PERBEDAAN PEMAHAMAN TEMA MORAL MURID SEKOLAH DASAR DITINJAU DARI STATUS SEKOLAH
Stefanus Soejanto Sandjaja Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana - Jakarta
[email protected] Abstrak - Tujuan penelitian ini adalah membedakan Pemahaman Tema Moral murid – murid di Sekolah Dasar Swasta dengan Negeri, sebab status sekolah menunjukkan perbedaan pengelolaannya, serta berdampak pada seleksi guru, proses pembelajaran dan sistem kontrol. Subyek penelitian adalah 568 orang murid SD Swasta dan Negeri di Semarang, Magelang dan Temanggung yang dipilih secara random. Tes Pemahaman Tema Moral digunakan sebagai alat ukur dan data dianalisis dengan menggunakan analisis varians. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan Pemahaman Tema Moral yang signifikan, karena ternyata Pemahaman Tema Moral murid SD Swasta lebih tinggi dibandingkan murid SD Negeri. Kata kunci : Pemahaman Tema Moral dan Status Sekolah.
Pendahuluan Perilaku menyimpang seperti korupsi dan tindakan kriminal tidak lepas dari akar perilaku negatif di masa kanak-kanak. Penyimpangan perilaku sangat dipengaruhi oleh moralitas anak yang diperoleh dari keluarga, sekolah, dan sistem sosial sejak masa usia dini. Hasil penelitian Sandjaja (2006) di beberapa Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa anak – anak mengaku melakukan : 1) perkataan bohong (44%); 2) berkata kasar dan kotor (72%); 3) merusak barang milik teman atau sekolah (22%); 4) mencuri barang milik teman (17%); 5) membolos sekolah (11%); 6) mengganggu anak / orang lain (39%); 7) saling mengejek (78%); 8) berbuat gaduh di kelas (56%); 9) berkelahi (72%); 10) tidak membuat PR (44%); 11) menyontek pekerjaan anak lain (33%); dan 12) berebut barang atau permainan (28%). Berdasarkan hasil survey tersebut dapat dilihat bahwa perilaku moral siswa SD masih jauh dari harapan untuk mewujudkan perilaku moral yang positif. Data sampel kenakalan anak di Indonesia pada tahun 2006 berkisar antara 193.115 anak. Hal ini ibarat fenomena gunung es sebab diduga jumlah angka kenakalan dan permasalahan sosial lainnya yang sebenarnya adalah sekitar 10 kali lipat. Dampak negatif dari kenakalan anak akan terus sangat meresahkan dan mengancam hari depan generasi muda. Oleh karena itu perlu penanganan serius, serta terkoordinasi antar berbagai instansi maupun profesi selain upaya terpadu antara pemerintah dan masyarakat. Masa depan bangsa dua sampai tiga puluh tahun yang akan datang sangat tergantung pada kualitas anak - anak dan remaja yang kini berusia 0 -18 tahun. 1
Orangtua memegang peranan penting dalam pertumbuhan fisik, kognisi maupun emosional seorang anak. Pendidikan mengenai baik atau buruk sangat efektif ditanamkan sejak usia dini, yaitu sejak balita sampai dengan anak-anak memasuki usia sekolah dasar. Kondisi ini tentunya sangat erat kaitannya dengan sistem pola asuh dan pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan sistem interaksi lingkungan sosial di sekitarnya. Pendidikan moral yang efektif di sekolah harus berdasarkan suara hati dan diarahkan untuk mengubah struktur berpikir anak, sehingga mereka mampu membuat keputusan-keputusan bijaksana dalam menghadapi masalah moralitas (Hurlock, 1994). Membentuk perilaku moral di sekolah dasar sama dengan membentuk karakter mulia, sehingga dapat menghasilkan murid – murid yang mampu memahami nasehat atau pesan moral dalam suatu peristiwa, berita maupun bacaan naratif. Kelak di saat dewasa, Pemahaman Tema Moral ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menolak perilaku menyimpang dan melanggar hukum. Pendidikan moral berkaitan erat dengan sistem pengelolaan pendidikan. Di Indonesia dikenal ada dua macam pengelolaan pendidikan, yaitu yang dikelola oleh pemerintah dan non pemerintah. Sekolah yang dikelola oleh pemerintah dikenal sebagai sekolah negeri, sedangkan yang dikelola oleh yayasan atau lembaga non pemerintah dikenal sebagai sekolah swasta, dengan keunggulan dan kekurangan masing-masing. Umumnya sekolah negeri menerima murid dalam jumlah lebih banyak dari sekolah swasta, uang sekolah relatif lebih murah, fasilitas pendidikan didukung penuh oleh pemerintah. Seleksi calon guru berdasar data administratif dan tes tertulis yang bersifat kognitif, tanpa uji ketrampilan mengajar di depan kelas. Sekolah swasta relatif jumlah murid lebih sedikit dibanding sekolah negeri, uang sekolah lebih mahal, bahkan beberapa sekolah swasta favorit dikenal sebagai sekolah yang mahal. Selain itu fasilitas pendidikan cenderung selalu ditingkatkan agar menarik orangtua murid untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Seleksi guru berdasar data administratif, tes tertulis dan uji praktek mengajar di kelas. Berdasarkan perbedaan jumlah murid, kondisi keuangan, fasilitas dan sistem seleksi guru; diduga SD swasta lebih teliti dalam memilih calon guru, sehingga memperoleh guru – guru yang lebih tinggi tingkat kompetensinya dalam mengajar dan kepedulian kepada siswa. Kepedulian guru terhadap murid di SD swasta juga lebih dimungkinkan mengingat jumlah siswa di SD swasta relatif lebih kecil dibanding SD negeri (Sangdedi, 2010). Selain itu SD swasta cenderung lebih tinggi dalam melakukan kontrol kualitas terhadap kompetensi dan kepedulian guru dibanding SD negeri (Muctaridi, 2004). Hal ini dapat dipahami sebab sekolah swasta perlu menjaga kualitas, dan selalu meningkatkan keunggulan agar orangtua murid puas dan selalu berminat mengirim anaknya untuk menempuh pendidikan di sekolah swasta. Kondisi seperti ini menimbulkan pertanyaan, apakah kepedulian, kompetensi dan kontrol kualitas guru di SD swasta juga berpengaruh terhadap penanaman nilai – nilai moral dalam diri murid, sehingga mereka memiliki Pemahaman Tema Moral lebih tinggi dibanding murid – murid si SD negeri ?. Tujuan penelitian ini adalah menemukan perbedaan Pemahaman Tema Moral antara murid SD ditinjau dari status sekolah, yaitu antara SD Negeri dan Swasta.
2
Pemahaman Tema Moral Moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos (jamak: mores) yang berarti juga kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral” karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Walaupun demikian, kata moral dan etika memiliki asal bahasa berbeda. Etika berasal dari Yunani (dari kata ethos yang artinya kebiasaan, adat ) dan moral berasal dari Latin. Moralitas mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moralis, meskipun moralitas bersifat lebih abstrak. Moralis suatu perbuatan berarti sifat moral atau keseluruhan azas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Secara umum, kata tema memiliki arti pokok pikiran, dasar cerita atau sesuatu hal yang dipercakapkan, atau sesuatu hal yang dipakai sebagai dasar mengarang sajak atau cerita. Secara khusus, kata tema disamakan artinya dengan amanat atau nasehat yang terdapat dalam sebuah cerita. Wilder dan Williams (2001) berpendapat bahwa tema cerita adalah pengajaran bersifat didaktis dan berupa konsep utama cerita; yang ingin diwujudkan dalam suatu bacaan naratif. Perrine (1974) berpendapat bahwa tema cerita adalah konsep utama cerita yang menjadi pusat pemahaman suatu bacaan naratif dan bersifat menyatukan komponen - komponen cerita. Narvaez dkk (1999) mengartikan tema adalah pernyataan yang sangat erat dengan konsep utama sebuah cerita. Tema biasanya dimunculkan dalam deskripsi sifat – sifat tokoh utama cerita. Sifat – sifat tokoh utama disukai oleh pembaca, sebab mencerminkan nilai moral, yaitu aturan tingkah laku yang dipandang baik dan dapat diterapkan dalam kehidupan seseorang. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman tema moral adalah kemampuan seseorang untuk menemukan konsep utama sebuah cerita, yang berisi pengajaran mengenai baik - buruk melalui perbuatan tokoh utama dalam suatu bacaan. Sebuah cerita akan benar – benar memiliki tema bila pengarang ingin memunculkan mengenai suatu kebenaran dalam kehidupan ini dan isi cerita bermakna untuk menjadi ilustrasi dalam menasehati seseorang. Rumusan tema dapat bersifat eksplisit, yaitu secara jelas ditulis menjadi sebuah kesimpulan dalam cerita; atau implisit yaitu pembaca diminta menafsirkan sendiri berdasar perbuatan tokoh utama. Selain itu rumusan tema harus singkat dan jelas. Perrine (1974) berpendapat ada beberapa prinsip untuk merumuskan tema, yaitu tema harus memperhitungkan semua komponen cerita dan tidak boleh berlawanan dengan alur cerita. Contoh rumusan tema adalah seorang anak harus jujur kepada orang lain, seorang anak harus suka menolong orang lain, seorang anak harus sabar menanti giliran, dan lain sebagainya. Perkembangan Skema Moral Anak Sekolah Dasar Penelitian perkembangan moral sering berpusat pada penelitian penalaran moral, yaitu kemampuan seseorang untuk menentukan pertimbangan atau alasan yang digunakan untuk menentukan pilihan tindakan tertentu dalam sebuah dilema moral. Menurut teori penalaran moral ditemukan bahwa seseorang memikirkan masalah – masalah moral secara berbeda berdasarkan usia dan pendidikannya. Pada saat terjadi perkembangan penalaran moral, terjadi juga transformasi pada kemampuan individu 3
untuk menafsirkan kewajibannya pada orang lain. Transformasi ini dapat dipandang sebagai skema moral. Misal fungsi skema moral untuk bekerja sama, berbuat jujur kepada orang lain, bertanggungjawab terhadap tugas dan lain sebagainya. Sejalan dengan kematangan penalaran moral, individu ingin untuk memperluas penalarannya. Individu mampu untuk memandang kesejahteraan yang lebih tinggi untuk orang lain, yaitu ketika memikirkan bentuk kerja sama ideal dengan orang lain. Pada skema moral tahap rendah, yaitu skema minat pribadi; perhatian seseorang terutama tertuju pada dirinya sendiri. Kemudian saat skema moral telah berkembang ke tahap tertinggi, yaitu skema pascakonvensional; seseorang memasukkan kepedulian kepada orang lain maupun masyarakat yang lebih luas. (Narvaez dkk, 1999) Skema moral dapat diketahui melalui enam tahap perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg, seorang ahli teori penalaran moral. Ia membagi tingkat perkembangan moral menjadi tiga, yaitu pra – konvensional, konvensional dan pasca – konvensional (Moshman, Glover dan Bruning, 1996; Carlson dan Buskist, 1998). Setiap tingkat dibagi menjadi dua tahap, sehingga secara keseluruhan ada enam tahap. Istilah pra-konvesional menunjukkan bahwa norma, aturan atau harapan dari masyarakat atau pemegang kekuasaan belum dipahami sebenarnya oleh individu. Tingkat konvensional berarti individu sudah mampu memahami norma dan aturan sesuai dengan harapan masyarakat atau pemegang kekuasaan seperti orangtua, guru, tokoh masyarakat dan lain sebagainya. Pasca-konvensional berarti individu dapat memahami norma, aturan serta harapan masyarakat berdasar prinsip moral yang mendasarinya dan sudah mampu membuat keputusan moral dengan mengutamakan prinsip moral yang dianutnya. Secara lebih rinci, enam tahap perkembangan moral menurut Kohlberg adalah sebagai berikut. Pertama dinamakan moralitas heteronom, yaitu anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman. Baik atau buruknya suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya. Anak menganggap perbuatannya baik apabila ia memperoleh ganjaran atau tidak mendapat hukuman. Kepatuhan anak berpusat pada pemegang otoritas, bukan pada peraturannya. Kepatuhan bersifat egosentris, yaitu dinilai untuk kepentingan dirinya sendiri. Kedua, individualisme dan petukaran, artinya tindakan itu diangap benar jika secara instrumental dapat menyenangkan atau memuaskan diri sendiri dan orang lain. Pada tahap ini seseorang menghubungkan apa yang baik dengan kepentingan, minat dan kebutuhan dirinya sendiri serta ia mengetahui dan membiarkan orang lain melakukan hal yang sama. Ia menganggap benar apabila kedua belah pihak mendapat perlakuan yang sama, semacam moralitas jual beli. Ketiga, harapan bersama (mutual) dan konformitas antarpribadi, yaitu individu berusaha agar ia dapat dipercaya oleh kelompoknya, bertingkah laku sesuai dengan tuntutan kelompok dan berusaha untuk memenuhi harapan kelompok. Moralitas anak yang baik sangat menonjol dalam tahap ini, dengan tujuan agar individu dapat mempertahankan hubungan antarpribadi yang baik dengan kelompoknya. Keempat adalah sistem sosial, yaitu individu berusaha untuk memelihara dan mempertahankan tatanan yang berlaku di masyarakat. Perilaku yang benar adalah menjunjung tinggi hukum yang telah disetujui bersama. Mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan agar terhindar dari kecaman masyarakat. Kelima, penalaran moral adalah kontrak sosial, yaitu kebenaran diperoleh individu melalui pertimbangan hak-hak seseorang yang umum dan telah dikaji oleh 4
masyarakat secara kritis. Peraturan bersifat fleksibel, artinya peraturan dapat diubah demi kesejahteraan masyarakat. Keenam adalah prinsip etika universal, yaitu individu memandang kebenaran didasari oleh kata hati nurani diri sendiri yang bersifat konsisten, menyeluruh dan logis serta prinsip universal berdasar keadilan, persamaan hak asasi manusia dan menghormati martabat manusia. Enam tahap perkembangan penalaran moral tersebut dipandang sebagai skema moral seseorang. Hal ini sesuai dengan perumusan baru dari neo-Kohlbergian mengenai perkembangan penalaran moral, bahwa tahap-tahap perkembangan moral adalah wujud dari skema moral. Jadi skema moral ini berfungsi sebagai pengetahuan moral awal mengenai perbedaan cara seseorang bertingkah laku di masyarakat (Narvaez, 1998). Pemahaman terhadap kasus pelanggaran moral, pengambilan keputusan, pemecahan masalah moralitas dan tindakan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain dipengaruhi oleh skema moral. Kohlberg dan Colby (1987) menemukan bahwa sekitar usia 10 s/d 13 tahun terjadi perkembangan yang pesat dalam penggunaan penalaran moral tahap tiga, yaitu dari 4,8 % menjadi 56,8 % atau 52 %. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan skema moral anak – anak usia 10 s/d 13 tahun termasuk dalam Skema Minat Pribadi atau Personal Interest Schema. Narvaez (1998) menemukan bahwa murid kelas 1 s/d 4 SD belum mampu menyimpulkan pesan moral dari suatu cerita, sebab mereka hanya mengingat aksi atau tindakan konkret dari tokoh utama, dan menggunakan tindakan konkret tokoh utama dalam sebuah cerita untuk menafsirkan pesan moral dari cerita yang lain, akibatnya pemahaman pesan moral sering salah. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan fungsi skema anak – anak SD usia 6 – 10 tahun berada dalam tahap stereotipikal, yaitu struktur dasar berpikir yang hanya mengutamakan satu ciri – ciri umum suatu peristiwa atau bacaan, kemudian menggunakannya untuk menafsirkan peristiwa atau bacaan lain sehingga dapat menimbulkan salah tafsir. Pada usia 11 tahun anak mulai mampu memperhatikan ciri – ciri yang lain sehingga dapat menafsirkan peristiwa atau bacaan dengan lebih tepat atau perkembangan fungsi skema telah mencapai tahap relatif ahli. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Subyek penelitian keseluruhan berjumlah 568 orang murid SD kelas 3, 4, dan 5 di Sekolah Dasar Negri dan Swasta di Jawa Tengah. Murid Sekolah Dasar dipilih sebagai subyek penelitian dengan alasan pada fase kanak - kanak sebagai kondisi yang paling tepat untuk menanamkan, membentuk dan menguatkan perilaku moral anak. (Narvaez dkk, 1999). Status pendidikan Sekolah Dasar Negeri dan Swasta dipakai sebagai variabel bebas dalam penelitian ini, karena pada kenyataannya kedua status ini paling relevan dengan pendidikan di Indonesia; yaitu tidak membedakan agama, suku, golongan, dan ras sebagai dasar pijakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Penentuan sampel dilakukan secara random dengan harapan keadaan kota serta status SD adalah homogen, sehingga mampu dan layak dibandingkan serta dapat digeneralisasikan di kota-kota lain di Jawa Tengah, atau Indonesia dengan ciri - ciri yang tidak jauh berbeda. Generalisasi ini terutama tentang Pemahaman Tema Moral di SD swasta dan negeri. 5
Penelitian ini sengaja dilakukan di tiga kota yaitu Semarang, Magelang, dan Temanggung. Alasan pengambilan Kota Semarang sebagai tempat penelitian adalah sebagai kota pantai dan mewakili kota di dataran rendah. Semarang sebagai ibukota Jawa Tengah mampu menjadi model dinamika pusat perkembangan di segala aspek kehidupan bagi kota-kota lain di Jawa Tengah. Magelang diambil sebagai tempat penelitian memiliki karakter suasana kota yang aman dan tenang di daerah pedalaman namun penuh dinamika bisnis dan pendidikan. Magelang juga terkenal sebagai kota transit antara Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Semarang. Temanggung terpilih sebagai tempat penelitian ketiga karena memiliki tempat yang cukup tinggi (dataran tinggi), tenang, dan dinamika bisnis maupun pendidikan lebih sederhana. Subyek di kota Semarang diambil di SD YSKI (Yayasan Sekolah Kristen Indonesia), sebagai sekolah swasta, sebanyak 137 murid untuk kelas 3, 4, dan 5. Sedangkan subyek di SD Negeri Peterongan sebanyak 82 murid terdiri dari kelas 3, 4, dan 5. Subyek di kota Magelang dimbil di SD Pantekosta (Swasta) dan SDN Kemiri Rejo I. Adapun jumlah siswa untuk SD Pantekosta sebanyak 122 murid, dan SDN Kemiri Rejo I sebanyak 87 murid semuanya terdiri dari kelas 3, 4, dan 5. Subyek di kota Temanggung diambil di SD Santa Maria (Swasta) dan SD Negeri Campur Sari. Adapun jumlah murid untuk kelas 3, 4, dan 5 untuk SD Santa Maria adalah 73 murid dan SD N Campur Sari sebanyak 67 murid. Alat ukur yang digunakan adalah Tes Pemahaman Tema Moral. Adapun tabel spesifikasi Tes Pemahaman Tema Moral disajikan dalam tabel 1. Uji coba Tes Pemahaman Tema Moral (PTM) dilakukan di tiga SD Marsudirini untuk mengetahui validitas dan reliabilitas tes PTM. Ada tiga validitas yang digunakan untuk menguji tes PTM, yaitu validitas isi, item dan konstrak. Validitas isi dilakukan oleh tim ahli, yaitu tiga orang guru besar psikologi, dua orang doktor psikologi dan tiga orang guru Sekolah Dasar. Validitas item menggunakan batas minimal adalah 0,30 untuk korelasi antara aitem dengan total (Azwar, 1992). Rentang validitas aitem untuk komponen pertama (bacaan Tina) tes PTM adalah antara 0,526 s/d 0,937 dan untuk komponen kedua (bacaan Totok) adalah antara 0,313 s/d 0,670. Uji validitas konstrak tes PTM menggunakan analisis faktor, didapatkan hasil bahwa tes PTM hanya berisi satu faktor umum saja, yaitu penalaran moral dengan jumlah kuadarat muatan faktor = 3,651. Faktor penalaran moral dapat menerangkan keempat variabel dalam tes PTM sebesar 91,28 %.
Tabel 1. Spesifikasi Tes Pemahaman Tema Moral Judul
Penalaran Moral
Pemahaman Tema Moral
Kemampua
Kosa
Bacaan
Tahap 1
Distrakt
Tema
Analogi
n
Kata
or Tema
Cerita
Tema
Memahami
Tahap 2
Bacaan
6
Tina
3
1
5
2, 4
21, 22, 23,
31, 32,
24, 25, 26,
33, 34,
27, 28, 29,
35, 36,
30
37, 38, 39, 40
Vingyet
9
7
13
8
6
10
12
11, 14
15
18
17
16, 19
20
4
4
7
3
Joko Vingyet Tuti Vingyet Rona Jumlah
2
10
10
Item
Reliabilitas tes PTM dihitung menggunakan rumus Mosier untuk mendapatkan reliabilitas sekor komposit. Adapun koefisien reliablitas sekor komposit secara berurutan untuk Penalaran Moral (PM) adalah 0,969; Pemahaman Tema Moral (PTM) = 0,973; Kemampuan Memahami Bacaan (KMB) = 0,954 dan Kosa Kata (KK) = 0,952. Selain uji validitas dan reliabilitas tes PTM, dilakukan juga uji kumulatif tes PTM untuk mengetahui apakah siswa yang mampu memahami persoalan moral di tahap tiga, juga telah dapat menyelesaikan persoalan moral tahap dua maupun tahap satu. Uji kumulatif antar tahap pemahaman tema moral menggunakan teknik statistik analisis varians satu jalur. Hasil analisis menunjukkan harga F = 1,000 < harga F tabel pada taraf signifikansi 1 % (4,79) maupun 5 % (3,07). Jadi tidak ada perbedaan pemahaman tema moral yang signifikan antara tahap satu dengan tahap dua maupun tahap tiga, karena berarti siswa yang mampu menyelesaikan persoalan moral di tahap tiga, juga dapat menyelesaikan persoalan moral di tahap dua maupun satu. Hal ini berarti tes Pemahaman Tema Moral juga memiliki sifat kumulatif sesuai dengan teori perkembangan penalaran moral oleh Kohlberg maupun Rest.
Hasil Penelitian 7
Murid – murid di SD Swasta ternyata lebih tinggi Pemahaman Tema Moralnya dibandingkan dengan murid – murid di SD Negeri. Hasil penelitian yang lain juga menunjukkan murid – murid di SD Swasta lebih tinggi dalam aspek penalaran moral, kemampuan memahami bacaan moral, dan kosa kata moral. Kondisi ini sangat memungkinkan bahwa lulusan SD Swasta nantinya akan mempunyai pertimbangan dan keputusan moral yang lebih tinggi, sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang menyimpang dari nilai – nilai moral. Hasil analisis varians secara lengkap disajikan di tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Pemahaman Tema Moral Ditinjau dari Status SD ASPEK Penalaran Moral
Pemahaman Tema Moral
Status
MEAN
F
p
Swasta
5,087 21,63977 0,000
Negri
4,331
Swasta
8,042 34,22128 0,000
Negri
7,178
Swasta
6,458 13,83497 0,000
Negri
5,835
Swasta
7,343 32,62745 0,000
Negri
6,263
Kemampuan Memahami bacaan
Kosa Kata
Pembahasan Ada perbedaan yang signifikan antara Pemahaman Tema Moral murid – murid di SD swasta dengan negeri. Pemahaman Tema Moral murid – murid di SD swasta lebih tinggi dibanding SD negeri. Secara lebih khusus murid SD Swasta lebih kuat orientasinya dalam nilai kejujuran dan tanggung jawab dibandingkan dengan murid SD Negeri. Perbedaan ini dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Tinjauan awal bermula dari kejujuran sebagai salah satu nilai moral memiliki peran penting bagi setiap manusia, terutama bagi murid-murid SD untuk berani tampil sebagai pribadi terbuka dan adil. Pribadi terbuka dan adil adalah berani tampil sebagai diri sendiri, tidak ada usaha untuk membohongi diri dan orang lain, tidak menggunakan tipu muslihat, tidak ada keinginan untuk menjebak atau merugikan pihak lain, 8
menghormati orang lain. Selain itu juga bertindak berdasarkan standar suara hati, tidak otoriter dan menindas orang lain sebagia kompensasi perasan rendah diri, dan berani menghadapi kenyataan sebagamana adanya. Kejujuran membantu individu untuk tampil sebagai pribadi berkarakter kuat dan memandang hidup sebagai sesuatu yang menggairahkan. Tinjauan kedua mengenai tanggung jawab sebagai salah satu nilai moral pada prinsipnya merupakan bentuk operasionalisasi dari nilai kejujuran. Orang yang bertanggung jawab berarti orang selalu bersedia dan sanggup untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Bertanggung jawab berarti merasa terikat untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan tanpa mengeluh, malas, takut atau malu dan tanpa melibatkan pamrih. Orang yang bertanggung jawab berarti berani mengorbankan kepentingan pribadi, berani menghadapi tantangan atau rintangan pihak lain, dan tidak pernah merasa puas dan tidak akan pernah berhenti sebelum pekerjaan dapat dituntaskan. Bertanggung jawab juga diartikan sebagai kemampuan untuk bertindak berdasarkan nilai yang ingin diperjuangkan, bukan berdasarkan pada peraturan. Ini berarti orang yang bertanggung jawab adalah orang yang tidak hanya bertindak berdasarkan kewajiban-kewajibannya. Selain itu, nilai tanggung jawab juga dikaitkan dengan kesedian untuk berani menanggung resiko atas kesalahan yang diperbuat. Tinjauan ketiga bertitik tolak dari perbandingan kondisi lingkungan fisik-sosial antara SD Swasta dengan SD Negeri berdasarkan kondisi lingkungan fisik-sosial SD Swasta dan Negeri yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Kondisi fisik sekolah swasta relatif lebih tertata dan teratur sehingga tampak rapi dan bersih dibandingkan dengan kondisi fisik sekolah negeri. Kondisi lingkungan fisik ini sudah pasti mempengaruhi cara siswa berperilaku. Murid-murid SD swasta cenderung lebih tertib dan teratur, misal perilaku membuang sampah, perilaku di dalam klas, penggunaan seragam, dan lain sebagainya. Ini berarti para pengelola, termasuk kepala sekolah dan guru; sudah memiliki perencanan yang cukup matang tentang cara menata dan mengelola lingkungan fisik sekolah. Keteraturan lingkungan fisik bukan semata-mata untuk tampil bersih dan indah, melainkan juga sebagai cara mendidik murid agar bertanggung jawab terhadap lingkungan fisik sekolah, dan timbul rasa bersalah jika telah melanggar peraturan serta bersikap jujur untuk mengakuinya dan kemudian berubah. Tinjauan keempat berdasar proses belajar mengajar di kelas. Sangdedi (2010) berpendapat guru – guru di sekolah swasta lebih dinamis dalam proses pembelajaran dibandingkan guru – guru di sekolah negeri. Hal ini dapat dipahami berdasar proses seleksi guru swasta yang cenderung lebih cermat dengan menggunakan uji praktek mengajar sehingga dapat diketahui ketrampilan mengajar calon guru. Selain itu faktor kontrol kualitas yang selalu dilakukan secara berkesinambungan, mengakibatkan kualitas mengajar guru – guru di sekolah swasta meningkat, sehingga mereka mampu menggunakan model pembelajaran kreatif, dinamis dan menyenangkan siswa (Muctaridi, 2004). Emosi positif seperti rasa senang dan antusiasme murid yang tinggi dapat meningkatkan atensi murid untuk lebih memperhatikan materi pembelajaran, terutama mengembangkan kosa kata dan kemampuan memahami bacaan. Kosa kata dan kemampuan membaca yang tinggi dapat mengaktifkan skema moral anak, terutama 9
digunakan untuk memahami tema moral. Selain itu guru SD swasta sering menggunakan aktivitas multi modal VAK atau visual, auditori dan kinestetik, misal berupa menggambar dan menulis dan menyanyikan lagu sesuai tema moral; membuat siswa dapat mengekspresikan skema moral dengan lebih akurat. Bermain drama sesuai tema moral mengakibatkan terjadi alih peran, yaitu permasalahan tokoh cerita menjadi permasalahan siswa dan terjadi usaha menyelesaikan konflik berdasar skema moral murid. Dinamika proses pembelajaran di SD swasta nampak dalam dialog antara guru dan siswa. Umpan balik dari guru terhadap jawaban siswa menolong siswa untuk lebih mengerti dan mengingat pesan moral yang benar. Skema moral yang telah aktif, ekspresi skema moral, proses alih peran dan umpan balik dari guru, dapat meningkatkan penalaran moral murid sehingga pada akhirnya mereka juga dapat memahami tema moral dengan lebih tepat pula (Sandjaja, 2006) Walaupun Pemahaman Tema Moral murid – murid SD swasta lebih tinggi dibanding SD negeri, perlu dikaji lebih luas pengaruh perubahan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat, terutama di ibu kota propinsi. Kota Semarang sebagai ibukota Jawa Tengah dapat dikategorikan kota besar ternyata memiliki permasalahan moral terhadap murid SD, karena mempunyai penyimpangan moral terbesar dibandingkan Magelang dan Temanggung (Sandjaja dkk, 2007). Semakin besar suatu kota maka penyimpangan moral semakin besar pula, atau semakin kecil suatu kota, maka penyimpangan moral akan semakin kecil. Penyimpangan perilaku moral atau missbehaviour yang dilakukan murid-murid SD antara lain dalam bentuk menyontek, berbohong, mencuri, dan berkelahi. Kondisi ini sebagai suatu bentuk perilaku yang negatif dan perlu diketahui sejak dini serta dicarikan solusinya. Hal ini penting karena murid SD kelas 3, 4, 5 adalah usia dimana moral mampu ditanamkan dengan efektif di rumah, sekolah serta di lingkungan sosial riil. Permasalahan kota besar memiliki kompleksitas yang tinggi dibandingkan kota-kota kecil dan terletak di dataran tinggi, seperti Temanggung. Stimulus negatif yang kompleks di kota besar setiap hari diterima anak melalui berbagai media menjadikan anak terangsang untuk melakukan, mencoba, mempelajarinya, dan akhirnya menjadi tertanam tentang penyimpangan perilaku moral. Penelitian ini terbatas pada nilai moral kejujuran dan tanggungjawab, perlu diteliti lebih lanjut nilai – nilai moral yang lain seperti suka menolong, kesabaran, suka damai, disiplin, kepedulian, rasa malu dan rasa bersalah yang dimiliki oleh murid SD, baik negeri maupun swasta serta di daerah pantai, pedalaman dan dataran tinggi atau pegunungan. Mengingat subyek dalam penelitian ini adalah murid-murid SD yang memiliki rentang usia antara 8 sampai dengan 11 tahun maka pembentukan karakter sangat ditentukan oleh faktor lingkungan; keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Anak belajar dengan cara meniru atau menyesuaikan tuntutan lingkungan, serta memilah antara yang baik dan yang buruk dengan berorientasi pada kepatuhan dan hukuman. Anak juga mendasarkan perbuatannya pada otoritas konkret orangtua, karena orangtua adalah model atau panutan dalam berperilaku, sehingga perlu diteliti lebih lanjut pengaruh keteladanan orangtua dalam pemahaman tema moral. Ada perbedaan Pemahaman Tema Moral antara SD Swasta dengan SD Negeri. Pemahaman Tema Moral murid SD Swasta lebih tinggi dibanding PTM SD Negeri, 10
berarti murid di SD Negeri perlu intervensi pendidikan moral yang lebih intensif. Hal ini dapat dimulai dengan seleksi calon guru yang lebih cermat, kontrol kualitas pembelajaran yang berkesinambungan, keteladanan dan kepedulian guru terhadap murid – murid.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 1992. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Sigma Alpha Carlson, R.N. and Buskist, W., 1998. Psychology The Science of Behavior. Boston : Allyn and Bacon. Colby, A. dan Kohlberg, L. 1987. The Measurement of Moral Judgment. Volume I. Theoretical Foundations and Research Validation. New York : Cambridge University Press. Hurlock, E.B., 1994. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih bahasa : Istiwidayanti dan Sudjarwo. Yogyakarta : Kanisius. Moshman, D., Glover, J.A. dan Bruning, R.H. 1996. Developmental Psychology A Topical Approach. New York : Harper Collins Publishers. Muctaridi, 2004. Beda Guru Sekolah Negeri, Swasta dan Internasional. Makalah. Bandung : FPMIPA UNPAD. Narvaez, D. 1998. The Influence of Moral Schemas on the Reconstruction of Moral Narratives in Eight Graders and College Students. Journal of Educational Psychology, 90, 13 – 24. Narvaez, D., Gleasson, T., Mitchell, C., and Bentley, J. 1999. Moral Theme Comprehension in Children. Journal of Educational Psychology. 91, 477 – 487. Sandjaja, S. 2006. Pengaruh Program Identifikasi Tema terhadap Pemahaman Moral Anak Sekolah Dasar. Disertasi. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. ________, S. Priyanto, P.H, dan Suharsono, M. 2007. Membangun Perilaku Moral Pada Murid Sekolah Dasar. Laporan Penelitian. Semarang : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Indonesia. Sangdedi, 2010. Perbedaan Pendidikan Di Sekolah Negeri, Swasta, dan Internasional. http: // klikbelajar.com Wilder, A.A. and Williams, J.P., 2001. Students With Severe Learning Disabilities Can Learn Higher Order Comprehension Skills. Journal of Educational Psychology, 93, 268 – 278.
11