MENYOAL KRITERIA “IMKANUR RU’YAH” SEBAGAI PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H. Wakil Ketua Pengadilan Agama Watansoppeng Ummat Islam sering bersedih saat berlebaran, seorang suami yang sudah shalat idul fitri di lapangan, tetapi dirumah menemui kenyataan istri dan anak-anak masih berpuasa. Gagasan penyatuan kalender Islam telah bertahun-tahun diupayakan, tetapi hasilnya dead lock , seakan-akan mempersatukan ummat Islam yang dinyatakan oleh Allah sebagai “ummatan wakhidah” itu sulit duwujudkan, bagai mempersatukan minyak tanah dengan air, walaupun nampak sama-sama cair tapi tapi susah bersatu walau hanya untuk menentukan kapan tanggal 1 Syawal itu. Inilah sisi buruk ummat Islam, untuk meredam itu kadang ummat cukup dininabobokkan dengan hadits dlaif “ikhtilaafu ummati rahmatun”. Hampir dapat dipastikan untuk mengawali puasa Ramadlan 1433 H nanti ummat Islam akan berbeda lagi, hal ini disebabkan karena posisi hilal pada tanggal 29 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan tanggal 19 Juli 2012 di seluruh wilayah Indonesia tidak sampai 2° diatas ufuk saat matahari terbenam (ghurub). Untuk kota Makassar misalnya ghurub pada tanggal 19 Juli 2012 tersebut ketinggian hilal hanya 1°19’ diatas ufuk, Jakarta 1º47’, Yogyakarta 1º48’, Sabang 1º12’ dan Meraoke 0º 52’. Perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawwal sebagai tersebut diatas bagi ummat Islam bukanlah yang pertama kali, tetapi telah berkali-kali dan telah berjalan berpuluh-puluh tahun silam. Tanggal 25 April 2012 yang lalu, ada angin segar bagi kita ummat Islam, karena di Kantor Kementrian Agama Pusat di Jakarta, telah dihadirkan 60 perwakilan ormas Islam, Pondok Pesantren, para pakar hisab-rukyat dan instansi terkait; Bosscha ITB, LAPAN, BMKG dan Planetarium & Observatorium untuk menggagas terwujudnya Kalender Islam Tunggal, akan tetapi setelah dirumuskannya gagasan kesepakatan tersebut dalam butir-butir kalimat, lagi-lagi yang terjadi adalah ketidak sepakatan. Butir 2 dan 3 kesepakatan itu berbunyi : 2). Untuk menuju kesatuan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah dibutuhkan
3 prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pemberian dan pengakuan otoritas kepada lembaga tertentu (MUI sejauh ini memberikan otoritas tersebut kepada Kementerian Agama RI); 2) adanya kriteria yang disepakati; dan 3) adanya wilayah pemberlakuan hukum; 3) Sejauh ini belum ada kesepakatan butir kedua, yaitu mengenai kriteria awal bulan qomariyah. Untuk menuju ke sana, pihak-pihak yang hadir dalam forum setuju untuk membentuk tim kecil perumus kriteria yang terdiri dari perwakilan ahli hisab rukyat ormas dan instansi terkait, dengan difasilitasi oleh Kementerian Agama dan supervisi pimpinan ormas.
Dari butir-butir tersebut diatas disimpulkan, yang menjadikan ketidak sepakatan lagi-lagi adalah criteria ketinggian hilal sebagai dasar penentuan awal bulan yang biasa disebut “imkanur rukyat”. Problem Pemahaman Hadis Imam Syafi’i telah menanamkan pondasi epitimologis yang sangat kuat menghunjam di hati ummat Islam (fuqoha’) ketika beliau mengeluarkan kaidah fiqhiyah “ idza shahhal alhadits fahuwa madzhabiy”, bahwa “ketika sebuah teks (hadits) telah teruji dan terbukti keshahihannya itulah madzhabku”. Kaidah Syafi’i tersebut secara paradigmatic telah menggerakkan dunia intelektual Islam utamanya dibidang hukum. Sehingga ummat Islam (fuqoha’nya) berkutat dalam “tradisi tekstual”. Kebenaran hukum agama hanya bisa ditentukan sejauh mana kesesuaiannya dengan bunyi literal (teks) hadits, karena itu hadist shahih senantiasa dipegang teguh secara tekstual, tanpa memperhatikan latar belakang sejarah (sosio historis) yang meliputinya yang dalam bahasa ilmu musthalah hadits diistilahkan tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan “asbaabul wurud”nya. Paradigma Syafi’i tersebut telah sekian lama mendominasi dan menjadi world-view jalan pikiran ummat Islam dalam wacana hukum Islam, yang kemudian dalam tataran methodology hukum Islam, lahirlah kaidah ushuliyah “al-’ibrotu bi umumil lafdzi la bikhususi sababi”, yang dijadikan pegangan adalah bunyi tekstualnya buka latar belakang yang melingkupinya. Selain argumen pemikiran tersebut diatas ummat Islam juga berargumen dengan AlQuran surat Al-Qolam ayat ( )“wa maa yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuhaa”; Muhammad tidak mengatakan atas dasar hawa-nafsunya, tetapi semua yang dikatakan adalah semata-mata wahyu Allah”. Tidak bisa dibantah, bahwa hadits-hadits tentang ru’yat adalah shahih, Imam Bukhari dalam Shahihnya setidak-tidaknya memuat 3 buah hadist dari Sahabat Abdullah bin Umar 2 hadits dan dari Abu Hurairah 1 buah hadits, Imam Muslim dalam Shahehnya juga meriwayatkan haits yang sama, sedangkan dalam Musnad Ahmad terdapat sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas R.A. dan hadits-hadits tersebut sangat masyhur dikalangan ummat Islam, boleh dikatakan semua ummat Islam yang terpelajar mengatahui hadits “shuumu liru’yatihi wa afthiruu liru’yatih.. (al-hadits)”, karena hadits ini senantiasa diceramahkan dimasjidmasjid saat menyambut bulan ramadlan tiba. Perintah berpuasa ramadlan sebagai mana Allah firmankan dalam Q.S. Al-Baqarah 183 dan 185 tersebut, maksudnya adalah perintah berpuasa selama bulan ramadlan dari tanggal 1 sampai berakhir yaitu tanggal 29 atau boleh jadi sampai tanggal 30, yang menjadi persoalan adalah kapankan tanggal 1 Ramadlan dan atau 1 Syawwal itu ? Menentukan pergantian bulan qomariyah adalah domain “ilmu pengetahuan” bukan domain “kerasulan”. Penetuan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawal statusnya sama dengan menentukan tanggal 1 Muharram, 1 Safar, 1 Rabiulawal dan bulan lainnya, tidak ada bedanya. Manusia tidak memerlukan wahyu untuk itu, karenanya tidak diperlukan dalil
agama baik Al-Qur-an atau Hadits. Adanya hadits-hadits ”Shuumu liru’yatihi waafthiruu liru’yatihi….”, tidak harus dipedomani dalam menetukan tanggal 1 Ramadlan atau 1 Syawwal dengan alasan bahwa hadits tersebut merupakan reaksi basyariyah (sisi kemanusiaan) nabi terhadap laporan sahabat kepadanya bahwa ia telah melihat hilal, kemudian beliau member petunjuk (irsyaad), yang kalau kita terjemahkan secara bebas “kalau anda sudah dapat melihat hilal, berarti bulan Sya’ban sudah habis, sekarang sudah masuk tanggal 1 Ramadlan, maka berpuasalah, nanti juga begitu, kalau kalian sudah dapat melihat hilal berarti habislah bulan Ramadlan dan masuk tanggal 1Syawwal, maka berbukalah. Demikianlah maksud hadits tersebut. Latar Belakang Budaya Masyarakat Arab Jauh sebelum nabi Muhammad diutus, masyarakat arab tentunya sudah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam menentukan pergantian bulan qomariyah (lunar system) yang jumlahnya 12 itu. Masyarakat Arab adalah masyarakat yang sangat sederhana, sangat berbeda dengan masyarakat disekitarnya misalnya Mesopotomia (Mesir) yang sejak 3000 tahun sebelum masehi mereka sudah jauh lebih maju bahkan mereka sudah dapat membuat piramida; Persia dan Rumawi adalah Negara superpower ang jauh lebih maju dari dunia arab. Masyarakat arab dimasa Rasulullah benar-benar sederhana (ummiy), mereka belum menemukan teknologi apapun, “roda” saja mereka belum mengenal, padahal roda itu suatu penemuan yang amat membantu kehidupan manusia. Dengan roda system transformasi manusia lebih efektif dan effesien, sehingga alat tranformasi masyarakat arab satu-satuinya adalah hewan, kuda, unta, bighal/keledai, khimar tidak mengenal gerobak, pedati/dokar. Kesederhanaan masyarakat arab dijelaskan oleh Al-Qur-an, sehingga Al-Quranpun menggunakan bahasa yang sederhana dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Pola hidup mereka juga sederhana, semua permasalahan hidupnya senantiasa ditanyakan kepada nabi, sehingga dalam Al-Qur-an banyak ayat-ayat didahului dengan kata-kata “Yas aluunaka ‘anil ahillah, yasalunnaka ‘anil makhiid, yasaluunaka ‘anir ruuh, ya’alunaka ‘anil anfaal, dll ‘. Disaat mereka bertanya tentang ketentuan puasa kapan mulai dan kapan mereka dapat berbuka, Allahpun menerangkan dengan bahasa yang amat-amat sederhana sebagaimana disebut dalam Surat Al-Baqoroh ayat 187: “kuluu wasyrabuu hatta yatabayyana lakumul haithul abyadu minal haitil aswadi minal fajar” artinya : “Makan dan minumlah kalian sampai kamu dapat membedakan benang putih dengan benang merah pada waktu fajar”. Untuk melaksanakan ketentuan ini terdapat riwayat bahwa para sahabat menjelang tidurnya telah menyiapkan dua benang, berwarna hitam dan putih, saat dia bangun malam karena belum ada lampu listrik, belum ada jam dinding, belum ada radio, belum ada televisi belum ada hand phon untuk bertanya kepada sahabat yang lain saat dia bangun tidur. Maka yang dia lakukan adalah upaya membedakan warna benang yang telah disediakan itu, mana yang hitam dan mana yang putih, Jika mereka sudah bisa membedakan maka dia imsak. Itulah keadaan sahabat saat itu, sehingga gejala alam merupakan pedoman mereka. Nabi sendiri tidak mengerti ilmu hisab, dan hal ini tidak menurunkan derajad nabi sebagai Rasulullah. Saat terjadi gerhana nabi tidak menyinggung sama sekali sebab-sebabnya menurut ilmu pengetahuan, nabi hanya menjelaskan itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah,
kerjakan shalat, berbanyak-banyaklah beristighfar dan bershodaqoh, itulah tugas Rasul, Nabi adalah ummiy masyarakatnya juga ummy yang tidak pandai menulis dan ilmu hitung (hadits Ibnu Abbas). Kalau boleh mengandai-andai, seandainya saat Rasulullah masih hidup dan pada saat itu sudah ada yang tahu ilmu hisab, maka Nabi akan mempedomani hisab “Ijtima’” sebagai pedoman penetapan tanggal baru tiap bulan bukan lagi atas dasar melihat hilal. Tanggalkan hadits itu, yang berhak menentukan pergantian bulan qomariyah baik 1 Ramadlan, 1 Syawal atau bulan-bulan lainnya itu tugas ilmuwan, Nabi sendiri sudah pernah menyatakan ” Antum ‘a’lamu bi umuri dunyakum”; Keterjagaan Rasulullah Dari Kesalahan Berdosakah kita mengabaikan hadits-hadits shahih tentang “ru’yah” tersebut: Kema’suman Rasulullah S.A.W. (Al-‘Ishmah) tidak dalam semua aspek perbuatannya, tetapi terbatas dalam hal-hal menyampaikan Al-Qur-an yang diwahyukan kepadanya dalam susunan kata dan maknanyasekaligus, persis sebagaimana beliau menerimanya dari Allah dalam bentuk kata dan ujaran dan beliau terjaga dalam tugasnya dalam menyampaikan risalah kepada manusia. Dan Rasulullah terjaga (tidak terjerumus) ke dalam tindakan haram dan tidak melampaui batas-batas yang ditentukan Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
. )*&+,- ( "#$%&' ! ;<#1 )☺%: 45)6#7% 123 /&'0 F( "☺DE6 C0 B =?@%)40 KL 3 H/&' J HHI PQR NO7 %J# M4%'# Artinya : Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-Maidah 67);
Oleh karena itu ketaan kepada Nabi Muhammad S.A.W. adalah dalam dataran Ar-Risalah atau fungsinya sebagai seorang rasul atau pembawa risalah, tidak dalam dataran dan kapasitas beliau sebagai manusia. Dalam masalah-masalah duniawi apalagi masalah teknis duniawi nabi tidak memiliki sifat “ishmah” atau nabi tidak makshum, contoh: 1. Hadits nabi kepada petani kurma di Madinah, supaya mereka mengawinkan bunga jantan dan bunga betina, ternyata hasilnya tidak lebih bagus, sehingga para petani mempertanyakan perintah Nabi tersebut, lalu Nabi bersabda ” Inkaana min umuri dinikum fa ilayya, in kana min umuri dunyakum faantu a’lamu biumuri dunyaakum”;
2.
3.
4.
5. 6.
Hadits-hadits nabi tentang menyusun pertahanan dan siasat dalam peperangan, setelah mendapat koreksi dari sahabat, Nabipun mengikuti pendapat sahabat yang dirasa lebih strategis dan masuk akal; Hadits nabi dalam memeriksa, mengadili dan memeutus terhadap 2 (dua) orang yang sedang bersengketa dihadapannya, nabi kemudian menyatakan “Innama ana basyarun mitslukum…. , dst; Sesungguhnya aku adalah manusia biasa seperti kalian… dst” Hadits nabi,tentang peristiwa desas-desus bahwa sebagian sahabat-sahabat di Madinah ( yang punya anak perempuan) sangat berkeinginan agar sahabat Ali bin Abi Thalib mau mengawini putrinya (berpoligami) padahal beliau adalah suami Fathimah binti Muhammad S.A.W.; Mendengar berita ini, nabi berkeberatan dan beliau bersabda “ Fathimah adalah darah dagingku barang siapa yang menyakitinya sama halnya menyakitiku !”; Pernyataan nabi ini dalam perspektif ushul fiqih tidak dapat dijadi dasar hokum bahwa nabi tidak menyetujui poligami, karena sikap demikian adalah “Jibilliyah” sifat dari seorang manusia. Keberatan nabi itu bukan cerminan dari sikap nabi sebagai Rasulullah, tetapi sikap nabi sebagai seorang bapak yang tidak tega melihat anaknya dimadu. Hadits nabi tentang, bahwa nabi bersedih dan bahkan juga menangisi putranya bernama Ibrahim yang meningal dunia, menangisnya Rasulullah tidaklah harus diteladani pula. Dan lan-lain hadits yang tidak mungkin disebutkan dalam pembahasan ini.
Implementasi Hadis Rukyah Dalam hal-hal penting berkaitan dengan agama, nabi biasanya membentuk ekspidisi guna mengurus/menjalankan sesuatu, penentuan 1 Ramadlan dan 1 Syawal adalah amat penting, karena menyangku ibadah, tetapi tidak ada riwayat bahwa khulafaur-rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib pada masa pemerintahannya menindak lanjuti perintah nabi tersebut. Juga tidak ada riwayat bahwa para sahabat berbondong-bondong mengintai hilal, Padahal para sahabat adalah manusia yang paling antusias dan gemar menjaga dan melaksanakan perintah Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Mereka adalah manusia yang paling tahu tentang teks-teks sunnah dan amat peka terhadap apa yang dimaksud Rasulullah kemudian mereka akan bergegas melaksanakan perintah itu. Meraka adalah orang-orang yang menyaksikan dari hari ke hari bersama Rasulullah meskipun sunah-sunah tersebut saat itu tidak ditulis (terkodifikasi). Tetapi tidak ada sebuah riwayatpun bahwa para sahabat menindak lanjuti perintah ru’yat itu seperti yang dilakukan orang sekarang. Ini menunjukkan bahwa perintah nabi tersebut difahami oleh para sahabat hanya berfungsi irsyad (petunjuk), sekaligus mengindikasikan bahwa menetukan pergantian bulan tersebut diserahkan kepada manusia dan kebiasaan-kebiasaan mereka bukan tugas kerasulan. Puasanya memang ta’abbudi tetapi penetuan tanggal 1 Ramadlan dan tanggal 1 Syawal adalah ta’aqquli. Selama ummat Islam dalam menentukan pergantian bulan qomariyah untuk bulan Ramadlan dan Syawal dianggap sebagai masalah ta’abbudi sehingga harus berpegang pada hadist-hadits tentang “ru’yah”, maka selama itu pula akan terjebak pada perbedaan, karena akan tetap terikat menggunakan kriteria ketinggian hilal sebagai tafsir kata “ru’yah”; yang harus diartikan “imkanur rukyah”, ketinggiannya semula disyaratkan 8 derajat, kemudian turun 6 derajat, kemudian turun 4 derajat, sekarang populer cukup 2 derajat, karena
ketinggian 2 derajat juga susah ditemukan, maka kemudian naik lagi menjadi 3,5 derajat dan seterusnya dan seterusnya. Ilmu Pengetahuan Adalah Kesepakatan Dalam kulliyah Al-Islam sering dinyatakan bahwa kebenaran agama berbeda dengan kebenaran ilmu pengetahuan. Kebanaran agama bersifat mutlak sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan adalah bersifat nisbi, sehingga kebenaran ilmu pengetahuan terus berproses. Kebenaran pergantian bulan ditandai dengan terlihatnya “hilal” adalah kebenaran ilmiyah, bukan kebenaran agama. Oleh karena itu dapat berubah asal disertai dengan bukti-bukti yang logis dan ilmiyah. Jika kita beranggapan bahwa menentukan tanggal 1 Ramadlan dengan dapatnya melihat “hilal” itu adalah kebenaran agama yang tidak perlu berproses, maka kita tinggalkan saja hisab. Hal tersebut akan bertentangan dengan fakta ilmu pengetahuan bahwa perjalan bulan dan matahari dapat dikethui oleh manusia secara pasti, sehingga ilmu hisab tersebut disebut “ilmu pasti”. Mencari tahu kapan terjadinya pergantian bulan qomariyah adalah mencari kebenaran ilmiyah bukan kebenaran agama, yang diperlukan adalah dasar-dasar dan alasan yang logis dan ilmiyah sehinga dapat diterima oleh orang sebanyak-banyaknya, syukur jika kemudian menjadi “kesepakatan”. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak memerlukan dalil agama (AlQur-an atau Hadits). Contoh : 1. 4 x 4 = 16 (enam belas) yang diperlukan adalah kesepakatan ilmiyah; 2. Garis meredian yang melalui kota Grenwicg, adalah sebagai garis meridian 0 (nol) derajat adalah juga kesepakatan ; 3. Matahari beredar dalam orbitnya dari arah barat ke timur menempuh lingkaran besar 360 derajat, yang kemudian kembali pada posisnya semula selama 1 (satu) tahun, adalah kesepakatan ilmiyah; 4. Bulan beredar dalam orbitnya dari arah barat ke timur, mengitari bumi menempuh lingkaran besar 360 derajat adalah kesepakatan ilmiyah; 5. Matahari dan bulan beredar dalam orbitnya masing-masing setiap bulan akan bertemu dalam satu garis ekleptika di langit yang kemudian dikenal dengan istilah konjungsi (ijtima’) adalah kesepakatan ilmiyah yang tidak memerlukan wahyu (teks suci); Hal-hal sederhana diatas, kiranya membuka pikiran kita bahwa masalah ilmu pengetahuan yang paling diperlukan adalah “kesepakatan”. Kesepakatan itu akan terjadi jika orang lain bersedia menerima, maka yang diperlukan adalah kebenaran (ilmiyah) itu dilandasi atas alasan-alasan logis dan ilmiyah. Fenomena Ijtima (Conjungtion). Ijtima (konjungsi) terjadi dalam satu kali sebulan dan itu pasti serta pada saat yang sama di seluruh dunia, jikalau terdapat perbedaan karena perbedaan sistem, maka hal tersebut tidak berpengaruh banyak karena dalam hitungan menit saja, bahkan jika menggunakan hisab haqiqi bit-tahqiq (kontemporer) seperti Jhon Meus, Nautical Almanac, Ephimeris Sistem, New Com, maka perbedaan itu dalam hitungan detik, sehingga tidak ada pengaruh yang
signifikan. System ijtima’ memiliki criteria-criteria yang signifikan dan lebih bisa meminimalisir perbedaan, karena dengan sistim ijtima’ mempersempit lokasi/daerah kritis (batas tanggal), karena daerah kritis adalah daerah yang ghurubnya bersamaan dengan terjadinya ijtima’, kalau misalkan berdasarkan hisab ijtima terjadi pada jam 16.43’.12” WITA, sedangkan ghurub (maghrib) untuk kota Makassar juga pada jam 16.43’.13” maka hanya kota Makassar saja dearah kritis, tidak termasuk kota Bone, kota Wajo, kota Sengkang, kota Pare-Pare, kota Soppeng dll, karena berdasarkan perhitungan hisab ghurubnya (maghribnya) kota-kota tersebut sudah berbeda walaupun hitungan detik (subhanallah). Itulah kelebihan bila kita menggunakan paradigm ijtima’ sebagai batas awal dan akhir bulan qomariyah. Ilmu hisab kini telah merambah dunia dan bukan ilmu yang sulit, manusia telah dapat menyusun kalender yang dipercayai, tetapi tetap saja setiap tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal senantiasa menjadi pergunjingan seakan-akan tidak lagi percaya dengan kalender yang telah dibuat. Hal tersebut karena kita berpegang pada paradigma yang parsial, untuk tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal itu adalah ibadah (ta’abbudi). Sedangkan untuk 1 Muharram, 1 Safar, 1 Dzulqo’dah adalah dunmiawi (ta’aqquli). Puasanya ibadah untuk menentukan tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawwal bukan ibadah. Kesimpulan: 1. Menentukan awal bulan qomariyah termasuk bulan Ramadlan dan Syawwal adalah masalah ta’akkuli, tidak perlu pedoman dalil agama (Al-Qur-an maupun Hadits); Nabi sendiri menyatakan ” antum a’lamu bi umuuri dunyakum. 2. Perintah nabi memulai puasa kalau sudah melihat hilal, adalah reaksi basyariyah (kemanusiaan) nabi, yang saat itu masyarakat memahami pergantian bulan ditandai dengan terlihatnya hilal; 3. Para sahabat adalah manusia yang paling antusias dan serius menindak lanjuti perintah nabi, tetapi mereka tidak membentuk kelompok-kelompok untuk ru’yat, hal ini dapat diartikan bahwa perintah nabi tersebut hanya “irsyad”. 4. Gerakan “merukyat hilal” tidak ada landasan perintahnya dari sunnah, tidak efektif dan cenderung tabdzir (pemborosan) karena sudah ada hisab yang lebih bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiyah. Sulitnya merukyah hilal, menjadikan penyebabkan ketidak percayaan kepada hasil hisab. 5. Methode hisab yang telah berjalan selama ini secara ilmiyah dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan telah dipercayaai sebagai penentuan waktu. Maka seharusnya ummat Islam juga menerima penetapan pergantian bulan atas dasar hisab; 6. Ijtima’ (konjungsi) sebagai fenomena yang spesifik, karena terjadi sekali setiap bulan saatnya hanya satu, sehingga penyusunan kalender dan penentuan “awal dan akhir” bulan qomariyah lebih logis, ilmiyah dan rasionil bila atas dasar paradigma ijtima’; 7. Selama ummat Islam masih mempedomani hadist-hadits ru’yah sebagai dasar pergantian bulan Sya’ban ke Ramadlan atau Ramadlan ke Syawwal, selama itu pula akan terikat dengan kriteria-kriteria ketinggian hilal, akibatnya selama itu tidak akan menemukan titik temu. Catatan :
Wacana diatas telah banyak dibenak ummat Islam, namun selama dalam sidang-sidang “istbat hilal”, tidak ada ormas yang berani melontarkan gagasan mengesampingkan hadits-haidits tentang rukyat, karena resiko organisasinya bisa dapat stigma negative ” ingkarus-sunnah” atau Jaringan Islam Liberal (JIL) atau mungkin bisa saja “kafir” (takfir);