh proses biologis tetapi juga
sebagai proses kehidupan
kemasyarakatan. Selain itu, setiap kebudayaan juga mengakui bahwa perkawinan itu adalah suatu lembaga di mana di dalamnya ditetapkan sejumlah peraturan yang biasanya kaku dan rumit, untuk mempertemukan pasangan laki-laki dan perempuan secara pantas. Pada umumnya, setiap kebudayaan menetapkan peraturan-peraturan, tata cara tertentu tindakan-tindakan atau pun upacara-uoacara yang
103
membuat khalayak umum mengetahui dan menerima kenyataan bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan bermaksud hidup bersama dan memulai membangun keluarga. II. Definisi Perkawinan Perkawinan adalah sesuatu yang di mana saat peralihan yang terpenting pada lingkaran kehidupan (life cyle) manusia di seluruh dunia dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Ditinjau
dari
sudut
kebudayaan,
maka
perkawinan sebagai pranata sosial merupakan : 1.
Pengatur kelakuan manusia yang berkenaan dengan
kehidupan
seksnya
terutama
persenggamaan. 2.
Pengatur bahwa seorang laki-laki tidak boleh bersenggama dengan sembarang perempuan, tetapi hanya dengan satu atau beberapa wanita tertentu.
3.
Memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil senggama yaitu anak.
104
4.
Memenuhi kebutuhan seorang manusia akan seorang teman hidup.
5.
Memenuhi kebutuhan akan harta, gengsi dan status tertentu dalam masyarakat.
6.
Pemeliharaan hubungan baik antara kelompokkelompok kerabat.
III. Pembatasan Pemilihan Jodoh Dalam Perkawinan Seluruh masyarakat di dunia mempunyai larangan-larangan terhadap pemilihan jodoh bagi anggota-anggotanya. bentuknya
Larangan-larangan
berbeda-beda
antara
satu
ini
kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Oleh sebab itu, kita kenal dengan adanya istilah “endogami” dan “eksogami”. Endogami maksudnya adalah perkawinan yang diselenggarakan antara orang dari desa yang sama atau dengan orang yang berasal dari lapisan masyarakat yang sama atau dengan kerabatnya sendiri. Sedangkan eksogami adalah perkawinan yang diselenggarakan harus dengan orang yang berasal dari
105
luar lingkungannya, dari luar desanya, dari luar kerabatnya. Bentuk
larangan
lainnya
adalah
kawin
sumbang atau incest, misalnya kawin dengan saudara sekandung atau kawin dengan seorang yang berasal dari warga yang sama. Di dalam kehidupan sosial dari banyak masyarakat di dunia, incest ini merupakan suatu dosa atau yang diberi sanksi keras dengan hukuman mati atau hukuman buang, namun pada beberapa
kelompok
masyarakat
yang
masih
terbelakang ada beberapa perkecualian mengenai kawin sumbang ini. Kecuali memberi
batasan
pemilihan
pantangan-pantangan
jodoh kawin
yang dalam
masyarakat-masyarakat suku di dunia, ada pula yang disenangi (marriage preference ). Artinya, ada perkawinan yang sangat diingini oleh sebagaian besar warga masyarakat dan perkawinan itu dianggap ideal, misalnya perkawinan itu antara saudara sepupu, baik
106
dengan anak dari saudara perempuan ayah atau pun dengan anak dari saudara laki-laki ibu. IV. Syarat-Syarat Perkawinan Ditinjau dari sudut adat istiadat berbagai suku bangsa di dunia, syarat-syarat untuk kawin dapat berupa antara lain: 1. Hadiah kawin (bride–price). 2. Pencurahan tenaga kawin (bride–service). 3. Pertukaran gadis (bride–exchange). Hadiah kawin (bride–price) adalah sejumlah harta yang diberikan oleh seseorang pemuda kepada seorang gadis dan kaum kerabat si gadis yang akan menjadi
pasangannya.
Besar
kecilnya
hadiah
perkawinan ini berbeda-beda pada berbagai suku bangsa.
Kadang-kadang
besar
kecilnya
hadiah
perkawinan ini ditetapka secara berunding antara kedua belah pihak yang bersangkutan. Pada suku bangsa tertentu, hadiah perkawinan ini adalah dapat berupa sejumlah harta yang tidak diberikan sekaligus tetapi berangsur-angsur dalam suatu jangka waktu
107
tertentu. Sering kali juga ditemui pada kelompok masyarakat tertentu bahwa adat pemberian pada perkawinan itu tidak hanya datang dari satu pihak saja tetapi juga dari kedua belah pihak. Pihak laki-laki maupun pihak perempuan yang berupa tukarmenukar. Perlu dicatat bahwa arti hadiah kawin (bride–price) ini tidak identik dengan arti mas kawin dalam ajaran Islam. Pencurahan tenaga untuk kawin
(bride–
service) adat melamar gadis dengan cara bekerja bagi keperluan-keperluan si gadis atau keluarga si gadis tersebut. Hal ini biasanya terjadi apabila si laki-laki tidak mampu membayar hadiah perkawinan. Tetapi kebiasaan
seperti
ini
jarang
dilakukan
karena
dianggap kurang terhormat bagi pihak-pihak tertentu. Adat
pertukaran
gadis
(bride–exchange)
adalah suatu kebiasaan yang mewajibkan pada seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan untuk menyediakan seorang gadis pula yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri untuk pertukaran dengan
108
gadis yang dilamarnya itu. Contohnya kebiasaan serupa ini biasa dilakukan pada beberapa suku di Irian Jaya. Perlu diperhatikan biasanya yang menjadi pemberi hadiah perkawinan ini pihak pengantin lakilaki, tetapi pada kelompok masyarakat tertentu bahwa ada juga hadiah perkawinan itu diberikan oleh pihak pengantin perempuan, misalnya pada sebahagian kelompok suku Minangkabau di Sumatera Barat. V. Adab Menetap Setelah Menikah Menurut para antropolog, dalam masyarakat di dunia paling sedikit ada tujuh kemungkinan adat menetap setelah menikah yaitu : 1. Adat
Utrolokal
:
Adat
yang
memberikan
kebebasan pada setiap pasangan pengantin baru untuk menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat dari kerabat suami atau pun di sekitar pusat kediaman kaum kerabat dari sang istri. 2. Adat Virilokal/Patrilokal: Adat yang menentukan bahwa pasangan pengantin baru harus menetap di
109
sekitar pusat kediaman kaum kerabat pengantin laki-laki. 3. Adat
Uxorilokal/Matrilokal:
Adat
yang
menentukan bahwa pasangan pengantin baru harus menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat pengantin perempuan. 4. Adat Bilokal: Adat yang menentukan bahwa pasangan pengantin harus tinggal berganti-ganti, pada suatu masa tertentu di sekitar pusat kediaman kaum kerabat pengantin perempuan dan pada lain masa tertentu pula berdiam di sekitar pusat kediaman kaum kerabat pengantin laki-laki. 5. Adat Neolokal: Adat yang menentukan bahwa pasangan pengantin baru tinggal sendiri di tempat kediamannya sendiri yang baru. 6. Adat Avunkulokal: Adat yang menentukan bahwa pasangan pengantin baru tinggal menetap di sekitar kediaman saudara laki-laki ibu dari pengantin lakilaki.
110
7. Adat Natulokal: Adat yang menentukan bahwa pasangan
pengantin
baru
tinggal
terpisah.
Pengantin laki-laki di sekitar tempat kediaman kaum kerabatnya sendiri dan pengantin perempuan juga tinggal disekitar tempat kediaman kaum kerabatnya sendiri. VI. Bentuk-Bentuk Perkawinan Ada dua bentuk dasar perkawinan yaitu monogami dan poligami. Poligami terbagi lagi dalam dua bentuk yaitu: 1. Poligini adalah bentuk perkawinan di mana seorang laki-laki mempunyai dua atau lebih istri pada saat yang bersamaan. 2. Poliandri adalah bentuk perkawinan di mana seseorang perempuan mempunyai suami lebih dari satu orang pada saat yang sama. Dalam masyarakat tertentu dikenal pula suatu bentuk perkawinan yang dalam bahasa antropologinya dikenal dengan nama perkawinan “leverat”. Adapun yang dimaksudkan dengan perkawinan leverat ini
111
adalah bilamana seorang perempuan ditinggal mati oleh suaminya, maka perempuan tersebut dijadikan istri oleh salah seorang kerabat suaminya. Lawan dari perkawinan leverat ini adalah perkawinan “sororat”, yaitu bila seorang laki-laki ditinggal mati oleh istrinya, maka laki-laki tersebut mengawini salah seorang kerabat perempuan dari istrinya yang mati tersebut. Bentuk perkawinan lainnya adalah perkawinan “hypergami” dan perkawinan “hyopogami”. 1. Pada perkawinan hypergami adalah laki-laki berasal dari lapisan yang lebih tinggi dari pada perempuan. 2. Pada perkawinan hypogami adalah di mana perempuan berasal dari lapisan yang lebih tinggi daripada laki-laki. VII. Makna Perkawinan bagi Masyarakat Manusia Banyak upacara perkawinan modern di Eropa dan Amerika kelihatan sama berkelebihan dengan upacara perkawinan suku-suku yang masih sederhana
112
di daerah-daerah tertentu maka perempuan dari keluarga-keluarga tertentu di Eropa maupun Amerika menganggap pesta besar itu sebagai hal yang sudah semestinya dilakukan. Pakaian pengantin wanitanya antara lain meniru ciptaan perancang termashur di dunia dan mungkin harganya sangat mahal. Upacara pun lama, dalam suasana keagamaan yang khidmat dihadapan banyak tamu undangan, kemudian upacara dilanjutkan dengan resepsi yang meriah yang menyajikan makanan-makanan yang lezat dan nikmat. Upacara yang sudah kompleks ini dilengkapi dengan berbagai seremoni dan simbol-simbol yang berupa
benda-benda
yang
mengingatkan
dan
melambangkan pada hal-hal tertentu yang sudah turun-temurun. Semua pesta ini memperlihatkan pentingnya perkawinan yang ditekankan oleh orang di seluruh
dunia.
Memang,
membangun
keluarga
merupakan suatu titik balik yang penting, suatu langkah awal dalam perjalanan hidup baru yang tak
113
diramalkan. Seorang pria dan wanita dapat saja hidup bersama dan membesarkan anak tanpa perkawinan, namun kenyataan setiap masyarakat mengharapkan mereka diikat oleh perkawinan. Rupanya perkawinan memenuhi suatu tujuan dasar manusia, tujuan yang ada baik pada masyarakat yang paling maju maupun dalam masyarakat yang lebih sederhana dan terpencil. Malinowski,
seorang
antropolog,
mengembangkan pendapatnya dalam bukunya yang berjudul, “Kehidupan Seks Orang-Orang Biadab”, bahwa fungsi utama dari suatu perkawinan adalah menghasilkan anak yang sah. Artinya, anak yang mempunyai nama dan tempat sendiri di masyarakat. Ketentuan ini berarti bahwa seorang anak harus punya hubungan dengan orang tuanya serta keluarga orang tuanya. Seorang perempuan setelah melahirkan sulit menghindari keterikatannya dengan anak-anak yang dilahirkannya
itu,
sulit
baginya
kehamilannya
dan
kelahiran
dari
merahasiakan bayi
yang
dilakukannya. Perkawinan menjamin bahwa si ayah
114
pun akan diakui oleh masyarakat umum sebagai ayah dari bayi yang dikandung oleh seseorang perempuan yang telah digaulinya. Selanjutnya, Malinowski mengemukakan bahwa “tak seorang anak pun boleh dilahirkan ke dunia tanpa seorang laki-laki yang berperan sebagai ayahnya”. Peranan yang diperlukan untuk menjamin tempat yang layak bagi anak-anak dalam masyarakat. Perkawinan itu penting, sebab masyarakat pada umumnya bersikap keras terhadap anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Anak-anak yang dilahirkan di luar nikah dikatakan oleh masyarakat sebagai anak haram, mereka dijadikan cemoohan atau setidak-tidaknya dijadikan sindiran, dan haknya sebagai ahli waris tidak diakui. Mengapa anak yang dilahirkan di luar nikah disebut anak haram ? Apa dasarnya ? Padahal kesehatan jasmani sama utuhnya, pikiran sama baiknya. Hal ini dimungkinkan oleh sebab
itu
semua
kebudayaan
pada
umumnya
menetapkan bentuk-bentuk utama perkawinan yang
115
menjamin keabasahan anak-anak. Tetapi mengingat kelemahan manusia, beberapa kelompok masyarakat mengakui pada anak semacam itu, status tidak diakui. Misalnya di Inggris dan Amerika, bentuk lain dari pada
perkawinan ini dikenal sebagai perkawinan
adat, suatu perkawinan antara pria dan wanita tanpa upacara keagamaan atau catatan sipil, tetapi sematamata karena sudah hidup bersama. Para sosiolog menyebut tentang ini sebagai persatuan atas dasar konsensus. Misalnya, di beberapa daerah antara lain di Trinidad, banyak ditemui bentuk perkawinan seperti ini, orang Trinidad menamakan persatuan atas dasar konsensus
sebagai “hidup bersama”, konon
sebagai perpendekan diri “hidup bersama dalam dosa. Sebab sebagian dari masyarakat Trinidad sendiri menganggap persatuan seperti itu secara moral salah.
Memang
tidak
dapat
dipungkiri
juga
bahwasanya terjadinya bentuk perkawinan seperti itu juga dapat disebabkan oleh beberapa hal misalnya di Trinidad, pekerjaan untuk kaum laki-laki bersifat
116
langka dan musiman. Sehingga rata-rata pemuda walaupun ingin kawin tidak punya uang untuk membiayai upacara perkawinan dan untuk memikul peranan sebagai suami, sebagai pencari nafkah tetap bagi istri dan anak-anaknya. Padahal sebenarnya seorang wanita muda di Trinidad tidak selalu menyukai cara hidup bersama seperti ini, dan lebih menghendaki perkawinan yang sah tetapi ia melakukan hal yang terbaik dalam situasi yang ada. Wanita itu menghibur diri dengan mengemukakan kata-kata antara lain “lebih baik hidup bersama dengan sejahtera dari pada kawin tetapi tidak bahagia”. Wanita itu padahal masih berharap bahwa dalam beberapa tahun teman prianya itu akan mampu mengumpulkan uang yang cukup sehingga mereka dapat menjalani masa selanjutnya sebagai suami-istri yang sah yang kawin secara layak dan sesuai dengan cara adat yang biasanya berlaku dalam masyarakat.
117
Dari uraian di atas ini dapat kita simpulkan bahwa
fungsi
utama
dari
perkawinan
adalah
menjamin keabsahan dari anak-anak yang dilahirkan. Tetapi ada pula fungsi yang lainnya yang juga penting yang
tidak menyangkut masalah hak anak yaitu
perasaan
suami-istri
karena
dalam
banyak
kebudayaan, perkawinan juga memberi kepada setiap suami maupun istri hak yang mengkhususkan atau kita mendahulukan dia dalam hubungan seks dengan pasangannya dan juga memberi mereka kesempatan untuk menjalin kehidupan bersama seumur hidup dengan semangat penuh cinta, saling mendukung, saling menghargai satu sama lain. VIII. Sebab-Sebab Kawin Hamil Kawin hamil dapat terjadi di kalangan masyarakat terutama di kalangan remaja pada saat ini disebebkan antara lain : 1. Salah memberi pengertian tentang arti “Cinta”. Konon hanya di Kepulauan Polinesia dan Amerika Serikat cinta dianggap sebagai alasan
118
yang ukup untuk kawin, dan bahkan di Amerika Serikat masih disangsikan apakah cinta yang dibicarakan orang itu cinta sejati atau bukan, cinta tiruan yang ditiru dari film-film atau tokok model budaya lainnya. Margaret Mead, mencatat bahwa di Irian tidak terdapat kata untuk cinta dan tidak ada pengertian tentang konsep itu. Dalam banyak kebudayaan, cinta sebelum perkawinan dipandang sebagai malapetaka nyata, nafsu manusia yang tak terkendalikan meledak dan merusak usaha manusia untuk menciptakan suatu eksistensi yang terhormat dan tertib bagi dirinya serta keluarganya. Hukum keluarga Yi, yang memerintah Korea sampai negeri ini diduduki oleh Jepang pada tahun 1910, secara khusus menyatakan bahwa perkawinan yang berdasarkan cinta adalah tidak sah dan hukum keras harus diberikan kepada pelakunya.
Tetapi,
kebanyakan
kebudayaan
berpegang pada asas yang lebih manusiawi dan
119
menganjurkan adanya kemesraan sampai pada tingkat
tertentu
atau
sekurang-kurangnya
keselarasan di antara suami istri dapat tercapai guna menjadi landasan bagi pembentukan keluarga kelak. Dalam masyarakat yang menghargai cinta suami istri, peranan cinta dalam perkawinan sering disalahartikan. Kebanyakan orang berkata bahwa mereka “kawin demi cinta” yang berarti bahwa pemilihan pasangan mereka hampir sepenuhnya atas
dasar
cinta.
Cinta
mungkin
juga
diperhitungkan dan memilih pasangan apalagi faktor satu-satunya. Ungkapan lainnya mengenai cinta yang sering terdengar diucapkan oleh mereka yang sedang jatuh cinta adalah “cinta itu buta”, sehingga kadang-kadang mereka yang sedang dimabuk cinta menjadi lupa daratan. 2. Salah memberi pengertian tentang arti “Kebebasan individu”. 3. Melemahkan arti penting dari lembaga perkawinan.
120
4. Kurang efektifnya proses sosialisasi di dalam keluarga. 5. Melemahnya norma-norma tradisional tertentu dalam masyarakat. 6. Bertambah canggihnya alat media komunikasi. IX. Konsekwensi Kawin Hamil Bagi Para Pelakunya Berbicara mengenai kawin hamil, terlintas dalam pemikiran kita tak mungkin pelakunya hanya perempuan saja tetapi tentu laki-laki juga terlibat sebagai pelakunya yang di sampiang perempuan. Sehingga konsekwensinya tentu lebih adil apabila di tanggung dan dibebankan kepada kedua jenis kelamin yang melakukan. Dari uraian mengenai makna perkawinan dapat kita simpulkan bahwa dari sudut sosial kemasyarakatan kawin hamil ini pada banyak masyarakat merupakan suatu bentuk perkawinan yang menyimpang. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh masyasrakat tidak saja pada pihak perempuan tetapi juga
terhadap
pihak
laki-laki,
121
walaupun
pada
kenyataannya lebih banyak pihak perempuan yang menderita. Selain itu, sanksi juga dijatuhkan pada anak yang dilahirkan, padahal anak ini tidak tahu-menahu tentang bagaimana bisa dia lahir dan mengapa dia harus lahir. Jadi, apakah adil kalau anak ini juga dibebani kesalahan dan kehilafan dari orang tuanya ? Tetapi karena kawin hamil itu adalah suatu kejadian yang menyimpang, walaupun sekarang nampaknya sebagian masyarakat mencoba untuk menutup-nutupi kejadian ini. Pada saatnya nanti kejadian ini perlu diperhatikan secara seksama terutama kesadaran masyarakat akan keberadaan hukum yang berlaku umum telah demikian mendarah daging pada anggota masyarakat. Sebagai contoh dari sudut hukum sebetulnya telah ada sanksi hukum yang dapat menjatuhkan kepada seseorang apabila orang tua pihak orang tua merasa keberataan atas perbuatan yang tertimpa kepada anaknya, misalnya KUHP pasal 287, pasal 290 dan seterusnya.
122
X. Cara Pencegahan Melembaganya Kawin Hamil di Kalangan Remaja. Pembinaan anak dan remaja merupakan bagian dari upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai insan sejak dalam kandungan sampai usia dewasa. Tujuan pembinaan anak dan remaja adalah membentuk manusia Indonesia yang berkualitas yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat, cerdas, patriotik, disiplin, kreatif, produktif dan professional. Pembinaan anak dan remaja yang merupakan tanggung jawab orang tua atau keluarga, masyarakat, sekolah, pemerintah, serta anak dan remaja sendiri, sangat
menentukan
kelangsungan
hidup
serta
pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, mental anak dan remaja sebagai kader penerus perjuangan bangsa. Dalam hubungan ini, orang tua, keluarga, masyarakat, anak dan remaja sendiri
123
merupakan pelaku utama, sedangkan pemerintah berfungsi sebagai pendorong dan pembimbing serta menciptakan
suasana
yang
menunjang
dan
menggalang kemitraan semua pelaku pembinaan anak dan remaja dalam suatu gerakan nasional. Sehubungan dengan petunjuk di atas, guna mengatasi melembaganya kawin hamil di kalangan remaja terutama, maka partisipasi dari berbagai pihak sangat dibutuhkan. Usaha-usaha yang dapat dilakukan adalah antara lain : 1. Memberi pengertian yang tepat guna mengenai masalah-masalah seksualitas di kalangan remaja pada umumnya. 2. Lebih
mengefektifkan
ajaran-ajaran
agama,
larangan-larangan yang merupakan adat kebiasaan yang turun-temurun telah menjadi pegangan yang baik bagi kaum remaja. 3. Membuat perencanaan pemanfaatan waktu luang di kalangan remaja yang lebih efektif dan bermanfaat
124
luas dengan memperhitungkan segi-segi psikologi, sosiologis, dan lain sebagainya yang melekat pada remaja-remaja bersangkutan.
125
DAFTAR PUSTAKA
Collins, Randall., Sociologi of Marriage & The Family, Gender, Love and Property. Chicago: Nelson – Hall, 1987. Koenjaraningrat., Antropologi Sosial Budaya. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1967. Soekanto,
Soerjono., Sosiologi Keluarga, Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1990.
126
PASANGAN BERWAWASAN KESETARAAN (EGALITER) (Pasangan Ideal di Masa Datang)
I.
Pendahuluan Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa ditemani oleh manusia lain. Hal ini terutama disebabkan oleh karena manusia mempunyai naluri untuk senantiasa hidup dengan mempunyai kawan. Pada sikap manusia normal, sejak dia dilahirkan naluri untuk hidup berkawan pada dasarnya telah ada dan dimiliki. Hal lain pula yang memnyebabkan pentingnya teman hidup bagi seorang manusia karena manusia tidak dilengkapi dengan sarana mental dan fisik yang memungkinkan manusia itu untuk dapat hidup sendiri.
127
Kebutuhan manusia akan kawan memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi, kegunaan dan pendapat. Ada teman untuk bekerjasama dalam menyelesaikan
suatu
bersenang-senang
tugas,
ada
teman
untuk
ada
juga
teman
untuk
dan
membentuk suatu keluarga. Teman untuk membentuk suatu keluarga adalah teman yang relatif sulit untuk ditemukan, karena
teman
serupa
ini
bukan
untuk
suatu
kesepakatan atau untuk seketika saja, tetapi untuk menjadi teman sampai masing-masing menutup mata untuk selama-lamanya. Untuk mendapatkan teman ataupun pasangan yang ideal dalam bentuk keluarga pada prinsipnya memerlukan proses yang relatif lama dan
cukup
berbelit-belit,
oleh
karena
akan
dipertemukan dua sosok individu yang masingmasing mempunyai berbagai hal yang relatif berbeda. Selain itu, pembentukan keluarga melalui pernikahan juga menimbulkan berbagai macam akibat yang bukan saja dialami oleh kerabat-kerabat mereka. Pada
128
semua masyarakat, baik masyarakat Barat maupun masyarakat Timur seyogyanya terdapat peraturanperaturan yang kompleks yang mengatur proses pemilihan pasangan dan juga pernikahan, dan pada setiap masyarakat juga biasanya proses pembentukan keluarga melalui pernikahan, dan melalui tahapantahapan antara lain : 1. Tahapan perkenalan; 2. Tahapan berpacaran; 3. Tahapan pelamaran; 4. Tahapan pernikahan. Pada tahapan-tahapan di atas seyogyanya pula ada campur tangan pihak lain selain orang yang langsung berkepentingan misalnya saja orang tua mereka ataupun kerabat-kerabat mereka. Campur tangan ini bisa pada semua tahapan tetapi ada kalanya hanya pada tahapan tertentu saja. Memang
banyak
pasangan
yang
akan
membentuk keluarga menganggap bahwa pemilihan pasangan yang dilakukan oleh diri mereka masing-
129
masing merupakan suatu hal yang benar, tetapi nampaknya banyak keputusan yang menyeluruh, pilihan-pilihan
dan
alternatif-alternatif
perlu
dipertimbangkan mengingat keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat luas tidak terhindar dari perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat luas itu, baik secara lokal maupun masyarakat internasional. Oleh sebab itu, dalam konteks ini penulis mencoba mengungkapkan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan pada saat ini dan saat mendatang oleh pasangan yang akan membentuk keluarga agar keluarga yang dibentuk itu dapat langgeng sepanjang hayat hidup mereka. Untuk itu, isu-isu yang akan dilontarkan pada konteks kali ini adalah mengenai pasangan yang berwawasan kesetaraan
(egaliter),
pembaca
merupakan
yang
menurut
isu-isu
yang
wawasan perlu
dimasyarakatkan mengingat bentuk masyarakat kita yang akan datang berkemungkinan lain dari bentuk
130
masyarakat yang kita alami pada saat ini dalam hal hubungan antara anggota keluarga. II. Prinsip-Prinsip dan Pandangan-Pandangan dalam Pemilihan Pasangan/Jodoh yang Dikenal Masyarakat Setiap masyarakat baik di Barat maupun di Timur
mempunyai
larangan-larangan
terhadap
pemilihan pasangan/jodoh bagi anggota-anggotanya. Pada masyarakat Jawa dari lapisan berpendidikan (well–educated), di kota-kota hampir tidak ada pembatasan
asal
saja
mereka
tidak
memilih
pasangan/jodoh dari saudara kandungnya sendiri karena hal ini berarti sumbang (incest). Ada kelompok masyarakat yang dilarang mencari pasangan / jodoh di antara sesama orang yang mempunyai marga yang sama, misalanya pada kelompok masyarakat Tapanuli (Batak) di Sumatera Utara. Ada pula kelompok masyarakat
yang
anggotanya
dilarang
memilih
pasangan/jodoh dari lapisan sosial yang berbeda misalnya di India pada sistem kasta.
131
Selain
itu,
ada
pula
prinsip
pemilihan
pasangan/jodoh dari saudara sepupu baik di pihak bapak maupun di pihak ibu, misalnya pada kelompok masyarakat Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, selain itu pula, pada kelompok masyarakat Bugis Makassar ada dua kecenderungan dalam memilih pasangan/jodoh yang diingini berhubung dengan gengsi sosial keluarga yaitu: 1. Bersifat Endogami, yaitu diinginkan sedapat mungkin untuk memperkuat hubungan kerabat yang telah ada. 2. Bersifat Kawin Naik, yaitu kawin dengan orang yang dianggap memiliki status dan gengsi sosial yang lebih tinggi (Al – Hadar, 1977: 39). Yang paling dianggap ideal adalah jika kedua prinsip di atas ini dapat terpenuhi sekaligus. Hal serupa ini pada umumnya lebih berlaku pada gadis-gadis dari pada terhadap laki-laki. Prinsip yang agak mirip juga ditemui pada kelompok masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Pada kelompok masyarakat ini di
132
masa yang lampau, orang tua sudah cukup merasa senang apabila mendapatkan menantu yang berbangsa atau terkemuka walaupun menantunya itu sudah sama-sama tua dengan bapak dari si gadis. Yang dipikirkan bagi orang tua bukan harta yang akan diperoleh dari perkawinan ini tetapi mendapat keturunan yang baik, sehingga ada yang mengatakan bahwa pada laki-laki yang dicari adalah bibitnya. Bagi kelompok masyarakat Minangkabau, yang dianggap sebagai contoh suatu masyarakat dengan sistem matrilineal yang sangat spesifik tidaklah menjadi kebiasaan menyerahkan
bahwasanya suatu
pengantin
pemberian
pada
laki-laki pengantin
perempuan. Pada beberapa daerah di Sumatera Barat justru keluarga pengantin perempuan yang memberi hadiah kepada
pengantin
laki-laki.
Tambah
berbangsa
seorang laki-laki tambah besar hadiahnya. Pada saat ini, nampaknya bukan lagi hanya berbangsa, laki-laki yang disenangi untuk menjadi pasangan tetapi dapat
133
berbentuk
hal-hal
lain
misalnya
bertitel
dan
berkedudukan atau berjabatan tinggi. Bagi gadis-gadis di Minangkabau harta dari pihak suami mereka tidaklah menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan karena pepatah mereka mengatakan: 1. Kalau kurang bangsa, minta kepada nenek; 2. Kala kurang harta, minta kepada mamak; 3. Kalau kurang adat, minta kepada lumbago. Pada
masyarakat
ini
dari
segi
materi,
perempuan mempunyai posisi yang tinggi karena ketergantungan materi pada laki-laki relatif kecil tetapi tentunya laki-laki yang akan menjadi pilihan bukan juga sembarang laki-laki, dia juga harus mempunyai
suatu
nilai
lebih
walaupun
tidak
berbentuk materi yang dimiliki. Pada
dasarnya,
proses
pemilihan
pasangan/jodoh berlaku seperti sistem pasar dalam ekonomi.
Sistem
ini
berbeda-beda
dari
satu
masyarakat ke masyarakat lainnya, tergantung pada siapa
yang
mengatur
134
transaksinya,
bagaimana
peraturan penekanannya dan penilai yang relatif mengenai berbagai macam kualitas (Goode, 1983: 65) misalnya di Jepang dan Cina. Pada masa lampau pada kaum ningratnya berlaku sistem bahwasanya yang mengatur transaksi-transaksi pemilihan pasangan dilakukan oleh tetua secara resmi, sah dan umum oleh laki-laki meskipun yang membuat keputusan terakhir biasanya kaum wanita tua. Demikian pula kelompok Puritan di New England pada abad XVIII, bapak sangat campur tangan dalam proses pembentukan keluarga dari anak-anaknya baik pada anak laki-laki lebih-lebih bagi anak perempuan (Scanzoni dan Sacnzoni, 1981: 135) tetapi ada juga kelompok masyarakat yang memberikan kebebasan bagi anak perempuannya untuk mencari dan memilih serta menentukan
sendiri
pasangannya
yaitu
pada
kelompok pendatang dari Prancis yang berimigrasi dari Amerika Serikat pada pertengahan abad XIX (Scanzoni dan Scanzoni, 1981: 136). Hal ini pula biasanya
juga
menjadi
135
faktor
penentu
dalam
pemilihan
pasangan/jodoh
adalah
pendidikan,
usia/umur, agama dan ras (Scanzoni dan Scanzoli, 1981: 149 – 154). Pendidikan adalah suatu resource dimana orang-orang dapat mengemukakan sebagai alat tawar menawar
dalam
pemilihan
pasangan/jodoh
dan
pendidikan itu juga sebagai indikator dari status sosial. Banyak orang lebih menyukai untuk kawin dengan orang yang mempunyai pendidikan yang sama dengan diri mereka sendiri. Usia/umur, pada tahun 1977 di antara 59 % pasangan di Amerika Serikat yang saling mengawini cenderung berumur sama atau berbeda antara laki-laki dan perempuan dengan jarak tidak lebih dari empat tahun. Hanya satu dari lima pasangan yang menikah mempunyai suami yang lebih tua antara lima sampai sembilan tahun dari pada umur si istri. Hanya 7 % saja dari pasangan suami istri di Amerika Serikat di mana suami lebih tua dari istri sepuluh tahun atau
136
lebih dari sepuluh tahun (Scanzoni dan Scanzoni, 1981: 150). Agama,
data
yang
menjelaskan
tentang
perkawinan antara agama yang berbeda sangat tidak lengkap tetapi dari data yang ada dan sangat dapat ditarik kesimpulan bahwasanya pemilihan jodoh yang diteruskan ke jenjang pernikahan dari mereka cenderung meningkat atau bertambah khususnya antara penganut agama Katolik dan Protestan. Ras, dalam masalah ini nampaknya jarang ada pengecualian,
orang
cenderung
untuk
mencari
pasangan/jodoh dan akhirnya menikah dengan orang yang berasal dari kelompok ras yang sama dengan dirinya.
Arti
ras
di
sini
dimaksudkan
untuk
menunjukkan pada perbedaan/jodoh terhadap orangorang dari kebangsaan yang lain dari kebangsaan dirinya sendiri. Selain hal-hal di atas, hal-hal lain juga yang menjadi determinan dalam pemilihan pasangan/jodoh adalah bahwasanya seorang wanita biasanya lebih
137
berpendidikan
dan
mempunyai
pekerjaan
yang
bermasa depan sangat baik serta cerah. Simbol-simbol ini oleh para ahli Sosiologi Keluarga disebut sebagai gejala “The Marriage Gradient” (perkawinan derajat naik). Faktor lain yang juga diperhitungkan orang dalam hal pemilihan pasangan/jodoh ialah “cinta”. Cinta dianggap sebagai suatu ancaman terhadap sistem stratifikasi pada banyak masyarakat dan orangorang tua memperingatkan untuk tidak menggunakan cinta sebagai dasar pemilihan pasangan/jodoh (Goode, 1983: 76). Cinta merupakan ancaman besar bagi sistem pelapisan sosial karena cinta dapat mengacaukan rencana para pengatua adat untuk menghubungkan dua garis keturunan atau warisan-warisan keluarga, atau menghubungkan keluarga yang berkedudukan tinggi
dengan
berkedudukan
rendah
sehingga
memalukan keluarga yang berkedudukan tinggi. Karena
masyarakat
percaya
138
bahwa
milik/harta
kekayaan, kekuasaan, kehormatan, garis keturunan, hubungan marga dan elemen-elemen keluarga lainnya dalam semua masyarakat dianggap mengalir dari satu generasi
ke
generasi
berikutnya
melalui
garis
keturunan, yang disatukan oleh perkawinan (Goode, 1983: 81). Oleh Karen itu, orang yang jatuh cinta harus melawan badai amarah, kekuasaan, persaingan dan ketakutan diri sendiri untuk menikah. Margaret Mead mencatat bahwa di Irian tidak terdapat kata untuk cinta dan tidak ada pengertian tentang konsep itu (Wernick, 1987: 57). Dalam banyak kebudayaan, cinta sebelum perkawinan dipandang sebagai malapetaka nyata, nafsu manusia yang tidak terkendalikan meledak dan merusak usaha manusia untuk menciptakan suatu eksistensi yang terhormat dan tertib bagi dirinya serta keluarganya. Hukum keluarga Yi, yang memerintah Korea sampai negeri ini caplok Jepang pada tahun 1910, secara khusus menyatakan bahwa perkawinan yang berdasarkan cinta adalah tidak sah dan hukuman
139
keras harus diberikan kepada pelakunya. Demikian pula halnya di Jepang dan di Cina kuno, pada masyarakat dari lapisan atasnya, cinta juga dianggap sebagai suatu tragedi atau setidak-tidaknya sesuatu yang tidak sesuai dengan pemilihan orang tua dalam pemilihan pasangan/jodoh seseorang (Goode, 1983: 81). Banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengendalikan hubungan cinta antara lain dengan pengawasan ketat misalnya orang-orang muda sama sekali tidak diperbolehkan untuk berdua saja atau berinteraksi secara akrab, atau sistem pemisahan secara fisik antara perempuan dengan laki-laki pada masyarakat Islam. Apabila di satu pihak masyarakat tidak atau kurang setuju dengan hadirnya cinta dalam pemilihan pasangan/jodoh maka di pihak lain pada masyarakatmasyarakat tertentu yang kebudayaannya berpegang pada asas yang lebih manusiawi dianjurkan adanya kemesraan sampai ketingkat tertentu, atau sekurangkurangnya keselarasan di antara suami istri. Di
140
kepulauan Polinesia dan Amerika Serikat, cinta dianggap sebagai yang berarti untuk pemilihan pasangan / jodoh yang kelak akan di akhiri ke jenjang perkawinan. Tetapi, walaupun demikian ternyata di Amerika Serikat pun orang-orang masih sangsi apakah cinta yang dibicarakan orang itu adalah cinta sejati dan bukan cinta tiruan yang secara kurang sadar diciplak dari film-film. Berkenaan
mengenai
cinta,
ada
seorang
sarjana Sosiologi bernama Ira Reiss, menguraikan tentang “Teori Roda Cinta”, menurutnya bahwa cinta adalah lingkaran yang selalu berputar yang dimulai adanya jalinan interaksi antara dua orang. Hubungan ini kemudian berubah menjadi saling keterbukaan, akhirnya menjadi saling ketergantungan. Adapun yang dimaksudkan saling ketergantungan dalam arti seseorang
tergantung
pada
orang
lain
dalam
memenuhi kebiasaannya, seperti kebutuhan akan hadirnya seseorang sebagai tempat menceritakan pikirannya, perasaannya, untuk bercanda, untuk
141
memenehui kebutuhan seksualnya. Bila kebiasaankebiasaan ini tidak terpenuhi, maka manusia akan mengalami
kesepian
dan
frustasi.
Kebiasaan-
kebiasaan yang demikian cenderung mengekalkan suatu hubungan, dan pada saat yang bersamaan pula, berputarnya
roda
ini
dapat
terhenti
misalnya
dikarenakan adanya pertengkaran sehingga keserasian di antara pelaku-pelaku terganggu dan menimbulkan kemacetan
pada
perputaran
roda
cinta
tadi.
Kemacetan yang sangat fatal bisa menimbulkan perpisahan atau perceraian antara dua insan yang saling berketergantungan tersebut. III. Perubahan-Perubahan yang Secara Tidak Langsung Mempengaruhi Pemilihan Pasangan/Jodoh Perubahan sosial adalah suatu gejala yang pasti dialami oleh setiap masyarakat. Keluarga sebagai unsur terkecil dari masyarakat pun tidak terlepas dari perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Ronald Lippit, yang dikutip dari
142
Merril dan Elliot, pendorong bagi perubahan keluarga adalah berkembangnya kebudayaan materi, tingkat penemuan dan inovasi teknologi, perbaikan fasilitas transportasi, komunikasi, urbanisasi dan meluasnya industrialisasi (Khairuddin, 1985: 90). Dengan adanya perubahan-perubahan paling
umum
ini,
masalah-masalah
dijumpai
adalah
yang
terjadinya
perkembangan-perkembangan dalam masyarakat di mana
salah
satunya
adalah
perubahan
yang
berpengaruh terhadap lembaga keluarganya. Hal-hal yang berada di luar lembaga keluarga yang dapat mempengaruhi lembaga keluarga sehingga berubah dari keadaan semula antara lain perubahan pada sistem ekonomi, perubahan teknologi, perubahan cara pandang suatu masyarakat. Salah satu akibat dipisahkannya kegiatankegiatan ekonomi dari lingkungan keluarga atau komunitas adalah hilangnya beberapa fungsi keluarga dalam
sistem
ekonomi.
Keluarga
tidak
lagi
merupakan suatu unit produksi maka anggota-
143
anggotanya ada yang pergi meninggalkan keluarga untuk mencari pekerjaan dalam pasaran tenaga kerja. Implikasi yang fundamental dari perubahan sistem ekonomi yang terutama dipaksanakan oleh tuntutantuntutan mobilitas keluarga adalah terjadinya proses individualisasi dan isolasi keluarga batih (Smelser dalam Myron Weiner, 1984: 64). Hal lain pula yang diakibatkan oleh mobilitas salah satu anggota keluarga karena harus mengisi lapangan pekerjaan yang berkemungkinan terdapat jauh dari tempat tinggalnya adalah melemah atau melonggarnya hubungan sosial dengan anggota-anggota kerabat luasnya maupun keluarga batihnya. Hubungan
dengan
anggota
seketurunan
menjadi lemah atau pun pecah, hal ini pun menyebabkan
kebiasaan-kebiasaan
adat
yang
biasanya dilakukan bersama-sama menjadi semakin tidak mungkin dilaksanakan sebagaimana biasanya. Sementara itu juga, hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya juga mengalami perubahan. Seorang
144
bapak
tidak
leluasa
lagi
dapat
menurunkan
keterampilan yang dimilikinya pada anak-anaknya. Keadaan yang lebih fatal lagi adalah melunturnya kewibawaan ekonomi seorang bapak, sementara karena laki-laki berkurang pengaruhnya, di pihak lain kaum wanita terbuka kesempatan untuk juga bekerja di luar rumah tangganya di mana hal ini dapat ditelusuri dari bertambah banyaknya wanita yang bekerja di pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan dan di kantor-kantor (Kairuddin, 1985: 94). Perubahan ini juga telah menghancurkan paham kuno yang terdapat bahwa laki-laki harus bekerja di luar rumah dan perempuan tempatnya di dapur. Selain itu pula perubahan yang terjadi ini menyebabkan para istri dan para wanita mempunyai derajat kebebasan yang sama dengan suami mereka dan para lelaki dalam hal tertentu. Bidang lainnya yang juga mempengaruhi keberadaan lembaga keluarga adalah perubahan dan perkembangan teknologi yang lebih canggih dari
145
semula.
Masuknya
hasil-hasil
teknologi
dalam
kehidupan rumah tangga terutama pada kelompok wanita dari lapisan tertentu. Hasil-hasil industri tidak hanya menggantikan barang-barang keperluan rumah tangga tetapi juga dalam penerapan penghematan tenaga kerja sehingga bertambah banyak waktu luang wanita dalam pekerjaan rumah tangga semakin bertambah kesempatan beraktifitas di luar rumah tangganya baik untuk mecari nafkah tambahan maupun untuk kegiatan sosial. Sementara perubahan-perubahan di bidang fisik sedang berlangsung bersamaan pula terjadi perubahan dalam cara pandang, sikap dan perilaku masyarakat. Nilai-nilai lama sebagai dasar cara pandang terhadap suatu gejala yang ada di dalam masyarakat digeser oleh nilai-nilai yang lebih modern. Misalnya dalam hubungan sosial antara anggota keluarga, peranan
pandangan bapak
nampaknya
yang
lebih
sudah
beranggapan
penting
tidak
146
dari
cocok
bahwa
pada lagi
ibu, untuk
dipertahankan. Pandangan bahwa pekerjaan rumah tangga seorang ibu tidak produktif lagi perlu dikaji lebih lanjut, pandangan bahwa wanita subordinasi dari laki-laki kurang tepat lagi. Akhirnya dapat disimpulkan dari uraian di atas bahwa walaupun bagaimana perubahan-perubahan sistem ekonomi, sistem sosial, politik, teknologi dan lain sebagainya mempengaruhi hidup individuindividu dan keluarga, dan pada akhirnya pula akan mempengaruhi salah satu aspek dari fungsi keluarga yaitu sistem pemilihan pasangan/jodoh karena hal ini merupakan perangkat yang ada dalam lembaga keluarga. IV. Penutup: Aspek Pemilihan Pasangan/Jodoh Pada Masa-Masa Mendatang Keluarga
sebagai
suatu
lembaga
sosial
mempunyai tujuan yang jelas, struktur yang jelas, mempunyai
susunan
kegiatan
dari
anggota-
anggotanya yang harus dilaksanakan oleh setiap anggotanya, mempunyai nilai-nilai pokok yang
147
menjadi pedoman bagi para anggotanya, mempunyai cara-cara
tertentu
untuk
memperkembangkan
bentuknya, namun demikian keluarga tidak luput dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat baik lokal maupun internasional. Salah satu pengaruh dari perubahan ini terhadap salah satu aspek yang ada dalam fungsi keluarga yaitu dalam hal pemilihan pasangan/jodoh. Adanya perubahan-perubahan dalam sistem ekonomi, di bidang teknologi yang mengena pada kehidupan keluarga turut mempengaruhi proses pemilihan pasangan/jodoh, ditambah lagi dengan di masyarakatkannya ideologi baru atau pun pandanganpandangan baru mengenai hubunga sosial antara lakilaki dan perempuan. Cara-cara pemilihan pasangan/jodoh yang pada masa lampau biasa dilakukan oleh masyarakat, bergeser ke arah yang lain dan lebih sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat ini. Kalau dulu pada pemilihan pasangan/jodoh, kaum prialah yang lebih
148
aktif, nampaknya kaum wanita pun tidak boleh berdiam diri tetapi harus juga menentukan siapa-siapa saja yang pantas untuk menjadi teman hidupnya. Pada saat-saat mendatang, wawasan kesetaraan (egaliter) antara dua orang yang hendak membentuk keluarga nampaknya akan berperan.
149
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hadar, Jamine, S., Perkawinan dan Perceraian di Indonesia. Suatu Studi Antar Kebudayaan. Jakarta: LDFK – UI. Goode, William J., Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bina Aksara, 1983. Khairuddin, H., Sosiologi Nurcahya, 1985.
Keluarga,
Yogyakarta:
Scanzoni & Scanzoni., Men, Women and Change. New York: McGraw Hill Book Company, 1981. Weiner, Myron (edt.)., Modernization. Voice of America From Letures. Wernick, Robert., Perilaku Manusia : Keluarga. Jakarta: Tira Pustaka, 1987.
150
IDEOLOGI GENDER SEBAGAI LANDASAN PEMBAGIAN PERAN GUNA MENCIPTAKAN INSAN PEMBANGUNAN INDONESIA
I.
Pendahuluan Menghadapi program pembangunan jangka panjang tahap II di mana Indonesia mencanangkan untuk tinggal landas maka sudah pada tempatnya apabila semua sumber daya, sarana, dana dan pemikiran kita arahkan demi terciptanya tahapan pembangunan
tersebut.
Sumber
daya
yang
dimaksudkan bisa berupa modal atau material dan bisa pula berupa manusia-manusia yang merupakan warga negara. Manusia-manusia ini ditinjau dari jenis kelaminnya yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Dalam landasan ideal yaitu Pancasila, landasan
151
kostitusional
yaitu
UUD
1945
dan
landasan
operasional yaitu GBHN tidak ada pernyataan yang menunjukkan
adanya
perbedaan
kewajiban,
kesempatan dan kemampuan antara warga negara yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dalam tiga dasawarsa terakhir ini pengakuan terhadap pentingnya peranan wanita dalam proses pembangunan semakin meningkat. Sejalan dengan meningkatnya pengakuan akan pentingnya peranan wanita dalam pembangunan, juga telah meningkatkan kesadaran
dan
pengakuan
terhadap
kelemahan
perencanaan pembangunan dalam memperhatikan secara penuh dan memperhitungkan secara tepat dan sistematis
sumbangan
pembangunan
maupun
wanita
terhadap
dampak
proses
pembangunan
terhadap wanita. Peningkatan peran wanita yang sedang gencar diusahakan muncul karena peran wanita yang tertuang dalam GBHN 1988 baik hak, kewajiban maupun kesempatan di segala bidang kehidupan dan segenap
152
kegiatan pembangunan diakui sama dengan laki-laki pada kenyataannya belum tercapai sepenuhnya. Apa penyebabnya, bangaimana mengatasinya, dan siapa yang menanganinya merupakan serentetan pertanyaan yang saling terkait yang tidak mudah untuk dijawab. Tetapi,
untuk
sementara
penulis
mencoba
mengemukakan salah satu penyebab mengapa antara kebijaksanaan yang digariskan dengan kenyataan, pelaksanaannya di lapangan tidak bisa sinkron atau sejalan. Hal ini menurut penulis disebabkan oleh adanya suatu paham yang telah mendarah daging dan secara
turun-temurun
disosialisasikan
dari
satu
generasi ke generasi lainnya. Paham itu adalah apa yang oleh para ahli di istilahkan sebagai ideologi gender. II. Ideologi Gender, Pengertian dan Ruang Lingkup Dalam kamus, gender sering diartikan sebagai jenis kata yang membedakan laki-laki dengan perempuan. Ilmuan yang berasal dari Barat maupun
153
negara
yang
sedang
berkembang
mempunyai
kesamaan pandangan tentang gender ini. Menurut Heyzer (1991), “Gender is socially coustructed roles ascribed to men and women”. Dalam studi perempuan gender dimaksudkan sebagai perbedaan antara lakilaki dan perempuan secara sosial yang mengacu pada unsur emosional, kejiwaan dan sosial. Sedangkan Lerner (1986), mendefinisikan gender sebagai suatu tindak-tanduk yang sesuai dengan jenis kelamin tertentu pada suatu masyarakat pada waktu tertentu. Dengan demikian, gender mengacu pada pengertian yang khas yaitu seorang laki-laki tidak sama dengan seorang perempuan dalam berbagai dimensi. Ada pula yang
menggambarkan
dan
menjelaskan
gender
sebagai pemisah antara ruang domestik maternal dalam keluarga dan ruang publik di mana laki-laki menjadi aktor utamanya yaitu Bates dan kawankawan ( 1983 ). Secara langsung maupun tidak langsung akhirnya gender membentuk pembagian kerja yang
154
mengalokasikan perempuan pada jenis pekerjaan padat
karya,
rumit,
sedangkan
laki-laki
pada
pekerjaan yang padat pikir. Hal ini menimbulkan budaya, struktur sosial dan sikap patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat di berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial termasuk partisipasi. (Burton, 1985 dan Heyer, 1991). Dengan konstruksi gender ini selain membentuk perbedaan-perbedaan juga membentuk polaritas dua kutub yaitu di mana kutub yang satu tidak sama dengan kutub yang lain. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa gender bukanlah merupakan sifat bawaan yang dibawa sejak lahir tetapi lebih merupakan hasil rekayasa manusia itu sendiri. Keadaan biologis yang berbeda dengan laki-laki dan perempuan itulah yang dipergunakan untuk menentukan perbedaan dan peran gender. Seperti juga yang dikemukakan oleh para penganut teori nurture bahwa perbedaan dalam pembagian peran antara laki-laki dan perempuan
155
ditentukan oleh perbedaan biologis mereka. Pendapat ini pun diragukan oleh para penganut teori nurture yang berpendapat bahwa apa yang disebut sifat kewanitaan adalah hasil pemupukan masyarakat melalui suatu sistem pendidikan. Bahkan menurut penganut teori nature ini pula usaha untuk membagi manusia
menjadi
dua
golongan
laki-laki
dan
perempuan dan usaha untuk membedakan kedua golongan manusia ini dalam peran sosial mereka yang merupakan suatu tindakan politik yang direncanakan. Golongan yang lebih kuat yakni kaum laki-laki selalu melihat keunggulannya sebagai sesuatu yang alamiah (Budiman, 1985). Dari saduran Arif Budiman ini akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa paham gender ini dikembangkan dan di internalisasikan oleh orang-orang di lingkungan tempat manusia itu dibesarkan. Agar paham gender ini diterima dan menjadi bagian dari sistem nilai pada masyarakat bersangkutan maka diperlukan pranata sosial yang menunjangnya. Pranata sosial ini, antara lain:
156
1. Adat istiadat; 2. Kebudayaan; 3. Lingkungan
dan
pranata
membesarkan
dan
mendidik anak; 4. Struktur yang berlaku; 5. Kekuasaan (Hesti R. Wijaya, 1991). Mengakui
gender
tidak
terlepas
dari
personalitas laki-laki dan perempuan, hingga saat ini dikenal dengan adanya streotipe yang membedakan keduanya. Timbulnya stereotipe ini berawal dari beberapa aspek. Sejarah adalah salah satu di antaranya.
Perkembangan
sejarah
menunjukkan
ketergantungan hidup perempuan pada laki-laki (Budiman, 1991 dan Hesti R. Wijaya, 1991 ). Di dalam kebudayaan dominasi laki-laki di satu pihak subordinasi perempuan di pihak lain membentuk stereotipi perempuan yang tersubordinat. Secara obyektif memang ada butir-butir stereotipi perempuan yang bernilai positif seperti tertera pada skema 1 di bawah ini, tetapi tentunya ada
157
pula stereotipi laki-laki yang juga bernilai positif seperti yang tertera pada skema 2. Skema 1: Butir stereotipi perempuan lebih positif dibandingkan dengan laki-laki.
Perempuan
Laki-Laki
Tidak suka menggunakan kata-kata kasar. Suka berbicara Halus dan lembut Peka terhadap perasaan orang lain Religius Sangat memperhatikan dandanan sendiri
Suka berkata kasar
Tak banyak bicara Kasar Tidak menyadari perasaan orang lain Tidak begitu religious Tidak begitu tertarik dengan dandanan sendiri Kebiasaan rapih Tak terbiasa rapi Membutuhkan Butuh pengamanan pengamanan diri sedikit Bicara pelan Bicara keras Menyenangi seni dan Tidak menyenangi seni literatur dan literatur Mudah mengepresikan Tidak mudah perasaan mengepresikan perasaan
158
Skema 2 : Butir-butir stereotipi laki-laki lebih positif di bandingkan dengan perempuan.
Laki-Laki
Perempuan
Tidak tergantung Sangat agresif Tidak emosional Menutup emosi Sangat obyektif Tidak mudah dipengaruhi
Sangat dominan Menyukai matematika dan ilmu pengetahuan
Aktif Kompetitif Logis Orientasi pada publik
Terampil bisnis
Lugas Tahu bertindak Tegar Berjiwa advonturir Mudah dan pandai mengambil keputusan
159
Tergantung Tidak agresif Sangat emosional Tidak menutup emosi Kurang obyektif Sangat mudah dipengaruhi Sangat submisif Tidak menyukai matematika dan ilmu pengetahuan Pasif Tidak kompetitif Tidak logis Orientasi pada rumah Tidak terampil bisnis Berbelit-belit Tidak tahu bertindak Mudah tersinggung Bukan advonturir Sasah membuat keputusan
Pandai memimpin
Tidak pandai memimpin Percaya diri Tidak percaya diri Ambisius Tidak ambisius Bebas bicara tentang Tidak bebas bicara seks tentang seks
(Bates dan kawan-kawan, 1983). III. Pencurahan Gender dalam Kehidupan SehariHari Menurut Whitehead dan Conway (1986), Kamel (1988) dan Matsui (1989), tentang pengalaman ideology
gender
terjadi
di
mana-mana.
Adat
kebiasaan dan kebudayaan menyebar luaskan baik pada generasi yang sama atau pun diestafetkan antar generasi di rumah tangga, masyarakat, bangsa dan bahkan di pasaran tenaga kerja dan di tempat kerja. Laki-laki dan perempuan diharapkan memegang peranan tertentu. Kalau peran itu tidak dilaksanakan, maka ia akan dianggap melawan norma atau pun adat. Apa pun karakteristik yang diberikan perempuan
160
memperoleh peran dan tugas secara kultur dianggap inferior dengan yang lain. Gender tercurahkan pada berbagai sikap, tradisi, norma dan nilai, dengan akibatnya perempuan berada dalam keadaan di subordinasi, didominasi atau pun dieksploitasi. Tidak
saja
laki-laki,
perempuan
pun
menginternalisasi perbedaan gender sebagai suatu keharusan dan tragis, dalam beberapa hal internalisasi perempuan tak lebih sebagai obyek laki-laki yang membuat
perempuan
terhormat
yang
kemandirian
dan
terbius
semu.
pada
Mereka
mendambakan
kedudukan kehilangan
laki-laki
akan
membawanya pada kebahagiaan yang oleh Dowling (1980) diistilahkan sebagai Cinderella Complex. Gender telah menunjukkan pengaruhnya dalam seluruh aspek kehidupan di hampir seluruh aspek kehidupan di hampir seluruh masyarakat, tidak hanya dalam aspek sosial, ekonomi, politik tetapi juga dalam aspek agama, bahasa dan peralatan yang dipakai. Untuk
lebih
jelasnya
161
bagaimana
mencurahkan
ideology gender dalam berbagai aspek kehidupan manusia dapat di telusuri dari contoh-contoh berikut ini: 1. Dalam Keluarga Dimulai dari kelahiran, bayi laki-laki lebih dikehendaki dari pada bayi perempuan pada beberapa
keluarga
karena
beberapa
alasan
misalnya anak laki-laki penerus keturunan, anak laki-laki
berpeluang
mempunyai
pekerjaan
terhormat di dunia publik, sedangkan anak perempuan peluang terbesarnya adalah bekerja di rumah. Sejak kecil, anak laki-laki dididik berbeda dengan anak perempuan yaitu dengan pembagian pekerjaan yang tidak sama. Demikian pula dalam hal alat-alat bermain. Anak perempuan diberikan permainan yang berkaitan dengan reproduksi (boneka), pemeliharaan rumah tangga (masakmasakan) dan sebagainya. Dalam sosialisasi model
162
peranan, anak perempuan dididik mencontoh identitas ibunya. Dalam pengantin
perkawinan, laki-laki,
berbeda
umumnya
dengan pengantin
perempuan dituntut keperawanannya. Apabila telah menjadi suami istri yang terikat dalam lembaga perkawinan, mereka pun
mempunyai peranan
yang berbeda. Perempuan bertanggung jawab mengasuh dan mendidik anak, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan melayani suami, sedangkan suami bertugas mencari nafkah. Bahkan bagi istri yang juga bekerja di luar rumah tangga tetap diharapkan peranannya di sektor domestik tidak terlalaikan. Ada tuntutan peran ganda bagi perempuan tetapi tidak bagi laki-laki. 2. Di Tempat Kerja Perempuan masih berada di posisi yang rendah baik sebagai buruh, karyawan, pekerja keluarga atau sebagai pekerja keluarga yang tidak di upah, yang berarti hidupnya masih bergantung
163
pada orang lain. Kalau dia bekerja di sektor formal seringkali diperlakukan kurang manusiawi, tidak mengetahui hak-haknya, diupah lebih rendah dari laki-laki dan sebagainya. Demikian juga sebagai pegawai negeri atau pun
karyawan perusahaan swasta, mereka
dianggap
lebih
pantas
departemen-departemen menjabat
eselon
teratas
untuk tertentu sangat
bekerja
di
dan
yang
kecil
pula
persentasenya. 3. Dalam Pendidikan Pendidikan mempunyai kostribusi besar dalam melestarikan gender. Sebagai contoh bahwa peranan gender, ibu bekerja di sektor domestik dan bapak disektor publik, diajarkan pada anak-anak baik pada lingkungan keluarga maupun di dalam pendidikan formal. Misalnya dalam buku pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar telah di tanamkan stereotipi sebagai berikut : a. Siti bermain boneka – Didi bermain bola.
164
b. Ibu memasak di dapur – Bapak ke Kantor. Hak istimewah yang tersedia bagi laki-laki merupakan suatu yang lumrah dan diterima sebagai kewajaran misalnya anak laki-laki mendapatkan prioritas untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi ketimbang anak perempuan, lebih-lebih apabila ekonomi lemah. 4. Dalam Berorganisasi Organisasi Dharma Wanita adalah salah satu ekspresi gender dalam organisasi, di mana peran perempuan sebagai istri dan ibu merupakan inti kegiatannya. Sedangkan dalam organisasi di mana
anggotanya
terdiri
dari
laki-laki
dan
perempuan, jumlah perempuan mungkin saja bisa banyak sebagai anggota tetapi pengurus-pengurus inti biasanya lebih banyak laki-laki. Kalau pun perempuan
jadi
pengurus,
paling-paling
menduduki posisi sebagai bendahara atau seksi komsumsi, di mana posisi ini merupakan perluasan segi domestik saja.
165
5. Dalam Media Massa Sosok perempuan juga muncul dalam media massa tetapi munculnya tidak kurang dalam peran sebagai ibu rumah tangga misalnya pada iklan
Rinso
atau
iklan-iklan
alat-alat
dan
kebutuhan-kebutuhan rumah tangga lainnya. Dan yang lebih komersil lagi perempuan banyak dipergunakan secara sensual. 6. Dalam Proses Pembangunan Karena dianggap inferior, perempuan sering tidak diperhitungkan keberadaannya. Di banyak negara secara kenyataan masih kurang perencanaan pembangunan yang memperhatikan kebutuhan perempuan misalnya tempat penitipan bayi bagi ibu bekerja, peluang-peluang kerja bagi perempuan baik yang masih gadis maupun yang sudah berumah tangga. Kalau pun sudah direncanakan pembangunan bagi perempuan, seringkali dalam pelaksanaannya justru tidak menguntungkan bagi 166
perempuan itu sendiri (Wijaya, 1991), hal ini terjadi pula dan dialami juga dalam masyarakat kita. IV. Penutup Setelah menyimak dengan seksama uraian mengenai pengertian gender dan pencurahannya dalam berbagai aspek kehidupan kita, maka pada pemikiran penulis kita harus sudah memulai untuk merubah pola pikir kita apabila kita hendak mensukseskan pembangunan nasional kita di masamasa yang akan datang. Karena seperti tertera pada UUD 1945 pada pasal 27 dinyatakan bahwa: 1. Segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 2. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan
mengenai
persamaan
hak,
kewajiban, kesempatan dan kedudukan yang sama
167
antara laki-laki dan perempuan secara lebih tegas dan spesifik dinyatakan dalam GBHN 1988 bidang “Peranan Wanita Dalam Pembangunan Bangsa”, wanita baik sebagai warga negara maupun sebagai sumber insani bagi pembangunan mempunyai hak, kewajiban, kesempatan yang sama dengan pria di segala bidang kehidupan bangsa dalam segenap kegiatan pembangunan. Apa yang diamanatkan dalam GBHN (1988) itu selanjutnya menjadi acuan dalam melaksanakan tugas kita di bidang masing-masing. Keberhasilan kita dalam mengembangkan amanat GBHN itu sangat tergantung
pada:
Pertama,
pemahaman
dan
penghayatan kita tentang hakikat amanat tersebut. Kedua, kepekaan dan kepedulian kita terhadap masalah-masalah aktual yang dihadapi wanita. Ketiga, kemampuan kita menjabarkan amanat GBHN itu ke dalam strategi dan langkah nyata yang tepat dan terarah (Luhulima, 1991).
168
Apakah
landasan-landasan
secara
ketatanegaraan ini sudah cukup untuk memberikan kesempatan
bagi
perempuan
Indonesia
untuk
berpartisipasi penuh dan aktif dalam pembangunan nasional ? Menurut pemikiran penulis nampaknya belum
cukup
karena
kita
sudah
terlanjur
tersosialisasikan oleh paham gender yang salah makna itu. Oleh sebab itu, kita perlu meninjau kembali keberadaan paham tersebut pada masyarakat kita. Cara yang mudah dilaksanakan untuk mengurangi sedikit demi sedikit pengaruh paham yang salah tersebut adalah dimulai dalam keluarga-keluarga kita dalam mensosialisasikan anak-anak kita. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat itu merupakan kumpulan dari keluarga-keluarga, oleh sebab itu, penulis optimis apabila perubahan pola pikir mengenai cara memandang dua jenis kelamin anggota keluarga, nampaknya akan memberikan hasil yang positif. Kita harus sudah mulai menanamkan pengertian yang positif bahwa antara anak laki-laki
169
dan anak perempuan ada perbedaan, tetapi perbedaan itu hanya dari sudut biologisnya saja. Perbedaan biologis ini adalah hal yang kodrati, dalam hal hak, kemampuan, dan kesempatan dalam berbagai bidang adalah sama karena bukan kodrati. Apabila kita mulai merubah pola piker kita pada sekarang ini, maka pada generasi selanjutnya paham itu sudah tidak begitu kuat lagi mempengaruhi pemikiran kita tentang keberadaan dua jenis kelamin manusia, sehingga apa yang diharapkan oleh tujuan Pembangunan Nasional yaitu menciptakan manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai secapatnya.
170
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief, 1985., Pembagian Kerja Secara Seksual. Penerbit PT Gramedia, Jakarta. Burton, C., 1985., Subordination : Feminism and Social Theory. George Allen & Unwin Ltd., Sidney. Illich, Ivan., 1983. Gender., Marrion Boyars Publisher Ltd., London. Vianello, Mino dan Renata Siemienska, 1990., Gender Enequality. Sage Studies in International Sociology, London. Wijaya,
Hesti, 1991., Ideologi Gender. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Studi Wanita. Jakarta.
171
PEREMPUAN, GENDER DAN IPTEKS
I.
Pendahuluan Ketertinggalan kelompok perempuan dalam pembangunan telah ditemukan sejak tahun 1970 melalui
beberapa
penelitian
tentang
dampak
pembangunan yang dilakukan di beberapa negara Asia terutama dalam bidang pertanian di mana perbaikan-perbaikan
dalam
bidang
pertanian
menimbulkan dampak yang berbeda terhadap kerja perempuan dan laki-laki (Boserup, 1970). Oleh karena itu, dilakukan berbagai usaha dan strategi
untuk
memperbaiki
172
kondisi
kelompok
perempuan agar mereka pun dapat memberikan konstribusi
mereka
pada
berbagai
kegiatan
pembangunan. Kepedulian terhadap kondisi ketertinggalam kelompok
perempuan
dalam
keterlibatan
pada
kegiatan pembangunan tersebut diberikan melalui perencanaan atau strategi baik secara internasional maupun nasional yang dikenal dengan Perempuan Dalam Pembangunan (Women in Development). Strategi ini dalam pelaksanaannya lebih menfokuskan perhatian pada kelompok perempuan. Oleh karena sasaran khususnya hanya kelompok perempuan maka ada berbagai pihak berpendapat bahwasanya strategi ini pun akan tetap melahirkan ketimpangan antara kelompok perempuan dan kelompok laki-laki di mana kemungkinan akan muncul pula ketertinggalan di kalangan kelompok laki-laki. Melalui hasil pengkajian dari pihak maupun pemerhati
masalah
ketertinggalan,
ketimpangan
antara kelompok perempuan dan kelompok laki-laki
173
maka lahirlah pula suatu strategi yang dikenal sebagai Pengarusutaman Gender (Gender Mainstreaming), suatu strategi yang bertujuan melibatkan kelompok perempuan dan kelompok laki-laki secara setara, adil dalam berbagai kegiatan pembangunan. Pemasyarakatan pembangunan,
konsep
gender
dan
Pengarusutamaan
Gender
pada
berbagai kalangan yang dilakukan cukup lama, juga belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Di sana sini masih ada saja perlakuan tidak adil dan tidak setara terhadap kelompok perempuan pada berbagai bidang di berbagai kalangan. Ketika kegiatan yang memberikan hasil nyata masih berskala kecil, dilakukan di sekitar keluarga dan rumah tangga, perempuan masih mempunyai dan diperhitungkan konstribusinya secara setara dengan anggota keluarga dan rumah tangga lainnya (Tilly, L. A. dan Scott J. W., 1978), tetapi ketika kegiatan yang memberikan hasil nyata tersebut lebih berskala besar, maka tidak lagi dilakukan dalam rumah tangga tetapi
174
di tempat khusus dan telah melibatkan orang lain dalam hal modal dan lain sebagainya, maka perempuan tidak diperhitungkan lagi malahan tergeser secara tidak adil (Sanderson, 1993 ). II. Tergersenya Perempuan Pembangunan
Dalam
Kegiatan
Kendati perang dunia kedua telah berhasil mengubah profil dunia, namun para perencana pembangunan
masih
sangat
dipengaruhi
oleh
anggapan bahwa pembangunan berarti pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan pesat yang dikehendaki dapat dicapai melalui industrialisasi. Cara yang banyak digunakan yaitu pemusatan perhatian pada upaya yang merangsang faktor industrialisasi antara lain penggunaan teknologi (Ndraha, 1987). Beberapa temuan penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa teknologi diterapkan untuk mempercepat proses pembangunan, justru kelompok perempuan
yang
tersingkirkan
175
dari
kegiatan
pembagunan yang mereka sudah geluti misalnya dalam pembangunan/modernisasi di bidang pertanian. Ketika teknologi diidentikkan dengan ilmu pengetahuan maka semakin jauhlah akses perempuan dalam keterlibatannya pada kegiatan pembangunan karena IPTEK seyogyanya dapat dilaksanakan oleh mereka-mereka yang berpendidikan relatif tinggi sedang kondisi kelompok perempuan dalam bidang pendidikan masih sangat memprihatinkan. Kondisi memprihatinkan ini dicatat oleh UNESCO, bahwa dua per tiga atau 876 juta pendudukan dunia usia 15 tahun ke atas masih menderita buta huruf yang mayoritas adalah perempuan. UNESCO mencatat pula bahwa kondisi ini lebih disebabkan oleh minimnya akses pendidikan bagi perempuan karena kemiskinan. Menurut direktur UNESCO, hampir 70 persen rakyat miskin di dunia adalah perempuan, di negara berkembang perempuan menempati segmen penduduk yang paling miskin, berpendidikan rendah, sangat tidak sehat dan paling termarginalisasikan.
176
Kondisi
rendahnya
penduduk
kelompok
perempuan sehingga mereka tidak dapat secara optimal memberikan konstribusinya dalam kegiatan pembangunan akibatnya antara lain mereka menjadi miskin, penyebab utamanya adalah bertahannya budaya
“Patriarkhi”
pada
kelompok-kelompok
masyarakat tertentu. Budaya Patriarkhi ini masih melekat hampir di seluruh langkah kehidupan yang menempatkan perempuan sebagai bawahan laki-laki. Apabila pembangunan diartikan sebagai suatu kegiatan untuk semua orang, adil dan setara di mana setiap warga negera apakah laki-laki atau perempuan seyogyanya mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, maka kondisi yang dialami oleh kelompok perempuan layak untuk diperdulikan dan ditanggulangi sehingga perempuan pun dapat memberikan konstribusi yang sama dan setara dengan laki-laki dalam berbagai bidang kelangsungan hidup.
177
III. Gender dan IPTEK Ketika gender diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan kultural, maka dikenallah perbedaan ciri-ciri sifat laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini selanjutnya dikembangkan menjadi suatu ciri-ciri yang sangat spesifik pada kedua kelompok tersebut di mana laki-laki dianggap kuat, rasional sedangkan perempuan lemah lembut, emosional. Oleh karena itulah ilmu pengetahuan dan teknologi ditetapkan menjadi domain laki-laki, karena IPTEK di dasari oleh
ilmu
pengetahuan
yang
penuh
dengan
rasionalitas. Padahal ciri-ciri dan sifat gender tidak selalu melekat dan malah dapat dipertukarkan, karena cirri-ciri dan sifat ini bukan bawaan sejak lahir tetapi disosialisasikan kepada individu-individu laki-laki dan perempuan tersebut. Jadi seyogyanya ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah sesuatu yang terbawa sejak lahir tetapi dapat diajarkan pada laki-
178
laki maupun perempuan asalkan ada akses untuk dapat mencapainya. Namun
kenyataan
yang
dihadapi
oleh
kelompok perempuan ketika berhadapan dengan IPTEK, pada umumnya masyarakat telah terlanjur beranggapan bahwa IPTEK adalah dunia laki-laki. Padahal
kenyataan
perempuan
lain
mempunyai
menunjukkan
peranan
penting
bahwa dalam
pembangunan sosial ekonomi, peranan perempuan dapat dikatakan sebagai dasar dari produksi pangan, energi dan air, perawatan kesehatan, pendapatan keluarga, dan memberikan pengalaman awal masa kanak-kanak membentuk platform bagi pembangunan selanjutnya. Dihadapkan dengan perkembangan dunia, peranan-peranan perempuan tersebut harus dilengkapi dan ditunjang oleh IPTEK agar berhasil dan tepat guna, tetapi untuk dapat kelompok perempuan ini juga menguasai IPTEK setara dengan kelompok laki-laki sampai sekarang masih mengalami hambatan dan
179
tantangan antara lain di tengah masyarakat dari sisi budaya dan juga dalam tataran Policy Gender Mainstreaming
itu
susah
diterapkan.
Sehingga
kesetaraan gender dalam bidang IPTEK pun masih mengalami kendala-kendala yang harus dipecahkan oleh semua pihak karena perempuan bukan hanya pengguna IPTEK tetapi juga pengembang IPTEK, seharunya pula ikut dalam pengembangan IPTEK diharapkan keadilan dalam bidang gender juga akan merambah ke dunia IPTEK. Perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan dijadikan sebagai ajang perseteruan tetapi menjadi ajang saling mengisi satu sama lain. IV. Penutup Ketika
gender
diartikan
sebagai
suatu
konstruksi sosial tentang kedudukan sosial, tentang pembagian peran, tentang pengambilan keputusan, tentang
hubungan
sosial
antara
laki-laki
dan
perempuan, tentang perlakuan-perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan yang dilandasi oleh nilai-
180
nilai budaya yang dianut dan menjadi panutan masyarakat di mana laki-laki dan perempuan tersebut, maka
dapat
disimpulkan
bahwa
gender
pada
kelompok masyarakat tertentu tidak sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan nilai budaya yang dianut dan menjadi panutan ini hendaknya diperhitungkan dalam penerapan dan pengembangan IPTEK pada setiap kelompok masyarakat. Keberlakuan
nilai
patriarkhi
yang
diamsumsikan berlaku umum pada setiap manusia perlu ditengarai keberlakuannya karena tidak menutup kemungkinan keberlakuan berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Sehubungan menurut keberlakuan konsep gender seyogyanya ada perbedaan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis antara kelompok laki-laki dan kelompok perempuan dalam rangka menciptakan dan pengembangkan IPTEK, perbedaan kebutuhan ini pun perlu diperhitungkan.
181
Komitmen memperhatikan
dan
dunia
tentang
keharusan
mempertimbangkan
dimensi
gender dalam pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan
dan
teknologi
sebagai
dasar
pembangunan yang terpusat pada manusia maka seyogyanya perlu diciptakan dan dikembangkan teknologi tepat guna yang sejalan dengan kondisi gender pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
182
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Perempuan No. 50. Pengaruh Utama Gender. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2006. Koeswara, Jajak., Tantangan dan Hambatan bagi Ilmuan Wanita Dalam Masa Studi Perempuan. Jakarta : Yayasan Pengembangan Studi Wanita, 1992. Ndraha, Taliziduhu., Pelayanan Masyarakat. Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987. Sanderson, Stephen K., Sosiologi Makro ; Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta : CV. Radjawali Pers, 1993. Wullur,
Vera., Program WIST Sebagai Upaya Meningkatkan Peran Perempuan Dalam IPTEK. Dalam Warta Studi Perempuan (halaman 11). Jakarta : Yayasan Pengembangan Studi Perempuan, 1992.
183
Apabila seseorang perempuan mengandungkan janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah S.W.T mencatatkan baginya setiap hari dengan 1,000 kebajikan dan menghapuskan 1,000 kejahatan. Sumber: http://hadisrasullulah.blogspot.com/201 0/05/himpunan-hadis-hadis-rasullulahwanita.html
184