PERBANYAKAN DAN INDUKSI UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH SECARA IN VITRO
DINY DINARTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul: PERBANYAKAN DAN INDUKSI UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH SECARA IN VITRO adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, bukan hasil jiplakan atau tiruan serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Diny Dinarti NIM A361030051
ABSTRACT DINY DINARTI. In Vitro Propagation and Micro Bulb Induction of Shallot. Under direction of BAMBANG SAPTA PURWOKO as chairman, AGUS PURWITO and ANAS DINURROHMAN SUSILA as members of the advisory committee.
Shallot growers use harvested bulbs as propagules for the next planting. The use of the bulbs may cause degenerative diseases. Therefore, propagation system of shallot must be sought. A series of experiments were conducted in the Department of Agronomy and Horticulture IPB and the University of Queensland from May 2007 to July 2011. The first objective in this experiment was to determine the effect of explant storage duration on in vitro shoot multiplication of shallot. The experimental results showed storage length affected the growth of culture. Twomonth stored bulbs gave the best results on the number of micro shoots, number of leaves and roots and less vitrification. Four-week-old shoots were the best used for micro-propagules in shallot micro bulb induction. The objective of the second experiment was to determine the effect of temperature on the formation of shallot micro bulbs. It was shown that room temperature influenced the number of micro bulb, bulb base diameter, the widest diameter, ratio of the widest diameter and the base diameter of shallot micro bulb (Dt / Dp), root length, shoot length, number of leaves, number of senescing leaf. Temperature of 30/27 °C was better than 20/17 oC in accelerating the process of micro-bulb formation and increased the size of shallot micro bulbs. The objective of the third experiment was to determine the effect of sucrose and paclobutrazol on micro bulb induction. No interaction between sucrose and paclobutrazol was shown. Sucrose affected plant height, number of senescing leaf, root number, root length, the weight of plantlets and micro bulb widest diameter. Sucrose concentration of 90 g L -1 was the best in inducing shallot micro bulbs. Paclobutrazol significantly affected plant height, number of senescing leaf, number and length of roots. Paclobutrazol at level 10 mg L-1 inhibited plant height, leaf number and root length. Paclobutrazol 0.1-10 mg L-1 shortened root length. Paclobutrazol at concentration of 1 and 10 mg L-1 produced an abnormal form of micro bulb. The objective of the fourth experiment was to determine the success of shallot shoot and micro bulb acclimatization. At this stage of acclimatization, micro bulbs could be successfully grown for 3 weeks after acclimatization. Micro bulb was better in acclimatization than rooted plantlet. Plants may be transplanted to the field at 2 weeks after acclimatization. It is concluded that bulb stored for two months was the best for shoot multiplication. Media MS+vit B5 and 90 g L-1 sucrose at 30 oC was the best for bulb induction. Paclobutrazol should not be used for bulb induction. Bulb was better acclimatized than planlet. The media for acclimatization was green leaf compost and husk charcoal.
Key words: Shallot (Allium ascalonicum L.), micro bulb, explant age, room temperature, sucrose, paclobutrazol.
RINGKASAN DINY DINARTI. Perbanyakan dan Induksi Umbi Lapis Mikro Bawang Merah secara In Vitro. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO sebagai ketua, AGUS PURWITO dan ANAS DINURROHMAN SUSILA sebagai anggota komisi pembimbing. Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran penting di Indonesia. Masalah yang dihadapi petani bawang merah pada umumnya adalah ketersediaan bibit yang berkualitas. Petani pada umumya menggunakan bibit dari hasil pertanaman sebelumnya. Hal ini dapat mengakibatkan penyakit degeneratif yang akan menurunkan pertumbuhan dan produksi bawang merah di lapangan. Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendapatkan metoda perbanyakan bibit bawang merah yang mendukung penyediaan bibit berkualitas dari laboratorium sampai lapangan. Salah satu faktor yang memengaruhi morfogenesis kultur adalah umur eksplan. Umbi lapis bawang merah untuk bibit mengalami penyimpanan pada suhu tinggi (30-45 oC) selama 2-4 bulan. Tunas in vitro yang sesuai akan dijadikan sebagai propagul untuk diinduksi menjadi umbi lapis mikro. Induksi umbi lapis mikro pada famili Alliaceae dipengaruhi suhu, sukrosa, giberelin, dan cahaya. Tujuan pertama dalam percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh umur eksplan dalam perbanyakan tunas in vitro bawang merah. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang disusun dalam faktor tunggal yaitu umur simpan. Umur simpan umbi lapis terdiri atas empat taraf yaitu 1, 2, 3 dan 4 bulan simpan. Eksplan yang ditanam dalam media perbanyakan adalah setengah bagian umbi lapis yang mengandung cakram umbi (basal plate) yang terdiri atas dua lapisan terdalam umbi lapis. Setiap perlakuan diulang sebanyak 16 kali, sehingga terdapat 64 satuan percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanam satu eksplan. Hasil percobaan menunjukkan umur simpan berpengaruh terhadap pertumbuhan kultur. Umur simpan umbi lapis dua bulan memberikan hasil terbaik terhadap peubah jumlah tunas mikro (3.6), jumlah daun, dan akar dan sedikit terdapat vitrifikasi. Tunas mikro yang berumur empat minggu di media perbanyakan terbaik dipergunakan untuk propagul dalam pengumbian mikro bawang merah. Percobaan kedua dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh suhu ruang kultur terhadap pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang disusun dalam faktor tunggal yaitu suhu ruang kultur. Suhu ruang kultur terdiri atas dua taraf yaitu 20/17 dan 30/27 oC. Eksplan yang dipergunakan dan ditanam pada media pengumbian yaitu tunas mikro. Setiap perlakuan diulang sebanyak 39 kali sehingga terdapat 78 satuan percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanam satu eksplan. Hasil percobaan menunjukkan suhu ruang kultur berpengaruh terhadap jumlah umbi lapis mikro, diameter pangkal umbi lapis mikro, rasio Diameter terlebar (Dt) umbi lapis mikro dengan Diameter pangkal (Dp) umbi lapis mikro (Dt/Dp), panjang akar, panjang tunas, jumlah daun, jumlah daun senesen. Suhu 30/27 oC nyata mempercepat proses pembentukan umbi lapis mikro dan meningkatkan ukuran umbi lapis mikro bawang merah. Kriteria umbi lapis mikro pada bawang adalah yang mencapai
rasio Diameter terlebar (Dt) umbi lapis mikro dengan Diameter pangkal (Dp) umbi lapis mikro (Dt/Dp) > 2. Percobaan tiga bertujuan untuk mengetahui pengaruh sukrosa dan paclobutrazol terhadap pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang disusun secara faktorial dua faktor, yaitu sukrosa dan paclobutrazol. Sukrosa terdiri atas lima taraf yaitu 30, 60, 90, 120 dan 150 g L-1 dan paclobutrazol terdiri atas empat taraf yaitu 0, 0.1, 1 dan 10 mg L-1. Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10 kali sehingga terdapat 200 satuan percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanam satu tunas mikro. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat interaksi antara sukrosa dan paclobutrazol, dan perlakuan hanya berpengaruh secara tunggal. Sukrosa berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun senesen, jumlah akar, panjang akar, bobot planlet dan diameter umbi lapis mikro terlebar. Konsentrasi sukrosa 90 g L-1 terbaik dalam menginduksi umbi lapis mikro bawang merah. Pemberian paclobutrazol berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun senesen, jumlah dan panjang akar. Pemberian -1 paclobutrazol pada taraf 10 mg L menghambat tinggi tanaman, jumlah daun senesen dan panjang akar. Pemberian paclobutrazol 0.1-10 mg L-1 menurunkan panjang akar. Pemberian paclobutrazol pada konsentrasi 1 dan 10 mg L-1 menghasilkan bentuk umbi lapis mikro bawang merah yang abnormal. Disarankan dalam pengumbian mikro bawang merah paclobutrazol tidak digunakan. Percobaan empat bertujuan untuk mengetahui keberhasilan hidup dan pertumbuhan planlet tunas mikro dan umbi lapis mikro bawang merah pada tahap aklimatisasi. Planlet tunas mikro dan umbi lapis mikro bawang merah yang diperoleh sebelum ditanam dibersihkan dari agar-agar yang menempel dan direndam dalam larutan fungisida (Dithane M-45 dan Agrimicin masing-masing 2 g L-1) selama 1 menit dan ditiriskan. Planlet tunas mikro ditanam pada media kompos daun hijau, cocopeat dan arang (1:1:1), planlet disungkup dengan botol kultur steril dan diletakkan pada tempat dengan naungan 60%. Umbi lapis mikro ditanam di media tanam dengan komposisi kompos daun hijau dan arang sekam dengan perbandingan 1:1 tanpa disungkup dan diletakkan di rumah plastik dengan naungan 40%. Hasil penelitian menunjukkan umbi lapis mikro lebih mampu beradaptasi dibanding planlet tunas mikro selama 3 minggu aklimatisasi. Umbi lapis mikro selama 3 minggu setelah aklimatisasi memperlihatkan pertambahan daun, tunas dan tinggi tanaman. Bibit dapat dipindahtanam ke tahap pembibitan selanjutnya pada umur 2 MSA. Dari rangkaian penelitian ini dapat disimpulkan umbi lapis bawang merah yang disimpan selama dua bulan terbaik untuk multiplikasi tunas. Media MS+ vitamin B5+ 90 g L-1 sukrosa pada 30 oC terbaik menginduksi umbi lapis mikro. Paclobutrazol seyogyanya tidak digunakan dalam menginduksi umbi lapis mikro. Umbi lapis mikro lebih baik dalam aklimatisasi dibanding planlet. Media aklimatisasi yang sebaiknya dipakai adalah kompos daun hijau dengan arang sekam perbandingan 1:1. Kata Kunci : Bawang merah (Allium ascalonicum L.), umbi lapis mikro, umur eksplan, suhu ruang kultur, sukrosa, paclobutrazol.
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip, sebagian atau seluruhnya dari karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERBANYAKAN DAN INDUKSI UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH SECARA IN VITRO
DINY DINARTI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi, Departemen Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Ujian Tertutup Penguji Luar Komisi: 1. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. Staf Pengajar, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB 2. Dr. Ir. Darda Efendi, MS. Staf Pengajar, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB
Ujian Terbuka Penguji Luar Komisi: 1. Prof (Riset). Dr. Ir. Ika Mariska, MSc. Ahli Peneliti Utama, Balai Besar Pengembangan dan Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Kementerian Pertanian 2. Prof (Emeritus). Dr. Ir. Gustaf Adolf Wattimena, MSc. Staf Pengajar, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB
Judul Disertasi
:
Perbanyakan dan Induksi Umbi Lapis Mikro Bawang
Merah secara In Vitro
Nama
:
Diny Dinarti
NIM
:
A361030051
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, MSc. Ketua
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Anggota
Dr. Ir. Anas D. Susila, MS. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
Tanggal Ujian: 12 Januari 2012
Tanggal Lulus: 30 Januari 2012
PRAKATA Bismillahirrahmanirrahiim. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan petunjuk-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabatnya dan orang-orang beriman. Disertasi dengan judul “Perbanyakan dan Induksi Umbi Lapis Mikro Bawang Merah secara In Vitro” disusun dalam beberapa percobaan yang dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB dan Tissue Culture Laboratory, School of Land, Agriculture, and Food Science, University of Queensland. Paper tentang Pengaruh Umur Eksplan dalam Perbanyakan Tunas Mikro dan Suhu Ruang Kultur terhadap Pembentukan Umbi Mikro Bawang Merah secara In Vitro yang merupakan bagian dari disertasi dipublikasikan di Jurnal Agronomi Indonesia volume XXXIX(2):97-102 pada bulan Agustus 2011. Judul artikel yang sama juga telah dipresentasikan di Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura Indonesia 2011 pada 23-24 November 2011 di Balai Tanaman Sayuran Lembang, Jawa Barat Disertasi ini dapat diselesaikan atas bantuan berbagai pihak. Penghargaan dan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. H. Bambang S. Purwoko, MSc. sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Agus Purwito, MSc., dan Dr. Ir. Anas D. Susila, MS., sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan, motivasi dan dorongan selama penelitian dan penulisan disertasi. Berbagai pihak telah banyak membantu sehingga penelitian dan penulisan disertasi dapat diselesaikan. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1.
Kementerian Pendidikan Nasional cq. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas beasiswa BPPS yang penulis terima pada tahun 2003-2006, dan beasiswa sandwich-like pada tahun 2008
2.
Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura melanjutkan studi program Doktor
atas pemberian izin untuk
3.
Staf Pengajar Departemen Agronomi atas, bantuan, kerjasama, dukungan dan pengertiannya dalam tugas penulis sebagai staf pengajar dan selama penyelesaian studi.
4.
Dr. Ketty Suketi, Dr. Ani Kurniawati, atas persahabatan yang begitu manis selama penulis menyelesaikan studi, Dr Winarso, Dr Sugiyanta atas bantuan bibit bawang merah untuk keperluan penelitian, Dr. Dewi Sukma, Dr Armini, Dr Nurul, Dr Sandra, Ir Megayani MS, Dr Trikosoemaningtyas, Prof Dr Munif Ghulamahdi, juga rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas dukungan dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan studi
5.
Prof. Richard R. William PhD atas izin melakukan penelitian di Tissue Culture Laboratory, School of Land, Agriculture, and Food Science, University of
Queensland, dan
J. J Ross, PhD.
dari University of
Tasmania atas bantuannya untuk analisis giberelin 6.
Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS. dan Prof. Dr. Ir. Nurhayati A. Mattjik, MS. sebagai penguji Luar Komisi, yang telah bersedia menjadi penguji pada Ujian prakualifikasi Program Doktor di IPB
7.
Andi M. Septiari, SP., Royno , SP., Monica Fardani, SP., Parsini, SP., Dwi Pangesti, SP., Ika Okhtora Angelina SP., Ray Tiran, SP., Iis Rahmawati SP., Purnawati SP., Nur Indah SP., Masʼul Hadi SP., Yayu Alitalia, SP., Nita SP., Paramita SP., Rara Puspita, Meyga Semarayani dan Ita atas semua bantuan dan kerjasamanya
8.
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc., Dr. Ir. Darda Efendi, MS. sebagai penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Eny Widayati, MS., sebagai wakil Program Studi yang telah menguji penulis pada Ujian Tertutup Program Doktor di IPB
9.
Prof (Riset). Dr. Ir. Ika Mariska, MSc., dan Prof (Emeritus). Dr. Ir. Gustaf Adolf Wattimena, MSc., yang telah bersedia menguji penulis pada Ujian Terbuka Program Doktor di IPB
10. Teman-teman yang melaksanakan penelitian di Laboratorium Bioteknologi atas saran dan dukungannya selama penelitian berlangsung 11. Ayahanda Isak Wantamadsari (alm.) dan ibunda Nani Sulaeman tercinta, atas semua kasih sayang, didikan dan doa yang tidak putus. Adik-adikku
(Riky, Budi, Dikdik, Lala) atas kasih sayang, pengertian, dukungan, dan doanya. Keluarga besar Wantamadsari dan Sulaeman yang tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu atas dukungan dan doanya 12. Anak-anakku yang membanggakan : Ananda Fitriyanti Nurhandini, M Iqbal Fazlurrahman, M. Naufal Rayhan, M. Arya Ghifari atas semua dukungan, kasih sayang, kesabaran, pengertian, dan doa yang mengalir sepanjang waktu 13. Berbagai fihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian studi penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam disertasi ini Semoga kebaikan dari berbagai fihak akan menjadi amal baik dan Allah SWT membalas semua kebaikan dengan sebaik-baik balasanNya. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin. Bogor, Januari 2012 Diny Dinarti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 8 April 1966 sebagai anak pertama dari pasangan Isak Wantamadsari (alm.) dan Nani Sulaeman. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan program Magister Sains di Program Studi Agronomi, Program Pascasarjana IPB. Pada tahun 2003 penulis berkesempatan melanjutkan studi ke program Doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama. Selama melaksanakan studi penulis mendapatkan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional pada tahun (2003-2006), beasiswa sandwich-like pada tahun 2008 ke University of Queensland selama 3.5 bulan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB sejak tahun 1992 sampai sekarang. Sesuai dengan pengembangan staf dan bidang ilmu di Departemen, penulis menjadi anggota Bagian Bioteknologi Tanaman. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi berjudul Pengaruh Umur Eksplan dalam Perbanyakan tunas mikro dan Suhu Ruang Kultur dalam Pembentukan Umbi Mikro bawang Merah secara In Vitro telah diterbitkan di Jurnal Agronomi Indonesia pada volume XXXIX( 2):97-102 pada bulan Agustus 2011 dan artikel dengan judul yang sama telah disajikan di Seminar Nasional PERHORTI di Bandung pada bulan November 2011.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………..
xix
DAFTAR GAMBAR……………………………………………..
xxi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………...
xxiii
PENDAHULUAN………………………………………………..
1
Latar Belakang……………………………………………
1
Tujuan Penelitian…………………………………………
4
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….
7
Botani dan Manfaat Bawang…………………………….
7
Ekologi Bawang Merah....................................................
9
Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Bawang......
10
Biokimia Pengumbian Tanaman Bawang........................
14
Kultur Jaringan Famili Alliaceae......................................
15
Aklimatisasi…..………………………………………….
18
PENGARUH UMUR SIMPAN UMBI TERHADAP
21
PERBANYAKAN TUNAS MIKRO BAWANG MERAH…….. Abstrak………………………………………………….
21
Abstract………………………………………………….
21
Pendahuluan……………………………………………..
22
Bahan dan Metode……………………………………….
23
Hasil dan Pembahasan…………………………………..
25
Kesimpulan………………………………………………
32
Saran……………………………………………………..
32
PENGARUH SUHU RUANG KULTUR TERHADAP
33
PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH… Abstrak…………………………………………………….
33
Abstract……………………………………………………
34
Pendahuluan……………………………………………….
34
Bahan dan Metode…………………………………………
35
Hasil dan Pembahasan…………………………………….
36
PERAN
Kesimpulan………………………………………………..
41
Saran………………………………………………………
42
SUKROSA
DAN
PACLOBUTRAZOL
DALAM
43
PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH……. Abstrak……………………………………………………..
43
Abstract…………………………………………………….
44
Pendahuluan………………………………………………..
45
Bahan dan Metode………………………………………….
46
Hasil dan Pembahasan……………………………………..
47
Kesimpulan…………………………………………………
56
Saran………………………………………………………..
57
AKLIMATISASI PLANLET DAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG
59
MERAH……………………………………………………………. Abstrak……………………………………………. ……...
59
Abstract……………………………………………………
60
Pendahuluan………………………………………………..
60
Bahan dan Metode………………………………………….
62
Hasil dan Pembahasan……………………………………..
63
Kesimpulan…………………………………………………
70
Saran……………………………………………………….
70
PEMBAHASAN UMUM…………………………………..
71
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………..
83
Kesimpulan………………………………………………..
83
Saran………………………………………………………
83
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………
85
DAFTAR TABEL No
Judul
Halaman
1
Rataan Jumlah tunas bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis…………………………………………
25
2
Jumlah daun bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis ......................................................................................
27
3
Jumlah daun hijau bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis…….………………………………………….
28
4
Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 4 MST………………
31
5
Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 5 MST………………
31
6
Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 6 MST………………
31
7
Jumlah daun bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur………………………………………………………………
37
8
Jumlah daun senesen bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur……………………………………………………….
37
9
Jumlah umbi lapis mikro bawang merah pada dua kondisi suhu ruang kultur……..………………………………………………
39
10
Panjang daun, panjang akar, bobot planlet, diameter tengah umbi lapis, diameter pangkal umbi lapis, bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur………………………………………..
40
11
Jumlah akar umbi lapis mikro bawang merah pada dua kondisi suhu ruang kultur…………………………………………………
41
12
Rata-rata nilai peubah bagian tajuk dan umbi lapis mikro bawang merah pada lima taraf sukrosa pada 8 MST……………..
48
13
Rata-rata nilai peubah bagian tajuk dan umbi lapis mikro bawang merah pada empat taraf paclobutrazol pada 8 MST……………...
50
14
Koefisien korelasi antar peubah pada 8 MST……………………..
56
15
Perhitungan hipotetis jumlah bibit bawang merah asal umbi lapis mikro yang dihasilkan setiap generasi..........................................
81
DAFTAR GAMBAR No
Judul
Halaman
1
Kerangka berfikir, alur dan luaran penelitian…………………….
5
2
Bentuk dan susunan umbi lapis bawang merah (Wibowo 1999).....................................................................................
11
3
Skema induksi umbi lapis bawang (diterjemahkan dari Brewster 2002)...........................................................................................
13
4
Persentase tunas vitrous pada empat perlakuan umur simpan umbi lapis dari 4 sampai 6 MST……………………………….
27
5
Jumlah akar tunas mikro bawang merah pada empat umur simpan umbi lapis……….………………………………………..
29
6
Rregresi jumlah tunas (atas), jumlah daun (tengah) dan jumlah daun senesen (bawah) dari tunas mikro bawang merah pada empat umur simpan umbi pada 6 MST…………………………...
30
7
Jumlah tunas bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur………………………………………………………………
38
8
Umbi lapis mikro bawang merah yang normal…………………...
51
9
Abnormalitas umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan pada perlakuan dengan paclobutrazol………………...................
52
10
Umbi lapis mikro bawang Merah yang dihasilkan secara in vitro dipotong horizontal (kiri) dan umbi lapis mikro yang dibelah melintang (kanan) memperlihatkan lapisan-lapisan yang terbentuk (kanan) ………………………………………………...
53
11
Umbi lapis mikro bawang merah pada beberapa konsentrasi sukrosa…………………………………………………………….
54
12
Grafik regresi diameter terlebar umbi lapis mikro pada perlakuan paclobutrazol pada 8 MST………………………………………
55
13
Planlet tunas mikro bawang merah yang memperlihatkan penggembungan dan berwarna merah di bagian pangkal tunas (kiri) ; kondisi planlet satu minggu diaklimatisasi (kanan)………
64
14
Persentase hidup planlet pada percobaan aklimatisasi pertama….
64
15
Kondisi umbi lapis mikro bawang merah sebelum diaklimatisasi (kiri) dan setelah ditanam di media saat aklimatisasi (kanan)….
66
16
Persentase tumbuh umbi lapis mikro bawang merah pada dua minggu aklimatisasi (percobaan aklimatisasi kedua)…………….
66
17
Pertumbuhan umbi lapis mikro pada dua minggu aklimatisasi (percobaan aklimatisasi kedua)…………………………………...
67
18
Jumlah daun total, daun hijau, tunas dan pangkal tunas yang berwarna merah yang terbentuk umbi lapis (kiri) ; tinggi tanaman (kanan) planlet umbi lapis mikro bawang merah selama tiga minggu masa aklimatisasi (MSA)………………………………..
68
19
Umbi lapis mikro bawang merah yang berhasil diaklimatisasi pada tahap aklimatisasi (kiri) dan pasca aklimatisasi (tengah) serta umbi lapis mini (kanan)……………………………………..
69
20
Tahapan penyediaan umbi lapis bibit bawang merah dari laboratorium sampai lapangan……………………………………
72
21
Skema pembibitan umbi lapis bawang merah asal in vitro di rumah kaca..................................................................................
80
DAFTAR LAMPIRAN No.
Judul
Halaman
1.
Produksi, luas panen dan produktivitas bawang merah di Indonesia dari tahun 2000 sampai 2008……………………
93
2. PProduksi, luas panen dan produktivitas bawang merah di Indonesia darit ahun 2009 sampai 2010…………………….
93
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Bawang-bawangan merupakan salah satu keluarga sayuran penting dunia. Diantara berbagai species Allium yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah bawang merah (Allium cepa grup agregatum atau Allium ascalonicum) bawang merah.
Produksi dan produktivitas bawang merah nasional dari tahun 2000
sampai 2010 berfluktuasi. Luas panen yang tercatat pada tahun 2008 seluas 91 339 ha (Direktorat Jendral Hortikultura 2009) dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 109 634 ha (Badan Pusat Statistik 2011). Produksi dan produktivitas bawang merah pada tahun 2010 mencapai 1 048 934 ton dan 9.57 ton ha -1 (Badan Pusat Statistik 2011). Permasalahan utama yang dihadapi petani bawang merah adalah ketersediaan bibit berkualitas. Bawang merah umumnya diperbanyak secara vegetatif menggunakan umbi lapis. Kebutuhan umbi lapis bibit mencapai 1000 kg ha-1 lahan (Wibowo 1999), suatu jumlah yang sangat besar lebih dari 10 % nilai produktivitasnya. Sampai saat ini petani mengantisipasi kebutuhan bibit dengan memisahkan sebagian dari umbi lapis produksi. Pemakaian bibit secara vegetatif secara terus menerus tanpa melalui seleksi di tingkat penangkar bibit dapat menyebabkan penyakit degeneratif. Pertumbuhan, produksi dan kualitas umbi lapis bawang merah yang dihasilkan musim berikutnya akan mengalami penurunan. Penurunan produktivitas bawang merah merah salah satunya disebabkan adanya patogen. Di Selandia Baru diketahui adanya penurunan kualitas umbi lapis bibit bawang merah sumber perbanyakan yang disebabkan adanya infeksi virus (Fletcher, Fletcher & Lewthwaite 1998; AVRDC 2006). Virus yang menyerang tanaman bawang merah adalah shallot latent virus (SLV) dan onion yellow dwarf virus (OYDV) (Brewster
2002; Fletcher et al. 1998). Serangan virus
menyebabkan penurunan hasil sampai 60 % (Brewster 2002). Penggunaan umbi lapis bibit bebas virus dapat meningkatkan hasil lebih dari 60 % pada beberapa kultivar (Ikeda dan Imamoto 1991 dalam Fletcher et al. 1998). Penyediaan bibit
2
sehat bebas virus dapat dilakukan dengan kultur meristem pada bawang putih (Roksana et al. 2002; Haque, et al. 2003). Teknik in vitro sudah dikenal luas dalam kemampuannya menyediakan sejumlah besar bibit tanaman dalam waktu yang relatif cepat, bebas patogen (cendawan, bakteri atau virus) bersifat klonal dan tersedia sepanjang waktu. Teknologi ini sudah diterapkan di Indonesia oleh beberapa perusahaan swasta dalam perbanyakan bibit diantaranya tanaman hias, anggrek, pisang dan kentang (Gunawan 1992) tetapi belum diterapkan pada bawang merah. Melihat masalah yang dihadapi pertanaman bawang merah di Indonesia seperti menurunnya produktivitas dari tahun ke tahun, keterbatasan bibit berkualitas, belum tersedianya
teknologi penyediaan bibit berkualitas dan
jumlah bibit yang
diperlukan per hektar yang banyak, maka metoda penyediaan bibit bawang merah dengan kultur jaringan dan penanganan bibit di lapangan sangat diperlukan untuk mendukung penyediaan bibit yang sehat dan kontinyu. Perbanyakan bawang merah secara in vitro dapat menggunakan eksplan tunas bunga (Cohat 1994), umbi lapis (Mohamed-Yasseen et al. 1994; Hidayat 1997) atau
embrio zigotik (Zheng et al 1998 dalam
Zheng et al. 2005).
Perbanyakan bawang merah cv. Red California (Mohamed-Yasseen et al. 1994) dan cv Sumenep (Hidayat 1997) menggunakan eksplan bagian tunas terdalam dengan mengikutsertakan basal plate (cakram umbi). Jumlah tunas tertinggi diperoleh pada media dengan 0.15 μM TDZ. Septiari dan Dinarti (2003) berhasil mendapatkan kombinasi zat pengatur tumbuh yaitu 2ip 6 ppm dan NAA 0.5 ppm untuk menginduksi tunas bawang merah sebanyak 16.7 tunas dari eksplan tunas dengan setengah cakram umbi yang berukuran 1 mm. Menurut Kamstaityte dan Stanys (2004) masalah utama yang membatasi efisiensi perbanyakan in vitro bawang adalah pembentukan bulblet, dormansi planlet, vitrifikasi jaringan dan penurunan kemampuan regenerasi. Pernyataan ini mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan Septiari dan Dinarti (2003); Handayani et al. (2005) yang menyatakan, tunas in vitro bawang merah yang dihasilkan ditemukan tunas–tunas yang vitrous. Hal tersebut mengakibatkan tingkat kematian yang tinggi saat aklimatisasi. Vitrifikasi jaringan tunas bawang merah dapat dikurangi dengan menambahkan kalsium pantotenat 10 ppm pada
3
media MS dan ternyata dapat meningkatkan ketegaran dan kadar serat tunas (Parsini 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Mohamed-Yasseen et al. (1994) serta Hidayat (1997) menggunakan umbi lapis yang divernalisasi selama 3 bulan. Petani bawang merah di Indonesia menyiapkan bibit dengan cara menyimpan umbi lapis yang sudah dipanen di para-para dengan suhu ruangan sekitar 30 - 45 o
C (Petani Indonesia 2009). Penyimpanan umbi lapis bibit tersebut diduga akan
memberikan persentase tumbuh yang tinggi dan serangan patogen (virus, cendawan, bakteri) yang sangat sedikit. Perbanyakan bawang merah in vitro juga dapat dilakukan melalui induksi umbi lapis mikro atau bulblet. Induksi bulblet bawang merah menurut MohamedYasseen et al. (1994) tidak sebaik pada bawang putih. Bulblet bawang merah diinduksi pada media MS dengan penambahan arang aktif 5 g L-1 dan sukrosa 120 g L-1
dengan lama penyinaran 18 jam (Mohamed-Yasseen et al. 1994;
Fletcher et al. 1998); 150 g L-1 sukrosa pada cv Sumenep (Hidayat 1997); 30-50 g L-1 sukrosa dengan penyinaran fluoresen dan incandescent selama 16 jam dan ancymidol 10 μM (Le Guen-Le Saos et al. (2002). Mohamed-Yasseen et al. (1994) serta Patena et al. (1997) berhasil menumbuhkan bulblet bawang merah yang terbentuk secara in vitro dengan baik di lapangan. Planlet yang dihasilkan baik berupa tunas maupun bulblet memerlukan lingkungan yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan pada tahap aklimatisasi dan di lapangan. Planlet berupa tunas sangat rentan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim seperti suhu yang tinggi, kelembaban yang rendah dan intensitas cahaya yang tinggi.
Menurut Gunawan (1992) tunas in vitro
mempunyai kelemahan diantaranya lapisan lignin belum terbentuk sempurna, stomata yang membuka, kutikula tipis dan sistem perakaran yang belum sempurna. Kelemahan planlet ini akan mempengaruhi keberhasilan tumbuh selama aklimatisasi dan di lapangan. tumbuh
Menurut Hazarika (2003),
planlet yang tinggi selama aklimatisasi
pemberian sukrosa hingga 3 %
persentase
dapat diupayakan dengan
pada media, peningkatan intensitas cahaya
sebelum planlet diaklimatisasi, pemberian retardan pada tahap pengakaran dan
4
pada masa aklimatisasi, pengurangan kelembaban ruangan kultur dan pemakaian antitranspirants. Media tumbuh persyaratan :
untuk aklimatisasi planlet memerlukan beberapa
ringan, porous, dapat mempertahankan kelembaban, tidak
mengandung patogen (steril) yang akan mendukung persentase keberhasilan tumbuh yang tinggi.
Keberhasilan tumbuh
planlet bawang putih saat
aklimatisasi dan di lapangan mencapai 100 % dilaporkan oleh Matsubara dan Chen (1989) dengan menggunakan media tumbuh rockwool, vermikulit dan tanah dengan suhu ruangan 20 oC. Beberapa jenis media tumbuh yang tersedia di pasaran adalah arang sekam, cocopeat, kompos bambu, rockwool, greenleaf, cascing dan vermikulit. Untuk memecahkan permasalahan ketersediaan bibit bawang merah maka dilakukan serangkaian penelitian secara in vitro dengan kerangka berfikir dan alur penelitian seperti tercantum pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendapatkan metoda perbanyakan bibit bawang merah yang mendukung penyediaan bibit berkualitas dari laboratorium sampai lapangan. Tujuan khusus penelitian meliputi : 1. mendapatkan umur simpan umbi lapis terbaik sebagai sumber eksplan dalam perbanyakan tunas in vitro 2. mendapatkan suhu dan konsentrasi terbaik sukrosa dan retardan untuk pembentukan umbi lapis mikro bawang merah 3. mendapatkan metode aklimatisasi untuk umbi lapis mikro bawang merah. Untuk mencapai tujuan umum penelitian maka dilakukan beberapa penelitian sebagai berikut : 1. Pengaruh Umur Simpan Umbi terhadap Perbanyakan Tunas Mikro Bawang Merah 2. Pengaruh Suhu Ruang Kultur terhadap Pembentukan Umbi Lapis Mikro Bawang Merah. 3. Peran Sukrosa dan Paclobutrazol dalam Pembentukan Umbi Lapis Mikro Bawang Merah
5
4. Aklimatisasi Planlet dan Umbi Lapis Mikro Bawang Merah.
Masalah: Penyediaan bibit bawang merah yang sehat/berkualitas Tunas Mikro
Suhu ruang kultur
Umur Simpan Umbi
Sukrosa dan Paclobutrazol
Cahaya dan Suhu
Metode induksi umbi lapis mikro bawang merah secara in vitro: Suhu ruang, konsentrasi sukrosa, dan paclobutrazol terbaik Umbi Lapis Mikro Bawang Merah Aklimatisasi
Metode Perbanyakan BibitBawang Merah
Gambar 1. Kerangka berfikir, alur dan luaran penelitian
6
7
TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Manfaat Bawang Bawang merah merupakan jenis sayuran penting di Indonesia yang dimanfaatkan umbi lapisnya (bulb) dan dikenal dengan nama yang berbeda di setiap daerah. Beberapa peneliti menyebut nama latin dari bawang merah Allium cepa L. var aggregatum (Brewster 2002; Permadi & van der Meer 1997; Nonnecke 1989) atau Allium cepa L.
var. ascalonicum (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1999) dengan jumlah kromosom 2n = 16 (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999).
Taksonomi bawang merah menurut
Brewster (2002); Permadi dan van der Meer (1997) sebagai berikut :
Kelas
Monokotil, Ordo Asparagales, Famili Alliaceae, Genus : Allium, Species Allium cepa L. var. aggregatum; Allium cepa L. var. ascalonicum. Bawang-bawangan diduga berasal dari daerah Turki Timur sampai pegunungan Asia Tengah dengan pusat keragaman genetik di pegunungan Iran, Afganistan, Pakistan dan Tajikistan (Brewster, 2002; Permadi dan van der Meer, 1997). Bawang merah sudah dikenal pada abad 12 di Perancis (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Dari daratan Eropa bawang merah tersebar ke seluruh dunia. Bawang merah lebih dikenal di daerah tropis terutama daerah yang berada pada lintang 10o N sampai 10o S (Permadi dan van der Meer, 1997) dan merupakan sayuran bernilai ekonomi tinggi . Bawang merah menurut Brewster (2002) merupakan sub grup dari Allium cepa (common onion) yang berdasarkan seleksi secara alami dari varian-varian yang ada dan secara morfologi memperlihatkan perbedaan dari kelompok utamanya. Common onion merupakan sayuran penting secara ekonomi dimana ukuran bulb besar, bulb tunggal, dan dibiakkan dengan biji dan umum digunakan untuk salad dan asinan. Keragaman genetik pada grup common onion cukup tinggi serta mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap panjang hari dan suhu. Keragaman yang lain yang ditemukan adalah daya simpan umbi lapis (bulb), kandungan bahan kering, aroma, dan warna kulit. Bulb grup aggregatum berukuran lebih kecil dari common onion, mudah membelah diri membentuk umbi lapis lateral sehingga membentuk kelompok bulb. Grup aggregatum terbagi atas dua sub-grup yaitu multiplier onion dan shallot. Multiplier onion terdiri atas 3-20
8
bulb yang bentuknya lebar dan memanjang. Shallot atau bawang merah membentuk kelompok bulb yang dangkal, bulb terpisah, dan dibiakkan secara vegetatif. Menurut Nonnecke (1989) bawang merah berbeda dengan bawang bombay dalam pembentukan umbi lapis dan aromanya lebih enak dibanding jenis bawang lainnya. Bawang merah termasuk tanaman herba bianual (di Indonesia merupakan herba semusim) dengan tinggi sekitar 50 cm, berakar serabut yang keluar dari bagian cakram. Cakram umbi lapis tersebut merupakan batang yang memendek dan memampat (rudimenter). Bentuk daun bawang merah bulat kecil, memanjang seperti pipa. Pada awal pertumbuhan rongga pada daun tersebut belum terbentuk, ujung daun meruncing dan pangkalnya melebar dengan warna daun hijau. Pembentukan bulb baru berawal dari pembengkakan bagian pangkal daun di atas batang sejati dan terdapat mata tunas (lateral). Tunas lateral akan membentuk cakram baru dan dapat membentuk umbi lapis baru (Permadi & van der Meer 1997; Rahayu & Berlian 1998). Setiap rumpun terdiri atas 3-18 tunas (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999).
Bagian terluar umbi lapis tertutup oleh lapisan epidermis
yang berfungsi sebagai pelindung dengan warna berbeda tergantung varietas (ungu, coklat kemerahan, putih, merah jambu). Bentuk dan ukuran umbi lapis bervariasi: bulat, lonjong, oval dengan diameter 3 sampai 5 cm. Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1999) keragaman tanaman bawang merah cukup tinggi. Beberapa varietas dapat berbunga, menghasilkan biji dan beberapa varietas jarang berbunga. Permadi dan van der Meer (1997) menyatakan bahwa bunga bawang merah keluar dari tunas utama dan merupakan infloresen dengan diameter 2-8 cm dan sebelum mekar dilindungi oleh kelopak bunga yang tipis. Setiap infloresen mengandung 50 - 200 kuntum bunga
hermaprodit
berwarna putih kehijauan. Setiap kuntum bunga hermaprodit terdiri atas 5-6 benang sari dan sebuah putik. Kedudukan putik ada di bawah stamen. Tingkat kematangan polen yang berbeda menyebabkan penyerbukan silang (dengan bantuan lebah atau serangga) atau sendiri. Persentase penyerbukan sendiri sekitar 10-20 %. Bakal buah yang terbentuk berukuran diameter 4-6 mm dan terbagi atas
9
3 ruangan dan setiap ruangan berisi 2 bakal biji. Bji yang sudah matang berwarna hitam. Di Indonesia dikenal 27 genotipe bawang merah unggul lokal. Belum semua genotipe tersebut dilepas Kementerian Pertanian. Kultivar unggul yang sudah dilepas diantaranya adalah Maja Cipanas, Bima Brebes, Medan dan Keling. Keunggulan setiap varietas bawang merah
dinilai berdasarkan produktivitas,
mutu umbi lapis, ketahanan terhadap penyakit, ketahanan terhadap curah hujan dan umur panen (Wibowo 1999). Bulb dapat dimakan mentah sebagai acar bumbu sate juga dimanfaatkan untuk asinan, digoreng atau bumbu masak. Masyarakat memanfaatkan bawang merah sebagai obat tradisional untuk menurunkan demam, mengobati luka dan menurunkan kadar gula darah. Menurut Permadi dan van der Meer (1997) setiap 100 g umbi lapis bawang merah yang dimakan terkandung 88 g air, 1.5 g protein, 0.3 g lemak, 9 g karbohidrat, 0.7 g serat, 0.6 g abu, 40 mg P, 0.8 mg Fe, 36 mg Ca ,5 IU vit A, 0.03 mg vit B1, 2 mg vit C dengan nilai energi 160 kJ/100 g.
Ekologi Bawang Merah Bawang merah di daerah tropis memerlukan suhu harian rata-rata 20-26 oC dan panjang hari minimal 11 jam. Tanaman ini dapat tumbuh di berbagai jenis tanah dengan pH antara 5.6-7 dengan drainase yang baik. Daerah pengusahaan penanaman bawang merah umumnya berada di dataran rendah kurang dari 450 m di atas permukaan laut (dpl) (Permadi & van der Meer 1997). Curah hujan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan serangan cendawan dan berkembangnya penyakit busuk umbi. Perbanyakan bawang merah menggunakan umbi lapis. Perbanyakan dengan biji di Indonesia tidak dilakukan. Bobot umbi lapis yang ditanam antara 3 sampai 5 g. Umbi lapis bibit sebelum ditanam disimpan selama 2-4 bulan setelah dipanen. Hal ini dilakukan untuk mematahkan dormansi (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999; Rahayu & Berlian 1998). Penyimpanan umbi lapis oleh petani bawang merah dilakukan dengan cara meletakkan umbi lapis di para-para ruangan dengan suhu 30-45 oC. Menurut petani perlakuan ini
10
dapat mengurangi serangan penyakit saat umbi lapis ditanam dan mempercepat umbi lapis tumbuh. Umbi lapis ditanam di bedengan dengan lebar bedengan 1-1.2 m dan ketinggian bedengan sekitar 0.6 m dan jarak antar bedengan 0.5 m. Jarak tanam umbi lapis bervariasi dengan panjang 15 -20 cm dan lebar 10-15 cm. Umbi lapis ditanam
dengan ujung umbi 1 cm tidak tertutup tanah dan terlihat untuk
memudahkan tunas muncul ke permukaan tanah (Permadi & vander Meer 1997). Petani bawang di Brebes umumnya menanam umbi lapis dengan memotong 1/3 bagian ujung umbi lapis yang bertujuan untuk mempercepat tunas tumbuh. Menurut Putrasamedja (1995) tidak terdapat perbedaan pertumbuhan antara penggunaan umbi lapis bibit yang dipotong sebagian dengan umbi lapis utuh. Panen dilakukan setelah seluruh daun terlihat patah pada bagian pangkal tunas atau permukaan tanah. Kondisi dipanen.
ini memperlihatkan umbi lapis siap
Umur panen setiap varietas berbeda bergantung ketinggian tempat
penanaman. Di dataran rendah panen dilakukan pada umur 60-70 hari dan di dataran tinggi 80-100 hari. Panen dilakukan secara manual dengan mencabut tanaman dan meletakkannya di atas bedengan dan setelah itu disatukan dalam ikatan dengan bobot rata-rata 2 kg. Selanjutnya ikatan umbi lapis bawang merah dijemur dengan bantuan sinar matahari selama 5-14 hari (Wibowo 1999)
Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Bawang Target produksi sayuran bawang adalah panen dengan produksi tinggi dan berkualitas. Menurut Brewster (2002) hal ini ditentukan oleh : 1. Jumlah cahaya yang diabsorpsi oleh daun selama tahap penimbunan bahan kering berlangsung 2. Efisiensi absorpsi cahaya yang dikonversi pada proses fotosintesis menjadi sukrosa. 3. Proporsi hasil fotosintesis yang dialokasikan ke bagian yang dipanen. Jumlah cahaya yang diabsorpsi tergantung pada kuantitas radiasi cahaya, persentase cahaya yang diserap dan lama pertumbuhan. Pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman bawang menurut Rubatzky & Yamaguchi (1999) dimulai dari fase pertumbuhan bibit. Pada tahap ini akan tumbuh daun dan akar baru dan bersamaan dengan pertumbuhan tersebut terjadi
11
pemanjangan daun serta pelebaran bagian batang yang memampat. Pada awalnya daun yang muncul akan memanjang dan selanjutnya pada bagian pangkal daun terjadi pelebaran. Pertumbuhan daun dan akar selanjutnya akan memperlihatkan laju
yang sama. Pada saat pembentukan umbi, pertumbuhan daun berubah
menjadi lebih pendek dan kecil serta bentuknya akan lebih kompak. Permadi & van der Meer (1997) menyatakan setiap bulb terdiri atas 1 – 5 tunas yang masing-masing dilapisi oleh scale (lapisan daun) membentuk cincin yang konsentrik yang terpisah di dalam bulb (Gambar 2). Tunas kemudian tumbuh membentuk rumpun terdiri atas 1-5 tanaman. Tunas lateral akan tumbuh dan kembali menambah jumlah tunas rumpun menjadi sekitar 18 tanaman. Akar adventif tumbuh dari bagian pangkal tunas. Daun akan tumbuh dari setiap tunas. Daun tertua akan membentuk lapisan yang melindungi daun yang lebih muda. Bagian daun yang berada di atas permukaan tanah akan mati dan lapisan daun pada bagian pangkal akan membentuk batang semu.
Umbi lapis utama
Umbi lapis samping
Keterangan: A. Umbi lapis utama B. Umbi lapis utama dan samping C. Umbi lapis yang dipotong horizontal
Gambar 2. Bentuk dan susunan umbi lapis bawang merah (Wibowo 1999)
Pengumbian adalah suatu inisiasi morfologi daun yang dipengaruhi oleh panjang hari, walaupun demikian suhu juga berpengaruh (Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Menurut Srivastava (2002) pengumbian kentang juga dipengaruhi oleh kandungan hara pada tanaman dan zat pengatur tumbuh
12
giberelin. Rubatzky dan Yamaguchi (1999) menjelaskan bahwa lama penyinaran yang berlangsung secara kumulatif akan terlihat pengaruhnya terhadap pengumbian. Pencahayaan yang kuat sebagai stimulus tidak selalu menyebabkan terjadi pengumbian. Ketika suatu kultivar mencapai titik kritis panjang hari sebelum pertumbuhan vegetatif maksimal tercapai akan menghasilkan ukuran bulb yang kecil. Kultivar bawang dengan tipe hari panjang (long-day) untuk membentuk bulb tidak akan membentuk bulb selama periode hari pendek (shortday). Allium cepa L. diidentifikasi ada yang termasuk tanaman short-day (11-13 jam), intermediate (13-14 jam) dan long-day (lebih dari 14 jam). Menurut Pathak et al. (1994) bawang merah termasuk tanaman short-intermediate day dengan 1214
jam
penyinaran
sedangkan
Permadi
dan
van
der
Meer
(1997)
mengelompokkan tanaman bawang merah ke dalam tipe long-day. Pengumbian disebabkan mobilisasi fotosintat dari daun ke pangkal daun (Permadi & van der Meer 1997) menghasilkan pembesaran yang membentuk struktur penyimpanan yang disebut bulb (Rubatzky & Yamaguchi 1999). Pengumbian pada bawang merah dimulai dari lapisan daun terluar, dan sebagai akibat pembentukan bulb maka pertumbuhan daun pada lapisan terdalam hanya membentuk daun yang kompak tanpa rongga (Permadi & van der Meer 1997). Panjang hari dan suhu berpengaruh terhadap pembentukan bulb bawang (Brewster, 2002; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Brewster (2002) menyajikan suatu skema faktor panjang hari dan suhu terhadap pertumbuhan bulb bawang (Gambar 3). Pada 15 jam penyinaran pada suhu 21 oC pembentukan umbi lapis berlangsung cepat dan tidak terjadi inisiasi bunga dan inisiasi tunas lateral akan tertekan. Pada suhu 10 oC ketika terjadi inisiasi bunga maka bunga dapat dengan cepat mekar. Menurut (Rubatzky & Yamaguchi, 1999) suhu berinteraksi dalam proses pengumbian. Pengumbian dan pematangannya terjadi lebih awal dan cepat pada kondisi suhu tinggi dan long-day. Di daerah tropis suhu lebih penting dibanding panjang hari untuk pengumbian. Suhu lebih dari 40
o
C akan
menghambat pengumbian. Pertumbuhan umbi lapis juga dipengaruhi kultivar, kandungan nutrisi, kelembaban, kompetisi tanaman, intensitas serta kualitas
aplikasi herbisida dan
13
cahaya. Pada kondisi yang induktif intensitas cahaya yang tinggi meningkatkan pengumbian.
Gambar 3. Skema induksi umbi lapis bawang (diterjemahkan dari Brewster 2002)
14
Cahaya infra
merah merangsang inisiasi bulb bawang di lapangan
(Brewster 2002; Rubatzky dan Yamaguchi 1999) dan in vitro (Le Guen-LeSaos et al. 2002). Sobeih (1989) dalam Le Guen-LeSaos et al. (2002) melaporkan rasio yang rendah antara cahaya merah dengan merah jauh akan mengakibatkan peningkatan akumulasi asimilat di daun. Akibatnya akumulasi asimilat tersebut dalam bentuk glukosa dan fruktosa dan oligosakarida pada tanaman bawang akan mudah terbentuk. Selanjutnya Le Guen-Le Saos et al. (2002) menjelaskan induksi bulblet yang dipengaruhi oleh adanya pemberian cahaya merah jauh pada kultur bawang merah mungkin disebabkan aktivitas dari fitokrom yang menurunkan efektivitas giberelin dan adanya reorientasi mikrotubul, sehingga terjadi ekspansi sel secara radial dari sel dan menyebabkan pemendekan pada bagian pangkal daun.
Biokimia Pengumbian Tanaman Bawang Ketika tanaman bawang berubah terinduksi membentuk umbi lapis terjadi kondisi perubahan konsentrasi sukrosa pada bagian pseudostem dalam 5-10 hari. Pengurangan konsentrasi sukrosa terjadi di bagian daun. Pada saat yang sama penurunan yang cepat terukur pada level asam terlarut, enzim invertase, dan enzim yang mengkatalisis konversi gula menjadi glukosa dan fruktosa. Perubahan ini terjadi sebelum umbi lapis terlihat. Penggembungan bagian pangkal daun dipengaruhi hidrolisis
fruktan (fruktosa rantai panjang) menjadi fruktosa dan
glukosa. Hal ini meningkatkan secara osmotik solut aktif di bagian luar sel, yang berkaitan dengan air dan ekspansi pertumbuhan sel (Brewster 2002). Pemberian sukrosa untuk menginduksi umbi mikro pada tanaman kentang berkisar antara 4 sampai 9 % (Wattimena & Purwito 1989). Pada kultur bawang merah, konsentrasi sukrosa untuk menginduksi bulblet bervariasi nilainya dari 30-50 g L-1 (Le GuenLe Saos et al. 2002), 120 g L-1 (Mohamed-Yasseen et al. 1994; Fletcher et al. 1998) ) dan 150 g L-1 (Hidayat 1997). Hormon auksin, sitokinin dan etilen berperan dalam pengumbian (Brewster 2002). Pada penelitian pengumbian in vitro kentang diketahui adanya peran sitokinin zeatin riboside yang konsentrasinya semakin meningkat dengan terbentuknya umbi (Mauk & Langille 1978). Hasil penelitian Muhamed-Yasseen
15
et al. (1994); Fletcher et al. (1998); Hidayat (1997); Le Guen-Le Saos et al. (2002) menunjukkan pengumbian bawang merah dapat diinduksi tanpa penambahan sitokinin. Hal ini mungkin disebabkan tipe pertumbuhan umbi lapis dibandingkan dengan kentang yang merupakan umbi batang tidak sama. Pemberian anti giberelin di lapangan pada pertanaman bawang ternyata dapat menginduksi pengumbian (Brewster 2002). Penelitian Le Guen-Le Saos et al. (2002)
menunjukkan bahwa penambahan anti giberelin atau retardan
ancymidol meningkatkan terbentuknya bulblet pada kultur bawang merah. Retardan termasuk kelompok zat penghambat tumbuh yang bekerja menghambat pemanjangan batang dengan menghambat sintesis giberelin (Srivastava 2002). Retardan dibagi atas tiga kelompok mengkatalisis
berdasarkan enzim yang
dari tiga tahap sintesis giberelin. Pertama kelompok senyawa
Onium (seperti : chlormequat chloride atau CCC, mepiquat dan AMO-1618). CCC dan AMO-1618 secara spesifik menghambat aktivitas copalyl diphosphat synthase. Kelompok kedua yaitu senyawa heterosiklik yang mengandung nitrogen seperti ancymidol, paclobutrazol, uniconazol. Senyawa tersebut menghambat oksidasi ent-kaurene menjadi ent-kaurenoic acid oleh P450 monooxygenase. Kelompok ketiga meliputi acylcyclohexanediones (BX-112) yang menghambat 2oxoglutarat-dependent dioxygenase pada tahap ke tiga biosintesis giberelin (Srivastava 2002). Pemberian CCC, SADH dan
ABA pada kultur bawang putih
memperlihatkan pengaruh terhadap bulblet yang terbentuk (Kim et al. 2003). Pemberian retardan
CCC lebih baik dalam menginduksi jumlah bulblet per
eksplan dibandingkan pemberian SADH dengan konsentrasi terbaik CCC 100 mg L-1 dan SADH 50 mg L-1. Pemberian ABA pada konsentrasi rendah yaitu 0.1 mg L-1 efektif dalam pembentukan bulblet bawang putih. Asam jasmonat pada konsentrasi 10 M menginduksi jumlah bulblet per eksplan jauh lebih tinggi dibandingkan ketiga senyawa tadi. `
Kultur Jaringan Famili Alliaceae Penelitian kultur jaringan pada Alliaceae
bertujuan: 1. mendapatkan
metode perbanyakan yang efisien untuk mendapatkan
bibit yang sehat dan
16
berkualitas baik. 2. mendapatkan varian-varian baru antara lain tahan terhadap serangan hama atau penyakit tertentu. Species yang paling banyak diteliti adalah Allium cepa L. (bawang bombay) dan Allium sativum L. (bawang putih). Penelitian Hussey (1979) dalam George dan Sherrington (1994) pada bawang bombay menggunakan eksplan umbi lapis dengan basal plate dan berhasil mendapatkan tunas mikro pada media MS dengan penambahan 1 – 4 mg L-1 BAP dan 0.5 mg L-1 NAA. Yoo et al. (1990) berhasil menumbuhkan umbi lapis dengan basal plate pada media MS dengan kinetin sampai 100 M, begitu pula Kamstaityte dan Stanys (2004) menumbuhkan tiga cv. bawang bombay pada media MS dengan kinetin 10.6 M. Matsubara dan Chen (1989) berhasil menginduksi tunas mikro dari tunas adventif bawang putih pada media MS dengan penambahan BAP dan NAA masing-masing dengan konsentrasi 0.01 mg L-1. Bulblet diperoleh setelah tunas dipindah pada media yang sama atau media dengan NAA 0.1 mg L-1 dan BA 0.01 mg L-1. Bulblet yang terbentuk berhasil diaklimatisasi pada media tumbuh vermikulit, rockwool dan tanah. Mohamed-Yasseen et al. (1994) juga berhasil menginduksi tunas dan bulblet dengan memotong bagian tunas adventif dengan menyertakan basal plate. Media terbaik untuk induksi pertunasan adalah MS dengan BAP 8 M dan NAA 0.1 M. Bulblet terbentuk pada media MS dengan sukrosa 120 g L-1 dan arang aktif 5 g L-1. Selanjutnya Roksana et al. (2002) berhasil menginduksi bulblet setelah 4 kali sub kultur (84 hari) pada media terbaik MS dengan 2ip dan NAA masing-masing pada konsentrasi 0.5 mg L-1. Penelitian Haque et al. (2003) yang mengkulturkan meristem akar dan tunas adventif bawang putih berhasil membentuk tunas dan bulblet. Tunas tunggal terbentuk pada media MS tanpa ZPT atau dengan NAA dan BA. Bulblet terbentuk dengan bobot dan diameter tertinggi pada media MS dengan sukrosa 12%. Kim et
al.
(2003) mendapatkan hasil bahwa intensitas cahaya dan suhu berpengaruh terhadap proliferasi tunas dan pembentukan bulblet. Proliferasi tunas terbaik terjadi pada intensitas cahaya 50 mol m-2 s-1 pada suhu 25 oC. Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan bulblet bawang putih dipengaruhi konsentrasi sukrosa, asam jasmonat, dan retardan dengan konsentrasi terbaik berturut-turut 9 % sukrosa, 10 M asam jasmonat dan 100 mg L-1 CCC.
17
Penelitian kultur in vitro pada tanaman bawang merah A. cepa var. aggregatum baik perbanyakan tunas dan induksi bulblet telah dilakukan Mohamed-Yasseen et al. (1994); Cohat (1994); Hidayat (1997); Fletcher et al. (1998); Le Guen-Le Saos et a.l (2002); dan Zheng
et al (1999 dan 2005).
Mohamed-Yasseen et al. (1994) berhasil menginduksi dan menggandakan tunas pada kultur bawang merah cv. Red California. Eksplan yang digunakan tunas dari lapisan terdalam yang berukuran tinggi 8 sampai 12 mm. Sebelumnya umbi lapis divernalisasi pada suhu 4
o
C selama 3 bulan. Eksplan dipotong dengan
menyertakan basal plate dan ditanam pada media MS. Multiplikasi tunas tertinggi diperoleh pada media dengan penambahan thidiazuron 0.15 M dan 0.1 M NAA. Induksi bulblet diperoleh pada media MS dengan penambahan sukrosa 120 g L-1 dan arang aktif 5 g L-1 tanpa zat pengatur tumbuh dengan lama penyinaran 18 jam. Perbanyakan tunas dan bulblet bawang merah in vitro cv Sumenep berhasil dilakukan Hidayat (1997).
Eksplan disiapkan seperti
metoda yang
dilakukan Mohamed-Yasseen et al. (1994). Hasil penelitiannya menunjukkan jenis sitokinin TDZ yang dikombinasikan dengan picloram terbaik menginduksi tunas. Media perbanyakan tunas terbaik diperoleh pada konsentrasi 1 mg L-1 TDZ dengan 0.1 mg L-1 picloram. Bulblet diperoleh setelah tunas ditanam pada media BDS dengan sukrosa 150 g L-1 tanpa zat pengatur tumbuh. Tunas in vitro bawang merah berhasil diinduksi pada media MS dengan penambahan 2ip 6 mg L-1 dan NAA 0.5 mg L-1 (Septiari & Dinarti 2003). Pemberian BAP (Royno 2003) dan kinetin (Handayani et al. 2005) tidak menghasilkan tunas lebih banyak dibanding penambahan 2ip. Tunas yang diperoleh berukuran kecil, tidak tegar dan banyak yang vitrous. Hal ini diduga disebabkan tunas terlalu lama (8 minggu) dalam media dengan sitokinin tinggi. Tunas mikro bawang merah yang vitrous dapat dikurangi
dengan penambahan calcium panthotenate ke dalam media
perbanyakan sehingga ketegaran dan kadar serat tunas meningkat (Parsini 2005). Tunas mikro bawang merah dapat berakar dengan baik pada media MS ½ konsentrasi atau dengan penambahan IBA 1 mg L-1 (Nur 2005). Penelitian
Le
Guen-LeSaos
et
al.
(2002)
menunjukkan
bahwa
pembentukan bulblet dipengaruhi konsentrasi sukrosa, keberadaan GA3 dan
18
kualitas cahaya. Bulblet terbentuk dengan baik pada media dengan 30-70 g L-1 sukrossa. Pemberian zat penghambat tumbuh (retardan) pada konsentrasi 10 M meningkatkan pembentukan dan bobot
basah bulblet.
meningkatkan persentase terbentuknya bulblet,
Kualitas cahaya
ukuran, persentase dan bobot
bulblet pada kultur yang mendapatkan penyinaran cahaya fluoresen dan incandescent dibandingkan hanya cahaya fluoresen. Tunas mikro bawang merah yang ditanam pada media dengan sukrosa 90 g L-1 (Fardani 2005) tidak mampu membentuk umbi lapis mikro. Tidak terbentuknya umbi lapis mikro kemungkinan karena pada media ditambahkan sitokinin dan pengumbian dilakukan pada kondisi tanpa cahaya. Pemberian SADH sampai konsentrasi 90 mg L-1 (Rahmawati 2007) dan CCC sampai konsentrasi 100 mg L-1 (Purnawati 2008) dengan sukrosa 120 g L-1 tidak menginduksi umbi lapis mikro bawang merah. Umbi lapis mikro bawang merah terbentuk pada media tanpa SADH dengan sukrosa 120 g L-1 (Rahmawati 2007; Purnawati 2008).
Aklimatisasi Aklimatisasi adalah proses suatu organisme untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda dari tempat sebelumnya. Tanaman in vitro bersifat
heterotrof
intensitas rendah dan
hidup pada kondisi kelembaban tinggi, cahaya dengan suhu rendah. Pada saat diaklimatisasi planlet akan
diadaptasikan sehingga secara perlahan tanaman akan bersifat autotrof. Pengaturan lingkungan mikro terutama suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya pada saat aklimatisasi mutlak diperhatikan untuk keberhasilan aklimatisasi. Pengaturan kelembaban pada saat aklimatisasi akan membantu proses adaptasi selama di pembibitan. Menurut Hazarika (2003) untuk mendukung proses aklimatisasi dapat didekati dengan upaya peningkatan intensitas cahaya sebelum planlet dikeluarkan dari botol, pemberian gula pada media tumbuh tidak kurang dari 3%, pemberian retardan pada planlet dan pemberian antitranspiran. Ketika planlet in vitro dikeluarkan dari botol kultur, tanaman membutuhkan media baru yang mendukung pertumbuhannya. Media tumbuh tersebut memerlukan persyaratan khusus mengingat akar planlet yang terbentuk
19
sangat rapuh dan memerlukan penyokong yang baik sehingga planlet tidak stres dan persentase pertumbuhan tinggi. Media tumbuh yang baik mempunyai struktur yang gembur atau mengandung
porous dan terjaga aerasi dan drainasenya, ringan, tidak
patogen,
mampu
menyerap
air
dengan
baik
sekaligus
mempertahankan kelembaban media dengan pH netral. Menurut Argo (1997) untuk pertumbuhan akar dan tunas yang baik, media perakaran harus menunjang 4 fungsi yaitu 1) untuk menyediakan air, 2) untuk menyuplai hara, 3) mendukung pertukaran gas ke dan dari akar, dan 4) untuk menyokong tubuh tanaman. Aklimatisasi planlet bawang putih berhasil dilakukan dengan persentase hidup 85% baik itu pada media tanah, vermikulit dan rockwool (Philips & Luteyn 1989). Planlet bawang merah yang dihasilkan Nur (2005) tidak berhasil diaklimatisasi pada media kompos, arang sekam, cocopeat dan kombinasinya. Media tumbuh yang tersedia di pasar dan dapat dipergunakan pada aklimatisasi planlet (tunas dan bulblet) bawang merah adalah kompos, cascing, arang sekam, serbuk sabut kelapa (coco peat), rockwool, green leaf. Pertumbuhan dan perkembangan planlet selama periode aklimatisasi selain membutuhkan media tumbuh yang
sesuai juga memerlukan hara yang
mencukupi. Hara tersebut diperlukan untuk menjalankan proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Adaptasi juga dilakukan terhadap faktor hara karena planlet akan menjadi autotrof sehingga tanaman akan melakukan proses penyerapan unsur hara dan berfotosintesis penuh. Unsur hara yang diberikan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimum pada fase bibit berbeda untuk setiap tanaman. Hara yang sebaiknya diberikan pada pembibitan bawang bombay adalah pupuk NPK dengan komposisi 20N-8.6P-16.6K. Penanaman planlet pada masa aklimatisasi dapat dilakukan dengan sistem plug tray. Sistem ini memudahkan penanganan pertumbuhan dan perkembangan bibit untuk produksi masal sehingga efisien. Ukuran plug tray bervariasi berkaitan dengan kepadatan bibit yang ditanam serta volume setiap container. Menurut NeSmith dan Duval (1997) ukuran plug tray berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit. Hasil penelitian Kemery dan Dana (2001) menunjukkan ukuran sel plug tray yang besar akan menghasilkan bobot kering tajuk yang tinggi. Perlu dipertimbangkan waktu yang dibutuhkan selama fase
20
pembibitan dalam plug tray untuk meningkatkan efisiensi selama pembibitan. Menurut penelitian Mondal et al. (1986) kepadatan bibit menurunkan ukuran umbi lapis bawang bombay. Hasil penelitian Chen et al. (2002) menunjukkan bentuk container yang besar pada plug tray meningkatakan pertumbuhan dan perkembangan bibit kubis Cina.
PENGARUH UMUR SIMPAN UMBI TERHADAP PERBANYAKAN TUNAS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF BULB STORAGED DURATION ON SHALLOT MICRO SHOOT PROPAGATION) Abstrak Umbi lapis bibit bawang merah disimpan di ruangan pada suhu tinggi (30o
45 C) selama dua sampai empat bulan. Tujuan petani melakukan proses tersebut untuk mematahkan dormansi sehingga umbi lapis bibit akan segera bertunas saat ditanam di lapangan. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur simpan umbi lapis terhadap pembentukan tunas mikro bawang merah
dan
mendapatkan umur simpan umbi lapis terbaik sebagai sumber eksplan dalam media perbanyakan tunas. Percobaan menggunakan Rancangan Acak lengkap yang disusun dalam faktor tunggal yaitu umur simpan umbi lapis. Terdapat empat taraf umur simpan yaitu 1, 2, 3 dan 4 bulan. Setiap perlakuan terdiri atas 16 ulangan dan setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanam satu eksplan. Eksplan berupa ½ bagian umbi lapis yang dipotong melintang basal plate dengan menyertakan
dua lapisan terdalam
umbi lapis. Hasil percobaan
menunjukkan umur simpan umbi lapis bawang merah dua bulan memberikan hasil terbaik pada peubah jumlah tunas mikro, jumlah daun, dan akar serta sedikit terdapat vitrifikasi. Tunas mikro yang berumur empat minggu di media perbanyakan terbaik dipergunakan untuk propagul dalam pengumbian mikro bawang merah.
Kata kunci : Bawang merah (Allium ascalonicum L.), 2ip (N6-(Delta2isopentenyl)-adenine), umur eksplan, multiplikasi tunas, Gamborg/B5 vitamin.
Abstract Shallot bulb need storage at high temperature (30-45 oC) for two to four months before planting. Storage the bulb is intended to break the bulb dormancy. The bulb
will be easier to grow when it is planted. The objective of this
22
experiment was to evaluate the effect of shallot bulb storage duration (1, 2, 3 and 4 months) on micro shoot production and to determine the best bulb storage duration as source of explants for propagation. Experiment was designed set in a Completely Randomized Design. Bulb storage was arranged as treatment factor. There were four levels of bulb storage i.e : 1, 2, 3 and 4 months. Each treatment was repeated 16 times and each experimental unit consisted of one planted explant. Explant was one half of basal plate cut vertically with two inner scales. The result showed that bulb duration storage significantly influenced culture growth. Bulb with 2 months storage gave the best performance on number of micro shoot, number of leaves and roots and less vitrification. Four-week old micro shoots was the best for propagules of shallot micro bulb induction.
Key words: Allium ascalonicum L., 2ip (N6-(Delta2-isopentenyl)-adenine), explant age, shoot multiplication, Gamborg/ B5 vitamin.
Pendahuluan Bawang merah merupakan salah satu sayuran penting di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai rempah dalam berbagai jenis masakan dan obat tradisional. Permintaan bawang merah setiap tahunnya cenderung meningkat dan pada saat musim hujan produksi nasional mengalami penurunan sehingga impor dilakukan. Impor bawang merah setiap tahun meningkat dan menempati tempat tertinggi diantara sayuran yang diproduksi di Indonesia. Impor dilakukan untuk konsumsi dan diduga sebagian dipergunakan untuk bibit. Pada tahun 2006 umbi lapis bawang merah impor mencapai 78 462 ton dan pada tahun 2010 mencapai 80 000 ton (Direktorat Jendral Hortikultura 2011). Perbanyakan bawang merah sampai saat ini umumnya dilakukan secara vegetatif menggunakan umbi lapis.
Umbi lapis bawang merah untuk bibit
disimpan di ruangan bersuhu tinggi (38-45 oC) selama 2-2.5 bulan. Beberapa petani menyimpan umbi lapis hasil panen sampai 4 bulan yang bertujuan untuk mematahkan dormansi (Petani Indonesia 2009). Umbi lapis disimpan sebagai bibit untuk musim tanam berikutnya. Umbi lapis bibit bawang merah yang dibutuhkan untuk setiap hektar sekitar satu ton. Luas areal pertanaman bawang merah di
23
Indonesia yang mencapai 104 000 ha memerlukan umbi lapis bibit yang sangat banyak. Salah satu masalah yang dihadapi dalam budidaya bawang merah adalah kualitas bibit. Penggunaan bibit yang berasal dari produksi hasil pertanaman sebelumnya akan menyebabkan penyakit degeneratif. Bibit yang tidak berkualitas akan memengaruhi pertumbuhan di lapangan, produksi dan produktivitas. Penyediaan bibit bawang merah dapat dibantu melalui kultur jaringan. Perbanyakan melalui kultur in vitro sudah berhasil dikembangkan pada banyak tanaman.
Penyediaan bibit melalui kultur jaringan memiliki keunggulan
diantaranya bebas penyakit (terutama virus) dan tidak bergantung musim. Eksplan untuk perbanyakan bawang merah in vitro dapat berasal dari biji, bagian bunga dan bagian cakram umbi. Pertumbuhan dan perkembangbiakan dalam kultur in vitro dipengaruhi berbagai faktor antara lain umur eksplan (Hunter & Burritt 2002; Ozyigit et al. 2007; Dhavala et al. 2009; Youssef et al. 2011). Umbi lapis bawang Bombay yang disimpan pada suhu 5 oC
mempercepat
tumbuhnya tunas (Khokhar 2009). Umur simpan yang baik untuk eksplan bawang merah perlu diketahui untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangbiakan tunas dalam media perbanyakan in vitro. Jumlah tunas yang optimal pada umur eksplan tertentu akan sangat berpengaruh dalam penyediaan jumlah propagul tunas untuk pengumbian mikro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur simpan umbi lapis bibit bawang merah terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan tunas mikro pada media perbanyakan sebagai propagul untuk pengumbian mikro
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB pada bulan Mei – Oktober 2007. Bahan Tanaman Umbi lapis bibit bawang merah kultivar Bima Curut yang sudah disimpan selama 1, 2, 3 dan 4 bulan diperoleh dari petani bawang merah yang mengusahakan bibit di Brebes.
24
Metode Percobaan tentang pengaruh umur simpan umbi lapis pertumbuhan tunas mikro bawang merah
terhadap
menggunakan Rancangan Acak
Lengkap yang disusun dalam faktor tunggal yaitu umur simpan umbi lapis. Perlakuan terdiri atas empat taraf umur simpan : 1, 2, 3 dan 4
bulan simpan.
Terdapat empat perlakuan yang diulang 16 kali sehingga terdapat 64 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas satu botol kultur yang berisi satu eksplan. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama enam minggu. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan bantuan SAS 6, anova dan uji lanjut dengan DMRT pada tingkat kepercayaan 95% apabila terdapat pengaruh perlakuan. Analisis regresi dilakukan untuk menduga konsentrasi optimum dari perlakuan. Korelasi antar peubah dianalisis untuk mengetahui keterkaitannya. Umbi lapis dicuci bersih dan dibiarkan di bawah kucuran air mengalir selama 30 menit, pengerjaan sterilisasi selanjutnya dilakukan di Laminar Air Flow cabinet (LAF) dengan merendam umbi lapis utuh dalam larutan pemutih komersial yang mengandung 5% sodium hipokhlorida dengan konsentrasi 1% NaOCl selama 15 menit. Umbi lapis bagian atas dipotong sehingga tersisa ¾ bagian umbi. Potongan umbi lapis tersebut selanjutnya direndam dalam larutan NaOCl 0.5% dan 0.25% berturut turut selama 15 dan 25 menit. Lapisan terluar umbi lapis yang kontak dengan sterilan dikupas dan dipotong pada setiap langkah perendaman. Eksplan dibelah dua secara melintang tepat di bagian tengah dan dibilas air suling steril tiga kali, selanjutnya ditanam pada media Murashige dan Skoog (MS) (1962) tanpa zat pengatur tumbuh. Eksplan yang tidak terkontaminasi dipindah tanam ke media perbanyakan (MS + vitamin B5 (myo inositol 100 mg L-1, thiamin 1 mg L-1, piridoxin 10 mg L-1, asam nicotinat 1 mg L-1) + 4 mg L-1 2 ip + 0.5 mg L-1 NAA). Kultur yang steril diamati selama 6 minggu. Kultur diletakkan di rak dengan dengan intensitas cahaya 2000 lux selama 24 jam dan suhu ruang 22 oC. Peubah yang diamati meliputi : jumlah tunas, jumlah daun total, jumlah daun hijau, jumlah akar, dan persentase tunas vitrous.
25
Hasil dan Pembahasan Perlakuan umur simpan umbi lapis berpengaruh terhadap peubah jumlah tunas, jumlah daun, jumlah daun hijau (1-6 MST), dan jumlah akar (2-6 MST). Seluruh eksplan setelah 4 hari diinisiasi dalam media prekondisi in vitro menunjukkan pertumbuhan dengan memanjangnya bagian daun dan tunas berwarna hijau. Tunas yang steril dan ditanam di media perbanyakan setelah 7 hari memperlihatkan pemanjangan daun. Pertumbuhan daun tersebut terjadi pada semua tunas yang berasal dari umbi lapis yang disimpan satu sampai empat bulan. Jumlah daun meningkat setiap minggu pada semua perlakuan. Beberapa eksplan umbi lapis yang diinisiasi pada media perbanyakan pada minggu pertama sudah melakukan multiplikasi tunas mikro. Multiplikasi tunas mikro lebih cepat terjadi pada perlakuan umur simpan umbi lapis 2, 3 dan 4 bulan dibanding umbi lapis yang disimpan satu bulan (Tabel 1). Tumbuhnya tunas yang lebih cepat pada perlakuan umur simpan tersebut diduga disebabkan selama periode simpan telah terjadi metabolisme yang mengaktifkan proses pembelahan sel. Pada minggu 3-5 perlakuan umur simpan umbi lapis 2 dan 4 bulan nyata menghasilkan jumlah tunas lebih banyak dibanding perlakuan umur simpan umbi lapis 1 dan 3 bulan.
Tabel 1. Rataan jumlah tunas bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis Umur
Minggu Setelah Tanam (MST)
Simpan (bulan)
1
2
3
4
5
6
…tunas… 1
1.0 c
1.0 c
1.4 b
1.4 b
1.6 b
1.8 b
2
1.8 a
1.9 a
3.0 a
3.7 a
3.5 a
3.6 a
3
1.4 b
1.5 b
1.8 b
2.0 b
2.1 b
2.3 b
4
1.3 bc
1.6 ab
2.5 a
3.9 a
3.8 a
3.8 a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menun jukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf α= 5%
26
Tingginya persentase kultur yang mengalami multiplikasi dan jumlah tunas yang banyak merupakan hasil yang diharapkan dalam perbanyakan tunas mikro. Pada bawang merah, tunas mikro merupakan propagul utama untuk selanjutnya diinduksi umbi lapisnya pada media pengumbian. Peningkatan jumlah tunas mikro bawang merah dapat ditingkatkan dengan cara melakukan subkultur pada minggu ke 3-4 dan dilakukan pemisahan tunas pada media perbanyakan. Tunas tidak perlu dibiarkan terlalu lama sampai enam MST karena data pada Tabel 1 menunjukkan setelah minggu keempat jumlah tunas tidak bertambah. Pada penelitian jumlah tunas yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Septiari dan Dinarti (2003). Periode kultur yang lebih pendek hanya 6 MST dibanding penelitian sebelumnya yang mencapai 10 MST dan perbedaan genotipe diduga menjadi penyebab berbedanya tunas yang dihasilkan. Umur eksplan berpengaruh terhadap regenerasi tunas mikro selada (Hunter & Burritt 2002), tunas mikro kapas (Ozyigit et al. 2007), tunas mikro Solanum trilobatum L (Dhavala et al. 2009), tunas mikro pisang Cavendish (Youssef et al. 2010). Pengaruh umur eksplan terhadap regenerasi tunas mikro tersebut juga tergantung genotipe yang digunakan (Youssef et al. 2010; Mohebodini et al. 2011). Hasil peneltian ini memberikan informasi lain, beberapa tunas yang terbentuk pada perlakuan 1, 3 dan 4 bulan simpan mengalami vitrous (tunas menjadi hijau bening) sejak 4 MST dan persentase tunas vitrous meningkat sampai minggu terakhir percobaan (Gambar 4). Tunas mikro yang vitrous menunjukkan kualitas tunas yang kurang baik untuk digunakan sebagai propagul in vitro. Kondisi vitrous dapat disebabkan kandungan sitokinin endogen yang cukup tinggi seperti yang terjadi pada tunas mikro anyelir. Ini menyebabkan tunas sulit berkembang serta tidak mampu berakar (Leshem et al. 1988). Terjadinya tunas vitrous yang berasal dari umbi lapis yang disimpan
3 dan 4 bulan
disebabkan tunas adventif sudah terbentuk dan diduga kandungan sitokinin endogen lebih tinggi. Umur simpan umbi lapis 2 bulan menunjukkan jumlah daun nyata lebih banyak dibanding umur simpan 1, 3 dan 4 bulan pada 2 dan 3 MST. Jumlah daun
27
yang berasal dari umur simpan umbi lapis 4 bulan tidak berbeda nyata dengan umur simpan 2 bulan pada 4-6 MST (Tabel 2).
Persen vitrous (%)
70 60 50 40
4 MST
30
5 MST
20
6 MST
10 0
1
2
3
4
Umur simpan umbi lapis (bulan)
Gambar 4. Persentase tunas vitrous pada empat perlakuan umur simpan umbi lapis dari 4 sampai 6 MST
Tabel 2. Jumlah daun bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis Umur simpan (bulan)
Minggu Setelah Tanam (MST)
1
2
3 4 …helai daun…
5
6
1
2.1 c
2.9 b
3.8 c
5.3 b
5.8 b
7.3 b
2
4.1 a
6.1 a
9.4 a
12.5 a
13.4 a
14.3 a
3
3.3 ab
4.1 b
5.2 c
7.3 b
7.4 b
8.6 b
4
3.1 bc
3.8 b
7.3 b
13 a
12.6 a
12.6 a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menun jukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf α= 5% Tunas dalam kondisi baik yang ditunjukkan dengan daun yang berwarna hijau akan mendukung pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Daun akan mengalami perubahan warna dari hijau menjadi menjadi kecoklatan karena kehilangan klorofil (senesen). Jumlah daun yang berwarna hijau mengalami penurunan mulai 5 MST pada seluruh perlakuan umur simpan umbi lapis. Hilangnya warna hijau pada daun merupakan transisi kloroplas menjadi
28
gerontoplas yang berasosiasi dengan hancurnya pigmen fotosintesis dan remobilisasi protein (Matile 2001). Laju penurunan jumlah daun berwarna hijau tertinggi terjadi pada perlakuan umur simpan umbi 4 bulan (Tabel 3). Tunas in vitro bawang Bombay berhasil membentuk umbi lapis apabila menggunakan tunas dengan jumlah daun lebih dari 3 helai (Kahane et al.1992). Di lapangan pembentukan umbi lapis terjadi setelah terbentuknya 6 helai daun (Brewster et al. 1977). Proses pembentukan umbi lapis bawang merah terjadi setelah proses pembelahan sel berlangsung maksimal dengan terbentuknya sejumlah daun. Sel-sel pada bagian pangkal tunas selanjutnya akan mengalami proses pemanjangan dan pembesaran selama
pengisian oleh karbohidrat
(Brewster 2002). Tunas dengan daun yang cepat senesen menunjukkan selnya mengalami degenerasi dan kondisi ini diduga akan berpengaruh dalam proses pengisian sel oleh karbohidrat pada saat pengumbian mikro. Umur simpan umbi lapis 2 bulan memperlihatkan kecepatan pertumbuhan daun dan tunas yang sama dengan kultur yang berasal dari umur simpan 4 bulan tetapi kecepatan daun pada tunas yang berasal dari umur simpan umbi lapis 2 bulan menjadi senesen lebih lambat. Propagul tunas mikro bawang merah yang baik untuk pengumbian mikro mempunyai daun cukup banyak (lebih dari tiga), tidak vitrous dan tidak cepat senesen sebelum dipindah tanam ke media pengumbian (MS + vitamin B5 + 150 g L-1 sukrosa).
Tabel 3. Jumlah daun hijau bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis Umur Simpan (bulan)
Minggu Setelah Tanam (MST) 1
2
3
4
5
6
1
2.1 b
……..helai daun hijau………. 2.8 b 3.1 c 3.3 b 3.2 b
2
3.8 a
5.4 a
7.2 a
7.7 a
6.1 ab 4.4 a
3
3.3 a
3.6 b
3.9 bc
4.6 b
3.9 b
3.9 a
4
3.1 a
3.8 b
5.8 ab
9.2 a
7.0 a
3.3 a
2.8 a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menun jukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada α = 5%
29
Pemberian NAA pada media perbanyakan mengakibatkan keseimbangan hormon endogen tunas mikro bawang merah berubah sehingga pada 1 MST akar mulai terbentuk di bagian pangkal tunas pada perlakuan 2 dan 3 bulan umur simpan umbi lapis. Jumlah akar terus mengalami peningkatan sampai 6 MST. Perlakuan umur simpan umbi lapis 2 bulan menghasilkan jumlah akar nyata lebih banyak dibanding dengan perlakuan umur simpan umbi lapis 1, 3 dan 4 bulan (Gambar 5).
14 12
jumlah akar
10 8
1 bulan
6
2 bulan 3 bulan
4
4 bulan
2 0 1
2
3 4 Minggu setelah tanam
5
6
Gambar 5. Jumlah akar tunas mikro bawang merah pada empat umur simpan umbi lapis Berdasarkan analisis regresi peubah jumlah tunas, jumlah daun hijau, jumlah daun senesen, dan jumlah akar mempunyai nilai R2 yang sangat kecil sehingga tidak dapat diambil kesimpulan untuk menentukan nilai optimum untuk perlakuan terbaik. Pola pertumbuhan jumlah tunas, jumlah daun, dan jumlah daun senesen pada empat sampai enam MST secara kuadratik meningkat sampai umur simpan empat bulan (Gambar 6). Walaupun berdasarkan perhitungan secara regresi menunjukkan jumlah tunas dan jumlah daun terbanyak dari 4-6 MST diperoleh pada perlakuan umur simpan umbi laps 4 bulan, tetapi jumlah daun senesen dan persentase tunas yang vitrous juga meningkat pada perlakuan tersebut (Gambar 4). Berdasarkan kriteria, tunas mikro bawang merah yang sesuai untuk propagul pengumbian mikro adalah
30
tunas dengan helai daun minimal 3, tidak banyak daun senesen dan tidak vitrous. Tunas dengan kriteria tersebut diperoleh dari eksplan dengan umur simpan 2 bulan. y = -0.0469x2 + 0.7031x + 1.4531 R² = 0.0997
jumlah tunas
8 6 4 2 0
0
1
2
3
4
5
Umur simpan umbi lapis (bulan) y = -0.7344x2 + 4.7031x + 4.4531 R² = 0.0548
jumlah daun (helai)
30 25 20 15 10 5 0
jumlah daun senesesn (helai)
0
1 2 3 4 Umur simpan umbi lapis (bulan)
5
y = -0.0625x2 + 1.225x + 4.4687 R² = 0.0611
25
20 15 10 5
0 0
1 2 3 4 Umur simpan umbi lapis (bulan)
5
Gambar 6 . Regresi jumlah tunas (atas), jumlah daun (tengah) dan jumlah daun senesen (bawah) dari tunas mikro bawang merah pada empat umur simpan umbi lapis pada 6 MST.
31
Hasil analisis korelasi antar peubah, terdapat hubungan antar peubah yang sangat nyata antara jumlah tunas, jumlah daun hijau, jumlah daun senesen dan jumlah akar dari 4-6 MST. Nilai koefisien korelasi jumlah tunas tertinggi pada 4 MST dan nilainya semakin menurun pada 5-6 MST terhadap jumlah daun hijau, semakin meningkat nilai koefisien korelasinya terhadap jumlah daun senesen dari 4-6 MST (Tabel 4, 5 dan 6). Nilai koefisien korelasi jumlah daun hijau dan jumlah daun senesen juga meningkat dari minggu 4-6 MST. Korelasi tersebut menunjukkan peningkatan daun hijau akan diikuti dengan peningkatan daun senesen.
Tabel 4. Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 4 MST Jumlah tunas Jumlah tunas Jumlah daun hijau Jumlah daun senesen Jumlah akar
Jumlah daun Jumlah daun Jumlah hijau senesen akar 1.00000 0.94255** 0.41578** 0.22098 0.94255** 1.00000 0.51406** 0.29057** 0.41578** 0.51406** 1.00000 0.34847** 0.22098
0.29057**
0.34847**
1.00000
Table 5. Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 5 MST Jumlah tunas Jumlah tunas Jumlah daun hijau Jumlah daun senesen Jumlah Akar
Jumlah daun Jumlah daun Jumlah hijau senesen akar 1.00000 0.91671** 0.57704** 0.31091** 0.91671** 1.00000 0.69276** 0.42091** 0.57704** 0.69276** 1.00000 0.48856** 0.31091**
0.42091**
0.48856**
1.00000
Tabel 6. Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 6 MST Jumlah tunas Jumlah tunas Jumlah daun hijau Jumlah daun senesen Jumlah akar
Jumlah daun Jumlah daun Jumlah hijau tua akar 1.00000 0.91275 ** 0.73613** 0.26010** 0.91275 ** 1.00000 0.76018** 0.36517** 0.73613** 0.76018** 1.00000 0.31564**
0.26010**
0.36517**
0.31564**
1.00000
32
Nilai koefisien korelasi antar peubah tersebut sangat mendukung dalam pengambilan keputusan menentukan umur tunas berdasarkan kondisi tunas untuk propagul pengumbian mikro bawang merah. Nilai koefisien korelasi jumlah tunas yang menurun pada 5-6 MST, tetapi nilai koefisien korelasi jumlah daun senesen meningkat, menunjukkan semakin lama tunas dalam kultur maka jumlah daun sensesen akan meningkat. Kondisi ini tidak diharapkan untuk kriteria tunas yang akan diumbikan. Sebaiknya tunas mikro yang akan digunakan sebagai propagul dalam pengumbian mikro bawang merah adalah tunas yang berumur 4 MST.
Kesimpulan Umur eksplan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro bawang merah. Umbi lapis yang disimpan selama 2 bulan merupakan sumber eksplan terbaik pada media perbanyakan (MS + vitamin B5 + 4 mg L-1 2ip + 0.5 mg L-1 NAA). Jumlah tunas in vitro yang dihasilkan umur simpan umbi lapis 2 dan 4 menghasilkan jumlah tunas mikro yang lebih banyak dibanding umur simpan 1 dan 3 bulan. Tunas mikro yang berasal dari umur simpan 2 bulan mempunyai jumlah daun hijau dan jumlah akar terbanyak. Terdapat korelasi sangat nyata antara jumlah tunas, jumlah daun hijau, jumlah daun senesen dan jumlah akar pada 4-6 MST.
Saran Tunas sebaiknya disubkultur pada minggu ketiga dengan memisahkan setiap tunas dan ditanam pada media perbanyakan dengan tujuan memperbanyak tunas. Tunas yang berumur 4 MST, tidak vitrous dengan jumlah daun lebih dari tiga helai disarankan digunakan sebagai propagul untuk pengumbian.
33
PENGARUH SUHU RUANG KULTUR TERHADAP PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF ROOM TEMPERATURE ON SHALLOT MICROBULB INDUCTION) Abstrak Bawang merah merupakan sayuran anggota famili Alliaceae yang sudah beradaptasi di daerah tropis, sehingga pembentukan umbi lapis terjadi pada kondisi suhu yang relatif tinggi (30-45 oC). Morfogenesis dalam kultur in vitro dipengaruhi oleh suhu ruang kultur. Tujuan
percobaan ini adalah untuk
mengetahui pengaruh suhu dalam pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Percobaan disusun dalam rancangan lingkungan acak lengkap dengan faktor perlakuan tunggal suhu ruang yang terdiri atas dua taraf yaitu 20/17 dan 30/27 oC. Setiap taraf perlakuan diulang 39 kali dan setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur. Eksplan awal berupa setengah bagian cakram umbi yang ditanam pada media multiplikasi tunas (MS+vit B5+4 mg L -1 2ip+0.5 mg L-1 NAA). Tunas mikro yang diperoleh pada media multiplikasi dan berumur 4 MST selanjutnya dipisahkan setiap tunas. Tunas mikro bawang merah yang ditanam ke media pengumbian harus mempunyai daun minimal berjumlah 4 helai dan tidak vitrous. Ke dalam satu botol kultur media pengumbian (MS+vit B5+sukrosa 150 g L-1) ditanam satu tunas mikro. Kultur diletakkan di kamar tumbuh (growth chamber) sesuai perlakuan suhu ruang. Hasil pengamatan menunjukkan suhu ruang berpengaruh terhadap jumlah umbi lapis mikro, diameter pangkal (Dp) umbi lapis mikro, rasio diameter terlebar dengan diameter pangkal (Dt/Dp) umbi lapis mikro, panjang akar, panjang tunas, jumlah daun, jumlah daun senesen. Suhu 30/27 oC nyata mempercepat proses pembentukan umbi lapis mikro dan meningkatkan ukuran umbi lapis mikro bawang merah.
Kata kunci: Bawang merah (Allium ascalonicum L.) ), umbi lapis mikro, Vit B5, 2ip, suhu ruang kultur.
34
Abstract Shallot is a member of Alliaceae
adapted in tropical region. Bulb
induction occurs at high temperature (30-45 oC). In vitro morphogenesis is influenced by room culture temperature. The objective of this experiment was to determine the influence of room temperature on shallot micro bulb induction. Experiment was arranged in a Completely Randomized Design with one factor i.e room temperature. Room temperature was set at two levels : 20/17 and 30/27 oC. Each level of treatment was repeated 39 times and each
experimental unit
consisted of one tube. Explant was one half of bulb with basal plate and planted on propagation medium (MS + Gamborg vitamin + 4 mg L-1 2ip + 0.5 mg L-1 NAA). Shallot micro shoot induced in propagation medium was separated in single shoot. Micro shoot with minimum 4 leaves and
was not vitrous was
planted in bulb induction medium (MS + Gamborg B5 vitamin + 150 g L-1 sucrose). The culture was planted in growth chamber with different temperature (day/night) 20/17 and 30/27 oC according to treatment. Lower temperature gave good result for number of leaves, plant height, root number and root length. Shallot micro bulb induction was influenced by temperature. Micro bulb appeared after 3 weeks in micro bulb induction medium. Temperature 30/27 oC gave the best result on number of micro bulb, base and widest diameter of bulb and ratio of bulb widest and bulb base diameter.
Key words: Shallot (Allium ascalonicum L.), microbulb, B5 vitamin , 2ip, room temperature.
Pendahuluan Bawang merah merupakan sayuran berumbi yang sudah beradaptasi pada kondisi tropis. Pertumbuhan dan perkembangan bagian tajuk dan umbi lapis terjadi pada suhu lingkungan yang relatif tinggi (30-45 oC). Untuk mendapatkan umbi lapis yang diinginkan tanaman bawang di lapangan memerlukan minimal enam helai daun untuk dapat menangkap energi dari sinar matahari (Brewster et al. 1977).
35
Proses pengumbian bawang merah untuk mendapatkan umbi lapis mikro dipengaruhi lingkungan kultur, salah satunya suhu. Pembentukan umbi mikro bawang putih (Kim et al. 2003) dan corm mikro Watsonia vanderspuyiae terjadi pada suhu 20 oC (Ascough et al. 2006); persentase pertunasan pada tebu lebih tinggi terjadi pada suhu 25 oC dibanding suhu yang lebih rendah (Jain et al. 2007). Pada Crinum macowanii, bulblet terbentuk pada suhu 25-30 oC (Slabbert et al. 1993). Sejauh ini suhu ruang kultur yang tepat untuk mendukung pembentukan umbi lapis mikro bawang merah belum diketahui. Suhu yang cukup tinggi akan berpengaruh terhadap proses enzimatik (Fereira et al. 2006; Cheng et al. 2005; Jain et al. 2007). Suhu tinggi dapat meningkatkan biosintesis asam amino, thiamin, struktur
sitoskeleton yang
terdeteksi dengan menumpuknya protein tertentu yang berkaitan dengan fotosintesis dan metabolisme karbon (Fereira et al. 2006), meningkatkan akumulasi pati dan amilase pada padi (Cheng et al. 2005). Suhu merupakan faktor alami yang mengatur pertumbuhan dan morfogenesis. Faktor suhu merupakan faktor utama yang menginduksi organ penyimpanan dibanding faktor lainnya (Ascough et al. 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mendapatkan suhu ruang kultur yang mendukung pembentukan umbi lapis mikro bawang merah.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Percobaan pembentukan umbi lapis mikro bawang merah dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, School of Land, Agriculture, and Food Science, University of Queensland pada bulan November 2008 - Februari 2009. Bahan Tanaman Umbi lapis bawang merah diperoleh dari pedagang asal Vietnam yang mengimpor umbi lapis tersebut dari negaranya dan merupakan umbi konsumsi bukan untuk keperluan bibit. Metode sterilisasi dan cara inisiasi dan media multiplikasi dilakukan seperti langkah pada percobaan pertama.
36
Metode Penelitian Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan faktor tunggal suhu ruang kultur yang terdiri atas dua taraf yaitu suhu (siang/malam) 20/17 oC dan 30/27 oC. Setiap perlakuan diulang 39 kali sehingga terdapat 78 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas satu botol kultur. Setiap botol kultur ditanam satu tunas mikro bawang merah. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama lima minggu. Data yang diperoleh diolah dengan bantuan Minitab 14 dan dilakukan uji t student pada tingkat kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan dari dua kondisi suhu ruang kultur terhadap peubah yang diamati. Tunas mikro dari hasil perbanyakan yang sudah berumur 3-4 minggu dengan jumlah daun minimal 4 helai, tidak vitrous, dan tanpa akar ditanam pada media pengumbian (MS + vitamin B5 + gula 150 g L-l). Setiap botol media ditanam satu tunas mikro. Kultur selanjutnya diletakkan di dua kamar tumbuh (growth chamber) yang masing-masing dengan pengaturan suhu (siang/malam) 20/17 oC dan 30/27 o C, intensitas cahaya 2000 lux dengan lama penyinaran 12 jam. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama lima minggu. Peubah yang diamati yaitu jumlah tunas, jumlah daun total, jumlah daun senesen (diamati setiap minggu): jumlah umbi, panjang akar, panjang daun, bobot planlet, diameter (pangkal (Dp), tengah terlebar (Dt), diukur dengan jangka sorong) umbi lapis mikro (diamati pada minggu ke 6 dengan mengeluarkan planlet dari botol kultur). Analisis GA dilakukan pada seluruh umbi lapis mikro bawang merah setelah dipanen pada 6 MST. Umbi lapis mikro dikeringkan dengan freeze dryer pada suhu rendah (-4 oC) selama 24 jam dan selanjutnya dikemas dalam botol plastik dan dikirim untuk dianalisis GAnya ke JJ Ross PhD di University of Tasmania. Analisis giberelin menggunakan metoda Ross (1998).
Hasil dan Pembahasan Sebanyak 91% tunas yang berasal dari media perbanyakan dan dipindahtanam ke media pengumbian mampu menggandakan diri pada perlakuan suhu 20/17 oC dan 83% pada suhu 30/27 oC. Secara statistik jumlah tunas yang
37
terbentuk pada perlakuan suhu 20/17 adalah 1.8 dan 30/27 oC adalah 1.7 tidak berbeda
nyata.
Sedikitnya
jumlah tunas
yang terbentuk karena tidak
ditambahkannya sitokinin ke dalam media pengumbian (MS + vitamin B5 + 150 g L-1 sukrosa) mikro bawang merah. Jumlah daun total setiap minggu pada kedua perlakuan suhu ruang kultur nyata semakin meningkat dan jumlah daun terbanyak diperoleh pada perlakuan suhu ruang kultur 20/17 oC (Tabel 7). Peningkatan jumlah daun pada suhu yang lebih rendah diduga karena terjadi peningkatan aktivitas hormonal salah satunya IAA, seperti yang dilaporkan pada tebu (Jain et al. 2007).
Tabel 7. Jumlah daun bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur Suhu
Minggu Setelah Tanam (MST)
(oC)
1
2
3
4
5
helai 20/17
3.0
a
3.3
a
3.8
a
4.4
a
4.8 a
30/27
3.4
a
2.6
a
3.7
a
3.7
b
3.9 b
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji t pada α = 5%. Daun yang terbentuk di bagian terluar pada minggu kedua dalam media pengumbian mengalami senesen dengan memudarnya warna hijau pada daun. Jumlah daun senesen pada kedua perlakuan suhu tersebut terus meningkat sampai minggu ke lima.
Tabel 8. Jumlah daun senesen bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur Minggu Setelah Tanam (MST)
Suhu (oC)
1
2
3
4
5
helai 20/17
0.57
b
1.4
b
1.8
b
2.2
b
2.6
b
30/27
1.9
a
3.0
a
3.2
a
3.3
a
3.6
a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji t pada α = 5%.
38
Suhu ruang 30/27 oC nyata mempercepat proses senesen (Tabel 8). Tidak ditambahkannya auksin ke dalam media pengumbian dan proses respirasi yang cukup tinggi pada suhu 30/27 oC diduga mengakibatkan senesen cepat terjadi. Peningkatan suhu menjadi 25 oC menurunkan konsentrasi auksin pada tebu (Jain et al. 2007). Hasil penelitian pada multiplikasi tunas in vitro jarak pagar menunjukkan tingkat kelayuan daun sangat tinggi diduga salah satunya karena kandungan auksin yang rendah (Lizawati et al. 2009). Daun terluar yang terbentuk pada tunas in vitro bawang merah setelah mengalami senesen akan mengering dan berwarna merah coklat. Jumlah tunas yang diperoleh pada perlakuan suhu 20/17 dan 30/27 oC tidak berbeda nyata (Gambar 7). Rata-rata hanya terbentuk satu tunas atau hampir tidak terjadi multiplikasi tunas pada media pengumbian mikro. Tunas yang ditanam di media pengumbian akan mengalami perkembangan dengan berubahnya ukuran dan warna hijau berubah menjadi kemerahan di bagian pangkal. Perubahan warna tersebut dapat diamati mulai minggu pertama tunas mikro ditanam di media pengumbian dan warna merah akan semakin pekat. Perubahan warna pada lapisan terluar umbi lapis ini karena tingginya kandungan anthosianin (1.935 µmol/100g) dan karoten (7.846 µmol/100g) dibanding klorofil total (0.342 µmol/100g). Suhu
jumlah tunas
ruang kultur 30/27 oC mempercepat warna merah muncul di bagian pangkal tunas.
2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
20 ⁰C 30 ⁰C
1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
Minggu setelah tanam
Gambar 7. Jumlah tunas bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur
39
Pangkal tunas mikro bawang pada minggu ketiga di media pengumbian semakin membesar dan membentuk umb lapis. Tunas yang membentuk umbi lapis mikro dipengaruhi suhu ruang kultur. Perlakuan suhu ruang 30/27 oC pada 14 MSP nyata menghasilkan umbi lapis per kultur lebih banyak dan lebih cepat dibanding perlakuan suhu 20/17 oC (Tabel 9). Hasil ini menunjukkan umbi lapis mikro bawang dapat dipanen sebelum 6 MST. Tunas dapat dibedakan dari umbi lapis dan ditunjukkan dengan daun menjadi senesen sampai leher umbi lapis, lapisan daun terluar menjadi coklat dan sebagian ada yang mengering. Proses pembentukan umbi lapis mikro bawang merah terjadi seperti di lapangan yang dijelaskan Brewster (2002). Umbi lapis mikro yang dipanen setelah 6 minggu di media pengumbian memperlihatkan seluruh bagian daun senesen dan terkulai di leher umbi. Kondisi seperti ini menunjukkan umbi lapis mikro siap untuk dipanen.
Tabel 9. Jumlah umbi lapis mikro bawang merah pada dua kondisi suhu ruang kultur Suhu
Minggu Setelah Tanam (MST)
(oC)
1
2
3
4
5
20/17
0.5 b
0.6 b
0.6 b
0.7 b
0.9 b
30/27
1.1 a
1.2 a
1.2 a
1.2 a
1.3 a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji t pada α = 5%. Suhu ruang kultur 30/27 oC menurunkan diameter pangkal tetapi rasio diameter terlebar (Dt) dengan pangkal (Dp) umbi lapis (Dt/Dp) nyata lebih besar, walaupun tidak meningkatkan bobot planlet (Tabel 10). Bobot planlet tidak berbeda nyata antara suhu 20/17 dan30/27 oC meskipun perbedaan nilai cukup tinggi yang disebabkan nilai koefisien keragaman cukup tinggi. Kriteria umbi lapis mikro pada pengumbian bawang adalah dengan menghitung rasio Dt/Dp. Nilai Dt/DP > 2 menunjukkan pembentukan umbi lapis mikro berhasil. Hasil percobaan ini pada suhu ruang 30/27 oC rasio Dt/Dp mencapai 4.3. Artinya ukuran umbi lapis mikro sangat besar dengan bentuk yang hampir bulat.
40
Peningkatan nilai Dt/Dp yang sangat tinggi diduga pada suhu 30/27
o
C
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan akumulasi karbohidrat ke bagian umbi. Kemungkinan lain adalah aktivitas enzimatik yang meningkatkan proses translokasi sukrosa ke organ penyimpanan. Bobot planlet tidak menunjukkan bobot umbi lapis mikro, karena seluruh bagian tajuk dan akar juga ditimbang. Tingginya bobot planlet pada perlakuan suhu 20/17 oC karena ditunjang oleh panjang daun dan akar yang lebih tinggi dibanding suhu 30/27 oC. Suhu 20/17 oC meningkatkan pertumbuhan bagian daun dan akar bawang merah.
Tabel 10. Panjang daun, panjang akar, bobot planlet, diameter tengah umbi lapis , diameter pangkal umbi lapis, bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur Suhu ruang o
Kultur ( C)
Panjang
Panjang
Bobot
Diameter
Diameter
Daun
Akar
planlet
Terlebar
Pangkal
(Dt)
(Dp)
(g) .....cm……
Dt/Dp
…..mm……
20/17
4.0 a
2.1 a
0.33 a
4.1 a
1.5 a
2.6 b
30/27
2.7 b
0.5 b
0.14 a
4.3 a
1.1 b
4.3 a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji t pada α = 5%. Hasil penelitian yang sama diperoleh pada induksi umbi lapis mikro Allium chinense (Zhen et al. 2008) dan Crinum macowanii, bulblet terbentuk pada suhu 25-30 oC (Slabbert et al. 1993); Nerine bowdenii pada suhu 27 oC (Jacobs et al. 1992) , Umumnya umbi lapis mikro yang berhasil diinduksi dan berasal dari sub tropis (Ascough et al. 2008) seperti bawang putih (Kim et al. 2003) lebih baik terbentuk pada suhu 20 oC. Tingginya suhu ruang kultur pada pembentukan umbi lapis mikro bawang merah menunjukkan tanaman ini mampu beradaptasi pada suhu daerah tropis yang cukup tinggi dibanding daerah asalnya. Kemungkinan lain suhu yang lebih tinggi meningkatkan aktivitas enzimatik yang berkaitan dengan metabolisme karbon (Fereira et al. 2006), akumulasi pati dan peningkatan gula tereduksi seperti pada tanaman padi dan tebu (Cheng et al. 2005; Jain et al. 2007).
41
Tabel 11. Jumlah akar umbi lapis mikro bawang merah pada dua kondisi suhu ruang kultur Minggu Setelah Tanam (MST)
Suhu 1
(oC)
2
3
4
5
…akar… 20/17
2.5 a
3.5
a
4.2 a
4.7 a
5.0 a
30/27
1.3 b
1.4
b
1.5 b
1.5 b
1.6 b
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji t pada α = 5%. Akar terbentuk pada bagian pangkal tunas atau umbi lapis. Akar lebih banyak terbentuk pada suhu yang lebih rendah. Suhu ruang kultur 20/17 oC nyata meningkatkan panjang akar dan panjang daun (Tabel 7) dan jumlah akar (Tabel 11). Hasil yang sama diperoleh pada pertumbuhan daun serta akar kultur A. chinense (Zhen et al. 2008). Peningkatan nilai rata-rata peubah tersebut diduga pada suhu ruang kultur 20/17 oC tanaman meningkatkan aktivitas pembelahan sel dan giberellin endogen serta peningkatan aktivitas auksin (Jain et al. 2007). Bobot planlet yang lebih tinggi pada suhu 20/17 oC dibanding suhu 30/27 oC tidak menunjukkan bobot umbi lapis mikro bawang merah pada suhu 20/17 oC lebih tinggi. Berdasarkan ukuran Dt/Dp, nilai tertinggi nyata diperoleh pada suhu 30/27 o
C. Hasil analisis GA3 dan GA20 pada umbi lapis mikro yang dihasilkan pada
perlakuan 20/17 dan 30/27
o
C serta tunas mikro dari media perbanyakan
menunjukkan konsentrasi kedua GA tersebut sangat kecil dan tidak terukur (komunikasi dengan JJ Ross).
Menurut perkiraan Ross kemungkinan bobot
sampel yang dikirimkan tidak mencukupi atau karena pengaruh suhu yang cukup tinggi yang menghambat sintesis giberelin.
Kesimpulan Pembentukan umbi lapis mikro bawang merah dipengaruhi suhu ruang kultur. Suhu 30/27 oC menginduksi umbi lapis mikro bawang merah lebih cepat (1-4 MST) dengan jumlah dan ukuran rasio diameter terlebar (Dt) dengan
42
diameter pangkal (Dp) (Dt/Dp) umbi lapis mikro lebih besar dibanding umbi lapis mikro yang terbentuk pada suhu 20/17 oC. Suhu ruang 20/17 oC meningkatkan jumlah tunas, panjang akar, panjang daun, jumlah akar, dan diameter pangkal umbi lapis mikro.
Saran Umbi lapis mikro bawang merah perlu dianalisis destruktif setiap minggu untuk dapat menentukan umur panen sesuai kriteria rasio Dt/Dp>2 sehingga tidak perlu menunggu dipanen sampai 6 MSP.
PERAN SUKROSA DAN PACLOBUTRAZOL DALAM PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF SUCROSE AND PACLOBURAZOL ON SHALLOT MICRO BULB INDUCTION)
Abstrak Umbi lapis mikro merupakan salah satu propagul yang dapat dikembangkan dari tanaman yang mempunyai organ penyimpanan. Pembentukan umbi lapis mikro dipengaruhi diantaranya oleh faktor sukrosa dan retardan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sukrosa dan paclobutrazol dalam pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap faktorial dua faktor yaitu sukrosa dan paclobutrazol. Perlakuan sukrosa terdiri atas lima taraf yaitu 30, 60, 90, 120 dan 150 g L-1 dan paclobutrazol terdiri dari empat taraf yaitu 0, 0.1, 1 dan 10 mg L-1. Terdapat 20 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi perlakuan diulang 10 kali. Setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur, sehingga seluruhnya terdapat 200 satuan percobaan. Tunas in vitro bawang merah hasil perbanyakan digunakan sebagai propagul untuk pengumbian mikro. Hasil percobaan menunjukkan tidak terdapat interaksi antara sukrosa dan paclobutrazol, dan perlakuan hanya berpengaruh secara tunggal. Sukrosa berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun senesen, jumlah akar, panjang akar, bobot planlet dan diameter umbi terlebar. Konsentrasi sukrosa 90 g L-1 terbaik dalam menginduksi umbi lapis mikro bawang merah.
Pemberian paclobutrazol berpengaruh nyata terhadap tinggi
tanaman, jumlah daun senesen, jumlah dan panjang akar.
Pemberian
-1
paclobutrazol pada taraf 10 mg L menghambat tinggi tanaman, jumlah daun senesen dan panjang akar. Pemberian paclobutrazol 0.1-10 mg L-1 menurunkan panjang akar.
Pemberian paclobutrazol pada konsentrasi 1 dan 10 mg L-1
menghasilkan bentuk umbi lapis mikro yang abnormal. Analisis regresi dengan respon linier positif nyata tetapi dengan R2 yang sangat kecil pada peubah diameter terlebar yang menunjukkan terjadi peningkatan diameter terlebar umbi lapis mikro bawang merah dengan meningkatnya konsentrasi paclobutrazol.
44
Korelasi terjadi antara peubah bobot planlet dengan peubah tinggi tanaman, jumlah daun hijau, jumlah daun senesen, jumlah akar, panjang akar, diameter terlebar (Dt) umbi lapis mikro dan diameter pangkal (Dp) umbi lapis mikro. Tidak terdapat korelasi antara peubah Dt/Dp dengan seluruh peubah lainnya. Kata kunci: sukrosa, paclobutrazol, umbi lapis mikro, bawang merah (Allium ascalonicum L.), variasi somaklonal.
Abstract Micro tuber is one form of propagules developed by plants capable of forming storage organ. Micro bulb formation is influenced by factors such as sucrose and retardants. The objective of this study was to determine the effect of sucrose and paclobutrazol in micro bulb formation of shallot. The experiment was arranged in Completely Randomized Design, with two factors namely sucrose and paclobutrazol. The treatment consisted of five sucrose levels : 30, 60, 90, 120 and 150 g L-1 and four levels of paclobutrazol : 0, 0.1, 1 and 10 mg L-1. There were 20 combinations of treatments and each treatment combination was repeated 10 times. Each experimental unit consisted of a single culture bottle, so there were 200 experimental units. Micro shoots of shallot were used as propagules for micro bulb induction. The results showed that there was no interaction between sucrose and paclobutrazol, and only single factor was significant. Sucrose inhibited plant height, number of senescing leaf , root number, root length, the weight of plantlets and tuber widest diameter. Sucrose concentration of 90 g L-1 induced the best in micro bulbs of shallot. Treatment of paclobutrazol significantly decreased plant height, number of senescing leaf, and root length. Paclobutrazol at level 10 mg L-1 inhibited plant height, number of leaf and root length. Paclobutrazol at 0.1-10 mg L-1 shortened root length. Paclobutrazol at a concentration of 1 and 10 mg L-1 produced abnormal form of micro bulbs. Regression analysis showed linier response (R2=0.081) on widest diameter. Widest diameter of micro bulb increased with paclobutrazol concentration. No correlation between ratio of widest diameter (Dt) and base diameter (Dp) of micro bulb with other parameters. Key words: sucrose, paclobutrazol, microbulb, shallot (Allium ascalonicum L.), somaclonal variation
45
Pendahuluan Bawang merah (Allium cepa grup agregatum atau Allium ascalonicum) merupakan salah satu species Allium yang terkenal di Indonesia dan merupakan salah satu komoditi unggulan yang terus ditingkatkan produksinya. Bawang merah pada periode 2004-2010 merupakan sayuran yang diproduksi ketiga tertinggi di Indonesia setelah kubis dan kentang. Produktivitas bawang merah mengalami penurunan dari 10.48 ton ha-1 pada tahun 2001 menjadi 8.74 ton ha-1 pada tahun 2007 (Direktorat Jendral Hortikultura 2011). Penurunan produktivitas bawang merah disebabkan salah satunya karena penggunaan bibit yang tidak berkualitas. Penggunaan bibit yang berasal dari hasil pertanaman sebelumnya, akumulasi patogen pada tanaman dan tidak adanya sistem penangkaran bibit dapat menimbulkan penyakit degeneratif yang akan memengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah di lapangan. Kultur in vitro sudah dikenal luas dalam kemampuannya menyediakan sejumlah besar bibit tanaman dalam waktu yang relatif cepat, bebas dari patogen (cendawan, bakteri atau virus), bersifat klonal dan tersedia sepanjang waktu tanpa dipengaruhi musim.
Perbanyakan bawang merah secara in vitro dapat
menggunakan eksplan tunas bunga (Cohat 1994), umbi lapis (Mohamed-Yasseen et al. 1994; Le Guen-Le Saos et al. 2003) atau embrio zigotik (Zheng et al. 1998 dalam Zheng et al. 2005) yang menghasilkan tunas mikro. Perbanyakan bawang merah in vitro juga dapat dilakukan melalui induksi umbi lapis mikro atau bulblet. Induksi umbi lapis mikro bawang merah menurut Mohamed-Yasseen et al. (1994) tidak sebaik pada bawang putih. Umbi lapis mikro bawang merah diinduksi pada media MS dengan penambahan arang aktif 5 g L-1 dan sukrosa 120 g L-1 dengan lama penyinaran 18 jam (Mohamed-Yasseen et al. 1994); Hidayat (1997) menginduksi umbi lapis mikro bawang merah cv Sumenep pada media BDS dengan sukrosa 150 g L-1. Fletcher et al. (1998) juga berhasil menginduksi umbi lapis mikro pada media yang sama dengan MohamedYasseen et al. (1994). Lebih lanjut Le Guen-Le Saos et al. (2002) berhasil menginduksi umbi lapis mikro bawang merah dengan perlakuan kualitas cahaya, sukrosa dan retardan. Tunas bawang merah var. Mikor ditanam pada media dengan sukrosa 30 sampai 50 g L-1 yang diberi penyinaran cahaya putih dan
46
incandescent selama 16 jam berhasil membentuk umbi lapis mikro. Pemberian sukrosa pada kultur in vitro umum diberikan untuk menginduksi umbi mikro seperti pada tanaman kentang (Wattimena & Purwito 1989), tulip (Rice et a.l. 1983), A. cepa (Kahane et al. 1992), bawang (Haque et al. 2003; Pelkonen 2005). Umumnya pemberian sukrosa dengan konsentrasi tinggi lebih dari 60 g L-1 akan meningkatkan pembentukan umbi mikro. Sukrosa akan ditranslokasikan ke organ penyimpanan di bagian basal dan terjadi penggembungan sehingga terbentuk umbi mikro ((Rice et a.l. 1983; Kahane et al. 1992). Sukrosa merupakan sumber karbohidrat dan energi (Wattimena & Purwito 1989). Proses pengumbian mikro
salah satunya ditentukan oleh keberadaan
giberelin. Pada tanaman kentang, umbi mikro tidak akan terbentuk apabila pada media terdapat giberelin eksogen. Pemberian retardan menghambat aktivitas giberelin endogen dan umbi mikro terbentuk pada suhu di bawah 20 oC (Menzel 1983). Pada pemberian retardan (ancymidol, paclobutrazol dan flurprimidol) 10 μM hanya ancymidol yang meningkatkan persentase umbi lapis mikro yang terbentuk (Le Guen-Le Saos 2002). Pemberian ancymidol 10 μM meningkatkan akumulasi sukrosa di bagian akar dan bagian bawah umbi lapis mikro bawang merah var. Mikor yang dideteksi dengan distribusi radioaktif [ 14C] sukrosa. Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui pengaruh sukrosa dan paclobutrazol serta mendapatkan media terbaik dalam pembentukan umbi lapis mikro bawang merah.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Percobaan
dilaksanakan
di
Laboratorium
Bioteknologi
Tanaman,
Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB pada bulan Juni 2009 – Desember 2009.
Bahan Tanaman Bawang merah yang digunakan berasal dari petani penyedia bibit di Brebes. Kultivar yang ditanam adalah Bima Juna.
47
Metode Penelitian Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap faktorial dua faktor. Faktor perlakuan yang pertama yaitu paclobutrazol terdiri atas empat taraf yaitu 0, 0.1, 1 dan 10 mg L-1 serta faktor kedua sukrosa yang terdiri atas lima taraf yaitu 30, 60, 90, 120 dan 150 g L-1. Setiap perlakuan diulang 10 kali sehingga terdapat 200 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas satu botol kultur. Setiap botol kultur ditanam satu tunas mikro bawang merah. Data yang diperoleh diolah dengan bantuan SAS 6 dan dilakukan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95% (α=5%) untuk mengetahui perbedaan dari perlakuan terhadap peubah yang diamati. Analisis regresi dilakukan untuk menduga respon perlakuan dan konsentrasi optimal dari setiap perlakuan. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antar peubah. Eksplan awal berupa setengah bagian cakram umbi yang ditanam pada media perbanyakan (MS+vit B5+4 mg L -1 2ip+0.5 mg L-1 NAA). Propagul untuk pengumbian adalah tunas mikro yang diperoleh dari media perbanyakan yang sudah berumur 3-4 minggu. Tunas mikro dengan daun minimal berjumlah empat helai, tidak vitrous dan tanpa akar ditanam pada media perlakuan. Kultur selanjutnya diletakkan di ruang kultur pada rak kultur dengan pengaturan suhu 30 o
C (suhu terbaik dari hasil percobaan kedua), intensitas cahaya 2000 lux dengan
lama penyinaran 24 jam. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama delapan minggu terhadap peubah : jumlah tunas, jumlah daun, jumlah daun kuning, jumlah akar, dan bobot planlet, panjang tunas, panjang akar, diameter terlebar (Dt) umbi lapis mikro, diameter pangkal (Dp) umbi lapis mikro, Dt/Dp pada minggu terakhir pengamatan.
Hasil dan Pembahasan Perlakuan sukrosa dan paclobutrazol berpengaruh secara tunggal, tidak terdapat interaksi antara kedua faktor. Sukrosa berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun senesen, jumlah akar, panjang akar, bobot planlet dan diameter terlebar umbi lapis mikro (Tabel 12).
48
Konsentrasi gula 150 g L-1 menghambat pemanjangan sel bagian tajuk dan akar. Jumlah akar terendah diperoleh pada media dengan gula 30 dan 150 g L-1. Hasil penelitian ini berbeda dari hasil penelitian Le Guen-Le Saos et al. (2002), konsentrasi sukrosa tinggi (70 g L -1) menghambat pertumbuhan akar dan Konsentrasi sukrosa yang tinggi (60-150 g L-1) menghambat proses
tunas.
senesen daun. Hal ini diduga karena sukrosa merupakan sumber energi bagi tunas in vitro seperti yang dijelaskan Wattimena dan Purwito (1989) sehingga daun hijau bertahan tetap hijau dalam waktu lebih lama. Bobot planlet terendah diperoleh pada perlakuan sukrosa 30 g L-1 dan tertinggi pada 60 g L-1. Bobot planlet yang tinggi pada perlakuan sukrosa 60 g L-1 karena jumlah daun, tinggi tunas, jumlah akar dan panjang akar pada perlakuan tersebut juga tinggi. Perlakuan sukrosa 60 g L-1 sangat menunjang pertumbuhan kultur.
Tabel 12.
Rata-rata nilai peubah bagian tajuk dan umbi lapis mikro bawang merah pada lima taraf sukrosa pada 8 MST Sukrosa (g L-1)
Peubah 30
60
90
120
150
Bobot planlet (g)
0.7 c
2.4 a
1.9 ab
1.7 ab
1.3 b
Diameter terlebar (Dt) (mm)
0.6 b
0.6 b
0.8 a
0.7 ab
0.6 b
Diameter pangkal (Dp) (mm) Dt/Dp
0.4 a
0.3 a
0.4 a
0.4 a
0.3 a
1.5 a
2.0 a
2.0 a
1.8 a
2.0 a
Jumlah daun hijau (helai) Jumlah daun senesen (helai) Tinggi tanaman (cm)
3.0 a
3.6 a
4.6 a
3.9 a
3.9 a
5.8 a
5.1 ab
4.4 abc
3.4 bc
2.6 c
7.7 ab
10.9 a
10.1 a
7.1 ab
4.3 b
Panjang akar (cm)
6.8 a
8.1a
6.4 a
3.6 b
2.3 b
Jumlah akar
5.2 b
17.6 a
18.4 a
13.6 a
11.8 ab
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf α = 5%
49
Pemberian sukrosa 90 g L-1 menghasilkan ukuran diameter terlebar umbi lapis mikro tertinggi. Pemberian sukrosa pada semua konsentrasi tidak meningkatkan ukuran diameter pangkal umbi lapis. Nilai Dt/Dp > 2 merupakan kriteria umbi lapis mikro bawang menurut Mondal et al. (1986). Peningkatan sukrosa meningkatkan ukuran umbi lapis mikro bawang merah. Persentase kultur dengan umbi lapis mikro bawang merah yang mencapai nilai Dt/Dp > 2 pada pemberian sukrosa 30 dan 60 g L-1 hanya mencapai 30%, pada konsentrasi sukrosa 90 dan 120 g L-1 meningkat menjadi 50% dan tertinggi pada sukrosa 150 g L-1 mencapai 60%. Tidak semua kultur pada perlakuan yang sama menghasilkan nilai DT/Dp > 2 diduga disebabkan jumlah daun tunas mikro yang tidak seragam sehingga memengaruhi jumlah lapisan yang menggembung pada saat penimbunan karbohidrat. Pada pembentukan umbi lapis bawang merah di lapangan, menurut Brewster et al. (1977) terjadi setelah terbentuknya sejumlah daun minimal 6 helai dengan panjang hari dan suhu yang sesuai. Pada bawang, umbi lapis mikro dengan kriteria Dt/Dp>2 akan terbentuk apabila tunas mempunyai jumlah daun lebih dari 3 helai (Kahane et al. 1997). Le Guen-Le Saos et al. (2002); Haque et al. (2003); Pelkonen (2005) melaporkan pemberian sukrosa meningkatkan pembentukan dan ukuran umbi lapis mikro bawang. Sukrosa pada kultur in vitro diperlukan sebagai sumber energi dan karbon (Wattimena & Purwito 1989). Beberapa
argumen
diajukan
tentang
peningkatan
sukrosa
dapat
meningkatkan pertumbuhan dan pembentukan umbi lapis mikro. Ada dua hipotesis utama, 1) peningkatan karbohidrat menghasilkan penimbunan sejumlah energi yang
digunakan untuk induksi dan pertumbuhan; dan 2) peningkatan
karbohidrat meningkatkan tekanan osmotik media, yang menciptakan kondisi stres lingkungan, yang merangsang terinduksinya organ penyimpanan sebagai salah satu respon penghindaran terhadap kondisi yang tidak mendukung (Ascough et al. 2008). Pemberian manitol sebagai senyawa yang dapat meningkatkan tekanan osmotik media dan menggantikan sukrosa ternyata menghambat pembentukan umbi lapis (Le Guen-Le Saos et al. 2002). Diduga translokasi dan penimbunan karbohidrat pada umbi lapis mikro bawang merah lebih penting dibanding tekanan osmotik media.
50
Pemberian paclobutrazol berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman,
jumlah daun senesen, jumlah dan panjang akar (Tabel 13). Pemberian paclobutrazol pada taraf 10 mg L-1 menghambat tinggi tanaman, jumlah daun senesen dan panjang akar. Pemberian paclobutrazol 0.1-10 mg L-1 menurunkan panjang akar. Hasil yang sama diperoleh pada kultur Watsonia (Ascough et al. 2008), yang menyebabkan pertumbuhan tajuk dan akar terhambat dan terbentuk roset. Roset adalah pemendekan ruas karena terhambatnya pemanjangan sel. Pemberian
retardan
menghambat
aktivitas
giberelin
sehingga
perpanjangan sel terhambat tetapi tidak menghambat pembelahan sel (Arteca 1996; Cathey 1975). Pemberian paclobutrazol pada konsentrasi tinggi mempertahankan warna hijau pada daun in vitro. Hal ini disebabkan sel-sel daun mengecil, terakumulasi dan padat sehingga warna hijau lebih bertahan lama.
Tabel 13. Rata-rata nilai peubah bagian tajuk dan umbi lapis mikro bawang merah pada empat taraf paclobutrazol pada 8 MST Paclobutrazol (mg L-1) 0 0.1 0.9 c 1.9 ab
1 2.3 a
10 1.3 bc
Diameter terlebar (Dt) (mm) Diameter pangkal (Dp) (mm) Dt/Dp
0.6 a
0.6 a
0.6 a
0.8 b
0.4 a
0.4 a
0.3 a
0.4 a
1.5 a
2.0 a
2.0 a
Jumlah daun senesen (helai) Tinggi tanaman (cm) Panjang akar (cm) Jumlah akar
4.3 ab
4.6 ab
5.1 a
3.1 b
8.5 b
12.7 a
8.5 b
2.3 c
5.7 b
8.4 a
5.5 a
2.1 c
7.6 b
14.8 ab
21.2 a
9.6 b
Peubah Bobot planlet (g)
1.5 a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf α = 5%. Bobot planlet terendah diperoleh pada media pengumbian tanpa paclobutrazol tetapi tidak berbeda nyata dengan bobot umbi lapis mikro pada perlakuan paclobutrazol 10 mg L-1. Diameter pangkal umbi lapis tidak
51
dipengaruhi oleh pemberian paclobutazol. Diameter terlebar umbi lapis mikro bawang merah
dicapai oleh perlakuan paclobutrazol 10 mg L-1. Pemberian
retardan meningkatkan translokasi sukrosa ke organ penyimpanan (Le Guen-Le Saos et al. 2002). Nilai rasio Dt/Dp umbi lapis mikro yang diperoleh pada perlakuan dengan pemberian paclobutrazol dengan kriteria
2
diperoleh pada konsentrasi
paclobutrazol 1 dan 10 mg L-1. Pemberian anti giberelin CCC dan ancymidol pada kultur kentang (Watimena & Purwito 1989), Ancymidol pada bawang merah (Le Guen-Le Saos et al. 2002) dan CCC dan SADH pada bawang putih (Kim et al. 2003) mengakibatkan penghambatan biosintesis giberelin dan merangsang proliferasi umbi lapis atau bulb mikro. Hal ini dimungkinkan karena mode of action paclobutrazol atau retardan lainnya adalah mengubah arah dan mengubah distribusi energi yang tersedia dari tunas dan akar ke jalur morfogenik lainnya seperti pembentukan umbi lapis mikro (Ascough et al. 2008). Berdasarkan pengamatan visual bentuk umbi lapis mikro bawang merah yang normal akan mengerucut di ujung umbi seperti umbi yang dihasilkan di lapangan (Gambar 8). Pada pemberian paclobutrazol 10 mg L-1, umbi lapis mikro yang diperoleh menjadi tidak normal seperti roset (Gambar 9). Bagian ujung umbi tidak menguncup seperti umbi lapis mikro yang normal walaupun kriteria umbi lapis mikro tercapai pada perlakuan paclobutrazol tersebut. Terhambatnya pertumbuhan dan bentuk umbi yang abnormal diduga karena konsentrasi paclobutrazol yang terlalu
Gambar 8 . Umbi lapis mikro bawang merah yang normal
52
tinggi dan paclobutrazol yang diberikan menghambat biosintesis giberelin. Penghambatan biosintesis giberelin oleh retardan dapat terjadi pada beberapa lintasan bergantung senyawa penghambat yang digunakan (Hazarika 2003). Paclobutrazol merupakan retardan kuat dan senyawa tersebut menghambat oksidasi ent-kaurene menjadi ent-kaurenoic acid oleh P450 monooxygenase (Srivastava 2002).
Ketidakadaaan giberelin akan memengaruhi orientasi
mikrotubul dalam proses pengumbian (Kato et al dalam Le Guen-Le Saos et al. 2002). Disarankan untuk tidak menambahkan paclobutrazol ke media pengumbian
Paclobutrazol 10 mg L-1, sukrosa 60 g L-1
Paclobutrazol 10 mg L-1, sukrosa 150 g L-1
Paclobutrazol 1 mg L-1, sukrosa 120 g L-1
Gambar 9.
Paclobutrazol 10 mg L-1, sukrosa 90 g L-1
Paclobutrazol 10 mg L-1, sukrosa 120 g L-1
Paclobutrazol 1 mg L-1, sukrosa 60 g L-1
Abnormalitas umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan pada perlakuan dengan paclobutrazol
53
mikro bawang merah dan perlu dievaluasi pengaruh residu paclobutrazol terhadap pertumbuhan umbi lapis mikro selanjutnya di lapangan. Pada percobaan dengan paclobutrazol dihasilkan kultur dengan umbi lapis mikro yang berwarna putih. Pada awal pertumbuhan tunas tidak terjadi perubahan pada warna daun dan tunas tetap hijau. Hasil ini memperlihatkan
terjadi
epigenetic atau mungkin keragaman somaklonal dapat diperoleh pada perlakuan dengan paclobutrazol. Epigenetic terjadi karena berubahnya kultur secara morfologi akibat pengaruh lingkungan kultur. Perubahan morfologi karena epigenetic hanya bersifat sementara dan akan kembali normal setelah tanaman tumbuh dan berkembang di tempat yang sesuai. Keragaman somaklonal terjadi karena induksi mutasi pada sel-sel somatik akibat zat pengatur tumbuh pada konsentrasi tinggi pada kultur in vitro. Umbi lapis mikro tersebut perlu dikarakterisasi lebih lanjut.
SC
SK
SH
SH SP
Gambar 10. Umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan secara in vitro dipotong horizontal (kiri) dan umbi lapis mikro yang dibelah melintang (kanan) memperlihatkan lapisan-lapisan yang terbentuk (kanan) (SK: kulit pelindung terluar; SH: lapisan tipis yang menggembung dan berdaging; SC: lapisan yang membengkak; SP: tunas adventif) Umbi lapis mikro bawang merah yang diperoleh memperlihatkan lapisanlapisan yang terbentuk seperti umumnya pada umbi lapis bawang yang dibudidayakan di lapangan (Gambar 10). Lapisan terdiri atas lapisan terluar yang kering (outer protector skin), helai daun yang menggembung berdaging (fleshy swollen sheath), lapisan yang membengkak (swollen bulb scale), daun kecambah
54
(sprout leaves) dan basal plate (De`Mason 1990; Rabinowitch & Kamenetsky 2002). Berdasarkan kultur yang membentuk umbi lapis mikro perlakuan sukrosa 150 g L-1 menghasilkan jumlah terbanyak, tetapi tidak berbeda jauh dibanding perlakuan sukrosa 90 g L-1. Bentuk umbi lapis mikro dan kondisi planlet pada sukrosa 90 g L-1 (Gambar 11) jauh lebih baik dibanding perlakuan lainnya. Selain itu diameter terlebar umbi lapis mikro dihasilkan oleh perlakuan sukrosa 90 g L-1. Mempertimbangkan efisiensi dan perhitungan secara ekonomis, disarankan pengumbian mikro bawang merah menggunakan sukrosa 90 g L-1 dengan kondisi lingkungan kultur yang diterapkan dalam percobaan ini.
Sukrosa 60 g L-1
Sukrosa 120 g L-1
Sukrosa 90 g L-1
Sukrosa 150 g L-1
Gambar 11. Umbi lapis mikro bawang merah pada beberapa konsentrasi sukrosa.
Berdasarkan perhitungan dengan analisis regresi perlakuan paclobutrazol responnya hanya nyata terhadap peubah diameter terlebar umbi lapis mikro dan tidak nyata pada diameter pangkal (Dp) dan nilai Dt/Dp. Analisis regresi nyata
55
linear positif (Y=0.6187 + 0.02154x) pada peubah diameter terlebar umbi lapis mikro pada perlakuan paclobutrazol dengan nilai R2 = 0.081 (Gambar 12). Nilai R2 yang sangat kecil menunjukkan data yang diperoleh keragamannya sangat besar. Persaman garis tersebut menunjukkan diameter terlebar umbi lapis mikro akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi paclobutrazol. Hasil tersebut menunjukkan paclobutrazol berperan dalam pembesaran umbi lapis mikro, diduga terjadi peningkatan akumulasi karbohidrat. Namun pengamatan secara visual menunjukkan pemberian paclobutrazol yang semakin meningkat menghasilkan bentuk umbi lapis mikro bawang merah yang abnormal (Gambar 9). Berdasarkan analisis regresi tersebut tidak dapat ditarik kesimpulan konsentrasi optimum perlakuan paclobutrazol terhadap peubah umbi lapis mikro bawang merah.
Diameter Terpanjang (mm)
2.0
S R-Sq R-Sq(adj)
0.305394 8.1% 7.5%
1.5
1.0
0.5
0.0 0
Gambar 12.
2
4 6 Paclobutrazol (mg/L)
8
10
Grafik regresi diameter terlebar umbi lapis mikro pada perlakuan paclobutrazol pada 8 MST
Hasil analisis korelasi menunjukkan terdapat korelasi nyata antara bobot planlet dengan peubah tinggi tanaman, jumlah daun, hijau, jumlah daun senesen, jumlah akar, panjang akar terpanjang, diameter terlebar (Dt) umbi lapis mikro dan diameter pangkal (Dp) umbi lapis mmikro. Tidak terdapat korelasi antara rasio Dt/Dp dengan seluruh peubah yang diamati (Tabel 14). Hasil ini menunjukkan
56
pembentukan umbi lapis mikro bawang merah tidak dipengaruhi jumlah daun, jumlah daun senesen, diameter (terlebar dan pangkal) umbi lapis mikro. Data tersebut berbeda dengan umbi lapis bawang yang diperoleh di lapangan yang pembentukannya berkaitan dengan jumlah daun (Brewster et al. 1977).
Tabel 14. Koefisien korelasi antar peubah pada 8 MST TT0 TT
JDH
1
0.44**
JDH
JDC
JA
PAT
BP
DT
DP
DT/DP
0.44**
0.47**
0.46**
0.78**
0.48**
0.08tn
0.14tn
-0.16tn
<.0001
<.0001
<.0001
<.0001
<.0001
0.3634
0.1028
0.0759
0.37**
0.72**
0.48**
0.73**
0.11tn
0.22**
-0.18tn
<.0001
<.0001
<.0001
<.0001
0.0093
0.041
0.39**
0.60**
0.40**
<.0001
<.0001
<.0001
1
0.52**
0.91**
<.0001 1
1
<.0001 JDC
0.47** <.0001
JA
0.46** <.0001
PAT
0.78** <.0001
BP
0.48** <.0001
DT
DP
DT/DP
0.37**
1
<.0001 0.72** <.0001 0.48** <.0001 0.73** <.0001
0.39** <.0001 0.60** <.0001 0.40** <.0001
0.52**
0.16tn
-0.15tn
0.0601
0.0937
0.14tn
0.19**
-0.13n
<.0001
0.1006
0.0219
0.1524
0.50**
0.08tn
0.11tn
-0.08tn
0.3709
0.2071
0.3811
0.21**
0.29**
-0.18tn
0.0111
0.0005
0.0411
1
0.74**
0.20n
<.0001
0.0219
1
-0.56tn
<.0001 0.91**
0.50**
<.0001
<.0001
0.19
1
0.09tn 0.305
0.08tn
0.11 tn
0.09 tn
0.14 tn
0.08 tn
0.21*
0.3634
0.19
0.305
0.1006
0.3709
0.0111
0.14tn
0.22**
0.16tn
0.19*
0.11tn
0.29**
0.74**
0.1028
0.0093
0.0601
0.0219
0.2071
0.0005
<.0001
-0.16
-0.18
-0.15
-0.13
-0.08
-0.18
0.2
-0.56
0.0759
0.041
0.0937
0.1524
0.3811
0.0411
0.0219
<.0001
<.0001 1
Keterangan: TT=tinggi tanaman, JDH=jumlah daun hijau, JDC=jumlah daun coklat (senesen), PAT=panjang akar terpanjang, JA=jumlah akar, BP=bobot planlet, DT=diameter terlebar, DP=diameter pangkal, Dt/Dp=rasio diameter terlebar/diameter pangkal.
Kesimpulan Metoda pembentukan umbi lapis mikro bawang merah diperoleh dengan menanam tunas mikro pada media pengumbian dengan konsentrasi sukrosa 90 g L-1 pada suhu ruang kultur 30 oC, terbaik
dalam meningkatkan diameter
pangkal(Dp) umbi lapis mikro dan rasio diameter terlebar (Dt) dan pangkal (Dp)
57
umbi lapis mikro, persentase kultur yang menghasilkan umbi lapis mikro dengan Dt/Dp > 2 mencapai 50%. Peningkatan konsentrasi paclobutrazol dari 0.1 sampai 10 mg L-1 nyata menghambat pertumbuhan tunas dan akar. Diameter terlebar umbi lapis mikro akan terus meningkat dengan meningkatnya konsentrasi paclobutrazol (Y=0.6187 + 0.02154x; R2=0.081) . Pemberian paclobutrazol 10 mg L-1 menghasilkan penampilan beberapa umbi lapis mikro yang abnormal. Umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan mempunyai anatomi yang sama dengan umbi lapis bawang merah yang dibudidayakan di lapangan. Terdapat korelasi antara bobot planlet terhadap seluruh peubah pengamatan. Tidak terdapat korelasi antara rasio Dt/Dp dengan seluruh peubah yang diamati.
Saran Pengumbian mikro bawang merah sebaiknya tidak menggunakan media yang mengandung paclobutrazol. Perlu penelitian untuk melihat pengaruh residu paclobutrazol pada umbi lapis mikro bawang merah terhadap pertumbuhan di lapangan.
AKLIMATISASI PLANLET DAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (ACCLIMATIZATION OF SHALLOT PLANLET AND MICRO BULB)
Abstrak Tahap aklimatisasi merupakan tahap yang kritis untuk mengadaptasikan planlet dan umbi lapis mikro bawang merah ke kondisi autotrof. Tujuan aklimatisasi adalah untuk mengkondisikan planlet dan umbi lapis mikro bawang merah sebelum ditanam ke lapangan. Aklimatisasi dilakukan tiga kali: 1) menggunakan planlet yang diperoleh dari percobaan sukrosa dan paclobutrazol yang ditumbuhkan pada suhu ruang 20 oC. Terdapat 20 kombinasi perlakuan dan masing-masing terdiri atas 10 planlet; 2) dan 3) menggunakan umbi lapis mikro yang dihasilkan dari media pengumbian yang diinkubasi pada ruang kultur 30 oC, masing-masing berjumlah 150 dan 27 umbi lapis mikro bawang merah. Pada aklimatisasi yang pertama planlet ditanam di media arang sekam, kompos dan cocopeat (1:1:1), sedangkan umbi lapis mikro ditanam pada media kompos daun hijau dan arang sekam (1:1). Pada percobaan aklimatisasi pertama keberhasilan hidup planlet yang berupa tunas mikro berakar dari percobaan sukrosa dan paclobutrazol selama tiga minggu sangat rendah. Hanya 1%
planlet mampu
bertahan hidup sampai minggu ke 3 setelah aklimatisasi. Pada aklimatisasi kedua dan ketiga (menggunakan umbi lapis mikro) terjadi peningkatan keberhasilan tumbuh saat aklimatisasi selama 3 minggu. Persentase tumbuh pada aklimatisasi tahap dua mencapai 30% pada 2 minggu setelah aklimatisasi (MSA). Keberhasilan hidup umbi lapis mikro pada tahap aklimatisasi tiga mencapai 93% pada 2 MSA dan menurun menjadi 56% pada 3 MSA dan terjadi peningkatan jumlah daun total, daun hijau, tunas, umbi dan tinggi tanaman selama 3 MSA. Kata kunci: Bawang merah (Allium ascalonicum L.), umbi lapis mikro, autotrof, aklimatisasi.
60
Abstract Acclimatization is critical step to adapt shallot planlets and micro bulb to the autotrophic conditions.
The success of acclimatization is determined by
hardening and environmental conditions of planlets and micro bulb of shallot before planting into the field. Acclimatization were conducted three times : 1) using plantlets obtained from sucrose and paclobutrazol experiment grown at 20 o
C room temperature. There were 20 combinations of treatment and each
consisted of 10 plantlets; 2) and 3) using micro bulb produced from micro bulb induction medium. Micro bulbs were incubated at 30 oC, each consisted of 150 and 27 shallot micro bulbs. In the first acclimatization plantlets grown on media husk charcoal, compost and cocopeat (1:1:1), whereas micro bulb were planted in compost green leaves and husk charcoal (1:1). The results of the first experiment showed no plantlets survived after three weeks of acclimatization. In the second and third acclimatization, micro bulb were successfully grown during acclimatization for 3 weeks.
Growth percentage in the acclimatization two
reached 30% at 2 weeks after planting (WAP). While at acclimatization three, living plantlets reached 93% at 2 WAP and 56% at 3 WAP and increased in the total number of leaves, green leaves, bulbs and plant height at 3 WAP.
Keywords: Shallot (Allium ascalonicum), micro bulb, autotroph, acclimatization
Pendahuluan Tahapan kultur in vitro berakhir setelah propagul membentuk planlet atau tanaman lengkap yang mempunyai bagian tunas dan akar. Pada kultur bawang merah planlet yang dihasilkan dapat berupa tunas mikro berakar, umbi lapis mikro, atau embrio somatik. Planlet yang dihasilkan secara in vitro masih bersifat heterotrof sehingga memerlukan adaptasi terhadap lingkungan selanjutnya yang bersifat in vivo menjadi ototrof. Proses adaptasi ini disebut aklimatisasi (Gunawan 1992). Planlet yang dihasilkan baik berupa tunas maupun umbi lapis mikro memerlukan lingkungan yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan pada
61
tahap aklimatisasi dan di lapangan. Tahap aklimatisasi merupakan tahap yang kritis untuk mengadaptasikan planlet ke kondisi ototrof. Planlet berupa tunas sangat rentan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim seperti suhu yang tinggi, kelembaban yang rendah dan
intensitas cahaya yang tinggi. Selama planlet
berada dalam kondisi heterotrof sangat terjaga (intensitas cahaya rendah, kondisi aseptik, media dengan sukrosa dan unsur hara lengkap yang diperlukan serta kelembaban yang tinggi) sehingga planlet berada pada
stres yang minimal dan
kondisi optimum untuk multiplikasi. Beberapa sifat
yang tidak menguntungkan dari planlet in vitro
diantaranya : daun in vitro sering kali tipis, lunak dan fotosintesis belum aktif (Pierik 1987), lapisan lignin tidak terbentuk sempurna, stomata yang membuka, kutikula tipis dan sistem perakaran yang belum sempurna (Gunawan 1992). Akar yang berasal dari tanaman in vitro kelihatan mudah terserang cendawan dan belum berfungsi sebagaimana tanaman in vivo. Akar menjadi cepat mati dan mungkin digantikan oleh akar baru yang dibentuk selama aklimatisasi (Pierik 1987). Kelemahan planlet ini akan mempengaruhi keberhasilan tumbuh selama aklimatisasi dan di lapangan.
Menurut Hazarika (2003), untuk mendapatkan
persentase tumbuh planlet yang tinggi selama aklimatisasi dapat diupayakan dengan pemberian sukrosa hingga 3 %
pada media, peningkatan intensitas
cahaya sebelum planlet diaklimatisasi, pemberian retardan pada tahap pengakaran dan pada masa aklimatisasi, pengurangan kelembaban ruangan kultur dan pemakaian antitranspirants. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan saat aklimatisasi : cahaya, kelembaban, suhu dan media tumbuh. Media tumbuh yang dipergunakan untuk planlet yang berasal dari kondisi in vitro memerlukan beberapa persyaratan : ringan, porous, dapat mempertahankan kelembaban, tidak mengandung patogen (steril) yang akan mendukung persentase keberhasilan tumbuh yang tinggi. Selain faktor tersebut juga perlu dipertimbangkan ketersediaan dan harga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Keberhasilan tumbuh
sehingga
planlet bawang
putih pada tahap aklimatisasi dan di lapangan yang mencapai 100 % dilaporkan oleh Matsubara dan Chen (1989) dengan menggunakan media tumbuh rockwool, vermikulit dan tanah dengan suhu ruangan 20 oC. Beberapa jenis media tumbuh
62
yang tersedia di pasaran adalah arang sekam, cocopeat, kompos bambu, rockwool, greenleaf, cascing dan vermikulit. Mohamed-Yasseen et al. (1994) serta Patena et al. (1997) berhasil menumbuhkan umbi lapis mikro bawang merah yang terbentuk secara in vitro dengan baik di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan tumbuh planlet berupa tunas mikro yang dihasilkan dari percobaan sebelumnya (aklimatisasi pertama) dan umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan dari
media
pengumbian (aklimatisasi kedua dan ketiga) pada tahap aklimatisasi.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Percobaan aklimatisasi dilakukan secara bertahap tergantung saat planlet diperoleh. Aklimatisasi yang pertama dilakukan pada bulan Januari 2009, aklimatisasi kedua pada Mei 2011 dan Juli 2011.
Percobaan aklimatisasi
dilaksanakan di rumah plastik di depan Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Bahan dan Alat Percobaan aklimatisasi dilakukan tiga kali Pada tahap pertama digunakan planlet tunas mikro bawang merah. Pada tahap aklimatisasi kedua dan ketiga digunakan bahan tanaman umbi lapis mikro bawang merah. Percobaan aklimatisasi pertama dilakukan pada planlet tunas mikro bawang merah cv. Bima Juna hasil percobaan sukrosa dan paclobutrazol pada ruang simpan kultur 20 oC. Pada percobaan aklimatisasi yang pertama 200 planlet berasal dari 20 kombinasi perlakuan sukrosa dan paclobutrazol masing-masing terdiri atas 10 planlet. Planlet ditanam pada media arang sekam, kompos dan cocopeat dengan perbandingan (1 :1 :1). Pada aklimatisasi kedua dan ketiga digunakan umbi lapis mikro bawang merah yang diperoleh dari media pengumbian yang diinkubasi pada suhu 30 oC. Pada aklimatisasi kedua ditanam 150 planlet umbi lapis mikro bawang merah dan aklimatisasi ketiga ditanam 27 planlet umbi lapis mikro bawang merah. Media tumbuh pada aklimatisasi kedua dan ketiga menggunakan arang sekam dan kompos daun hiijau dengan perbandingan (1:1).
63
Pelaksanaan Pada aklimatisasi
planlet bawang merah berupa tunas mikro, planlet
dikeluarkan dari botol kultur dan dibersihkan dari agar-agar yang menempel. Planlet selanjutnya direndam dalam larutan fungisida Dithane M-45 dan Agrimisin 1 g L-1 selama 5 menit kemudian planlet ditiriskan di atas tisu. Aklimatisasi pertama dilakukan dengan menanam planlet pada media dengan komposisi arang sekam, cocopeat, dan kompos (1:1:1) berdasarkan volume. Media disiram dengan larutan ½ MS dan selanjutnya planlet ditanam pada media tumbuh yang disiapkan. Planlet kemudian disungkup dengan botol kultur steril dan diletakkan di tempat aklimatisasi berupa rak dengan naungan 60%. Pemeliharaan penyiraman dilakukan apabila media tumbuh terlihat kering dan pembuangan planlet yang terkena cendawan. Pada aklimatisasi tahap pertama ini unsur hara yang diberikan adalah larutan media ½ MS setiap satu minggu sekali. Aklimatisasi umbi lapis mikro dilakukan dengan membersihkan planlet dari agar-agar yang menempel, dan merendamnya dalam larutan fungisida Dithane M-45 dan Agrimisin 1 g L-1 selama lima menit dan meniriskan planlet di atas kertas tisu. Selanjutnya umbi lapis mikro ditanam pada media arang sekam dan kompos daun hijau (1:1) yang disiapkan pada tray. Media sebelumnya sudah disiram dengan larutan ½ MS. Umbi lapis mikro ditanam pada media dengan membenamkan 1/2 bagian umbi. Umbi lapis mikro bawang merah tidak disungkup dan tray diletakkan di rak dengan paranet 40% naungan. Umbi lapis mikro disiram dengan pupuk daun 2 g L-1 satu minggu sekali sebanyak 50 ml. Tanaman diamati selama 3 minggu terhadap peubah jumlah daun, tinggi tanaman dan persentase planlet hidup.
Hasil dan Pembahasan Planlet bawang merah berupa tunas mikro berakar yang ditanam dari hasil percobaan sukrosa dan paclobutrazol yang berasal dari suhu ruang kultur 20 oC, tidak menunjukkan terbentuknya umbi lapis mikro berdasarkan kriteria Dt/Dp>2. Beberapa planlet menunjukkan ada penggembungan di bagian pangkal dan sedikit berwarna merah. Semua planlet merupakan tanaman sempurna karena ada bagian tajuk berupa helaian daun dan berakar. Kondisi planlet tidak vitrous dan terlihat
64
segar untuk diaklimatisasi (Gambar 13). Pada minggu pertama setelah diaklimatisasi terlihat persentase planlet hidup kurang dari 40% dan pada minggu ketiga hampir tidak ada planlet yang bertahan hidup (Gambar 14). Walaupun kondisi planlet dengan bagian tajuk dan perakaran berkembang dengan baik dan sudah mengalami hardening dengan pemberian sukrosa diatas 30 g L -1 dan paclobutrazol seperti yang disarankan Hazarika (2003) tetapi masih tidak berhasil meningkatkan keberhasilan tumbuh planlet selama aklimatisasi.
Gambar 13. Planlet tunas mikro bawang merah yang memperlihatkan penggembungan dan berwarna merah di bagian pangkal tunas (kiri) ; kondisi planlet satu minggu diaklimatisasi (kanan) pada percobaan aklimatisasi pertama
40
Persen tumbuh (%)
35 30 25 20 15 10 5 0 1
2
3
Minggu Setelah Tanam
Gambar 14. Persentase hidup planlet pada percobaan aklimatisasi pertama.
65
Jumlah akar yang banyak yang menunjukkan aktivitas auksin yang cukup tinggi tetapi pada aklimatisasi ini tidak membuat tanaman cepat beradaptasi dan meningkatkan keberhasilan tumbuh. Kematian planlet pada umumnya karena diserang cendawan, kemungkinan disebabkan media tumbuh terlalu basah, dan naungan terlalu berat sehingga kelembaban di lingkungan sekitar tempat aklimatisasi terlalu tinggi. Kondisi ini mengakibatkan cendawan berkembang dengan cepat, walaupun media tumbuh sebelumnya dipasturisasi dan planlet direndam dalam larutan fungisida. Komposisi media tumbuh yang kurang baik juga dapat menjadi penyebab ketidakberhasilan aklimatisasi planlet bawang merah. Cocopeat dan kompos merupakan media dengan karakterisasi daya pegang air kuat dan evaporasi rendah (Soepardi 1983). Penyiraman yang berlebihan menyebabkan media terlalu basah dan perakaran planlet tidak tahan dengan kelembaban terlalu tinggi. Bawang merah merupakan tanaman yang tidak tahan terhadap kelembaban tinggi (Rubatzky dan Yamaguchi 1999 ; Brewster 2002). Selain faktor lingkungan di sekitar tempat aklimatisasi yang kurang mendukung, jumlah tunas dan helai daun yang cukup banyak pada setiap planlet menyebabkan tanaman mengalami transpirasi yang cukup tinggi. Apabila laju transpirasi lebih besar dibanding laju absorpsi air pada suatu periode tertentu maka tumbuhan akan mengalami kematian. Transpirasi dapat berlangsung dari setiap bagian tumbuhan yang berhubungan dengan atmosfer (Tjondronegoro et al. 1999). Pada aklimatisasi kedua dan ketiga yang dilakukan pada umbi lapis mikro bawang merah, dilakukan perubahan komposisi media tumbuh. Media tumbuh aklimatisasi hanya terdiri atas kompos daun hijau dan arang sekam (tidak ditambahkan cocopeat). Perubahan media tumbuh ini bertujuan untuk mengurangi daya pegang air media sehingga dapat mengurangi kelembaban media.
Umbi
lapis mikro yang ditanam pada aklimatisasi kedua dan ketiga memperlihatkan morfologi dengan sedikit helai daun, bagian terluar umbi dilapisi daun tipis yang kering dan jumlah akar yang sedikit (Gambar 15). Pada minggu ke pertama setelah aklimatisasi persentase tumbuh umbi lapis mikro masih tinggi, tetapi pada minggu kedua aklimatisasi terjadi penurunan
66
persentase hidup planlet (Gambar 16). Tingginya persentase kematian planlet pada minggu kedua disebabkan curah hujan yang sangat tinggi pada saat aklimatisasi berlangsung yang merusak atap rumah plastik dan menggenangi tray tempat planlet tumbuh sehingga menyebabkan umbi membusuk dan mati.
Gambar 15. Kondisi umbi lapis mikro bawang merah sebelum diaklimatisasi (kiri) dan setelah ditanam di media saat aklimatisasi (kanan).
70 %se planlet hidup
60 50 40 30 20
10 0 1 MSA 2 MSA Minggu Setelah Aklimatisasi
Gambar 16.
Persentase tumbuh umbi lapis mikro bawang merah pada dua minggu aklimatisasi (percobaan aklimatisasi kedua)
Pada dua minggu aklimatisasi umbi lapis mikro bawang merah memperlihatkan daya adaptasi yang baik, terlihat peningkatan jumlah daun, daun hijau, tunas dan tinggi tunas (Gambar 17). Pertumbuhan ketiga peubah tersebut
67
menunjukkan umbi lapis mikro bawang merah berhasil beradaptasi pada kondisi aklimatisasi yang dilakukan. Hal tersebut diduga karena umbi lapis mikro dihasilkan seperti kondisi hardening yang disarankan Hazarika (2003) pada sukrosa tinggi (150 g L-1), suhu ruang kultur yang tinggi 30 oC, dan
lama
penyinaran 24 jam mendukung keberhasilan aklimatisasi. Morfologi umbi lapis mikro bawang merah dengan lapisan terluar sebagai pelindung juga mengurangi transpirasi planlet sehingga kematian planlet pada dua minggu dapat dikurangi. Aklimatisasi menggunakan umbi/rhizome/bulb mikro menyebabkan keberhasilan tumbuh planlet lebih besar (Ascough et al.2008).
2.5
2.5
1.5 1
1MSA
0.5
2MSA
0 jumlah jumlah jumlah jumlah daun daun tunas umbi hijau Minggu Setelah Aklimatisasi
Gambar 17.
tinggi tunas (cm)
helai/Buah
2
2 1.5 1 0.5 0 1 2 Minggu Setelah Aklimatisasi
Pertumbuhan umbi lapis mikro pada dua minggu aklimatisasi (percobaan aklimatisasi kedua)
Planlet umbi lapis mikro yang diaklimatisasi pada tahap ketiga berjumlah 27 dan mampu bertahan hidup berturut turut 100% (1 MST), 93% (2 MST) dan 56% pada tiga minggu setelah aklimatisasi. Hasil aklimatisasi kedua dan ketiga yang menggunakan umbi lapis mikro jauh lebih tinggi dibandingkan keberhasilan aklimatisasi menggunakan planlet tunas mikro. Penurunan jumlah planlet hidup yang cukup tinggi pada minggu ketiga aklimatisasi diduga planlet tidak tahan dengan kondisi media yang terlalu basah dan intensitas cahaya yang kurang. Bawang merah merupakan tanaman sayuran yang menyukai cahaya dan tidak suka dinaungi (Rubatzky & Yamaguchi 1999), sehingga perlu pengaturan intensitas cahaya pada saat aklimatisasi. Perubahan komposisi media dengan menghilangkan cocopeat untuk media aklimatisasi kedua dan ketiga, diduga juga
68
menyebabkan berkurangnya kelembaban media, sehingga akar tidak mudah membusuk, dan daya hidup planlet umbi lapis mikro pada aklimatisasi kedua dan ketiga lebih tinggi.
2.5 25 20
1.5 1
tinggi tanaman (cm)
helai/umbi
2
15
0.5
1MSA
0
2MSA
10 5 0
Minggu Setelah Aklimatisasi
1 2 3 Minggu Setelah Aklimatisasi
Gambar 18. Jumlah daun total, daun hijau, tunas dan pangkal tunas yang berwarna merah yang terbentuk umbi lapis (kiri) ; tinggi tanaman (kanan) planlet umbi lapis mikro bawang merah selama tiga minggu masa aklimatisasi (MSA). Planlet menunjukkan pertumbuhan dengan pembentukan daun baru dan pertambahan tinggi (Gambar 18). Pertumbuhan tinggi yang cukup pesat terjadi pada minggu kedua sampai ketiga aklimatisasi menunjukkan planlet umbi lapis mikro bawang merah mampu beradaptasi dengan baik. Warna pangkal tunas semakin merah dan
menunjukkan pembesaran ukuran pangkal tunas.
Kemampuan umbi lapis mikro bawang merah beradaptasi dengan baik sampai minggu ketiga menunjukkan aklimatisasi sebaiknya hanya dua minggu dan selanjutnya dipindah ke lapangan. Pemberian unsur hara berupa NPK sebanyak 2 g L-1 setiap minggu sekali diduga memberi tambahan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan bibit bawang merah. Hal ini dapat terlihat dari bertambahnya jumlah daun, tinggi tanaman dan jumlah tunas bibit. Pertumbuhan bibit yang terlihat pesat pada minggu kedua setelah aklimatisasi menunjukkan bibit harus segera dipindah
69
tanam ke media baru dan wadah yang lebih besar, intensitas cahaya ditingkatkan dan pemberian pupuk lanjutan.
Gambar 19. Umbi lapis mikro bawang merah yang berhasil diaklimatisasi pada tahap aklimatisasi (kiri) dan pasca aklimatisasi (tengah) serta umbi lapis mini (kanan). Umbi lapis mikro bawang merah selama 3 minggu diaklimatisasi tidak menunjukkan pembesaran bagian umbi ataupun langsung membentuk umbi baru. Yang terjadi adalah terbentuknya tunas baru dan perkembangan warna merah di bagian pangkal tunas. Artinya pada tahap aklimatisasi seperti penanaman umbi bibit di lapangan akan terbentuk sejumlah tunas dan daun yang selanjutnya akan mengalami perkembangan dengan menggembungnya bagian pangkal tunas karena terjadi translokasi sejumlah karbohidrat. Kondisi pertumbuhan seperti ini menunjukkan bibit memerlukan perubahan kondisi lingkungan yang optimal untuk mendukung pertumbuhan sehingga terbentuk sejumlah tunas dan umbi lapis mini yang maksimal. Beberapa bibit berhasil dipindah tanam ke media pembesaran di polibag dengan media tumbuh tanah, kompos daun hijau dan arang sekam dan berhasil tumbuh membentuk umbi mini (Gambar 19). Pertumbuhan tunas dan umbi lapis mini masih belum optimal untuk menghasilkan jumlah umbi lapis mini yang banyak atau mendekati jumlah umbi yang ditanam sesuai standar budi daya. Keberhasilan tumbuh umbi lapis mikro bawang merah ini perlu dilanjutkan dengan penelitian tentang pemupukan dan intensitas cahaya yang diperlukan untuk pertumbuhan selanjutnya sampai menghasilkan umbi lapis mini.
70
Kesimpulan Keberhasilan hidup pada planlet tunas mikro bawang merah pada aklimatisasi pertama sangat rendah, hampir tidak ada planlet yang berhasil hidup pada 3 MSA. Pada aklimatisasi kedua menggunakan umbi lapis mikro bawang merah terjadi peningkatan kemampuan hidup 30% selama dua minggu dan pada aklimatisasi ketiga umbi lapis mikro berhasil hidup 93% pada 2 MSA dan tetap hidup sebesar 56% serta tumbuh sampai tiga minggu. Tanaman menunjukkan peningkatan jumlah daun total, daun hijau, tunas dan tinggi tanaman. Media tumbuh pada tahap dua dan tiga aklimatisasi menggunakan arang sekam dan kompos daun hijau (1:1) dengan naungan 40% dan tidak dilakukan penyungkupan secara individu menunjukkan keberhasilan hidup umbi lapis mikro lebih tinggi dibandingkan planlet tunas mikro yang ditanam pada media kompos daun hijau, arang sekam dan cocopeat.
Saran Aklimatisasi umbi lapis mikro bawang merah sebaiknya dilakukan hanya dua minggu dan selanjutnya dipindah ke lapangan. Penelitian lebih lanjut tentang pemupukan perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang pertumbuhan dan umbi lapis mini yang dihasilkan.
PEMBAHASAN UMUM Produksi dan produktivitas bawang merah semakin menurun. Penangkar bibit yang diharapkan belum dapat mengatasi ketersediaan bibit yang sehat dan petani belum sepenuhnya menggunakan bibit yang berkualitas. Bawang merah umumnya diperbanyak secara vegetatif, sehingga memerlukan penanganan penyediaan bibit yang sehat untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang optimal. Kultur jaringan merupakan salah satu alternatif yang difasilitasi oleh Kementrian Pertanian dalam penyediaan bibit hortikultura yang berkualitas (Direktorat Jendral Hortikultura 2009). Hasil utama rangkaian penelitian ini adalah diperolehnya metode untuk menghasilkan umbi lapis mikro bawang merah (Gambar 20). Dari penggunaan metode ini akan diperoleh umbi lapis mikro yang merupakan sumber bibit sehat. Planlet yang berasal dari kultur in vitro bebas dari bakteri dan cendawan. Bibit sehat bebas penyakit akan menunjang pertumbuhan dan produksi umbi yang tinggi di lapangan. Pengembangan dan aplikasi hasil penelitian ini akan dapat mengatasi salah satu permasalahan dalam penyediaan bibit bawang merah sehat dan kontinyu. Teknologi perbanyakan ini mempunyai potensi yang sangat penting dalam penyediaan bibit bawang merah, mengingat sistem penangkar bibit untuk bawang merah belum tersedia dan tertata baik. Industri penyedia bibit merupakan bagian penting yang berkaitan erat dalam sistem budi daya tanaman hortikultura. Hasil umbi
lapis
mikro
memerlukan
penanganan
khusus
sehingga
akan
mengembangkan peran penangkar bibit yang sehat. Perbanyakan secara vegetatif memerlukan sumber bibit sehat yang terkendali seperti keberhasilan dan pentingnya penyediaan bibit kentang (Direktorat Jendral Hortikultura 2009). Salah satu hasil penelitian ini adalah diperolehnya metoda perbanyakan tunas mikro bawang merah. Pembentukan tunas mikro bawang merah secara in vitro merupakan bagian penting dalam perbanyakan dan penyediaan bibit bawang merah yang sehat. Tunas in vitro dengan multiplikasi dan kecepatan tumbuh tinggi diperoleh pada media perbanyakan tunas (MS + vit B5 + 4 mg L -1 2ip + 0.5 mg L-1 NAA) (Septiari & Dinarti 2003) dengan menggunakan eksplan umbi lapis
72
Tunas mikro MS+vit B5+4 ppm 2ip+0.5 ppm NAA
Media Pengumbian : MS+ vit B5 + sukrosa 90 g L-1 tanpa paclobutrazol
Ruang Kultur : Suhu 30/27 oC, Lama penyinaran : 12-24 jam
Metoda Pembentukan Umbi lapis mikro bawang merah
Umbi Lapis Mikro Bawang Merah Aklimatisasi umbi mikro bawang merah Metode Perbanyakan Bibit Bawang Merah asal In Vitro
Gambar 20. Tahapan penyediaan umbi lapis bibit bawang merah dari laboratorium sampai lapangan yang sudah diperoleh pada media perbanyakan tunas (MS + vit B5 + 4 mg L -1 2ip + 0.5 mg L-1)disimpan pada suhu tinggi (30-45 oC) selama dua bulan. Kultur untuk tujuan multiplikasi tunas sebaiknya diinkubasi dalam ruangan bersuhu 20 o
C. Analisis regresi untuk mendapatkan umur simpan umbi lapis yang optimum
tidak dapat diduga, disebabkan ketidaksesuaian dengan kriteria propagul untuk diumbikan dan nilai R2 yang sangat kecil. Terdapat korelasi yang sangat nyata antara jumlah tunas, jumlah daun hijau, jumlah daun senesen dan jumlah akar. Informasi ini memberikan hasil yang sama dengan yang dipilih petani, bahwa umur simpan umbi dua bulan memberikan hasil pertumbuhan tunas terbaik.
Eksplan yang mengalami penyimpanan selama dua
bulan memiliki
respon dalam kultur in vitro pertumbuhan tunas lebih cepat, jumlah tunas lebih banyak, jumlah daun hijau lebih banyak serta daun tidak cepat layu atau senesen. Pertumbuhan tunas yang lebih baik ini diduga disebabkan jaringan lebih meristematik, konsentrasi sitokinin, auksin dan
senyawa pendukung lainnya
73
berada pada kondisi optimum. mengatur keseimbangan
Penambahan zat pengatur tumbuh eksogen
hormonal eksplan sehingga responnya sesuai dengan
tujuan yaitu perbanyakan tunas mikro. Tunas mikro yang dihasilkan jumlahnya belum optimal, sehingga dapat ditingkatkan dengan melakukan subkultur setiap 3-4 minggu dengan memisahkan tunas yang terbentuk. Disarankan untuk melakukan perbanyakan tunas bawang merah in vitro melalui embriogenesis somatik sehingga akan diperoleh tunas yang lebih banyak. Percobaan embriogenesis somatik pada bawang sudah dilaporkan Tiran dan Dinarti (2007) dan masih memerlukan evaluasi lebih lanjut. Tunas mikro yang berdaun lebih dari tiga, tidak banyak daun senesen dan tidak vitrous serta berumur 4 minggu di media perbanyakan merupakan propagul terbaik untuk diumbikan.
Proses pembentukan umbi bawang merah terjadi
setelah proses pembelahan sel berlangsung maksimal dengan terbentuknya sejumlah daun. Sel-sel pada bagian pangkal tunas selanjutnya akan mengalami proses pemanjangan dan pembesaran selama
pengisian oleh karbohidrat
(Brewster 2002). Hasil penelitian ini melengkapi informasi penelitian yang sudah ada karena ini merupakan informasi pertama tentang umur eksplan untuk kultur bawang merah. Faktor lingkungan kultur dapat memengaruhi morfogenesis eksplan. Suhu merupakan faktor alami yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Faktor suhu merupakan faktor utama yang menginduksi organ penyimpanan. Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah suhu ruang kultur 30/27 oC meningkatkan jumlah tunas yang berumbi, mempercepat terbentuknya umbi dan meningkatkan rasio diameter terlebar dan pangkal umbi mikro. Walaupun peningkatan suhu tidak meningkatkan peubah pertumbuhan lainnya seperti jumlah daun, jumlah tunas, jumlah akar, panjang daun dan akar, tetapi suhu 30/27 oC nyata meningkatkan ukuran umbi lapis mikro bawang merah lebih besar dua kali lipat dibanding umbi yang terbentuk pada suhu 20/17 oC. Bawang merah tidak seperti kerabatnya yang lain, sudah beradaptasi di daerah tropis dengan suhu lingkungan yang cukup tinggi. Pengumbian pada bawang merah berlangsung pada suhu relatif tinggi (Brewster 2002). Suhu yang
74
lebih tinggi meningkatkan akumulasi pati dan peningkatan gula tereduksi seperti pada tanaman padi dan tebu (Cheng et al. 2005; Jain et al. 2007). Pertumbuhan vegetatif (jumlah daun, jumlah akar, panjang akar dan daun) pada pengumbian mikro bawang merah lebih baik terjadi pada suhu 20/17 oC, hal ini dapat dijelaskan dengan hasil percobaan Jain et al. (2007), pada tebu yang ditanam pada suhu 25 oC mengalami penurunan konsentrasi IAA dan pada suhu yang lebih rendah terjadi peningkatan konsentrasi IAA. IAA merupakan auksin alami yang berperan dalam pembelahan sel. Pada konsentrasi tinggi akan merangsang pembentukan akar, dan bersama-sama sitokinin pada rasio tinggi akan mengatur pembelahan sel membentuk tunas/daun. Pada penelitian ini sukrosa memengaruhi pertumbuhan kultur. Konsentrasi sukrosa yang tinggi menghambat tinggi tajuk dan panjang akar. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Kahane et al. (1992), Le Guen-Le Saos et al. (2002), dan Ascough et al. (2008).
Perbedaannya pada konsentrasi sukrosa.
Kahane et al. (1992) menyatakan konsentrasi 60-120 g L-1 pada Allium cepa; Le Guen-Le Saos et al. (2002) dan Ascough et al. (2008) pada konsentrasi 70 g L-1 masing-masing pada A. cepa grup aggregatum var Mikor dan Watsonia sp. Hasil lain yang terungkap bahwa pemberian sukrosa tinggi menghambat proses senesen daun. Hal ini diduga karena sukrosa merupakan sumber energi bagi tunas in vitro seperti yang dijelaskan Wattimena dan Purwito (1989) sehingga daun hijau bertahan lebih lama. Pengaruh peningkatan sukrosa terhadap pembentukan umbi mikro dapat dijelaskan
berdasarkan
hipotesis
berikut
:
1)
peningkatan karbohidrat
menghasilkan penimbunan sejumlah energi yang dapat dipergunakan untuk induksi umbi mikro dan pertumbuhan; dan 2) peningkatan karbohidrat meningkatkan tekanan osmotik media, yang menciptakan kondisi stres lingkungan, yang merangsang terinduksinya organ penyimpanan sebagai salah satu respon penghindaran terhadap kondisi yang tidak mendukung (Ascough et al. 2008). Pemberian manitol sebagai senyawa yang dapat meningkatkan tekanan osmotik media dan menggantikan sukrosa ternyata menghambat pembentukan umbi (Le Guen-Le Saos et al. 2002). Diduga translokasi dan penimbunan
75
karbohidrat pada umbi mikro lapis bawang merah lebih penting dibanding tekanan osmotik media. Pengembangan genotipe baru bawang merah di Indonesia terkendala oleh sulitnya pembungaan. Tidak semua kultivar bawang merah mampu berbunga. Kondisi suhu yang tinggi di daerah tropis dapat menghambat proses pembungaan dan penyerbukan.
Salah satu hasil penelitian ini adalah terbentuknya umbi
abnormal dalam bentuk dan warna. Kemungkinan pemberian paclobutrazol pada konsentrasi 10 mg L-1 menginduksi keragaman somaklonal. Umbi lapis mikro tersebut perlu dievaluasi lebih lanjut.
Adanya fenomena tersebut sangat
menguntungkan untuk pengembangan genotipe baru bawang merah melalui kultur in vitro, selain hasil persilangan atau mutasi dengan iradiasi sinar gamma, mengingat masalah pembungaan pada bawang merah. Paclobutrazol tidak sesuai untuk pengumbian mikro bawang merah. Berdasarkan
analisis regresi perlakuan sukrosa responnya tidak nyata
terhadap peubah diameter (terlebar (Dt) dan pangkal (Dp)) serta rasio Dt/Dp umbi lapis mikro dan paclobutrazol responnya nyata linier positif terhadap diameter terlebar umbi lapis mikro. Nilai R2 yang sangat kecil tidak dapat dijadikan acuan untuk menduga konsentrasi terbaik dalam pengumbian mikro bawang merah. Bila mempertimbangkan kondisi planlet, kenormalan umbi lapis mikro, diameter terlebar, persentase kultur yang membentuk umbi lapis mikro dan efisiensi pemakaian sukrosa maka media terbaik untuk pengumbian mikro bawang merah adalah MS+vit B5+sukrosa 90 g L-1 tanpa paclobutrazol. Aklimatisasi menggunakan umbi lapis mikro lebih mudah dilakukan dengan tingkat keberhasilan tumbuh yang lebih baik. Umbi mikro diduga lebih tahan terhadap transpirasi disebabkan morfologi umbi mikro dengan pelindung tipis pada lapisan terluar, menjadikan planlet umbi lapis mikro lebih bertahan terhadap kondisi suhu dan kelembaban rendah (Ascough et al. 2008). Sebagai organ penyimpanan, umbi lapis mikro kaya akan karbohidrat, sehingga planlet akan menyediakan energi dan memanfaatkannya untuk membentuk daun dan tunas baru. Kondisi ini membuat daya adaptasi umbi lapis mikro bawang merah saat aklimatisasi tinggi selama dua minggu pertama. Umbi lapis mikro yang dihasilkan mempunyai ukuran diameter terlebar beragam yang mengakibatkan
76
secara visual ukurannya beragam, begitu pula dengan bobot umbi. Kemungkinan terjadi perbedaan pertumbuhan dengan ukuran umbi yang berbeda saat diaklimatisasi. Kriteria bobot umbi bibit bawang merah 2.5-5 g umbi-1 (Wibowo 1999). Disarankan untuk meneliti pengaruh ukuran umbi lapis mikro bawang merah saat diaklimatisasi dan pengaruhnya di lapangan terhadap pertumbuhan dan produksi umbi mini. Ukuran umbi bibit berpengaruh terhadap produksi (Brewster 2002). Keberhasilan tumbuh umbi lapis mikro bawang merah yang baru mencapai 56% pada tiga minggu setelah aklimatisasi kemungkinan karena tidak sesuainya media tumbuh. Hasil penelitian Matsubara dan Chen (1989) dan Patena et al. (1997) menunjukkan
umbi lapis mikro bawang putih dan bawang merah
berhasil diaklimatisasi
dengan menggunakan media rockwool. Penggunaan
rockwool untuk aklimatisasi umbi lapis mikro bawang merah perlu diteliti lebih lanjut. Bawang merah tidak tahan terhadap genangan dan kelembaban udara tinggi juga termasuk
sayuran yang senang cahaya dan tidak tahan naungan
(Brewster 2002; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Kemungkinan pada saat diaklimatisasi penyiraman tidak boleh terlalu sering dan tingkat naungan diturunkan menjadi 25-40%. Keberhasilan aklimatisasi perlu dilanjutkan dengan meneliti pemberian pupuk untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal dalam memproduksi umbi mini. Umbi lapis mikro yang diaklimatisasi dari hasil percobaan ini tidak mengalami dormansi.
Dormansi yaitu berhentinya proses pertumbuhan atau
aktivitas metabolisme yang terjadi karena kondisi yang tidak optimum. Pada Allium, dormansi terjadi secara bertahap dimulai dengan senesennya daun sampai sebelum tumbuhnya akar dan tunas (Phillips 2010). Dormansi akan bertahan lama apabila seluruh daun menjadi mengering secara alami dan kondisi lingkungan tidak mendukung. Dormansi pada bawang terjadi karena translokasi zat penghambat pada proses senesen dari daun yang berwarna hijau menjadi kuning atau coklat (Rubatzky & Yamaguchi 1999). Dikenal dua jenis dormansi pada Allium yaitu summer dormancy dan winter dormancy. Pada summer dormancy umbi lapis akan berhenti pertumbuhannya selama musim panas dan pada winter
77
dormancy umbi lapis akan berhenti petumbuhannya pada musim dingin sebagai mekanisme untuk mempertahankan hidupnya pada suhu rendah. Dormansi pada umbi lapis bawang merah di Indonesia diduga termasuk summer dormancy karena umbi akan mengalami dormansi pada suhu tinggi dan biasanya pada dormansi jenis ini dipengaruhi oleh suhu dan panjang hari (Phillips 2010). Umbi bawang merah akan segera bertunas di lapangan apabila lingkungan mendukung yaitu kelembaban udara meningkat, suhu hangat dan ketersediaan air yang cukup.
Pada Allium cepa suhu hangat meningkatkan aktivitas
perkecambahan dan pertumbuhan tunas sehingga mempercepat pematahan dormansi (Pak et al. 1995). Petani di Indonesia biasanya memotong 1/3-1/4 bagian atas umbi untuk mempercepat pertumbuhan tunas. Pemotongan bagian umbi lapis hampir mendekati cakram umbi merupakan salah satu upaya memecahkan dormansi dan mempercepat tumbuhnya tunas. Hal ini didasarkan pada dugaan inhibitor berada di lapisan luar umbi lapis. Pemotongan bagian terluar akan menghilangkan inhibitor (Arifin et al. 1999). Pada Allium wakegi dormansi disebabkan oleh asam absisat (ABA). Konsentrasi ABA meningkat saat daun senesen seiring lamanya umbi lapis mengalami dormansi (Yamazaki et al. 1999). Pematahan dormansi pada umbi bawang putih adalah dengan merendam umbi dengan larutan GA3 yang
juga dapat mempercepat tumbuhnya tunas
(Rahman et al. 2006). Tidak terjadinya dormansi pada umbi lapis mikro bawang merah sangat menguntungkan untuk penyediaan bibit sehat yang berasal dari in vitro. Umbi lapis mikro bawang merah
akan segera bertunas saat kondisi lingkungan
mendukung pertumbuhan. Langkah pembibitan dan penyediaan bibit bawang merah asal in vitro akan lebih cepat karena tidak memerlukan tahap pematahan dormansi dengan penyimpanan umbi pada suhu tinggi selama 2-4 bulan seperti yang dilakukan petani bawang sehingga kontinyuitas ketersediaan bibit terjamin. Umbi lapis mikro bawang merah setelah ditanam pada tahap aklimatisasi akan menghasilkan tunas sebelum tunas tersebut menjalani periode penimbunan karbohidrat dan membentuk umbi kembali. Tunas tersebut akan tumbuh dan berkembang dan dengan pemberian unsur hara serta faktor lingkungan yang mendukung akan terbentuk umbi. Petumbuhan tunas bibit bawang merah setelah
78
aklimatisasi memperlihatkan terbentuknya umbi yang berukuran kecil dengan diameter sekitar 1 cm dan bobot sekitar satu gram. Kemungkinan pola yang sama terjadi seperti pada pembibitan kentang dengan planlet yang berasal dari tunas mikro yang akan menghasilkan umbi mini. Penyediaan bibit bawang merah yang berasal dari biji (True Shallot Seed/TSS) juga tidak langsung disebar ke petani. Biji akan ditanam dengan kerapatan yang tinggi 1000 TSS/m2 setara dengan 4 g benih. Pada akhirnya akan diperoleh umbi lapis mini dengan bobot sekitar 1-1.5 g umbi-1 yang siap disebarkan ke petani. Metoda seperti ini
kemungkinan akan berlaku pada
pembibitan umbi lapis mikro bawang merah. Perlu kajian untuk mengetahui kerapatan bibit yang berasal dari umbi lapis mikro dan pemupukan untuk mendapatkan ukuran bibit siap sebar. Metode perbanyakan bawang merah dengan umbi lapis mikro diharapkan akan membantu penyesediaan bibit sehat bagi petani. Keuntungan yang diperoleh : 1) umbi dalam kondisi sehat bebas bakteri dan cendawan, sehingga pada generasi awal akan terhindar dari penyakit degeneratif. 2) Berkembangnya laboratorium kultur jaringan dalam penyediaan umbi lapis mikro bawang merah. 3) Berkembangnya industri pembibitan bawang merah baik dalam bentuk transplant maupun umbi mini. Umbi lapis mikro bawang merah yang bebas bakteri dan cendawan merupakan sumber propagul untuk melakukan seleksi ketahanan terhadap stres abiotik maupun biotik secara in vitro maupun in vivo. Umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan dari hasil penelitian ini berasal dari tunas mikro. Tunas mikro bawang merah yang dapat diinduksi dari setengah bagian cakram umbi menghasilkan 3.6 tunas selama 3 minggu. Artinya dari satu eksplan cakram akan diperoleh 3.6 umbi lapis mikro. Untuk menghasilkan tunas yang lebih banyak dapat dilakukan dengan subkultur setiap 3 atau 4 minggu. Efisiensi pembentukan umbi lapis mikro bawang merah disarankan
dilakukan dengan menanam sekumpulan tunas mikro tanpa
memisahkan setiap tunas pada media pengumbian. Cara seperti ini akan mengurangi biaya produksi karena dalam satu botol kultur ditanam beberapa tunas. Pembentukan umbi lapis mikro bawang merah pada suhu ruang kultur 30
79
o
C secara ekonomis menguntungkan karena akan mengurangi pemakaian AC dan
listrik. Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan umbi lapis mikro bawang merah dalam satu siklus penanaman di laboratorium adalah 10-12 minggu atau 70-84 hari. Panen umbi lapis bibit di lapangan berkisar 80-120 hari tergantung kondisi cuaca dilapangan. Artinya waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi umbi lapis mikro bawang merah sebagai propagul bibit yang sehat lebih pendek atau sama dibandingkan penyediaan umbi lapis bibit di lapangan dan tidak dipengaruhi lingkungan. Implikasi selanjutnya adalah pengembangan laboratorium kultur jaringan untuk menyediakan propagul awal untuk kebutuhan di pembibitan. Kebutuhan umbi bibit di lapangan dengan jarak tanam 15 cm x 15 cm adalah 400 000 umbi lapis ha-1. Bobot setiap umbi lapis bibit yang sesuai rata-rata 2.5 gram, maka kebutuhan umbi bibit bawang merah mencapai 1000 kg ha-1. Secara hipotetis untuk menghasilkan umbi lapis mikro sebanyak 400 000 umbi dengan kecepatan multiplikasi tunas dari setengah cakram umbi (eksplan) mencapai 3.6 selama 4 minggu dan setiap tunas akan menjadi satu umbi lapis mikro, maka jumlah eksplan yang diperlukan sebanyak 100 000 eksplan dan ini berasal dari 50 000 umbi bawang merah utuh. Jumlah ini secara hipotetis sangat signifikan dalam penghematan umbi sebagai bahan tanam karena mengurangi jumlah umbi bibit sebanyak 87.5% dari kebutuhan umbi bibit di lapangan. Bobot satu umbi lapis mikro yang hanya sekitar 400 mg dan jumlah per hektar 400 000 bibit, maka secara bobot hanya 160 kg, dibandingkan dengan umbi bibit di lapangan yang dalam jumlah sama mencapai 1000 kg. Hal ini akan memudahkan penanganan bibit dari segi transportasi dan di lapangan. Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan umbi lapis mikro dengan metode hasil penelitian ini dalam satu siklus adalah 12 minggu dan tanpa dipengaruhi faktor cuaca, lebih cepat dibandingkan produksi bibit di lapangan yang mencapai 12-17 minggu yang bergantung kondisi cuaca. Umbi lapis mikro yang dihasilkan juga dapat langsung ditanam di pembibitan karena tidak mengalami dormansi, berbeda dengan umbi bibit dari lapangan yang memerlukan
80
periode simpan 2 bulan. Aplikasi metode ini menghemat waktu dan ketersediaan bibit terjamin. Pengembangan umbi lapis mikro sebagai sumber bibit bawang merah yang sehat tentu memerlukan laboratorium yang cukup luas dengan sumber daya manusia yang banyak dan terampil.
Diperkirakan luasan laboratorium untuk
dapat menghasilkan 400 000 umbi lapis mikro setiap bulan mencapai 750 m2. Apabila pembibitan tersebut akan menyuplai ribuan hektar lahan, akan diperlukan sejumlah laboratorium pendukung di beberapa sentra produksi bawang merah. Apabila umbi lapis mikro ini tidak langsung disebar ke petani tetapi melalui sistem penangkar bibit dan baru disebar pada generasi 3, maka akan berkembang industri penangkaran bibit bawang merah.
Industri penangkaran
pembibitan bawang merah dengan bahan tanaman berasal dari in vitro dapat didekati dengan dua cara yaitu dengan pembentukan umbi lapis mini dan tunas transplant (Gambar 21).
Umbi lapis mikro bawang merah Umbi lapis mini
Tunas transplant
G0
GH0
G1
GH1
G2
GH2
G3
Petani
Umbi lapis
GH3
Gambar 21. Skema pembibitan umbi bawang merah asal in vitro di rumah kaca. Keterangan: Gambar rumah kaca di PT Saung Mirwan. G0-G3=umbi lapis mini generasi ke 0,1, 2, dan 3. GH0-GH3=generasi tunas transplant 1-3
81
Secara hipotetis dengan kemampuan multiplikasi setiap umbi lapis mikro menjadi umbi lapis bibit G0/GH0 adalah 2, dan G0/GH0 ke G1/GH1 adalah 4 dan dari G1/GH1 ke G2/GH2 adalah 4, dan G2/GH2 ke G3/GH3 juga 4 dengan kemampuan multiplikasi tunas rata-rata 3, maka dapat dihitung perkiraan jumlah umbi bibit yang akan dihasilkan dalam satu siklus perbanyakan (Tabel 15), sehingga untuk penyediaan umbi bibit asal G3 satu hektar (400 000 umbi) maka diperlukan umbi lapis mikro sebanyak 1 050. Perlu dievaluasi lebih lanjut untuk optimalisasi multiplikasi umbi G0 sampai G3.
Keuntungan terbesar dari
penggunaan umbi lapis bibit bawang merah ini adalah penggunaan bibit sehat yang akan menunjang pertumbuhan tanaman di lapangan selama beberapa generasi dari penyakit degeneratif.
Tabel 15. Perhitungan hipotetis jumlah bibit bawang merah asal umbi lapis mikro yang dihasilkan setiap generasi Tahapan Pembibitan G0/GH0 G1/GH1 G2/GH2 G3/GH3
Bahan Tanaman
Jumlah
Jumlah Bibit
3
Laju Multiplikasi 2
Umbi lapis mikro Umbi mini/tunas transplant Umbi mini/tunas transplant Umbi mini/tunas transplant
6
4
24
24
4
96
96
4
384
6
Pengembangan industri pembibitan bawang merah asal in vitro
akan
melibatkan petani plasma seperti yang telah dilakukan pada penyediaan bibit G1G3 pada kentang.
Berdasarkan perhitungan secara hipotetis di atas,
hasil
penelitian ini bermanfaat secara langsung dalam mengatasi permasalahan bibit berkualitas pada bawang merah dan mengembangkan industri pembibitan bawang merah Indonesia ke depan.
82
83
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari penelitian ini diperoleh metode perbanyakan bibit bawang merah secara in vitro dengan mendapatkan umbi lapis mikro yang mendukung penyediaaan bibit berkualitas. Umur eksplan terbaik untuk multiplikasi tunas mikro bawang merah sebaiknya diambil dari umbi lapis bibit yang disimpan selama dua bulan. Pembentukan umbi lapis mikro bawang merah dapat dilakukan dengan menanam tunas mikro pada media pengumbian (MS + vit B5) dengan penambahan sukrosa 90 g L-1 tanpa paclobutrazol dan kultur diletakkan pada ruang bersuhu 30 oC. Aklimatisasi umbi lapis mikro bawang merah mempunyai keberhasilan tumbuh yang lebih tinggi dibanding menggunakan planlet tunas mikro dan penanganan yang lebih mudah. Bibit berhasil tumbuh mencapai 56% selama tiga minggu pada media kompos daun hijau dan arang sekam (1:1) pada tingkat naungan 40% dengan memperlihatkan pertumbuhan daun, tinggi tanaman dan tunas baru.
Saran Eksplan untuk perbanyakan tunas mikro sebaiknya menggunakan umbi lapis bibit yang sudah disimpan pada suhu tinggi selama dua bulan. Tunas mikro dengan jumlah daun minimal tiga helai, tidak vitrous dan berumur 4 minggu di media perbanyakan sebaiknya dipakai sebagai propagul untuk diumbikan pada media pengumbian. Media pengumbian mikro bawang merah disarankan tidak menambahkan paclobutrazol. Perlu dilakukan penelitian tentang epigenetic dan keragaman somaklonal yang mungkin terjadi pada umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan. Penelitian aklimatisasi dilanjutkan dengan pemupukan, ukuran umbi lapis mikro, dan kerapatan tanaman untuk memproduksi umbi lapis mini bawang merah.
84
DAFTAR PUSTAKA Arifin NS, Okubo H, Miho N. 1999. Dormancy in shalllot (Allium cepa var ascalonicum) and Allium wakegi bulbs and its breaking by scale cutting. J.Fac.Agric. 43(3&4):309-315. Argo WR. 1997. Transplant production and performance: media physical properties. The Fifth National Symposium on Stand Establishment: Transplant Workshop. Ohio State University Columbus The University of Florida. Arteca RN. 1996. Plant Growth Substances Principles and Applications. Chapman and Hall. New York. Ascough GD, Erwin JE, van Standen J. 2008. Reduced temperature, elevated sucrose, continuous light and gibberellic acid promote corm formation in Watsonia vanderspuyiae. Plant Cell Tiss.Org.Cult. 95:275–283 AVRDC. 2006. Project 2 off season onion and garlic. http//www.avrdc.org. (diakses 17-3-2006). Badan Pusat Statistika. 2011. Tabel Produksi Hortikultura/Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah 2009-2010. http//www.bps.go.id (diakses 20-12-2011). Brewster JL. 2002. Crop Production Science in Horticulture 3 : Onions and Other Vegetable Alliums 2nd ed. CAB International. Amsterdam. 227p. Brewster JL, Salter PJ, Darby RJ. 1977. Analysis of the growth and yield of overwintered onions. J.Hort.Sci. 52:335-346. Cathey HM. 1975. Comparative plant growth-retarding activities of Ancymidol with ACPA, Phospfon, Chlormequat and SADH on ornamental plant species. Hort.Sci.10(3):204-216. Chen J, Ito T, Shinohara Y. 2002. Effects of cell plug trays on shoot and root growths of Chinese cabbage (Brassica camprestis L. (pekinensis group)) transplants. J.Japan.Soc.Hort.Sci. 71(5): 617-622. Cheng F, Zhong L, Zhao N, Liu Y, Zhang G. 2005. Temperature induced changes in the starch components and biosynthetic enzymes of two rice varieties. Plant Growth Reg. 46:87-95. Cohat J. 1994. Production of gynogenetic plants by in vitro culture of flower buds in shallot (Allium cepa L. var. aggregatum). Agronomie 14: 29933304.
86
De Mason D. 1990. Morphology and anatomy of Allium. P27-52. In. Rabinowitch HD and Brewster JL (eds.). Onions and Allied Crops Vol 1. Botany, Physiology and Genetics. CRC. Florida. Dhavala VNC, Rao TD, Rao YV, Prabavathi K. 2009. Effect of explant age, hormones on somatic embryogenesis and production of multiple shoot from cotyledonary leaf explants of Solanum trilobatum L. Afr.J.Biotech. 8 (4):630-634. Direktorat Jendral Hortikultura. 2008. Data Ekspor dan Impor Tanaman Hortikultura : Bawang Merah. www.deptan.go.id. (diakses tgl 25 April 2011). Direktorat Jendral Hortikultura. 2009. Produksi Tanaman Hortikultura : Bawang Merah. www.deptan.go.id. (diakses tgl 25 April 2011). Direktorat Jendral Hortikultura. 2011. Berita Hortikultura. www.deptan.go.id (diakses tgl 3 Oktober 2011). Dufault RJ. 1997. Transplant production and performance: effect of transplant nutrition. The Fifth National Symposium on Stand Establishment: Transplant Workshop. Ohio State University, Colombus The University of Florida. Fardani MS. 2005. Studi pembentukan umbi bawang merah (Allium ascalonicum L.) cv Sumenep menggunakan SADH dan sukrosa secara in vitro. Skripsi. Departemen Budi Daya Pertanian, Faperta IPB. Bogor. 44 hal. Fereira S, Hjerno K, Larsen NM, Wingsle G, Larsen P, Fey S, Roepstorff P, Salome´Pais M. 2006. Proteome profiling of Populus euphratica Oliv. upon heat stress. Annals Bot. 98: 361–377 Fletcher PJ, Fletcher JD, Lewthwaite S. 1998. In vitro elimination of onion yellow dwarf and shallot latent viruses in shallots (Allium cepa var. ascalonicum L.). New Zealand J. Crop Hort. Sci. 26: 23-26. George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture : Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Exegetic Ltd. 781p. Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas IPB dan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Bogor. 212hal. Hidayat IM. 1997. In vitro plant regeneration and bulblet formation of shallots (Allium ascalonicum L. ) var. Sumenep. Acta Hort. 688: IV International Symposium on Edible Alliaceae (Abstract) Handayani DP, Purwito A, Dinarti D. 2005. Pengaruh jenis sitokinin dan air kelapa terhadap pembentukan tunas mikro bawang merah (Allium
87
ascalonicum L.) var. Sumenep. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura Indonesia: Menuju Produk Hortuikultura Berkualitas. Jakarta. Haque MS, Wada T, Hattori K. 2003. Shoot regeneration and bulblet formation from shoot and root meristem of garlic cv. Bangladesh local. Asian J. Plant Sci. 2(1): 23-27. Hazarika BN. 2003. Acclimatization of tissue cultured 85(12):1704-1712.
plants. Curr.Sci.
Hunter DC, Burritt DJ. 2002. Improved adventitious shoot production from cotyledon explants of lettuce (Lactuca sativa L.). Sci.Hort. 95:269–276 Jacobs G, Richard M, Allderman LA, Theron KI. 1992. Direct and indirect organogenesis in tissue cultures of Nerine bowdenii Watts. Acta Hortic. 325:475–479 Jain R, Shrivastava AK, Solomon S, Yadav RL. 2007. Low temperature stressinduced biochemical changes affect stubble bud sprouting in sugarcane (Saccharum spp. hybrid). Plant Growth Regul. 53:17–23. Kahane, Teyssendier R, de La Serve B, Rancillac M. 1992. Bulbing in long-day onion (Allium cepa L.) cultured in vitro: comparison between sugar feeding and light induction. Annals.Bot. 69:551-555. Kamstaityte D, Stanys V. 2004. Micro propagation of onion (Allium cepa L.) Acta Universitatis Latviensis Biology. 676: 173-176. Kemery RD, Dana MN. 2001. Influence of container size and medium amendment on post-transplant growth of Prairie perennial seedlings. Hort.Tech. 11(1):52-55. Khokhar KM. 2009. Effect of set-size and storage temperature on bolting, bulbing and seed yield on two onion cultivar. Sci.Hort. 122 (2):187-194 Kim EK, Hahn EJ, Murthy HN, Paek KY. 2003. High frequency of shoot multiplication and bulblet formation of garlic in liquid cultures. Plant Cell Tiss. Org.Cult. 73: 231-236. Le Guen-Le Saos F, Hourmant A, Esnault F, Chauvin JE. 2002. In vitro bulb development in shallot (Allium cepa L. aggregatum group): effect of antigibberellins, sucrose and light. Annals Bot. 89: 419-425. Leshem B, Werker E, Shalev DP. 1988. The effect of cytokinins on vitrification in melon and carnation. Annals Bot. 62: 271-276 Lizawati, Novita T, Purnamaningsih R. 2009. Induksi dan multiplikasi tunas jarak pagar (Jatropha curcas L.) secara in vitro. J.Agron.Indon. 37(1): 78-85
88
Matile P. 2001. Chloroplast senescence and its regulation,. In: Aro E, Andersson B, editors. Regulation of Photosynthesis. Kluwer Academic Publishers Netherlands. p.277-296 Matsubara S, Chen D. 1989. In vitro production of garlic plants and field acclimatization. Hort.Sci. 24(4): 677-679. Mauk CS, Langille AR. 1978. Physiology of tuberization in Solanum tuberosum L. Cis-zeatin riboside in the potato plant: its identification and changes in endogeneous levels as influenced by temperature and photoperiod. Plant Physiol. 62: 438-442. Menzel CM. 1983. Tuberization in potato at high temperatures: gibberellins content and transport from buds. Annals Bot. 52: 697-702. Mohammed-Yasseen Y, Splittstoesser WE, Litz RE. 1994. In vitro shoot proliferation and production of sets from garlic and shallot. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 36: 2433-247 Mohebodini M, Javarani MJ, Mahboudi F, Alizadeh H. 2011. Effects of genotype, explant age and growth regulators on callus induction and direct shoot regeneration of lettuce (Lactuca sativa L.). Afr.J.Crops Si. 5(1):92-95. Mondal MF, Brewster JL, Morris GEL, Butler HA. 1986. Bulb development in onion (Allium cepa L.) I. Effect of plant density and sowing date in field conditions. Annals Bot. 58: 187-195. Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue cultures. Physiol. Plant. 15: 473–497. NeSmith DS, Duval JR. 1997. Transplant production and performance: the effect of container cell size. The Fifth National Symposium on Stand Establishment: Transplant Workshop. Ohio State University Columbus The University of Florida. Nonnecke IL. 1989. Vegetable Production. Van Nostrand Reinhold. New York. 657p. Nur IHIS. 2005. Pengaruh konsentrasi media MS dan IBA terhadap pembentukan akar pada tunas bawang merah (Allium ascalonicum L.) cv Sumenep dalam kultur in vitro. Skripsi. Departemen Budi Daya Pertanian, Faperta IPB. Bogor. 38 hal. Ozyigit II, Kahraman MV, Erca O. 2007. Relation between explant age, total phenols and regeneration response in tissue culture of cotton (Gossypium hirsutum L.). Afr. J. Biotech. 6(1):003-008.
89
Pak C, van der Plas LHW, de Boer AD. 1995. Importance of dormancy and sink strength in sprouting of onions (Allium cepa) during storage. Physiol. Plant. 94:277-283 Parsini. 2005. Pengaruh pemberian Calcium panthotenate dan jenis media terhadap pembentukan tunas in vitro bawang merah (Allium ascalonicum L.) cv. Sumenep. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB. 56 hal. Patena LF, Rasco-Gaunt SM, Chavez-Lapitan VP, Bariring AL, Barba RC. 1997. Seed production and in vitro conservation systems for garlic and shallot. Acta Hort. 461 (Abstract). Pathak, CS, Kou GC, Green SK, Tsou SCS, Black L, Engle LM, Chen NC. 1994. Current programmes and progress in bulb Alliums improvement at AVRDC. Onion Newsletter for the Tropics. 6:17-20. Pelkonen V. 2005. Biotechnological Approaches in Lily (lilium) Production. Univ. of Oulu. Finland. 63p. Petani Indonesia. 2009. Penyimpanan Bawang Merah. www.petaniindonesia.com (diakses 14 Oktober 2011). Permadi AH, van der Meer QP. 1997. Allium cepa L. cv. group aggregatum. p.64-68. In . Siemonsma SS, Piluek J (Eds.). Prosea. Plant Resources of South-East Asia 8. Vegetables. Prosea. Bogor Indonesia. Phillips GC, Luteyn KJ. 1989. Effects of picloram and other auxin on onion tissue cultures. J. Amer Soc. Hort. Sci. 108(6): 948-953. Phillips N. 2010. Seed and bulb dormancy characteristic in new world Allium L. (Amaryllidaceae): a review. Intern. J. Bot. 6(3):228-234. Pierik RLM. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publ. Netherlands. 344p. Putrasamedja S. 1995. Cara memproduksi benih bawang merah melalui biji (TSS). Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran 24-10-1995. Rabinowitch HD, Kamenetsky R. 2002. Shallot (Alllium cepa var. aggregatum group). P409-430. In Rabinowitch HD, Currah L (eds.) Allium Crops Science: Recent Advances. CABI Warwick Rahayu E, Berlian N. 1997. Bawang Merah. Penebar Swadaya. Jakarta. 94hal. Rahman MH, Haque MS, Karim MA, Ahmed M. 2006. Effects of gibberellic acid (GA3) on breaking dormancy in garlic (Allium sativum L.). Int. J. Agri. Biol. 8(1):63-65.
90
Rahmawati I. 2007. Studi pembentukan umbi lapis mikro dua kultivar bawang merah (Allium cepa var aggregatum group) secara in vitro pada berbagai konsentrasi SADH. Skripsi. Departemen Budi Daya Pertanian, Faperta, IPB. Bogor. 40 hal. Rice RD, Alderson PG, Wright NA. 1983. Induction of bulbing of tulip shoots in vitro. Sci.Hort. 20:377-390. Roksana R, Alam MF, Islam R, Hossain MM. 2002. In vitro bulblet formation from shoot apex in garlic (Allium sativum L.). Plant Tiss. Cult. 12(1): 11-17. Ross JJ. 1998. Effect of auxin transport inhibitors on gibbrellins in Pea. J.Plant Growth Regul.17:141-146 Royno AD. 2003. Pengaruh NAA dan BAP terhadap Multiplikasi Tunas Bawang Merah Kultivar Sumenep secaraIin Vitro. Skripsi. Departemen Budi Daya Pertanian, Faperta IPB. Bogor. 36 hal. Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1999. World Vegetables: Principles, Production, and Nutritive Values. 2 ed. Aspen Publ., Inc. Maryland USA. 843p. Rukmana R. 1999. Bawang Merah: Budidaya dan Pengolahan Pascapanen. Penebar Swadaya. Jakarta. 47hal. Septiari AM, Dinarti D. 2003. Pengaruh NAA dan BAP terhadap multiplikasi tunas in vitro bawang merah (Allium ascalonicum L.) var. Sumenep . Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi yang Mendukung Agribisnis. Jogjakarta. Slabbert MM, de Bruyn MH, Ferreira DI, Pretorius J. 1993. Regeneration of bulblets from twin scales of Crinum macowanii in vitro. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 33:133–141. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 591hal. Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development: Hormones and Environment. Academic Press. New York. 772p. Tiran R, Dinarti D. 2007. Embriogenesis somatik pada bawang merah. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional Perhimpunan Agronomi Indonesia Indonesia. Universitas Padjajaran dan Direktorat Jendral Perkebunan. Tjondronegoro PD, Harran S, Hamim. 1999. Fisiologi Tumbuhan Dasar I, II, III. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. 321hal.
91
Wattimena GA, Purwito A. 1989. Produksi Umbi Mikro Kentang. PAU Bioteknologi.IPB. Bogor. 54hal. Wibowo S. 1999. Budidaya Bawang. Penebar Swadaya. Jakarta. 194 hal. Yamazaki H, Nishijima T, Yamato Y, Koshioka M, Miura H. 1999. Involvement of absisic acid (ABA), in bulb dormancy of Allium wakegi L. endogenous levels of ABA in relation in bulb dormancy and effects of exogenous ABA and fluridone. Plant Growth Regul. 29(2):189-194. Yoo KS, pike LM, Cobb RG. 1990. Promotion of in vitro leaf growth of inner scales excised from dormant onion bulbs. Hort.Sci. 25(2):228-229. Youssef M, James A, Mayo-Mosqueda A, Ku-Cauich JR, Grijalva-Arango R, Escobedo-GM RM. 2010. Influence of genotype and age of explant source on the capacity for somatic embryogenesis of two cavendish banana cultivars (Musa acuminata Colla, AAA). Afr.J. Biotech. 9(15): 2216-2223. Zhen X, Yeong-Cheol U, Chun-Hwan K, Gang L, De-Ping G, Hai-Lin L, Amadou AB, Aining M. 2008. Effect of plant growth regulators, temperature and sucrose on shoot proliferation from the stem disc of Chinese jiaotou (Allium chinense) and in vitro bulblet formation. Acta Physiol. Plant. 30:521–52 Zheng S, Henken B, Sofiari E, Keizer P, Jacobsen E, Kirk C, Krens FA. 1999. Effect of cytokinins and lines on plant regeneration from long-term callus and suspension of Allium cepa L. Euphytica 108: 83-90. Zheng S, Henken B, de Maagd RA, Purwito A, Krens FA, Kirk C. 2005. Two different Bacillus thuringiensis toxin genes confer resistance to beet armyworm (Spodoptera exigua Hubner) in transgenic Bt-shallots (Allium cepa L.). Transg. Res. 14: 261-272.
93
Tabel Lampiran 1. Produksi, luas panen dan produktivitas bawang merah di Indonesia dari tahun 2000 sampai 2008 Tahun
Luas (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (ton/ha)
2000
84 038
861 150
9.196
2001
82 147
766 572
10.483
2002
79 867
762 795
9.598
2003
88 029
762 795
8.670
2004
88 707
757 399
8.540
2005
83 614
732 610
8.760
2006
89 188
794 931
8.910
2007
93 694
802 810
8.570
2008
91 339
853 615
9.350
Sumber : Direktorat Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2009. Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura : Bawang Merah. Departemen Pertanian. Tabel Lampiran 2. Produksi, luas panen dan produktivitas bawang merah di Indonesia dari tahun 2009 dan 2010 Tahun
Luas (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (ton/ha)
2009
109 009
965 164
9.28
2010
109 634
1 048 934
9.57
Sumber: Badan Pusat Statistik. 2011. Tabel statistik hortikultura/Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah 2009-2010. www.bps.go.id (diakses tgl 20 Desember 2011).
93
94
94