1
Anda berada di: Home > Puasa > Perbedaan Idul Fitri: Hisab, Ru’yah Lokal, dan Ru’yah Global http://www.cantiknya-ilmu.co.cc/2010/07/perbedaan-idul-fitri-hisab-ruyahlokal.html 10-12-2010 20.45
PERBEDAAN IDUL FITRI: HISAB, RU’YAH LOKAL, DAN RU’YAH GLOBAL PERBEDAAN HARI RAYA IDUL FITRI YANG TERJADI SELAMA INI SEHINGGa ada yang merayakan di hari Jum’at dan ada yang di hari Sabtu (beda 28 jam) tak lepas dari perbedaan sistem penghitungan hari raya. Ada yang memakai Hisab dengan perhitungan astronomi yang rumit, ada pula yang memakai Ru’yah atau melihat bulan / hilal. Jika bulan terlihat, itulah saat mulai berpuasa atau berbuka puasa (idul Fitri). Dari hadits Nabi, yang dipakai sebenarnya adalah melihat bulan. Ummat zaman Nabi bukanlah astronomer atau ahli Falaq yang canggih. Mereka sederhana saja. Melihat bulan langsung. ”Dari Amir Mekkah, Al Harits Ibnu Hatib. Dia berkata, „Rasulullah SAW telah memerintahkan kami supaya puasa dengan melihat bulan. Jika kami tidak dapat melihat bulan itu, supaya kami puasa dengan kesaksian dua orang yang adil (yang melihat bulan).” (Riwayat Abu Daud dan Daruqutni). Ada pun yang memakai sistem Hisab berpendapat mereka melihat bulan dengan memakai ilmu. Pegangan ummat Islam adalah Al Qur’an dan Hadits, jadi silahkan pilih mana yang mengikuti hadits dan mana yang berdasarkan pikiran sendiri. Hisab bisa dipakai sebagai alat bantu. Ada pun sistem Ru’yah atau melihat bulan/hilal terbagi dua, Ru’yah Lokal dan Ru’yah Global. Pada Ru’yah Lokal, tiap penduduk melihat bulan sendiri-sendiri, sehingga tiap kota atau tiap negara merayakan hari Idul Fitri sendiri-sendiri bisa berbeda satu negara dengan negara yang lain bahkan satu kota dengan kota yang lain. Mereka mengambil hadits gharib (asing yang diriwayatkan
2
oleh hanya 1 orang) dari Kuraib. yang mengatakan bahwa dia dikirim oleh Ummul Fadli ke Syam (Damaskus) dan melihat bulan (awal Ramadan) pada malam Jum’at.Dia kembali ke Madinah pada akhir Ramadan. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka harus melihat bulan (Ru’yah 1 Syawal) karena Ru’yah penduduk Syam (1ramadan) tidak cukup bagi penduduk Madinah begitu yang dikatakan Nabi. Ada pun yang memakai Ru’yah Global begitu ada minimal 2 orang saksi yang dipercaya melihat bulan, maka itulah awal Ramadhan atau awal Syawal. Haditsnya adalah sebagai berikut: Ibnu Umar telah melihat bulan. Maka diberitahukannya hal itu kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW berpuasa dan beliau menyuruh orang-orang agar berpuasa pula” (Riwayat Abu Daud) “Dari Amir Mekkah, Al Harits Ibnu Hatib. Dia berkata, Rasulullah SAW telah memerintahkan kami supaya puasa dengan melihat bulan. Jika kami tidak dapat melihat bulan itu, supaya kami puasa dengan kesaksian dua orang yang adil (yang melihat bulan).” (Riwayat Abu Daud dan Daruqutni). Berpuasalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Ramadan) dan berbukalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Syawal). Maka jika ada yang menghalangi (mendung) sehingga bulan tidak kelihatan, hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (Bukhari) Jadi jangankan jika ada penduduk 1 negara berhari raya Idul Fitri, ada 2 orang saksi yang adil saja mereka juga turut merayakan Idul Fitri. Menurut paham Ru’yah Global tidak wajar jika ada penduduk 1 negara sudah merayakan hari raya Idul Fitri sementara yang lain masih berpuasa. “Abu Said Al Khudri ra berkata: “Bahwasanya Rasulullah SAW melarang puasa dua hari, yaitu pada hari raya Idul Fitri dan Hari raya Idul Adha”(Bukhari-Muslim). Di hadits yang lain ditambahkan bahwa barang siapa puasa pada Idul Fitri/Idul Adha berarti dia telah mendurhakai Nabi.
3
Ada juga yang berhari raya Idul Fitri mengikuti Pemerintah. Sudahlah, daripada ribut-ribut dan beda-beda, ikuti saja pemerintah. Kalau dosa juga kan yang menanggung pemerintah. Dalilnya adalah ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita agar mentaati ”Ulil Amri” ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An Nisaa’:59] Yang lain menafsirkan bahwa yang pertama ditaati adalah Allah, kemudian Rasulnya. Setelah itu baru mentaati Ulil Amri dengan syarat Ulil Amri tersebut mentaati perintah Allah dan Rasul. Apalagi di depan kata Ulil Amri tidak ditambahkan kata ”Athi’u” (taatilah). Jika tidak, tidak wajib bagi Muslim mengikutinya. Jika mengikuti malah bisa tersesat: ”Dan mereka berkata;:”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” [Al Ahzab:67] Jadi begitu ada yang mengaku telah melihat bulan, apalagi satu negara telah beridul Fitri, mereka segera mengikutinya. Paham Ru’yah Global juga menyatakan bahwa ummat Islam itu satu dan tidak terpecah-belah jadi banyak negara kecil seperti sekarang berdasarkan ayat: ”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara..” [Ali ’Imran:103] Islam tidak mengenal batas atau pemisahan dengan banyak negaranegara kecil. Hanya ada satu negara Islam yang meliputi seluruh dunia.
4
Nabi mengatakan, ”Jika ada seorang pemimpin, dan kemudian ada seorang lagi yang mengaku sebagai pemimpin, maka bunuhlah yang terakhir.” Perintah ini begitu tegas dan keras untuk menjaga kesatuan negara Islam. Pada zaman Nabi, para Khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan juga raja-raja Bani Umayyah (sebelum munculnya Daulah Bani Abbasiyah) hanya ada satu negara Islam. Pada paham Ru’yah Lokal, mereka mengakui pemecahan Islam menjadi banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Qatar, Kuwait, Arab Saudi, dsb. Tiap negara merayakan Idul Fitri sesuai dengan Ru’yah yang dilakukan masing-masing negara tersebut. Ada yang menyatakan wajar jika Idul Fitri di Indonesia beda dengan di Arab Saudi. Sholat Dzuhur saja kita tidak bisa kan pakai waktu Arab. Yang lain menyatakan bahwa beda waktu di Arab Saudi dengan Indonesia hanya 4 jam. Jadi seharusnya selisihnya hanya 4 jam. Bukan beda hari hingga 28 jam. Sebagai contoh, shalat Jum’at di Arab dan di Indonesia dilakukan pada hari yang sama, yaitu hari Jum’at. Hanya beda 4 jam. Kenapa hari Idul Fitri beda hari sampai 28 jam? Jadi itulah sebab mengapa perayaan Idul Fitri berbeda-beda antar negara Islam. Kita sendiri wajib mencoba mengetahui yang benar berdasarkan dalil Al Qur’an dan Hadits, sebab bagaimana pun juga tiap-tiap orang akan dimintai pertanggung-jawaban masing-masing. ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [Al Israa”36] Ijtihad manusia bisa berbeda-beda hasilnya. Meski demikian kita tetap harus bersatu dan menjaga ukhuwah Islamiyyah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT
5
Sumber: http://media-islam.or.id/2007/10/05/perbedaan-idul-fitri-hisabru’yah-lokal-dan-ru’yah-global/ ================================================= hp://sains.kompas.com/read/2010/11/16/09075675/Memahami.Perbedaan.Idul.Adha.1431.H 10-12222-2010 pukul 21.00
PENANGGALAN HIJRIAH
Memahami Perbedaan Idul Adha 1431 H Selasa, 16 November 2010 | 09:07 WIB
KOMPAS
• • •
Ijtimak Awal Zulhijah 1431 Hijriah 6 November 2010 pukul 15.52 WIB TERKAIT: Meneguhkan Semangat Berkurban Wukuf Tentukan Waktu Shalat Idul Adha Sebagian Umat Shalat Idul Adha Pagi Ini
6
M ZAID WAHYUDI KOMPAS.com - Potensi adanya perbedaan Idul Adha 1431 Hijriah sudah diprediksi para ahli hisab rukyat dan astronom sejak beberapa tahun lalu. Perbedaan itu terwujud saat ini dengan adanya sebagian umat Islam Indonesia yang memperingati Idul Adha pada Selasa ini, sama seperti di Arab Saudi, dan sebagian lagi Rabu esok. Melalui sidang isbat atau penetapan yang dilakukan Kementerian Agama dan dihadiri wakil berbagai organisasi massa Islam, pemerintah menetapkan Idul Adha 10 Zulhijah 1431 H jatuh pada 17 November 2010. Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama yang juga Profesor Riset Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin di Jakarta, Senin (15/11), mengatakan, secara teoretis atau hisab, bulan sabit tipis atau hilal tidak mungkin diamati pada 6 November karena ketinggiannya di atas ufuk masih di bawah dua derajat. Hal itu juga didukung dengan data pengamatan yang menunjukkan hilal belum bisa dilihat atau dirukyat di seluruh Indonesia. Dengan demikian, bulan Dzulqa’dah atau bulan ke-11 dalam kalender Islam dibulatkan menjadi 30 hari sehingga 1 Zulhijah bertepatan dengan 8 November. Di Indonesia, lanjut Djamaluddin, jika ada yang menetapkan Idul Adha pada 16 November, hal itu karena menggunakan kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal (tanpa perlu diamati) sehingga bulan Dzulqa’dah hanya 29 hari. Perbedaan lain muncul dengan ketetapan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan Idul Adha juga pada 16 November sehingga puncak ibadah haji berupa wukuf di Arafah dilakukan pada 9 November kemarin. Menurut Djamaluddin, keputusan Pemerintah Arab Saudi menentukan Idul Adha tahun ini tergolong kontroversial. Secara teoretis, hilal tidak bisa dirukyat pada 6 November di Mekah. Namun, ternyata otoritas setempat menentukan berbeda. Sebagai catatan, dalam keputusan penentuan hari raya, Pemerintah Arab Saudi sering kali digugat oleh para astronom di Timur Tengah dan kawasan lain. Meskipun Arab Saudi menggunakan metode melihat hilal untuk menentukan awal bulan, tapi sering kali hilal yang diklaim bisa dilihat itu secara teoretis astronomi tidak mungkin bisa dilihat. Garis penanggalan bulan Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama lainnya yang juga ahli kalender di Program Studi Astronomi, Institut Teknologi Bandung, Moedji
7
Raharto, mengatakan, garis penanggalan pada kalender Hijriah berbeda dengan garis penanggalan kalender Masehi. Garis penanggalan Masehi didasarkan pada patokan garis bujur timur atau garis bujur barat 180 derajat. Dalam penanggalan ini, daerah yang memiliki garis bujur sama atau berdekatan mulai dari kutub utara hingga kutub selatan akan selalu memiliki hari yang sama. Perubahan hari dimulai pada pukul 00.00. Daerah yang lebih timur juga dipastikan akan lebih dahulu waktunya dibandingkan daerah di baratnya. Karena itu, dalam sistem penanggalan Masehi, waktu di Jakarta atau waktu Indonesia barat (WIB) selalu empat jam lebih dulu dibandingkan waktu Mekkah. Namun, garis penanggalan bulan berbeda. Garis penanggalan bulan memiliki 235 variasi. Setiap bulannya, garis penanggalan bulan berbedabeda. Garis penanggalan bulan akan kembali di dekat tempat yang sama sekitar 19 tahun kemudian. Banyaknya variasi garis penanggalan bulan ini ditentukan oleh posisi Bulan terhadap Bumi, dan posisi sistem Bumi-Bulan terhadap Matahari. Daerah yang pertama kali melihat hilal akan mengawali hari lebih dulu. Hal ini berarti, daerah yang terletak pada garis bujur yang sama atau berdekatan, hari atau awal bulan Hijriahnya bisa berbeda. Hari dimulai setelah Matahari terbenam atau magrib, bukan pukul 00.00. Kondisi ini, lanjut Moedji, yang membuat waktu di Jakarta tidak selalu lebih dahulu dibanding Mekkah. Jika diasumsikan, hilal pada Zulhijah kali ini pertama kali dilihat di Mekkah, maka sesudah magrib atau sekitar pukul 18.00 di Mekkah sudah masuk bulan baru. Saat itu, di Jakarta sudah pukul 22.00 WIB. Baru pada magrib keesokan harinya, Jakarta memasuki Zulhijah. Artinya, pada bulan Zulhijah kali ini waktu di Jakarta tertinggal 20 jam dibandingkan waktu Mekkah. ”Dalam penanggalan Hijriah, waktu di Indonesia bisa jadi lebih dulu dibandingkan waktu di Arab Saudi. Namun, bisa jadi pula Arab Saudi lebih dulu dibanding Indonesia,” tambahnya. Menurut Moedji, perbedaan awal hari dalam kalender Hijriah inilah yang sering dipahami secara salah. Mereka beranggapan, karena waktu di Indonesia lebih cepat dibanding Mekkah, maka saat di Mekkah berhari raya, di Indonesia juga harus berhari raya. Padahal, konsep ini didasarkan atas pencampuradukkan konsepsi kalender Hijriah dan Masehi sehingga menimbulkan kerancuan. ”Umat Islam Indonesia harus memahami bahwa mereka menggunakan dua sistem kalender. Kalender Masehi untuk keperluan sehari-hari dan
8
kalender Hijriah untuk keperluan ibadah. Setiap kalender memiliki konsep dan konsekuensi masing-masing yang berbeda,” ungkapnya. Meskipun berbeda, baik Moedji maupun Djamaluddin mengajak umat Islam menghormati perbedaan yang ada. Kejadian ini harus kembali memacu umat Islam Indonesia untuk segera membuat kriteria penentuan awal bulan Hijriah secara bersama yang berlaku nasional. Jika sudah ada, maka konsepsi ini bisa disosialisasikan secara regional dan internasional sehingga diperoleh sistem penanggalan Hijriah yang bisa berlaku secara global. ”Sistem penanggalan Hijriah memang lebih kompleks dibandingkan penanggalan Masehi, tapi itu bukan berarti tidak bisa distandardisasi,” ujar Moedji