PERBEDAAN KADAR ANTI OKSIDAN ENZIMATIK KATALASE PADA KEHAMILAN YANG MENGALAMI ABORTUS IMINENS DAN KEHAMILAN TRIMESTER PERTAMA NORMAL
Prof. Dr. dr. I Gede Putu Surya, SpOG (K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/RS SANGLAH DENPASAR 2013
1
RINGKASAN Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau dengan kelahiran janin dengan berat badan kurang dari 500 gram. Abortus merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang paling sering dijumpai pada wanita hamil. Diperkirakan 12-20 % dari seluruh wanita hamil ditemukan gejala perdarahan atau ancaman abortus (threatened abortion) pada trimester pertam (Cunningham, F.G. et al., 2010). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta kejadian abortus di Asia Tenggara dan di Indonesia diperkirakan antara 750.000 sampai 1,5 juta kasus dimana menurut survei kesehatan rmah tangga tahun 1995 menunjukkan bahwa abortus memberikan kontribusi 11% terhadap angka kematian ibu di Indonesia (Azhari, 2002) Di RSUP Sanglah Denpasar berdasarkan buku register pasien pasien tahun 2012 didapatkan 332 (9,5%) kasus abortus dari 3502 persalinan pada tahun 2012. Sampai sekarang penyebab abortus tidak diketahui dengan pasti. Diduga ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, antara lain : kelainan kromosom, faktor infeksi, nutrisi, penyakit metabolik, anomali uterus, dan stress oksidatif. Perdarahan pada trimester pertama dengan atau tanpa hematom subkorionik berhubungan dengan reaksi inflamasi kronik pada desidua yang menyebabkan uterus berkontraksi dan menyebabkan abortus. (Cunninghan, F.G. et al., 2010). Disamping itu juga, tidak adekuatnya invasi trofoblast sehingga terbentuknya trophoblastic oxidative stress menyebabkan hubungan hasil konsepsi dengan arteri spiralis tidak terjadi dengan baik dan sempurna (Jauniaux dkk, 2004). Diperlukan keseimbangan antara oksidan atau radikal bebas dan antioksidan
2
untuk mencegah terjadinya stres oksidatif serta diperlukan antioksiidan yang mampu bekerja dimana ROS terbentuk. Penelitian spesifik yang meneliti tentang kadar antioksidan enzimatik katalase pada abortus imminen belum kami temukan, namun beberapa literatur mengemukakan apabila kadar katalase ini menurun, maka radikal bebas yang diproduksi oleh embrio tidak dapat diikat dengan sempurna, sehingga H2O2 yang terbentuk semakin banyak dan diubah menjadi radikal hidroksil yang dapat merusak DNA. Bila kerusakan DNA yang terjadi tidak dapat diperbaiki oleh mekanisme perbaikan DNA, maka sel akan masuk ke jalur apoptosis dan terjadilah kematian sel, yang dalam tahap janin, kematian ini akan memicu respon tubuh untuk mengeluarkan hasil konsepsi, sehingga terjadilah abortus (Jauniaux, dkk. 2000). Kerangka konsep pada penelitian ini adalah adanya penurunan kadar antioksidan
enzimatik
katalase
pada
kehamilan
akan
mengakibatkan
meningkatnya radikal bebas yang memicu terjadinya stres oksidatif yang akan mengakibatkan terjadinya abortus imminen. Dari penelitian ini muncul hipotesis bahwa terdapat perbedaan kadar antioksidan enzimatik katalase pada abortus imminen dan kehamilan normal. Telah dilakukan penelitian cross sectional terhadap ibu hamil umur kehamilan <14 minggu yang dilaksanakan di Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar selama periode Desember 2011 sampai dengan Desember 2012, dimana terkumpul 76 sampel darah terdiri atas 30 orang sampel kehamilan normal dan 46 orang sampel abortus imminens. Rerata umur ibu pada kelompok abortus imminen adalah 27,59
3
tahun (SD 5,40) dan pada kelompok kehamilan normal adalah 30,27 (SD 6,70), secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Rerata paritas ibu pada kelompok abortus imminen adalah 0,96 (SD 1,11) dan pada kelompok kehamilan normal adalah 1,07 (SD 1,02), secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Sementara itu rerata umur kehamilan pada kelompok abortus imminen adalah 8,63 minggu (SD 1,78) dan pada kelompok kehamilan normal adalah 9,13 (SD 2,29), secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Pada perhitungan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kelompok kehamilan normal sebesar 822,50 ng/ml (SD 30,29), sedangkan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kelompok abortus imminen sebesar 629,70 ng/ml (SD 13,49). Dengan demikian didapatkan perbedaan rerata antara kelompok abortus imminen dan hamil normal adalah 192,81 (SD 5,17), di mana hasil kedua kelompok ini berbeda secara bermakna (p<0,001). Dengan demikian terdapat perbedaan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada abortus imminen dan kehamilan trimester pertama normal. Nilai cut off point kadar antioksidan enzimatik katalase berdasarkan kurva ROC adalah 783,84 ng/ml dengan nilai sensitivitas 97,8 % dan nilai spesifisitas sebesar 83,3 %.
4
ABSTRAK
PERBEDAAN KADAR ANTIOKSIDAN ENZIMATIK KATALASE PADA KEHAMILAN YANG MENGALAMI ABORTUS IMMINENS DAN KEHAMILAN TRIMESTER PERTAMA NORMAL
Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan kadar antioksidan enzimatik katalase pada abortus imminen dan kehamilan trimester pertama normal. Metode : Penelitian cross sectional yang dilaksanakan di Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar selama periode Desember 2011 sampai dengan Desember 2012,dimana terkumpul 76 sampel darah terdiri atas 30 orang sampel kehamilan normal dan 46 orang sampel abortus imminens.Data tersebut kemudian dianalisa deskriptif dan uji normalitas dengan Saphiro Wilk test. Komparabilitas karakteristik dengan uji tindependent untuk variabel umur ibu, umur kehamilan dan paritas serta perbedaan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase antara abortus imminens dan kehamilan trimester pertama normal diuji dengan t-independent. Hasil : Rerata umur ibu pada kelompok abortus imminen adalah 27,59 tahun (SD 5,40) dan pada kelompok kehamilan normal adalah 30,27 (SD 6,70), secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Rerata paritas ibu pada kelompok abortus imminen adalah 0,96 (SD 1,11) dan pada kelompok kehamilan normal adalah 1,07 (SD 1,02), secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Sementara itu rerata umur kehamilan pada kelompok abortus imminen adalah 8,63 minggu (SD 1,78) dan pada kelompok kehamilan normal adalah 9,13 (SD 2,29), secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Pada perhitungan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kelompok kehamilan normal sebesar 822,50 ng/ml (SD 30,29), sedangkan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kelompok abortus imminen sebesar 629,70 ng/ml (SD 13,49). Dengan demikian didapatkan perbedaan rerata antara kelompok abortus imminen dan hamil normal adalah 192,81 (SD 5,17), di mana hasil kedua kelompok ini berbeda secara bermakna (p<0,001). Simpulan : Terdapat perbedaan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada abortus imminen dan kehamilan trimester pertama normal.
Kata Kunci : Abortus imminens, katalase
5
ABSTRACT
The Differences Levels of Catalase Enzymatic Antioksidant Between Patient with Threatened Miscarriage and Normal Pregnancy in First Trimester
Objective : To obtain of the differences of catalase enzymatic antioxidants level in threatened miscarriage and first trimester normal pregnancy. Method: Cross sectional study was conducted in Departement Obstetrics and Gynecologic Medical Faculty Udayana University / Sanglah Hospital Denpasar during periods of december 2011 until december 2012. The sample was collected 76 blood sample which consists of 30 samples first trimester normal pregnancy and 46 samples threatened miscarriage. The Data was descriptive analysed and normality test with the Shapiro Wilk test. Characteristic comparability by tindependent test for variables of mother age, gestasional age and parity and the differences average of catalase enzymatic antioxidant levels in threatened miscarriage and first trimester normal pregnancy was analysed with tindependent test. Results : The average of the mother age in threatened miscarriage group was 27,59 (SD 5,40) and in first trimester normal pregnancy was 30,27 (SD 6,70), statistically was not significantly differences (p>0,05). The avarage of mother parity in threatened miscarriage group was 0,96 (SD 1,11) and in first trimester normal pregnancy was 1,07 (SD 1,02), statistically was not significanly differences (p>0,05). The avarage of gestasional age in threatened miscarriage group was 8,63 weeks (SD 1,78) and in first trimester normal pregnancy was 9,13 (SD 2,29), statistically was not significantly difference (p>0,05). In the calculation of average of catalase enzymatic antioxidants levels in first trimester normal pregnancy was 822,50 ng/ml (SD 30,29) and in threatened miscarriage was 629,70 ng/ml (SD 13,49). There was obtained the average differences between threatened miscarriage and first trimester normal pregnancy is 192,81 (SD 5,17), where as the both groups were significantly difference (p<0,001). Conclusion : There was differences catalase enzymatic antioxidant level in threatened miscarriage and first trimester normal pregnancies.
Keyword : Threatened miscarriage, catalase.
6
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau dengan kelahiran janin dengan berat badan kurang dari 500 gram. Abortus merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang paling sering dijumpai pada
wanita
hamil.
Sementara
itu
diagnosa
klinis
abortus
iminens
dipertimbangkan apabila terjadi perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan dengan serviks uteri yang masih tertutup. Wanita yang mengalami perdarahan pada awal kehamilan disarankan untuk dilakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengkonfirmasi apakah kehamilan tersebut berlokasi di intra uteri ataukah diluar kavum uteri (Cunningham, F.G. dkk., 2010). Abortus merupakan salah satu komplikasi obstetrik yang paling sering dijumpai pada wanita hamil. Diperkirakan 12-20 % dari seluruh wanita hamil ditemukan gejala perdarahan atau ancaman abortus (threatened abortion) pada trimester pertama (Cunningham, F.G. et al., 2010). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta kejadian abortus di Asia Tenggara dan di Indonesia diperkirakan antara 750.000 sampai 1,5 juta kasus dimana menurut survei kesehatan rumah tangga tahun 1995 menunjukkan bahwa abortus memberikan kontribusi 11% terhadap angka kematian ibu di Indonesia (Azhari, 2002). Di RSUP Sanglah Denpasar berdasarkan buku register pasien pasien tahun 2012 didapatkan 332 (9,5%) kasus abortus dari 3502 persalinan pada tahun 2012. 7
Penyebab abortus sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti, diduga ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, antara lain : kelainan kromosom, faktor infeksi, nutrisi, penyakit metabolik, anomali uterus, dan stress oksidatif (Cunningham, dkk. 2010). Akhir-akhir ini peran stres oksidatif dalam patogenesis abortus mulai diteliti. Stress oksidatif adalah ketidakseimbangan antara prooksidan (free radical) dan antioksidan (Agarwal dkk, 2005). Stress oksidatif sendiri akan menyebabkan gangguan proses plasentasi dan salah satu komplikasi yang timbul akibat kelainan proses plasentasi adalah abortus. Peningkatan insiden kegagalan plasentasi
berhubungan
dengan
ketidakseimbangan
radikal
bebas
yang
berpengaruh pada perkembangan fungsi plasenta dan berefek pada fetus (Jauniaux, dkk. 2006). Peningkatan placental oxydatif stress
menjadi faktor
dalam patogenesis awal keguguran (Aksoy, dkk. 2009). Di dalam sel, reaktif oksigen spesies (ROS) diproduksi secara terusmenerus sebagai akibat reaksi biokimia maupun akibat dari faktor eksternal. Apabila produksi ROS dan radikal bebas yang lain melebihi kapasitas penangkapan oleh antioksidan, maka timbulah suatu keadaan yang disebut stress oksidatif. Antioksidan sebagai pelindung terhadap stress oksidatif dapat digolongkan menjadi golongan enzimatik dan non enzimatik atau low molecular weight antioxidant (LMWA). Diantara antioksidan enzimatik yang ada, superoksid dismutase (SOD), glutathione peroxidase (Gpx) dan katalase merupakan antioksidan yang bekerja secara langsung (Kohen dan Nyska, 2002),
8
sedangkan yang termasuk LMWA seperti asam askorbat, -tokoferol, vitamin A, asam urat, kelompok sulfidril, dan sebagainya (Biri dkk, 2006). Katalase adalah suatu enzim yang berfungsi untuk mengkatalisis hidrogen peroksida (H2O2) dan hidroperoksida organik sehingga mencegah terjadinya peroksidasi lipid pada membran sel dan bekerja sebagai pengikat radikal bebas (Kohen dan Nyska, 2002). Enzim berfungsi mengkatalis hidrogen peroksida (H2O2) menjadi H2O dan O2. Didalam sel, katalase lebih banyak terdapat dalam peroksisom dan bekerja pada konsentrasi substrat yang tinggi. (Jauniaux, dkk. 2000). Penelitian di Rumah Sakit Umum Belgaum – India, kadar katalase pada wanita hamil trimester pertama adalah 7.82 ± 2.84 IU/gm Hb. Kadar ini lebih rendah dibandingkan wanita tidak hamil (8,13 + 2,25) IU/gm Hb, dan kadar katalase turun pada trimester dua yaitu 7,0 + 2,33 IU/gm Hb dan trimester tiga 6,2 + 1,73 IU/gm Hb. Penelitian ini pula menyebutkan kadar antioksidan enzimatik termasuk katalase akan menurun dengan peningkatan umur kehamilan sebagai respon terhadap perubahan sirkulasi maternal (Patil,dkk, 2007). Penelitian yang menerangkan mengenai perbedaan kadar katalase pada wanita hamil trimester pertama normal dengan wanita hamil trimester pertama yang mengalami abortus iminens belum pernah dilakukan. Atas dasar itu peneliti ingin mengetahui apakah perubahan kadar katalase sebagai faktor risiko terjadinya abortus iminens. 1.2 Rumusan Masalah Apakah kadar antioksidan enzimatik katalase pada abortus iminens berbeda dibandingkan pada kehamilan normal?
9
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum Untuk mengetahui perbedaan kadar antioksidan enzimatik katalase pada abortus iminens dan kehamilan normal pada trimester pertama. 1.3.2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui rerata kadar
antioksidan enzimatik katalase pada
abortus iminens. b. Untuk mengetahui rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kehamilan normal pada trimester pertama. c. Untuk mengetahui perbedaan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada abortus iminens dan kehamilan normal pada trimester pertama.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat bagi pengetahuan Untuk memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan tentang perbedaan kadar antioksidan enzimatik katalase pada abortus imminens dan kehamilan normal pada trimester pertama.
1.4.2. Manfaat bagi pelayanan Dengan mengetahui adanya perbedaan kadar antioksidan enzimatik katalase terhadap kejadian abortus imminens dan jika hipotesis terbukti diharapkan dapat dilakukan pencegahan untuk menghindari terjadinya abortus imminen serta dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari usaha pencegahan kejadian abortus iminens.
BAB 2
10
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Abortus Iminens 2.1.1. Definisi abortus iminens Abortus iminens yang juga dikenal sebagai threatened abortion termasuk kedalam abortus spontan, didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari uterus pada umur kehamilan dibawah 20 minggu disertai sakit perut atau tidak sama sekali, uterus membesar sesuai umur kehamilan, tanpa adanya pembukaan serviks dengan tes kehamilan yang masih positif, dimana hasil konsepsi masih didalam uterus yang dibuktikan dengan USG. Perdarahan bisa terlihat dari ostium uteri dan tidak terdapat nyeri goyang atau nyeri adneksa. Abortus iminens merupakan komplikasi paling umum pada kehamilan trimester pertama yang viable atau hidup dan telah dibuktikan dengan hasil USG. Wanita dengan perdarahan pada awal kehamilan disarankan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengkonfirmasi apakah kehamilan tersebut berlokasi intra uteri ataukah diluar kavum uteri (Cunninghan, F.G. et al., 2010). Diagnosis abortus iminens sangatlah penting berhubungan dengan keadaan klinik hasil riwayat perdarahan pervaginam dan ditemukannya penutupan serviks uteri pada pemeriksaan vagina. Dengan USG ditemukan adanya aktivitas detak jantung janin pada kehamilan intrauterine. Karena perdarahan atau berupa bercak yang berasal dari plasenta sangatlah sering maka dugaan komplikasi penyakit yang berhubungan dengan kerusakan plasenta semakin meningkat (Cunninghan, F.G. et al., 2010).
11
2.1.2. Insiden abortus iminens Perdarahan pervaginam berupa perdarahan bercak sangat umum terjadi pada wanita hamil muda kurang dari 20 minggu Perdarahan yang banyak dan nyeri perut yang menyertai abortus iminens sangat jarang terjadi. Perdarahan dapat berupa bercak dan berhenti sendiri, mungkin karena pengaruh implantasi trofoblas pada desidua endometrium. Sekitar setengah dari wanita yang mengalami abortus iminens mengalami abortus spontan dan sisanya terus bertahan sampai viable. Diperkirakan 12-20 % dari seluruh wanita hamil ditemukan gejala perdarahan atau ancaman abortus (threatened abortion) pada trimester pertama (Cunningham, F.G. et al., 2010). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta kejadian abortus di Asia Tenggara dan di Indonesia diperkirakan antara 750.000 sampai 1,5 juta kasus dimana menurut survei kesehatan rumah tangga tahun 1995 menunjukkan bahwa abortus memberikan kontribusi 11% terhadap angka kematian ibu di Indonesia (Azhari, 2002). Di RSUP Sanglah Denpasar berdasarkan buku register pasien pasien tahun 2012 didapatkan 332 (9,5%) kasus abortus dari 3502 persalinan pada tahun 2012.
2.1.3. Penyebab terjadinya abortus iminens Penyebab abortus belum jelas diketahui, namun perdarahan pada trimester pertama dengan atau tanpa hematom subkorionik berhubungan dengan reaksi inflamasi kronik pada desidua yang menyebabkan uterus berkontraksi. Untuk diketahui dua pertiga abortus terjadi akibat kelainan pada plasenta terutama akibat kegagalan invasi sitotrofoblas pada lumen arteri spiralis. Adanya perdarahan subkorionik pada abortus iminens berhubungan dengan insiden abortus spontan. 12
Abortus iminens berasal dari perdarahan lokal pada bagian perifer dari plasenta yang sedang terbentuk. Perdarahan ini terjadi pada saat pembentukan membran dan dapat menyebabkan abortus komplit bila hematom meluas kebagian plasenta yang definitif (Cunninghan, F.G. et al., 2010). Abortus iminens dapat mengalami perbaikan dan menjadi kehamilan normal sampai trimester tiga atau berlanjut menjadi abortus insipien, abortus inkomplit dan abortus komplit. Perdarahan pervaginam yang berat sangatlah jarang terjadi tetapi perdarahan berupa bercak akan sembuh dengan sendirinya (Cunninghan, F.G. et al., 2010).
Penyebab abortus iminens adalah sebagai
berikut : 1.
Faktor embrio, biasanya akibat kelainan kromosom hampir 50% terjadi abortus selama trimester pertama. (Hadijanto, 2008)
2.
Faktor ibu seperti hipertensi, penyakit ginjal, diabetes mellitus, penyakit infeksi akut, trauma dan kelainan sistem reproduksi, mioma uteri, dan kelainan uterus. (Hadijanto, 2008)
3.
Kelainan plasentasi. Peran reaksi oksidatif pada plasenta akan mengalami kelainan dari plasenta itu sendiri. Sekarang terdapat bukti yang jelas bahwa abortus merupakan kelainan plasentasi. Pada dua pertiga kasus abortus, terdapat bukti anatomis adanya defek pada plasentasi yang memiliki karakteristik lapisan pelindung trofoblas yang lebih tipis maupun berfragmentasi, invasi endometrium oleh trofoblas yang menurun dan sumbatan ujung arteri spiralis yang tidak sempurna. Hal ini berhubungan dengan tidak adanya perubahan fisiologis
13
pada sebagian besar arteri spiralis dan menyebabkan onset prematur dari sirkulasi maternal pada seluruh plasenta. Oksigen dalam plasenta janin stadium awal sangat rendah dan meningkat ketika mendapatkan aliran darah dari ibu. Metabolisme aerobik sangat berhubungan dengan pembentukan spesies oksigen reaktif dan kecepatan pembentukannya sebanding dengan kadar oksigen. Reaksi oksidatif memiliki potensial yang sangat berbahaya sehingga sistem pertahanan tubuh yang kompleks telah dibentuk untuk mengatasi ini. Bila konsentrasi oksigen berfluktuasi terlalu cepat atau meningkat terlalu tinggi maka akan melampaui pertahanan antioksidan seluler sehingga menimbulkan stres oksidatif. Pada kondisi seperti ini, kerusakan pada protein, lemak dan DNA mengganggu fungsi seluler, bahkan mengakibatkan
kematian
sel.
Sebelumnya
telah
ditemukan
lapisan
sinsitiotrofoblas pada awal pembentukan plasenta sangat sensitif terhadap peningkatan kadar oksigen in vitro, sehingga mengalami degenerasi selektif. Kemudian stress oksidatif
pada trofoblas yang berhubungan dengan
perubahan sirkulasi maternal pada plasenta in vivo. Hal tersebut dicapai dengan memonitor secara immunohistokimia ekspresi dari Heat Shock Protein (Hsp70i) yang merupakan marker stres oksidatif pada sistem yang lain, dan pembentukan residu nitrotirosin pada berbagai fase kehamilan (Jauniaux, 2000). 2.2. Stress Oksidatif Efek merugikan dari radikal bebas yang menyebabkan kerusakan biologis dikenal dengan nama stress oksidatif (Kovacic, 2005). Hal ini terjadi dalam sistem
14
biologis akibat produksi ROS atau RNS yang berlebihan maupun akibat defisiensi antioksidan enzimatik dan non-enzimatik. Dengan kata lain, stress oksidatif terjadi akibat reaksi metabolik yang menggunakan oksigen dan menunjukkan gangguan keseimbangan status reaksi oksidan dan antioksidan pada mahluk hidup. ROS yang berlebihan akan merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel (Kohen dan Nyska ,2002).
Bagan 2.1 Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies. Sumber : Kohen dan Nyska (2002) Organisme harus menghadapi dan mengontrol adanya pro-oksidan dan antioksidan secara terus menerus. Keseimbangan kedua faktor ini yang dikenal dengan nama redoks potensial, bersifat spesifik untuk tiap organel dan lokasi biologis.
Hal-hal
yang mempengaruhi
kesimbangan
ke
arah
manapun
menimbulkan efek buruk terhadap sel dan organisme. Perubahan keseimbangan ke arah peningkatan pro-oksidan yang disebut stress oksidatif akan menyebabkan
15
kerusakan oksidatif. Perubahan keseimbangan ke arah peningkatan kekuatan reduksi atau antioksidan juga akan menimbulkan kerusakan yang disebut stress reduktif (Kohen dan Nyska, 2002).
Bagan 2.2 Pengaruh Keseimbangan Oksidan dan Reduktan Sumber : Kohen dan Nyska (2002) 2.3. Radikal Bebas Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada
orbital terluarnya (Jauniaux, 2004).
Untuk menjadi stabil, radikal
memerlukan 16lectron yang berasal dari pasangan 16lectron molekul disekitarnya, sehingga terjadi perpindahan 16lectron dari molekul donor ke molekul radikal untuk menjadikan molekul tersebut stabil. Akibat reaksi tersebut, molekul donor menjadi radikal baru yang tidak stabil dan memerlukan 16 lectron dari molekul di sekitarnya untuk menjadi stabil. Demikian seterusnya sehingga terjadi reaksi berantai perpindahan elektron (Nedeljkovic, 2003). Terdapat 2 radikal bebas yang utama, yaitu ROS (Reactif Oksigen Spesies) dan RNS (Reactif Nitrogen Spesies). (Agarwal, 2005)
2.4. Reaktif Oksigen Spesies Reaktive Oxygen Spesies (ROS) merupakan produk normal yang dihasilkan pada metabolism seluler. Organisme aerobik memerlukan energi sebagai bahan bakar
16
fungsi biologi dan ROS bisa menyebabkan kerusakan seluler, seperti merusak DNA/RNA, protein dan lipid. Dalam sel aerobik ROS seperti superoxide (O2- ), hidrogen peroksida (H2O2), singlet O2, hidroksil radikal (OH), nitrit oksid (NO). Sumber ROS dapat dibagi dua : sumber endogenous misalnya dari sel (netrofil), direct-producing ROS enzymes (NO synthase) ,indirect-producing ROS enzymes (xanthin oxidase), metabolism (mitokondria), serta penyakit (kelainan metal, proses iskemia). Sumber eksogenous misalnya iradiasi gamma, iradiasi UV, ultrasound, makanan, obat-obatan, polutan, xenobiotik dan toksin (Kohen dan Nyska, 2002). Beberapa persen (1-5%) dari oksigen yang diperlukan sel dapat membentuk ROS. Berlanjutnya paparan ROS baik dari dalam maupun dari luar mengakibatkan kumpulan dan berlanjutnya kerusakan oksidatif terhadap komponen sel dan mengubah beberapa fungsi sel. Di antara target biologi yang paling peka adalah protein-protein enzim, membran lipid dan DNA (Kohen dan Nyska, 2002) Radikal bebas oksigen atau yang dikenal dengan Reactive Oksigen Spesies (ROS) memiliki efek menguntungkan dan efek merugikan. Efek menguntungkan ROS terjadi pada konsentrasi rendah hingga sedang, merupakan proses fisiologis dalam respon seluler terhadap bahan-bahan yang merugikan, seperti dalam pertahanan diri terhadap infeksi, dalam sejumlah fungsi sistem sinyal seluler dan induksi respon mitogenik (Valko dkk, 2006). Reactive Oksigen Spesies (ROS) dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu radikal dan nonradikal, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal bebas mengandung satu
17
atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik atau molekulernya. Elektron yang tidak berpasangan ini menunjukkan tingkat reaktivitas tertentu pada radikal bebas. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai bahan yang beberapa diantaranya sangat reaktif walaupun secara definisi bukan radikal (Kohen dan Nyska, 2002). Tabel 2.1 Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen Radikal oksigen Nama Oxygen (bi-radical) Superoxide ion Hydroxyl Peroxyl Alkoxyl Nitric oxide
Simbol O2-. O2. OH. ROO. RO. NO.
Turunan nonradikal oksigen Nama Hydrogen peroxide (Organic peroxide) Hypochlorou s acid Ozone Aldehydes Singlet oxygen Peroxynitrite
Simbol H2O2 ROOH HOCL O3 HCOR 1 O2 ONOOH
Molekul oksigen memiliki konfigurasi elektron yang unik dan molekul ini sendiri merupakan bi-radikal karena memiliki dua elektron tidak berpasangan pada dua orbit yang berbeda (Kohen dan Nyska, 2002). Penambahan satu elektron pada dioksigen akan membentuk radikal superoksid (O2•¯ ). Peningkatan anion superoksida terjadi melalui proses metabolik atau setelah aktivasi oksigen oleh
18
radiasi (ROS primer) dan dapat bereaksi dengan molekul lain untuk membentuk ROS sekunder baik secara langsung maupun melalui proses enzimatik atau katalisis metal (Valko dkk, 2005). Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat singkat, karena setelah terbentuk, komponen ini segera bereaksi dengan molekul lain. Waktu paruh ROS dipengaruhi oleh lingkungan fisiologisnya, seperti pH dan adanya spesies lain. Toksisitasnya tidak selalu sejalan dengan reaktivitas ROS. Pada umumnya, waktu paruh yang panjang dapat mengakibatkan toksisitas yang lebih besar karena memiliki waktu yang cukup untuk berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif, kemudian ROS yang terbentuk akan berinteraksi dan menyebabkan kerusakan di tempat yang jauh dari tempat produksinya. Sebaliknya, ROS yang sangat reaktif dengan waktu paruh yang pendek, misalnya OH•, menyebabkan kerusakan langsung di tempat produksinya. Jika tidak ada target biologis penting di sekitar tempat produksinya, radikal tidak akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Untuk mencegah interaksi antara radikal dan target biologisnya, antioksidan harus ada di lokasi produksi untuk bersaing dengan radikal dan berikatan dengan bahan biologis (Kohen dan Nyska, 2002). Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan dalam bentuk ion superoksid (O2•¯) sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai hidroperoksil (HO2). Hidroperoksil lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran biologis. Dalam keadaan hidrofilik, kedua substrat tersebut dapat berperan sebagai bahan pereduksi, namun kemampuan reduksi HO2 lebih tinggi. Dalam larutan organik, kelarutan O2•¯ lebih tinggi dan kemampuannya sebagai pereduksi meningkat.
19
Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah dismutasi, dimana 2 radikal superoksid akan membentuk Hidrogen peroksida (H2O2) dan O2 dengan bantuan enzim superoksid dismutase maupun secara spontan (Kohen dan Nyska, 2002). Hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan sel pada konsentrasi yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan mudah melakukan penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH• dan HClO. Efek langsung H2O2 seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi enzim, oksidasi DNA, lipid, kelompok -SH dan asam keto (Kohen dan Nyska, 2002). Radikal hidroksil memiliki reaktivitas yang sangat tinggi (107-109 m-1s-1), waktu paruh yang singkat dan daya ikat yang sangat besar terhadap molekul organik maupun anorganik, termasuk DNA, protein, lipid, asam amino, gula, dan logam (Kohen dan Nyska, 2002). Metal transisi juga merupakan radikal. Di dalam tubuh, tembaga dan besi merupakan metal transisi yang terbanyak dan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi. Kedua logam ini berperan penting dalam Reaksi Fenton dan Haber-Weiss. Sebenarnya semua ion logam yang terikat pada permukaan protein, DNA atau makromolekul lain dapat berpartisipasi dalam reaksi ini. Logam yang tersembunyi di dalam protein, seperti dalam catalytic sites dan sitokrom atau kompleks simpanan tidak terpapar oksigen atau tetap berada dalam keadaan oksidasi
20
sehingga tidak berperan dalam reaksi ini. Dalam reaksi Fenton, Ion Ferro (Fe+2) bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk ion ferri (Fe+3) dan radikal hidroksil (OH•). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi antara radikal superoksid
(O2•¯)
dengan
hidrogen
peroksida
(H2O2)
yang
kemudian
menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil (OH•). Adanya logam transisi inilah yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan oleh radikal hidroksil (Kohen dan Nyska, 2002). 2.4.1 Pembentukan Reactive Oksigen Spesies Molekul oksigen reaktif termasuk radikal bebas, pada keadaan normal dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan proses metabolisme selular. Proses metabolisme yang merupakan sumber radikal bebas (Ronzio RA, 1999): 1.
Reaksi fosforilase oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria. Secara normal dalam reaksi ini 1-5% oksigen keluar dari jalur reaksi ini dan mengalami reduksi univalent. Reduksi satu elektron dari molekul oksigen ini akan membentuk radikal superoksida, yang harus didetoksifikasi oleh mekanisme proteksi biokimia endogen untuk mencegah kerusakan sel.
2.
Beberapa jenis enzim oksidase, misalnya xantin oksidase dan aldehid oksidase dapat membentuk zat oksidan yang reaktif, seperti superoksida.
3.
Metabolisme asam arakhidonat oleh enzim siklooksigenase untuk membentuk prostaglandin dan oleh enzim lipooksigenase untuk membentuk leukotrien menyebabkan pembentukan zatzat antara berbentuk peroksi maupun radikal hidroksi.
4.
Sistem oksidase NADPH-dependen di permukaan membran neutrofil adalah sumber pembentukan radikal superoksida yang sangat efisien. Enzim ini lebih banyak bersifat dorman, namun jika teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen atau sitokin, enzim ini akan mengkatalisis reaksi reduksi mendadak dari oksigen menjadi hidrogen peroksida dan O2-.
21
5.
Sel yang mengandung peroksisim, organela yang mengoksidasi asam lemak akan memproduksi H2O2.
Bagan 2.3. Fisiologi pembentukan dan katalisasi radikal bebas (Jauniaux, 2000)
2.4.2 Reactive Oksigen Spesies pada abortus
Teori terbaru mengenai etiologi abortus adalah adanya ketidakseimbangan antara produksi prooksidan dan mekanisme pertahanan antioksidan tubuh, selama kehamilan terjadi berbagai proses fisiologis dengan peningkatan kebutuhan energi dari berbagai fungsi tubuh dan peningkatan kebutuhan penggunaan 02, oleh karena itu selama kehamilan mudah terjadi stress oksidatif. Selama kehamilan, plasenta menjadi sumber utama prooksidan, maka akan melemahkan pertahanan antioksidan tubuh sehingga akan terjadi kerusakan oksidatif (Agarwal, dkk. 2005). Penelitian membuktikan suatu pemahaman baru mengenai hubungan materno-fetal pada trimester pertama, menunjukkan bahwa plasenta berfungsi
22
sebagai pembatas suplai oksigen selama organogenesis. Walaupun fetus telah mulai berimplantasi ke dalam endometrium sejak 6-7 hari setelah fertilisasi dan berimplantasi lengkap pada hari ke-10 (Cunningham dkk, 2010), namun aliran darah yang cukup tidak terjadi hingga akhir trimester pertama, sekitar minggu ke10. Tekanan parsial oksigen (PO2) intraplasenta 2-3 kali lebih rendah pada minggu ke 8-10 dibandingkan dengan setelah minggu ke-12. Jadi, hingga akhir trimester pertama, fetus berkembang dalam suasana hipoksia fisiologis untuk melindungi dirinya dari efek buruk dan efek teratogenik dari radikal bebas oksigen (Jauniaux dkk, 2003), serta untuk menjaga stem sel agar tetap dalam keadaan pluripotent penuh. Pada kadar fisiologis, radikal bebas berfungsi dalam regulasi berbagai fungsi sel, terutama sebagai faktor transkripsi (Agarwal, dkk. 2005). Pembentukan sistem vaskular uteroplasenta dimulai dari invasi desidua maternal oleh extravillous cytotrophoblast. Hal ini terdiri dari 2 proses berurutan dan keberhasilan dari kedua proses ini akan mempengaruhi luaran kehamilan. Proses yang terjadi pertama kali adalah extravillous cytotrophoblast menutupi dinding luar kapiler tropoblast dan arteri spiralis cabang intra-endometrium, sehingga membentuk tudung pada pembuluh darah tersebut. Sumbatan ini berfungsi sebagai filter yang memperbolehkan plasma untuk berdifusi ke arah intervillous space, bukan aliran darah sejati. Invasi ini terjadi sekitar pada minggu ke 5 hingga 8. Aliran ini ditambah dengan sekresi kelenjar uteri yang dilepaskan ke dalam intervillous space hingga sekitar usia kehamilan 10 minggu. Pada minggu ke 8 hingga ke 13, sumbatan ini akan terlepas perlahan-lahan. Kemudian
23
terjadi proses invasi tropoblast yang kedua terhadap arteri spiralis intramiometrial (pada minggu ke 13 hingga 18) (Jauniaux dkk, 2000).
Gambar 2.1 Gambaran kantong kehamilan pada akhir bulan kedua kehamilan (8–9 minggu) Keterangan: miometrium (M), desidua (D), plasenta (P), ECC, kantong amnion (AC), and secondary yolk sac (SYS). Tampak sirkulasi darah utero-plasenta, dimulai dari tepi plasenta (tanda panah)
(Jauniaux, dkk.2006).
Proses implantasi mudigah pada endometrium adalah suatu proses yang sangat kompleks dan harmonis, ditandai dengan invasi trofoblast ke segmen desidua arteri spiralis dan segmen miometrium arteri spiralis. Pada saat implantasi ini, diperlukan kesiapan endometrium, mekanisme molekuler, keseimbangan hormonal energi dan peran ekspresi gen, pengatur dalam invasi trofoblast. Sel
24
trofoblas sendiri sangat peka terhadap stress oksidatif, oleh karena lokasi sel tersebut berada pada permukaan villi khorialis , sehingga merupakan sel pertama yang terpapar bila terjadi reperfusi 02 dan sel trofoblas tersebut sangat sedikit mengandung enzim antioksidan dibandingkan sel jaringan lain. Akibat rendahnya kadar antioksidan didalam sel trofoblas ini, maka sedikit peningkatan radikal bebas dalam sel trofoblas sudah dapat menimbulkan strees oksidatif yang akan mengakibatkan iskemia, hipoksia, dan nekrosis, apabila iskemia, hipoksia, dan nekrosis berjalan berulang-ulang didalam desidua maka hasil konsepsi akan terlepas sebagian/selurunya dari tempat implantasi (Jauniaux, dkk. 2004). Pada kehamilan normal, invasi trofoblas kedalam jaringan desidua menghasilkan suatu perubahan fisiologis pada arteri spiralis. Untuk memenuhi kebutuhan kehamilan maka jalan yang paling mungkin diameter arteri. Sesuai hukum posenlliss nalar. Pembesaran diameter arteri spiralis yang meningkatan 4-6 kali lebih besar daripada arteri spiralis wanita tidak hamil, yang akan memberikan peningkatan aliran darah 10.000 kali dibandingkan dengan aliran wanita tidak hamil. Maka kemampuan melebarkan diameter arteri spiralis ini merupakan kebutuhan utama untuk keberhasilan kehamilan (Biri, dkk. 2006).
Gambar 2.2. Proses plasentasi pada kehamilan normal trisemester pertama
25
dan abortus spontan (Jauniaux, 2006) Hasil akhir dari perubahan fisiologis yang normal adalah arteri spiralis yang tadinya tebal dan muscularis menjadi lebih lebar berupa kantong yang elastis, bertahanan rendah dan aliran cepat dan bebas dari kontrol neovaskular normal, sehingga memungkinkan arus darah yang adekuat untuk pemasokan 02 dan nutrisi bagi janin (Jauniaux, dkk. 2004).
Bagan 2.4. Efek dari syncytiotrophoblastik oxidative stress terhadap abortus (Jauniaux, dkk, 2000)
26
Pada abortus spontan terjadi defisiensi plasentasi dimana terjadi kegagalan pada gelombang kedua invasi trofoblas. Sehingga perubahan fisiologis pada arteri spiralis tidak terjadi. Perubahan hanya terjadi pada sebagian arteri spiralis segmen desidua, sementara arteri spiralis segmen miometrium masih diselubungi oleh selsel otot polos. Selain itu juga ditemukan adanya hiperplasia tunika media dan trombosit. Garis tengah arteri spiralis lebih kecil dibandingkan dengan dengan kehamilan normal. Hal ini menyebabkan tahanan terhadap aliran darah bertambah dan pada akhirnya menyebabkan insufisiensi dan iskemia. Sebagian arteri spiralis dalam desidua dan miometrium tersumbat oleh materi fibrinoid, berisi sel-sel busa, terdapat akumulasi makrofag yang berisi lemak dan infiltrasi sel mononukleus pada perivaskular. Keadaan ini dikenal sebagai aterosis akut. Pada fase awal aterosis akut ditandai dengan gangguan fokal dari endotel, terjadi proliferasi sel-sel otot polos tunika intima dan nekrosis tunika media. Ruang ekstraseluler antara sel-sel otot intima diisi oleh fibrin. Arteri yang terlibat bisa tersumbat sebagian sampai total. Aterosis ini berhubungan erat dengan terjadi gangguan pada kehamilan yaitu abortus spontan, pertumbuhan janin terhambat dan preeklamsia ( Biri, dkk. 2006). Walaupun oksigen sangat essensial bagi berlangsungnya kehidupan sel, jika metaboliknya sangat meningkat
akan menghasilkan derivat-derivat
toksiknya. Molekuler species dari metabolisme oksigen disebut reactive oxygen species (ROS). Peningkatan ROS akan meyebabkan peningkatan kerusakan fungsi sel, untuk mencegah ROS memicu kerusakan, sel memiliki sebuah sistem antioksidan untuk mencegah kerusakan oleh radikal bebas. Ketika keseimbangan
27
terganggu oleh peningkatan produksi ROS, keberadaan stress oksidatif akan menyebabkan penurunan fungsi dan kerusakan sel (Aksoy, dkk., 2009). Antioksidan enzimatis dan non enzimatis berfungsi sebagai sistem pertahanan kompleks terhadap radikal bebas. Apabila mekanisme proteksi terhadap radikal bebas tidak berjalan dengan sempurna, maka kadar 02 yang terbentuk lebih tinggi dibanding kadar antioksidan sel, ketidakseimbangan ini menyebabkan terjadinya stress oksidatif didalam sel. Radikal bebas yang bereaksi dengan struktur lipid membran sel membentuk radikal lipid peroksida, reaksi peroksidasi lipid ini merupakan reaksi berantai karena dapat bereaksi dengan struktur lipid, protein, dan asam nukleat organel sel. Molekul protein sel, secara struktural maupun bentuk enzim sangat rentan terhadap proses denaturasi oleh reaksi yang di mediasi radikal bebas. Selain itu radikal bebas dapat juga secara langsung menyerang asam nukleat sehingga terjadi hidroksilasi cross link atau terpotongnya rantai DNA yang mengakibatkan mutasi genetik sampai dengan kematian sel (Jauniaux, dkk.2004). Akibat kejadian diatas maka akan terjadi suatu reaksi radikal bebas yang ditandai dengan tingginya lipid peroksidasi. Reaksi radikal bebas inilah yang kemudian akan memicu disfungsi endotel dan akibat disfungsi endotel yang masif maka akan timbul gejala klinis, sampai abortus. Lipid peroksidasi terjadi ketika adanya interaksi antara lipid dengan radikal, seperti oksigen. Lipid peroksidasi ini tidak hanya sangat tidak stabil namun juga sangat reaktif dan juga merusak. Walaupun, peroksidasi lipid ini merupakan proses oksidasi yang normal berada
28
pada kadar rendah pada sel dan jaringan. Akhirnya, peningkatan lipid peroksidasi yang tidak terkendali menyebabkan kerusakan sel endothelial ( Biri, dkk. 2006). 2.4.3. Mekanisme pertahanan terhadap stres oksidatif
Sel yang terpapar stress oksidatif secara terus menerus, juga memiliki berbagai mekanisme pertahanan agar dapat bertahan hidup.
Bagan 2.5 Klasifikasi Mekanisme Pertahanan Antioksidan Seluler Sumber : Kohen dan Nyska (2002) Mekanisme pertahanan terpenting adalah dari antioksidan enzimatik dan low molecular weight antioxidant (LMWA). Antioksidan enzimatik ada yang bekerja secara langsung, misalnya superoksid dismutase (SOD), glutathione peroxidase (Gpx) dan Katalase (CAT) dan ada yang berupa enzim tambahan, seperti Glucose29
6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD) dan xanthin oxidase. Sedangkan yang termasuk kelompok LMWA misalnya glutathione, asam urat, -tokoferol, asam askorbat, karotenoid dan masih banyak lagi bahan-bahan lainnya (Biri dkk, 2006). Beberapa jalur pembentukan ROS dan peran antioksidan digambarkan dalam skema diatas (Kohen dan Nyska, 2002). 2.5. Antioksidan Kalau radikal bebas dan oksidan adalah penerima elektron maka antioksidan secara kimia adalah semua senyawa yang mampu memberikan elektron. Dalam arti biologis, antioksidan mempunyai pengertian yang luas yaitu semua senyawa yang dapat
meredam dampak negatif oksidan,
termasuk enzim-enzim dan protein pengikat logam. Dalam meredam efek negatif dari oksidan dilakukan dengan dua cara yaitu 1) mencegah terjadinya dan tertimbunnya senyawa oksidan secara berlebihan, 2) mencegah terjadinya reaksi rantai yang berkelanjutan. Bertitik tolak pada dua cara kerjanya tersebut, antioksidan digolongkan menjadi antioksidan pencegah dan antioksidan pemutus reaksi rantai. Pengelompokan antioksidan yang lain adalah berdasarkan mekanisme proteksi endogen terhadap radikal bebas (Kohen dan Nyska, 2002), yaitu: 1.
Mekanisme antioksidan enzimatik
Sitokrom oksidase pada mitokondria, mengkonsumsi hampir seluruh oksigen yang terdapat dalam sel, sehingga mencegah 95% hingga 99% molekul oksigen dari pembentukan metabolik toksik.
SOD (Superoksid dismutase), merupakan enzim yang mengkatalisis radikal superoksid menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Terdapat beberapa jenis SOD, seperti Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama di lisosom dan nukleus, manganeseSOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam mitokondria, ekstraseluler SOD (EC-SOD) dan besi-SOD (Fe-SOD) yang hanya ditemukan pada 30
tumbuhan. Radikal superoksid dapat mengalami dismutasi secara spontan maupun dengan bantuan SOD membentuk H2O2. Dengan adanya SOD, kecepatan dismutasi meningkat lebih dari 1000 kali lipat dibandingkan dismutasi spontan
Katalase ditemukan pada hampir seluruh organ tubuh, namun terutama terkonsentrasi di hati. Di dalam sel, katalase ditemukan di dalam peroksisom. Fungsinya untuk mengkatalisis H2O2 menjadi H2O dan O2. Kapasitas reduksi katalase tinggi pada suasana H2O2 konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi rendah kapasitasnya menurun (Miwa dkk, 2008). Hal ini disebabkan karena katalase memerlukan reaksi dua molekul H2O2 dalam proses reduksinya, sehingga hal ini lebih jarang ditemukan pada konsentrasi substrat rendah. Pada konsentrasi H2O2 rendah seperti yang dihasilkan dari proses metabolisme normal, peroxiredoksin (PRX) yang berfungsi untuk mengikat H2O2 dan mengubahnya menjadi oksigen dan air.
Glutathione peroxidase merupakan seleno-enzim yang pertama kali ditemukan pada mamalia. Kadarnya tinggi pada ginjal, liver, dan darah, sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan plasma darah
Enzim ini memerlukan
glutathione sebagai donor substrat untuk mengikat H2O2 maupun hidroperoksida organik (ROOH) untuk menghasilkan glutathione disulphide (GSSG), air dan bentuk hidroksi dari bahan organik tersebut (ROH) 2.
Mekanisme antioksidan non enzimatik. Antioksidan nonenzimatik ada yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air. Beta karoten dan vitamin E adalah antioksidan yang larut dalam lemak sedangkan asam
31
askorbat, asam urat dan glutation larut dalam air. Antioksidan nonenzimatik bekerja langsung berikatan dengan radikal bebas sehingga mengurangi reaktifitasnya. Sistem pertahanan tubuh dalam keadaan normal telah mampu meredam radikal atau oksidan yang timbul dengan memproduksi antioksidan dalam jumlah yang memadai, tetapi apabila keseimbangan tersebut terganggu dalam artian oksidan atau radikal bebas diproduksi dalam jumlah yang melebihi kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif yang selanjutnya akan diikuti perusakan jaringan (Kohen dan Nyska, 2002)
2.6.Katalase
Katalase ditemukan pada hampir seluruh organ tubuh, namun terutama terkonsentrasi di hati. Di dalam sel, katalase ditemukan di dalam peroksisom. Fungsinya untuk mengkatalisis H2O2 menjadi H2O dan O2. Kapasitas reduksi katalase tinggi pada suasana H2O2 konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi rendah kapasitasnya menurun, hal ini disebabkan karena katalase memerlukan reaksi dua molekul H2O2 dalam proses reduksinya, sehingga hal ini lebih jarang ditemukan pada konsentrasi substrat rendah Pada konsentrasi H2O2 rendah seperti yang dihasilkan dari proses metabolisme normal, peroxiredoksin (PRX) yang berfungsi untuk mengikat H2O2 dan mengubahnya menjadi oksigen dan air (Miwa dkk, 2008). Katalase sebagai salah satu antioksidan endogen merupakan senyawa yang hemotetramer dengan Fe sebagai kofaktor disandi oleh gen kromosom 11 dan mutasi pada gen ini dapat menyebabkan akatalasemia. Katalase adalah suatu hemoprotein yang mengandung empat gugus heme yang dapat ditemukan pada hewan maupun tumbuhan. Pada umumnya katalase terdapat pada sebagian besar organisme. Banyak organisme mempunyai katalase lebih dari satu. Suatu
32
penelitian telah mengungkapkan bahwa ada hubungan antara diferensiasi sel dengan katalase (Kohen dan Nyska, 2002). Katalase termasuk dalam golongan enzim hidroperoksidase karena dapat mengkatalisis substrat hidrogen peroksida atau peroksida organik. Enzim ini dapat ditemui dalam darah, sumsum tulang, membran mukosa, ginjal dan hati (Miles, 2003).
Berikut mekanisme kerja katalase sebagai antioksidan dengan cara mengkatalisis pemecahan H2O2 menjadi H2O dan O2 (Kohen dan Nyska, 2002). Katalase-Fe(III) + H2O2 senyawa-1 +H2O tahap I Senyawa-1 + H2O2
2H2O2
katalase-Fe(III) + H2O2 + O2 tahap II
2H2O + O2
Senyawa-1 merupakan senyawa antara serta merupakan kunci dari oksidasi dalam reaksi enzimatik katalase. Hal ini disebabkan oleh keberadaan senyawa-1 heme dengan suatu atom oksigen dari molekul H2O2 pada tahap I ini. Hasil reaksi ini membentuk molekul air pada tapak aktif enzim yang dekat heme Fe (Kohen dan Nyska, 2002). Senyawa H2O2 merupakan salah satu senyawa oksigen reaktif yang dihasilkan pada proses metabolisme di dalam sel. H2O2 merupakan sumber toksik berbagai macam penyakit karena dapat bereaksi menimbulkan kerusakan jaringan. Selain itu, H2O2 dianggap sebagai metabolit kunci karena stabilitasnya relatif tinggi, cepat menyebar dan terlibat dalam sirkulasi sel (Miwa,2008). Enzim katalase di samping mendukung aktivitas enzim SOD juga dapat mengkatalisa perubahan berbagai macam peroksida dan radikal bebas menjadi oksigen dan air.
33
Enzim ini mampu menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk lebih stabil. Reaksi ini disebut sebagai chain-breaking-antioxidant. Katalase (CAT) dan glutathion peroksidase (GPx) mempunyai sifat yang sama dalam mengkatalisis H2O2. Namun, GPx mempunyai aktivitas yang tinggi terhadap H2O2 daripada katalase. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kinetik dari kedua enzim tersebut. Katalase mengkatalisis H2O2 secara linier sesuai dengan konsentrasi H2O2, sedangkan GPx menjadi jenuh pada konsentrasi H2O2 di bawah 10-5 mol/L. Ketika konsentrasi H2O2 sangat rendah atau pada kondisi normal maka GPx mempunyai peran yang lebih domian untuk mengkatalisis H2O2 daripada katalase (Hitoshi dkk, 2002).
2.6.1.Peran katalase pada kehamilan normal Antioksidan ensimatik dan non ensimatik telah ditemukan dalam jumlah yang cukup pada spermatozoa, cairan seminal dan cairan folikel ovarium, menunjukkan bahwa molekul ini memiliki peran sejak masa konsepsi. Telah diketahui bahwa kapasitas keseluruhan antioksidan pada organ dan darah janin lebih rendah daripada jaringan orang dewasa, tetapi masih sedikit yang diketahui mengenai transport molekul dengan aktivitas antioksidan pada plasenta trimester pertama. Dalam kehamilan, katalase berperan sangat penting, pada awal kehamilan, peran katalase pada endometrium untuk keberhasilan implantasi dengan melindungi blastokist dari radikal superokside. Reaksi oksidasi meningkat pada fase sekresi
34
lanjut sesaat sebelum menstruasi dan menurun pada awal kehamilan terutama di desidua (Jauniaux et al, 2004). 2.6.2. Peranan katalase Pada abortus iminens Pada kehamilan normal invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua menghasilkan suatu perubahan fisiologis. Pada arteri spiralis, untuk memenuhi kebutuhan kehamilan maka jalan yang paling mungkin adalah membesarkan diameter arteri spiralis. Kemampuan melebarkan diameter arteri spiralis ini merupakan kebutuhan utama untuk keberhasilan kehamilan. Hasil akhir dari perubahan fisiologis yang normal adalah arteri spiralis yang tadinya tebal dan muskularis menjadi lebih besar berupa kantong elastik bertahanan rendah dan aliran cepat, sehingga memungkinkan arus darah darah yang adekuat untuk pemasokan 02 dan nutrisi bagi janin (Agarwal, dkk. 2005). Sel trofoblas plasenta sangat peka terhadap stress oksidatif oleh karena lokasi sel tersebut berada pada permukaan villi korialis sehingga merupakan sel pertama yang terpapar bila terjadi reperpusi 02 dan sel trofoblas tersebut mengandung sangat sedikit enzim antioksidan dibanding sel jaringan lain. Akibat rendahnya kadar antioksidan dalam sel trofoblas ini, maka dengan sedikit peningkatan radikal bebas dalam trofoblas sudah dapat menimbulkan stress oksidatif berlanjut akan terjadi kerusakan, degenerasi pelepasan sel trofoblas. Oxidative stress meyebabkan terjadinya gangguan aliran darah pada daerah intervilous dan keadaan ini dapat merupakan awal dari proses terjadinya abortus (Jauniaux, dkk. 2003). Terjadinya abortus juga disebabkan tidak adekuatnya invasi
trofoblast
sehingga
terbentuknya 35
trophoblastic
oxidative
stress
menyebabkan hubungan hasil konsepsi dengan arteri spiralis tidak terjadi dengan baik dan sempurna (Jauniaux dkk, 2004). Terjadi peningkatan tajam dari stress oksidatif yang terjadi pada plasenta yang normal pada saat pembentukan sirkulasi maternal. Hal tersebut mungkin merupakan peranan fisiologis yang berfungsi untuk menstimulasi differensiasi plasenta tapi dapat pula berperan dalam pathogenesis preeklamsia dan kegagalan pada hamil muda bila pertahanan antioksidan berkurang (Jauniaux, dkk. 2006). Salah satu kunci sukses kehamilan adalah terjadinya pertukaran fetomaternal
yang
adekuat.
Plasenta
memenuhi
kebutuhan
tersebut
dan
menghubungkan aliran darah ibu dan janin secara luas dan intim. Hal tersebut tercapai dengan adanya cabang-cabang villi. Pada aliran janin yang berhubungan dengan sirkulasi ibu dalam rongga intervilli. Selama bertahun-tahun diasumsikan bahwa sirkulasi ibu dibentuk dalam plasenta segera. Implantasi melalui invasi pembuluh darah endometrium oleh tropoblas. Metabolisme aerobik sangat berhubungan dengan pembentukan spesies oksigen reaktif
dan kecepatan
pembentukannya sebanding dengan kadar oksigen. Spesies ini memiliki potensial yang sangat berbahaya sehingga sistim pertahanan tubuh yang kompleks telah dibentuk
untuk mengatasi masalah ini. Bila konsentrasi oksigen berfluktuasi
terlalu cepat atau meningkat terlalu tinggi maka akan melampaui pertahanan antioksidan seluler sehingga menimbulkan stress oksidatif . Pada kondisi seperti ini kerusakan pada protein, lemak, dan DNA, mengganggu fungsi seluler, bahkan mengakibatkan kematian sel (Agarwal, dkk. 2005).
36
Data yang terbaru memberi indikasi implantasi membutuhkan keadaan oksigen rendah, untuk differensiasi dan perkembangan sampai 10 minggu dari usia kehamilan. Lingkungan dengan aliran darah maternal melindungi embryo dari serangan imun maternal dari radikal bebas. Pada umur kehamilan 10-12 minggu sirkulasi maternal dimulai dan konsentrasi oksigen intraplasenta secara cepat meningkat (Biri, dkk. 2006). Sebuah penelitian melaporkan permulaan yang prematur dari sirkulasi maternal dengan aliran darah melalui plasenta dapat diasosiasikan dengan peningkatan produksi nonphysiological dari ROS. Sekarang terdapat fakta-fakta yang menunjang bahwa permulaan yang premature dan disorganisasi dari aliran darah maternal dengan defisiensi tropoblastik
adalah konsekuensi dari
preeklamsia dan spontaneous abortus. Jadi, sejalan dengan hal tersebut kondisi preeklamsia biomarker dari oksidatif stress, dapat menjadi hipotesis peningkatan abortus spontaneous sebelum 10 minggu dari kehamilan berhubungan dengan aliran darah plasenta maternal yang abnormal dan regresi dari villi chorionic (Biri, dkk. 2006). Katalase adalah suatu enzim yang berfungsi untuk mengkatalisis hidrogen peroksida (H2O2) dan hidroperoksida organik sehingga mencegah terjadinya peroksidasi lipid pada membran sel dan bekerja sebagai pengikat radikal bebas (Kohen dan Nyska, 2002). Enzim berfungsi mengkatalis hidrogen peroksida (H2O2) menjadi H2O dan O2. Didalam sel, katalase lebih banyak terdapat dalam peroksisom dan bekerja pada konsentrasi substrat yang tinggi (Jauniaux, dkk. 2000).
37
Enzim katalase di samping mendukung aktivitas enzim SOD juga dapat mengkatalisa perubahan berbagai macam peroksida dan radikal bebas menjadi oksigen dan air. Enzim ini mampu menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk lebih stabil. Reaksi ini disebut sebagai chain-breaking-antioxidant. Katalase (CAT) dan glutathion peroksidase (GPx) mempunyai sifat yang sama dalam mengkatalisis H2O2. Namun, GPx mempunyai aktivitas yang tinggi terhadap H2O2 daripada katalase. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kinetik dari kedua enzim tersebut. Katalase mengkatalisis H2O2 secara linier sesuai dengan konsentrasi H2O2, sedangkan GPx menjadi jenuh pada konsentrasi H2O2 di bawah 10-5 mol/L. Ketika konsentrasi H2O2 sangat rendah atau pada kondisi normal maka GPx mempunyai peran yang lebih domian untuk mengkatalisis H2O2 daripada katalase (Hitoshi dkk, 2002). Penelitian di Rumah Sakit Umum Belgaum – India, kadar katalase pada wanita hamil trimester pertama adalah 7.82 ± 2.84 IU/gm Hb. Kadar ini lebih rendah dibandingkan kehamilan normal (8,13 + 2,25) IU/gm Hb, dan kadar katalase turun pada trimester dua yaitu 7,0 + 2,33 IU/gm Hb dan trimester tiga 6,2 + 1,73 IU/gm Hb (Patil,dkk, 2007). Penelitian lain menyebutkan kadar antioksidan enzimatik termasuk katalase akan meningkat dengan peningkatan umur kehamilan sebagai respon terhadap perubahan sirkulasi maternal. (Jauniaux, dkk. 2000). Penelitian ini memberikan hasil yang berbeda dan masih memerlukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
38
Melihat dari penjelasan diatas, diperlukan keseimbangan antara oksidan atau radikal bebas dan antioksidan untuk mencegah terjadinya stres oksidatif. Diperlukan antioksiidan yang mampu bekerja dimana ROS terbentuk. Pada kehamilan
dimana
ssinsitiotropoblas
merupakan
tempat
yang
memiliki
antioksidan dalam jumlah yang lebih sedikit sehinggga angat peka terhadap peningkatan oksigen yang berpeluang menyebabkan terjadinya keadaan stress oksidatif. Apapun faktor yang terlibat dalam perlindungan katalase terhadap interaksi materno-plasenta, tujuan utamanya adalah untuk mengoptimalkan implantasi, plasentasi dan diikuti dengan transformasi progresif dari arteri spiralis maternal yang vasoreaktif menjadi arteri utero-plasenta yang flasid dan distensi yang dibutuhkan untuk mensuplai fetus yang sedang berkembang dan plasentanya dengan jumlah darah maternal yang akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur kehamilan (Miwa, 2008).
39
BAB 3 KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Pikir Penelitian Abortus disebabkan beberapa faktor dan lebih dari 50 % oleh kelainan kromosom. (Hadijanto, 2008). Teori lain yang akhir-akhir ini sedang berkembang, mencoba menghubungkan peningkatan radikal bebas akibat peningkatan aliran oksigen pada aliran darah fetoplasetal yang terjadi secara mendadak yang dapat mengakibatkan reperfusion injury. Selama kehamilan trimester pertama, plasenta memfiltrasi
darah
maternal
yang
mengandung
oksigen,
dan
hanya
memperbolehkan rembesan plasma, bukan aliran darah murni ke dalam ruang intervillus. Apabila sistem pertahanan antioksidan yang ada di dalam tubuh ibu dapat mengikat radikal bebas tersebut, maka proses plasentasi akan berjalan dengan baik dan kehamilan akan berjalan dengan normal. Sedangkan apabila kadar antioksidan enzimatik dalam tubuh ibu rendah, sehingga tidak dapat mengikat radikal bebas tersebut, maka akan terjadi kegagalan plasentasi. Sel sinsitiotropoblas plasenta sangat peka terhadap stress oksidatif oleh karena lokasi sel tersebut berada pada permukaan villi korialis sehingga merupakan sel pertama yang terpapar bila terjadi reperpusi 02 dan sel trofoblas tersebut mengandung sangat sedikit enzim antioksidan dibanding sel jaringan lain. Akibat rendahnya kadar antioksidan dalam sel trofoblas ini, maka dengan sedikit peningkatan radikal bebas dalam trofoblas sudah dapat menimbulkan stress oksidatif berlanjut akan terjadi kerusakan, degenerasi pelepasan sel trofoblas, yang berlanjut menjadi
40
abortus (Jauniaux ,dkk, 2000). Katalase merupakan suatu direct acting enzymatic antioxidant yang terdapat di dalam tubuh, terutama pada peroksisom dan bekerja pada konsentrasi substrat yang tinggi. Enzim ini dapat mengikat radikal bebas melalui 2 cara, yaitu dengan mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen dan cara kedua melalui reaksi reduksi hidroperoksida organik di dalam tubuh sehingga mencegah terjadinya peroksidasi lipid (Kohen dan Nyska, 2002). Apabila kadar katalase ini menurun, maka radikal bebas yang diproduksi oleh embrio tidak dapat diikat dengan sempurna, sehingga H2O2 yang terbentuk semakin banyak dan diubah menjadi radikal hidroksil yang dapat merusak DNA. Bila kerusakan DNA yang terjadi tidak dapat diperbaiki oleh mekanisme perbaikan DNA, maka sel akan masuk ke jalur apoptosis dan terjadilah kematian sel, yang dalam tahap janin, kematian ini akan memicu respon tubuh untuk mengeluarkan hasil konsepsi, sehingga terjadilah abortus (Jauniaux, dkk. 2000).
41
3.2. Kerangka Konsep Penelitian
KEHAMILAN RADIKAL BEBAS
ANTI OKSIDAN (Katalase)
TIDAK STRES OKSIDATIF
STRES OKSIDATIF
KEHAMILAN NORMAL DEGENERASI SINSITIOTROPOBLAS
ABORTUS IMINENS
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
3.3. Hipotesis Penelitian Terdapat perbedaan kadar antioksidan enzimatik katalase pada abortus iminens dan kehamilan normal trimester pertama.
42
BAB 4 METODA PENELITIAN
4.1.
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan cross-sectional analitik.
4.2.
Tempat dan Waktu Penelitian
4.2.1. Tempat penelitian Penelitian dilaksanakan di poliklinik dan IRD Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar
4.2.2. Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2011 sampai Desember 2012. 4.3.
Populasi, Besar dan Pemilihan Sampel
4.3.1. Populasi penelitian 4.3.1.1. Populasi target Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua pasien yang didiagnosa sebagai abortus iminens dan hamil muda normal dengan umur kehamilan kurang dari 14 minggu.
43
4.3.1.1. Populasi terjangkau Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua pasien yang didiagnosa sebagai abortus iminens dan hamil muda normal dengan umur kehamilan kurang dari 14 minggu yang datang ke poliklinik dan IRD Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar.
4.3.2. Sampel Penelitian Sampel Penelitian adalah semua pasien yang didiagnosa sebagai abortus iminens dan hamil muda normal dengan umur kehamilan kurang dari 14 minggu
yang datang ke poliklinik dan IRD Obstetri dan Ginekologi
RSUP Sanglah Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi :
Ibu hamil normal dengan umur kehamilan kurang dari 14 minggu yang datang ke poliklinik dan IRD Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar.
Ibu hamil yang didiagnosa sebagai abortus iminens dengan umur kehamilan kurang dari 14 minggu yang datang ke poliklinik dan IRD Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar.
Bersedia ikut penelitian
Kriteria eksklusi :
Molahidatidosa
Blighted Ovum
Ibu hamil muda dengan kelainan uterus
44
Ibu hamil muda dengan mioma uteri
Tidak bersedia ikut penelitian
4.3.3. Pemilihan sampel Ibu hamil dengan umur kehamilan kurang dari 14 minggu yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi 4.3.4. Penghitungan besar sampel Besar atau jumlah sampel minimal ditentukan berdasarkan asumsi : Tingkat kesalahan tipe I (α) dipergunakan 0,05 Zα = 1,960 Power penelitian sebesar 80% dengan Tingkat kesalahan tipe II (β) adalah 20% Zβ= 0,842 Simpang baku (S) : 2.84 (dari pustaka) Selisih rerata 2 kelompok yang bermakna (X1-X2) : 7.82 – 15 % = 6,65 Sampel dihitung berdasarkan rumus:
( z z ) s n1 n 2 x1 x 2 7,96
n1=n2=
2
2
7,82-6,65
n1=n2= 46,26 Keterangan : Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas didapatkan jumlah sampel yang diperlukan adalah 46 Dan berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas didapatkan jumlah total sampel yang diperlukan adalah 92
45
4.4.
Variabel Penelitian
Variabel bebas
: Kadar Antioksidan Enzimatik Katalase
Variabel tergantung
: Abortus iminens
Variabel terkontrol
: Umur ibu, umur kehamilan, paritas, mola hidatidosa,mioma uteri.
4.5.
Definisi Operasional Variabel 1. Kadar antioksidan enzimatik katalase merupakan suatu hemoprotein yang mengandung empat gugus heme yang dapat mengkatalisis substrat hidrogen peroksida atau peroksida organik yang diperiksa dengan metoda elisa dan dikerjakan di laboratorium Klinik RSUP Sanglah. 2. Abortus iminens adalah hamil muda < 14 minggu disertai perdarahan yang berasal dari cavum uterus disertai sakit perut atau tidak sama sekali, uterus membesar sesuai umur kehamilan, tanpa adanya pembukaan serviks dengan tes kehamilan masih positif, dimana hasil konsepsi masih didalam uterus yang dibuktikan dengan USG oleh supervisor. 3. Umur ibu merupakan umur ibu hamil yang dihitung dari tanggal lahir atau yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). 4. Paritas adalah jumlah anak lahir hidup yang dialami oleh ibu hamil sebelum kehamilan yang sekarang.
46
5. Umur kehamilan merupakan umur kehamilan kurang dari 14 minggu yang ditentukan dari HPHT (hari pertama haid terakhir) atau berdasarkan hasil pemeriksaan USG. 6. Hamil normal adalah bila masih dijumpai adanya kantong gestasi pada umur kehamilan 5 minggu dengan fetal pole setelah 6 minggu,fetal movement dan fetal heart beat setelah umur kehamilan 7 minggu dengan USG 7. Ibu hamil muda trimester pertama dengan mioma uteri adalah ibu hamil muda trimester pertama ditandai dengan tinggi fundus uteri lebih besar dari umur kehamilan dan dibuktikan dengan adanya kantong gestasi pada umur kehamilan 5 minggu,fetal heart beat setelah umur kehamilan 7
minggu dan disertai whorle like appearance pada
pemeriksaan USG 8. Kehamilan molahidatidosa adalah tumor jinak sel trofoblast oleh karena kegagalan plasentasi yang mengakibatkan vili menggelembung menyerupai buah anggur yang ditandai dengan adanya gejala klinis umur
kehamilan
trimester
pertama
berupa
:
riwayat
amenorea,perdarahan pervaginam atau tidak, dengan besar uterus lebih besar dari umur kehamilan, tidak ditemukan ballotement dan detak jantung dengan pemeriksaan USG ditemukan adanya vesikel di dalam rongga uterus. 9. Kehamilan muda trimester pertama dengan kelainan uterus adalah kehamilan dengan kelainan bawaan pada uterus berupa uterus didelfis
47
yaitu dua buah uterus terpisah sama sekali disertai dua serviks uteri dengan sebuah septum vertikal pada bagian atas vagina,yang ditemukan pada pemeriksaan inspekulo dan dibuktikan dengan USG. 10. Blighted ovum adalah sampel dengan umur kehamilan kurang dari 14 minggu, tanpa adanya gambaran embrio atau fetal pole di dalam kantung gestasi pada pemeriksaan USG Abdominal 2 dimensi oleh Supervisor. 4.6.
Alat Pengumpul Data Alat-alat pengumpul data meliputi
lembar status pasien
Lembar Informed Consent
Timbangan berat badan
Alat pengukur tinggi badan
Tensimeter
Spuit disposibel 3 cc
Tabung gelas serum
Bio Vision Katalase Assay Kit
Lembar pengumpul data
4.7.Alur Penelitian Ibu-ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi seperti yang disebutkan di atas dimasukkan dalam sampel kehamilan dengan abortus iminens dan sampel kehamilan normal kemudian diminta untuk menandatangani formulir yang telah disediakan. Selanjutnya semua
48
sampel penelitian dikelola sesuai dengan Pedoman Terapi Lab/SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar Langkah-langkah yang dilakukan pada sampel adalah: 1.
Anamnesis meliputi nama, umur, paritas, hari pertama haid terakhir, berat badan sebelum hamil, penambahan berat badan selama kehamilan dan riwayat sebelumnya.
2.
Pemeriksaan fisik meliputi kesadaran, berat badan dan tinggi badan, tekanan darah dan pemeriksaan Tes kehamilan, USG sesuai prosedur tetap.
49
Ibu hamil Yang Datang Ke Poliklinik Dan VK IRD RSUP Sanglah Denpasar
Populasi Terjangkau Kriteria Eksklusi
Kriteria Inklusi Consecutive Sampling Sampel
Abortus iminens
Hamil Normal Kadar Katalase
Analisa Data
Bagan 4.1 Alur Penelitian 4.8.
Analisa Data
Semua data karaktristik subyek penelitian yang dapat dideskrispsikan untuk menganalisis perbedaan kadar enzimatik katalase pada abortus iminens terhadap kehamilan normal dianalisis statistik data. Data dalam penelitian ini diolah dengan program SPSS 16.0 for windows untuk uji komparatif. Urutannya sebagai berikut : 1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif membandingkan antara umur ibu, umur kehamilan, paritas antara kasus dan kontrol, kemudian disajikan dalam bentuk tabel.
50
NO
Parameter
1
Umur Ibu (tahun)
2
Umur Kehamilan (minggu)
3
Paritas
Mean (S/D)
2. Uji normalitas dengan Saphiro-Wilk Test 3. Komparabilitas karakteristik abortus imminens dan hamil normal diuji dengan t-independent untuk variabel umur ibu,umur kehamilan dan paritas. 4. Perbedaan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada hamil normal dan abortus imminens diuji dengan uji t-independent.
51
BAB 5 HASIL PENELITIAN Selama periode penelitian, telah dikumpulkan 76 sampel darah terdiri atas 30 orang sampel kehamilan normal dan 46 orang sampel abortus imminens. 5.1 Karakteristik Sampel Pada studi cross sectional ini dilakukan uji beda rerata dengan menggunakan uji tindependent untuk variabel umur ibu, umur kehamilan, paritas, dan kadar antioksidan enzimatik katalase. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.1 berikut. Tabel 5.1 Rerata umur ibu, umur kehamilan, dan paritas pada kelompok abortus imminen dan kelompok kehamilan normal Karakteristik
Abortus Imminen
Kehamilan normal
n=46
n=30
Umur ibu (tahun)
27,59 (SD 5,40)
30,27(SD 6,70)
0,796
Paritas
0, 96 (SD 1,11)
1,07 (SD 1,02)
0,164
Umur Kehamilan
8,63 (SD 1,78)
9,13 (SD 2,29)
0,263
(minggu)
52
P
Pada tabel 5.1 ditunjukkan bahwa antara kelompok umur abortus imminens dan kelompok kehamilan normal tidak berbeda bermakna(p>0,05). Demikian juga untuk kelompok paritas dan umur kehamilan tidak berbeda bermakna (p>0,05). 5.2. Perbedaan Kadar Antioksida Enzimatik Katalase Pada Kelompok Abortus Imminens Dan Kelompok Kehamilan Normal Untuk mengetahui perbedaan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada penelitian ini dilakukan uji t-independent. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Perbedaan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kelompok abortus imminens dan kelompok kehamilan normal
Kelompok
Kadar Antioksidan Enzimatik Katalase (ng/ml) Rerata
SD
Kehamilan normal
822,50
30,99
Abortus Imminen
629,70
13,49
P
0,001
Pada tabel 5.2 ditunjukkan bahwa rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kelompok kehamilan normal sebesar 822,50 ng/ml (SD 30,29), sedangkan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kelompok abortus imminen sebesar 629,70 ng/ml (SD 13,49). Dengan demikian didapatkan perbedaan rerata antara kelompok abortus imminen dan hamil normal adalah 192,81 (SD 5,17), di mana hasil kedua kelompok ini berbeda secara bermakna (p<0,001).
53
Nilai cut off point kadar antioksidan enzimatik katalase berdasarkan kurva ROC adalah 783,84 ng/ml dengan nilai sensitivitas 97,8 % dan nilai spesifisitas sebesar 83,3 %.
54
BAB 6 PEMBAHASAN Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau dengan kelahiran janin dengan berat badan kurang dari 500 gram. Abortus merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang paling sering dijumpai pada wanita hamil. Diperkirakan 12-20 % dari seluruh wanita hamil ditemukan gejala perdarahan atau ancaman abortus (threatened abortion) pada trimester pertama (Cunningham, F.G. et al., 2010).
Menurut Badan Kesehatan Dunia
(WHO) diperkirakan 4,2 juta kejadian abortus di Asia Tenggara dan di Indonesia diperkirakan antara 750.000 sampai 1,5 juta kasus dimana menurut survei kesehatan rumah tangga tahun 1995 menunjukkan bahwa abortus memberikan kontribusi 11% terhadap angka kematian ibu di Indonesia (Azhari, 2002). Di RSUP Sanglah Denpasar berdasarkan buku register pasien pasien tahun 2012 didapatkan 332 (9,5%) kasus dari 3502 persalinan pada tahun 2012. Sampai saat ini penyebab abortus belum jelas, namun salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya abortus imminens adalah stress oksidatif, dimana pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan. Abortus iminens berasal dari perdarahan lokal pada bagian perifer dari plasenta yang sedang terbentuk. Perdarahan ini terjadi pada saat pembentukan membran dan dapat menyebabkan abortus komplit bila hematom meluas kebagian plasenta yang definitif. Abortus iminens dapat mengalami perbaikan dan menjadi
55
kehamilan normal sampai trimester tiga atau berlanjut menjadi abortus insipien, abortus inkomplit dan abortus komplit (Cunninghan, F.G. et al., 2010).
6.1 Karakteristik Sampel Penelitian cross sectional yang kami lakukan di Poliklinik dan ruang bersalin RSUP Sanglah selama periode Desember 2011 hingga Desember 2012, kami dapatkan sejumlah 76 sampel yang memenuhi kriteria inklusi yang terdiri dari 46 sampel abortus imminen dan 30 sampel hamil normal trimester pertama. Rerata umur ibu pada kelompok abortus imminen adalah 27,59 tahun (SD 5,40) dan pada kelompok kehamilan normal adalah 30,27 (SD 6,70), secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Dari data rerata usia ibu hamil banyak terdapat pada kurun usia reproduksi (20-30 tahun). Sebuah penelitian yang dilakukan di sebuah Rumah Sakit Aliyah di Kendari yang meneliti tentang gambaran karakteristik ibu dengan abortus imminens pada tahun 2010 mendapatkan 82,35% sampel berusia antara rentang 20-35 tahun (Safitri,2012). Penelitian yang dilakukan di RSHS Bandung juga memperlihatkan sebanyak 40 % sampel pasien abortus yang memeriksakan diri ke RSHS pada tahun 2004 berkisar antara umur 20-30 tahun (Wijaya, 2004) Penelitin lain yang dilakukan di MKH Hospital, Teheran pada tahun 2004-2006 terhadap 150 pasien abortus imminen juga mendapatkan rata-rata umur penderita 27,13 tahun (SD4,76) (Tanha, 2007). Penelitian yang sama juga dilakukan di SJGH Hospital Srilangka terhadap 110 ibu dengan abortus imminen mendapatkan rarata umur ibu 28,8 tahun (Perera, 2009). Pada penelitian ini rerata paritas ibu pada kelompok abortus imminen adalah 0,96 (SD 1,11) dan pada kelompok kehamilan normal adalah 1,07 (SD 56
1,02), secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Dari data yang diperoleh terlihat pada ibu dengan paritas 1, hal ini sesuai dengan teori yang kami dapatkan, dimana angka kejadian abortus imminen lebih sering pada ibu dengan paritas 1 dan paritas > 3 (Hadijanto, 2008). Penelitian yang dilakukan di sebuah Rumah Sakit Aliyah di Kendari yang meneliti tentang gambaran karakteristik ibu dengan abortus imminens pada tahun 2010 mendapatkan 76,48% sampel berada pada paritas 1dan >3 (Safitri,2012). Paritas 1 dan paritas >3 mempunyai angka kejadian komplikasi lebih tinggi. Penelitin lain yang dilakukan di MKH Hospital, Teheran pada tahun 2004-2006 terhadap 150 pasien abortus imminen mendapatkan ratarata paritas penderita 2 (SD 1,1) (Tanha, 2007). Penelitian yang sama juga dilakukan di Maternity and Children Hospital Buraidah Al Qassim, Saudi Arabia terhadap 45 ibu dengan abortus imminen mendapatkan rata-rata paritas ibu 2,0 (Ahmed,2012). Ibu dengan paritas rendah cenderung melahirkan bayi yang tidak matur atau ada komplikasi karena merupakan pengalaman pertama dalam reproduksinya serta meungkinkan akan timbul penyakit dalam kehamilan (Saifudin, 2010). Sedangkan pada paritas tinggi (>3) cenderung mengalami komplikasi pada kehamilan yang akhirnya berpengaruh pada hasil kehamilan tersebut (Hadijanto, 2008). Pada penelitin ini rerata umur kehamilan pada kelompok abortus imminen adalah 8,63 minggu (SD 1,78) dan pada kelompok kehamilan normal adalah 9,13 (SD 2,29), secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Dari data tersebut terlihat bahwa rerata umur kehamilan pada data kami berkisar umur kehamilan 89 minggu. Perdarahan pervaginam berupa perdarahan bercak sangat umum terjadi
57
pada wanita hamil muda kurang dari 20 minggu yaitu sekitar 12-20 % wanita hamil trimester pertama mengalami gejala pendarahan atau ancaman abortus. Perdarahan yang banyak dan nyeri perut yang menyertai abortus iminen sangat jarang terjadi. Sering perdarahan itu berupa bercak dan berhenti sendiri, mungkin karena pengaruh implantasi trofoblas pada desidua endometrium. Sekitar setengah dari wanita yang mengalami abortus iminens mengalami abortus spontan dan sisanya terus bertahan sampai viable. Abortus imminens sering terjadi pada 8 minggu pertama kehamilan yaitu sekitar 75%
dan setelah itu kejadiannya
menurun. Diamana hampir 15% dari seluruh kehamilan mengalami abortus imminens dan 16-18% berkembang menjadi keguguran tergantung pada jumlah pendarahan yang terjadi (Cunninghan, F.G. et al., 2010).
6.2 Kadar Rerata Antioksidan Enzimatik Katalase Pada Abortus Imminen dan Kehamilan Normal Dari penelitian cross sectional yang kami lakukan, didapatkan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kelompok kehamilan normal sebesar 822,50 ng/ml (SD 30,29), sedangkan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kelompok abortus imminen sebesar 629,70 ng/ml (SD 13,49). Dengan demikian didapatkan perbedaan rerata antara kelompok abortus imminen dan hamil normal adalah 192,81 (SD 5,17), di mana hasil kedua kelompok ini berbeda secara bermakna (p<0,001). Nilai cut off point kadar antioksidan enzimatik katalase berdasarkan kurva ROC adalah 783,84 ng/ml dengan nilai sensitivitas 97,8 % dan nilai spesifisitas sebesar 83,3 %.
58
Penelitian di Rumah Sakit Umum Belgaum – India, kadar katalase pada wanita hamil trimester pertama adalah 7.82 ± 2.84 IU/gm Hb. Kadar ini lebih rendah dibandingkan wanita tidak hamil (8,13 + 2,25) IU/gm Hb, dan kadar katalase turun pada trimester dua yaitu 7,0 + 2,33 IU/gm Hb dan trimester tiga 6,2 + 1,73 IU/gm Hb. Penelitian ini pula menyebutkan kadar antioksidan enzimatik termasuk katalase akan menurun dengan peningkatan umur kehamilan sebagai respon terhadap perubahan sirkulasi maternal. (Patil,dkk, 2007). Penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian kami dalam sampel darah yang dipakai untuk penelitian. Dimana penelitian di Rumah Sakit Umum Belgaum – India menggunakan darah vena dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung dengan heparin, sementara pada penelitian kami menggunakan serum darah. Apapun faktor yang terlibat dalam perlindungan katalase terhadap interaksi materno-plasenta, tujuan utama adalah untuk mengoptimalkan implantasi, plasentasi dan diikuti dengan transformasi progresif dari arteri spiralis maternal yang vasoreaktif menjadi arteri utero-plasenta yang flasid dan distensi yang dibutuhkan untuk mensuplai fetus yang sedang berkembang dan plasentanya dengan jumlah darah maternal yang akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur kehamilan (Miwa, 2008). Penelitian tentang hubungan antara antioksidan dan stress oksidatif memberikan suatu pemahaman baru mengenai hubungan materno-fetal pada trimester pertama, menunjukkan bahwa plasenta berfungsi sebagai pembatas suplai oksigen selama organogenesis. Walaupun fetus telah mulai berimplantasi ke dalam endometrium sejak 6-7 hari setelah fertilisasi dan berimplantasi lengkap
59
pada hari ke-10 (Cunningham dkk, 2010), namun aliran darah yang cukup tidak terjadi hingga akhir trimester pertama, sekitar minggu ke-10. Tekanan parsial oksigen (PO2) intraplasenta 2-3 kali lebih rendah pada minggu ke 8-10 dibandingkan dengan setelah minggu ke-12. Jadi, hingga akhir trimester pertama, fetus berkembang dalam suasana hipoksia fisiologis untuk melindungi dirinya dari efek buruk dan efek teratogenik dari radikal bebas oksigen (Jauniaux dkk, 2003), serta untuk menjaga stem sel agar tetap dalam keadaan pluripotent penuh. Pada kadar fisiologis, radikal bebas berfungsi dalam regulasi berbagai fungsi sel, terutama sebagai faktor transkripsi (Agarwal, dkk. 2005). Pembentukan sistem vaskular uteroplasenta dimulai dari invasi desidua maternal oleh extravillous cytotrophoblast. Hal ini terdiri dari 2 proses berurutan dan keberhasilan dari kedua proses ini akan mempengaruhi luaran kehamilan. Proses yang terjadi pertama kali adalah extravillous cytotrophoblast menutupi dinding luar kapiler tropoblast dan arteri spiralis cabang intra-endometrium, sehingga membentuk tudung pada pembuluh darah tersebut. Sumbatan ini berfungsi sebagai filter yang memperbolehkan plasma untuk berdifusi ke arah intervillous space, bukan aliran darah sejati. Invasi ini terjadi sekitar pada minggu ke 5 hingga 8. Aliran ini ditambah dengan sekresi kelenjar uteri yang dilepaskan ke dalam intervillous space hingga sekitar usia kehamilan 10 minggu. Pada minggu ke 8 hingga ke 13, sumbatan ini akan terlepas perlahan-lahan. Kemudian terjadi proses invasi tropoblast yang kedua terhadap arteri spiralis intramiometrial (pada minggu ke 13 hingga 18) (Jauniaux dkk, 2000)
60
Pada abortus spontan terjadi defisiensi plasentasi. Terjadi kegagalan pada gelombang kedua invasi trofoblas. Sehingga perubahan fisiologis pada arteri spiralis tidak terjadi. Perubahan hanya terjadi pada sebagian arteri spiralis segmen desidua, sementara arteri spiralis segmen miometrium masih diselubungi oleh selsel otot polos. Selain itu juga ditemukan adanya hiperplasia tunika media dan trombosit. Garis tengah arteri spiralis lebih kecil dibandingkan dengan dengan kehamilan normal. Hal ini menyebabkan tahanan terhadap aliran darah bertambah dan pada akhirnya menyebabkan insufisiensi dan iskemia. Sebagian arteri spiralis dalam desidua dan miometrium tersumbat oleh materi fibrinoid, berisi sel-sel busa, terdapat akumulasi makrofag yang berisi lemak dan infiltrasi sel mononukleus pada perivaskular ( Biri, dkk. 2006). Terjadinya abortus juga disebabkan
tidak
adekuatnya
invasi
trofoblast
sehingga
terbentuknya
trophoblastic oxidative stress menyebabkan hubungan hasil konsepsi dengan arteri spiralis tidak terjadi dengan baik dan sempurna (Jauniaux dkk, 2004). Diperlukan keseimbangan antara oksidan atau radikal bebas dan antioksidan untuk mencegah terjadinya stres oksidatif. Diperlukan antioksiidan yang mampu bekerja dimana ROS terbentuk. Pada kehamilan dimana sinsitiotropoblas merupakan tempat yang memiliki antioksidan dalam jumlah yang lebih sedikit sehinggga sangat peka terhadap peningkatan oksigen yang berpeluang menyebabkan terjadinya keadaan stres oksidatif. Disinilah katalase ikut berperan untuk mencegah terjadinya keadaan stres oksdatif tersebut (Jauniaux, dkk. 2000).
61
Penelitian spesifik yang meneliti tentang kadar antioksidan enzimatik katalase pada abortus imminen belum kami temukan, namun beberapa literatur mengemukakan apabila kadar katalase ini menurun, maka radikal bebas yang diproduksi oleh embrio tidak dapat diikat dengan sempurna, sehingga H2O2 yang terbentuk semakin banyak dan diubah menjadi radikal hidroksil yang dapat merusak DNA. Bila kerusakan DNA yang terjadi tidak dapat diperbaiki oleh mekanisme perbaikan DNA, maka sel akan masuk ke jalur apoptosis dan terjadilah kematian sel, yang dalam tahap janin, kematian ini akan memicu respon tubuh untuk mengeluarkan hasil konsepsi, sehingga terjadilah abortus (Jauniaux, dkk. 2000). Dengan mengetahui nilai cut off point kadar antioksidan enzimatik katalase berdasarkan kurva ROC adalah 783,84 ng/ml dengan nilai sensitivitas 97,8 % dan nilai spesifisitas sebesar 83,3 %, diharapkan dapat dilakukan pencegahan untuk menghindari terjadinya abortus imminens bila kadar antioksidan enzimatik katalase dibawah nilai cut off point tersebut.
62
BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kelompok abortus imminen sebesar 822,50 ng/ml (SD 30,29), sedangkan rerata kadar antioksidan enzimatik katalase pada kelompok kehamilan normal sebesar 629,70 ng/ml (SD 13,49). Dengan demikian didapatkan perbedaan rerata antara kelompok abortus imminen dan hamil normal adalah 192,81 (SD 5,17), di mana hasil kedua kelompok ini berbeda secara bermakna (p<0,001). 7.2 Saran Penelitian lanjutan masih diperlukan dengan memanfaatkan hasil penelitian ini dalam upaya pencegahan terjadinya abortus imminen. Berdasarkan penelitian ini maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pemberian antioksidan eksogen pada penderita berisiko untuk mencegah terjadinya abortus imminen atau kegagalan kehamilan yang berulang.
63
DAFTAR PUSTAKA Agarwal A, Gupta S, Sharma RK. 2005. Role of Oxidative Stress in Female Reproduction. Reproductive Biology and Endocrinology; 14 :3-28
Ahmed SR, Alsammani MA, Al-Sheeha AA, Altallah AS, Khan FJ. 2012. Pregnancy Outcome in Women with Threatened Miscarriage : a Year Study. Mat Soc Med; 24(1):26-28
Ajith W, Bhattacharya S, Shetty A, Smith N, Bhattacharya S. 2006. Obsteric Outcome in Women With Threatened Miscarriage in the First Trimester. Obstet Gynecol, vol.107,No.3, pp.557-562.
Aksoy N , Aksoy H, N. Ozturk N, C. Bulut C. 2009. Erythrocyte TAO and TBARS Levels in Patient Who Suffered Missed Miscarriage. Turk J Med Sci; vol 39: 881-885. Azhari. 2002. Masalah Abortus dan Kesehatan Reproduksi Perempuan. Bagian Obstetri & Ginekologi FK UNSRI/RSMH Palembang.
Biri A,MD, Kavutcu M, PhD, Bozkurt N, MD, Devrim E, MD, Nurlu N, MD, Durak I, PhD. 2006. Investigation of Free Radical Scavenging Enzyme Activities and Lipid Peroxidation in Human Placental Tissues With Miscarriage. J Soc Gynecol Investig;13:384-8.
Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD. 2010. Abortus : Abortus Iminens. Obstetri Williams.Ed 23;p: 951-65.
Jauniaux E, Cindroma- Davies T, John J, Dunster C, Hempstock J, Kelly FJ, Burton GJ. 2004. Distribution and Transfer Pathways of Antioxidant Molecules Inside the First Trimester Human Gestational Sac. Journal Clinical Endocrinology and Metabolism, Vol.89, No.3.1452-1458.
64
Jauniaux E,Greenwold N , Hempstock J, Burton GJ. 2003. Tropoblastic Oxidsative Stress in Relation to Temporal and Regional Differences in Maternal Placental Blood Flow in Normal and Abnormal Early Pregnances. American Journal of Pathology, Vol.162, No.1.
Jauniaux E, Adrian L, Hempstock J, Bao YP, Skepper JN, Burton GJ. 2000. Onset of Maternal Arterial Blood Flow and Placental Oxidative Stress, A Possible Factor in human Early Pregnancy Faillure. American Journal of Pathology, Vol.157, No.6, 2111-22.
Hadijanto.B. 2008. Pendarahan Pada Kehamilan Muda : Ilmu Kebidanan, Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta, p.459-91
Hitoshi K, Nakai A, Koshino T, Araki T. 2002. Effect of Regular Maternal Exercise on Lipid Peroxidation Levels and Antioxidant Enzymatic Activities Before and After Delivery. Departement of Obstetric and Gynecology Nippon Medical School. Vol.69, No.6, p : 542-48
Kohen R and Nyska A. 2002. Oxidation of biological systems: oxidative stress phenomena,antioxidants,redox reactions,and methods for their quantification. The Society of Toxicologic Pathology; 30:620-50. Kovacic, P., Pozos, R. S., Somanathan, R., Shangari, N., and O’Brien, P. J. 2005. Mechanism of mitochondrial uncouplers, inhibitors, and toxins: Focus on electron transfer, free radicals, and structure–activity relationships. Curr. Med. Chem., 12:2601–2623.
Miwa, S., Muller, F.L., and Beckman, K.B. 2008. The Basics of Oxidative Biochemistry, Oxidative Stress in Aging From Model Systems to Human Diseases. Reproductive Biology and Endocrinology; 15:3-10
65
Nadeljkovic XS, Gokce N , Loscalzo J . 2003. Mechanisms of Oxidative Stress and Vascular Dysfunction. Postrad Med J;Vol.79;195-200. Parera BH, De Silva AP, Parera H. 2009. A Case Control Study on the Effect of Threatened Miscarriage on Selected Pregnancy Outcomes. Srilanka Journal of Obstetrics and Gynecology.
Patil SB, Kodliwadmath MV, Kodliwadmath SM. 2007. Study Of Oxydative Stress And Enzymatic Antioxidant In Normal Pregnancy.Indian Journal Of Clinical Biochemistry; 22(1) 135-137
Ronzio RA. 1999. Naturally Occuring Antioxidants, in Textbook of Natural Medicine, 2nd ed., Churchill Livingstone, Inc., p. 831-843.
Richard N, Mitchell, Ramzi SC. 2010. Cellular Adaptations, Cell Injury, and Cell Death. Robbins and Cotran. Pathologic Basic of Desease 8th edition, p:16-18
Safitri I. 2010. Gambaran Kejadian Abortus Imminen di Rumah Sakit Aliyah Kendari Tahun 2010, Rumah Sakit Aliyah Kota Kendari.
Hadijanto B. 2008. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiroharjo. Penerbit PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.p .459-90
Tanha FD, Shariat M, Kaveh M, Ebrahimi M, Jalalvand S, Threatened. 2007. Abortion : A Risk
Factor for Poor Pregnancy Outcome, Departement of
Obstetric and Gynecology,Mirza Kochsk-Khan Hodpital, Teheran University of Medical Sciences, Teheran Iran.
66
Wijaya M, Sutisna M, Ningrum E. 2004. Hasil Luaran Janin Pada Ibu Paska Abortus di Rumah Sakit dr.Hasan Sadikin Bandung Tahun 2004, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Valko, M., Morris, H., and Cronin, M. T. D. 2005. Metals, toxicity and oxidative stress. Curr. Med. Chem., 12:1161–1208.
67
Sampel Penelitian
SAMPEL ABORTUS IMMINENS NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
NAMA
UMUR
FRD SAJ MTA KHO SRI SUS DAR ASI KAR
22 21 31 37 40 17 30 25 24
10 AYU 11 ANI
28 25
12 SUA
30
13 14 15 16 17
ITA DAN CLA PUJ ANT
24 28 26 26 29
18 SRT 19 SUG 20 TIN
32 24 30
21 PUR 22 HAD
25 29
23 ROS
35
24 LIS
33
25 AGN 26 KAR
32 42
UK
PARITAS
7-8 MGG 7-8 MGG 8-9 MGG 7-8 MGG 9-10 MGG 9-10 MGG 9-10 MGG 7-8 MGG 7-8 MGG 10-11 MGG 5-6 MGG 10-11 MGG 10-11 MGG 6-7 MGG 6-7 MGG 9-10 MGG 8-9 MGG 10-11 MGG 8-9 MGG 8-9 MGG 12-13 MGG 7-8 MGG 12-13 MGG 12-13 MGG 10-11 MGG 9-10 MGG 68
CATALASE (ng/ml)
0 0 1 2 2 0 1 0 1
607,09 621,48 603,09 624,10 625,31 617,75 633,21 620,68 622,72
0 1
623,47 644,62
1
601,85
1 1 0 0 2
655,86 645,17 631,11 652,47 616,36
5 0 0
635,06 605,86 638,27
1 1
619,44 643,82
1
633,84
2
633,20
1 2
621,64 631,64
27 AYP 28 SIT 29 AGB 30 SUS 31 32 33 34 35
AST ANG SUA DES TAR
36 37 38 39 40
SUD KEM ARI WID WIN
41 LIS 42 AST 43 HAN 44 MUN 45 ASI 46 AMI
18 8-9 MGG 10-11 26 MGG 32 9-10 MGG 12-13 22 MGG 10-11 31 MGG 20 8-9 MGG 30 8-9 MGG 23 7-8 MGG 19 8-9 MGG 12-13 26 MGG 23 8-9 MGG 35 8-9 MGG 25 7-8 MGG 29 8-9 MGG 10-11 32 MGG 24 8-9 MGG 30 8-9 MGG 12-13 25 MGG 29 7-8 MGG 25 7-8 MGG
0
645,89
1 1
645,45 633,71
0
643,35
1 0 1 0 0
651,22 621,76 632,54 624,55 634,23
1 0 2 1 2
645,76 623,48 624,76 635,56 616,36
5 0 0
635,06 605,86 638,27
1 1 1
619,44 643,82 635,56
PARITAS 0 0 1
CATALASE (ng/ml) 852,47 853,71 788,27
0
780,68
1
781,25
1 2
792,86 821,23
SAMPEL KEHAMILAN NORMAL NO NAMA 1 WID 2 SUC 3 SUK 4 ANI 5 ASL 6 PAR 7 WIW
UMUR UK 25 8-9 MGG 22 7-8 MGG 35 9-10 MGG 13-14 22 MGG 12-13 28 MGG 12-13 34 MGG 27 8-9 MGG 69
8 WID 9 DES 10 BUD 11 GAJ 12 SUN 13 ARN 14 SUC 15 16 17 18 19
SUA SUP TIM MAR AND
20 21 22 23 24 25 26
SAB RIT MAR ANA RUM ARI RES
27 ADR 28 SUT 29 SIT 30 LIL
29 8-9 MGG 22 8-9 MGG 21 8-9 MGG 12-13 40 MGG 13-14 25 MGG 12-13 36 MGG 12-13 22 MGG 11-12 38 MGG 28 9-10 MGG 28 9-10 MGG 31 7-8 MGG 41 7-8 MGG 10-11 36 MGG 37 6-7 MGG 23 6-7 MGG 32 7-8 MGG 24 7-8 MGG 38 8-9 MGG 42 7-8 MGG 10-11 32 MGG 13-14 40 MGG 25 7-8 MGG 25 8-9 MGG
Lampiran 4
70
1 0 1
831,22 843,57 847,82
3
786,25
0
782,35
1
787,29
0
784,46
1 1 1 2 2
768,88 868,82 842,77 853,35 831,48
1 2 0 2 0 2 4
821,08 825,92 856,73 845,72 844,87 847,82 840,34
0
801,34
2 1 0
783,21 856,82 852,47
Analisa Hasil Penelitian Group Statistics Kelompok Katalase
Paritas
Usia_kehamilan
Umur
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Kehamilan normal
30
8.2250E2
30.99738
5.65932
Abortus Imminen
46
6.2970E2
13.48732
1.98860
Kehamilan normal
30
1.07
1.015
.185
Abortus Imminen
46
.96
1.115
.164
Kehamilan normal
30
9.13
2.285
.417
Abortus Imminen
46
8.63
1.781
.263
Kehamilan normal
30
30.27
6.710
1.225
Abortus Imminen
46
27.59
5.402
.796
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F Katalas Equal variances e assumed
Sig.
.083
Equal variances not assumed Usia_k Equal variances ehamil assumed an Equal variances not assumed Umur
Equal variances assumed Equal variances not assumed
T
.00 47.924 37.223 0
Equal variances not assumed Paritas Equal variances assumed
t-test for Equality of Means
4.439
4.536
.77 4
95% Confidence Interval Sig. of the Difference (2Mean Std. Error tailed) Difference Difference Lower Upper
df 74
.000 192.80623
5.17970 182.48545
203.12702
32.142 36.247
.000 192.80623
5.99854 180.64352
204.96895
.436
74
.664
.110
.253
-.393
.614
.445 66.184
.658
.110
.248
-.384
.605
74
.286
.503
.468
-.429
1.435
1.020 51.329
.312
.503
.493
-.487
1.492
74
.059
2.680
1.396
-.102
5.462
1.834 52.634
.072
2.680
1.461
-.252
5.611
.03 1.075 9
.03 1.919 7
71
Area Under the Curve Test Result Variable(s):Katalase Area
a
Std. Error
Asymptotic 95% Confidence Interval Asymptotic b Sig. Lower Bound Upper Bound
1.000 .000 .000 a. Under the nonparametric assumption b. Null hypothesis: true area = 0.5
72
1.000
1.000
Coordinates of the Curve Test Result Variable(s):Katalase Positive if Less Than or Equal Toa 600.8500 602.4700 604.4750 606.4750 611.7250 617.1800 618.7200 620.0600 621.0800 621.5600 621.7000 622.2400 623.0950 623.4750 623.7900 624.3250 624.6550 625.0350 628.2100 631.3750 632.0900 632.8700 633.2050 633.4600 633.7750 634.0350 634.6450 635.3100 636.9150 640.8100 643.5850 644.2200 644.8950 645.3100 645.6050 645.8250 648.5550 651.8450 654.1650
1 – Specificity
Sensitivity .000 .022 .043 .087 .109 .152 .174 .217 .239 .261 .283 .304 .326 .348 .370 .391 .413 .435 .457 .478 .500 .522 .543 .565 .587 .609 .630 .674 .717 .761 .783 .826 .848 .870 .891 .913 .935 .957 .957
73
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
712.3700 774.7800 780.9650 781.8000 782.7800 783.8350 785.3550 786.7700 787.7800 790.5650 797.1000 811.2100 821.1550 823.5750 828.5700 831.3500 835.9100 841.5550 843.1700 844.2200 845.2950 846.7700 850.1450 852.9100 853.5300 855.2200 856.7750 862.8200 869.8200
.957 .971 .971 .976 .978 .978 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
.000 .033 .067 .100 .133 .167 .200 .233 .267 .300 .333 .367 .400 .433 .467 .500 .533 .567 .600 .633 .667 .700 .767 .833 .867 .900 .933 .967 1.000
a. The smallest cutoff value is the minimum observed test value minus 1, and the largest cutoff value is the maximum observed test value plus 1. All the other cutoff values are the averages of two consecutive ordered observed test values.
74