Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10
Banjarmasin, 1 – 4 November 2010
PEREMPUAN DALAM PRESPEKTIF TASAWUF: Khasanah Keilmuan Islam yang Ramah terhadap Perempuan Fina Ulya Pendahuluan Apakah ada kajian tentang laki-laki? Pertanyaan ini muncul, ketika realita menunjukkan bahwa sangat banyak sekali yang mengkaji seputar perempuan. Seakan-akan dunia adalah milik laki-laki dan perempuan sebagai obyek yang diperbincangkan dan berhak untuk dikuliti dari berbagai penjuru. Akan tetapi jika tidak mengangkat isu-isu perempuan, realita menunjukkan perempuan sering mengalami penindasan. Banyak pihak dengan beragam pendekatan berjuang untuk memposisikan perempuan pada tempatnya, dan persoalan yang muncul apakah sama antara laki-laki dan perempuan? Ada yang berpendapat sama dan ada yang berpendapat berbeda. Pertanyaan lain muncul kenapa jika perempuan dan laki-laki berbeda, dan kenapa jika keduanya sama? Apakah jika berbeda harus dipertentangkan? Tulisan ini muncul dari kejenuhan melihat keduanya dipertentangkan dan keinginan untuk mencari sebuah warna baru yang lebih ramah, dan menimalisir munculnya polemik yang baru. Dan melihat kondisi perempuan yang dianggap "rendah" serta posisinya "di bawah laki-laki", terutama dalah hal spiritualitas maka tulisan ini menggunakan prespektif tasawuf. Dimana tasawuf sangat dekat bahkan bertalian erat dengan perkara spiritualitas. Selain itu, tasawuf merupakan khasanah keilmuan Islam yang ramah terhadap segala perbedaan, karena tasawuf lebih menitikberatkan pada sisi esoteris, yang tidak melihat sisi luar dari seseorang, begitu pula dengan jenis kelaminnya. Tulisan ini menggunakan pendekatan filosofis, lebih tepatnya menggunakan kacamata tasawuf. Beberapa poin yang akan dibahas di antaranya tentang bagaimana para feminis atau yang peduli dengan problem perempuan memperjuangkan eksistensi perempuan, tawaran yang diberikan penulis yaitu melihat dari sudut pandang tasawuf, dan dua permasalahan yang sering diperdebatkan tentang maskulinitas dan feminitas, serta kekuatan spiritualitas perempuan. a. Beragam Perjuangan Perempuan dalam Menentukan Eksistensinya Problem tentang relasi gender selalu mengemuka dan setiap individu atau kelompok memiliki pendekatan sendiri-sendiri sehingga melahirkan pandangan yang berbeda-beda. Di penghujung abad ke-20, telah terjadi perubahan paradigma berpikir dalam melihat pola relasi gender. Antara tahun 1960 dan 1970-an, gerakan feminisme di Barat banyak dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme yang berkembang terutama oleh filosof Jean Paul Sartre. Sartre berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai fitrah atau esensi (innate nature). Eksistensi manusia tergantung pada bagaimana dia menciptakan esensinya sendiri, dan yang dimaksud dengan esensi manusia adalah socially created yaitu tergantung dengan lingkungan di mana dirinya berada. Pemahaman di atas diterapkan oleh
518 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Simone de Beauvoir dalam menolak eksistensi sifat alami perempuan dan laki-laki. Dalam bukunya, The Second Sex, Simone de Beauvoir mengatakan bahwa perempuan secara kultural diperlakukan sebagai mahluk sekunder (secondary creation) yang tugasnya mengasuh keluarga dan anaknya, serta memelihara lingkungan hidup. Dia menyebutkan bahwa norma-norma feminin yang selama ini dilekatkan pada perempuan, seperti pengasuh, pemelihara, pasif dan penerima merupakan sifat yang dikulturkan oleh sistem patriarkhi.1 Dalam lingkup pemahaman di atas, kulturisasi norma feminin dilanggengkan oleh sistem tersebut, hal ini dilakukan agar perempuan dapat terus ditindas. Melihat problem yang dihadapi perempuan tersebut, Beavoir menekankan bahwa para perempuan harus melepaskan diri dari norma-norma tersebut, sehingga mereka dapat menentukan eksistensinya sendiri. Berbagai cara dilakukan untuk menghapus stereotip yang telah berabad-abad dilekatkan pada perempuan, di antaranya dengan konsep pendidikan androgini, yang bertujuan menghilangkan perbedaan streotip gender antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan pada anak-anak usia dini. Sebagian feminis memiliki pandangan bahwa untuk menghilangkan stereotip gender pada tingkat individu tidaklah cukup jika tidak didukung oleh perubahan struktur masyarakat. feminisme marxisme, sosialis dan radikal misalnya menginginkan perombakan segala sistem patriarkhi/hirarkis dalam segi kehidupan sosial, kultural dan politik. Cikal bakal sistem patriarkis dianggap berasal dari keluarga yang menempatkan perempuan pada posisi domestik dan pengasuhan. Sehingga pembebasan perempuan dari dunia domestik harus dilakukan agar dapat menunjang terciptanya dunai tanpa kelas. Sedang, feminisme liberal lebih bergerak dalam usaha mengubah undang-undang dan hukum agama yang dianggap merugikan perempuan.2 Gerakan feminisme Barat pada periode 1960 dan 1970-an diwarnai dengan tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar para perempuan dapat menyamai laki-laki dalam bidang sosial, ekonomi, dan kekuasaan politik. Kadarusman, dalam pendahuluan bukunya Agama, Relasi Gender & Feminis, menjelaskan bahwa deskriminasi gender dapat ditelusuri melalui dua prespektif yaitu prespektif sosiologis dan prespektif teologis. Dalam prespektif sosiologis, gender merupakan proses sosiologis yang dapat berubah sesuai dengan perubahan faktor-faktor pembentuknya, yaitu meliputi hubungan personal, kekeluargaan hingga institusi sosial. Sedang prespektif teologis meliputi legitimasi ajaran teologi dan tradisi keagamaan. Dalam tradisi Islam, legitimasi tersebut masuk melalui wacana dinamis pembacaan teks-tek keagamaan.3 Beragam penafsiran terhadap teks-teks keagamaan mucul karena perbedaan sudut pandang yang digunakan oleh pembaca. Amina Wadud menjelaskan anggapan bahwa lakilaki sebagai manusia normatif (penentu norma-norma) telah membuat perempuan tidak dikaji secara utuh menurut kerangka dalil etika-spiritual dan sosial-politik dalam pemikiran Islam. Dia menambahkan perempuan sering disingkiran sebagai subyek tanpa peran, berbagai pertanyaan muncul di antaranya apakah perempuan sama dengan laki-laki; berbeda atau identik; sama atau tidak sederajat; ataukah beda atau sederjat. Berbagai pertanyaan tersebut bermuara pada satu kelemahan retoris, bahwa perempuan harus diukur berdasarkan laki-laki, sehingga laki-laki dijadikan tolak ukurnya yang secara lebih luas berarti bahwa hnaya laki-lakilah yang benar-benar manusia.4 Saat ini, perempuan, dalam beberapa hal telah memiliki hak yang sma dengan lakilaki, akan tetapi hal tersebut juga masih menyisakan berbagai masalah. Problem yang
FINA ULYA
Perempuan dalam Prespektif Tasawuf 519
dihadapi perempuan saat ini masih memiliki relevansi dengan problem yang selama mereka hadapi akan tetapi mengalami perluasan dan dalam ‖jubah atau baju‖ yang berbeda. Beberapa di antaranya yaitu persoalan jilbab, kekerasan dan pelecehan seksual pada ranah domestik maupun publik, perempuan menjadi obyek kapitalis.5 Beberapa persoalan perempuan yang disebut di atas hanyalah sebagian kecil dari persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan. Polemik yang dihadapi perempuan membutuhkan sebuah pendekatan ataupun sudut pandang baru yang tidak menyisakan kembali problem lain. b. Mengapa menggunakan Tasawuf? Khasanah keilmuan Islam menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, seperti ilmu fiqh yang memberikan hak lebih besar terhadap lakilaki dibanding perempuan.6 Tradisi pendekatan legalistik syariat (hukum Islam) lebih mempertanyakan tentang ―bagaimana‖ daripada ―sebab dari segala sesuatu‖. Para fuqoha (ahli hukum Islam), yang berbicara atas nama syariat, lebih cenderung untuk memberitahu orang-orang apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak bertanya mengapa sesuatu harus dilakukan, karena mereka meyakini sepenuhnya ketentuan-ketentuan dasar syariat.7 Sedangkan ilmu kalam yang menjadi objek kajiannya adalah hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ketuhanan seperti sifat-sifat, esensi dan perbuatan Tuhan.8 Kalam tidak terlibat dengan spekulasi terhadap hakikat kenyataan dalam menjelaskan pertanyaan tentang hubungan gender. Perhatian utamanya adalah untuk menopang keabsahan al-Quran sebagai sumber perintah-perintah. Pada akhirnya, yang dihasilkan oleh kalam adalah syariat, bukan hakikat kenyataan itu sendiri.9 Dua cabang keilmuan tersebut berbicara mengenai aspek-aspek fisik berbeda dengan tasawuf yang berbicara melampaui dataran fisik. Menurut Sachiko Murata persoalan tentang relasi gender bisa dijawab oleh tradisi kearifan10(sapiental tradition) yang tertarik pada struktur realitas sebagaimana ia menampakkan dirinya kepada kita.11 Tasawuf merupakan sisi lain dari Islam yang lebih menitik beratkan pada nilai-nilai esoteris. Dalam dunia tasawuf, manusia tersusun dari dua unsur yaitu, materi dan immateri. Jika dilihat dari segi hubungannya dengan Allah, unsur materi memiliki hubungan lebih jauh dengan Allah dibanding dengan unsur immateri. Ruh memiliki fungsi yang sangat dominan dalam diri manusia, sehingga krisis spiritual bagi manusia menyebabkan terjadinya berbagai penyakit jiwa yang pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai kemadlaratan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.12 Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan tasawuf, akan tetapi mereka sepakat bahwa tasawuf adalah moralitas yang berdasarkan Islam (adab). Oleh karena itu, seorang sufi adalah orang yang bermoral, sebab semakin bermoral seorang sufi maka semakin bersih dan bening (shafa) jiwanya. Esensi agama Islam adalah moral, yaitu, moral antara seorang hamba dengan Tuhannya, antara seorang dengan dirinya sendiri, antara dia dengan orang lain, termasuk anggota masyarakat dengan lingkungannya. Moralitas yang diajarkan dalam tasawuf yaitu mencoba mengangkat manusia pada tingkatan shafa al-tauhid. Pada tahap inilah manusia akan memiliki moralitas Allah (at-takhalluq bi Akhlaq Allah). Jika manusia telah dapat berperilaku dengan perilaku Allah, maka terjadilah keharmonisan antara kehendak manusia de ngan iradah-Nya. Konsekuensi dari hal tersebut adalah manusia tidak akan melakukan aktifitas kecuali aktifitas yang positif dan membawa
520 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
kemanfaatan, serta selaras dengan tuntunan Allah.13 Amin Abdullah mengibaratkan tasawuf bagaikan ―magnet‖. Dia tidak menampakkan diri ke permukaan, akan tetapi mempunyai daya kekuatan yang luar biasa. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk apa saja. Dalam kehidupan modern yang serba materi, tasawuf bisa dikembangkan ke arah konstruktif, baik yang menyangkut dengan kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial.14 Dunia tasawuf lebih menampilkan sisi-sisi feminin Tuhan, seperti indah, kasihsayang, lembut, cinta dan lain sebagainya, sehingga Tuhan terasa sangat ramah dan lembut dalam berhubungan dengan manusia. Hal ini menghancurkan anggapan bahwa perempuan dianggap lemah dan di bawah laki-laki dikarenakan memiliki sisi feminin. Annemarie Schimmel menceritakan bahwa mahasiswanya memiliki pandangan Tuhan memiliki sisi jalal dan jamal, aspek-aspek kemuliaan yang luar biasa dan kebaikan yang mengagumkan, dan kedua hal tersebut menjadi sifat-Nya yang kamal, kesempurnaan. Dia mengatakan sebagai seorang fenomenolog agama, dirinya tidak menghadapi kesulitan untuk menamakan kekuasaan, sifat maskulin, atau sifat jalal sebagai aspek yang dan sifat feminin atau aspek jamal sebagai aspek yin. Setiap orang tahu bahwa hanya dengan penyatuan kedua prinsip inilah kehidupan dapat terus ada. Kehidupan tidak mungkin ada tanpa sytole dan diastole detak jantung, tanpa menghirup dan menghembuskan, atau kerja listrik tanpa adanya dua kutub. Dahulu kaum sufi menafsirkan perintah ilahi dalam penciptaan dengan ―kun” jadilah! Dengan menunjuk pada kedua ―benang dua warna‖ yang menyelubungi, seperti sehelai kain, kesatuan dasar Wujud Ilahi.15 Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Tuhan memiliki sisi feminin dan maskulin, jamal dan jalal, sehingga bukan sesuatu yang hina atau rendah jika mahluk-Nya memiliki salah satu sifat-Nya. c. Maskulinitas & Feminitas: Akal & Jiwa Dalam dunia tasawuf, pembahasan tentang hubungan laki-laki dan perempuan biasanya disamakan dengan hubungan antara langit dan bumi, hubungan antara yang dan yin. Dalam syairnya, Rumi berkata: Dalam pandangan akal, langit adalah pria Dan bumi adalah perempuan. Apa pun yang dijatuhkan oleh yang satu, akan dipelihara oleh yang lain.16 Ibnu ’Arabi mengemukakan hal yang sama dalam tulisannya, apa yang dia ungkapkan terilhami dari ayat al-Quran ‖kepada setiap langit diwahyukan tentang jalan masingmasing‖ (Q.S 41: 12) Tuhan menempatkan di antara langit dan bumi Suatu perangkat supraformal dan suatu perhatian terhadap hasil-hasil ciptaan—benda-benda mati, tanaman-tanaman, dan hewan-hewan yang ingin dilahirkan-Nya di dalam bumi. Dia menjadikan bumi layaknya istri dan langit layaknya suami. Langit memberikan kepada bumi sebagian dari perintah yang diwahyukan Tuhan, sebagaimana laki-laki memberikan air ke dalam diri perempuan melalui senggama. Ketika pemberian itu berlangsung,
FINA ULYA
Perempuan dalam Prespektif Tasawuf 521
bumi mengeluarkan seluruh strata benda-benda yang dilahirkan yang telah disembunyikan Tuhan di dalamnya.17 Dalam syair yang lain, hubungan laki-laki dan perempuan diibaratkan seperti akal dan jiwa. Aku adalah putra para ayah—ruh-ruh suci— dan para ibu—jiwa-jiwa elemental. Jiwa-jiwa tersebut disebut dengan elemental dikarenakan mereka sepenuhnya dikaruniai sifat-sifat badaniah dan kualitas-kualitas keempat unsur, yaitu tanah, air, udara dan api, yang membentuk badan. Maka sifat-sifat dari keempat unsur tersebut semuanya mewujudkan diri mereka di dalam jiwa. Tetapi ruh adalah cahaya suci, yang tinggal di luar bidang unsur-unsur itu. Lokus perwujudan kami adalah antara ruh dan badan, Hasil dari suatu penyatuan antara rengkuhan dan kenikmatan.28 Dari segi gramatikal nafs (jiwa) bersifat feminin. Kata nafs dalam teks-teks keagamaan sering digunakan untuk memaknai ‖insting-insting rendah dan sifat-sifat jahat manusia‖, nafs sering dimanifestasikan dalam bentuk perempuan. Sehingga unsur feminin lebih rendah daripada ’aql,19 dan ’aql dianggap memiliki tugas untuk menjinakkan dan melatih nafs.20 Dalam Webster World Dictionary, feminin diartikan dengan kualitas yang berdasarkan pada karakteristik perempuan seperti sopan santun, kelemahan, kehalusan dan kerendahan hati. Secara tata bahasa, feminin diartikan dengan kata-kata gender yang tidak memiliki perbedaan dengan ciri atau jenis kelamin, dalam hal ini perempuan.21 Maskulin diartikan dengan kualitas yang berdasarkan pada karakteristik laki-laki, seperti kekuatan, tegap, dan kegagahan atau keberanian. Secara tata bahasa, maskulin diartikan dengan kata-kata gender yang menunjukkan laki-laki atau tidak ada perbedaan dengan ciri atau jenis kelamin.22 Johann Gotfried Harder mengatakan tata bahasa gender merupakan pengaruh dari pandangan animistik primitif. Menurut Harder manusia pertama, mencoba membuat makna tentang dunia dan tentang eksistensi mereka, menggambarkan hewan dan tumbuhan, bumi yang tidak bernyawa, karang dan air, natural dan supranatural di sekitar mereka seperti laki-laki dan perempuan. Para komentator bahasa menghubungkan sumber bahasa dengan perbedaan seksual manusia melalui cerita Genesis tentang penciptaan perempuan.23 Karl R. Lapsius, seorang antropolog, mengasumsikan bahwa kata benda feminin dibuat dari kata maskulin asli dengan menambah sebuah akhiran, seperti Hawa diciptakan dari Adam, dan mereka harus selamanya menanggung akhiran ini seperti tanda bahasa tentang Hawa: Karena laki-laki menciptakan bahasa, kita biasanya menemukan bahwa perbedaan gender mencapai keterpisahan dari feminin. Jika maskulin juga pemberian sebuah bentuk khusus, ini adalah sebuah bonus. Dalam bahasa Hamitish, feminin sering dua kali lipat penilaian, dengan sebuah akhiran sama baiknya dengan sebuah awalan.24 Pandangan di atas berbeda dengan pendapat Ibnu 'Arabi yang menyatakan bahwa Tuhan menyebut laki-laki dengan mar', sedang perempuan dengan mar'ah. Tuhan menambahkan sebuah ah-atau at dalam bentuk konsepsi—pada nama mar' yang diberikan
522 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
kepada laki-laki. Dari penjelasan tersebut, perempuan memiliki satu tingkat di atas laki-laki, hal tersebut untuk menutup kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Dimana terdapat ayat yang menjelaskan bahwa laki-laki memiliki satu tingkat di atas perempuan (Q.S 2:228), dengan adanya penambahan ah- dalam kata mar' untuk perempuan, menutup kesenjangan anatar keduanya.25 Bahwa ciri-ciri yang menonjol dari akal dan jiwa adalah laki-laki dan perempuan, tidak ada kaitannya dengan gender gramatikal dari kata aql dan nafs dalam bahasa Arab. Bagaimana pun juga, hubungan yang/yin antara keduanya adalah sesuatu yang biasa dalam teks-teks sufi yang bersinggungan dengan kosmologi. Sebuah contoh yang relatif awal diberikan oleh penyair Persia Sana’i Ketahuilah bahwa ayah dan ibu dari dunia yang lembut adalah Akal yang mulia dan Jiwa rasional. Janganlah Kamu memisahkan diri dari pasangan yang mulia ini. Jangan mengingkari kedua akar ini Mereka memberikan substansi pada langit dan Pijar-pijar. Mereka menjaga dunia ruh.26 Banyak teks yang berbicara tentang diri perempuan yang di dalamnya terdapat sifatsifat negatif, sehingga perempuan dalam sumber-sumber Islam selalu menerima kritikan dari berbagai sudut pandang terutama sudut pandang tradisi intelektual. Perempuan jarang dipuji karena dalam dirinya jiwa-jiwa yang terpuji jauh lebih sedikit dibanding dengan jiwa yang tercela. Terdapat penjelasan jika terkadang perempuan ditempatkan pada kategori yang sama dengan banci karena keduanya memiliki kesamaan, yaitu tidak adanya kejantanan dalam diri keduanya, sifat-sifat aktif dan akal. Berbagai teks yang menggunakan kata laki-laki, dalam pandangan kualitatif, yang dimaksud dengan laki-laki adalah seseorang yang akal dan ruhnya mendominasi jiwanya, tidak dipermasalahkan apakah jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan. Sedang seorang perempuan adalah seseorang yang akal dan ruhnya ditaklukkan oleh kecenderungankecenderungan negatif jiwa. Perempuan memiliki kecenderungan-kecenderungan maskulin yang negatif dan laki-laki memiliki sifat-sifat feminin yang positif. Dalam tulisannya, Rumi menjelaskan laki-laki dan perempuan: Malanglah mereka yang akalnya feminin dan jiwanya yang buruk adalah maskulin dan siaga. Tak pelak lagi ajak mereka telah ditaklukan Dan mereka hanya akan dibawa menuju kerugian. Senanglah mereka yang akalnya maskulin dan jiwanya yang buruk adalah feminin dan tak berdaya. Akal-akal parsial mereka adalah maskulin dan dominan, kecerdasan telah meniadakan jiwa feminin...
FINA ULYA
Perempuan dalam Prespektif Tasawuf 523
sifat-sifat hewan menonjol pada ‖kaum perempuan.‖ sebab mereka cenderung pada warna dan wewangian. Ketika keledai melihat warna itu dan mencium bau wangi dari padang rumput, semua argumen lepas dari perangainya.27 Rumi dalam menjelaskan pemikirannya menggunakan syair, yang mana memberikan kesempatan besar untuk ditafsirkan dengan multitafsir. Kebenaran absolut hampir sulit ditemukan dalam dalam teks sastra, karena di sini makna tekstual diproduksi dalam berbagai tingkat hubungan yang kerap saja ambigu dan tidak berpusat pada satu kutub penafsiran saja.28 Menurut Derrida, teks memiliki struktur telos yang terbuka, sehingga tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat menghentikan menyebarnya penafsiranpenafsiran baru yang sewaktu-waktu dapat mencuat tanpa disangka-sangka dari sebuah teks.29 Perempuan dalam pandangan Ibn Arabi adalah simbol dari jiwa yang reseptive (munfa’il) dan yang creative (fa’il). Sementara laki-laki adalah jiwa yang creative atau aktif (fa’il) saja. Karenanya, Ibn Arabi tidak menempatkan yang feminin dan yang maskulin itu secara berhadap-hadapan. Sebaliknya, yang feminin baginya adalah jiwa yang meliputi dua unsur sekaligus, yaitu aktif dan reseptif. Dalam menguatkan argumennya, Ibnu 'Arabi menyandarkan logikanya pada proses penciptaan Adam. Adam sebagai yang maskulin sesungguhnya menurut Ibn Arabi diwujudkan dari esensi wujud yang feminin. Karena, zat atau asal usul segala sesuatu dalam bahasa Arab disimbolkan dengan sesuatu yang feminin, termasuk zat Tuhan. Setelah terciptanya Adam, Tuhan menciptakan Hawa yang feminin. Hirarki ini dimaknai Ibn Arabi sebagai kebenaran kualitas feminin yang kreatif melalui simbol Tuhan sebagai pencipta Adam dan sebagai yang reseptif melalui simbol Hawa. Sementara Adam yang maskulin kedudukannya adalah berada di tengah-tengah antara dua feminin yang kreatif dan pasif.30 Ibnu 'arabi menambahkan bahwa dua kualitas yang saling melengkapi (aktif dan reseptif) yang menyatu dalam perempuan (feminin) inilah yang memungkinkan jiwa ini menjadi tempat yang paling sempurna sebagai tajalli Tuhan. Inilah yang disebut sebagai esensi dari imajinasi kreatif. Dan jiwa kreatif ini juga berpotensi melahirkan cinta dalam diri manusia dan nostalgia yang mampu membangkitkan imajinasinya ke seberang wujudnya yang inderawi. Sementara dari rasa cinta dan nostalgia inilah muncul rasa simpati antara yang inderawi dan yang ruhani menuju pengetahuan ilahi atau tajalli Tuhan par excellence. Bahkan, Ibn Arabi sampai pada kesimpulan bahwa tajalli Tuhan yang paling sempurna akan terwujud melalui hubungan seksual.31 d. Kekuatan Spiritualitas Perempuan Banyak teks yang menyebutkan suprioritas laki-laki di atas perempuan, seperti yang termaktub dalam al-Quran, surat al-Baqoroh: 228 ‖kaum lelaki satu derajat lebih tinggi daripada mereka (perempuan)”. Maybudi menerjemahkan keunggulan laki-laki terhadap perempuan dengan berbagai hak yang dimiliki laki-laki dan tidak dimiliki oleh perempuan. Di antaranya, hak menjadi imam sholat, hak memimpin rakyat, dan pergi berjihad, semua hak tersebut diberikan kepada laki-laki, berdasarkan pada kecerdasan dan agama. Laki-laki
524 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
dianggap memiliki kecerdasan dan pemahaman agama yang lebih dibanding perempuan. selain itu, laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya, dan lakilaki juga diizinkan menceraikan istrinya sedang kaum perempuan tidak mendapatkan izin tersebut.32 Ada beragam penafsiran terhadap ayat tersebut, sebagian orang mungkin menganggapnya sebagai bukti Islam mendiskriditkan perempuan. akan tetapi bagi mereka yang mengkajinya lebih mendalam akan beranggapan semuanya sebagai bukti kekuatan kaum perempuan yang menguasai masyarakat. Sachiko Murata berpendapat di satu sisi, perkataan-perkataan tersebut dimaksudkan untuk menekankan makna penting dari ikatan pernikahan sebagai pondasi umat. Mereka juga menetapkan hal-hal tertentu yang tidak dapat diubah dalam hubungan antara suami dan istri. Suami menyandang fungsinya sendiri, begitu pula sang istri juga menyandang fungsinya sendiri.33 Ibnu 'Arabi menjelaskan terkait dengan hadits sangat terkenal yang biasanya digunakan untuk melarang perempuan menjadi pemimpin, "suatu bangsa yang menyerahkan pengurusan atas permasalahn mereka kepada seorang perempuan tidak akan pernah berjaya". Menurutnya hadits ini membicarakan kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat dan bukan kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan. Sedang, dalam hadits yang lain, nabi mengatakan perempuan adalah padanan laki-laki dan menurut Ibnu 'Arabi, hadits tersebut suduh cukup. Hal itu disebabkan bahwa segala sesuatu yang dapat dicapai oleh laki-laki—seperti kedudukan, tingkat atau atribut—juga dapat dimiliki oleh perempuan yang dikehendaki oleh Tuhan. Sebagaimana hal tersebut dapat dimiliki oleh setiap laki-laki yang dikehendaki Tuhan.34 Ada sebuah pernyataan menarik yang menyebutkan bahwa ketegasan penekanan keunggulan kaum lelaki menunjuk pada suatu kekuatan tertentu dalam diri kaum perempuan yang harus dihadapi. Jika laki-laki sudah unggul, mengapa hal itu harus ditekankan sebegitu rupa? Mereka harus dapat menjaga diir mereka sendiri. Akan tetapi dalam kenyataannya, laki-laki dalam banyak hal lebih lemah daripada perempuan, sehingga mereka membutuhkan legitimasi dan dukungan dari Tuhan dan para nabi untuk menetapkan hubungannya.35 Dalam Futuhat, Ibnu ’Arabi menjelaskan; Tidak ada sesuatu pun di dunia ciptaan ini yang lebih besar kekuatannya dibanding perempuan. dikarenakan suatu misteri yang hanya diketahui oleh mereka yang mengetahui bahwa di dalamnyalah kosmos muncul dan kenyataan bahwa kosmos berasal dari dua premis. Sebab kosmos adalah perkawinan (nakih) adalah pencari, dan pencari adalah pihak yang miskin dan membutuhkan. Pihak yang dilibatkan dalam perkawinan (mankih) adalah yang dicari, dan yang dicari itu mempunyai kekuatan untuk menjadi objek kebutuhan. Dan nafsu berkuasa. Maka jelaslah bagi kalian kedudukan perempuan di antara hal-hal yang ada, apa artinya ia di hadirat Ilahi yang memandanganya, dan mengapa perempuan mewujudkan kekuatan.36 Dalam surat al-Baqoroh: 228 dijelaskan bahwa laki-laki memiliki tingkat lebih tinggi sering dijadikan legitimasi bahwa laki-laki lebih unggul dibanding perempuan. Akan tetapi Qusyairi mengatakan sifat kelemahan dan ketidakmampuan (sifat yin) yang biasa dilekatkan pada perempuan merupakan keadaan penghambaan yang sangat dibutuhkan dalam
FINA ULYA
Perempuan dalam Prespektif Tasawuf 525
hubungannya dengan yang Nyata. Menurut Qusyairi kecenderungan laki-laki untuk menuntut kekuasaan dan kekhalifahan (yang), akan tetapi hal ini merupakan bahaya besar disebabkan mereka tidak mempunyai hak atasnya tanpa terlebih dahulu berada dalam keadaan sebagai seorang hamba. Sedangkan kaum perempuan mempunyai keuntungan dari kelemahannya yang relatif dan ketidakmampuannya di bidang lahiriah. Sehingga mereka tidak cenderung untuk membuat tuntutan yang tidak pada tempatnya. Mengakui sifat-sifat yin seseorang dihadapan Tuhan akan membantu menuju tauhid, sebab hal itu dapat membuat seseorang mengakui adanya kekuatan, kejayaan, penciptaan milik yang Nyata.37 Terkait tentang masalah spiritualitas sebagai sebuah kekuatan, spiritualitas yang dibahas adalah kedekatan seseorang dengan Yang Ilahi. Relasi Tuhan dengan manusia sangat pribadi. Hal ini dikarenakan Tuhan menyapa seseorang secara pribadi, sehingga tidak semua orang menyadari dan mampu mengungkapkannya. Kepercayaan seseorang terhadap Tuhan dibentuk oleh sosial-budaya, walaupun memang dalam setiap diri seseorang ada fitrah untuk mencintai dan menyembah Sang Pencipta. Kepercayaan yang dibentuk sosial-budaya ini sangat perlu untuk selalu dikritisi, sehingga dapat memperoleh kepercayaan atau keimanan sejati. Sehingga tidak salah untuk melakukan pembaharuan iman dalam setiap detik dalam kehidupan. Menghadapi hal ini setiap orang yang ingin meningkatkan atau memperdalam spiritualitasnya perlu pembebasan lebih dahulu. Pembebasan berarti penyadaran diri sehingga menemukan jati diri sebagai ciptaan Tuhan. Dalam proses pembebasan, seseorang sadar bahwa dirinya menjadi seperti sekarang ini banyak dipengaruhi oleh konstruksi sosial, ekonomi, politik,budaya, dan agama. Dengan melakukan analisis ini seseorang akan menemukan dan bisa memahami mengapa dirinya menjadi seperti itu. Ketika sudah menyadari, ia membutuhkan bantuan seseorang untuk bisa menentukan pilihan secara merdeka. Kemerdekaan pilihan sikap hidup ini akan terjadi kalau ia melakukan relasi dengan Tuhan secara mendalam. Umat beriman mempunyai berbagai macam cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Berbagai doa, simbol dan ritual diciptakan oleh agama dan kepercayaan untuk membantu umatnya berelasi dengan Tuhan.38 Kedekatan dengan Tuhan yang dilakukan terus menerus akan memproses seseorang memperdalam spiritualitasnya. Proses kemerdekaan akan dialami ketika dirinya makin menyadari bahwa hanya Tuhan yang menguasai dirinya. Ia akan merasakan kekuatan muncul dari dalam dirinya (power within) dan yakin bahwa Tuhan selalu besertanya. Bagi perempuan yang berorientasi pada relasi, Ia akan mencari relasi dengan lingkungannya. Komunitas yang menyadari kekuatan personal ini akan berproses menjadi kekuatan komunitas (power with). Kekuatan komunitas inilah motor yang menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan.39 Perempuan memproses power within melalui penyadaran tubuh, dari aspek biologis dan spiritual. Mengapa demikian, karena selama ini baik budaya maupun agama masih memandang tubuh perempuan sebagai sasaran seks dan dianggap sumber dosa. Pandangan dikotomis jasmani-rohani masih merupakan pandangan arus utama Jasmani atau tubuh dikategorikan duniawi dan diberi nilai lebih rendah dari nilai rohani. Pandangan misoginis masih merupakan pandangan umum bagi laki-laki maupun perempuan. Tubuh perempuan yang oleh Sang Pencipta dianugerahi rahim, dimana kehidupan manusia baru
526 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
berawal, seharusnya disadari sebagai kekuatan special bagi kehidupan. Perempuan wajib memperhatikan dan menyadari kekuatan yang diberikan Tuhan kepada mereka. Dari rahimlah kehidupan mulai dengan makanan jasmani dan rohani. Banyak penelitian menunjukkan bahwa situasi jasmani dan rohani ibu yang sedang hamil sangat mempengaruhi anak yang dikandung.40 Namun realitas hidup ini sekarang menjadi persoalan tersendiri bagi kaum perempuan. Setiap perempuan mempunyai hak untuk menentukan pilihan terhadap tubuhnya.41 Di atas telah dijelaskan bahwa sifat feminin yang ada pada diri perempuan memudahkan dalam proses penghambaan pada Tuhan. Sehingga perempuan lebih mudah dekat dengan Tuhan dibanding laki-laki. Akan tetapi hal ini bukan berarti mencoba mengunggulkan perempuan, dan menomor duakan laki-laki. Jika hal terjadi maka akan muncul problem, dengan masalah yang sama yaitu problem antara laki-laki dan perempuan. Hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang saling melengkapi42 dan bukan hubungan yang saling dipertentangkan ataupun mempertentangkan. Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, seperti dijelaskan dalam alQuran ‖Dan segala-galanya Kami ciptakan serba berpasang-pasangan” (QS. 51:49). Menurut Rasyid al-Din Maybudi, dalam ayat di atas yang dimaksud ‖pasangan‖ yaitu laki-laki dan perempuan di antara makhluk hidup dan juga jenis-jenis berbeda di antara benda-benda mati seperti langit dan bumi, siang dan malam, matahari dan bulan, daratan dan lautan, cahaya dan kegelapan, iman dan kekafiran serta kebahagiaan dan kesengsaraan. Maybudi menjelaskan bahwa tanda-tanda ganda di atas merupakan indikasi kemustahilan Tuhan untuk diperbandingkan. Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan untuk membedakan Keesaan-Nya sendiri dengan kejamakan makhluk.43 Laki-laki dan perempuan sama-sama merupakan hamba Allah, yaitu sama-sama wajib menyembah Allah. Keduanya memiliki peluang dan potensi yang sama untuk menjadi hamba ideal. Dalam al-Quran yang dimaksud dengan hamba ideal diistilahkan dengan ―orang-orang yang bertakwa‖. Rumi mengatakan bahwa manusia sempurna tidak mempermasalahkan tentang jenis kelamin biologis. Sehingga keduanya dapat menjadi manusia sempurna, dalam hal ini dimaksud juga dengan hamba ideal, serta sama-sama memiliki peluang untuk mencapai prestasi spiritual. Tokoh perempuan yang mampu mencapai prestasi tersebut seperti: Maryam, ibunda nabi Isa, Zulaikha, seseorang yang mencintai Yusuf, dan Robiah, seorang sufi yang memiliki kelebihan sama atau bahkan melebihi laki-laki. Penutup Tasawuf merupakan khasanah keilmuan Islam yang terlepas dari sekat-sekat yang ada, lebih ramah dengan berbagai perbedaan. Karena tasawuf tidak berbicara tentang aspek fisik atau materi, akan tetapi lebih bahkan melampauinya. Berdasarkan pemahaman tersebut, penulis mencoba melihat berbagai polemik yang dihadapi oleh perempuan dengan menggunakan prespektif tasawuf. Berbeda dengan khasanah keilmuan Islam lainnya, seperti Fiqh dan Ilmu kalam, tasawuf menampilkan Tuhan dengan sangat ramah, sisi feminin Tuhan lebih ditonjolkan, sehingga perempuan yang selalu dianggap sangat
FINA ULYA
Perempuan dalam Prespektif Tasawuf 527
kental sisi femininnya memiliki kedudukan karena ternyata Tuhan juga memiliki sisi feminin. Sedang kedua keilmuan di atas lebih menunjukkan sisi maskulin Tuhan, dan kedua keilmuan tersebut banyak diminati orang sehingga Islam terkesan sangat kasar terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan memiliki spiritualitas yang rendah tidaklah beralasan, karena sifat feminin yang dimilikinyalah sebenarnya yang memudahkannya berhubungan dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya tasawuf tidak mengunggulkan jenis kelamin seseorang yang lebih dilihat bagaimana kedudukannya di hadapan Tuhan. dalam prespektif tasawuf perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan untuk dipertentangkan karena keduanya saling melengkapi, jika mempertentangkan keduanya, semua yang terkait dengan relasi keduanya tidak akan berakhir. Perempuan dengan kecenderungan femininnya dan laki-laki dengan maskulinnya, jika keduanya disatukan mengeejawantahkan diri Tuhan, karena Tuhan memiliki sisi feminin maupun maskulin. Daftar Pustaka A. J. Arberry, A.J. Jalaluddin Rumi, Kearifan Cinta: Renungan Sufistik Sehari-hari Kutipan Fihi ma Fihi. terj. Jami’atul Hikmah. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001. Baron, Dennis. Grammar and Gender. London: Yale University Press, 1986. Can, Safik. The Fundamentals of Rumi’s Thought: A Mevlevi Sufi Perspective. New Jersey, The Light, 2005. Daftary, Farhad (ed.). Tradisi-tradisi Intelektual Islam. Jakarta: Erlangga, 2002. Fayyadl, Muhammad al-. Derrida.Yogyakarta: LKIS, 2005. Kadarusman. Agama, Relasi Gender & Feminis. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005. Munhanif, Ali (ed.). Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Murata, Sachiko. The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam. terj. Rahmani Astuti dan M.S Nasrullah. Bandung: Mizan, 1998. Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 5, No. 4, Oktober 2007. Neufeldt Victoria dan David B. Guralnik (ed.). Webster’s New World Dictionary. New York: Webster’s New World Cleveland, 1984. Schimmel, Annemarie. Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminin dalam Spiritualitas Islam. terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan 1999. Simuh (dkk). Tasawuf dan Kritis. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001. Wadud, Amina. Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan. terj. Abdullah Ali. Jakarta: Serambi Ilmu, 2006.
528 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Artikel: Anick
H.T, "Menjumpai Tuhan Lewat Perempuan" diakses dari islamlib.com/id/artikel/menjumpai-tuhan-lewat-perempuan "Spiritualitas Feminis Sebagai Roh Gerakan" diakses dari psp.ugm.ac.id/spiritualitas-feminissebagai-roh-gerakan-perempuan.html Endnotes : *Penulis adalah, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1Ratna Megawangi, ―Sekapur Sirih‖ dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S Nasrullah (Bandung: Mizan, 1998), h. 7. 2Ratna Megawangi, ―Sekapur Sirih‖, h. 8. 3Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminis (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 3-5. 4Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, terj. Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu, 2006), h. 180. 5Tubuh adalah milik pribadi, tubuhlah bagian dari kepemilikan yang melekat, yang tidak beralih tangan. Kepemilikan terhadap tubuh diperoleh secara alamiah, secara kodrat manusia. Namun, keberbedaan kuasa terhadap tubuh seringkali digugat oleh instansiinstansi dalam masyarakat, ynag tumbuh demi mendapatkan kuasa atas tubuh. Perebutan dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tentunya memiliki kepentingan terhadap tubuh perempuan. Dalam konteks media, perebutan tersebut terjadi antara pemilik modal, kapital, produsen dan perempuan itu sendiri. Bagi artis yang digunakan tubuhnya, dia akan memperoleh uang dan ketenaran. Inilah daya tarik fisik memiliki efek yang positif dan mendasar bagi keberhasilan sosial dan ekonomi. Sementara bagi pemilik media dan kapital mendapatkan profit yang sangat besar. Thoriq Nurmadiansyah, ‖Tubuh Perempuan dalam Layar Kaca: Perebutan Kuasa terhadap Tubuh Perempuan antara Negara, Media dan Pemiliknya, Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 5, No. 4, Oktober 2007, h. 475-476. Dunia iklan banyak menggunakan perempuan untuk mengiklankan suatu produk, salah satunya iklan di media cetak yaitu iklan laptop Toshiba. Dalam gambar tersebut bentuk laptop yang slim diibaratkan seperti tubuh Luna, dengan cara menyandingkan antara tubuh Luna Maya dengan laptop tersebut. Selain itu, gelar kecantikan menjadi senjata yang paling ampuh dalam menjajah tubuh perempuan. Hal tersebut yang digunakan bagi produsen untuk mengiklankan atau menjual produk-produknya. Sehingga banyak perempuan yang rela mengorbankan materi maupun kesehatan tubuhnya demi memperoleh tubuh yang indah menurut para pemilik modal. 6Di antara contoh kelebihan tersebut yaitu laki-laki diperbolehkan berpoligami, lakilaki mendapatkan harta waris dari orang tuanya dua kali bagian yang diterima saudara perempuannya, perempuan tidak diperbolehkan menjadi muadzin dan imam shalat selama
FINA ULYA
Perempuan dalam Prespektif Tasawuf 529
masih ada laki-laki, dan dua orang perempuan yang menjadi saksi di pengadilan sama dengan satu orang laki-laki. Kautsar Azhari Noer dan Oman Fathurrahman, ‖Pria-Wanita sebagai Korespondensi Kosmis: Perempuan dalam Literatur Tasawuf‖ dalam Ali Munhanif (ed.), Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 209. 7Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 22. 8Syafiq Hasyim, ‖Gambaran Tuhan yang Serba Maskulin: Prespektif Gender Pemikiran Kalam‖ dalam Ali Munhanif (ed.), Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, h. 146. 9Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 23 10Tradisi kearifan adalah sebuah tradisi yang mencari alasan-alasan mendasar dalam Islam, membicarakan hal-hal yang melampaui aspek-aspek fisik tanpa merusak ruh atau makna yang tersurat dalam syariah. Kautsar Azhari Noer dan Oman Fathurrahman, ‖PriaWanita sebagai Korespondensi Kosmis: Perempuan dalam Literatur Tasawuf‖, h. 212. 11Kautsar Azhari Noer dan Oman Fathurrahman, ‖Pria-Wanita sebagai Korespondensi Kosmis: Perempuan dalam Literatur Tasawuf‖, h. 212. 12Abdul Muhaya, ―Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual‖ dalam Simuh (dkk), Tasawuf dan Kritis (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001), h. 21-22. 14Abdul Muhaya, ―Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual‖, h. 23-24. 15Amin Syukur, ―Masa Depan Tasawuf‖ dalam Simuh (dkk), Tasawuf dan Kritis, h. 38. 14Annemarie Schimmel, ―Kata Pengantar‖ dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 16. 15Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h.197 16Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h.197 17Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 198-199. 18Rumi considers reason, which is the faculty for thought, cognition, and comprehension, from two points of view. According to Rumi, reason is the faculty of man that can sometimes be both very valuable and sometimes serve no use. He elaborates his views of two stage. At the first stage, reason is very valuable divine gift that distinguish man from animals and lets him attain humanity. Man defeats his lower self (nafs) with reason and becomes a superior being by escaping from his bodily desire. Safik Can, The Fundamentals of Rumi’s Thought: A Mevlevi Sufi Perspective, (New Jersey, The Light, 2005), h. 181. 19Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminin dalam Spiritualitas Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizanm 1999), h. 111-112. 20Victoria Neufeldt dan David B. Guralnik (ed.), ―Feminine‖ dalam Webster’s New World Dictionary, (New York: Webster’s New World Cleveland, 1984), h. 498.
530 Annual Conference on Islamic Studies 21Victoria
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Neufeldt dan David B. Guralnik (ed.), ―Masculine‖ dalam Webster’s New World Dictionary, h. 831. 22Dennis Baron, Grammar and Gender (London: Yale University Press, 1986), h. 90-91. 23Dennis Baron, Grammar and Gender, h. 92. 24Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 245-246. 25Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 251 26Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 409. Dalam karyanya yang lain, Diwan, Rumi menjelaskan: Setiap pagi, di luar cinta pada-Mu, akal ini menjadi gila, Memanjat ke atas atap otak dan memainkan kecapi. Atau, ketika Rumi menunjukkan dengan cara yang halus perbedaan antara akal dan cinta: Mereka dengan akalnya lari dari semut mati karena kehatihatian: cinta melangkahi naga tanpa berfikir. Teks tersebut menunjukkan bagaimana akal kurang memiliki keberanian dibanding dengan cinta. Dalam aspek lain, nabi Muhammad menunjukkan sikapnya, ketika ditanya seseorang dalam dalam suatu perkara tertentu, beliau menjawab: ‖mintalah fatwa pada hatimu,‖ karena hatilah yang memberikan jawaban yang benar terhadap maslaah-masalah yang menimpa akal. Dalam konteks ini, terdapat suatu pengakuan bahwa hati dan pengalaman-pengalamannya lebih dalam dibanding pengalaman-pengalaman akal. Evelyn Underhill menjelaskan cinta adalah gerakan hidup dari diri, lebih langsung dalam merodemetodernya, lebih valid dal;am hasilnya. Di tangan orang-orang yang kurang ahli pun, ia lebih valid daripada sisi pemikiran filsafat yang paling tajam. Annemarie Schimmel, ‖Akal dan Pengalaman Mistik dalam Tasawuf‖ dalam Farhad Daftary (ed.), Tradisi-tradisi Intelektual Islam (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 189-193. 27Muhammad al-Fayyadl, Derrida (Yogyakarta: LKIS, 2005), h. 80. Ada beberapa tokoh yang berbicara terkait tentang teks-teks yang ditulis oleh para sufi. Arkoun selalu mengkrtitik kecenderungan membaca hanay apa yang tertulis dalam teks-teks sejarah; tetapi kecenderungan ini bahkan lebih penting ketika menyangkut tulisan-tulisan sufi yang telah disalahtafsirkan berulang kali. W.H.T Gairdner, seorang orientalis, menjelaskan dalam membaca tulisan-tulisan sufi tidak pat tidak kecuali menafsirkan teks-teks menurut apa yang diketahui oleh pembaca tentang yang dimaksud kata-kata dan konsep-konsep tersebut ditulis; tetapi, yang perlu diketahui bahwa ada beberapa hal yang luput dari pengetahuan pembaca yang hidup pada abad 21 ini. Annemarie Schimmel, ‖Akal dan Pengalaman Mistik dalam Tasawuf‖, h. 201-202. 28Muhammad al-Fayyadl, Derrida, h. 82. 29Anick H.T, "Menjumpai Tuhan Lewat Perempuan" diakses dari islamlib.com/id/artikel/menjumpai-tuhan-lewat-perempuan 30Anick H.T, "Menjumpai Tuhan Lewat Perempuan" diakses dari islamlib.com/id/artikel/menjumpai-tuhan-lewat-perempuan
FINA ULYA 31Sachiko
Perempuan dalam Prespektif Tasawuf 531
Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 234-23237. 32Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h.237-238. 33Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h.245. 34Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h.238. 35Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 238. 36Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 239. 37"Spiritualitas Feminis Sebagai Roh Gerakan" diakses dari psp.ugm.ac.id/spiritualitas-feminis-sebagai-roh-gerakan-perempuan.html 38"Spiritualitas Feminis Sebagai Roh Gerakan" diakses dari psp.ugm.ac.id/spiritualitas-feminis-sebagai-roh-gerakan-perempuan.html 39Rumi banyak berbicara tentang sosok seorang ibu. Kata ―rahmah, belas kasih, akar kata dari nama-nama ilahi yang selalu diulang-ulang yaitu ar-rahman, ―Yang Maha Pengasih‖, ar-rahim, ―Yang Maha Penyayang‖, berasal dari akar yang sama yaitu rahim, ―peranakan ibu‖. Rumi menggambarkan hubungan ibu dan anak seperti hubungan Tuhan dan hamba-Nya serta hubungan Nabi dengan umatnya. Rumi berkata, jika Tuhan adalah tempat berlindung umat manusia, maka ibu adalah tempat berlindung anaknya. Ketika Rumi menjalani kematian ekstase dalam cintanya, dia mengatakan: Seperti seorang anak yang mati di pangkuan ibunya, Begitu pula aku yang akan mati di pangkuan belas kasih. Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita: Aspek Feminin dalam Spiritualitas Islam, h. 138-39. 40"Spiritualitas Feminis Sebagai Roh Gerakan" diakses dari psp.ugm.ac.id/spiritualitas-feminis-sebagai-roh-gerakan-perempuan.html 41Saling ketergantungan antara laki-laki dan perempuan menunjukkan adanya kesetaraan di antara mereka, Rumi menjelaskan hal tersebut ketika membandingkan alQuran dengan pengantin perempuan (’Arusy): al-Quran itu bak seorang gadis. Walaupun kau lepas kerudung dari wajah nya, dia tak akan menunjukkan dirinya padamu. Manakala engkau tidak menemukan kenikmatan dan pencerahan batin itu karena dirimu terselimuti sehingga kau pun dirinya padamu dan menunjukkan diri dalam rupa yang buruk. Katanya, ‖Aku bukanlah gadis yang cantik itu. ‖ia menutup diri dengan hijab dan mencari kenikmatan sendiri. Jika kau air bagi sawahnya maka Layanilah ia dari jauh dan berusahalah agar ia senang, maka ia akan menunjukkan
532 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
wajahnya padamu tanpa kau sendiri harus menyingkapkan hijabnya. 42A. J. Arberry, Jalaluddin Rumi, Kearifan Cinta: Renungan Sufistik Sehari-hari Kutipan Fihi ma Fihi, terj. Jami’atul Hikmah (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001)h. 50. 43Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, h. 165.