PEREKONOMIAN ACEH DAN NUSANTARA:
Melindungi hutan untuk ketahanan air, energi dan pangan
Kajian ini didanai oleh Climate and Development Knowledge Network (www.cdkn.org) dan dilaksanakan oleh WCS Indonesia bermitra dengan Global Canopy Programme. Global Canopy Programme adalah sebuah wadah pemikir hutan tropis yang bekerja untuk mendemonstrasikan dasar pemikiran ilmiah, politik dan bisnis untuk menjaga hutan sebagai modal alam yang menopang ketahanan air, pangan, energi, kesehatan dan iklim bagi semua pihak. GCP bekerja melalui jaringan-jaringan internasionalnya – yang terdiri dari komunitas hutan, pakar ilmiah, pembuat kebijakan, dan para pemimpin lembaga keuangan dan perusahaan – untuk mengumpulkan bukti, mendorong wawasan, dan mengkatalisasi tindakan untuk menghentikan hilangnya hutan dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hutan. Kunjungi www. globalcanopy.org untuk informasi lebih lanjut. Penulis: Matt Leggett, Muhammad I. Lubis, Nuruliawati, dan Wulan Pusparini, Wildlife Conservation Society Indonesia.
PENDAHULUAN
Pada tren saat ini, Indonesia sedang dalam perjalanan untuk menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketujuh di dunia pada tahun 2030 – mengalahkan Jerman dan Inggris1. Namun, dalam rangka memenuhi tujuannya untuk menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2030, Indonesia harus mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat, yaitu sekitar 9%2. Sejauh ini laju pertumbuhan ekonomi yang stabil berhasil dipertahankan melalui strategi yang didasarkan pada penggunaan sumber daya alam Indonesia yang berlimpah, degan sektor kehutanan, pertanian, pertambangan dan perikanan sebagai kontributor utama bagi PDB nasional. Namun, kerusakan lingkungan yang tersebar luas di Indonesia telah berkembang bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi. Pendekatan ‘business as usual’ saat ini berisiko mengganggu stabilitas, dan yang terburuk, dapat membalikkan keuntungan ekonomi yang telah dicapai oleh Indonesia sejauh ini. Laju deforestasi yang tinggi dan, dianggap sebagai yang tertinggi di dunia3, serta kebakaran hutan dan lahan yang dahsyat belakangan ini memberikan peringatan serius tentang risiko ini. Banyak estimasi menyiratkan bahwa kerugian langsung dari kebakaran pada tahun 2015 (35 miliar dolar AS) menghilangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun tersebut, tanpa memperhitungkan biaya langkah pencegahan di masa depan dan kerugian tidak langsung yang lebih luas.4
ACEH BRIEFING NOTE: Pendahuluan
Mengakui perlunya pembangunan berkelanjutan, melalui, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN 2015-2019)5. Pemerintah Indonesia saat ini berupaya untuk meningkatkan pembangunan tanpa kerusakan lingkungan. Ketahanan air, energi dan pangan juga diakui sebagai inti dari strategi pembangunan ekonomi negara ini. Pencapaian ketahanan ini secara terus-menerus tidak dapat dipisahkan dari ketergantungannya pada ekosistem yang berfungsi dengan benar. Hutan dan lahan gambut diakui luas sebagai hal yang menawarkan jalur rendah biaya untuk mencapai ketahanan air, energi dan pangan dan di saat yang sama menjamin perlindungan keanekaragaman hayati, dan mendukung upaya-upaya untuk mencapai tujuan-tujuan penurunan emisi dan mitigasi perubahan iklim. Terdapat pengakuan yang semakin besar bahwa untuk memastikan pencapaian ketahanan ini, dibutuhkan pendekatan holistik yang terpadu, yang disebut ‘hubungan AirEnergi-Pangan (Water-Energy-Food atau WEF)’6. Serangkaian kajian dilaksanakan di Aceh untuk menggali beberapa tantangan yang dihadapi oleh provinsi ini dalam memenuhi tujuan-tujuan RPJMN tanpa semakin merusak lingkungan hidup. Hal ini mendemonstrasikan nilai pendekatan hubungan WEF dalam mendukung upaya-upaya ini.
3
HUTAN SEBAGAI ‘MODAL ALAM’ ACEH
Provinsi Aceh masih memiliki kawasan hutan yang relatif utuh, sebagian besar terletak di Ekosistem Leuser, sebuah kawasan hutan seluas 2,6 juta yang mendominasi daerah-daerah pedalaman dan dataran tinggi utama di Aceh. Hutan Aceh juga memiliki sisa populasi badak sumatera, harimau sumatera dan orangutan terbesar, tetapi jasa ekosistemnya juga diakui sangat penting dalam mempertahankan ketahanan pangan dan air, dengan mengatur aliran air selama musim penghujan dan musim kekeringan, untuk irigasi sawah dan tanaman hasil bumi lainnya untuk perdagangan, seperti kelapa sawit. Jasa ekosistem yang diberikan oleh hutan Aceh diperkirakan bernilai 200 juta dolar AS per tahun7). Laju deforestasi di Ekosistem Leuser, baik untuk perkebunan monokultur skala besar (terutama kelapa sawit) ataupun pertanian skala kecil untuk kelangsungan hidup masih relatif rendah (sekitar 1% per tahun) jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia (lajud eforestasi di Sumatera adalah sekitar 2,3% per tahun). Namun, dalam rencana tata ruang Aceh saat ini, laju deforestasi diperkirakan akan meningkat tajam, sebagian besar didorong oleh reklasifikasi kawasan hutan yang mendukung pengalihfungsian hutan menjadi lahan pertanian dan pembangunan jaringan jalan yang luas yang akan membuka daerah-daerah terpencil untuk perambahan8.
4
Meningkatnya deforestasi memberikan ancaman langsung yang serius bagi keanekaragaman hayati hutan Aceh, tetapi juga merepresentasikan risiko ekonomi yang kritis terhadap pembangunan berkelanjutan Aceh di masa depan, dan ketahanan air, energi dan pangan penduduknya9. Risikorisiko ekonomi tersebut sering kali kurang dikomunikasikan kepada pengambil keputusan di pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, sehingga sering kali disalahpahami dan tidak diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan. Beberapa kajian dari Aceh berikut mendemonstrasikan: 1) Bagaimana pemahaman tentang saling ketergantungan antara lingkungan hidup dan ekonomi pertanian dapat mendukung perencanaan pembangunan yang efektif; dan 2) Pentingnya koordinasi lintas sektor yang koheren dalam menetapkan rencana dan target yang sangat sejalan dan tidak merusak jasa ekosistem hutan yang melandasi model pembangunan ekonomi mereka. Peluang yang diberikan oleh pendekatan ‘hubungan WEF’ ini untuk memfasilitasi pengurangan deforestasi di Aceh serτa mendukung pembangunan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan di provinsi ini yang juga dibahas.
Hutan Sebagai ‘Modal Alam’ Aceh
KAJIAN 1: MEMAHAMI KONEKTIVITAS EKOSISTEM – BANJIR DAN DEFORESTASI DI ACEH Satu langkah pertama yang sangat penting untuk penghitungan jasa yang diberikan oleh ekosistem hutan, dengan tepat dalam perencanaan pembangunan provinsi adalah memahami dengan jelas cara yang rumit di mana jasa-jasa ekosistem ini dapat melandasi ekonomi formal. Hubungan yang paling jelas antara deforestasi dengan ekonomi pertanian di banyak daerah pedesaan dapat dilihat melalui dampak hilangnya hutan atau degradasi aliran air. Oleh karena itu, kajian ini menelaah hubungan antara deforestasi, banjir dan ekonomi pertanian di Aceh.
TEMUAN KUNCI: 1.
Frekuensi peristiwa banjir yang tercatat di Aceh semakin stabil.
2.
Kabupaten yang memiliki perkebunan kelapa sawit mengalami banjir lebih sering, mungkin dikarenakan semakin cepatnya aliran air permukaan ke sistem sungai, dan/atau menurunnya permukaan lahan akibat pembukaan dan pengeringan hutan gambut.
3.
Kerugian langsung tahunan saat ini akibat banjir diperkirakan adalah 27 juta dolar AS per tahun.
4.
Peningkatan frekuensi banjir dan genangan akibat menurunnya permukaan tanah dapat mengakibatkan penurunan nilai lingkungan aset (‘stranded asset’) di banyak perkebunan kelapa sawit pada hutan gambut di Aceh, dengan kerugian langsung mungkin mencapai miliaran dolar.
Latar Belakang Deforestasi dianggap memiliki banyak dampak pada aliran air, mencakup tanah yang terbawa hanyut ke dasar sungai yang berdampak pada berkurangnya daya dukung; hilangnya tutupan vegetasi yang bertindak sebagai ‘spons’ untuk curah hujan tinggi; dan meningkatnya kecepatan aliran air permukaan ke sistem hidrologi10, yang semuanya berkontribusi pada peristiwa banjir yang lebih parah. Misalnya dalam Kramer dkk (199511), aliran air tahunan dari hutan sekunder adalah sekitar tiga kali lipat lebih besar daripada aliran air tahunan dari daerah tangkapan hutan primer yang berukuran sama, dan empat hingga lima kali lebih besar dari aliran air tahunan dari daerah tangkapan yang didominasi oleh pertanian ladang berpindah. Deforestasi juga memberikan dampak lain pada siklus hidrologi, yang menyebabkan kenaikan suhu dan perubahan jumlah dan distribusi curah hujan, umumnya menciptakan iklim yang lebih kering, yang dapat mengurangi hasil panen pertanian di beberapa daerah dan meningkatkan banjir di beberapa daerah lain12. Deforestasi di daerah-daerah dataran tinggi selalu disalahkan oleh penduduk Aceh serta media massa nasional dan lokal sebagai penyebab semakin parahnya dan semakin seringnya peristiwa banjir di daerah-daerah pesisir yang subur. Selain itu, menghubungkan dengan pasti deforestasi dengan dampak banjir masih sangat dipertentangkan13 14 15 dan pada kenyataannya hubungan antara hilangnya hutan dengan frekuensi dan seberapa parahnya banjir sering kali tidak berbanding lurus. Mengingat jumlah variabel independen yang harus dipertimbangkan, hubungan sebab-akibat mungkin akan sulit untuk ditemukan. Dalam kajian ini, kami ingin memperlihatkan korelasi statistik yang signifikan antara hilangnya hutan dengan kejadian banjir di kabupaten dan DAS utama. Data peristiwa banjir diambil dari data resmi Basarnas dan BNPB serta sumber media massa16, juga serangkaian uji statistik digunakan untuk menentukan korelasi antara kejadian banjir dengan deforestasi di tingkat kabupaten dan DAS di Aceh. Metrik yang ada juga digunakan untuk memperkirakan kemungkinan biaya ekonomi dari kerugian dan kerusakan akibat banjir di Aceh sejak tahun 2010 sampai tahun 2015.
Kajian 1: Memahami Konektivitas Ekosistem – Banjir Dan Deforestasi Di Aceh
5
Hasil Dalam kajian ini, semua peristiwa banjir yang tercatat sejak tahun 2010 sampai tahun 2015 dianalisis untuk mengkaji hubungan antara deforestasi dengan banjir, dan kemungkinan dampak tidak langsung yang tidak terelakkan pada ekonomi pertanian Aceh yang sangat penting. Kami mencatat 1209 peristiwa banjir unik di Aceh. Peristiwa-peristiwa ini ditemukan meningkat dari tahun ke tahun, terutama di sepanjang pantai barat Aceh. Walaupun pada awalnya laju deforestasi tidak ditemukan berkorelasi signifikan dengan frekuensi peristiwa banjir di tingkat DAS atau kabupaten, mungkin dikarenakanketerbatasan sampel data, namun frekuensi banjir ditemukan sangat berkorelasi dengan persentase perkebunan kelapa sawit monokultur di banyak kabupaten. Korelasi ini sangat jelas di bagian barat Aceh, di Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Selatan (Gambar 1) di daerah-daerah di atau dekat lahan gambut. Karena kajian ini tidak mengumpulkan informasi tentang menurunnya permukaan lahan atau aliran air, hubungan sebab-akibat antara pengembangan perkebunan dan kejadian banjir tidak dapat diperlihatkan, tetapi kajian-kajian lain memang
Bentuk kerusakan
mengindikasikan bahwa pengeringan gambut dan pembukaan hutan gambut mengakibatkan penurunan permukaan lahan dan degradasi tanah yang substansial dengan cepat, yang mengakibatkan penggenangan rutin terjadi17, dan bahwa rawa gambut yang telah dikeringkan dan hutan yang dibuka kurang dapat mengurangi dan mengatur aliran air dari peristiwa banjir18. Contoh-contoh dari Malaysia memperlihatkan bahwa di suatu lahan gambut di Sarawak, penurunan permukaan lahan akibat pengeringan lahan gambut untuk ditanami kelapa sawit akan mengakibatkan 42% daerah tersebut tergenang secara permanen selama lebih dari 25 tahun, dan hingga 82% selama lebih dari 100 tahun19 20. Selain kejadian banjir, data juga dikumpulkan tentang tingkat keseriusan banjir yang terjadi. Dari 112 catatan sejak tahun 2010 sampai tahun 2015, sekitar 223.000 orang di Aceh terpaksa mengungsi, lebih dari 100.000 rumah rusak dan terdapat 10.000 catatan kerusakan lahan pertanian akibat peristiwa banjir. Estimasi kerugian mengindikasikan kemungkinan kerugiannya adalah minimal 136 juta dolar AS selama lebih dari 5 tahun (rata-rata 27 juta dolar AS per tahun21). Mengingat bahwa kerusakan tercatat untuk kurang dari 10% peristiwa banjir, kerugian sebenarnya dapat mungkin bernilai jauh lebih tinggi.
Jumlah kejadian (2010-2015)
Estimasi kerugian dalam dolar AS (2015)
Kerusakan lahan pertanian (peristiwa)
10,237
23,1
Kerusakan properti pribadi (jumlah rumah)
107,189
103,7
Kerusakan infrastruktur (peristiwa)
596
9,7
Penduduk mengungsi (individu)
223,370
Tidak diketahui
Kematian (individu)
9
Tidak diketahui
Total biaya
136,5
Tabel 1. Estimasi kerugian dan kerusakan akibat banjir di Aceh pada periode 2010–2015. 6
Kajian 1: Memahami Konektivitas Ekosistem – Banjir Dan Deforestasi Di Aceh
Kesimpulan Risiko banjir di kabupaten yang memiliki perkebunan kelapa sawit monokultur meningkat secara signifikan. Walaupun dinamikanya belum jelas, peningkatan kejadian banjir di daerah-daerah perkebunan yang juga merupakan lahan gambut (mayoritas daerah perkebunan di bagian barat Aceh), digabungkan dengan kemungkinan penurunan permukaan tanah akibat pengeringan lahan gambut dapat mengarah pada genangan permanen, yang dapat mengurangi nilai lingkungan aset seluruh daerah perkebunan22. Hal ini merupakan kerugian yang besar di bidang investasi, baik bagi sektor swasta dalam hal investasi modal pada perkebunan tersebut, maupun bagi sektor publik dalam hal kesempatan penerimaan pajak yang hilang. Kemungkinan hilangnya nilai lahan contohnya di Malaysia mencapai 7,9 miliar dolar AS23. Penurunan permukaan lahan juga menghilangkan banyak petak besar dalam kawasan hutan akibat bentuk penggunaan lainnya (hasil hutan bukan kayu, ekowisata dll.), belum lagi hilangnya hutan yang memiliki nilai keanekaragaman hayati yang sangat besar. Selain itu, juga dapat dibayangkan bahwa tindakan hukum yang akan mungkin diambil oleh perusahaan-perusahaan swasta terhadap
pemerintah yang telah mengizinkan tindakan atau gagal mencegah tindakan (misalnya memungkinkan terjadinya deforestasi) di bagian hulu yang akan mengakibatkan devaluasi aset, dapat terbukti mengakibatkan penurunan nilai investasi pertanian besar di bagian hilir. Di Aceh, hubungan antara banjir dengan pengembangan perkebunan hendaknya menjadi kekhawatiran bersama. Tingkat pengembangan minyak sawit dan laju deforestasi direncanakan akan naik secara substansial dalam target-target pemerintah (RPJMN, 2015-2020) dan dalam RTRW Aceh (lihat Kajian 2). Namun, menurut hasil kajian ini, deforestasi, penetapan perkebunan monokultur (terutama di daerah-daerah lahan gambut) dan banjir memberikan risiko ekonomi nyata pada ekonomi pertanian Aceh. Jika tren frekuensi banjir saat ini berlanjut, Aceh memiliki risiko terbebani dengan biaya kerugian dan kerusakan yang terus meningkat akibat banjir, yang diikuti dengan penurunan hasl panen kelapa sawit secara bertahap akibat lahan yang tergenang, yang pada akhirnya diikuti dengan penelantaran perkebunan di daerah-daerah pesisir bernilai tinggi.
Gambar 1. Kejadian banjir dan konsesi-konsesi kelapa sawit besar di Aceh. Kajian 1: Memahami Konektivitas Ekosistem – Banjir Dan Deforestasi Di Aceh
7
KAJIAN 2: MENGEVALUASI PERTUKARAN (TRADE-OFF) DALAM SEKTOR PERTANIAN Saat hubungan antara jasa ekosistem dan pembangunan ekonomi dipahami dengan baik, perencanaan lintas sektor yang terkoordinasi masih dibutuhkan dalam rangka menghindari ‘tragedy of the commons’ terkait dengan hutan – di mana dampak kumulatif dari praktik ‘berkelanjutan’ setiap sektor mungkin masih akan mengakibatkan penurunan jasa ekosistem yang disediakan. Kajian kedua di Aceh ini menggunakan pendekatan hubungan WEF untuk mengkaji kelayakan pelaksanaan target-target beras dan minyak sawit yang pemerintah miliki serta untuk menganalisis potensi pertukaran (trade-off) dan sinergi lingkungan dan ekonomi yang akan dihasilkan dari pelaksanaan tersebut.
TEMUAN KUNCI: 1.
Target-target produksi minyak sawit ‘business-as-usual’ akan mengakibatkan pengalihfungsian minimal 220.000 hektar lahan menjadi perkebunan.
2.
Meningkatkan produktivitas minyak sawit (ton/hektar) dalam pemenuhan kebutuhan ratarata industri di Indonesia akan mengurangi jumlah lahan yang dibutuhkan pada tahun 2019 menjadi 41.000 hektar lebih kecil daripada luas perkebunan yang ada saat ini.
3.
4.
Latar Belakang Untuk merespons target sektoral nasional bersifat ambisius yang diamanatkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah Aceh telah menetapkan target ambisius serupa dalam sektor energi, air, dan pertanian24. Walaupun perkembanganperkembangan ini mungkin akan memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan, serta mendukung target-target nasional dan provinsi untuk ketahanan dan kedaulatan pangan, terdapat kekhawatiran yang diekspresikan oleh kelompokkelompok lingkungan bahwa pengalihfungsian lahan yang signifikan akan dibutuhkan untuk memenuhi target-target ini, dan bahwa hal ini akan mengakibatkan lebih banyak hutan hilang. Dengan demikian, kajian ini berupaya untuk mengumpulkan dan menganalisis targettarget pemerintah yang ada untuk perluasan beras dan minyak sawit di Aceh; memberikan contoh luas lahan yang tersedia dan cocok untuk perluasan pertanian untuk kedua komoditas; dan menganalisis kemungkinan trade-off dan sinergi yang akan dihasilkan dari pelaksanaan rencana untuk mencapai target-target ini. Kajian ini secara khusus menyebutkan kemungkinan risiko deforestasi lebih lanjut sebagai akibat dari targettarget ini.
Dengan peningkatan produktivitas hanya 1% per tahun sejak tahun 2015 sampai tahun 2019, lahan yang dibutuhkan untuk produksi beras di Aceh untuk memenuhi target akan berkurang lebih dari setengahnya. Jumlah lahan yang cocok di Aceh tidak cukup untuk memenuhi target produksi minyak sawit yang ada saat ini tanpa peningkatan hasil panen atau memburuknya deforestasi.
8
Kajian 2: Mengevaluasi Pertukaran (Trade-Off) Dalam Sektor Pertanian
Hasil Target-target produksi kelapa sawit di Aceh direncanakan akan meningkat sebesar hampir setengah juta sejak tahun 2015 sampai tahun 2019, yang menurut perkiraan skenario business as usual akan mengakibatkan dialihfungsikannya sekitar 220.000 hektar lahan menjadi perkebunan kelapa sawit baru dalam waktu lima tahun. Namun, peningkatan produktivitas hanya 5% per tahun sejak tahun 2015 sampai tahun 2019 akan mengarah pada penurunan tajam jumlah lahan baru yang dibutuhkan untuk kelapa sawit (pengurangan lebih dari 100.000 hektar). Selain itu, jika hasil panen didukung untuk mencapai rata-rata industri nasional (3,67 ton/ha), melalui peningkatan produktivitas sebesar 15% per tahun, lahan yang dibutuhkan untuk minyak sawit di Aceh akan berkurang setiap tahun menjadi 41.000 hektar lebih kecil daripada total luas perkebunan yang ada saat ini, dan di saat yang sama masih memenuhi target produksi pemerintah (Tabel 1). Selanjutnya, jika semua daerah perkebunan kelapa sawit di Aceh ingin mencapai rata-rata produktivitas perusahaan yang telah mengikuti standar sertifikasi minyak sawit berkelanjutan (Roundtable on Sustainable Palm Oil atau RSPO, sebesar 5,13 ton/ha), luas lahan yang dibutuhkan
Tahun
Target produksi minyak sawit (ton)
untuk minyak sawit di Aceh untuk memenuhi target yang ada berkurang lebih dari 155.000 hektar menjadi hanya 252.403 hektar pada tahun 2019, yaitu lebih dari 100.000 hektar lebih kecil daripada total luas perkebunan saat ini. Demikian pula, target produksi beras di Aceh direncanakan akan meningkat sebesar sekitar 200.000 ton pada periode 2015-2019, yang membutuhkan tambahan sekitar 52.000 hektar lahan untuk dialihfungsikan menjadi sawah. Dikarenakan produktivitas per hektar yang relatif tinggi di Aceh (sekitar 6 ton/ha) tingkat di mana peningkatan hasil panen dapat mengurangi pengalihfungsian lahan lebih rendah dibandingkan dengan potensi keuntungan dalam industri minyak sawit, walaupun masih signifikan. Dengan peningkatan hasil panen sebesar 1% per tahun, total estimasi lahan yang dibutuhkan untuk dialihfungsikan untuk produksi beras lebih dari setengahnya, dan dengan peningkatan hasil panen 3% lahan yang dibutuhkan untuk produksi beras di masa depan untuk memenuhi target pemerintah sampai tahun 2019 juga lebih kecil daripada luas rujukan (baseline) saat ini. Dalam rangka menilai kelayakan target-target ini, total luas lahan yang sesuai untuk dialihfungsikan
Luas perkebunan (ha) dengan peningkatan produktivitas (0%/ tahun). BAU
Luas perkebunan (ha) dengan peningkatan produktivitas (5%/tahun)
Luas perkebunan (ha) dengan peningkatan produktivitas (15%/tahun)
2015
825,867
393,270
393,270
393,270
2016
857,330
408,252
388,812
355,002
2017
987,160
470,076
426,373
355,445
2018
1,195,440
569,257
491,746
374,296
2019
1,294,060
616,219
506,965
352,325
Jumlah penambahan luas perkebunan pada tahun 2015-2019 (ha)
222,949
113,695
- 40,945
Hasil panen pada tahun 2019 (ton/ha)
2.10
2.55
3.67
Tabel 2. Dampak peningkatan produktivitas pada lahan yang dibutuhkan untuk ditanami kelapa sawit dibandingkan dengan business as usual (BAU) Kajian 2: Mengevaluasi Pertukaran (Trade-Off) Dalam Sektor Pertanian
9
Tahun
Target Produksi (ton)
Luas perkebunan (ha) dengan peningkatan produktivitas (0%/tahun). BAU
Luas perkebunan (ha) dengan peningkatan produktivitas (1%/tahun)
Luas perkebunan (ha) dengan peningkatan produktivitas (3%/tahun)
2015
2,029,503
331,156
331,156
331,156
2016
2,107,642
341,656
340,420
332,197
2017
2,160,342
352,156
345,477
328,989
2018
2,214,343
362,656
350,607
325,809
2019
2,269,449
373,156
355,774
322,625
Jumlah penambahan yang dibutuhkan ha 2015-2019
52,500
24,618
- 8,531
Hasil panen ton/ha 2019
6.08
6.38
7.03
Tabel 3. Dampak peningkatan produktivitas pada lahan yang dibutuhkan untuk tanaman padi dibandingkan dengan business as usual (BAU)
dimodelkan, dengan memperhitungkan sejumlah variabel seperti kepadatan penduduk, jarak ke jalan raya, jarak ke sungai, kemiringan lahan, aspek, dan ketinggian. Daerah di mana alih fungsi lahan untuk pertanian saat ini tidak diperbolehkan tidak disertakan dalam analisis ini, misalnya Taman Nasional Gunung Leuser, semua daerah di rawa gambut, dan jenis klasifikasi lahan lainnya, termasuk hutan lindung dan hutan suaka alam. Ekosistem Leuser juga tidak disertakan dalam analisis ini – legalitas pengalihfungsian lahan di sini sedang dalam perselisihan, tetapi Pemerintah Aceh telah memberikan izin konsesi di daerah ini di masa lalu.
10
Berdasarkan target produksi yang ada dan produktivitas BAU (2,1 ton/ha), dan dengan mempertimbangkan komitmen nol deforestasi (tidak ada pengalihfungsian hutan primer atau hutan sekunder yang teridentifikasi dalam model ini), lahan yang cocok untuk dialihfungsikan saat ini di Aceh tidak cukup untuk memenuhi target produktivitas minyak sawit sampai tahun 2019. Ketika kemungkinan bahaya hasil panen perkebunan kelapa sawit terkena dampak negatif akibat genangan dan banjir rutin juga diperhitungkan, target produksi minyak sawit dapat terancam risiko yang cukup besar.
Kajian 2: Mengevaluasi Pertukaran (Trade-Off) Dalam Sektor Pertanian
Kesimpulan Tanpa upaya bersama untuk memperbaiki perencanaan tata ruang dan memastikan dengan ketat perkembangan minyak sawit tetap berada di luar daerah berhutan dan lahan gambut, hutan di Ekosistem Leuser akan terancam risiko pengalifungsian yang cukup besar – 115.000 hektar di dalam Ekosistem Leuser teridentifikasi selama latihan pemodelan sebagai daerah yang berpotensi dapat ditanami kelapa sawit. Mengingat kegagalan Pemerintah Aceh baru-baru ini dalam melindungi daerah-daerah ini dari konsesi kelapa sawit, lahan berhutan ini terutama dapat terancam dalam scenario pembangunan BAU. Menurut model yang dirancang dalam kajian ini, luas lahan yang sesuai untuk memenuhi target produksi beras tanpa peningkatan produktivitas di Aceh cukup memadai. Pertukaran dalam berinvestasi pada peningkatan produktivitas pada lahan yang ada (seperti melalui penggunaan pupuk dan perbaikan irigasi), terhadap biaya pengalihfungsian lahan dan skema irigasi baru dalam rencana perluasan sawah, harus dipertimbangkan. Selain itu, jika pengalihfungsian untuk kelapa sawit diizinkan untuk dilanjutkan pada daerah hutan, hal tersebut dapat memberikan
dampak tidak langsung pada aluran air bagi daerah-daerah penghasil beras utama, terutama di bagian utara dan barat Aceh, dan juga dapat meningkatkan risiko banjir di kabupatenkabupaten di mana produksi kelapa sawit dan beras dilaksanakan secara bersamaan. Di samping pertukaran ini, peningkatan produktivitas akan memungkinkan lahan untuk dicadangkan untuk penggunaan pertanian lainnya, yang secara tidak langsung dapat mengurangi tekanan pengalihfungsian pada lahan berhutan di Provinsi ini. Mengingat bahwa kebutuhan lahan untuk komoditas pertanian lainnya (misalnya jagung, kopi dan lain sebagainya) tidak diperhitungkan dalam analisis ini, maka evaluasi kami tentang lahan yang tersedia untuk beras dan minyak sawit mungkin merupakan evaluasi yang optimis. Perebutan lahan antara industri minyak sawit dengan industri beras juga merupakan perkiraan, tetapi pada awalnya model ini hanya mengidentifikasi 26.000 hektar lahan sebagai lahan yang kemungkinan sesuai untuk kedua komoditas tersebut, walaupun hal ini perlu dikaji lebih lanjut. Penyempurnaan model ini diharapkan akan menyingkap tumpang tindih yang lebih besar pada daerah penanaman potensial antara produksi minyak sawit dengan produksi beras.
Gambar 2. Potensi Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Minyak Sawit di Provinsi Aceh. Kajian 2: Mengevaluasi Pertukaran (Trade-Off) Dalam Sektor Pertanian
11
NILAI PENDEKATAN HUBUNGAN AIR, ENERGI DAN PANGAN Maksud dari kajian-kajian ini adalah untuk membantu pembuat kebijakan di Aceh dan Indonesia untuk memahami dengan lebih baik kompleksitas dan ketersalinghubungan sistem-sistem lingkungannya, dan terutama peran yang dapat dimainkan oleh hutan dalam mendukung perekonomian, selain peran uniknya dalam mendukung keanekaragaman hayati dan mitigasi iklim. Temuan-temuan kajian ini memperlihatkan bahwa kurang terkoordinasinya keputusan-keputusan yang dibuat dalam kotak-kotak sektor al dapat memberikan dampak tidak terduga dan kemungkinan merusak dalam sektor air, energi dan pangan melalui dampaknya apda hutan. Temuan-temuan tersebut jelas mengindikasikan bahwa:
1.
Banyak pertukaran (trade-off) mungkin akan terjadi dalam target-target rencana pengembangan pertanian nasional yang kurang dipahami, dan bahwa, jika tidak diatasi, dapat mengakibatkan kerugian ekonomi dan lingkungan di masa depan bagi Aceh.
2.
Investasi signifikan pada peningkatan produktivitas dalam sektor minyak sawit di daerah-daerah perkebunan yang ada pada tanah bukan gambut dapat mengurangi dampak pada hutan Aceh di masa depan, dan dapat mendukung masa depan yang berkelanjutan bagi industri ini di Provinsi ini.
3.
Peningkatan hasil panen komoditas lain, seperti beras, juga dapat merepresentasikan pilihan biaya terendah untuk mengurangi dampak pada jasa ekosistem dan memastikan pertumbuhan ekonomi.
4.
Banyak sinergi mungkin terjadi antara sektor-sektor air, energi dan pangan. Semua sinergi ini harus dipahami dengan lebih baik dalam rangka memaksimalkan efektivitas investasi Aceh pada sektorsektor ini. Investasi-investasi tersebut dapat meliputi, misalnya, investasi pada skema irigasi yang dapat meningkat produktivitas beras, dan juga menstabilkan aliran air, meningkatkan ketahanan dan kualitas air, dan mengurangi banjir ke hilir di daerahdaerah kelapa sawit. Skema reforestasi hulu dan pembayaran skema jasa air di Aceh juga menawarkan potensi yang sangat besar untuk menghasilkan manfaat positif dari perlindungan lingkungan, dan keberhasilan skema telah terjadi di Indonesia yang dapat ditiru.
12
Oleh karena itu, kajian-kajian ini merepresentasikan sebuah langkah kecil menuju analisis yang komprehensif tentang interaksi hubungan WEF yang tertanam dalam rencana pembangunan yang ada di Aceh. Dalam rencana pembangunan business as usual saat ini, perekonomian Aceh sangat bergantung pada jasa ekosistem yang diberikan oleh hutan, dan juga bertanggung jawab karena telah merusaknya. Sebuah analisis WEF yang lebih dalam akan membantu para pengambil keputusan di pemerintahan kabupaten dan provinsi dalam memahami saling ketergantungan antara perekonomian Provinsi Aceh dengan lingkungan hidupnya, dan dampak jangka panjang investasi terencana di berbagai sektor. Oleh karena itu, sebuah pendekatan WEF yang dirancang dengan baik dapat menjadi bagian inti dari jalur pembangunan yang unik bagi Aceh, jalur pembangunan yang menghargai perlindungan lingkungan, bukan hanya untuk manfaat keanekaragaman hayati dan mitigasi iklimnya, melainkan sebagai bagian inti dari strategi pembangunan ekonomi mereka di masa depan dalam perekonomian Nusantara.
Nilai Pendekatan Hubungan Air, Energi Dan Pangan
REFERENCES AND END NOTES McKinsey. (2012) The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential. McKinsey Global Institute. 1
Jakarta Globe. (2015) Diakses di: http:// jakartaglobe.beritasatu.com/business/indonesia-needs-near-9-growth-avoid-middle-income-trap-world-bank/ 2
Margono,B. Potapov, P. Turubanova, S. Stolle, F. Hansen, M. (2014) Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Nature Climate Change, 4, 730–735. 3
Bloomberg. (2015) Haze Crisis Cost Indonesia Almost 2% of GDP, World Bank says http://www.bloomberg.com/news/articles/2016-01-20/haze-crisis-cost-indonesiaalmost-2-of-gdp-world-bank-says
Van Beukering, P.J.H., Cesar, H.S.J. & Janssen, M.A. (2003) Valuation of ecological services of the Leuser National Park in Sumatra, Indonesia. Ecological Economics 44(1): 43-62.
10
Kramer, R.A., Sharma, H., and Munasinghe, M. (1995) Valuing Tropical Forest: Methodology and Case Study of Madagascar. World Bank Environment Paper 13, Washington DC.
11
Lawrence D, Vandecar, K. (2015) Effects of tropical deforestation on climate and agriculture. Nature Climate Change 5, 27–36.
12
CIFOR and FAO. (2005) Forests and floods Drowning in fiction or thriving on facts? RAP Publication 2005/03 Forest Perspectives 2.
4
13
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 (RPJMN) (2015). Diakses di: http://www.bpkp.go.id/sesma/konten/2254/Buku-I-II-dan-III-RPJMN-2015-2019.bpkp
Van Dijk et al. (2009) Forest–flood relation still tenuous – comment on ‘Global evidence that deforestation amplifies flood risk and severity in the developing world’ by C. J. A. Bradshaw, N. S. Sodi, K. S.-H. Peh and B. W. Brook. (2009) Global Change Biology 15, 110–115.
5
The Water, Energy and Food Security Resource Platform (2015). Diakses di: http:// www.water-energy-food.org/en/whats_the_ nexus/background.html 6
Van Beukering, P.J.H., Cesar, H.S.J. & Janssen, M.A. (2003). Valuation of ecological services of the Leuser National Park in Sumatra, Indonesia. Ecological Economics 44(1): 43-62. 7
Clements, G.R.; Lynam, A.J.; Gaveau, D.L.A.; Wei, L.Y.; Lhota, S.; Goosem, M.; Laurance, S.; Laurance, W.F. (2014) Where and how are roads endangering mammals in Southeast Asia’s forests? PLoS ONE 9 (12):25. 8
Van Beukering, P.J.H., Cesar, H.S.J. & Janssen, M.A. (2003) Valuation of ecological services of the Leuser National Park in Sumatra, Indonesia. Ecological Economics 44(1): 43-62. 9
References and End Notes
14
Bradshaw C.J.A., Sodi N.S., Peh K.S.H., Brook B.W. (2007a) Global evidence that deforestation amplifies flood risk and severity in the developing world. Global Change Biology, 13, 2379–2395. 15
Badan SAR Nasional (http://www.aceh. basarnas.go.id); the Badan Nasional Penanggulangan Bencana (http://www.bnpb.go.id); Aceh Tribune News (http://aceh.tribunnews. com); Kompas (http://regional.kompas.com); and Antara News http://aceh.antaranews. com).
16
Deltares. (2015) Flooding projections from elevation and subsidence models for oil palm plantations in the Rajang Delta peatlands, Sarawak, Malaysia. https://www.deltares.nl/ app/uploads/2015/06/Rajang-Delta-Peatland-Subsidence-Flooding-Deltares-2015.pdf
17
13
Kramer, R.A., Sharma, H., and Munasinghe, M. (1995) Valuing Tropical Forest: Methodology and Case Study of Madagascar. World Bank Environment Paper 13, Washington DC.
18
Deltares (2015) Flooding projections from elevation and subsidence models for oil palm plantations in the Rajang Delta peatlands, Sarawak, Malaysia. Diakses di: https:// www.deltares.nl/app/uploads/2015/06/ Rajang-Delta-Peatland-Subsidence-Flooding-Deltares-2015.pdf
19
Agrimoney. (2015) Plantation deal highlights Malaysian land premium. Diakses di: http://www.agrimoney.com/news/palm-plantation-deal-highlights-malaysian-land-premium--8431.html
20
World Bank. (2006) Aceh Flood Damage and Loss Assessment. Diakses di: http://siteresources.worldbank.org/ INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/AcehFloodReport_en.pdf
21
Ketika aset yang tidak berkelanjutan mengalami penurunan nilai tidak terduga atau prematur, revaluasi ke bawah atau diubah menjadi liabilitas. Dalam konteks ini, perubahan lingkungan yang cepat (misalnya perubahan iklim, degradasi lahan dan lain sebagainya) dapat mengubah aset menjadi liabilitas. Untuk informasi lebih lanjut, lihat: http:// www.smithschool.ox.ac.uk/research-programmes/strandedassets/Stranded%20Assets%20Agriculture%20Report%20Final.pdf
22
Agrimoney. (2015) Plantation deal highlights Malaysian land premium. Diakses di: http://www.agrimoney.com/news/palm-plantation-deal-highlights-malaysian-land-premium--8431.html
23
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2012 – 2017. (2012) Accessed at: http://bappeda.bandaacehkota.go.id/rpjm/
24
14
References and End Notes
Dokumen ini merupakan keluaran dari sebuah proyek yang dilaksanakan melalui Climate and Development Knowledge Network (CDKN). CDKN adalah sebuah program yang didanai oleh Departemen Pembangunan Internasional (Department for International Development atau DFID) Inggris dan Direktorat Jenderal Kerja Sama Internasional (DGIS) Belanda untuk kepentingan negara-negara berkembang. Pandangan yang diekspresikan dan informasi yang terkandung di dalamnya bukan pandangan dan informasi yang didukung oleh DFID, DGIS atau entitas-entitas yang mengatur pencapaian hasil Climate and Development Knowledge Network. Oleh karena itu, entitas-entitas ini tidak bertanggung jawab atas pandangan, kelengkapan atau keakuratan informasi tesebut ataupun atas kepercayaan terhadap informasi tersebut.