Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) Dengan Amerika Serikat (Common Law System) Sunarmi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
A. PENDAHULUAN. Perkembangan perekonomian global membawa pengaruh terhadap perkembangan hukum terutama hukum ekonomi. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negaranegara maju (Convergency).1 It has become a well- known incident in cross-border commercial law reform. The country was in the midst of an economic crisis and the government was failing. A foreign government representative arrived unannounced and produced a detailed set of demands. These included market liberalisation and the esthabilishment of special court to service foreign business people. Although he had no formal training in the local law, he was quick to assert that the judges were undertrained and far too close to the governement’s interests to be able to adjudicate complex cross-jurisdictional matters. In essence this was the message conveyed to Jakarta by International Monetary Fund IMF) representatives imposing loan conditions in 1998.2 Dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian global, Indonesia melakukan revisi terhadap seluruh hukum ekonominya. Namun bagaimanapun tidak dapat disangkal bahwa perubahan terhadap hukum ekonomi Indonesia dilakukan juga karena tekanan dari Badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan World Bank. Bidang hukum ekonomi yang mengalami revisi antara lain adalah hukum kepailitan. Hukum kepailitan itu sendiri merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda yang notabenenya bercorak sistem hukum Eropah Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam bidang hukum ekonomi terdapat pengaruh-pengaruh yang cukup kuat dari sistem hukum Anglo Saxon. Dari sisi perbandingan sistem hukum dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang par execelen di dunia.3 Perkembangan hukum positif di Indonesia senantiasa sarat dengan terjadinya proses impor sistem hukum sejak zaman penjajahan, kemerdekaan hingga era globalisasi yang terjadi saat ini. Setidaknya ditandai oleh berkembangnya tradisi hukum Eropah di 1
Erman Radjagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum, No. II Vol 6, Halaman 114. 2 Thimothy Lindsey and Veronica Taylor, Rethinking Indonesian Insovency Reform : Contexts and Frameworks, dalam Tim Lindsey (Editor), Indonesia Bankruptcy, Law Reform & The Commercial Court, Ausaid, Desert Pea Press, 2000,page 2. 3 Hari Purwadi, Pendekatan Baru Dalam Studi Perbandingan Hukum : “Critical Comparative Law” Dan Transplantasi Hukum Di Indonesia, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi,Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 225.
1 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Indonesia sampai saat ini, sementara tumbuh desakan untuk mengakomodasi nilai dan norma-norma lokal maupun pengaruh hukum yang berkarakter Common Law (AngloAmerican Law) system tidak dapat dinafikan. Di samping itu, hipotesis Esin Orucu (2000) menyebutkan bahwa abad mendatang dapat menjadi “the era of comparative law”. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa pada saat ini di Indonesia berkembang 5 sistem hukum yaitu 4 : 1. Civil Law System 2. Common Law Sistem 3. Islamic Law 4. Socialisme Law 5. Customary Law atau Sistem Hukum Adat. Ketentuan tentang pembagian sistem hukum yang hampir sama dikemukakan oleh Ediwarman yang menyebutkan klasifikasi sistem hukum di dunia, atau keluarga hukum (legal families) terdiri atas : 1. Sistem Eropah Kontinental dan Amerika Latin (Civil Law System) 2. Sistem Angl – American (Common Law System) 3. Sistem Timur Tengah (Middel East System). Misalnya : Yordania, Saudi Arabia, Libanon, Siria, Maroko, Sudan, dsb. 4. Sistem Timur Jauh (For East System). Misalnya : Cina, Jepang. 5. Sistem Negara-negara Sosialis (Socialist Law System). Misalnya : Sovyet, Kuba, dll.5
B. PERKEMBANGAN HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA. Mempelajari perkembangan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak terlepas dari kondisi perekonomian nasional khususnya yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Dari sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga Konsultan (think tank) Econit Advisory Group6, yang menyatakan bahwa tahun 1997 merupakan ‘Tahun Ketidak pastian” (A Year of Uncertainty). Sementara itu, Tahun 1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of Correction). Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US $ dari sekitar Rp. 2300,00 pada sekitar bulan Maret menjadi sekitar Rp. 5000,00 per US $ pada akhir tahun 1997. Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000,00 per US $. Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6 – 7 % telah terkontraksi menjadi minus 13 – 14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban utangnya terhadap para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami kebangkrutan (Pailit). 4
Erman Radjagukguk, Kuliah Perbandingan Sistem Hukum, Program S3 Ilmu HukumPascasarjana USU Tanggal 22 Maret 2002. 5 Ediwarman, Kuliah Perbandingan Hukum, Program S3 Ilmu Hukum Pasca sarjana, 26 Oktober 2002. 6 Harian Kompas, Kamis Tanggal 16 Desember 1999.
2 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Terperosoknya nilai tukar rupiah, setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) negatif terhadap perekonomian nasional,7yaitu : 1) negative balance of payments, 2) negative spread, dan 3) negative equity. Neraca pembayaran negatif terutama terjadi karena melonjaknya nilai tukar utang dalam valuta asing (valas) kalau dirupiahkan. Utang perusahaan swasta dan pemerintah yang cukup besar telah memperberat beban neraca pembayaran sementara kenaikan nilai ekspor sebagai akibat “bonanza” dari terdepresiasinya nilai rupiah tidak dapat dengan segera dinikmati. Negative spread terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan suku bunga untuk mengerem laju permintaan valas telah menyebabkan naiknya bunga bank. Sementara itu, dana yang terkumpul dari masyarakat sulit disalurkan karena jarang ada perusahaan yang mampu memperoleh margin di atas suku bunga. Perusahaan yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami negative equity karena nilai kekayaannya dalam rupiah tidak cukup lagi dan bahkan berbeda jauh apabila dipersandingkan dengan nilai rupiah dari utang valas. Kondisi di atas mengakibatkan banyaknya perusahaan-perusahaan yang diancam kebangkrutan karena kondisi perekonomian nasional dan ketidak mampuan untuk membayar utang-utang perusahaan yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk dollar. Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah utang piutang ini secara cepat, efektif, efisien dan adil. Undang-undang kepailitan yang lama dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk menyelesaikan masalah utang piutang mereka secara cepat, efektif, efisien dan adil. Hal ini disebabkan bahwa hukum kepailitan yang selama ini berlaku Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 jo Stb 1906 No. 348 merupakan hukum kepailitan warisan pemerintah kolonial Belanda yang diciptakan sesuai dengan kondisi perekonomian pada masa itu. Mengingat hal di atas pemerintah perlu melakukan revisi terhadap hukum kepailitan untuk mengantisipasi banyaknya perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 pemerintah telah melakukan perubahan, penambahan dan penyempurnaan pasal-pasal yang terdapat dalam Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 Jo. Stb.1906 No. 348. Namun perubahan dan penyempurnaan tersebut dirasakan masih mengandung beberapa kelemahan terutama yang timbul dalam prakteknya. Bagir Manan menyebutkan bahwa keadaan hukum (the existing legal system) Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut :8 1. Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaedah – hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem hukum yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum 7
Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya, Penerbit Salemba Empat, Jakarta2001, hal 3. 8 Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional (Dalam Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik &Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LL.M.), Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal 238 – 245.
3 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
tersebut dimaksudkanuntuk membiarkan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasi untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern. 2. Ditinjau dari segi bentuk… sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis. Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secra hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yurisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.9 3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat. 4. Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara, bahkan ada pula dari badan justisial. 5. Keadaan hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukumkhususnya peraturan perundang-undangan- sering dipandang sebagai urusan departemen yang bersangkutan. 6. Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan. Keadaan hukum kita- khususnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahu terkahir- sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out of date). Secara obyektif hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berjalan begitu cepat, sehingga hukum mudah sekali tertinggal di belakang. Secara subyektif, berbagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatasi keadaan seketika sehingga kurang memperhatikan wawasan ke depan. Kekurangan ini sebenarnya dapat dibatasi apabila aparat penegak hukumberperan aktif mengisi berbagai kekososngan atau memebrikan pemahaman baru suatu kaidah. Kenyatan menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih suka memilih sebagai “aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan perundang-undangan. Dalam rangka untuk penyempurnaan aturan hukum kepailitan perlu dilakukan perbandingan-perbandingan sistem hukum (Comparative Legal System). Oleh karena itu kajian terhadap perbandingan hukum di Indonesia khususnya hukum kepailitan selalu menarik untuk pelajari lebih mendalam. C. PENGERTIAN PERBANDINGAN HUKUM. Bagi yang pertama sekali mempelajari perbandingan hukum, timbul pertanyaan apakah perbandingan hukum itu merupakan metode ataukah ilmu. Bila perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmiah, kiranya saat ini belum mendapat banyak dukungan. 9
Bagir Manan, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Jakarta, 1993. hal. 2.
4 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Dalam Introduction to the Study of Comparative Law, Rahmatullah Khan with of Susshil Kumar disebutkan bahwa It is self evident that comparative law is not a subject but a method.10 With a preliminary remark that legal definitions are not notoriously unsatisfactory, H.C. Gutteridge, the doyen of the discipline, dismisses the question of definition thus : since the subject- matter is non existent it defies definition.11 Terdapat berbagai istilah dalam perbandingan hukum perbandingan hukum yaitu : 1. Comparative Law Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya. 2. Foreign Law Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. 3. Comparative Jurisprudence Adalah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum. (The study of principles of legal science by the comparison of various system of law).12 Tentang pengertian perbandingan hukum itu sendiri banyak dijumpai pendapat dari beberapa ahli antara lain : 1. Rudolf D. Schlessinger. Dalam bukunya Comparative Law 1959 mengemukakan : a. Comparative Law, merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. b. Comparative Law, bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas hukum, bukan suatu cabang hukum. c. Comparative Law, adalah tehnik atau cara menggarap unsur hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum. 2. Dr. G. Guitens Bourgois. Perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum. Perbandingan hukum bukanlah ilmu hukum, melainkan hanya suatu metode studi, suatu metode untuk meneliti sesuatu, suatu cara kerja, yakni perbandingan. Perbandingan hukum sebagai suatu metode mengandung arti, bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek atau masalah yang diteliti. Oleh karena itu sering digunakan istilah metode perbandingan hukum. 3. Sunaryati Hartono. Perbandingan hukum bukanlah suatu bidang hukum tertentu seperti misalnya hukum tanah, hukum perburuhan atau hukum acara, akan tetapi sekedar
10
Erman Radjagukguk , Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law – Common Law) Jilid I (Kumpulan Kuliah), Fakultas Hukum UI Program Pasca Sarjana, 2000, hal 1. 11 H.C. Gutteridge, Comparative Law, An Introduction to the Comparative Method of Legal Study & Research, Cambridge, 1946, page 2. 12 Ediwarman, Kuliah Perbandingan Hukum, Program S3 Ilmu Hukum Pasca sarjana USU, Tanggal 26 Oktober 2002.
5 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
merupakan cara penyelidikan suatu metode untuk membahas suatu persoalan hukum dalam bidang manapun juga. 4. Van Apeldoorn Objek ilmu hukum adalah hukum sebagai gejala kemasyarakatan. Untuk mencapai tujuannya maka digunakan : a. Metode Sosiologis Dimaksud untuk meneliti hubungan antara hukum dengan gejala-gjala sosial lainnya. b. Metode Sejarah, untuk meneliti perkembangan hukum. c. Metode perbandingan hukum, untuk membandingkan berbagai tertib hukum dan bermacam-macam masyarakat
5. Soerjono Soekanto. Mengemukakan ketiga metode itu saling berkaitan dan hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipishkan antara lain : a. Metode Sosiologis. Tidak dapat diterapkan tanpa metode sejarah, karena hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya merupakan hasil dari suatu perkembangan (dari zaman dahulu), metode perbandingan hukum juga tidak boleh diabaikan, karena hukum merupakan gejala dunia. b. Metode Sejarah. Memerlukan bantuan dari metode sosiologis, karena perlu diteliti faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan hukum. c. Metode Perbandingan Tidak akan membatasi diri pada perbandingan yang bersifat deskriptif, tetapi juga diperlukan data tentang berfungsinya atau efektifitas hukum, sehingga diperlukan metode sosiologis, juga diperlukan metode sejarah untuk mengetahui perkembangan dari hukum yang diperbandingkan. Dari beberapa pendapat sarjana di atas dapat diperoleh gambaran bahwa : 1. Perbandingan hukum bukanlah suatu cabang hukum, bukan suatu perangkat peraturan. 2. Perbandingan hukum merupakan cabang ilmu hukum. 3. Perbandingan hukum merupakan metode penelitian hukum. Alan watson berusaha menginventarisasi pendekatan-pendekatan yang bisa diharapkan untuk memperluas cara pandang terhadap perbandingan hukum. E. Lambert, sebagai misal, mengetengahkan 3 (tiga) bagian yang bisa dimasukkan dalam terminologi perbandingan hukum, yakni : 1. Deskriptive comparative law. Deskriptive ini berkenaan dengan inventarisasi sistem pada masa lalu dan kini sebagai suatu keseluruhan, seperti aturan-aturan individual yang mana sistem ini ditegakkan untuk beberapa kategori hubungan-hubungan hukum. 6 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
2. Comparative history of law. Comparative history of law secara tertutup berkaitan dengan ilmu hukum etnologis (ethnological jurisprudence), folklore, sosiologi hukum, dan filsafat hukum. 3. Comparative legislation (atau tepatnya comparative jurisprudence). Comparative legislation mempresentasikan usaha untuk mendefinisikan ruang umum yang menjadi doktrin hukum nasional, sebagai hasil pembangunan studi hukum sebagai suatu ilmu dan usaha membangunkan kesadaran hukum internasional. J.H. Wigmore juga membagi perbandingan hukum ke dalam 3 (tiga) bagian : comparative nomoscopy, yang menggambarkan sistem-sistem hukum, comparative nomothetics, yang menganalisis kebaikan-kebaikan sistem, dan comparative nomogenetics, yang melakukan studi pembangunan ide-ide dan sistem-sistem hukum dunia. Dengan demikian maka perbandingan hukum sebagai disiplin akademis tidaklah berdiri sendiri, artinya bukan hanya merupakan studi tentang satu sistem hukum asing atau bagian dari sistem asing itu. Alan Watson menyebutkan bahwa perbandingan hukum tersebut melihat sistemsistem dunia atau merupakan perbandingan aturan-aturan individu atau cabang-cabang hukum di antara dua atau lebih sistem hukum. Karenanya, merupakan studi hubungan satu sistem hukum dan aturan-aturannya dengan sistem dan aturan-aturan lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat diemukan nelalui studi sejarah sistemsistem hukum atau aturan-aturan. Dengan demikian, pertama, perbandingan hukum merupakan sejarah hukum (legal history) yang berkenaan dengan hubungan antara sistem-sistem. Tetapi, tidak dapat dikatakan bahwa perbandingan hukum secara sederhana sebagai cabang dari sejarah hukum. Kedua, perbandingan hukum berkenaan dengan sifat hukum, khususnya tentang sifat pembangunan hukum (legal development).13 Dengan demikian tipe-tipe hubungan yang penting untuk diketengahkan adalah pertama, hubungan kesejarahan (historical relationship). Hubungan ini mengenai satu sistem atau satu dari aturan-aturannya diderivasi dari sistem lain, yang kemungkinan dilakukan modifikasi. Kedua, hubungan ke dalam (inner relationshiop). Hubungan ini tidak dalam kontak kesejarahan yang aktual, tetapi pada hubungan psikis dan spiritual, serta pada kemiripan yang tidak bisa disangkal di antara bangsa-bangsa atau pembangunan mereka. Ketiga, hubungan yang berkenaan dengan anggapan bahwa semua sistem hukum pada mulanya melalui tingkat pembangunan (stages of development) yang sama atau mirip. Menurut Esin Orucu (2000) diferensiasi yang dilakukan oleh Lambert maupun Wigmore tersebut dianggap sebagai kategorisasi lampau dan kini menuju akhir abad ke 20, sejumlah pendekatan yang berbeda terhadap perbandingan hukum menjadi menonjol dan mendominasi. Di satu pihak pendekatan-pendekatan tersebut meninggikan prospek perbandingan hukum, di lain pihak, dapat mengenyampingkannya dan mengubah karakternya. Intinya, perbandingan hukum dihadapkan pada kecenderungan-kecenderungan baru, yang meningkatkan “harga” diskursus perbandingan hukum saat ini. Kecenderungankecenderungan baru itu di antaranya : comparative law dan legal philosopy (comparative jurisprudence), comparative law dan legal history (historical comparative law atau 13
Hari Purwadi, Opcit, hal 228.
7 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
historico-comparative perspective), comparative law dan culture ( comparative legal cultures dan culture studies), serta comparative law dan economics. Kombinasi perbandingan hukum dan filsafat hukum dapat memperkaya pemahaman hukum yang benar. Kombinasi perbandingan hukum dan sejarah hukum digunakan oleh pencari “new ius commune” dan mazhab-mazhab transplantasi hukum. Kombinasi perbandingan hukum dan budaya, yang mengambil bentuk “studi-studi hukum dan masyarakat” (law and society studies) pada tahun 1970an serta “hukum dan budaya popular” (law and popular culture) pada tahun 1980-an, sekarang tampaknya melibatkan studi-studi perbandingan hukum untuk memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap multi-kulturalisme dan integrasi. Perbandingan hukum dan gerakan ekonomi sangat banyak disukai saat ini, usaha keras untuk mensetup sistem-sistem hukum yang kompeten sebagai suatu alternatif bagi harmonisasi dan kodifikasi untuk menemukan solusi yang paling efisien bagi masalahmasalah global (Esin Orucu, 2000). Dalam perbandingan hukum ini Esin mengeluarkan teori ‘critical comparative law”. Teori ini bertolak dari kebanyakan para komparatis belakangan ini yang lebih berorientasi pada konvergensi dan divergensi, ketidak tepatan dalam mentransfer, problem-problem importir dan eksportir atas ide-ide dan institusi-institusi hukum secara konstruktif dapat didekati sebagai “critical comparative law”. Pendekatan ini dapat ditempatkan sebagai antitesis terhadap “traditional comparative law” atau “conventional comparative law”. Namun, pemilihan terminologi bukan dikonstruksi pada pengertian bahwa “critical comparative law” sebagai cabang dari “critical legal studies movement”. Studi-studi perbandingan hukum di Eropah saat ini,14pertama, adalah studi-studi yang berkenaan dengan “new ius commune”, yang dilakukan untuk memfasilitasi integrasi dan membuat kasus demi keberhasilan transplantasi hukum sebagai dasar konvergensi, baik didukung atau tidak oleh “mazhab ekonomi dan hukum”. Kedua, untuk menemukan caracara rekonsiliasi civil law dan common law. Ketiga, melakukan studi-studi perbandingan hukum berkenaan dengan pembentukan European Codes. Keempat, untuk menggunakannya sebagai alat bagi konstruksi di pengadilan-pengadilan, baik dalam konteks nasional maupun Eropa. Dalam hubungan dengan ekstra Eropa, suasana Eropah ditarik ke dalam fungsi perbandingan hukum pada ekspor institusi-institusi dan ide-ide hukum serta membantu reformasi hukum dengan memberikan keyakinan model-model yang menonjol pada bentuk oengumpulan model yang dipresentasikan oleh sistem hukum Eropah Barat. Pergeseran dan perubahan horizon perbandingan hukum seperti itulah yang menurut Esin Orucu harus dianalisis melalui pendirian kritis (critical stance). Oleh karenanya, 15 oleh Esin Orucu dipersoalkan “apakah suatu nama yang berbeda atau suatu pendekatan baru dalam perbandingan hukum?”.
14
Ibid, hal 230. HariPuwadi berpendapat bahwa bukan kedua-duanya. Namun, sekedar pergeseran atau perubahan fungsi perbandingan hukum, khususnya pada pendkatan transplantasi hukum. Sebab, sifat kritis dalam critical comparative law melakukan fungsionalisasi untuk kepentingan-kepentingan solusi problem-problem transplantasi hukum, termasuk “pengaruh” yang resiprokal (resiprocal influence)- yang memicu kelahiran sistem-sistem transisi (system in transition) dan sistem-sistem campuran (mixing systems).
15
8 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
D. PERBANDINGAN HUKUM KEPAILITAN ANTARA INDONESIA DENGAN CIVIL LAW SYSTEM DAN AMERIKA SERIKAT DENGAN COMMON LAW SYSTEM. Perkembangan hukum ekonomi di Indonesia berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dipengaruhi perkembangan globalisasi perekonomian. Dari sisi hukum, perkembangan hukum ekonomi ini memunculkan transplantasi di bidang hukum. Yaitu perpindahan dari suatu aturan atau sistem hukum dari satu negara ke negara lain. Dari sejarah perkembangan hukum di Indonesia di ketahui bahwa transplantasi hukum di Indonesia terjadi sejak jaman kolonial dan berkembang pesat pada era globalisasi. Di bidang hukum kepailitan, pemerintah kolonial Belanda dengan asas konkordansi memberlakukan Failissemenst Verordening terhadap golongan Eropah berdasarkan Pasal 131 IS Jo. 163 IS. Berlakunya hukum kepailitan ini ternyata juga dalam prakteknya diberlakukan terhadap golongan bumi putera. Sejak terjadinya krisis moneter di Indonesia hukum kepailitan selanjutnya diganti oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998. Disempurnakannya FV menjadi Perpu No. 1 Tahun 1998 dan dikuatkan menjadi UU NO. 4 Tahun 1998 tidak terlepas dari kelemahan yang terkandung dalam FV tersebut. Dari segi substansi,terdapat beberapa kelemahan dalam FV 1905. 16 Pertama, tidak jelasnya time frame yang dapat diberikan untuk menyelesaikan kasus kepailitan. Akibatnya untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitan dibutuhkan waktu yang sangat lama.17 Kedua, jangka waktu untuk penyelesaian utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) juga sangat lama, yaitu memakan waktu 18 bulan. Ketiga, apabila Pengadilan menolak PKPU, Pengadilan tersebut tidak diwajibkan untuk menetapkan debitur dalam keadaan pailit. Keempat, kedudukan kreditur masih lemah. Umpamanya dalam hal pembatalan perbuatan debitur yang dapat merugikan kreditur, jangka waktu yang diberikan hanya selama 40 hari sebelum pailit, sedangkan dalam UU NO. 4 Tahun 1998 jangka waktu tersebut diberikan sampai 4 tahun. Dari segi implementasi, FV 1905 tampaknya jarang digunakan oleh masyarakat golongan pribumi karena FV 1905 tersebut memang awalnya tidak ditujukan bagi golongan Bumi Putera, tetapi ditujukan bagi golongan Eropah dan golongan Timur asing kecuali Bumi Putera tersebut melakukan penundukan secara sukarela. Oleh karenanya, peraturan kepailitan tersebut tidak dirasakan sebagai peraturan milik golongan pribumi, dan karenanya tidak pernah tumbuh dalam kesadaran hukum masyarakat.18 Apabila diperhatikan sejarah hukum kepailitan ini diketahui terjadi perubahan dari hukum kepailitan yang lama (Faillisement Verordening) yang bercirikan Sistem Eropah Kontinental ke arah Sistem Hukum Anglo Saxon. Di sini terjadi proses tranplantasi hukum. Uraian selanjutnya dalam tulisan ini akan mencoba untuk membandingkan
16
Erman Radjagukguk , Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia, Bahan Kuliah E Learning, 2002, hal 2 – 3. 17 Benny S. Tabalujan, Indonesian Insovency Law , Bussines Law Asia, Singapura, 1998, hal 22 – 28. 18 Sutan Remy Syahdeini, “Sejarah Hukum Kepailitan di Indonesia” dalam Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan hukum Bisnis, Vo. 12, Jakarta, 2001, hal 42 – 48.
9 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
hukum kepailitan di Indonesia yang semula bercirikan Eropah Kontinental Sistem dengan Sistem Hukum Anglo Saxon. Jika ditelusuri sejarah hukum tentang kepailitan, diketahui bahwa hukum tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi19. Kata bankrut, yang dalam bahasa Inggris disebut bankrupt berasal dari Undang-undang di Itali yang disebut dengan banca rupta. Di abad pertengahan di eropah ada praktek kebangkrutan dimana dilakukan penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para krediturnya. Sedangkan di Venetia (Italy) pada waktu itu, dimana para pemberi pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak mampu lagi membayar hutang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-benar te;ah patah atau hancur. Bagi negara-negara dengan tradisi hukum common law yang berasal dari Inggris Raya, tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena pada tahun 1952, hukum pailit dari tradisi hukum romawi diadopsi ke negeri Inggris dengan diundangkannya oleh parlemen di masa kekaisaran Raja Henry VIII sebagai Undang-undang yang disebut dengan Act Against Suuch Persons As Do Make Bankrupt20. Undang-undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitur nakal yang ngemplang untuk membayar hutang sambil menyembunyikan aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditur yang tidak dimiliki oleh kreditur secara individual. Peraturan di masa-masa awal dikenalnya hukum pailit di Inggris banyak yang mengatur tentang larangan properti tidak dengan itikad baik (fraudulent conveyance statute) atau apa yang sekarang populer dengan sebutan actio pauliana. Di samping itu, dalam Undang-undang lama di Inggris tersebut juga di atur antara lain tentang hal-hal sebagai berikut : 1. Usaha menjangkau bagian harta debitur yang tidak diketahui (to part unknown); 2. Usaha menjangkau debitur nakal yang mengurung diri di rumah (keeping house) karena dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit dijangkau oleh hukum jika dia berada dalam rumahnya berdasarkan asas man’s home is his castle; 3. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk tinggal di tempat-tempat tertentu yang kebal hukum, tempat mana sering disebut dengan istilah sanctuary. Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah kedutaan asing dalam hukum modern; 4. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk menjalankan sendiri secara sukarela terhadap putusan atau hukuman tertentu, yang diajukan oleh temannya sendiri. Biasa untuk maksud ini terlebih dahulu dilakukan rekayasa tagihan dari temannya untuk mencegah para krediturnya mengambil aset-aset tersebut. Di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang termasuk kedalam kelompok negara dengan sistem hukum Anglo Saxon, hukum kepailitan diatur dalam Bankruptcy Code Charle Jordan Tabb menjelaskan bahwa : Bankruptcy has permeated our national consciousness and conscience. A federal bankruptcy law has been on the books for as long as any but the oldest among us has been alive. To most American, bankruptcy probably is synonymous with the idea of a discharge from one’s debts. Little wonder, 19
Douglas G. Baird, Cases Problems, and Materials on Bankruptcy, Boston, USA : Little, Brown and Company, 1985, page21. 20 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal 4.
10 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
since the United States may well have the most liberal discharge laws in the world. The idea of a bankruptcy law without a freely available discharge seems unimaginable. Yet, the unimaginable is the historical norm. Bankruptcy has been around for almost half a millenium in Anglo – American jurisprudence. Yet the discharge as we know it in the United States did not exist until the turn of this century. Other civilized countries in the world today do not offer overburdened debtors a discharge from their debts at all. Even England, the source of our own bankruptcy law, offers debtor a much less generous discharge than the United States.21 Sejarah hukum kepailitan di Amerika Serikat dimulai dengan perdebatan konstitusional yang menginginkan Kongres memiliki kekuatan untuk membentuk suatu aturan yang uniform tentang kebangkrutan.Perdebatan ini sudah dimulai sejak diadakannya Constitutional Convetion di Philadelphia pada tahun 1787. Dalam The Federalist Papers, seorang Founding father dari Amerika Serikat yaitu James Madison mendiskusikan tentang apa yang disebut dengan Bankruptcy Clause sebagai berikut : Kewenangan untuk menciptakan sebuah aturan hukum yang uniform mengenai kebangkrutan adalah sangat erat hubungannya dengan aturan mengenai perekonomian (commerce), dan akan mampu mencegah terjadinya begitu banyak penipuan, dimana para pihak atau harta kekayaannya dapat dibohongi atau dipindahkan ke negara bagian yang lain secara tidak patut.22 Kemudian kongres di Amerika Serikat mengundangkan Undang-undang pertama tentang kebangkrutan dalam tahun 1800, yang isinya mirip-mirip dengan Undang-undang Kebangkrutan di Inggris saat itu. Akan tetapi selama dalam abad ke 18, di beberapa negara bagian di USA telah ada Undang-undang negara bagian yang bertujuan untuk melindungi debitur (dari hukuman penjara karena tidak membayar hutang) yang disebut dengan Insolvency Law. Selanjutnya Undang-undang Federal Amerika Serikat Tahun 1800 tersebut diubah atau diganti antara lain dalam tahun 1841, 1867, 1878, 1898, 1938 (The Candhler Act), 1867, 1898, 1978 dan 1984. Antara tahun 1841 sampai tahun 1867, tidak terdapat sama sekali Undang-undang mengenai kebangrutan. Sebab Undang-undang lama telah dicabut sementara Undang-undang pengganti baru terbentuk dalam tahun 1867.23 Henry R. Cheeseman menyebutkan bahwa Congres enacted the Original Bankruptcy Act in 1878. It was amended in 1938 by the Chandler Act, and that law was completelyenacted the revised by the Bankruptcy Reform Act of 1978. The 1978 act, which became effective on October 1, 1979, substantially changed – and eased – the requirement for filing bankruptcy.24 Selanjutnya Several years later, Congres enacted the Bankruptcy Amendements and Federal Judgeship Act of 1984, which made bankruptcy court part of the federal district court syatem and attached a bankruptcy court to each district court. Bankruptcy judges are appointed by the Presiden for 14 – year terms. Other provisions of the 1984 amendements remedied abuses and misuses of bankruptcy and clarified procedures for 21
Charles Jordan Tabb, The Historical Evolution of the Bankruptcy Discharge, Copy rught © 1991 National Conference of the Bankruptcy Judges. 22 Doglas G. Baird, Opcit, hal 24. 23 Lawrence M. Friedman, History of American Law, New York : Simon & Schuster, Inc., 1985, page549. 24 Henry R. Cheeseman, Business Law, Fourth Edition, Upper Saddle River, New Jersey 07458, 2001, page 564.
11 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
filing bankruptcy. The bankruptcy Reform Act of 1978, as amended, is referred to as the Bankruptcy Code.25 Dari latar belakang sejarah hukum kepailitan di Amerika Serikat dapat disimpulkan bahwa The whole idea of finding a deep structure in complicated, historic artifact such as the Bankruptcy Code was doomed from the start. Considering the tens of thousands of congressmen, judges and lawyers who have contributed to the content of bankrupty law, it would have been a miracle if all of them were driven by the same ethical impulse every time a legislative decision was made. Legal text are situated in history, and just as historical explanation is infinitely complex, so should we expect juriprudential explanations to be infinitely complex, based on entropy, anomie, conflict, and confusion, as well as the dictates of logic and reason.26 Dalam Bussines Law Text and Cases, John W. Collins dkk 27 menguraikan background Federal bankruptcy Law yaitu : 1. Bankruptcy law is based upon the constitution. 2. From 1800 to 1803 bankruptcy was only available to merchant, traders or brokers and involuntary case. 3. In 1841, all debtors could take advantage of bankruptcy and there were both voluntary and involuntary provisions. 4. In 1978, the bankruptcy Reform act was passed and became efective in 1979. This been amended since thet time, especially to deal with the holding that jurisdiction under this act was unconstitutional. The 1978 act and amandements are referred to hereafter as the bankruptcy code. B. The structure of the Bankruptcy Code. 1. There are eight odd- numbered chapters, 1 – 15. 2. There are three basic types of bankruptcy : chapter 7, liquidation; chapter 11, reorganozation; and chapter 13, the wage-earner plan. C. The purpose of bankruptcy Law. 1. It is intended to rehabilitate debtors. a.It provides for s discharge, that is a cancellation of the debtor’s debts. b.It protects the debtor’s property from the claims of creditors through exemptions. 2. it provides for the orderly collection and distribution of the debtor’s property. Liquidation Chapter 7 Liquidation involve rounding up the debtor’s property, turning it into cash, and using such cash to pay the debtor’s creditors. Then the debtor is discharged fom this debts. A. Commencement of a Case 1. Bankruptcy is begun by filling apetition which can be either voluntary, that is, started by the debtor, or involuntary, that is started by creditors. a. it must be filed where the debtor has resided or had his principal place of businee for the preceding six months.
25
Ibid, hal 564. David Gray Carlson, Philosophy in Bankruptcy, 85 Mich.L. Rev. 1341 (1987), page 8 (Program E Learning Bankruptcy Law, USU,UI, UGM, Univ. South Carolina USA, Nevada) 27 John W. Collins, et all Business Law Text and Cases, John Willey & Sons, New York, page 242. 26
12 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
b. It must be accompanied by a filing fee and schedules which are lists of the asset and creditors of the debtor. 2. Voluntary petitions can be filed by anyone except railroads and most banks and insurance companies. a. A. Debtor need not be insovent or even allege that there are any debts. b. The filing of a voluntary petition equals an order by the bankruptcy court that the debtor is entitled to relief. 3. A bankruptcy court may dismiss a debtor’s petition if, after a hearing, they determine that everyone would be better served by such dismissal. This is called an abstention. It cen be caused by prejudicial delays by a debtor or by substantial abuse of the bankruptcy laws, but there is presumption in favor of granting the debtor’s petition. 4. Involuntary petitions can be filed only if the debtor : a. Is not paying his or her debts as they become due, or b. A custodian or receiver has been appointed by a court (within 120 days after the state receiver is appointed). 5. Involuntary petitions can only be filed in chapter 7, and chapter 11 and cannot be fied against a farmer, municipality or charitable organization. See In Re United Kitchen, a case dealing with a charitable organization. 6. To require an involuntaryu bankruptcy there must be : a. A debtor with twelve or more creditors, and a minimum of three creditors must be owed at least $ 5,000 in unsecured debts. b. A debtor has fewer than twelve creditors, one creditor with an unsecured $ 5,000 claim can file a petition, and if there is no one creditor with an unsecured claim of least $ 5, 000, than any number of creditors with that amount can join togethter. c. The Unsecured claim cannot be subject to a dispute raised in good faith. 7. Employees and insiders are excluded in determining the number of creditors needed ti file an involuntary petition. In re United Kitchen Associates, Inc,- In this case the court did chosose to count the employees as petitioning creditors, but there could be no involuntary bankruptcy because the organization was a charitable organization. 8. A debtor can contest an involuntary petition after which he is entiteld to a hearing on the issues, and a court can dismiss or grant petition. Award can be made to cover the debtor’s attorney’s fees and court costs as punitive damages against successful debtors. 9. As mentioned earlier, the mere fling of a petition operates as an automatic stay resulting in the suspension of any cases and prohibits the enforcement of any judgements againts the debtor. In other words, all colection efforts must come to a standstill. Conduct of a Bankruptcy Case 1. The creditors must be notified after an order of relief has been entered. 2. Trustees have what are called avoidance powers which allow the trustee to avoid certain transfer of property and to bring that property back in to the debtor’s estate.
13 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
3. A trustee can avoid a tranfer by a debtor, called a preference, which is a previously owed debt paid while the debtor was insolvent within 90 days of the date of the filing of the petition. a. Insolvency is defined as when the debtor’s debts are greater than the worth of all of his property. b. Exception to this avoindance power are if the payment of debts was incurred in the ordinary course of business or if the transfer created a security interest for new value. In the case of In Re Marston the court had to decide whether particular liens on property were preferential transfers. 4. A trustee can avoid a fraudulent conveyance. a. A fraudulent conveyance is defined as atransfer made with the actual intent to hinder, delay, or defraud creditors, or if there was no intent, the transfer was made whil the debtor was insolvent, or made him insolvent, or the debtor received less than reasonable value for the property transfered. b. The trustee can go back as long as one year before the filing of the petition to avoid a fraudulent conveyance. c. A fraudulent conveyance is also a ground for denyng a debtor a discharge of debts owed. This was the case in In Re Kaiser in which the court denied a discharge because a debtor put all of his property in his wife’s name before filing a petition for bankruptcy. 5. A trustee in bankruptcy has a lie againts all of the debtor’s property, and thus he is a creditor of the debtor as of the date the petition is filed . a. .The truste thus has the rights of an actual unsecured creditor to avoid transfer or the rights of a hypotetical judicial lien creditor. (As if the trustee had brought a succesful suit to enforce a lien). b. The lien power of a trustee is called the “strong arm power” because with this power the trustee can avoid any security interests that are unperfected on the date the petition is filed. c. A trustee’s claim is superior to those of a security interest holder which is unperfected because the trustee’s claim arises on the date of bankruptcy. 6. A trustee can choose to avoid a security interest in the folowing situations : a. By the strong arm provision of the trustee’s lien. b. If the transfer was preferential. c. If the transfer was a fraudulent conveyance. d. The trustee can begin a proceeding, known as an adversary proceeding, to recover the provery. EXEMPTIONS 1. A debtor has a certain amount of property which is exempt from creditors under bankruptcy. 2. These exemption can be federal or if the state has an opt-out provision, they will be the state provision for exemptions. 3. The majority of states have opt-out provisions. In the case of In Re Neihheisel. The court deals with an op-out statute and discuses the history and policies behind such provisions. 4. The debtor can avoid the liens that creditors might place on his exempt property. 14 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
5. A debtor can avoid any judicial lien on any exempt property. a. State lists of exempt property for judgement lien purposes differ from those listed for bankruptcy purposes. 6. A debtor can avoid a security in exempt property and retain the propery free from the claims of the secured creditor if : a. The property is household goods, tools, or other esential work related articles used by a debtor in his occupation, and b. The property is in the debtor’s possesion, and c. The security interest is not a purchase money security interest. DISCHARGE 1. Only an individual person and not a corporation is entitled to a discharge, ( A corporation can be dissolved and thus does not need a discharge). 2. Either a trustee or a creditor can object to the granting of a discharge. In th case of Matter of Wilson the court denied a discharge of a debtor at the request of a creditor. 3. A debtor who does not obtain a discharge will lose all property but exempt property and will still ow e his creditor. The debtor who does obtain a discharge retains the same property, but is free from all debts except those that are non dischargeable. 4. A few debts are not dischargeabl;e in bankruptcy, and any creditor who makes this claim must seek a bankruptcy court ruling thet the debts is nondischargeable. An unseccesful crediotr must pay a consumer debtor’s court costs and attorney’s fees. The elements that a creditor must prove in order to establish that a debt is non dischargeable are discussed in the case of In Re Andrews in which the creditor claimed thet a debtor used a false financial statement. THE OTHER OF PAYMENT TO CREDITORS. 1. A claim must be made within the time of the notice requirements and objections may be made to claims of creditors. 2. Creditor are paid in the following order (each in full before the next) : a. Secured creditors to the extent of their collateral ( the defiency is treated as an unsecured claim). b. Administrative expenses of bankruptcy. c. Unsecured creditors in an involuntary case for ordinary business expenses. d. Certain employee wages up to $ 2,000. e. Certain contributions to employee benefits. f. Up to $ 900 refund to certain unfilled consumer orders. g. Governemental claims. h. Unsecured creditor. Chapter 134 – Wage earner Plan 1. Those qualifyng for cahpter 13 are those debtors with a regular income, unsecured debts of less than $ 100,000 and secured debts af less than $ 350,000. 2. Since the debtor has income, the property is not collected and sold off, but the debts are paid off out of future income by delaying due dates and reducing the amount owed on the debts.
15 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
3. The debtor must propose a plan in good faith and pay creditors at least much as they would have received in a Chapter 7 liquidation. 4. A debtor can even propose that a debts owed to a secured creditor be modified. 5. A voluntary petition is required to commenece a chapter 13 proceeding, and this can be converted to a Chapter 7 proceeding at any time. A Courtmay refuse to confirm a debtor’s plan which is illustrated the caseof in Re Canada. THE ORGANIZATION : CHAPTER 11 1. Anyone who can file a chapter 7 except for a stock broker or commodities broeker can file a chapter 11 proceeding. 2. Chapter 11 can be either voluntary or involuntary and it can be converted to a chapter 7. 3. Chapter 11 provides that a business continue to operate during the reorganization; and the debtor, called the debtor in possesion, may even continue to operate the business himself. 4. The purpose for contained operation of the business is that this may bring in more money than a complete liquidation. 5. As under 13, chapter 11 requires a debtor to put forth a good faith plan for paying his debts. The plan can propose differing time payments and structures of debts. 6. The bankruptcy Amandment places limits on a business ability to avoid labor union contracts during a Chapter 11 reorganization. There must be consultation betwen the employees representative and the trustee or debtor in possesion, and court approval is required for the rejection or alteration of a lbor contract. The case of In Re Polytherm Industries, Inc, Illustrates the type op plan that can be proposed in a Chapter 11 Bankruptcy Salah satu bagian yang sangat penting dan sangat populer dari Bankruptcy Code adalah apa yang disebut dengan chapter 11 tentang Reorganization yang tidak dijumpai dalam hukum kepailitan di Indonesia. HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA Sebagai salah satu negara yang termasuk ke dalam kelompok hukum Civil Law Country, maka hukum kepailitan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara-negara yang termasuk ke dalam kelompok hukum Civil Law Country. Bila ditelusuri dari akar sejarahnya hukum kepailitan Indonesia sesungguhnya sama dengan hukum kepailitan di Negeri Belanda yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Pada awalnya hukum kepailitan di Indonesia di atur dalam Faillissements Verordening Stb. 1905 No. 217 jo Stb. 1906 No. 348. Faillissements Verordening terdiri atas : Bab I : Tentang Kepailitan pada umumnya Bab II : Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan berlakunya UU No. 4 Tahun 1998, maka FV menjadi tidak berlaku lagi. UU No. 4 Tahun 1998 (selanjutnya disingkat UUK) sendiri terdiri atas : 1. Bab I : Tentang Kepailitan Pasal 1 s/d Pasal 211) 2 Bab II : Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pasal 212 s/d Pasal 279 ) 3 Bab III : Tentang Pengadilan Niaga (Pasal 280 s/d Pasal 289).
16 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Secara umum terdapat tujuh perubahan utama yang menjadi semangat Perpu No. 1 Tahun 1998 yang dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 dibandingkan dengan peraturan kepailitan yang lama, yaitu :28 Pertama, penyempurnaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan. Termasuk di dalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengamblan keputusan pernyataan kepailitan. Kedua, penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya kreditur, atas kekayaan debitur sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan. Ketiga, peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu Balai Harta Peninggalan. Ketentuan yang ditambahkan antara lain mengatur syarat-syarat untuk dapat melakukan kegiatan sebagai kurator berikut kewajiban mereka. Keempat, penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan, bahwa untuk itu dapat langsung diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tata cara dan kerangka waktu bagi upaya hukum tadi juga ditegaskan dalam penyempurnaan ini. Kelima, dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan secara adil, dalam rangka penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak di antara kreditur yang memegang hak tanggungan, gadai atau agunan lainnya. Diatur pula ketentuan mengenai status hukum atas perikatan-oerikatan yang telah dibuat debitur sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan. Keenam, penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang penundaan kewajiban pembayaran sebagaimana telah diatur dalam BAB KEDUA Undang-undang Kepailitan. Ketujuh, penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga ini berupa Pengadilan Niaga, dengan hakimhakim yang dengan demikian juga akan bertugas secara khusus. Pembentukan Pengadilan Niaga ini merupakan langkah diferensiasi atas peradilan Umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, peradilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga tersebut akan khusus bertugas menangani permintaan pernyataan kepailitan. Keberadaan lembaga ini akan diwujudkan secara bertahap. Begitu pula dengan lingkup tugas dan kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau diperluas dari waktu ke waktu. Semuanya akan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan yang penting lagi, tingkat kemampuan serta ketersediaan sumber daya yang mendukungnya. 28
Penjelasan umum UUK.
17 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Sebagai peraturan pelaksanaan dari UUK ini, pemerintah juga mengeluarkan beberapa ketentuan yang merupakan pelaksanaan teknis dari UUK, yaitu : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 mengenai Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum. Peraturan Pemerintah ini memberikan petunjuk teknis, mengenai keadaan dimana pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit untuk kepentingan umum, serta kejaksaan negeri mana yang dapat melakukannya. 2. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 1998 mengenai Perhitungan Jumlah Hak Suara Kreditur. Peraturan Pemerintah ini mengatur dua hal utama, pertama mengenai hak kreditur yang memiliki piutang samapai dengan Rp. 10.000.000., (sepuluh juta rupiah) yang berhak mengeluarkan satu suara, dan apabila terjadi kelebihan piutang dari jumlah Rp. 10.000.000., tersebut. Hal kedua adalah bagaimanamenetapkan utang yang nilainya tidak dapat ditetapkan secara pasti atau ditetapkan dalam valuta asing. Demikian beberapa ketentuan baru yang terdapat di dalam UUK yang tidak dijumpai dalam Faillisement Verordening. Diaturnya perkara kepailitan dalam suatu pengadilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga merupakan sesuatu yang baru yang merupakan penerobosan terhadap sistem peradilan yang selama ini ada. Sebelum berlakunya UUK, perkara-perkara kepailitan diselesaikan di Pengadilan Negeri. Namun setelah keluarnya UUK, dalam Pasal 280 ditegaskan bahwa : 1) Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam BAB PERTAMA dan BAB KEDUA, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada di Lingkungan Peradilan Umum. 2) Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailitdan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.. Bila dibandingkan antara pengadilan niaga di negara-negara civil dengan common law terdapat perbedaan. Joseph Dainow menyebutkan However, in order to understand the two system properly, there are disparities which must be recognized and evaluated. For more specific identification of ideas, it is useful to consider five points of reference : the training and recruitment of judges, the method of arriving at decisions, the personalization of opinions or the colegiality of judgements, the manner of writing opinions, and the atitude of the judge in case of silence and insufficiency of the written or estblished law.29 Di Amerika Serikat ketentuan tentang Pengadilan Niaga berlaku secara efektif pada 10 Juli 1984. Bankruptcy judges decide core proceedings (.e.g., allowing creditor claims, deciding preferences, confirming plans of reorganization) regarding bankruptcy cases. Noncore proceedings concerning the debtor (e.g., decisions on personal injury, divorce, and other civil proceedings) are resolved in federal or state court. 30 Masalah kepailitan sesungguhnya terjadi karena adanya utang piutang antara debitor dan kreditor. Permasalahan baru muncul apabila debitor berhenti membayar utangnya pada waktu jatuh tempo, baik karena tidak mau membayar maupun karena tidak mampu membayar. 29 30
Erman Radjagukguk, Opcit, hal 79. Henry Cheeseman, opcit, page 564.
18 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Sebenarnya bila terjadi keadaan seperti itu terdapat beberapa usaha untuk menyelesaikan utang piutang tersebut, yaitu antara lain dengan :31 1. perdamaian (di luar pengadilan); 2. gugatan melalui pengadilan; 3. perdamaian di dalam pengadilan; 4. ditagih individual; 5. penundaan pembayaran; 6. perdamaian penundaan pembayaran; 7. kepailitan; 8. perdamaian dalam kepailitan. Di Amerika Serikat the primary purpose of federal bankruptcy law is to discharge the debtor from burdensome debts. The law gives debtorsa fresh start by freeing them from legal responsibility for [ast debts by (1) protecting debtors from abusive activities by creditors in collecting debts, (2) preventing certain creditors from obtaining an unfair advantage over other creditors, (3) protecting creditors from actions of the debtors thet would diminish the value of the bankruptcy estate, (4) providing for the speedy, efficient, and equitable distribution of the debtor’s nonexempt property to claim holders, and (5) preserving existing business relations.32 Bila dalam hukum kepailitan di Amerika Serkat dikenal adanya Reorganization perusahaan yang diatur dalam Chapter 11, maka hal ini tidak dikenal dalam hukum kepailitan di Indonesia. Chapter 11 of the Bankruptcy Code provides a method for reorganizing the debtor’s financial affair under the supervision of the Bankruptcy Court.Its goal is to reorganize the debtor with a new capital structure so that it will emerge from bankruptcy as a viable concern. This option, wgich is referred to as reorganization bankruptcy, is often in the best interest of the debtor and its creditors.33 Chapter 11 is availabel to individuals, partnership, corporations, nonincorvorated associations, and railroads. It is not available to banks, savings and loan associations, credit unions, insurance companies, stockbrokers, or commodities brokers. The majority of Chapter 11 proceedings are filed by corporations. A Chapter 11 petition may be filed voluntarily by the debtor or involuntaryly by its creditors. The principles discussed earlier under Chapter 7 regarding the filing of petitions, the first meeting of creditors, the entry of the order for relief, automatic stay, and relief from stay also apply to Chapter 11 proceedings. Tentang rencana untuk melakukan reorganization itu sendiri, Henry Chaseeman menjelaskan :34 The debtor has the exclusive right ti file a plan of reorganization with teh Bankruptcy Court within the first 120 days after the date othe order for relief. The debtor also has thje right to obtain creditor approval of the plan within the first 180 days after the date of 31
Dr. Man Suparman Sastrawidjaya, SH., SU, Antisipasi PT (Pesero) dalam Menyongsong Undang-undang Kepailitan, dalam Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LLM., Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal 331. 32 Henry R. Cheeseman, Opcit, page 565. 33 Ibid, page 575. 34 Henry R Cheeseman, Contemporary Business Law, Third Edition,Prentice Hall, Upper Saddle River New Jersey, 2000, page 511.
19 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
the order. After that, any party of interests (i.e., a trustee, a creditor, or an equity holder) may propose a plan. The court has discretion to extend the 120 and 180 day periods in complex cases. The plan of reorganization sets forth the debtor’s proposed new capital structure. In a Chapter 11 proceeding, creditors have claims and equity holders have interest. The plan must designate the different classes of calims and interests. The reorganization paln may propose altering the rights of creditors and equity holders. For example, it might require claims and interests to be reduced, the conversion of unsecured creditors to equity holders, the sale of assets, or the like. The debtor must supply the creditors and equity holder with a disclosure statement that contains adequate information about the proposed plan of reorganization. The court must approve the disclosure statement before it is distributed. Bila diteliti lebih jauh tentang hukum kepailitan di Indonesia yang tidak mengatur tentang adanya kemungkinan untuk melakukan reorganisasi perusahaan, sesungguhnya lembaga reorganisasai perusahaan ini mirip dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Suspension of Payment, Surseance van Betaling (selanjutnya disingkat PKPU). PKPU dalam UU NO. 4 Tahun 1998 diatur dalam Bab ke dua mulai Pasal 212 sampai dengan Pasal 279. PKPU dilakukan bukan berdasarkan pada keadaan dimana debitur tidak mampu membayar utangnya dan juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan terhadap harta kekayaan debitur (likuidasi harta pailit).35 PKPU adalah wahana Juridis Ekonomis yang disediakan bagi debitur untuk menyelesaikan kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan kehidupannya. Sesungguhnya PKPU adalah suatu cara untuk menghindari kepailitan yang lazimnya bermuara pada likuidasi harta kekayaan debitur. Bagi perusahaan, PKPU bertujuan memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitur membuat laba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PKPU bertujuan menjaga jangan sampai debitur, yang karena suatu keadaan semisal keadaan tidak likuid dan sulit mendapat kredit dinyatakan pailit, sedangkan kalau debitur tersebut diberi waktu dan kesempatan, besar harapan ia ia akan dapat membayar utangnya. Putusan pailit dalam keadaan tersebut di atas akan berakibat pengurangan nilai perusahaan dan ini akan merugikan para kreditur. PKPU bukan dimaksudkan untuk kepentingan debitur semata, juga untuk kepentingan para krediturnya khususnya kreditur konkuren. Dengan diberikannya waktu dan kesempatan, debitur nelalui reorganisasi usahanya dan atau restrukturisasi utangutangnya dapat melanjutkan usahanya. Apabila dalam Chapter 11 telah diatur tentang plan of reorganization, maka dalam UUK diatur juga tentang rencana perdamaian dalam PKPU. Rencana yang diajukan tidak bersamaan atau tidak dilampirkan pada permohonan PKPU harus diajukan :36
35
Fred B.G. Tumbuan, Pokok-Pokok Penyempurnaan Aturan Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-undang Kepailitan, Jakarta, 3 –14 Agustus 1998. 36 Ellyana S, Proses/Cara Mengajukan dan Penyelesaian Rencana Perdamaian pada Penundaan Kewajiban Pembayaran , Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, 3 - 14 Agustus 1998.
20 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
a. Sebelum hari ke 45, setelah putusan sementara penundaan kewajiban membayar utang atau sebelum hari sidang yang dimaksud dalam Pasal 515 Perpu No. 1 Tahun 1998 atau pada tanggal kemudian dengan tetap memperhatikan Pasal 217 ayat 4. b. Rencana perdamaian tersebut harus diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang padanya melekat Pengadilan Niaga yang memeriksa dan mengadili permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang agar dapat dilihat oleh setiap orang yang berkepentingan secara cuma-cuma. c. Rencana perdamaian juga disampaikan kepada Hakim Pengawas dan pengurus serta ahli bila ada segera setelah rencana perdamaian ada. PKPU memiliki dasar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 212 yaitu : Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diajukan dalam rangka penawaran rencana perdamaian (yang meliputi penawaran pembayaran secara penuh atau sebagian kepada kreditur konkuren) yang dilakukan oleh debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Jika hal itu dapat terlaksana dengan baik, pada akhirnya debitur dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya dan meneruskan usahanya. PKPU berbeda dengan kepailitan, karena walaupun dalam proses kepailitan juga ada kemungkinan tercapainya perdamaian, pada dasarnya kepailitan ditujukan kepada pemberesan dengan para kreditur, namun pada umumnya dengan cara menjual semua budel pailit dan membagikan kepada para kreditur yang berhak menurut urutan yang ditentukan dalam Undang-undang.37 Dari prinsip dasar di atas diketahui bahwa PKPU memiliki kesamaan dengan Reorganisasi dalam Chapter 11, dimana debitur diberi kesempatan untuk melakukan restrukturisasi perusahaannya maupun restrukturisasi utang-utangnya sehingga dapat tetap eksis sebelum dinyatakan pailit oleh hakim. The fundamental purpose of reorganization is to prevent a debtor from going into liquidation, with an attendant loss of jobs and possible misuse of economic resources.38 Langkah untuk melakukan reorganisasi perusahaan lebih dahulu jelas lebih menguntungkan dibandingkan dengan melakukan prosedure kepailitan. Reorganisasi ini akan menguntungkan semua pihak baik debitur, kreditur para karyawan dan seluruh stake holder perusahaan. Mark E. Scarberry menjelaskan keuntungan dari reorganisasi ini. Menurutnya if the business is liquidated on the auction block, the assets and the work force will be dispersed; whatever value was created by bringing them together and forging them into a produtive whole will be lost. The value of the relationships, goodwill, and name recognition will also be destroyed. The value of other in intangible assets will be diminished; for example, it is generally much more dificult to collect the accounts receivable of a business that is liquidation tahn of one that is a going conecrn. The liquidation sale price of tangible assets is often very low compared to the value they would have as part of a productive whole.
37
Kartini Mulyadi, Penundaan kewajiban Pembayaran Utang Serta Dampak hukumnya, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang Undang kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998. 38 Mark S. Scarberry, et all, Business Reorganizayion In bankruptcy, Case And Materials, American Casebook Series, West Publishing Co, St. Paul, Minnesota, 1996, page 3.
21 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Selain itu the cost to society of business liquidation is high. The destruction of value caused by business liquidation reduces the total wealth of our society. The loss of jobs causes additional social costs, such as increased unemployment insurance payments, increased use of other social welvare programs, and decreased tax revenues. Increased un employment may have other social costs, such as an increase in poverty and crime.If overall demand for the products of the kind made by a liquidated business does not decrease, many of the workers and managers may eventually be hired by other firms for similar positions, but this does not happen quickly, and it is not cost free. It does not hapen at all if jobs are lost to foreign competition. Society pays a price for the liquidation of busisnesses. For the workers, the managers, the creditors, and the owners of a liquidated business, the effect is more direct and, in some cases, devastating. The workers and managers k\lose their jobs, with the accompanyng financial and emotional stress on them and their families. Creditor may faind that the liquidation value of the debtor is insufficient to repay more than a small fraction of the debtor’s debts; unsecured creditors (those who do not have liens on any particular assets of the debtor) often will receive nothing. If creditors are not paid in full in liquidation, then there will be nothing at all left for the stock holder (or partners or the owners of the debtor’s business). Keeping the business in operation will therefore often be much more desirable than liquidating it. The fundamental premise of chapter 11 of the Bankruptcy Code is that reorganization is desirable. Tindakan hukum kepailitan merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh bila seluruh proses perdamaian tidak dapat lagi dilakukan dan bila memang assets si pailit tidak cukup untuk memenuhi seluruh utang-utangnya meskipun diberi kesempatan dan jangka waktu yang cukup. Jerry Hoff menyebutkan bahwa It is common cause that a bankruptcy law should serve the following purposes 39: ♦ Maximising asset recovery; All of the assets of the debtor should be pooled into a common fund – called the bankruptcy estate – which is available for the payment of creditor’s claims. Bankruptcy provides a forum for the collective liquidation of the debtor’s assets. This reduces the administrative expenses in liquidation and distribution of the debtor’s property. It provides a quick way to achieve such liquidation and distribution as well. ♦ Providing for the equitable and predictable treatment of creditors; In principle, creditors are paid pari passu; they receive a pro rata parte distribution from the pool according to the size of their claims. The procedural and substantive rules in this respect should provide for certainty and transparency. Creditors should know in advance what their legal position is. ♦ Providing parctical opportunities for the reorganization of ailing but viable businesses when the interests of creditors and social needs are better served by maintaining the debtor in business. In modern bankruptcy laws, much attention is paid to the social interest of job opportunities. The bankruptcy Law of Indonesia takes into account the interest of both creditors and debtors. It tries to reconcile the interest of the creditors with those of the debtor by 39
Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, Penerbit Tata Nusa, Jakarta, hal 7 Terjemahan oleh Kartini Mulyadi.
22 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
providing for a swift and orderly liquidation of the assets of the debtor on the one hand and by giving the debtor an opportunity to reorganize when this is feasible on the other hand. It is envisiged that the Bankruptcy Law and its proper implementation will contribute to the restoration of that important prerquisite to a helathy investment climate in Indonesia, namely a level playing field for detors and creditors. Di Indonesia pengertian kepailitan itu sendiri tidak disebutkan. Pasal 1 ayat 1 UUK menyebutkan : Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masingmasing. Melalui sita umum tersebut dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para kreditur secara sendiri-sendiri. Dengan demikian para kreditur harus bertindak secara bersama-sama (concursus creditorum) sesuai dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.40 Dengan dinyatakan pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki kewenangan apapun lagi atas seluruh harta kekayaannya baik yang sudah ada maupun yang akan diterimanya selama kepilitan itu berlangsung. Kepilitan itu sendiri mencakup : 1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh selama kepailitannya. 2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas kekayaannya yang termasuk harta kekayaan.41 Seluruh kewenangan debitur pailit untuk mengurus seluruh harta kekayaanya tersebut tersebut selanjutnya beralih kepada kurator. Garrad Glen menyebutkan Essential of Bankruptcy : Prevention of Fraud, and Control of the Debtor. Penjelasannya : A Careful study of bakruptcy involves several well worn propositions. First, there is always the fraudulent debtor; and never yet so far as human experience goes has it been proper to legislate in bankruptcy matters without providing for his case. Next, the idea of bankruptcy includes the concept of a debtor who is within the control of the court. And finally there is the point, so helpful in the presentation of the other two, that bankruptcy reforms are by no means a matter of late dispensation or twentieth century rhetoric, but on the contrary, all our ideas trace back to English legislation of two centuries ago and more..........42 40
Fred. BG. Tumbuan, Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan Sebagaimana Diubah Oleh Perpu No. 1 Tahun 1998, Makalah disampaikan dalam lokakarya UU Kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998. 41 K. Santoso, Akibat Hukum Kepailitan, Makalah disampaikan dalam lokakarya UndangUndang kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998. 42 Garrad Glen : Essential of Bankruptcy : Prevention of fraud, and control of the debtor, 23. L. Rev. 373 ( 1937), page 1, E Learning, Bankruptcy Law.
23 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Meskipun UUK dimaksudkan untuk memaksimalkan harta pailit agar dapat dibagi secara seimbang di antara para krdeiturnya, namun dalam praktek masih banyak kecurangan yang dilakukan oleh debitor sehingga recovery fund yang diterima oleh debitur pailit sangat rendah hanya berkisar antara 10% - 15 % dari total piutang yang dapat ditagih. Kondisi ini mengakibatkan semakin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat untuk menggunakan lembaga hukum kepailitan sebagai sarana untuk menagih piutang mereka. Kondisi yang sama juga terjadi saat ini meskipun Undang-Undang kepailitan yang lama sudah disempurnakan dalam UU No. 4 Tahun 1998. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa setelah UU No. 4 Tahun 1998 mulai berlaku, ternyata dalam praktek timbul beberapa permasalahan baik yang bersumber dari kelemahan Undang-undang Kepailitan itu sendiri maupun dalam praktek di pengadilan43 : 1. Banyak hal yang tidak di atur secara tegas dalam Undang-undang Kepailitan, sehingga menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam. Pengertian utang, misalnya, tidak diberikan definisi yang jelas dalam Undang-undang Kepailitan sehingga ditafsirkan Hakim secara berbeda-beda baik di tingkat Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri maupun di tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung. 2. Adanya Interpretasi yang berbeda-beda terhadap ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan tersebut mengakibatkan timbulnya ketidak konsistenan dalam putusan Hakim dalam kasus-kasus kepailitan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. 3. Jangka waktu 30 hari yang diberikan UU Kepailitan untuk menyelesaikan satu perkara kepailitan dipandang dalam praktek sukar dilaksanakan, karena terlalu cepat44 Kalaupun Hakim Pengadilan Niaga dapat menyelsaikan perkara kepailitan dalam jangka waktu 30 hari tersebut, hakim tersebut hanya memfokuskan pada pembuktian sederhana sekedar untuk memenuhi persyaratan dinyatakannya pailit. Tebalnya alat bukti dalam kasus kepailitan yang rumit mungkin hanya dibaca dan diteliti secara singkat karena ketatnya waktu. 4. Adanya kecenderungan menurunnya jumlah perkara kepailitan yang ditangani Pengadilan Niaga di Jakarta Pusat. Awaknya pada tahun 1998, terdapat 31 perkara kepailitan yang didaftarkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Jumlah perkara kepailitan yang hanya 31 tersebut wajar karena Undang-undang Kepailitan baru berlaku secara efektif pada tanggal 9 September 1998. Jumlah perkara kepailitan melonjak drastis pada tahun 1999 sebanyak 100 kasus, pada tahun 2000 turun menjadi 84 kasus dan pada tahun 2001 turun lagi menjadi 60 kasus.45 Fenomena menurunnya kasus kepailitan yang ditangani Pengadilan Niaga tersebut menurut Erman Radjagukguk kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya kelemahan dalam Undang-undang kepailitan itu sendiri. Kedua, adanya ketidak 43
Erman Radjagukguk, Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia, bahan E Learning “Bankruptcy Law” , hal 5 – 7. 44 Mengenai jangka waktu ini, Mantan Ketua mahkamah Agung RI, Purwoto Gandasubrata, menyayangkan pembuatan Perpu Kepailitan No. 1 Tahun 1998 ini tidak terlebih dahulu mendengar pendapat dan nasihat dari para hakim yang biasa berkecimpung dalam praktek. Lihat Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan kepailitan baru Untuk Indonesia (1998), Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal 10 – 11. 45 Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayani, Analisi Teori dan Praktek kepailitan dan Indonesia, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, hal 5.
24 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
konsistenan putusan Hakim dalam menangani kasus-kasus kepailitan, baik putusan pada Hakim Pengadilan Niaga maupun hakim pada tingkat pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali. Ketiga, meskipun Undang-undang Kepailitan sudah mengatur time frame yang ketat untuk menyelesaikan kasus kepailitan, namun ternyata penyelesaiannya ternyata terasa bertele-tele. Karena hampir bisa dipastikan bahwa pihak-pihak yang dipailitkan akan mengajukan banding ke tingkat kasasi atau peninjaun kembali. Kenyataan ini menambah panjang proses peradilan kasus kepailitan, sehingga muncul kesan proses banding hanyalah upaya pengelakan dari pihak debitur yang dipailitkan. Kreditur yang ditolak permohonan kepailitannyapun, dapat juga mengajukan kasasi dan Peninjauan Kembali. Meskipun pengajuan Kasasi dan peninjauan Kembali tersebut merupakan hak debitur atau kreditur, namun apabila semua perkara kepailitan diajukan sampai tingkat peninjauan kembali, maka kesan bertele-tele tersebut mungkin ada benarnya.46Keempat, meskipun belum ada penelitian tentang hal ini, diperkirakan tingkat recovery rate atau pengembalian utang oleh debitur melalui mekanisme kepailitan nilainya sangat rendah, yaitu diperkirakan hanya berkisar pada 10 % - 20 %.47 Mengingat kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam UU NO. 4 Tahun 1998 sebagaimana diuraikan di atas, maka saat ini perlu dilkakukan perubahan dan pembenahan dalam Undang-undang kepailitan yang baru. Sat ini meskipun RUU Kepailitan sudah disiapkan, namun meurut beberapa kalangan juga masih mengandung beberapa kelemahan yang perlu diatasi. Perubahan yang dilakukan terhadap seluruh hukum ekonomi termasuk hukum kepailitan merupakan salah satu usaha di bidang pembinaan hukum nasional. Berkaitan dengan pembinaan hukum nasional, Bagir Manan menyebutkan perlu adanya berbagai penegasan :48 1. Tentang pengertian peraturan perundang-undangan dari masa Kolonial. Peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa kolonial tersebut dapat dikategorikan : a. Semata-mata dibentuk pada masa pemerintahan kolonial, tetapi substansi bersifat universal. b. Substansi mengandung muatan yang bersifat kolonial (demi kepentingan kolonial) yang bertentangan dengan kepentingan rakyat atau kepentingan nasional. c. Substansi tidak bersifat kolonial, karena kaidah-kaidah semacam ini berlaku juga pada negara induk atau negara lain, tetapi tidak sesuai dengan pandangan hidup dan kebutuhan rakyat Indonesia. d. Terdapat ketentuan-ketentuan dari masa kolonial meskipun tidak berwatak kolonial, tetapi telah ketinggalan (out of date). e. Terdapat kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau secara khusus kekosongan peraturan perundang-undangan (wetsvacuum) Paraturan perundang-undangan adalah gambaran suatu jaman. Demikian juga peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa kolonial. 46
Andi Muhammad Asrun, A. Prasentyatoko, Dkk, Analisa Yuridis dan Empiris Peradilan Niaga 0(Jakarta : Center for Information & Law Economic Studies, 200, hal 19. 47 “Revisi UU Kepailitan : Mengembalikan Kepercayaan Yang Berangsur Punah” (http://hukum on line. Com//edisi khusus/fokus _ details asp?rubrik = 3 & id = 93). 48 Bagir Manan, OpCit, Hal 257.
25 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
2. Tentang jumlah peraturan perundang-undangan kolonial yang masih ada Berdasarkan inventarisasi dokumen-dokumen atau kumpulan peraturan perundangundangan seperti Engelbrecht diketemukan sekitar 300 atau 400 peraturan perundangundangan dari masa kolonial. Dalam hal ini perlu diutarakan: a. Mengenai bentuk Ada 300 atau 400 peraturan perundang-undangan tersebut terdiri dari berbagai bentuk yaitu : 1) Wet, Ordonantie, dan Reglement (UU); 2) AmvB (Peraturan Pemerintah); 3) K.B. (Keputusan Presiden); 4) Peratura atau Keputusan GG (KEPPRES); 5) Instruksi Raja dan Instruksi GG (INPRES). b. Mengenai kekuatan berlaku. Meskipun ketentuan-ketentuan tersebut masih tercantum dalam berbagai dokumen, tidak semuanya berlaku, karena : 1) Telah dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang baru. 2) Tercabut oleh peraturan perundang-undangan baru. 3) Tercabut karena perubahan tatanan politik dan pemerintahan baru. 4) Telah dicabut secara parsial. 5) Tidak berl;aku lagi karena ketentuan kolonial tersebut hanya untuk suatu peristiwa tertentu (yang sudah tidak ada lagi) atau karena masa berlaku telah habis. c. Pengaturan ulang peraturan perundang-undangan kolonial. Meskipun telah dilakukan berbagai revisi terhadap seluruh hukum nasional khususnya di bidang hukum ekonomi namun masih banyak ruang-ruang kososng yang senatiasa dimafaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Untuk itu Sacipto Rahardjo secara arif mengemukakan bahwa sejak semula hukum tidak pernah dapat memuaskan keinginan manusia sebagai suatu alat yang mematoki antara perbuatan yang “benar” dan yang “salah” secara sempurna. Salah-salah mengatur bahkan bisa dikatakan seperti ungkapan “Summum ius summa iniuria” bahwa hukum yang bekerja terlalu hebat justru menimbulkan ketidak adilan.49 49
Satjipto Rahardjo,. Permasalahan Hukum Di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, 1983, hal 13.
26 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
E. PENUTUP Hukum kepailitan di Indonesia yang termasuk ke dalam kelompok negara dengan Civil Law System tentu berbeda dengan Bankruptcy Law di Amerika Serikat yang termasuk ke dalam kelompok negara dengan Common Law System. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan sistematika dalam hukum kepailitan yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1998 dengan Bankrupty Code dan hukum kepailitan di Amerika Serikat. Demikian pula perbedaan tentang pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, prosedure permohonan kepailitan, Penundaan kewajiban Pembayaran Utang, jangka waktu yang harus ditempuh, hukum acara yang dipergunakan, Re organisasi Perusahaan dan lain-lain. Perbedaan ini disebabkan faktor sejarah lahirnya hukum kepailitan itu sendiri baik di Indonesia maupun Amerika, Selain itu perbedaan ini juga disebabkan oleh sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara yang berbeda. Namun dalam perkembangan hukum yang terjadi saat ini terlihat adanya suatu convergemcy pada seluruh bidang hukum baik negara-negara penganut Civil law System maupun Common Law System demi untuk menuju harmonisasi hukum.
DAFTAR PUSTAKA Asrun, Andi Muhammad, A. Prasentyatoko, dkk., Analisa Yuridis dan empiris Peradilan Niaga, Jakarta : Center for Information & Law Economic Studies, 2000. Baird, Duglas G., Cases Problems, and Materials on Bankruptcy, Boston, USA : Little, Brown and Company, 1985. Cheeseman, Henry R. Business Law, Fourth Edition, Upper Saddle River, New Jersey 07458, 2001. Cheeseman, Henry R., Contemporary Business Law, Third Edition, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey, 2000. Carlson, David Gray, Philosophy in Bankruptcy, 85 Mich L. Rev. 1341 (1987) (bahan Kuliah Program E Learning “Bankruptcy Law” Kerjasama USU, UI, UGM, Univ. South Carolina USA, (Nevada). Collins, John W., et all., Business Law Text and Cases, John Willey & Sons, New York. Ediwarman, Perbandingan Hukum, Modul V, Bahan Kuliah Perbandingan Hukum, Program Pascasarjana USU Medan, 2002.
27 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Ediwarman, Kuliah Perbandingan Hukum, Program S3 Ilmu Hukum, Pascasarjana USU Medan, tanggal 26 Oktober 2002 . Ellyana S., Proses/cara Mengajukan dan Penyelesaian Rencana Perdamaian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang Kepailitan, jakarta, 3 – 14 Agustus 1998. Fuady, Munir., Hukum Pailit 1998 Dalam Teori Dan Praktek, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. Friedman, Lawrence M, History of American Law, New York : Simon & Schuster, Inc, 1985. Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2000. Guttridge, H.C., Comparative Law, An Introduction to the Comparative Method of Legal Study & Research, Cambridge, 1946. Glen, Garrad : Essential of bankruptcy : Prevention of Farud, and Control of the Debtor, 23. L. Rev. 373, 1937 (bahan E Learning). Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia (1998), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. Harian Kompas, Kamis, Tanggal 16 Desember 1999. Hoff, Jerry, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia(Terjemahan oleh Kartini Mulyadi) Penerbit Tata Nusa, Jakarta, 1998. Lindsey, Tim (Editor), Indonesian Insolvency Reform : Law Reform & The Commercial Court, Ausaid, Desert Pea Press, 2000. Manan, Bagir., Pembinaan Hukum, Mochtar Kusumaatmadja, : Pendidik & Negarawan, Kumpulan Karya Tulis menghormati 70 tahun Prof. Dr. Mochtar Kususmaat,adja, SH., LLM), Penerbit Alumni, Bandung, 1999. Manan, bagir., Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Jakarta, 1993. Mulyadi, Kartini., Penundaan kewajiban Pembayaran Utang Serta dampak Hukumnya, makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998. Purwadi, Hari., Pendekatan Baru Dalam Studi Perbandingan Hukum : ‘Critical ComparativeLaw’ Dan Transplantasi hukum Di Indonesia, Dalam Kumpulan 28 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Tulisan Wajah Hukum di Era Reformasi, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Rahardjo, Satjipto., Permasalahan Hukum Di Indonesia, Penerbit Alumni, bandung, 1983. Radjagukguk, Erman., Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia, Bahan Kuliah E Learning, 2002. Radjagukguk, Erman., Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum Bisnis No. II Vol. 6. Radjagukguk, Erman., Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law – Common Law) (Kumpulan Kuliah), Jilid I, Fakultas hukum UI Program Pascasarjana, 2000. Radjagukguk, Erman, Kuliah Perbandingan Sistem Hukum, Program S3 Ilmu Hukum Pascasarjana USU, Tanggal 22 Maret 2002. Revisi UU kepailitan : Mengembalikan Kepercayaan Yang Berangsur Punah (http//hukum on line. Com// edisi khusus/fokus- details asp ? rubrik = 3 & id = 93). Syahdeini, Sutan Remy., “Sejarah Hukum Kepailitan Di Indonesia” dalam Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Vo. 12, Jakarta, 2001. Scarberry, Mark S, et all, Business Reorganization in Bankruptcy, Case and Materials, American Casebook Series, West Publishing Co. St. Paul, Minnesota, 1996. Santoso K., Akibat Hukum Kepailitan, makalah disampaikan dalam Lokakarya UndangUndang kepailitan, Jakarta, 3 – 14 Agustus 1998. Suyudi, Aria, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayani., Analisis Teori dan Praktek Kepailitan di Indonesia, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, 2002. Tabalujan, Benny S, Indonesian Insovency Law, Business Law Asia, Singapura, 1998. Tabb, Charles Jordan, The Historical Evolution of the Bankruptcy Discharge, Copy right, 1991, National Conference of the Bankruptcy judges. Tumbuan, Fred B.G. Pokok-Pokok Penyempurnaan Aturan Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang kepailitan, jakarta, 3 – 14 Agustus 1998.
29 e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara