PERCEPAT PROYEK 35.000 MW, PEMERINTAH LAKUKAN BERBAGAI CARA
www.detik.com
Untuk mempercepat realisasi proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (mw), pemerintah melakukan berbagai cara. Saat memimpin rapat soal kelistrikan di Istana pada 22 Juni 2016 lalu, salah satu arahan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo adalah perlunya penyederhanaan aturan supaya program 35.000 MW bisa berjalan lebih cepat. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penyederhanaan aturan akan dilakukan dengan menghilangkan kewajiban menyetor dana jaminan 10% bagi pemenang lelang pembangkit yang disyaratkan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Aturan ini dinilai Kementerian ESDM mempersulit kontraktor karena menambah beban keuangan. Kontraktor sudah harus mencari banyak uang untuk membangun pembangkit listrik. Bila harus membayar dana jaminan 10%, keuangan kontraktor makin terbebani dan dapat menghambat proses pembangunan. "Membangun pembangkit kan butuh dana banyak, kalau harus bayar jaminan lagi kan memperberat finansial pembangunannya, lebih baik digunakan untuk mempercepat proses pembangunan," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM, Sujatmiko. Sujatmiko paham tujuan aturan lelang yang dibuat PLN tersebut. Syarat dana jaminan 10% dibuat PLN untuk mencegah kontraktor 'abal-abal' tak bermodal ikut lelang proyek 35.000 MW. Dana jaminan merupakan bukti komitmen dan menunjukkan kemampuan finansial kontraktor. Kalau itu tujuannya, menurut Sujatmiko, cukup dibentuk saja Independent Procurement Agency yang dapat menguji tuntas kemampuan keuangan dan kemampuan teknis setiap kontraktor. "Untuk membuat lelang lebih cepat dan akuntabel, PLN Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
perlu membentuk Independent Procurement Agency, jadi ada due diligence aspek teknis dan keuangan IPP. Kalau itu diterapkan membantu mempercepat proses lelang," paparnya. Selain itu, untuk mempercepat proyek 35.000 MW, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Perpres tersebut ditujukan untuk PLN dan anak perusahaannya, Pengembang Pembangkit Listrik (PPL), lembaga keuangan, serta pemerintah pusat/daerah. Kepala Satuan Hukum Korporat PLN Dedeng Hidayat mengatakan bahwa tugas yang diberikan kepada PLN untuk merealisasikan pembangunan listrik dan jaringan transmisi dalam jangka waktu lima tahun adalah tugas yang cukup berat. Namun, lanjut Dedeng Hidayat, terbitnya Perpres ini begitu membantu terutama bagi PLN dalam merealisasikan program tersebut. “Perpres ini adalah bentuk dukungan dari pemerintah kepada PLN dimana dukungan itu ada tujuh dukungan kepada PLN,” ujar Dedeng Hidayat. Pertama, dukungan dalam hal penjaminan. Pemerintah menugaskan PT PLN untuk menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK). Namun, terkait dengan pelaksanaanya sendiri, dapat dilakukan melalui dua cara, yakni swakelola dan kerja sama penyediaan tenaga listrik, yang keduanya sama-sama diberikan jaminan oleh Pemerintah. “Kalau PLN bisa jaminan langsung, sementara untuk anak perusahaan dan PPL diberikan dalam bentuk jaminan kelayakan usaha,” kata Dedeng Hidayat. Kedua, dukungan dalam percepatan perizinan dan nonperizinan. PLN, anak perusahaan PLN, serta PPL dapat mengajukan penyelesaian perizinan melalui Perijinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Baik itu, Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (UPTL), Penetapan Lokasi, Izin Lingkungan, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dapat dilakukan terpusat di BKPM. “Sekarang kita sudah ada PTSP melalui BKPM hanya tiga hari,” kata Dedeng Hidayat. Ketiga, dukungan dalam penyediaan energi primer. Pada prinsipnya, pelaksanaan PIK harus mengutamakan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Dalam Perpres, pemerintah pusat atau pemerintah daerah dapat memberikan dukungan berupa pemberian insentif fiskal, kemudahan perizinan dan nonperizinan, penetapan harga beli tenaga listrik dari sumber energi baru dan terbarukan, pembentukan badan usaha tersendiri untuk penyediaan tenaga listrik, Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
serta penyediaan subsidi. “Tidak ada alasan lagi kalau proyek itu tidak berjalan karena alasan tidak ada pasokan energi primer,” ujar Dedeng Hidayat. Keempat, dukungan tata ruang. Pelaksanaan PIK dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detil Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisi dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam hal ada perubahan, baik PLN, anak perusahaan PLN dan PPL dapat mengajukan usulan perubahan kepada kementerian, lembaga, atau Pemerintah Daerah bersangkutan. “Kalau koordinatnya sudah ditentukan dan tidak bisa diubah, maka yang mengalah adalah peraturan perundang-undangan tentang tata ruang. Tapi diusulkan dulu oleh PLN,” kata Dedeng Hidayat. Kelima, dukungan penyediaan tanah. Baik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah mendukung proses pengadaan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, ketika pemegang hak atas tanah yang luasnya tidak lebih dari lima hektar tidak sepakat dengan besaran hasil penilaian jasa penilai, maka PLN dan anak perusahaannya serta PPL dapat menetapkan nilai jual beli atau tukar menukar sesuai kesepakatan kedua belah pihak dengan skema analisis manfaat dan biaya (cost and benefit analysis). Selain itu, ketika penyediaan tanah tidak dapat dilakukan pengadaannya, maka dapat dilakukan sewa, pinjam pakai, atau kerjasama dengan pemegang hak atas tanah. “Terus terang dukungan ini sangat penting. Proyek PLN banyak terkendala masalah tanah. Pembebasan tanah saat lelang sudah jalan, tidak sesuai waktu yang ditetapkan. Saat kontrak efektif, tanahnya belum siap sehingga terjadi case dimana-mana,” papar Dedeng Hidayat. Keenam, dukungan penyelesaian hambatan dan permasalahan. Pimpinan PLN, anak perusahaan PLN, atau Pimpinan PPL diwajibkan mengambil langkah dalam penyelesaian hambatan dalam percepatan pelaksanaan PIK sesuai dengan kewenangannya. Seperti misalnya, PLN dapat meminta BPKP untuk menghitung besaran tambahan biaya dalam hal penyelesaian pelaksanaan kontrak yang terkendala. “Untuk menyelesaikan hambatan dalam proyek. Bisa lakukan diskresi namun tetap mengacu ke Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014,” kata Dedeng Hidayat. Ketujuh, dukungan penyelesaian hukum yang dihadapi. Dari catatan Dedeng Hidayat, setidaknya telah ada sekitar 29 pejabat PLN mulai dari tingkatan General Manager hingga Manager senior lapis kedua yang tersandung permasalahan hukum ketika bertugas. Akibatnya, cukup banyak pejabat pengambil kebijakan di PLN yang ketakutan dalam Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
mengambil kebijakan. Saat ini, dengan terbitnya Perpres itu pejabat PLN yang sedang mengemban
tugas
untuk
pelaksanaan
proyek
ini
mendapat
perlindungan.
“Kita pernah alami kriminalisasi. Itu memberi keragu-raguan sehingga tidak berani ambil keputusan sehingga proyek-proyek terhambat,” kata Dedeng Hidayat. Setidaknya ada tiga pasal dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2016, yakni Pasal 41 hingga Pasal 43 yang mengatur bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan. Apabila terdapat permasalahan hukum, penyelesaiannya dilakukan dengan mendahulukan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas. Dalam hal pengaduan terkait dengan kewenangan administrasi pemerintahan, pimpinan PLN atau anak perusahaan PLN meneruskan dan menyampaikan kepada Menteri ESDM selaku Pembina teknis dan Menteri BUMN selaku pembina korporasi dan manajeman penyelenggaraan PIK. Selain itu, dalam hal pengaduan masyarakat terkait penyimpangan PIK kepada Kejaksaan dan Kepolisian, penyelesaian dilakukan dengan mendahulukan proses administrasi. Dalam melaksanakan mega proyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 mw, PLN telah meminta pengawalan dari Kejaksaan Agung. Untuk memberikan pengawalan tersebut, Kejagung pun menurunkan Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Pusat (TP4P).i Salah satu proyek yang kini dikawal adalah pengadaan marine vessel power plant di Sulawesi Utara. Pengawalan yang ditawarkan TP4P yaitu mengidentifikasi peluang penyimpangan sedini mungkin. Dari sisi pengamanan dilakukan pada tahap lelang hingga proyek selesai. Ia meyakini, dengan adanya pengawalan tersebut maka penyimpangan seperti korupsi bisa dicegah. Bila ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maka Kejaksaan Agung akan bersinergi dengan BPK untuk melakukan pendampingan terhadap hasil audit yang dikeluarkan BPK. "Temuan BPK maupun satuan pengawas internal bisa dilakukan tindak lanjut pendampingan oleh TP4P. Jadi betul-betul penyimpangan bisa dicegah dengan melakukan deteksi dini. Kami bisa berikan konsultasi. Jika terjadi penyimpangan, sifatnya hanya administratif," jelas Anggota TP4P Kejaksaan Agung, Firdaus Dewilmar. Sumber berita: 1. www.detik.com, “Percepat Proyek 35.000 MW, Aturan Lelang Ini Akan Direvisi”, Senin, 11 Juli 2016. 2. www.hukumonline.com, “Ingat! Aparat Penegak Hukum Tak Bisa Asal Pidanakan Pejabat PLN”, Jumat, 15 April 2016. Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
3. www.hukumonline.com, “Cegah Persoalan Hukum, Kejagung Kawal Proyek 35.000 MW”, Kamis, 7 Januari 2016. 4. www.hukumonline.com, “Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan”, Kamis, 10 Maret, 2016. Catatan: Perpres Nomor 4 Tahun 2016 mulai berlaku sejak tanggal 19 Januari 2016. Perpres tersebut diterbitkan guna mendorong pertumbuhan ekonomi melalui percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (“PIK”) dalam rangka memproduksi tenaga listrik sebesar 35.000 MW. Tenaga listrik ini akan disalurkan melalui jaringan transmisi baru sepanjang 46.000 KM. Proyek PIK ini juga akan mengutamakan penggunaan energi baru dan terbarukan dibanding bahan bakar minyak. Perpres Nomor 4 Tahun 2016 ditujukan untuk PT Perusahaan Listrik Negara (“PLN”) dan anak perusahaannya, Pengembang Pembangkit Listrik (“PPL”), lembaga keuangan, serta pemerintah pusat/daerah. Beberapa ketentuan penting dari Perpres Nomor 4 Tahun 2016 adalah sebagai berikut. A. Mekanisme Pelaksanaan Berdasarkan Perpres Nomor 4 Tahun 2016 dalam Pasal 4 (1), PLN bertanggung jawab untuk melakukan percepatan pembangunan proyek PIK melalui dua mekanisme pelaksanaan berikut: 1. Swakelola; dan 2. Kerja sama penyediaan tenaga listrik dengan anak perusahaan PLN atau PPL.
1. Swakelola PLN dapat melakukan pelaksanaan PIK melalui swakelola sepanjang persyaratan berikut dapat dipenuhi: a.
PLN memiliki kemampuan pendanaan untuk ekuitas dan sumber pendanaan murah,
b.
proyek PIK yang bersangkutan memiliki risiko konstruksi yang rendah,
c.
tersedianya pasokan bahan bakar yang memadai untuk menghasilkan tenaga listrik, dan
Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
d.
terdapat
pembangkit
listrik
pemikul
beban
puncak
(peaker)
dan/atau
pengembangan sistem isolated. PLN dapat memfasilitasi pembiayaan proyek PIK melalui swakelola dengan cara: penyertaan modal negara, penerusan pinjaman dari pemerintah luar/dalam negeri, pembebasan pajak, dan pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Kerja Sama PLN dapat melakukan kerja sama penyediaan tenaga listrik (“Kerja Sama”) dengan PPL, asalkan PLN diwakili oleh salah satu anak perusahaannya. Mekanisme kerja sama dapat ditempuh menggantikan mekanisme swakelola jika kerja sama tersebut memiliki nilai yang strategis bagi PLN ditinjau dari aspek ketersediaan pendanaan dan pasokan energi. Kerja Sama dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan berikut. a.
Membutuhkan pendanaan yang sangat besar;
b.
Proyek tersebut memiliki risiko konstruksi yang cukup besar, terutama untuk lokasi baru yang membutuhkan proses pembebasan lahan;
c.
Belum mempunyai kepastian pasokan energi untuk PIK;
d.
Melibatkan pembangkit dari sumber energi baru dan terbarukan;
e.
Melibatkan ekspansi dari pembangkit PPL yang telah ada;
f.
Terdapat beberapa PPL yang akan mengembangkan pembangkit di suatu wilayah tertentu.
B. Perizinan dan Nonperizinan Proyek PIK yang dilakukan secara swakelola maupun Kerja Sama wajib memperoleh berbagai dokumen perizinan dan nonperizinan dari kantor PTSP tingkat pusat maupun daerah, meliputi: 1. Izin usaha penyediaan tenaga listrik (jangka waktu pemrosesan 3 sampai 5 hari); 2. Penetapan lokasi (jangka waktu pemrosesan 3 sampai 5 hari); 3. Izin lingkungan (jangka waktu pemrosesan 60 hari); 4. Izin pinjam pakai kawasan hutan (jangka waktu pemrosesan 30 hari) Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
5. Izin mendirikan bangunan (jangka waktu pemrosesan 3 sampai 5 hari); 6. Izin lokasi (jangka waktu pemrosesan 3 sampai 5 hari); 7. Izin gangguan (jangka waktu pemrosesan 3 sampai 5 hari); dan 8. Dokumen fasilitas perpajakan (jangka waktu pemrosesan 28 hari).
C. Perubahan Zonasi Dalam rangka percepatan proyek PIK, setiap izin lokasi yang telah disetujui tetapi tidak sesuai dengan zonasi atau rencana tata ruang wilayah/daerah yang ada, dan secara teknis tidak dimungkinkan untuk dipindahkan, dapat diubah. Untuk melakukan perubahan, pemilik proyek PIK (PLN/anak perusahaan PLN/PPL) wajib mengajukan usulan perubahan kepada pemerintah pusat/daerah yang bersangkutan.
D.
Energi Baru dan Terbarukan Perpres Nomor 4 Tahun 2016 mengutamakan proyek PIK yang menggunakan bentuk energi baru dan terbarukan. Dalam rangka mendukung kebijakan ini, pemerintah pusat dan/atau daerah dapat memberikan fasilitas-fasilitas berikut kepada pemilik proyek PIK (PLN, anak perusahaan PLN, PPL): 1. Insentif fiskal; 2. Kemudahan perizinan dan nonperizinan; 3. Penetapan harga beli tenaga listrik dari masing-masing jenis sumber energi baru dan terbarukan; 4. Pembentukan badan usaha tersendiri yang akan menjual tenaga listrik ke PLN; dan/atau 5. Penyediaan subsidi.
E. Kewajiban Penggunaan Komponen Dalam Negeri Perpres Nomor 4 Tahun 2016 mengutamakan penggunaan komponen dalam negeri untuk setiap proyek PIK, baik berupa barang maupun jasa. Kewajiban ini diterapkan melalui mekanisme berikut. 1. Penerapan open-book system; 2. Pemberian preferensi harga; atau Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum
3. Reverse engineering.
F. Pengadaan Tanah PIK merupakan proyek untuk kepentingan umum. Tanah untuk proyek PIK yang telah ditetapkan lokasinya oleh Gubernur tidak dapat dilakukan pemindahan hak atas tanahnya oleh pemilik hak kepada pihak lain selain Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selain larangan menjual kepada pihak ketiga, pemilik proyek dapat melakukan pengadaan tanah secara langsung untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari 5 ha. Ketentuan Perpres Nomor 4 Tahun 2016 menyatakan bahwa metode pengadaan tanah secara langsung seperti ini dilakukan dengan cara: jual beli, tukar menukar, sewa, pinjam pakai, atau cara lain yang diperbolehkan dalam peraturan perundang-undangan. i
TP4 dibentuk berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep-152/A/JA/10/2015 tanggal 1 Oktober 2015 tentang Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Kejaksaan Republik Indonesia. TP4 terdiri dari Direktur I pada Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, Direktur Pemulihan dan Perlindungan Hak (PPH) pada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, Jaksa pada Bidang Tindak Pidana Khusus, dan Jaksa pada Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum