AgronobiS, Vol. 1, No. 2, September 2009
ISSN: 1979 – 8245X
Percepatan Pengembangan Agroindustri di Era Otonomi Daerah; Suatu Pendekatan Kajian Konsep Oleh: Fifian Permata Sari Abstract This research aims to know the strategy and agroindustry policy movement in district autonomy with literature concept appearance. The strategy are agroindustry movement in district autonomy where the district potency and the power of the head as a “core” from the concept which some kind of propositions, are policy, market, financy, infrastructure, research, movement, production and processing, one by one explained. Key words: Agroindustry, district autonomy, movement
PENDAHULUAN Sesudah pemilu legislatif berakhir maka sudah saatnya bangsa ini fokus kembali memikirkan masalah pembangunan yang dihadapi. Permasalahan klasik yang utama adalah sektor pertanian Sektor ini masih menjadi tumpuan sebagian besar masyarakat Indonesia, tetapi sebagai besar pelaku sektor ini berada dalam berbagai tekanan sehinga sulit berkembang (Anindita dan Haryanto, 2004). Suatu terobosan sebagai salah satu alternatif guna meminimalakan bahkan menghilangkan berbagai tekanan tersebut adalah dilakukan dengan percepatan pengembangan agroindustri di daerah bahkan di pedesaan. Banyak kajian telah dilakukan, sesungguhnya betapa pentingnya agroindustri bagi pembangunan nasional. Sektor ini bukan saja mampu meningkatkan pendapatan para pelaku agribisnis, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan perolehan devisa melalui peningkatan ekspor hasil pertanian tetapi juga mampu mendorong munculnya industri yang lain. Oleh karena itu sebagai salah satu motor pengerak pembangunan pertanian, agroindustri diharapkan dapat memainkan peran penting dalam kegiatan pembangunan daerah, baik dalam sasaran pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi maupun stabilitas nasional dalam suasana era otonomi daerah saat ini. Namun harapan besar tersebut tentunya perlu melihat potensi yanga ada. Untuk mengubah potensi tersebut menjadi kenyataan, berbagai aspek harus dikaji lebih mendalam, apakah agroindustri yang akan dikembangkan dapat menjalankan perannya seperti yang diharapkan. Sejatinya pembangunan pertanian yang dikaitkan dengan pengembangan industri pertanian perlu diarahkan ke wilayah pedesaan. Pengembangannya pun perlu dilakukan skala prioritas yang pertumbuhan agroindustrinya mampu menangkap efek ganda (multy effec) yang tinggi baik bagi kepentingan pembangunan nasional, khususnya perekonomian darah dan pembangunan pedesaan (Soekartawi, 2000).
Dosen Tetap Prodi Agrobisnis FP Universitas Baturaja
Fifian Permata Sari, Hal; 56 - 62
56
AgronobiS, Vol. 1, No. 2, September 2009
ISSN: 1979 – 8245X
Bila ditilik saat ini, seperti yang dikemukakan Sa’id (2004), tekhnologi yang dibutuhkan untuk dapat diterapkan dalam mendukung pembangunan pertanian Indonesia merupakan tekhnologi untuk meningkatkan produktivitas, peningkatan mutu dan diversifikasi produk olahan di sektor hilir, baik untuk skala keci dan menegah serta besar sementara tekhnologi yang diterapkan meliputi tekhnologi pengolahan, pengawetan, pengemasan, pengepakan dan distribusi. Kebijakan otonomi daerah merupakan kesempatan besar untuk pengembangan agroindustri. Dengan kewenangan yang lebih besar yang dimiliki daerah diharapan akan terjadi lompatan-lompatan besar dan trobosan yang strategis yang dilakukan oleh kepala daerah dalam mempercepat pengembangan agroindustri berbasis potensi daerah. Karena dengan otonomi daerah, kepala daerah beserta jajaranya akan lebih cermat dan cepat dalam mengenal sekaligus memanfaatkan potensi unggulan yang ada di wilayanya. Dengan pemanfaatan potensi unggulan stategis daerah yanga ada, implikasinya akan terjadi penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai tukar produk pertanian, dan lain sebagainya intinya terjadi peningkatan kesejahteraan stakeholder agroindustri yang ada di daerah. Berangkat dari informasi di atas maka tulisan Ini bertujuan mengkaji strategi serta kebijakan percepatan pengembangan agroindustri di era otonomi daerah dengan suatu pendekatan kajian konsep dan literatur-literatur pustaka yang relevan dengan tema ini. Pengertian dan Proposisi Penggembangan Agroindustri Nasional 1. Pengertian Agroindustri Leon (1988), mengartikan agroindustri sebagai “...sebuah keseimbangan industrilisasi dari pembangunan pertanian sebagai sebuah hubungan yang saling berkaitan. Kemudian Dominguez dan Andriano (1994), mendefinisikan agroindustri sebagai ‘........semua kegiatan yang terkait dengan produksi, proses, pengangkutan, penyimpanan, pembiayaan, pemasaran dan distribusi produk-produk pertanian tertentu. Sementara itu Manalili (1996) dan Sajise (1996) dalam Soekartawi (2000), menuliskan bahwa agroindustri adalah fase pertumbuhan setelah pembangunan pertanian tetapi sebelum pembangunan tersebut memulai ke tahapan pembangunan industri. Jadi setelah pembangunan pertanian, diikuti dengan pembangunan agroindustri kemudian pembangunan industri. Sementara ahli yang lain (Soeharjo, 1991; Soekartawi, 2000; dan Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1995), menyebutkan bahwa agroindustri adalah pengolahan hasil pertannian dan karena itu agroindustri merupakan bagian dari enam subsistem agribisnis yang di sepakati selama ini. Kemudian menurut Barichello (1996) dalam Soekartawi (2000), istilah agroindustri kurang dikenal di negara–negara maju khususnya Canada. Istilah yang lazim dipakai di sana adalah food processing management atau agrifood industry. Dari penelaahan singkat di atas, maka menurut Soekartawi (2000) agroindustri dapat diartikan dua hal, yaitu pertama, agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian. Studi agroindustri pada konteks ini adalah menekankan pada food processing management dalam suatu perusahan produk olahan yang bahan baku utamanya adalah produk pertanian. Lebih lanjut menurut Hicks (1996) dalam Soekartawi (2000), berdasarkan standar FAO suatu industri yang menggunakan bahan baku dari pertanian dengan jumlah minimal 20% dari jumlah bahan baku yang di gunakan adalah di sebut “agroindustri”.
Fifian Permata Sari, Hal; 56 - 62
57
AgronobiS, Vol. 1, No. 2, September 2009
ISSN: 1979 – 8245X
Arti yang kedua adalah bahwa agroindustri itu diartikan sebagai suatu tahapan pmbangunan sebagai kelanjutan dari mbangunan pertanian, tetapi sebelum tahapan pembangunan tersebut mencapai tahapan pembangunan industri. 2. Proposisi Pengembangan Agroindustri Menurut Soekartawi (2000), permasalah agroindustri nasional sangat komplek, yaitu mulai dari masalah kurangnya dukunan kebijakan, masalah pasar, keuangan, infrastruktur, penelitian dan pengembangan (R & D), backward linkage dan forward linkage, produksi dan pengolahan dan sebagainya. Namun dari panjangnya rantai permasalahan tersebut, maka dapat dibuat empat proposisi utama yaitu pertama, proposisi yang berkaitan dengan aspek produksi khususnya perlunya memperhatikan ketersediaan produk pertanian yang dipakai sebagai bahan baku, baik dalam hal kuantitasnya, kualitasnya maupun kontinyuitasnya. Secara kuantitas, bahan baku harus tersedia secara cukup setiap saat manakala bahan baku tersebut adalah bersifat musiman. Dilihat dari sisi kualitas, maka bahan baku seyogyanya harus tersedia secara tepat. Bila hal ini tidak terpenuhi maka hal tersebut akan berakibat pada menurunnya kualitas produk agroindustri. Lebih lanjut secara kontinuitas maka bahan baku harus tersedia secara kontinyu sepanjang tahun, karena proses produksi teruas berjalan tidak peduli apakah saat itu musim hujan atau musim kemarau. Untuk itu ketersediaan bahan baku ini harus diperhatikan baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Proposisi yang kedua adalah proposisi yang berkaitan dengan aspek konsumsi khususnya bersamaan dengan berkembangnya dinamika permintaan pasar, baik pasar individu atau rumah tangga ataupun pasar institusi, baik pasar yang ada di dalam negeri maupun pasar luar negeri. Proposisi ini menjadi penting bersamaan dengan perubahan yang besar pada preferensi konsumen terhadap produk-produk agroindustri. Proposisi yang ketiga adalah proposisi yang berkaitan dengan aspek distribusi khususnya bersamaan dengan berkembangnya dinamika para pesaing (kompetitor) perusahaan agroindustri yang menyalurkan produksi sampai ke tangan konsumen, baik konsumen yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Proposisi ini menjadi penting karena seringnya ditemukan berdirinya perusahaan agroindustri yang kurang memperhatikan kekuatan dan kelemahan para pesaingnya, sehingga dengan demikian perusahaan tersebut kurang dapat berkembang seperti yang diharapkan. Proposisi yang keempat adalah proposisi yang berkaitan dengan kondisi internal perusahaan. Proposisi ini berkaitan dengan kondisi kualitas dan peran sumberdaya manusia dalam menjalankan perusahaan, khususnya dalam bidang kemampuan manajerialnya. Proposisi ini juga berkaitan dengan perlunya memperhatikan dampak dari perubahan global khususnya pengaruh informasi dan teknologi yang secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh pada masa depan perusahaan agroindustri tersebut. Oleh karena itu, maka perlu diperhatikan dimana kekuatan (strenght) yang dimiliki perusahaan, kelemahan (weakness) yang dihadapi, peluang atau kesempatan (opportunity) yang seharusnya diraih dan ancaman (threat) yang mungkin berpengaruh pada masa depan perusahaan agroindustri tersebut. Bila empat proposisi ini benar dan dapat berjalan seperti yang diharapkan maka agroindustri akan tumbuh dan berkembang sehingga akhirnya mampu meningkatkan perolehan devisa, menyerap banyak tenaga kerja, meningkatkan pendapatan para pelaku agribisnis dan meningkatkan tumbuhnya industri yang lain.
Fifian Permata Sari, Hal; 56 - 62
58
AgronobiS, Vol. 1, No. 2, September 2009
ISSN: 1979 – 8245X
Model Pengembangan Angroindustri Berdasarkan defenisi-defenisi mengenai agroindustri, dapat ditarik kesimpulan bahwa agroindustri merupakan agriculture value added atau pertanian nilai tambah (Anindita dan Heriyanto, 2004). Ini maknanya bahwa bagaimana menjadikan petani ikut ambil bagian dalam subsistem agribisnis, di luar usahatani (Gambar 1).
Subsitem Sarana Produksi
Subsitem Usahatani
Kegiatan Tambahan
Kegiatan Utama
Subsistem Agroindustri
Subsistem Pemasaran
Kegiatan Tambahan
Gambar 1. Kegiatan Tambahan Petani Akibat Agroindustri Dengan model pengembangan agroindustri (agriculture value added) petani dapat menciptakan produk value added berupa (1) perubahan keadaan atau bentuk fisik dari suatu produk (misalnya gabah menjadi beras); (2) produksi dari suatu produk dengan suatu cara dapat meningkakan nilainya, seperti ditunjukkan melalui suatu rencana bisnis (a bisnis plan) dan (3) pemisahan fisik dari produk atau komoditi pertanian yang menghaslkan peningkatan nilai dari komoditi atau produk tersebut. Oleh karena itu jika berbicara mengenai model pengembangan agroindustri tidak dapat dipisahkan dari sisi permintaan dan penawaran (Gambar 2). Dari sisi permintaan terkait dengan pengembangan usaha ke arah integrasi vertikal sedangkan dari sisi penawaran adalah penyesuaian terhadap tuntutan preferensi konsumen. Oleh sebab itu singkronisasi sisi permintaan dan penawaran adalah syarat tercapainya agroindustri (Shaffner dan Earle, 1998). Pada sisi penawaran pada proses agroindustri diperlukan berbagai rekayasa seperti bioteknologi dan lainnya yang dapat meningkatkan produksi sebagai bahan baku yang disesuaikan dengan sisi permintaan. Sedangkan dari sisi permintaan, agroindustri secara terus menerus menyesuaikan dengan tuntutan konsumen. Apabila petani ikut dalam subsistem agribisnis lain, terutama menghadapi pemasaran maka petani diharapkan akan terbiasa menghadapi persaingan. Persaingan dapat dikalahkan oleh petani apabila petani dapat memproduksi produk yang unik. Petani dapat membuat produk yang unik atau yang lebih diinginkan konsumen apabila petani sudah terbiasa menghadapi keinginan pasar. Sehingga keterkaitan produksi dan pemasaran sudah tidak terpisahkan dalam sistem produksi dalam agroindustri. Hal ini berarti kebijakan pembangunan pertanian sudah selayaknya tidak saja berorientasi kepada produksi tetapi juga pada pemasaran sehingga konsep pembangunan pertanian ke arah pengembangan sistem agribisnis.
Fifian Permata Sari, Hal; 56 - 62
59
AgronobiS, Vol. 1, No. 2, September 2009
ISSN: 1979 – 8245X
DEMAN FOR AGROINDUSTRI Discriminating consumers Food health and safety
Customized products For niche market
Customized raw Material
Quality audit trial
Identity-preserved production of Agricultural raw material
Agricultural products tailored to the needs of buyers Biotechnology
Information Technology
Structural change in agricultural
Organization innovation Production
SUPPLY OF AGROINDUSTRI
Gambar 2. Penawaran dan Permintaan pada Agroindustri Otonomi Daerah Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah (UU No. 22/1999 yang kemudian direvisi dengan UU N0. 32/2004), pemerintah daerah kini berwenang penuh merancang dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan sesuai dengan kebutuhan daerah. Dalam kewenangan otonomi daerah, melekat pula kewenangan dan tanggung jawab untuk secara aktif dan langsung mengupayakan pemanfaatan potensi daerah. Sebab salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk menciptakan sistem pelayanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat (Rintuh dan Miar, 2005). Lebih lanjut Masyhuri (2004), mengemukakan bahwa kewenangan mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya mencakup kewenagan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain (kebijakan perencanaan
Fifian Permata Sari, Hal; 56 - 62
60
AgronobiS, Vol. 1, No. 2, September 2009
ISSN: 1979 – 8245X
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro dan perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, pemberdayaan alam serta tekhnologi yang strategis, konversi, dan standar nasional. Dengan adanya otonomi daerah tersebut kebijakan pengembangan agroindustri akan lebih cepat jika pemimpin daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) beserta jajaran pendukung dan pemangku kepentingan agroindustri lainnya mempunyai landasan dasar berupa pemahaman yang sama tentang agroindustri, komitmen yang sama untuk mengembangkan agroindustri berbasis potensi daerah. Percepatan Pengembangan Agroindustri Beberapa kebijakan dan strategi yang dapat lakukan untuk mempercepat pengembangan agroindustri di era otonomi daerah dimana potensi daerah dan kewenangan kepala daerah sebagai core dari konsep kajian ini dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Adanya pemahaman yang sama tentang agroindustri dari pemangku kepentingan di daerah otonom; 2. Adanya komitmen dari pemangku kepentingan untuk mengembangkan agroindustri dengan potensi stategis daerah sebagai solusi mengatasi penganguran dan kemiskinan di daerah dengan kepala daerah sebagai leader-nya; 3. Mengembangkan kualitas sumberdaya manusia ungulan daerah yang mencakup peningkatan keahlian dan keterampilan, pengetahuan, dan pengembangan jiwa kewirausahaan pelaku-pelaku agroindustri; 4. Meningkatkan kordinasi pembangunan infrastruktur pendukung agroindustri termasuk teknologi komunikasi; 5. Peningkatan pemanfaatan tekhnologi yang diarahkan pada penggunaan tekhnologi tepat guna; 6. Mengupayakan penghapusan kebijakan proteksi usaha yang merugikan masyarakat agribisnis, termasuk diantaranya pajak ekspor yang memberatkan; 7. Mengupayakan suatu badan agribisnis yang terstruktur mulai dari pusat sampai daerah; 8. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas sistem pemasaran dengan menerapkan tekhnologi yang tepat guna sehingga dapat meningkatkan produk sesuai dengan permintaan pasar; 9. Mendorong perbankan untuk memberikan kredit agroindustri; 10. Meningkatkan biaya penelitian dan pengembangan (R & D) yang terkait dengan agroindustri; 11. Meningkatkan kualitas dan kontinyuitas produk dan prosesing serta melaksanakan diversifikasi produk 12. Meningkatkan kerjasama tekhnologi antar pelaku agroindustri dalam penerapan kemitraan yang luas, adil dan terbuka, kuat dan saling mendukung; 13. Mendorong kemampuan tekhnologi yang ramah lingkungan yang mendukung pertanian yang berkelanjutan dengan efisiensi biaya yang tinggi, dan; 14. Mengembangkan tekhnologi sederhana yang efisien baik dari sisi biaya, maupun penggunaannya.
Fifian Permata Sari, Hal; 56 - 62
61
AgronobiS, Vol. 1, No. 2, September 2009
ISSN: 1979 – 8245X
Penutup Pada era otonomi daerah percepatan pengembangan agroindustri dengan pemanfaatan potensi komoditi stategis daerah merupakan hal yang penting dalam mensejahterakan masyarakat khususnya masyarakat daerah. Kebijakan otonomi daerah merupakan kesempatan besar untuk pengembangan agroindustri. Dengan kewenangan yang lebih besar yang dimiliki daerah diharapan akan terjadi lompatan-lompatan besar dan trobosan yang strategis yang dilakukan oleh kepala daerah dalam mempercepat pengembangan agroindustri berbasis potensi daerah. Karena dengan otonomi daerah, diharapkan kepala daerah beserta jajaranya akan lebih cermat dan cepat dalam mengenal sekaligus memanfaatkan potensi unggulan yang ada di wilayanya. Dengan pemanfaatan potensi unggulan stategis daerah yanga ada, implikasinya akan terjadi penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai tukar produk pertanian, dan lain sebagainya intinya terjadi peningkatan kesejahteraan stakeholder agroindustri yang ada di daerah. DAFTAR PUSTAKA Anindita, R dan Herianto. 2004. Industrialisasi Pertanian, Mau Dibawak Kemana Pertanian Kita. Jakarta: PERHEPI Badan Agribisnis Departemen Pertanian. 1995. Sistem, Strategi dan Program Pengembangan Agribisnis. Jakarta: DEPTAN RI Dominguez, P. G and Adriono, L.S. 1994. BIM-EAGA Agroindustrial Cooperation: A proposed Framework and Plan of Action. USM (Mimeograph). Leon,
A.L.D. 1988.Agro-Industrialization (Mimeograph)
and
Agricultural
Development.
USM
Masyhuri. 2004. Revitalisasi Kebijakan Pangan Nasional Dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: PERHEPI Rintuh, C dan Miar. 2005. Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat. Yogyakarta: BPFE Sa’id, E.G. 2004. Paradigma Peningkatan Pemanfaatan Tekhnologi Menuju Pembangunan Pertanian Indonesia yang Berkelanjutan. Jakarta: Penebar Swadaya. Schaffner, S and Earle. 1998. Food Marketing: An International Prespective. McGraw-Hill
London:
Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. Jakarta: Raja Grafindo Persada Soeharjo, A. 1991. Konsep dan Ruang Lingkup Agroindustri. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tingi (DIKTI)
Fifian Permata Sari, Hal; 56 - 62
62